askep hipersensitivitas

34
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIPERSENSITIVITAS D I S U S U N Oleh: Kelompok 3 1. Fitri Sepriani 2. Heny Laia 3. Herlina Tarigan 4. Imelda Siburian 5. Ika Sarma 6. Rut Marlia 7. Sanriwifa Sitinjak 8. Santa Santi 9. Sofia Lorain 10.Saril Simarmata 11.Sri Nasrani 12.Sri Waty 13.Srinta Decy 14.Stefani Priscilla 15.Sulistyowati Gulo 16.Timo Rauli

description

keperawatan

Transcript of askep hipersensitivitas

Page 1: askep hipersensitivitas

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN HIPERSENSITIVITAS

D

I

S

U

S

U

N

Oleh:

Kelompok 3

1. Fitri Sepriani

2. Heny Laia

3. Herlina Tarigan

4. Imelda Siburian

5. Ika Sarma

6. Rut Marlia

7. Sanriwifa Sitinjak

8. Santa Santi

9. Sofia Lorain

10. Saril Simarmata

11. Sri Nasrani

12. Sri Waty

13. Srinta Decy

14. Stefani Priscilla

15. Sulistyowati Gulo

16. Timo Rauli

Page 2: askep hipersensitivitas

Dosen: Adventina Hutapea, S.Kep.,Ns

PROGRAM STUDI DI NERS TAHAP AKADEMIK

STIKes SANTA ELISABETH MEDAN

2015

Page 3: askep hipersensitivitas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang

bekerjamelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan

mengidentifikasi danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas

patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan

tubuh diserang patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya

hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitasadalah respon imun yang

merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitasterbagi menjadi empat

tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu reaksi

hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.

(Kowalak, 2011).

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali

bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon

imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon

imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . 

Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh

target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri

dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol

termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus

sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis

Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid

arthritis (RA) dan alergi.

(Price, 2005).

Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali

tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal

abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh

tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan.  Dengan demikian,

setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk

dihubungkan dengan penyakit manusia.Sekarang, sudah diakui bahwa respon

Page 4: askep hipersensitivitas

autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata

(kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit

oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung

dengan alloimmunity .

(Smeltzer, 2001).

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu

mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri

(self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan

tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.

(Price, 2005).

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Agar mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan klien dengan

Hipersentivitas.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar medis asuhan

keperawatan hipersentivitas.

2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar keperawatan asuhan

keperawatan hipersentivitas.

Page 5: askep hipersensitivitas

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis

2.2.1 Definisi

               Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana

tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap

bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia

bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh

dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas

tersebut disebut allergen. Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan

atau respon yang tidak tepat dan terjadi pada pajanan antigen yang kedua kali.

(Kowalak, 2011).

2.2.2 Klasifikasi

Umumnya reaksi hipersensivitas diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu :

a. Tipe I : Reaksi Anafilaksi (yang diantarai oleh IgE).

b. Tipe II : reaksi sitotoksik (spesifik jaringan)

c. Tipe III : reaksi imun kompleks (yang diperantarai oleh kompleks

imun)

d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat (yang diantarai oleh sel)

(kowalak, 2011)

2.2.3 Etiologi

            Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Faktor Internal

1. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :

asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi

imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen

makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi

makanan tertentu.

Page 6: askep hipersensitivitas

2.  Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai

janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan

dan norma kehidupan setempat.

3. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan

penyerapan alergen bertambah.

b. Fakor Eksternal

Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,

stress) atau beban latihan (lari, olah raga).

Makanan seperti telur,kacang,susu,dll.

2.2.4 Patofisiologi

Tipe I : Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi,

dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat

terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau

anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan

bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan

gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu

reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga

dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.Hipersensitivitas tipe I

diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).

Komponen seluler utama pada reaksi ini dalah mastosit atau basofil.Reaksi

ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.Uji

diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah

tes kulit (tusukan dan intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan

antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)

yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya

alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh

alergen).

Tipe II:hipersensiitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi

berupaimunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen

pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau

Page 7: askep hipersensitivitas

spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen

tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen

permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target

sel.Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang

berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan

jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel

epidermal).

Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang

dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti

hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel

darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan

glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

e. Tipe III : reaksi imun kompleks

Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk

kompleks imun.Keadaan ini menimbulkanneurotrophichemotactic factor yang

dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal.Pada umumnya

terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa

keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan

jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

Tipe IV : sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal

sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi

dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai

pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis

Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

Page 8: askep hipersensitivitas

2.2.5 Pathway

Page 9: askep hipersensitivitas

2.2.6. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala utama pada reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan

menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.

Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada

bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta

tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin

dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama

sesudah kontak.

Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas

disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih

serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan

dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.

Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda

serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga

terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia

(kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang

dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung

2.5.     Komplikasi

Eritroderma eksfoliativa sekunder

Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai

dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai

skuama (Arief Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa

sekunder :

o Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya

, sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.

o Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken

planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus ,

dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.

o Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.(Arief Mansjoer , 2000).

Page 10: askep hipersensitivitas

Abses limfedenopati

Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam

ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah

pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya

seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas,

hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac).

Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata).

Furunkulosis

Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan

yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.

Apabila furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis.Faktor

predisposisi:

o Hygiene yang tidak baik

o Diabetes mellitus

o Kegemukan

o Sindrom hiper IgE

o Carier kronik S.aureus (hidung)

o  Gangguan kemotaktik

o  Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV

o Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau

pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena

garukan atau sering bergesekan).

Rinitis

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi

paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).

Stomatitis

Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan

adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini,

penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang

diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya.

Page 11: askep hipersensitivitas

Beberapa diantaranya adalah:

Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit,

atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang

normal sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu

tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah

 Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat

besi.

 Stress

Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki

masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga

lebih rentan terhadap iritasi

Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus

penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap

jaringan mukosanya sendiri.

Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi

tiruan yang mengiritasi jaringan lunak

Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena

hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu

terutama makanan.

Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya

dari kelopak mata hingga sebagian bola mata.Etiologi:

o  Infeksi oleh virus

o  Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

o Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya

o Kelainan saluran air mata, dll.

Kolitis Bronkolitis

Hepatomegali

Page 12: askep hipersensitivitas

2.2.7 .    Pemeriksaan penunjang

RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test )

Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan

biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan

makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum

darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus,hasilnya dapat

diketahui setelah 4 jam.

Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi

oleh obat-obatan.

 Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)

Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,

misalnya  debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-

lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang

diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata

jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat

segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen

tertentu akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :

o Pasien harus dalam  keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung

antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis

obatnya.

o  Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

Skin Test (Tes kulit)

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.

Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di

tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang

segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu

tersebut terdapat kompleks IgE mast.

Patch Test (Tes Tempel)

Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit

dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru

Page 13: askep hipersensitivitas

dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan

timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.Syarat tes ini :

o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang

berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh

bergesekan.

o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid

atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim

atau salep.

o Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul

bentol, merah, gatal.

Tes Provokasi

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,

makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi

untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan

untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan

sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi

terjadinya serangan asma dan syok.

Uji gores (scratch test)

Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi

sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.

 Uji intrakutan atau  intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-

point titration/ SET)

Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.

SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal

dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga

menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit

paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian

penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.

Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya

dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini

Page 14: askep hipersensitivitas

berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari

suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes

fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak,

dan lain-lain.

2.8.       Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis

a. Adrenalin

Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan

konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain

itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:

Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar

liur.

Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.

Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung,

kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.

Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.

Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.

Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin)

1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000),

diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau

anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml

(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi

antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit

bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons

dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB  dalam 10

ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat

(1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.

b. Difenhidramin

Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja

menghambat histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat

Page 15: askep hipersensitivitas

diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular

atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal,

tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin

bukan merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap

6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak

memberikan respon dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif

atau tetap dengan kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit

perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:

·         Cairan intravena

Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%

dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila

syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat

badan.

c.     Aminofilin

Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7

mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah

paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20

menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan

melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena

selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum

harus dimonitor.

d.     Teofilin

Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi

reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya

seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang

akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya

degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat

pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-otot brunkhus dalam keadaan

kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.

e.   Vasopresor

Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan

metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai

Page 16: askep hipersensitivitas

suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi

aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila

diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain

seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena

dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama

infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

f. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak

dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa

binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun

pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek

menghambat radang, disamping menghambat respon imun dan menstabilkan

dinding sel mastosit. Dengan menghambat respons imun dapat menghambat

sintesis IgE.Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi

anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus

diberikan. Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula

diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5

mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan

sesudah 2-3 hari.

Page 17: askep hipersensitivitas

Tabel obat-obatan yang digunakan :

No Nama obat Indikasi Kontraindikasi

1. Pehacain Anestesi lokal Inflamasi lokal atau

sepsis, septikemia,

tirotoksikosis,

hipersensitif terhadap

anastesi lokal tipe amida

2. Phaminov Untuk meredakan dan

mengatasi obstruksi

saluran napas yang

berhubungan dengan

asma bronkial dan

penyakit paru kronik

lain, seperti emfisema

dan bronkitis kronis

Hipersensitivitas

terhadap derivat xantin

3. Teosal Bronkitis asmatik,

bronkitis akut atau

kronis, emfisema

pulmonar

Hipertiroid,

tirotoksikosis

4. Hydrocortisone Dermatitis atopik,

kontak, alergi; pruritus

anogenital,

neurodermatitis

Penyakit virus, infeksi

jamur dan bakteri pada

kulit, akne, dermatitis

perioral, laktasi

Page 18: askep hipersensitivitas

2.2. Konsep Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

1. Identitas klien

Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan,

agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose

medis.

2. Keluhan utama

Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.

3.  Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak,

tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.

4. Riwayat penyakit dahulu

Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri

perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada

kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di

RS atau pengobatan tertentu.

5.  Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami

penyakit yang sama.

6. Riwayat psikososial

Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga,

dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang

mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi

pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat

ini, dan sistem nilai kepercayaan.

7. Pemeriksaan fisik

a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan

kronik, bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit

daerah fleksor.

b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang

berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan

penyakit atropi.

Page 19: askep hipersensitivitas

c.  Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.

d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic

crease, allergic shiners, allergic facies.

e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa

orofaring kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam,

dagu yang kecil serta tulang maksila yang menonjol kadang-

kadang disebabkan alergi kronik.

f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.

Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi,

penggunaan otot bantu pernafasan.

g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.

8. Pemeriksaan Diagnostik.

a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.

b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung,

sputum.

c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

2.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen

2. Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi

dermal,intrademal sekunder

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan

berlebih

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex:

makanan).

Page 20: askep hipersensitivitas

2.2.3 INTERVENSI

NO Tujuan Intervensi

1 NOC:

Setelah melakukan

tindakan 3 x 24 jam,

diharapkan pasien

menunjukkan pola nafas

efektif dengan frekuensi

dan kedalaman rentang

normal.

Kriteria hasil :

Frekuensi pernapasan

pasien normal (16-20

kali per menit)

Pasien tidak merasa

sesak lagi

Pasien tidak tampak

memakai alat bantu

pernapasan

Tidak terdapat tanda-

tanda sianosis

1. Kaji frekuensi, kedalaman

pernapasan dan ekspansi paru.

Catat upaya  pernapasan,

termasuk pengguanaan otot

bantu/ pelebaran masal.

2. Observasi pola batuk dan

karakter secret.

3. Auskultasi bunyi napas dan

catat adanya bunyi napas

adventisius seperti krekels,

mengi, gesekan pleura.

4. Tinggikan kepala dan bantu

mengubah posisi. Bangunkan

pasien turun dari tempat tidur

dan ambulansi sesegera

mungkin.

5. Berikan oksigen tambahan.

6. Berikan humidifikasi

tambahan, mis: nebulizer

ultrasonic

2 Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 x 24

jam, diharapkan suhu

tubuh pasien menurun.

Kriteria hasil :

Suhu tubuh pasien

kembali normal

( 36,5 oC -37,5 oC)

Bibir pasien tidak

bengkak lagi

1. Pantau suhu pasien ( derajat

dan pola ).

2. Pantau suhu lingkungan,

batasi atau tambahkan linen

tempat tidur sesuai indikasi.

3. Berikan kompres mandi

hangat; hindari penggunaan

alcohol

Page 21: askep hipersensitivitas

3 Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 x 24

jam, diharapkan pasien

tidak akan mengalami

kerusakan integritas kulit

lebih parah.

Kriteria hasil :

Tidak terdapat

kemerahan,bentol-

bentol dan odema

Tidak terdapat

tanda-tanda

urtikaria,pruritus

dan angioderma

Kerusakan

integritas kulit

berkurang

1. Lihat kulit, adanya edema,

area sirkulasinya terganggu

atau pigmentasi.

2. Hindari obat intramaskular.

3. Beritahu pasien untuk tidak

menggaruk area yang gatal..

4 NOC:

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selam 3 x 24

jam, diharapkan

kekurangan volume cairan

pada pasien dapat teratasi.

Kriteria hasil :

Pasien tidak

mengalami diare

lagi

Pasien tidak

mengalami mual

dan muntah

Tidak terdapat

1. Kaji turgor kulit, kelembaban

membrane mukosa (bibir,

lidah).

2. Ukur dan pantau TTV, contoh

peningakatan suhu/ demam

memanjang, takikardia,

hipotensi ortostatik.

3. Beri obat sesuai indikasi

misalnya antipiretik,

antiemetic.

Page 22: askep hipersensitivitas

tanda-tanda

dehidrasi

Turgor kulit

kembali normal

5 Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 x 24

jam, diharapkan nyeri

pasien teratasi

kriteria hasil :

Pasien menyatakan dan

menunjukkan nyerinya

hilang

Wajah tidak meringis

Skala nyeri 0

Hasil pengukuran

TTV dalam batas

normal, TTV

normal yaitu :

Tekanan darah :

140-90/90-60

mmHg

Nadi

60-100 kali/menit

Pernapasan

: 16-20 kali/menit

Suhu 36-37oC

1. Kaji tingkat nyeri (PQRST)

2. Observasi TTV

3. Bantu pasien melakukan

teknik relaksasi

4. Berikan posisi yang nyaman

sesuai dengan kebutuhan

5. Ciptakan suasana yang tenang

6. Kolaborasi dengan dokter

dalam pemberian analgesik

Page 23: askep hipersensitivitas

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..

Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.