BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · Desain persimpangan sebidang ini berbentuk ......

23
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Persimpangan Persimpangan adalah pertemuan antara dua jalan atau lebih, baik yang sebidang maupun yang tidak sebidang atau titik jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan saling berpotongan. Persimpangan merupakan faktor yang penting didalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan. Persimpangan dapat dibagi atas dua jenis yaitu (Morlok, 1991): 1. Persimpangan sebidang (At Grade Intersection). Yaitu pertemuan antara dua atau lebih jalan dalam satu bidang yang mempunyai elevasi yang sama. Desain persimpangan sebidang ini berbentuk huruf T, huruf Y, persimpangan empat kaki, serta persimpangan berkaki banyak. 2. Persimpangan tak sebidang (Interchange). Yaitu suatu persimpangan dimana jalan yang satu dengan yang lainya tidak saling bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara keduanya. Pengaturan persimpangan dilihat dari segi kontrol kendaraannya dapat dibedakan menjadi dua (Alamsyah, 2005) yaitu : 2.1.1 Pengaturan Simpang Dengan Sinyal Lalu Lintas Pada persimpangan jenis ini kendaraan yang memasuki persimpanga sudah diatur menggunakn lampu lalu lintas. Kriteria suatu persimpangan harus dipasang alat pemberi sinyal lalu lintas adalah (Ditjen Perhubungan Darat, 1999): a. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata-rata diatas 750 kendaraan /jam selama 8 jam sehari. b. Waktu tunggu atau hambatan rata-rata kendaraan di persimpangan telah melampaui 30 detik.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · Desain persimpangan sebidang ini berbentuk ......

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Persimpangan

Persimpangan adalah pertemuan antara dua jalan atau lebih, baik yang sebidang

maupun yang tidak sebidang atau titik jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan

lintasan kendaraan saling berpotongan. Persimpangan merupakan faktor yang penting

didalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan.

Persimpangan dapat dibagi atas dua jenis yaitu (Morlok, 1991):

1. Persimpangan sebidang (At Grade Intersection).

Yaitu pertemuan antara dua atau lebih jalan dalam satu bidang yang

mempunyai elevasi yang sama. Desain persimpangan sebidang ini berbentuk

huruf T, huruf Y, persimpangan empat kaki, serta persimpangan berkaki

banyak.

2. Persimpangan tak sebidang (Interchange).

Yaitu suatu persimpangan dimana jalan yang satu dengan yang lainya tidak

saling bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara

keduanya.

Pengaturan persimpangan dilihat dari segi kontrol kendaraannya dapat dibedakan

menjadi dua (Alamsyah, 2005) yaitu :

2.1.1 Pengaturan Simpang Dengan Sinyal Lalu Lintas

Pada persimpangan jenis ini kendaraan yang memasuki persimpanga sudah

diatur menggunakn lampu lalu lintas. Kriteria suatu persimpangan harus dipasang alat

pemberi sinyal lalu lintas adalah (Ditjen Perhubungan Darat, 1999):

a. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata-rata diatas

750 kendaraan /jam selama 8 jam sehari.

b. Waktu tunggu atau hambatan rata-rata kendaraan di persimpangan telah

melampaui 30 detik.

5

c. Persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 perjalanan kaki/jam

selama 8 jam sehari.

d. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.

e. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab tersebut diatas.

2.1.2 Pengaturan Simpang Tanpa Sinyal Lampu Lalu Lintas

Pada persimpangan-persimpangan tak bersinyal ditempatkan rambu dan marka

untuk mengatur arus lalu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan marka adalah

terletak pada penempatannya di lapangan, rambu terpancang pada sisi jalan (misal:

rambu yield), sedangkan marka terdapat pada perkerasan (misal: zebracross).

1. Rambu yield

Pengaturan ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas dari salah satu

ruas jalan pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti

sama sekali. Sehingga pengendara tidak terlalu terhambat bila

dibandingkan dengan pengaturan Stop Sign.

Yield Sign juga digunakan pada simpang yang diatur dengan kanalisasi

yang digunakan unuk mengatur kendaraan belok kiri pada lajur percepatan,

terutama bila lajur percepatan tersebut kurang panjang.

Gambar 2.1 Rambu Yield (https://www.google.com)

5

c. Persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 perjalanan kaki/jam

selama 8 jam sehari.

d. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.

e. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab tersebut diatas.

2.1.2 Pengaturan Simpang Tanpa Sinyal Lampu Lalu Lintas

Pada persimpangan-persimpangan tak bersinyal ditempatkan rambu dan marka

untuk mengatur arus lalu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan marka adalah

terletak pada penempatannya di lapangan, rambu terpancang pada sisi jalan (misal:

rambu yield), sedangkan marka terdapat pada perkerasan (misal: zebracross).

1. Rambu yield

Pengaturan ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas dari salah satu

ruas jalan pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti

sama sekali. Sehingga pengendara tidak terlalu terhambat bila

dibandingkan dengan pengaturan Stop Sign.

Yield Sign juga digunakan pada simpang yang diatur dengan kanalisasi

yang digunakan unuk mengatur kendaraan belok kiri pada lajur percepatan,

terutama bila lajur percepatan tersebut kurang panjang.

Gambar 2.1 Rambu Yield (https://www.google.com)

5

c. Persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 perjalanan kaki/jam

selama 8 jam sehari.

d. Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.

e. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab tersebut diatas.

2.1.2 Pengaturan Simpang Tanpa Sinyal Lampu Lalu Lintas

Pada persimpangan-persimpangan tak bersinyal ditempatkan rambu dan marka

untuk mengatur arus lalu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan marka adalah

terletak pada penempatannya di lapangan, rambu terpancang pada sisi jalan (misal:

rambu yield), sedangkan marka terdapat pada perkerasan (misal: zebracross).

1. Rambu yield

Pengaturan ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas dari salah satu

ruas jalan pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti

sama sekali. Sehingga pengendara tidak terlalu terhambat bila

dibandingkan dengan pengaturan Stop Sign.

Yield Sign juga digunakan pada simpang yang diatur dengan kanalisasi

yang digunakan unuk mengatur kendaraan belok kiri pada lajur percepatan,

terutama bila lajur percepatan tersebut kurang panjang.

Gambar 2.1 Rambu Yield (https://www.google.com)

6

2. Rambu Berhenti

Pengaturan simpang dengan menggunakan stop sign digunakan bila

pengendara pada kaki simpang harus berhenti secara penuh sebelum

memasuki simpang. Pengaturan ini digunakan pada pertemuan antara jalan

minor dengan jalan mayor.

Gambar 2.2 Rambu berhenti (https://www.google.com)

3. Kanalisasi

Kanalisasi yang mempunyai maksud utama sebagai berikut (Alamsyah,

2005):

a. Pemisahan arus lalu lintas berdasarkan arah, gerakan dan kecepatan

membeloknya.

b. Pemisahan tempat tunggu pejalan kaki terhadap arus lalu lintas dengan

menyediakan “batu loncatan” memotong arus kendaraan.

c. Pengontrolan sudut pendekatan dan kecepatan kendaraan dengan

mengarahkan arus sehingga memudahkan pengemudi dan memberikan

kemudahan dalam pengoprasian kendaraan.

d. Pemisahan waktu dan jarak pergerakan, terutama pada belokan yang

kompleks membutuhkan penyederhanaan dan gerakan secara bertahap.

e. Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu lintas

pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sejumlah jalan.

6

2. Rambu Berhenti

Pengaturan simpang dengan menggunakan stop sign digunakan bila

pengendara pada kaki simpang harus berhenti secara penuh sebelum

memasuki simpang. Pengaturan ini digunakan pada pertemuan antara jalan

minor dengan jalan mayor.

Gambar 2.2 Rambu berhenti (https://www.google.com)

3. Kanalisasi

Kanalisasi yang mempunyai maksud utama sebagai berikut (Alamsyah,

2005):

a. Pemisahan arus lalu lintas berdasarkan arah, gerakan dan kecepatan

membeloknya.

b. Pemisahan tempat tunggu pejalan kaki terhadap arus lalu lintas dengan

menyediakan “batu loncatan” memotong arus kendaraan.

c. Pengontrolan sudut pendekatan dan kecepatan kendaraan dengan

mengarahkan arus sehingga memudahkan pengemudi dan memberikan

kemudahan dalam pengoprasian kendaraan.

d. Pemisahan waktu dan jarak pergerakan, terutama pada belokan yang

kompleks membutuhkan penyederhanaan dan gerakan secara bertahap.

e. Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu lintas

pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sejumlah jalan.

6

2. Rambu Berhenti

Pengaturan simpang dengan menggunakan stop sign digunakan bila

pengendara pada kaki simpang harus berhenti secara penuh sebelum

memasuki simpang. Pengaturan ini digunakan pada pertemuan antara jalan

minor dengan jalan mayor.

Gambar 2.2 Rambu berhenti (https://www.google.com)

3. Kanalisasi

Kanalisasi yang mempunyai maksud utama sebagai berikut (Alamsyah,

2005):

a. Pemisahan arus lalu lintas berdasarkan arah, gerakan dan kecepatan

membeloknya.

b. Pemisahan tempat tunggu pejalan kaki terhadap arus lalu lintas dengan

menyediakan “batu loncatan” memotong arus kendaraan.

c. Pengontrolan sudut pendekatan dan kecepatan kendaraan dengan

mengarahkan arus sehingga memudahkan pengemudi dan memberikan

kemudahan dalam pengoprasian kendaraan.

d. Pemisahan waktu dan jarak pergerakan, terutama pada belokan yang

kompleks membutuhkan penyederhanaan dan gerakan secara bertahap.

e. Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu lintas

pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sejumlah jalan.

7

Gambar 2.3 Menunjukan sketsa pulau lalu lintas pada sebuah

persimpangan.

Gambar 2.3 Pulau lalu lintas (Warpani, 2002)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengatur lalu lintas dengan

pulau lalu lintas adalah sebagai berkut (Underwood, 1990):

a. Beberapa pulau yang besar lebih dianjurkan daripada pulau yang kecil

dalam jumlah yang besar.

b. Sebuah pulau lalu lintas yang berupa monumen setidaknya memiliki luas

daerah sebesar 8 m2.

c. Apabila suatu pulau lalu lintas hendak hendak dipasang sinyal lalu lintas,

zebracross ataupun garis stop, paling tidak pulau tersebut memiliki

panjang = 6 m, lebar = 1,2 m atau 1,8 m.

d. Pulau lalu lintas sebaiknya ditempatkan dan dirancang agar marka jalan

dapat terlihat dengan jelas, sehingga perubahan arah pergerakan lalu

lintas dapat dilakukan dengan lancar dan bertahap.

8

e. Pendekat dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diber jarak dari pinggir arus

lalu lintas berada. Atau dapat juga dilengkapi dengan adanya marka pada

bagian yang diperkeras.

f. Bagian ujung dari seluruh pulau yang berada pada suatu persimpangan

hendaknya dapat terlihat jelas oleh pengendara yang bergerak mendekati

pulau lalu lintas yang bersangkutan.

4. Bundaran

Bundaran (roundabout) dapat dianggap sebagai kasus istimewa dari

kanalisasi yang pulau ditengahnya dapat bertindak sebagai pengontrol pembagi

dan pengarah bagi sistem lalu lintas berputar satu arah. Pada cara ini gerakan

menyilang hilang dan diganti dengan gerakan menyiap berpindah-pindah jalur.

Bundaran bisa diterapkan pada banyak kendaraan yang sangat berguna untuk

pertemuan cabang banyak (tiga atau lebih) serta memerlukan suatu areal yang

luas dan datar. Makin besar volume lalu lintas yang dilayani, semakin besar pula

diameter bundarannya akan tetapi disesuaikan dengan keadaan topografi yang

ada. Jari-jari minimum sebuah bundaran ditentukan sebesar 10 m.

Bundaran paling efektif jika digunakan untuk persimpangan antara jalan

dengan ukuran dan tingkat arus yang sama. Karena itu bundaran sangat sesuai

untuk persimpangan antara jalan dua-lajur atau empat-lajur. Untuk

persimpangan antar jalan yang lebih besar, penutupan daerah jalinan mudah

terjadi dan keselamatan bundaran menurun. Meskipun dampak lalu lintas

bundaran berupa tundaan selalu lebih baik dari tipe simpang yang lain misalnya

simpang bersinyal, pemasangan sinyal masih disukai untuk menjamin kapasitas

tertentu dapat dipertahankan, bahkan dalam keadaan arus jam puncak.

Bundaran yang besar dapat mengatasi kekurangan, seperti situasi berhenti-

bergerak (stop/start) pada pertemuan jalan yang berkanalisasi. Tujuan utama

bundaran adalah melayani gerakan yang menerus, namun hal ini tergantung dari

kapasitas dan luas area yang dibutuhkan. Namun hal ini juga tidak konsisten bila

9

terdapat banyak gerakan pejala kaki, yang harus dilayani melalui jalur bawah

tanah (sub way), jika pertemuan jalan ingin dioprasikan secara efektif.

Gambar 2.4 Contoh bundaran (Alamsyah, 2005)

Dalam pembahasan mengenai bundaran, beberapa hal yang perlu dketahui adalah:

a. Bentuk Bundaran

Ada beberapa bentuk bundaran yang biasa digunakan dalam pengendalaian lalu

lintas dipersimpangan, yaitu (Bangkit, 2013) :

1. Bundaran Kapasitas Kecil

Merupakan bundaran dengan ukuran diameter yang lebih kecil atau sama

dengan 4 meter. Bundaran yang demikian ini bermanfaat bila tingkat disiplin

pemakai jalan tinggi, dan kapasitasnya tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih

baik apabila dibandingkan dengan simpang prioritas.

2. Bundaran Lalu Lintas Sedang

10

Merupakan bundaran lalu lintas dengan ukuran diameter 4 s.d 25 meter.

Bundaran yang demikian paling banyak di gunakan di Indonesia.

3. Bundaran Konvensional

Merupakan bundaran dengan ukuran diameter lebih dari 25 meter. Bundaran

konvensional ini biasanya oleh Pemerintah Daerah dikombinasikan dengan

monumen/patung/air mancur tertentu untuk memberi nilai estetika pada

simpang. Hal ini dilakukan selama objek tidak menggangu jarak pandang

pada saat melalui bundaran.

4. Kawasan Giratory

Adalah kawasan tertentu yang dikelilingi oleh jalan, yang dapat diperlakukan

prinsip bundaran untuk mengendalikan lalu lintas disekitar kawasan tersebut

dengan menggunkan prinsip giratory, dimana arus lalu lintas dijadikan satu

arah mengelilingi kawasan tersebut.

Gambar 2.5 Kawasan giratory (Bangkit, 2013)

b. Definisi Tipe Bundaran Standar

10

Merupakan bundaran lalu lintas dengan ukuran diameter 4 s.d 25 meter.

Bundaran yang demikian paling banyak di gunakan di Indonesia.

3. Bundaran Konvensional

Merupakan bundaran dengan ukuran diameter lebih dari 25 meter. Bundaran

konvensional ini biasanya oleh Pemerintah Daerah dikombinasikan dengan

monumen/patung/air mancur tertentu untuk memberi nilai estetika pada

simpang. Hal ini dilakukan selama objek tidak menggangu jarak pandang

pada saat melalui bundaran.

4. Kawasan Giratory

Adalah kawasan tertentu yang dikelilingi oleh jalan, yang dapat diperlakukan

prinsip bundaran untuk mengendalikan lalu lintas disekitar kawasan tersebut

dengan menggunkan prinsip giratory, dimana arus lalu lintas dijadikan satu

arah mengelilingi kawasan tersebut.

Gambar 2.5 Kawasan giratory (Bangkit, 2013)

b. Definisi Tipe Bundaran Standar

10

Merupakan bundaran lalu lintas dengan ukuran diameter 4 s.d 25 meter.

Bundaran yang demikian paling banyak di gunakan di Indonesia.

3. Bundaran Konvensional

Merupakan bundaran dengan ukuran diameter lebih dari 25 meter. Bundaran

konvensional ini biasanya oleh Pemerintah Daerah dikombinasikan dengan

monumen/patung/air mancur tertentu untuk memberi nilai estetika pada

simpang. Hal ini dilakukan selama objek tidak menggangu jarak pandang

pada saat melalui bundaran.

4. Kawasan Giratory

Adalah kawasan tertentu yang dikelilingi oleh jalan, yang dapat diperlakukan

prinsip bundaran untuk mengendalikan lalu lintas disekitar kawasan tersebut

dengan menggunkan prinsip giratory, dimana arus lalu lintas dijadikan satu

arah mengelilingi kawasan tersebut.

Gambar 2.5 Kawasan giratory (Bangkit, 2013)

b. Definisi Tipe Bundaran Standar

11

Adapun jenis-jenis bundaran menurut Departemen Pekerjaan Umum, (1997),

ditunjukan pada Gambar 2.6 dan tabel 2.1 memperlihatkan definisi tipe bundaran.

Gambar 2.6 Ilustrasi tipe bundaran (Departemen PU, 1997)

Tabel 2.1 Definisi tipe bundaran

12

Tipebundaran

Jari-jaribundaran

(m)

Jumlah lajurmasuk

Lebar lajurmasuk W1

(m)

Panjangjalinan Lw

(m)

Lebarjalinan Ww

(m)R10-11 10 1 3.5 23 7R10-22 10 2 7 27 9R14-22 14 2 7 31 9R20-22 20 2 7 43 9

Sumber : (Departemen PU, 1997)

Berdassarkan Gambar 2.5 dan Tabel 2.1 Definisi Tipe Bundaran dapat dijelaskan

bahwa :

a. Untuk tipe bundaran R10-11 artinya jari-jari bundaran adalah 10 meter,

jumlah lajur masuk satu, lebar lajur masuk 3,5 meter panjang jalinan 23 meter

dan lebar jalinannya adalah 7 meter.

b. Untuk tipe bundaran R10-22 artinya jari-jari bundaran adalah 10 meter,

jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 meter, panjang jalinan 27 meter

dan lebar jalinannya adalah 9 meter.

c. Untuk tipe bundaran R14-22 artinya jari-jari bundaran adalah 14 meter,

jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 meter, panjang jalinan 31 meter

dan lebar jalinannya adalah 9 meter.

d. Untuk tipe bundaran R20-22 artinya jari-jari bundaran adalah 20 meter ,

jumlah lajur masuk dua, lebar lajur masuk 7 meter, panjang jalinan 43 meter

dan lebar jalinannya adalah 9 meter.

c. Pemilihan tipe bundaran

Pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia pemakai dipermudah untuk memilih

dimensi/tipe bundaran berdasarkan volume arus lalu lintas yang dihubungkan dengan

kondisi ukuran kota (juta), rasio arus lalu lintas pada pendekat mayor dengan

pendekatan minor (QMA/QMB), presentase belok kiri dengan belok kanan. Tujuanya

adalah untuk memilih tipe simpang yang paling ekonomis, dapat dilihat pada Tabel

2.2.

Tabel 2.2 Tipe simpang paling ekonomis

13

kondisi Ambang arus lalu lintas

Ukurankota(juta)

1-3

rasio

(QMA/QMI)

LT/R

T

Tipe jalinan bundaran

R10-11 R10-12 R14-12 R10-22 R14-22 R20-22

1/11.5/12/13/14/1

10/10 <2200<2200<2150<2150<2150

22002200215021502150

-----

27002700270027002700

-----

3350-43003250-41003250-41503150-39503150-3950

1/11.5/12/13/14/1

25/25 <2400<2200<2150<2050<2050

24002200215020502050

---

27502750

28502950295029502850

---

31003000

3400-44503350-43003250-41003250-40003150-4000

0.5-1

1/11.5/12/13/14/1

10/10 <2150<2050<2050<2000<2000

21502050205020002000

25502550255025502600

27002700270027002700

31503150310030003000

3350-39503350-39503250-41003250-40003150-4000

1/11.5/12/13/14/1

25/25 <2200<2150<2050<2000<1900

22002150205020001900

27002750275026002600

27502850295027502700

33503150310030002950

3500-43003330-39503250-39503150-38003100-3650

Sumber : (Departemen PU, 1997)

d. Karakteristik Bundaran

Bundaran sangat tepat ditempatkan pada persimpangan dengan karakteristik

seperti dibawah ini (underwood, 1990):

1. Pendekat-pendekat persimpangan tersebut seluruhnya merupakan jalan

kolektor maupun jalan local.

2. Pada jalan arteri dan sub-arteri dimana terjadi pergerakan memutar yang

tinggi, dan persimpangan yang bersangkutan tidak terkait dengan ATCS

(Area Traffic Controlled System).

3. Terdapat empat atau lebih pendekat simpang.

e . Perencanaan Bundaran

Sebagai prinsip umum, bundaran mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan

panjang jalinan sebesar mungkin. Beberapa saran umum lainnya tentang perencanaan

bundaran antara lain (Departemen PU, 1997) :

14

1. Bagian jalinan bundaran mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan

panjang jalinan sebesar mungkin.

2. Bundaran dengan hanya satu tempat masuk adalah lebih aman daripada

bundaran berlajur banyak.

3. Bundaran harus direncanakan untuk memberikan kecepatan terendah pada

lintasan di pendekat, sehingga memaksa kendaraan menyelesaikan

perlambatanya sebelum masuk bundaran.

4. Radius pulau bundaran ditentukan oleh kendaraan rencana yang dipilih untuk

membelok didalam jalur lalu lintas dan jumlah lajur masuk yang diperlukan.

Radius yang lebih kecil biasanya mengurangi kecepatan pada bagian luar

yang menguntungkan bagi keselamatan pejalan kaki yang menyebrang.

Radius yang lebih kecil juga memaksa kendaraan masuk memperlambat

kendaraannya sebelum masuk daerah konflik, yang mungkin menyebabkan

tabrakan dari belakang dibandingkan dengan bundaran yang lebih besar.

Radius lebih besar dari 30-40 m sebaiknya dihindari.

5. Bundaran dengan satu lajur sirkulasi (direncanakan semi trailer) sebaiknya

dengan radius minimum 10 m, untuk dua lajur siklus radius minimum 14m.

6. Daerah masuk masing-masing jalinan harus lebih kecil dari lebar bagian

jalan.

7. Pulau lalu lintas tengah pada bundaran sebaiknya ditanami dengan pohon

atau objek lain yang tidak berbahaya terhadap tabrakan yang membuat

simpang mudah dilihat oleh kendaraan yang datang pada radius kecil

mungkin dapat dilewati.

8. Lajur terdekat dengan kereb sebaiknya lebih lebar dari biasanya untuk

memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor dan memudahkan kendaraan

belok kiri lewat tanpa menjalani didalam bundaran.

9. Pulau lalu lintas sebaiknya dipasang dimasing-masing lengan untuk

mengarahkan kendaraan yang masuk sehingga sudut menjalin antara

kendaraan yang masuk sehingga sudut menjalin antara kendaraan menjadi

kecil.

15

2.2 Pergerakan dan Konflik Pada Persimpangan

Tujuan utama perencanaan persimpangan adalah untuk mengurangi konflik

antara kendaraan bermotor serta kendaraan tidak bermotor dan menyediakan fasilitas

yang memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan terhadap pemakai jalan

yang melalui persimpangan. Alih gerak kendaraan yang berbahaya dibedakan menjadi

4 jenis. Gambar 2.7 menunjukan jenis-jenis pergerakan.

Gambar 2.7 jenis-jenis pergerakan

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 1999

2.3 Tujuan Pengaturan Simpang

Tujuan utama dari pengaturan lalu lintas umumnya adalah untuk menjaga

keselamatan arus lalu lintas dengan memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas dan

terarah, tidak menimbulkan keraguan. Pengaturan lalu lintas di simpang dapat dicapai

16

dengan menggunakan sinyal lalu lintas, marka dan rambu-rambu yang mengatur,

mengarahkan dan memperingati serta pulau-pulau lalu lintas.

Selanjutnya dari pengaturan simpang dapat ditentukan tujuan yang ingin dicapai,

antara lain:

1. Mengurangi maupun menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang

berasal dari berbagai kondisi titik konflik.

2. Menjaga kapasitas dari simpang agar dalam operasinya dapat dicapai

pemanfaatan simpang yang sesuai dengan rencana.

3. Dalam operasinya dari pengaturan simpang harus memberikan petunjuk yang

jelas dan pasti sederhana, mengarahkan arus lalu lintas pada tempatnya yang

sesuai.

4. Untuk mengurangi konflik antara kendaraan bermotor dan kendaraan tidak

bermotor, serta menyediakan fasilitas yang memberikan kemudahan,

kenyamanan, dan keamanan terhadap pemakai jalan yang melalui

pesimpangan.

2.4 Prosedur Analisiis Kinerja Persimpangan

Prosedur perhitungan yang digunakan adalah Manual Kapasitas Jalan Indonesia

(Departemen PU, 1997). Urutan perhitungan analisis kinerja persimpangan dengan

bundaran yang digunakan adalah :

1. Data masukan

2. Perhitungan kapasitas

3. Derajat kejenuhan

4. Tingkat kinerja persimpangan

Formulir-formulir yang digunakan untuk mengetahui kinerja persimpangan

adalah sebagai berikut :

1. Formulir RWEAV-I, mengenai geometri dan arus lalu lintas ( lampiran B ).

2. Formulir RWEAV-II, analisis mengenai parameter geometrik bagian jalinan,

kapasitas dan prilaku lalu lintas ( lampiran B ).

17

2.4.1 Data masukan

Masukan data yang dimaksud adalah hasil survei dilapangan yang berupa :

a. Kondisi Geometrik

Sketsa geometrik lokasi digambarkan ke dalam formulir RWEAV-I. sketsa

sebaiknya memberikan ringkasan yang baik dari bagian jalinan dengan

informasi tentang lebar pendekat, lebar jalinan, panjang jalinan dan lebar

masuk rata-rata. Untuk orientasi sketsa juga sebaiknya memuat simbul

penunjuk arah. kondisi geometrik bundaran yang perlu diperhitungkan dalam

analisis adalah :

1. Wx = Lebar masuk atau lebar jalur lalu lintas dari pendekat (diukur pada

bagian tersempit) yang digunakan oleh lalu lintas yang bergerak. X

menyatakan nama pendekat.

2. We = Lebar masuk rata-rata atau lebar rata-rata pendekat ke bagian jalinan.

3. Ww = Lebar jalinan atau lebar efektif bagian jalinan (pada bagian yang

tersempit).

4. Lw = Panjang jalinan atau panjang jalinan efektif untuk bagian jalinan.

Pada Gambar 2.8 akan dijelaskan mengenai geometrik bundaran

disertai dengan keterangan tentang lebar masuk, lebar masuk rata-rata, lebar

jalinan dan panjang jalinan.

18

Gambar 2.8 Geometrik bundaran (Departemen PU, 1997)

b. Kondisi lalu lintas

Kondisi lalu lintas yang dianalisa, perhitungan dilakukan atas dasar periode

15 menit dan dinyatakan ke dalam smp/jam dengan mengalikan arus dalam

kend/jam dengan nilai ekivalensi mobil penumpang. Adapun nilai ekivalensi

mobil penumpang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Nilai ekivalensi mobil penumpang

Jenis kendaraan Emp untuk tipe kendaraan

Kendaraan Berat/Heavy Vehicle (HV) 1.3

Kendaraan Ringan/Light Vehicle (LV) 1.0

Sepeda Motor/Motorcycle (MC) 0.5

Sumber : (Departemen PU, 1997)

19

2.4.2 Perhitungan Kapasitas

Hal-hal yang diperlukan dalam perhitungan kapasitas jalan pada persimpangandengan bundaran adalah sebagai berikut :

A. Kapasitas Dasar (Co)

Rumus umum untuk menghitung kapasitas dasar adalah :

Co = 135xWw1,3x (1+We/Ww)1,5x (1-Pw/3)0.5x (1+Ww/Lw)-1,8 (2.1)

Dimana :

Ww = Lebar jalinan

We = Lebar masuk

Lw = Panjang jalinan

Pw = Weaving = Arus menjalin (Qw)/ Arus total (Qt)

1. Lebar Rata-rata Pendekat :

We = (W1+W2)/2 (2.2)

W1 = Lebar pendekat masuk ke 1 (M)

W2 = Lebar pendekat masuk ke 2 (M)

Gambar 2.9 Bagian jalinan bundaran (Departemen PU, 1997)

20

2. Rasio Menjalin

a. Arus Masuk Bundaran

Tabel 2.4 menjelaskan arus masuk bundaran berdasarkan atas Gambar 2.8

mengenai geometrik bundaran. Pada gambar kaki persimpangan yang diberi

kode A, dimana ruas pada kaki persimpangan tersebut dilambangkan dengan

QA yang arah arusnya terdiri atas Qab (arus total dari A menuju B), Qac (arus

total dari A menuju C), Qad (arus total dari A menuju D), Qaa (arus total dari

A menuju A). Untuk penjelasan mengenai arus pada kaki persimpangan

dengan kode B, C, dan D sama seperti kaki persimpangan dengan kode A.

Tabel 2.4 Arus masuk bundaran simpang empatKaki Persimpangan Arus Arah

A QA

QabQacQadQaa

B QB

QbaQbcQbdQbb

C QC

QcaQcbQcdQcc

D QD

QdaQdbQdcQdd

Sumber : (Departemen PU, 1997)

b. Rasio Menjalin (Pw)

Berdasarkan Gambar 2.8 mengenai geometrik bundaran, selanjutnya Tabel

2.5 memperlihatkan contoh perhitungan Rasio Menjalin pada Bundaran

Simpang Empat. Untuk bagian jalinan AB, arus total masuk pada bagian

jalinan (Qt) tersebut merupakan jumlah dari arus masuk bundaran pada

pendekat A yang terdiri atas (Qab,Qac,Qad,Qaa) ditambah dengan Qbb (arus

21

dari B menuju B), Qcb (arus dari C menuju B), Qcc (arus dari C menuju C),

Qdb (arus dari D menuju B), Qdc (arus dari D menuju C), dan Qdd (arus dari

D menuju D). Untuk arus menjalin (Qw) adalah penjumlahan dari Qac (arus

dari A menuju C) ditambah dengan Qad (arus dari A menuju D), Qaa (arus

dari A menuju A), Qbb (arus dari B menuju B), Qcb (arus dari C menuju B),

dan Qdb (dan arus dari D menuju B). setelah diperoleh nilai dari arus total

masuk jalinan (Qt) dan arus menjalin (Qw), maka nilai rasio menjalin (Pw)

akan dapat dihitung dengan membagi arus menjalin dengan arus total masuk

jalinan (QWAB/QAB). Untuk penjelasan mengenai rasio menjalin pada bagian

jalinan BC, CD dan DA sama halnya seperti pada bagian jalinan AB.

Tabel 2.5 Rasio menjalin pada bundaran simpang empat

Bagianjalinan

Arus Total MasukJalinan (Qt)

Arus Menjalin (Qw)Rasio

Menjalin(Pw)

ABQAB=QA+Qbb+Qcb+Qcc+Qdb+Qdc+Qdd

Qw=Qac+Qad+Qaa+Qbb+Qcb+Qdb

Pw=QWAC/QAB

BCQBC=QB+Qcc+Qdc+Qdd+Qac+Qad+Qaa

Qw=Qbd+Qba+Qbb+Qcc+Qdc+Qac

Pw=QWBC/QBC

CDQCD=QC+Qdd+Qad+Qaa+Qbd+Qba+Qbb

Qw=Qca+Qcb+Qcc+Qdd+Qad+Qbd

Pw=QWCD/QCD

DAQDA=QD+Qaa+Qba+Qbb+Qca+Qcb+Qcc

Qw=Qdb+Qdc+Qdd+Qaa+Qba+Qca

Pw=QWDA/QDA

Sumber : (Departemen PU, 1997)

Berdasarkan Gambar 2.8 mengenai geometrik bundaran, selanjutnya Tabel 2.5

memperlihatkan contoh perhitungan rasio menjalin pada bundaran simpang empat.

Untuk bagian jalinan AB, arus total masuk pada bagian jalinan (Qt) tersebut

merupakan jumlah dari arus masuk bundaran pada pendekat A yang terdiri atas

(Qab,Qac,Qad,Qaa) ditambah dengan Qbb (arus dari B menuju B), Qcb (arus dari C

menuju B), Qcc (arus dari C menuju C), Qdb (arus dari D menuju B), Qdc (arus dari

D menuju C), dan Qdd (arus dari D menuju D). Untuk arus menjalin (Qw) adalah

penjumlahan dari Qac (arus dari A menuju C) ditambah dengan Qad (arus dari A

22

menuju D), Qaa (arus dari A menuju A), Qbb (arus dari B menuju B), Qcb (arus dari

C menuju B), dan Qdb (dan arus dari D menuju B). Setelah diperoleh nilai dari arus

total masuk jalinan (Qt) dan arus menjalin (Qw), maka nilai rasio menjalin (Pw) akan

dapat dihitung dengan membagi arus menjalin dengan arus total masuk jalinan

(QWAB/QAB). Untuk penjelasan mengenai rasio menjalin pada bagian jalinan BC, CD

dan DA sama halnya seperti pada bagian jalinan AB.

3. Kapasitas Nyata (C)

Rumus untuk menghitung Kapasitas Nyata adalah :

C= C0 x FCS x FRSU (smp/jam) (2.3)

Dimana :

C = Kapasitas Nyata (Smp/jam)

C0 = Kapasitas Dasar (Smp/jam)

FCS = Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

FRSU = Faktor Penyesuaian Lingkungan Jalan, Hambatan samping

dan rasio kendaraan tak bermotor

4. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)

Ukuran Kota Penduduk (Juta) FCS

Sangat Kecil < 0,1 0,82

Kecil 0,1-0,5 0,88

Sedang >0,5-1 0,94

Besar >1-3 1

Sangat Besar >3 1,05

Sumber : (Departemen PU, 1997)

23

5. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping danRasio Kendaran Tak Bermotor

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan rasiokendaraan tak bermotor

Kelas tipe lingkunganjalan RE

Kelas hambatansamping

Rasio kendaraan tak bermotor0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25

Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71

Permukiman Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses terbatas Tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75

Sumber : (Departemen PU, 1997)

Menurut (Departemen PU, 1997) Tabel 2.7 disusun berdasarkan anggapan bahwa

pengaruh kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan

ringan, yaitu empum = 1,0. Persamaan berikut dapat digunakan jika pemakai

mempunyai bukti bahwa empum ≠ 1,0 yang mungkin merupakan keadaan jika

kendaraan tak bermotor tersebut terutama berupa sepeda.

FRSU (pum lapangan) = FRSU (pum=0) x (1-pum x empum) (2.4)

B. Derajat Kejenuhan (DS)

Derajat kejenuhan bundaran didefinisikan sebagai derajat kejenuhan bagian

jalinan yang tertinggi atau arus total dibagi dengan kapasitas bundaran.

Dapat dirumuskan :

DS = Q/C (2.5)

Dimana :

Q = Arus total (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

2.4.3 Ukuran Kinerja Persimpangan

1. Tundaan (delay) terdiri atas :

A. Tundaan Lalu Lintas (DT) sebagai akibat dari interaksi lalu lintas dengan

gerakan yang lain dalam jalinan.

24

Untuk DS ≤ 0,6

DT = 2+2,68982 X DS – (1-DS) x 2 (2.6)

Untuk DS > 0,6

DT = (1/(0,59186 – 0,52525 x DS) – (1-DS) x 2)) (2.7)

B. Tundaan Geometrik (GD) sebagai akibat dari perlambatan dan percepatan

lalu lintas, dihitung dengan rumus :

DT = (1-DS) x 4+DS x 4 (2.8)

Gambar 2.9 Tunda Lalu-Lintas Bagian Jalinan Vs Derajat Kejenuhan (Departemen PU,1997)

2. Tundaan Lalu Lintas Bundaran (DTR)Didefinisikan sebagai tundaan rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam

bundaran. Dapat dirumuskan :DTR = ∑ (Qi x Dti) / Qmax (2.9)

Dimana :

DTR = Tundaan lalu lintas bundaran (det/smp)

Qi = Total kendaraan memasuki jalinan (smp/jam)

Qmax = Total kendaraan memasuki persimpangan (smp/jam)

Dti = Tundaan lalu lintas pada bagian jalinan (det/smp)

25

3. Tundaan Bundaran (DR)

Definisikan sebagai tundaan lalu lintas rata-rata per kendaraan yang masuk ke

dalam bundaran ditambah dengan tundaan geometrik. Dapat dirumuskan :

DR = DTR + DG (2.10)

Dimana :

DTR = Tundaan lalu lintas bundaran (det/smp)

DG = Tundaan geometrik pada bagian jalinan (det/smp)

4. Peluang Antrian

Peluang antrian dhitung dari hubungan empiris antara peluang antrian dan derajat

kejenuhan seperti terlihat pada Gambar 2.10, dapat juga dihitung dengan

menggunakan rumus :

Batas Atas (%P) = 26,65 DS-55,55 DS2 + 108,57 DS3 (2.11)

Batas Bawah (%P ) = 9,41 x DS + 29,967 x DS4,619 (2.12)

Gambar 2.10 Peluang antrian vs derajat kejenuhan QP vs DS (Departemen PU, 1997)

26

2.4.4 Penelitian Perilaku Lalu Lintas

Dalam MKJI cara yang paling tepat untuk menilai hasil kinerja persimpangan

adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati dan

membandingkannya dengan pertumbuhan lalu lintas dan umur fungsional yang

diinginkan dari simpang tersebut. Jika derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi,

maka perlu dilakukan perubahan asumsi yang terkait dengan penampang melintang

jalan dan sebagainya serta perlu diadakan perhitungan ulang. Jika untuk penelitian

operasional persimpangan, maka nilai derajat kejenuhan yang tinggi mengindikasikan

ketidakmampuan persimpangan dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan.

Namun tidak secara spesifik menyebutkan tingkat pelayanan. Berdasarkan TRB

(1994), tingkat pelayanan untuk simpang tak bersinyal diukur berdasarkan nilai

tundaan seperti diperlihatkan pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Hubungan tundaan dengan tingkat pelayanan pada persimpangan tidakbersinyal

TingkatPelayanan Kondisi Lapangan

Tundaan(dtk/smp)

AArus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudidapat melewati persimpangan yang diinginkantanpa harus berhenti.

D<5

BSudah mulai terdapat kendaraan yang berhentisaat melewati persimpangan, namun dalamjumlah yang sangat sedikit.

5<D<10

CPada kondisi ini, jumlah kendaraan yang berhenticukup signifikan, tetapi ada juga kendaraan yangdapat melewati persimpangan ini tanpa harusberhenti.

10<D<20

DPada kondisi ini banyak kendaraan yang berhentisaat melewati persimpangan dan pengaruh darikemacetan mulai terlihat.

20<D<30

EPada kondisi ini tundaan sudah tidak dapatditerima

30<D<45

F

Ini merupakan kondisi yang paling buruk,tundaan sudah tidak dapat diterima, arus yangmelewati persimpangan sudah melebihi kapasitaspersimpangan tersebut.

D>45

Sumber : TRB, 1994