case ruangan hepatoma.doc
description
Transcript of case ruangan hepatoma.doc
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari
hepatosit, demikian juga dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma. Tumor ganas
lainnya, kolangiosarkoma (Kolangiosarkoma) dan sisteadenokarsinoma berasal dari sel epitel
bilier, sedangkan angiosarcoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel mesenkim. Dari seluruh
tumor ganas hati, KHS merupakan tumor yang paling banyak (85%), 10% kolangiosarkoma,
dan sisanya adalah tumor jenis lainnya.
Di Amerika Serikat sekitar 80%-90% dari tumor ganas hati primer adalah hepatoma.
Angka kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang
ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling sering ditemukan
dengan angka kejadian 100/100.000 populasi. Setiap tahun muncul 350.000 kasus baru di
Asia, 1/3nya terjadi di Republik Rakyat China. Di Eropa kasus baru berjumlah sekitar 30.000
per tahun, di Jepang 23.000 per tahun, di Amerika Serikat 7000 per tahun dan kasus baru di
Afrika 6x lipat dari kasus di Amerika Serikat.
Pria lebih banyak daripada wanita. Lebih dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis
hati Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan
komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting
hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C. Bayi dan anak kecil yang
terinfeksi virus ini lebih mempunyai kecenderungan menderita hepatitis virus kronik daripada
dewasa yang terinfeksi virus ini untuk pertama kalinya.
Pasien hepatoma 88% terinfeksi virus hepatitis B atau C. Virus ini mempunyai
hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma. Hepatoma seringkali tidak terdiagnosis
karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau
hepatitis kronik. Jika gejala tampak, biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup sekitar
beberapa minggu sampai bulan. Keluhan yang paling sering adalah berkurangnya selera
makan, penurunan berat badan, nyeri di perut kanan atas dan mata tampak kuning.
Pemeriksaan Alfa Feto Protein (AFP) sangat berguna untuk menegakkan diagnosis
penyakit hepatoma ini. Penggunaan ultrasonografi ( USG ), Computed Tomographic
Scanning (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) penting untuk menegakkan
diagnosis dan mengetahui ukuran tumor. Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah
asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.
Beberapa sistem klasifikasi telah diciptakan untuk menentukan prognosis daripada
penderita karsinoma hepatoseluler. Sistem klasifikasi tersebut tidak hanya berguna dalam
menentukan prognosis penderita namun juga derajat kerusakan hepatoseluler, yang diketahui
menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan harapan hidup penderita.
Pada penderita KHS pengobatan yang paling penting adalah mempertahankan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita. Transplantasi hati merupakan pengobatan definitf
utama pada penderita karsinoma hepatoseluler. Beberapa terapi pilihan lain seperti tindakan
operasi/reseksi hati,terapi radiologi lain meliputi Trans Arterial Embolisasi (TAE), Trans
Arterial Chemoterapy (TAC). Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan
hanya dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans
Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan
lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA), Proton Beam
Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang
kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan)
keseluruhannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFENISI
Kanker hati (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul dari hati. Ia
juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang
berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh empedu, pembuluh pembuluh darah, dan sel-sel
penyimpan lemak). Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai 80% dari
jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%) timbul dari
sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular (hepatocellular cancer) atau Karsinoma
(carcinoma).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Kanker hati adalah kanker kelima yang paling umum di dunia. Suatu kanker yang
mematikan, kanker hati akan membunuh hampir semua pasien-pasien yang menderitanya
dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi kesehatan dunia (WHO)
memperkirakan bahwa ada kira-kira 430,000 kasus-kasus baru dari kanker hati diseluruh
dunia, dan suatu jumlah yang serupa dari pasien-pasien yang meninggal sebagai suatu akibat
dari penyakit ini. Sekitar tiga per empat kasus-kasus kanker hati ditemukan di Asia Tenggara
(China, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan). Kanker hati juga adalah sangat umum di
Afrika Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika Selatan). KHS meliputi 5.6 % dari seluruh kasus
kanker pada manusia serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada
wanita, dan urutan ketiga dari sistem saluran cerna setelah kanker kolorektal dan lambung.
Tingkat kematian KHS juga sangat tinggi, di urutan kedua setelah kanker pankreas.
Sekitar 80% dari kasus KHS di dunia berada di Negara berkembang seperti di Asia timur dan
Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang diketahui sebagai tempat prevalensi tinggi untuk
hepatitis virus. KHS jarang terjadi di usia muda, kecuali di wilayah yang endemik infeksi
HBV serta banyak terjadi tranmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah dengan kekerapan
KHS tinggi, umur pasien 10-20 tahun lebih muda disbanding dengan umur pasien KHS di
wilayah dengan angka kekerapan KHS rendah. Hal ini dapat dijelaskan antara lain karena di
wilayah dengan angka kekerapan tinggi, infeksi HBV sebagai salah satu penyebab terpenting
HCC, karena ditularkan pada masa perinatal atau anak-anak, kemudia menjadi HCC setelah
dua – tiga dasawarsa. Pada semua populasi, kasus HCC pada laki-laki jauh lebih banyak
dibandingkan kasus HCC pada wanita.
2.3. FAKTOR RESIKO
Telah dibicarakan berbagai faktor yang berkaitan dengan karsinoma hepatoseluler
antara lain infeksi HBV atau HCV, penyakit hati alkoholik dan yang cukup seringperlemakan
hati nonalkohol. Penyebab lain yang cukup jarang seperti hemokromatosis herediter,
defisiensi alpha1-antitrypsin, autoimun hepatitis dan penyakit Wilson. Distribusi dari faktor
resiko ini sangat bervariasi diantara pasien dengan karsinoma hepatoseluler, tergantung
wilayah geografi, ras atau etnik. Umumnya faktor resiko ini mengarah ke terbentuknya
sirosis, yang terjadi pada 80-90% pasien dengan hepatoseluler karsinoma.
2.3.1. Hepatitis B Virus (HBV)
Hubungan antara infeksi HBV kronik dengan timbulnya KHS terbukti kuat, baik
secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang
hiperendemik HBVmenunjukkan angka kekerapan KHS yang tinggi. Di Taiwan, pengidap
kronis infeksi HBV mempunyai risiko untuk terjadinya KHS 102 kali lebih tinggi daripada
risiko bagi yang bukan pengidap. Juga ditengarai bahwa kekerapan KHS yang berkaitan
dengan HBV pada anak jelas menurun setelah diterapkannya vaksinasi HBV universal bagi
anak. Umur saat terjadi infeksi merupakan faktor risiko penting, karena infeksi HBV pada
usia dini berakibat akan terjadinya persistensi (kronisitas). Karsinogenesis HBV pada hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, intergari
HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi
dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi
sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan
secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespon nekroinflamasi sel hati, atau
akibat dipicu oleh ekspresi suatu berlebihan beberapa gen yang berubah akibat HBV.
Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat
menyebabkan terjadinya KHS tanpa melalui terjadinya sirosis hati (KHS pada hati non
sirotik). Transaktivasi beberapa promoter seluler atau viral tertentu oleh gen – x HBV (HBx)
dapat mengakibatkan terjadinya KHS.
2.3.2. Virus Hepatitis C (HCV)
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan paktor risiko
penting dari KHS. Metaanalisis dari 32 penelitian kasus kelola menyimpulkan bahwa risiko
terjadinya KHS pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat dibandingkan yang bukan
pengidap. Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau denga peminum
alkohol meliputi 20% dari kasus KHS. Di area hiperendemik HBV, prevalensi HCV lebih
tinggi pada kasus KHS dengan HBsAg negatif dari ada yang HBsAg positif. Ini
menunjukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam pathogenesis KHS pada pasien
yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien yang buka penyakit hati yang mendapat
tranfusi darah dengan anti HVC positif , interval pada saat tranfusi hingga terjadinya KHS
dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
2.3.3. Sirosis Hati
Merupakan faktor risiko utama HCC di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80%
kasus KHS. Setiap tahun, tiga sampai lima persen dari pasien SH akan menderita KHS dan
KHS merupakan penyebab utama kematian pada SH. Pada 80 % dari SH makronoduler dan
3-10% dari SH mikronoduler dapat ditemukan adanya HCC. Prediktor utama KHS pada SH
adalah jenis kelamin laki-laki , peningkatan kadar alfa feto protein(AFP) serum, beratnya
penyakit dan tingginya aktifitas proliferasi sel hati.
2.3.4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi Aspergillus. Dari
percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB1-
2-3 epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk
ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah
kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Dari
penelitian , ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dengan diet dalam morbiditas dan
mortalitas HCC. Risiko KHS dengan aflatoksin saja adalah 3.4 sedangan dengan HBV kronik
risiko relatifnya 7, dan meningkat menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi
aflatoksin.
2.3.5. Obesitas
Berdasarkan penelitian , obesitas dapat meningkatkan angka mortalitas sebesar lima
kali akibat kanker hati pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-
40kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT nya normal. Seperti diketahui,
obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non alkoholik fatty liver disease (NAFLD),
khususnya non alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati
dan kemudian dapat berlanjut menjadi KHS.
2.3.6. Diabetes Melitus
Telah lama diketahui bahwa DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati
kronik maupun KHS melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non alkoholik
(NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan insulin dan insulin like
growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif essential untuk kanker. Indikasi
kuatnya asosiasi antara DM dengan KHS terlihat dari banyak penelitian. Insidensi juga
semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang dari lima tahun hingga lebih dari
10 tahun).
2.3.7. Alkohol
Walaupun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik , peminum berat alkohol
(>50-70g/hari dan berlangsung lama) beresiko untuk menderita KHS melalui sirosis hati
alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme
juga meningkatkan risiko terjadi sirosis hati dan KHS pada pengidap infeksi HBV atau HCV.
Sebaliknya pada sirosis hati alkoholik terjadinya KHS juga meningkat bermakna pada pasien
dengan HBsAg-positif atau anti HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik
alkohol terhadap infeksi HCV. Acapkali penggunaan alkohol merupakan predisposisi bebas
untuk terjadinya KHS pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV
atau HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose – dependent, sehingga asupan sedikit
alkohol tidak meningkatkan risiko terjadinya KHS.
Pasien-pasien yang minum secara aktif adalah lebih mungkin untuk meninggal dari
komplikasi-komplikasi yang tidak berhubungan dengan kanker dari penyakit hati alkoholik
(contohnya gagal hati). Tentu saja, pasien-pasien dengan sirosis alkoholik yang meninggal
dari kanker hati adalah kira-kira 10 tahun lebih tua daripada pasien-pasien yang meninggal
dari penyebab- penyebab yang bukan kanker. Akhirnya, seperti dicatat diatas, alkohol
menambah pada risiko mengembangkan kanker hati pada pasien-pasien dengan infeksi-
infeksi virus hepatitis C atau virus hepatitis B yang kronis.
2.4. GAMBARAN KLINIS
Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, dan banyak tanpa keluhan. Lebih
dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang
besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa, berikut gejala yang ditemukan pada fase
klinis yaitu :
2.4.1. Nyeri abdomen kanan atas
Penderita kanker hati stadium lanjut sering datang berobat karena tidak nyaman dengan nyeri
di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul atau menusuk, intermitten atau
kontinu, sebagian area hati terasa terbebat kencang karena pertumbuhan tumor yang cepat.
2.4.2. Massa abdomen atas : pemeriksaan fisik menemukan splenomegali.Kanker hati lobus
kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan
hepatomegali di bawah arcus costae tapi tanpa nodul.
2.4.3. Perut kembung timbul karena massa tumor sangat besar dan gangguan fungsi
hati.
2.4.4. Anoreksia : timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal.
2.4.5. Letih, berat badan menurun : dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan.
2.4.6. Demam : timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor,
umumnya tidak disertai menggigil.
2.4.7. Icterus : tampil sebagai kuningnya sklera dan kulit, biasanya sudah stadium
lanjut, juga karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak
saluran hingga timbul icterus.
2.4.8. Ascites juga merupakan stadium lanjut, secara klinis ditemukan perut
membuncit sering disertai odeme di kedua tungkai.
2.4.9. Lainnya : selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang,
kulit gatal dan lainnya, manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, venodilatasi dinding
abdomen. Pada stadium akhir sering timbul metastase paru, tulang, dan organ lain.
2.5. STADIUM PENYAKIT
Stadium I : Satu fokal tumor berdiametes < 3cm yang terbatas hanya pada salah satu
segment tetapi bukan di segment I hati
Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segement I atau
multi-fokal terbatas pada lobus kanan/kiri
Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atas ke lobus kanan
segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular)
atau pembuluh empedu (billiary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri
hati.
Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus
kiri hati.
· atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler)
ataupun pembuluh empedu (biliary duct)
· atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel)
seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)
· atau vena cava inferior
· atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).
2.6. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosa penderita karsinoma hepatoseluler dilakukan secara sistemik
yang dimulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Adapun kriteria
diagnosa HCC menurut PPHI Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann),
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography
(PET) yang menunjukkan adanya HCC.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC.
Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu
yaitu kriteria empat atau lima.
2.6.1. Anamnesis
Pada anamnesa dapat diketahui riwayat penyakit terdahulu serta bagaimana riwayat
perjalanan penyakitnya yang dapat mengarahkan kita nantinya secara lebih spesifik akan
etiologi dari penyakitnya serta bagaimana pengobatan yang paling efektif bagi
penderita.Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul,terus-menerus, kadang- kadang
terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti
benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites.
Keluhan yang paling umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia,dll.
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang paling sering dijumpai antara lain hepatomegali dengan
atau tanpa bruit hepatik, splenomegali, asites atau ikterus.
Tabel 1. Evaluasi diagnostik terhadap massa di hati pada pasien dengan sirosis
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
- Alphafetoprotein
Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa karsinoma hepatoseluler
60% – 70%, artinya hanya pada 60% – 70% saja dari penderita kanker hati ini
menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% – 40% penderita nilai AFP
nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa
darahnya dijumpai AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker
hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada
sirrhosis hati dan hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma
- AJH (aspirasi jarum halus).
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama
ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi
imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi
aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh
seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scann
fluoroscopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan
dituntun oleh USG ataupun CT scan mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan
tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum
biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini
yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
c. Gambaran Radiologi
Pesatnya kemajuan teknologi dan komputer membawa serta juga kemajuan
dalam bidang radiologi baik peralatannya maupun teknologinya dan memaksa
dokter spesialis radiologi untuk mengikuti training dan workshop baik di dalam
ataupun di luar negeri sehingga dengan demikian menghantarkan radiologi berada
di barisan depan dalam penanggulangan penyakit kanker hati ini dan
membuktikan peranannya yang sangat penting untuk mendeteksi kanker hati.
Radiologi mempunyai banyak peralatanan seperti Ultrasonography
(USG), Color Doppler Flow Imaging Ultrasonography, Computerized
Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Angiography, Scintigraphy dan Positron Emission Tomography (PET) yang
menggunakan radio isotop. Pemilihan alat mana saja yang akan digunakan apakah
dengan satu alat sudah cukup atau memang perlu digunakan beberapa alat yang
dipilih dari sederetan alat-alat ini dapat disesuaikan dengan kondisi penderita
Gambaran Ultrasonografi (USG) Perkembangan yang cepat dari gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas. Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur eko
jaringan hati lebih mudah dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal maupun kelainan parenkim difus(14). Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular sering diketemukan adanya hepar yang membesar, permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda dengan parenkim hati normal.
Angiografi Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
Celiac angiogram menunjukkan pembuluh darah hepar dengan multipel karsinoma hepatoseluler sebelum terapi (kiri), dan sesudah terapi (kanan) menunjukkan penurunan vaskular dan respon terapi.
2.7. SISTEM STAGING
Dalam staging klinis Karsinoma hepatoseluler terdapat pemilahan pasien atas kelompok-
kelompok yang prognosisnya berbeda, berdasarkan parameter klinis, biokimiawi dan radiologis
pilihan yang tersedia. Sistem staging yang ideal seharusnya juga mencamtumkan penilaian ekstensi
tumor,derajat gangguan fungsi hati,keadaan umum pasien serta keefektifan terapi. Sebagian besar
pasien karsinoma hepatoseluler adalah penderita sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem
yang banyak digunakan untuk menilai status fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis hati
adalah system klasifikasi Child Turcotte – Pugh. Beberapa system yang diapakai untuk staging
karsinoma hepatoseluler adalah : Tumor-Node-Metastases (TNM) Staging System, Okuda Staging
System; Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) dan Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC)
Staging System.
Tabel 2.1. Tumor Node Metastases (TNM) Staging System
Tabel 2.3. Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) Staging System
Interpretasi skor CLIP
CLIP 0 angka harapan hidup 35 bulan
CLIP 2 angka harapan hidup 8 bulan
CLIP 4-6 angka harapan hidup 3 bulan
Tabel 2.1. Okuda Staging System
A : stadium awal, B : stadium intermediate, C: stadium advance, D : stadium terminal
Tabel 2.4. Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) Staging System
2.8. PENATALAKSANAAN
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta seringnya multinodularitas,
resektabilitas KHS sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun
sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya
sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik.Pada KHS stadium dini,
sebelum timbul vaskular yang dominan, bedah merupakan terapi pilihan. Tetapi, jika sudah
timbul vaskularisasi yang dominan, terapi kombinasi di antara bedah, ablasi, dan kemo dapat
merupakan pilihan. Sedangkan pada tahap menengah lanjut, digunakan terapi transarterial
chemoembolisation (TACE).TACE adalah teknik pemberian kemo dan embolan yang
dicampur secara homogen, kemudian dihantarkan ke tumor melalui katerisasi arteria yang
memberikan darahnya langsung pada massa tumornya. Dengan demikian, terapi lebih efektif
serta efisien, dan dengan efek samping sistemik yang relatif minimal.
2.8.1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi
hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Reseksi adalah salah satu
kemungkinan untuk kurasi dan luasnya reseksi dientukan oleh besarnya tumor. Namun untuk
pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati
yang harapan hidupnya menurun. Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor
Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi
portal saja. Fungsi sisa hepar atau beratnya sirosis sangat penting untuk menentukan apakah
dapat dikerjakan reseksi yang luas. Adanya sirosis memberi kenaikan morbiditas dan
mortalitas reseksi hati. Pada sirosis hepatis yang berat (Child C) reseksi hepatis tidak dapat
dilakukan.
Gambar 2.1. Pembagian hepar menurut Couinaud dalam 8 segmen. Reseksi dapat dilakukan menurut
segmen-segmen ini.