BAB II KAJIAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab II ini berisi kajian teori tentang belajar yang meliputi hakikat
belajar, teori belajar, hakikat pembelajaran, prinsip pembelajaran, model
pembelajaran. Selain itu, terdapat juga kajian pustaka mengenai proses
belajar dan hasil belajar. Bab ini juga membahas mengenai Matematika.
Terdapat ulasan mengenai model pembelajaran Problem Solving Learning
dengan Math Menu yang meliputi pengertian model pembelajaran
Problem Solving Learning dan Math Menu, alasan peneliti menggunakan
model pembelajaran Problem Solving Learning dengan Math Menu dan
sintak penerapan model pembelajaran Problem Solving Learning dengan
Math Menu. Penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan hipotesis
tindakan akan tersusun secara sistematis dalam Bab II ini.
2.1 Belajar
2.1.1 Hakikat Belajar
Menurut Hilgard dan Bower (dalam Purwanto, 2002: 84), “belajar
berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu
situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang
dalam situasi itu, perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar
kecenderungan respons pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan
sesaat, misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya.” Menurut
Gagne (dalam Purwanto, 2002: 84), “belajar terjadi apabila suatu situasi
stimulus bersama dengan isi ingatan memengaruhi siswa sehingga
perbuatannya berubah dari waktu ke waktu sebelum ia mengalami situasi
itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.” Menurut Travers (dalam
Suprijono, 2009: 2), “belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian
tingkah laku.” Selain itu menurut Morgan (dalam Purwanto, 2002: 84),
“belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku
yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.” Menurut
7
Slameto, “belajar ialah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.”
Selanjutnya Anthony Robbins (dalam Trianto, 2009 : 15)
mendefinisikan “belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara
sesuatu (pengetahuan) yang baru.” Sedangkan menurut Jerome Brunner
(dalam Romberg & Kaput, 1999), “belajar adalah suatu proses aktif
dimana siswa membangun (mengkonstruk) yang sudah dimilikinya.”
Secara lengkap Slavin (dalam Trianto, 2009 : 16) mendefinisikan belajar
sebagai “learning is usually defined as a change in an individual caused
by experienced. Changes caused by development (such as growing taller)
are not instances of learning. Neither are characteristics of individuals
that are present at birth (such as reflexes and respons to hunger or pain).
However, humans do so much learningfrom the day of their birth (and
some say earlier) that learning and development are inseparably linked.”
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah suatu proses dari sebuah aktivitas yang dilakukan oleh seorang
individu untuk membuat perubahan pada diri dari setiap individu, yang
awalnya belum tahu menjadi tahu, yang awalnya tidak mampu menjadi
mampu, yang awalnya belum terampil menjadi terampil, yang bisa
membuat perubahan perilaku pada diri dari setiap individu.
2.1.2 Teori Belajar
Terdapat berbagai teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya:
a) Teori Gestalt
Teori yang dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman ini
berpendapat bahwa yang penting dalam belajar adalah adanya
8
penyesuaian pertama yang memperoleh response yang tepat untuk
memecahkan problem yang dihadapi. Menurutnya, belajar bukan
mengulangi hal-hal yang harus dipelajari tetapi mengerti atau
memperoleh insight.
Sifat-sifat belajar dengan insight ialah: (1) Insight
tergantung dari kemampuan dasar. (2) Insight
tergantung dari pengalaman masa lampau yang
relevan. (3) Insight hanya timbul apabila situasi
belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala
aspek yang perlu dapat diamati. (4) Insight adalah
hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit.
(5) belajar dengan insight dapat diulangi. (6) Insight
sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi
situasi-situasi yang baru.
b) Teori Belajar J. Bruner
Bruner mengatakan bahwa belajar tidak untuk mengubah tingkah
laku seseorang, tetapi untuk mengubah kurikulum sekolah menjadi
sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih banyak dan
mudah. Menurutnya, seharusnya sekolah menyediakan kesempatan
bagi siswanya untuk maju dnegan cepat sesuai dengan kemampuan
masing-masing siswa dalam mata pelajaran tertentu. Di dalam
proses belajar hal terpenting yang harus dimiliki setiap siswa
adalah partisipasi aktif, untuk itu Bruner menghargai adanya
perbedaan kemampuan. Bruner berpendapat bahwa untuk
meningkatkan proses belajar kita memerlukan dengan apa yang
dinamakan lingkungan (discovery learning environment), ialah
“lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-
penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip
dengan yang sudah diketahui.” Di dalam lingkungan tersebut, siswa
akan menemui masalah dan hambatan yang bermacam-macam
tergantung usia masing-masing (berbeda-beda). Selain itu, di dalam
lingkungan banyak hal yang dipelajari siswa dan digolongkan
menjadi:
9
(1) Enactive : seperti belajar naik sepeda, yang harus
didahului dengan bermacam-macam keterampilan
motorik, (2) iconic : seperti mengenal jalan yang
menuju ke pasar, mengingat di mana bukunya yang
penting diletakkan, (3) symbolic : seperti
menggunakan kata-kata, menggunakan formula.
c) Teori Belajar Piaget
Piaget menyampaikan pendapatnya tentang perkembangan proses
belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut: (1) anak mempunyai
struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan
merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai
cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati
dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan sendiri dalam
belajar. (2) perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap
tertentu, menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak. (3)
walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui
suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu
tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada anak. (4)
perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu :
kemasakan, pengalaman, interaksi sosial, equilibration. (5) ada 3
tahap perkembangan yaitu : berpikir secara intuitif ± 4 tahun,
beroperasi secara konkret ± 7 tahun, dan beroperasi secara formal ±
11 tahun.
d) Teori dar R. Gagne
Gagne memberikan dua definisi terhadap masalah belajar, yaitu :
“belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam
pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku dan belajar
adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh
dari instruksi.” Manusia sudah mulai belajar sejak ia dilahirkan.
Sejak bayi manusia sudah belajar untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Kemudian dilanjutkan dnegan mulai belajar untuk
berbicara dan menggunakan bahasa. Sebenarnya ada dua tugas
anak dalam belajar, tugas yang pertama adalah meneruskan
10
sosialisasi dan tugas yang kedua adalah belajar untuk menggunakan
simbol-simbol yang menyatakan keadaan sekelilingnya. Gagne
juga menyatakan bahwa segala sesuatu yang dipelajari manusia
dapat dibagi menjadi lima kategori atau yang lebih sering disebut
sebagai “The domains of learning”, yaitu:
(1) keterampilan motoris yang memerlukan koordinasi
dari berbagai gerakan badan, misalnya melempar bola,
main tenis, mengemudi mobil, mengetik huruf R.M, dan
sebagainya. (2) informasi verbal yang dapat dijelaskan
orang melalui berbicara, menulis, menggambar; dalam
hal ini dapat dimengerti bahwa untuk mengatakan
sesuatu ini perlu inteligensi. (3) kemampuan intelektual
adalah kemampuan belajar manusia yang mengadakan
interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan
simbol-simbol, misalnya membedakan huruf m dan n,
meyebut tanaman yang sejenis. (4) strategi kognitif
merupakan organisasi keterampilan internal yang perlu
untuk belajar mengingat dan berpikir. Kemampuan ini
berbeda dengan kemampuan intelektual karena
ditujukan ke dunia luar, dan tidak dapat dipelajari hanya
dengan berbuat satu kali serta memerlukan perbaikan-
perbaikan secara terus menerus. (5) sikap adalah
kemampuan yang tidak dapat dipelajari dengan ulang-
ulangan, tidak tergantung atau dipengaruhi oleh
hubungan verbal seperti halnya domain sikap yang lain.
Sikap ini penting dalam proses belajar, tanpa
kemampuan ini belajar tak akan berhasil dengan baik.
2.1.3 Hakikat Pembelajaran
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 17) mendefinisikan kata
“pembelajaran” berasal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang
diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut, sedangkan
“pembelajaran” berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau
makhluk hidup belajar. Menurut Kimble dan Garmezy (dalam
Pringgawidagda, 2002: 20), “pembelajaran adalah suatu perubahan
perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-
ulang.” Menurut Arif Sadiman (dalam Cecep Kustandi dan Bambang
Sutjipto, 2011: 5), “pembelajaran adalah usaha-usaha yang terencana
11
dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar
dalam diri siswa.” Selain itu, Rombepajung (dalam M. Thobroni: 2015:
17) berpendapat bahwa “pembelajaran adalah pemerolehan suatu mata
pelajaran atau pemerolehan suatu keterampilan melalui pelajaran,
pengalaman, atau pengajaran.” Selanjutnya menurut Trianto,
“pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara simpel dapat
diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan
pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran
hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan
siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya)
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Wenger (dalam Miftahul
Huda, 2013 : 2) menyatakan bahwa “pembelajaran bukanlah aktivitas,
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika ia tidak melakukan aktivitas
yang lain. Pembelajaran juga bukanlah sesuatu yang berhenti dilakukan
oleh seseorang. Lebih dari itu, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dan
pada level yang berbeda-beda, secara individual, kolektif, ataupun sosial.”
Menurut Gagne (dalam Miftahul Huda, 2013 : 3), “pembelajaran dapat
diartikan sebagai proses modifikasi dalam kapasitas manusia yang bisa
dipertahankan dan ditingkatkan levelnya.”
Dari pendapat diatas hakikat pembelajaran adalah sebuah proses
individu melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan, baik itu
perubahan sikap, perubahan pola pikir, perubahan tingkah laku, perubahan
pemikiran yang lebih baik, dan perubahan kehidupan pada setiap individu.
Serta usaha untuk membelajarkan seseorang agar menghasilkan hasil
perubahan yang diharapkan.
12
2.1.3 Prinsip Pembelajaran
Menurut Zaenal Arifin (2011: 182), prinsip pembelajaran terbagi
menjadi dua yaitu prinsip umum pembelajaran dan prinsip khusus
pembelajaran. Prinsip umum pembelajaran yaitu:
(1) Belajar menghasilkan perubahan perilaku peserta
didik yang relatif permanen atau tetap, (2) Peserta didik
memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang
merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan, (3)
Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh
alami linear sejalan proses kehidupan.
Prinsip khusus pembelajaran yaitu:
(1) Prinsip perhatian dan motivasi untuk siswa
merupakan dalam proses pembelajaran memiliki peranan
yang sangat penting sebagai langkah awal dalam memicu
aktivitas-aktivitas belajar.” Menurut Zaenal Arifin (2011:
183), “perhatian adalah memusatkan pikiran dan perasaan
emosional secara fisik dan psikis terhadap sesuatu yang
menjadi pusat perhatiannya.” Dari sini siswa sangat
memerlukan perhatian dari guru, agar pikirannya bisa
fokus pada pelajaran yang disampaikan guru dan
merasakan nyaman dalam menerima pelajaran. Menurut
Zaenal Arifin (2011: 183), “motivasi adalah dorongan atau
kekuatan yang dapat menggerakkan sesesorang untuk
melakukan sesuatu.” Siswa juga memerlukan motivasi,
tidak semua siswa kehidupannya baik dan kondisi
lingkungan maupun keluarga sesuai dengan umuran
mereka, maka dari itu motivasi dari guru atau dari sekolah
sangat penting bagi setiap anak didik dalam menjalani
sekolah. Menurut H.L Petri (dalam Zaenal Arifin 2011:
183), “motivation is the concept we use when we describe
the forces acting on or within an organism to initiate and
direct behavior,” (2) Prinsip keaktifan merupakan
kecenderungan psikologi saat ini menyatakan bahwa anak
adalah makhluk yang aktif. Belajar pada hakikatnya adalah
proses aktif dimana seseorang melakukan kegiatan secara
sadar untuk mengubah suatu perilaku secara tidak sadar
atau secara sadar, terjadi kegiatan merespon terhadap
setiap pembelajaran.
13
Menurut gage & Berliner (dalam Zaenal Arifin 2011: 183),
“teori kognitif menyatakan bahwa belajar menunjukkan adanya
jiwa yang aktif, jiwa tidak sekadar merespons informasi, namun
jiwa mengolah dan melakukan transformasi informasi yang
diterima.” Penilaian kepada siswa secara kognitif sangat
diperlukan agar siswa benar-benar mampu merespons informasi
materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dan dapat
menerimanya dengan baik. Sedangkan menurut Tutik Rachmawati
dan Daryanto (2015: 155), “prinsip pembelajaran adalah suatu
landasan, konsep dasar, dan sumber yang menjadikan proses
belajar yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik lebih
dinamis dan terarah sesuai dengan tujuannya.” Dalam
penerapannya, prinsip ini memerlukan usaha guru untuk membuat
siswa bisa berinteraksi baik dengan guru selama proses
pembelajaran berlangsung dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang disampaikan.
Menurut beberapa ahli pendidikan (dalam Tutik
Rachmawati dan Daryanto 2015: 155), prinsip-prinsip umum
pembelajaran yaitu:
1) Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan penting dalam
kegiatan belajar, karena perhatian merupakan faktor yang
besar pengaruhnya, jika peserta didik mendapatkan
perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari, maka
peserta didik dapat mengarahkan dirinya sendiri pada tugas
yang diberikan. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan
dan mengarahkan seseorang melakukan aktivitas. Motivasi
berkaitan erat dengan minat, peserta didik yang memiliki
minat pada suatu bidang studi, maka peserta didik tersebut
akan tertarik perhatiannya pada sebuah bidang studi
tersebut dan timbul rasa untuk mempelajarinya (motivasi).
2) Keaktifan
Menurut pandangan psikologi, anak adalah
makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk
14
melakukan sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya
sendiri.
3) Keterlibatan Langsung/Pengalaman
Belajar harus dilakukan oleh peserta didik itu
sendiri, sehingga pembelajaran harus dibuat secara unik
dan menarik agar peserta didik dapat langsung mengikuti
proses pembelajarannya sendiri, melihat sendiri, dan
mencobanya sendiri. Sebagaimana menurut seorang filsof
China Confocius (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto
2015: 157), bahwa: Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa
yang saya lihat, saya ingat.
4) Pengulangan
Mengulang salah satu faktor yang besar
pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya
pengulangan “bahan yang belum begitu dikuasai serta
mudah terlupakan” akan tetap tertanam pada otak
seseorang. Teori yang menekankan prinsip pengulangan
adalah teori koneksionisme Thordike, dalam teori ini ia
mengemukakan bahwa belajar adalah pembentukan
hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan
terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar
peluang timbulnya respons benar.
5) Tantangan
Bahan belajar yang baru, inovatif, kreatif, dan
menantang akan membuat peserta didik tertantang dan
dengan sendirinya meraka akan lebih giat dan sungguh-
sungguh dalam belajar.
6) Balikan dan Penguatan
Ketika peserta didik melakukan suatu perbuatan
yang berefek baik maka mereka akan dengan sendirinya
mengulanginya lagi, dan apabila mereka melakukan
perbuatan yang berefek jelek, mereka akan dengan
sendirinya meninggalkannya. Namun, kadangkala
dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang
menyenangkan tapi juga yang tidak menyenangkan, dalam
memperkuat belajar.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa
prinsip pembelajaran adalah proses yang seharusnya
menghasilkan perubahan, seperti perubahan tingkah laku,
perubahan yang menghasilkan pencapaian kualitas, serta
pemberian perubahan yang menghasilkan perhatian dan motivasi,
15
keaktifan, pengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan
penguatan secara signifikan.
2.1.4 Model Pembelajaran
Menurut Meyer, W. J. (dalam Trianto, 2009: 21), secara kaffah
“model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan
untuk merepresentasikan sesuatu hal. Sesuatu yang nyata dan dikonversi
untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif.” Sebagai contohnya adalah
sebuah ide yang nantinya akan menjadi sebuah karya. Sedangkan yang
dimaksud dengan model pembelajaran menurut Joyce (dalam Trianto,
2009: 22) adalah “suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelasatau
pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer,
kurikulum, dan lain-lain.” Joyce juga menyatakan bahwa model
pembelajaran ini akan mengarahkan kita untuk mendesain sebuah
pembelajaran yang sedemikian rupa agar peserta didik dapat mencapai
tujuan ari pembelajaran itu. Selain itu, Soekamto, dkk (dalam Nurulwati,
2000: 10) mengemukakan bahwa yang dimaksud model pembelajaran
adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar.” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan
Kauchak (dalam Trianto, 2009: 22), bahwa “model pembelajaran
memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.” Selanjutnya
Arends (dalam Trianto, 2009: 22) menyatakan, “the term teaching model
refers to a particular approach to instruction that includes its goals,
syntax, environment, and management system.” Istilah model
pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu
termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem
16
pengelolaannya. Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2009: 23), model
pembelajaran memiliki ciri-ciri:
(1) rasional teoretis logis yang disusun oleh para
pencipta atau pengembangnya; (2) landasan
pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar
(tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah
laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut
dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan (4)
lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan
pembelajaran itu dapat dicapai.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah sebuah alat yang
didesain sedemikian rupa dan disusun secara sistematis untuk sebuah
pelajaran tertentu yang digunakan untuk mencapai tujuan dari
pembelajaran itu sendiri.
2.2 Proses Belajar
2.2.1 Hakikat Proses Belajar
Menurut Bruner (dalam S. Nasution 2008: 9), dalam proses belajar
dapat dibedakan menjadi tiga fase, yakni:
(1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Informasi,
dalam tiap pelajaran kita peroleh informasi, ada yang
menambah pengetahuan, ada yang memperhalus dan ada
yang memperdalamya, ada pula informasi yang
bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui.
Transformasi, informasi itu harus dianalisis, diubah ke
dalam bentuk yang lebih abstrak agar dapat digunakan
untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi, kita menilai
sampai manakah pengetahuan yang kita peroleh dan
transformasi itu dapat kita manfaatkan.
Manusia membutuhkan dunia untuk mengembangkan dan
melangsungkan hidupnya, menyesuaikan diri, dan berinteraksi dengan
dunia luar. Untuk itu, Purwanto (dalam Thobroni, 2015: 25-27)
menyampaikan beberapa macam cara penyesuaian diri yang dilakukan
17
manusia dengan sengaja maupun tidak sengaja dan bagaimana
hubungannya dengan belajar yaitu:
(1) belajar dan kematangan, dimana kematangan itu akan
datang dengan sendirinya dan terjadi dari dalam
sedangkan belajar lebih membutuhkan kegiatan yang
disadari, suatu aktivitas, latihan-latihan, dan
konsentrasi dari yang bersangkutan dan terjadi karena
perangsangan-perangsangan dari luar; (2) belajar dan
penyesuaian diri yang juga merupakan suatu proses
yang dapat mengubah tingkah laku manusia, terdiri
atas penyesuaian diri atuoplastis atau perubahan diri
yang disesuaikan dengan lingkungan dan alloplastis
atau perubahan lingkungan yang disesuaikan dengan
kebutuhan dirinya; (3) belajar dan pengalaman adalah
suatu proses yang dapat mengubah sikap, tingkah laku,
dan pengetahuan, namun belajar dan memperoleh
pengalaman adalah hal yang berbeda dimana
mengalami sesuatu belum tentu belajar tetapi tiap-tiap
belajar berarti mengalami; (4) belajar dan bermain
yang sama-sama dapat mengubah tingkah laku, sikap,
dan pengalamannya, perbedaannya adalah jika bermain
adalah kegiatan khusus anak-anak dan tujuannya untuk
waktu itu saja, sedangkan belajar adalah sebuah
kegiatan umum yang dilakukan manusia sejak lahir
sampai mati dan tujuannya adalah untuk masa depan;
(5) belajar dan pengertian, dimana ada proses belajar
yang berlangsung dengan otomatis tanpa pengertian
tetapi ada pula pengertian yang tidak menimbulkan
proses belajar; (6) belajar dan menghafal atau
mengingat, tidak ada jaminan bahwa seseorang yang
menghafal atau mengingat adalah sedang belajar
karena untuk mengetahui sesuatu tidak cukup jika
hanya dengan menghafal sedangkan belajar adalah
menyediakan pengalaman-pengalaman untuk
menghadapi persoalan di masa depan; (7) belajar dan
latihan, walaupun sama-sama menghasilkan perubahan
tingkah laku, sikap, dan pengetahuan tetapi terdapat
pula proses belajar yang terjadi tanpa latihan dan ada
pula belajar yang hanya dengan pengertian tanpa
latihan.
Dari beberapa pengertian tersebut, hakikat proses belajar adalah
proses belajar yang dibedakan menjadi 3 fase yaitu informasi, transformasi,
dan evaluasi. Informasi sesuai dengan informasi yang diperoleh kemudian
18
diperhalus dan diperdalam. Transformasi merupakan proses analisis agar
dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi merupakan
penilaian untuk pengetahuan yang diperoleh dan transformasi yang didapat.
Selama proses belajar itu, manusia juga membutuhkan penyesuaian diri
terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan belajar, baik secara sengaja
maupun tidak sengaja.
2.2.2 Hasil Belajar
Menurut Suprijono (dalam M. Thobroni, 2015: 20), “hasil belajar
adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap,
apresiasi, dan keterampilan.” Berdasar pemikiran Gagne (dalam M.
Thobroni, 2015: 20-21), hasil belajar berupa:
(1) informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan
pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun
tertulis. (2) keterampilan intelektual yaitu kemampuan
mempresentasikan konsep dan lambang. (3) strategi
kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan
aktivitas kognitifnya. (4) keterampilan motorik yaitu
kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam
urusan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani. (5) sikap adalah kemampuan menerima atau
menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek
tersebut.
Menurut Bloom (dalam M. Thobroni, 2015: 21-22), “hasil belajar
mencakup kemampuan (1) kognitif yang mencakup knowledge,
comprehension, application, analysis, synthesis, evaluating, (2) afektif
yang mencakup receiving, responding, valuing, organization,
characterization, dan (3) psikomotorik yang mencakup initiatory, pre-
routine, rountinized, keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial,
manajerial, dan intelektual.”
UNESCO (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140),
“mengemukakan empat pilar hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai
oleh pendidikan, yaitu learning to know, learning to be, learning to life
19
together, dan learning to do.” Siswa sangat perlu belajar untuk tahu segala
hal, belajar untuk menjadi yang diinginkan, belajar untuk hidup bersama
yang lain, dan belajar untuk melakukan sesuatu yang diinginkan (aktif).
Menurut Bloom (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140),
“menyebutnya dengan tiga ranah hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Aspek kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu, (1)
Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) Pengertian, (4) Aplikasi, (5) Analisis, (6)
Sintesis, dan yang terakhir sebagai tambahan ada evaluasi.”
Selain itu, menurut Lindgren (dalam M. Thobroni, 2015: 22), “hasil
pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hasil belajar
adalah sebuah produk yang dihasilkan manusia melalui sebuah proses yang
dinamakan belajar.
Sudjana (2005: 34) menyebutkan bahwa “hasil belajar siswa pada
hakikatnya adalah perubahan mencakup bidang kognitif, afektif, dan
psikomotoris yang berorientasi pada proses belajar mengajar yang dialami
siswa.” Maksudnya adalah perubahan signifikan yang dialami oleh siswa
yang meliputi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor
(keterampilan) didapat setelah adanya proses pembelajaran.
Proses perubahan belajar dapat terjadi dari yang paling sederhana
sampai yang paling kompleks, yang bersifat pemecahan masalah, dan
pentingnya peranan kepribadian dalam proses serta hasil belajar. Variasi
dalam Cognitive Entry Behaviours, Afektif Entry Characteristic, dan
kualitas pengajaran menentukan hasil belajar, variabel kualitas pengajaran
yang tercemin dalam penyajian bahan petunjuk latihan (tes formatif),
proses balikan, dan perbaikan penguatan partisipasi siswa harus sesuai
dengan kebutuhan siswa, oleh Bloom (dalam Max Darsono, 1989: 88,
dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140). Secara umum, menurut
20
Deni Darmawan dan Permasih(2011: 140), hasil belajar dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:
Faktor internal yaitu, 1) Faktor fisiologis yang bersifat
bawaan yang diperoleh dari mendengar, melihat, cacat
tubuh, dan lain-lain, 2) Faktor psikologis bersifat
keturunan yang terdiri atas faktor intelektual: faktor
potensial yaitu inteligensi dan bakat, dan faktor non-
intelektual yaitu kecakapan nyata dan prestasi, 3) Faktor
kematangan baik fisik maupun psikis yang tergolong faktor
eksternal seperti faktor sosial, faktor budaya, faktor
lingkungan fisik, dan faktor spiritual.
Selama proses belajar mengajar tentu tidak selalu berjalan dengan
lancar, tetapi ada pula masalah-masalah yang muncul. Masalah belajar
adalah masalah bagi setiap manusia, dengan belajar manusia akan
memperoleh keterampilan, kemampuan sehingga terbentuklah sikap dan
bertambahnya ilmu pengetahuan. Jadi hasil belajar itu adalah suatu hasil
nyata yang dicapai oleh siswa dalam usaha menguasai kecakapan jasmani
dan rohani di sekolah yang diwujudkan dalam bentuk raport pada tiap
semester.
Untuk mengetahui perkembangan hasil yang telah dicapai oleh
seseorang dalam belajar maka harus dilakukan evaluasi. Untuk menentukan
kemajuan yang dicapai maka harus ada kriteria (patokan) yang mengacu
pada tujuan yang telah ditentukan sehingga dapat diketahui seberapa besar
pengaruh strategi belajar mengajar yang telah diterapkan terhadap
keberhasilan belajar siswa. Hasil belajar siswa menurut W.Winkel (dalam
Psikologi Pengajaran 1989: 82) adalah “keberhasilan yang dicapai oleh
siswa, yaitu prestasi belajar siswa di sekolah yang diwujudkan dalam
bentuk angka.” Selain itu, Purwanto (2010: 46) mendefinisikan hasil
belajar sebagai “pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti
proses belajar mengajar.” Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya
pendidikan, sehingga hasil yang diukur sangat tergantung pada tujuan
pendidikan.
21
Meurut Winarno Surakhmad (dalam Interaksi Belajar Mengajar,
1980: 25), “hasil belajar siswa bagi kebanyakan orang berarti ulangan,
ujian, atau tes.” Maksud ulangan tersebut ialah untuk memperoleh suatu
indek dalam menentukan keberhasilan siswa. Jadi kesimpulannya, hasil
belajar adalah prestasi belajar yang dicapai oleh siwa melalui proses
kegiatan belajar mengajar dengan membawa suatu perubahan dan
pembentukan tingkah laku seseorang. Suatu proses belajar mengajar bisa
dikatakan berhasil maupun tidak, hal ini dikarenakan setiap guru
mempunyai pandangan yang berbeda-beda yang sejalan dengan prinsipnya
masing-masing. Namun untuk menyamakan persepsinya, sebaiknya kita
berpedoman pada kurikulum yang sudah berlaku saat ini. Intinya adalah
suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pembelajaran dapat
dinyatakan berhasil apabila tujuan pembelajaran khususnya tercapai atau
terpenuhi.
Untuk mengetahui tercapai atau tidaknya suatu tujuan pembelajaran
khusus, guru perlu mengadakan tes formatif pada setiap akan menyajikan
suatu bahasan kepada siswa. Penilaian tes formatif ini untuk mengetahui
sejauh mana siswa telah menguasai tujuan pembelajaran khusus yang ingin
dicapai. Jadi fungsi penelitian ini adalah untuk memberikan umpan balik
kepada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan
melaksanakan program remedial bagi siswa yang belum berhasil. Karena
itulah, suatu proses belajar mengajar dinyatakan berhasil apabila hasilnya
memenuhi tujuan pembelajaran khusus dari bahan tersebut.
2.3 Matematika
Kata matematika berasal dari bahasa Latin mathematika, awalnya
diambil dari bahasa Yunani mathematike yang artinya mempelajari.
Mathematika berasal dari kata mathema yang berarti pengetahuan atau
ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan
kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya
22
belajar (berpikir). Berdasarkan asal katanya, matematika berarti ilmu
pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih
menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan
dari hasil eksperimen atau hasil observasi. Matematika terbentuk karena
pikiran-pikiran manusia, yang berhungan dengan ide, proses, dan
penalaran (Ruseffendi, 1980)
Menurut Sukayati (2009) Matematika merupakan disiplin ilmu
yang mempunyai sifat khas bila dibandingkan dengan disiplin ilmu yang
lain. Secara singkat dikatakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-
ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan
penalarannya deduktif. Hal yang demikian tentu akan membawa akibat
pada terjadinya proses pembelajaran matematika.
Plato (dalam Abdul Halim Fathani, 2009) berpendapat bahwa
matematika adalah identik dengan filsafat untuk ahli pikir, walaupun
mereka mengatakan bahwa matematika harus dipelajari untuk keperluan
lain. Objek matematika ada di dunia nyata, tetapi terpisah dari akal. Ia
mengadakan perbedaan antara aritmatika (teori bilangan) dan logistik
(teknik berhitung) yang diperlukan orang. Dengan demikian, matematika
ditingkatkan menjadi mental abstrak pada objek-objek yang ada secara
lahiriah, tetapi yang ada hanya mempunyai representasi yang bermakna.
2.4 Problem Solving Learning berbantuan Math Menu
2.4.1 Pengertian Problem Solving Learning
Hanlie Murray, Alwyn Olivier, dan Piet Human (1998: 169)
menjelaskan bahwa “Pembelajaran Penyelesain Masalah (Problem Solving
Learning/PSL) merupakan salah satu dasar teoretis dari berbagai strategi
pembelajaran yang menjadikan masalah (problem) sebagai isu utamanya,
termasuk juga Problem Based Learning dan Problem Posing Learning.”
Menurut mereka, pembelajaran muncul ketika siswa bergumul dengan
masalah-masalah yang tidak ada metode rutin untuk menyelesaikannya.
23
Masalah, dengan demikian, harus disajikan pertama kali sebelum metode
solusinya. Guru seharusnya tidak terlalu ikut campur ketika siswa sedang
mencoba menyelesaikan masalah. Malahan, guru sebaiknya mendorong
siswa untuk membandingkan metode-metode satu sama lain,
mendiskusikan masalah tersebut, dan seterusnya. Inti dari PSL adalah
praktik. Semakin sering melakukan praktik, semakin mudah siswa
menyelesaikan masalah.
2.4.2 Alasan peneliti menggunakan Problem Solving Learning
Peneliti menggunakan Problem Solving Learning karena alasan
sebagai berikut:
a. Problem Solving Learning dapat menjadi metode yang bisa memenuhi
tujuan Satuan Pendidikan SD yang tercantum pada kurikulum 2013
yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan
hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
b. Penggunaan Problem Solving Learning dianggap akan membuat
efektif karena sifat metode Problem Solving Learning yang berpusat
pada siswa diduga akan lebih efektif karena siswa kelas 2 lebih aktif,
mandiri dan sudah bisa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan
guru pada mereka. Peran guru disini nantinya adalah hanya sebagai
pelatih/mentor/fasilitator saja.
c. Siswa merasa jenuh dengan pengajaran Matematika yang terkesan
monoton, membosankan dan sulit. Problem Solving Learning dinilai
tidak akan membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya
tidak hanya akan menemukan konsep pembelajaran tersebut melalui
berbagai macam kegiatan yang inovatif sehingga Matematika
terkemas kedalam kondisi yang menyenangkan.
24
d. Problem Solving Learning merupakan metode pembelajaran
pemecahan masalah, namun sayangnya sekolah-sekolah yang masih
menggunakan KTSP sebagai kurikulumnya merasa janggal dalam
mengaplikasikannya padahal jika dicermati sebenarnya baik KTSP
maupun kurikulum 2013 mengacu pada masalah pembelajaran yang
ada.
e. Keunggulan Problem Solving Learning adalah siswa mencari konsep
atau topik secara mandiri, jadi siswa dapat terus mengingat apa yang
telah mereka temukan sendiri tanpa harus menghafal lagi.
f. Kelemahan Problem Solving Learning adalah:
1. Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama.
2. Guru tidak dapat mengetahui kemampuan siswa masing-masing.
3. Siswa kurang konsentrasi.
2.4.3 Penerapan Problem Solving Learning
Karakter utama dari Problem Solving Learning adalah
proses/produk sebagai hasil akhir pembelajaran, oleh Yohana Setiawan
(2014: 20). Menurut Yohana Setiawan (2014: 20), “guru sebaiknya
mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam menentukan proyek apa
yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik mengerjakan proyek dan tidak
merasa bosan.” Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan pembelajaran
yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil belajar
yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Problem Solving
Learning:
a. Guru membuat daftar kegiatan yaitu mengenai pelajaran yang dibahas
dan dijelaskan ke siswa.
b. Guru mengisi daftar kegiatan tersebut dengan menggunakan banyak
aktivitas-aktivitas pemecahan masalah yang menyenangkan.
25
c. Guru menjelaskan secara runtut, diawali dari apa saja yang ada pada
daftar kegiatan, apa yang harus mereka kerjakan, dan bagaimana
mereka harus menyelesaikannya.
d. Guru berjalan-jalan dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain untuk
mengecek.
2.4.4 Pengertian Math Menu
Sebuah artikel menyebutkan bahwa “Math Menu is a menu is a
collection of problem-solving activities that provide class work for one or
more weeks. The activities are organized around a particular
mathematical focus and often are continuations or extensions of activities
introduced in whole class lessons.” Jadi Math Menu atau yang dalam
Bahasa Indonesia bisa kita artikan dengan Daftar Matematika adalah
sebuah daftar dari sekumpulan aktivitas pemecahan masalah yang
disediakan di kelas dan bisa dikerjakan selama satu minggu atau lebih.
Aktivitas tersebut disusun tentang fokus matematika yang biasanya dan
sering berkelanjutan atau aktivitas tambahannya diperkenalkan pada
pembelajaran di kelas.
2.4.5 Alasan peneliti menggunakan Math Menu
Peneliti menggunakan bantuan Math Menu karena alasan sebagai
berikut:
a. Math Menu dapat menjadi media yang sesuai dengan langkah
pembelajaran scientific yang saat ini sedang ingin diterapkan di
Indonesia.
b. Penggunaan Math Menu dianggap akan membuat efektif karena
berpusat pada siswa dan diduga akan lebih efektif. Peran guru disini
nantinya adalah hanya sebagai pelatih/mentor/fasilitator saja.
c. Siswa merasa jenuh dengan pengajaran Matematika yang terkesan
monoton, membosankan dan sulit. Math Menu dinilai tidak akan
26
membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya tidak akan
merasa seperti sedang belajar matematika.
d. Keunggulan Math Menu adalah siswa mempelajari hal baru secara
mandiri mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan.
e. Kelemahan Math Menu adalah:
1. Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama karena
terkadang siswa harus mengantri untuk menyelesaikan salah satu
tugas dari daftar.
2. Guru tidak dapat mengetahui masing-masing kemampuan dari
siswa.
3. Siswa kurang konsentrasi.
4. Suasana kelas cenderung ramai karena siswa berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain.
2.4.6 Penerapan Math Menu
Karakter utama dari Math Menu adalah proses/produk sebagai hasil
akhir pembelajaran. Jadi sebaiknya guru bisa lebih memotivasi siswa
untuk lebih percaya diri dalam menyampaikan cara/metode yang ia
temukan pada saat mengerjakan Math Menu. Selain itu, proyek harus
memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi
dasar, materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks
pelaksanaan Math Menu:
1. Guru membuat Math Menu atau Daftar Tugas Matematika yang akan
dikerjakan siswa.
2. Satu daftar ini akan berisi banyak tugas yang harus dikerjakan siswa
dan berhubungan dengan materi yang dipelajari pada tema.
3. Guru menyiapkan tempat, alat, dan bahan yang nantinya akan
digunakan siswa untuk menyelesaikan daftarnya.
4. Guru membagikan Math Menu tersebut dan mulai menjelaskan kepada
siswa.
27
5. Siswa memulai untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam Math Menu
mereka.
6. Setelah selesai melakukan salah satu dari tugas yang ada pada daftar,
siswa harus menunjukkan kepada guru terlebih dahulu kemudian
meminta tanda tangan sebelum berganti ke tugas yang lain.
7. Setelah semua selesai, siswa akan meulis tentang apa yang telah
mereka pelajari melalui Math Menu.
2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Suroso dan Ika Purwati pada tahun
2014 pada siswa kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 semester 2 Tahun
Pelajaran 2013/2014 dengan judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar
Matematika Melalui Model Problem Solving Learning pada Siswa Kelas 4
SD Negeri Ketundan 2 Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Semester II
Tahun Pelajaran 2013/2014”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa
kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang
rendah. Hal ini disebabkan karena lemahnya proses pembelajaran yang ada
di kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model
pembelajaran problem solving learning pada mata pelajaran Matematika
kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang
Tahun Pelajaran 2013/2014 terbukti dapat meningkatkan hasil belajar yang
diperoleh siswa. Untuk hasil belajar matematika pada siswa SDN
Ketundan 2 Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014 terjadi peningkatan
lebih baik untuk pelajaran matematika. Prasiklus siswa yang tuntas 55%.
Pada siklus 1 siswa yang tuntas 65% dan yang tidak tuntas 35%.
Sedangkan pada siklus 2, siswa yang tuntas 95% dan yang tidak tuntas 5%.
Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa dari prasiklus naik
10% ke siklus 1. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa
mengalami kenaikan 30% dari siklus 1 ke siklus 2. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penerapan model problem solving learning dapat
28
meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas 4 SDN Ketundan
II Tahun Pelajaran 2013/2014.
Penelitian senada dilakukan oleh Petra Kristi Mulyani dan Samijo
dengan judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata
Pelajaran Matematika dengan Metode Problem Solving di Kelas III SD
Negeri Sawangan 01 Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada
Semester II Tahun 2011-2012” Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hasil belajar Matematika melalui model Problem Solving
Learning bagi siswa kelas 4 semester 2 SD Negeri Sawangan 01
Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II Tahun 2011-
2012. Menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri
Sawangan 01 Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II
Tahun 2011-2012 rendah, hal ini disebabkan penggunaan model dan
metode pembelajaran monoton, sehingga siswa merasa bosan dan enggan
untuk mengikuti pelajaran, selain itu disebabkan juga oleh kurangnya
pemanfaatan media pembelajaran sehingga siswa kurang tertarik
mengikuti kegiatan belajar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran Problem Solving Learning pada mata
pelajaran Matematika kelas 4 SD Negeri Sawangan 01 Kecamatan
Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II Tahun 2011-2012, terbukti
dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Sedangkan penelitian yang penulis lakukan saat ini, penelitian
dilakukan pada tahun 2017 pada siswa kelas 2 SD Negeri Kenteng 01
Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester I Tahun Ajaran
2017/2018 dengan judul, “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika
Melalui Model Pembelajaran Problem Solving Learning Berbantuan Math
Menu Pada Siswa Kelas 2 Sekolah Dasar Negeri Kenteng 01 Semester I
Tahun Ajaran 2017/2018”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 2
SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester
I Tahun Ajaran 2017/2018 rendah, hal ini tampak dari dominasi guru
29
dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru
menggunakan metode ceramah, sehingga mengaktifkan guru, sehingga
siswa lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan
sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran Matematika, dan
melakukan praktik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan
model pembelajaran Problem Solving Learning pada mata pelajaran
Matematika kelas 2 SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten
Kebumen Semester I Tahun Ajaran 2017/2018, dan siswa kelas 2 SD
Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester I
Tahun Ajaran 2017/2018 terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
2.6 Kerangka Pikir
Kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi dan interaksi
antara guru dan siswa. Guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang
memberikan kemudahan untuk siswa serta siswa mampu menerima yang
telah dijelaskan oleh guru. Guru menggunakan metode pembelajaran yang
monoton yaitu ceramah. Siswa hanya melihat, memperhatikan, dan
mendengarkan guru menjelaskan materi, sehingga membuat siswa lebih
banyak diam karena mengantuk dan tidak terlalu berkonsentrasi. Pada
kondisi seperti ini, siswa ketika diberi pertanyaan atau tes, hasil yang
diperoleh masih banyak dibawah KKM.
Kondisi seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satunya
yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan
hasil belajar siswa yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Problem
Solving Learning. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe
Problem Solving Learning adalah:
1. Membagi daftar kegiatan aktivitas yang harus diselesaikan oleh siswa.
2. Membagi siswa ke dalam beberapa kelompok dan mengarahkannya
untuk menuju ke kegiatan-kegiatan pemecahan masalah, hal ini
dilakukan agar siswa tidak menumpuk pada salah satu kegiatan saja.
30
3. Siswa bekerja secara individu untuk menyelesaikan daftar kegiatannya
masing-masing.
4. Siswa yang telah menyelesaikan satu kegiatan harus menemui guru
untuk meminta tanda bahwa ia sudah mengerjakan kegiatan itu.
5. Setelah semua siswa selesai melakukan semua kegiatan yang ada dalam
daftar, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing dan
mendiskusikan apa yang telah mereka kerjakan.
6. Mengecek konsep-konsep yang ditemukan oleh siswa dan meluruskan
jika ada kesalahpahaman konsep.
2.7 Hipotesis Tindakan
Dengan penggunaan model Problem Solving Learning Berbantuan
Math Menu ini, diduga terjadi peningkatan presentasi siswa tuntas KKM
dan siswa menjadi lebih positif atau menjadi sangat baik terhadap
Matematika. Adapun indikator kinerjanya adalah:
a) Guru terampil mengelola proses pembelajaran Matematika dengan
menggunakan metode Problem Solving Learning berbantuan Math
Menu.
b) Terjadi perubahan hasil belajar siswa selama mengikuti pelajaran
Matematika yang ditandai dengan aktivitas siswa yang dapat dilihat
pada lembar penilaian observasi siswa.
c) Siswa kelas 2 SD Negeri Kenteng 01 Sempor mengalami ketuntasan
belajar dalam pelajaran Matematika.