Alam Semesta

43
Alam semesta, selain objek-objek materi, juga mengandung energi-energi dalam bentuk listrik, magnetisme, panas, cahaya, dan sebagainya. Al-Qur'an, di samping membahas alam semesta yang berupa materi, juga menggunakan kata-kata yang terkenal seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dan sebagainya, sedangkan pokok bahasan mengenai energi tampaknya dibahas dalam istilah-istilah seperti malaikat-malaikat dan jin, yang sangat tidak dikenal dalam sains/iptek. Malaikat-malaikat, menurut pernyataan Nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Muslim, dicipta dari و ن ر(nur). Kata nur yang biasanya diterjemahkan dengan sinar, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bisa juga berarti energi radian. Selain itu, kata-kata Arab ك ل م(Malak) yang diterjemahkan dengan malaikat juga berarti perasaan kuat, kekuatan atau energi. Mengenai jin Al-Qur'an menyatakan: "Dan Dia [Allah] telah mencipta Jin dari gelombang panas yang dikeluarkan oleh api. " Sesuatu yang dikeluarkan oleh api, dalam terminologi sains, berarti sinar-sinar infra atau energi panas. Dengan mengacu informasi tersebut di atas, mungkinkah para malaikat dan jin itu tersusun dari beberapa bentuk energi radian yang tidak dapat kita persepsi melalui indera-indera fisik kita tetapi yang ada memberikan pengaruhnya terhadap kita tanpa kita sadari, sebagaimana sinar X, yang menembus daging manusia tetapi tidak menimbulkan rasa apa-apa pada manusia yang bersangkutan? Energi Radian Energi, menurut sains, bisa dikaitkan dengan materi sebagai energi kimia, energi mekanik, dan lain-lainnya, atau bisa ada tanpa adanya materi, yakni di ruang kosong sebagai energi radian, yang contoh paling terkenalnya adalah cahaya. Energi radian atau radiasi elektromagnetik ditampilkan dalam bentuk gelombang-gelombang yang sama dengan gelombang-gelombang yang terjadi di permukaan air ketika terganggu oleh batu yang dijatuhkan atau oleh angin. Ada bermacam-macam bentuk energi radian, yang berbeda-beda satu sama lain dalam panjang gelombangnya (jarak antara satu puncak gelombang dan puncak gelombang lainnya) dan

description

untuk dibaca

Transcript of Alam Semesta

Page 1: Alam Semesta

Alam semesta, selain objek-objek materi, juga mengandung energi-energi dalam bentuk listrik, magnetisme, panas, cahaya, dan sebagainya. Al-Qur'an, di samping membahas alam semesta yang berupa materi, juga menggunakan kata-kata yang terkenal seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dan sebagainya, sedangkan pokok bahasan mengenai energi tampaknya dibahas dalam istilah-istilah seperti malaikat-malaikat dan jin, yang sangat tidak dikenal dalam sains/iptek.Malaikat-malaikat, menurut pernyataan Nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Muslim, dicipta dari  ر Kata nur yang biasanya .(nur) نوditerjemahkan dengan sinar, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bisa juga berarti energi radian. Selain itu, kata-kata Arab ملك (Malak) yang diterjemahkan dengan malaikat juga berarti perasaan kuat, kekuatan atau energi.Mengenai jin Al-Qur'an menyatakan:

"Dan Dia [Allah] telah mencipta Jin dari gelombang panas yang dikeluarkan oleh api. "

Sesuatu yang dikeluarkan oleh api, dalam terminologi sains, berarti sinar-sinar infra atau energi panas.Dengan mengacu informasi tersebut di atas, mungkinkah para malaikat dan jin itu tersusun dari beberapa bentuk energi radian yang tidak dapat kita persepsi melalui indera-indera fisik kita tetapi yang ada memberikan pengaruhnya terhadap kita tanpa kita sadari, sebagaimana sinar X, yang menembus daging manusia tetapi tidak menimbulkan rasa apa-apa pada manusia yang bersangkutan?

Energi RadianEnergi, menurut sains, bisa dikaitkan dengan materi sebagai energi kimia, energi mekanik, dan lain-lainnya, atau bisa ada tanpa adanya materi, yakni di ruang kosong sebagai energi radian, yang contoh paling terkenalnya adalah cahaya.Energi radian atau radiasi elektromagnetik ditampilkan dalam bentuk gelombang-gelombang yang sama dengan gelombang-gelombang yang terjadi di permukaan air ketika terganggu oleh batu yang dijatuhkan atau oleh angin. Ada bermacam-macam bentuk energi radian, yang berbeda-beda satu sama lain dalam panjang gelombangnya (jarak antara satu puncak gelombang dan puncak gelombang lainnya) dan frekuensinya jumlah gelombang yang timbul selama satu detik). Rentang frekuensi-frekuensi dan panjang gelombang-gelombang itu sangat besar dan angka-angka yang menunjukkannya bisa sangat besar atau sangat kecil, sebagai konsekuensinya angka-angka itu harus dinyatakan dalam 10 macam kekuatan seperti dijelaskan berikut ini:

Panjang gelombang dalam mtr.

Nama Radiasi Elektromagnetik

Frekuensi Kilo saikel per detik 3

10-13 - 10-15 Sinar Kosmik 1019 - 1020

10-11 - 10-13 Sinar Gama 1017 - 1019

10-8 - 10-11 Sinar X 1014 - 1017

10-6.5 - 10-8 Sinar Ultra Violet 1012 - 1014

10-6 - 10-6.5 Sinar yang terlihat 1011.5 -1012

Page 2: Alam Semesta

10-4 - 10-6 Sinar Infra Merah 109 - 1011.5

104 - 10-4 Frekuensi Radio 102 - 109

107 - 104 Frekuensi Audio 0.1 - 102

3) Satu Kilosaikel adalah 1.000 gelombang per detik

Spektrum elektromagnetik yang diringkaskan di atas menunjukkan bahwa panjang-panjang gelombang berkisar mulai dari seperjuta-juta milimiter hingga beberapa ratus kilometer dan frekuensi-frekuensinya berkisar mulai 100 gelombang per detik hingga 1020 gelombang per detik. Dalam cakupan panjang dari panjang-panjang gelombang dan frekuensi-frekuensi ini, cahaya yang terlihat menenmpati porsi yang sangat besar. Ini berarti bahwa mata kita bersifat sensitif terhadap radiasi elektromagnetik yang sangat kecil sekalipun dan tidak sensitif terhadap porsi besar, yang dengan jelas menunjukkan keterbatasan indera-indera fisik kita dan membuktikan bahwa hal-hal yang tidak dapat dipersepsi oleh indera-indera fisik kita bisa saja dan memang benar-benar ada.

Malaikat-malaikatAllah berfirman:Segala puji bagi Allah. Dialah yang telah mencipta langit-langit dan bumi. Dia yang telah menjadikan malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan yang memiliki dua, tiga dan empat buah sayap. 'QS. 35: 1

Pesan-pesan kita disampaikan dengan sarana-sarana radiasi elektromagnetik melalui radio, televisi, telepon, teleprinter, dan sebagainya. Ayat Al-Qur'an yang dikutip di atas, yang menggambarkan para malaikat sebagai utusan-utusan, mendukung pandangan bahwa para malaikat tersusun dari energi radian karena para malaikat itu, menurut Al-Qur'an, dan radiasi elektromagnetik menurut sains, menyampaikan pesan-pesan. Kata-kata Arab جناح (janah) yang diterjemahkan dengan sayap juga dipergunakan untuk pengertian kekuatan, yang dalam pengertian itu, para malaikat juga dapat dianggap sebagai utusan-utusan yang memiliki berbagai atau beberapa macam kekuatan.

Page 3: Alam Semesta

Apakah keempat sayap atau kekuatan yang disebut dalam ayat Al-Qur'an tersebut di atas menunjukkan makna keempat kekuatan pokok di alam?. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bagian belakang.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah,' kemudian dia berpegang teguh dengan pendirian mereka maka turunlah kepada mereka para malaikat [seraya mengatakan], 'Janganlah kamu merasa takut dan jangan bersedih; dan gembirakanlah mereka dengan syurga yang telah dijanjikan Allah untuk kamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Di dalamnya kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan dan juga memperoleh apa yang kamu minta; sebagai hiburan yang diturunkan oleh [Allah] yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.(41: 30-32)Apakah kita pemah mendengar, merasakan atau menyadari pesan para malaikat ini: 'Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan di dunia (ini)' Pesan ini diberikan kepada orang-orang yang mengatakan: 'Tuhan kami adalah Allah." dan kemudian dia berpegang teguh dengan pendirian mereka itu. Kapan saja, karena beriman kepada Allah, kita ingat dengan-Nya, beribadah kepadaNya atau berbuat baik, kita akan mendapatkan kepuasan tertentu, ketenangan, [atau] sejenis kedamaian pikiran. Apakah pengalaman atau perasaan ini disebabkan oleh turunnya para malaikat yang membawa pesan itu dan interaksi mereka dengan pikiran manusia yang merupakan pusat segala macam penerimaan? Ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini memberikan tambahan penjelasan mengenai hal ini.

[Ingatlahl ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah [pendirian] orang-orang yang beriman itu." Kelak akan Aku jatuhkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir. Sebab itu penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (8:12)

Page 4: Alam Semesta

Kemudian Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman. Dan Dia menurunkan tentara-Nya yang tidak kamu ketahui dan menurunkan siksa kepada orangorang kafir. Dan itulah balasan kepada orang-orang kafir itu.'[9:26]

Dalam momentum-momenturn kita yang tragik dan meresahkan kita berdoa dan memohon pertolongan Allah, dan sangat sering terjadi bahwa setelah kita berdoa kita kelihatan memiliki energi yang segar, harapan dan kepercayaan diri. Apakah kondisi jiwa kita itu disebabkan oleh interaksi para malaikat dengan pikiran dan hati kita, dalam bentuk energi radian?

Mengenai masalah kematian, Al-Qur'an menyatakan:Katakanlah [Muhammad], 'Malaikat maut yang diserahi untuk [mencabut] nyawamu mematikanmu. Kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.'[32:11]

Kematian bisa disebabkan oleh radiasi yang berat melalui penghancuran sel-sel tubuh manusia. Dalam pengobatan kanker, bagian [tubuh] pasien yang rusak dikenakan radiasi yang menghancurkan sel-sel kanker itu. Apakah malaikat maut itu terbentuk dari energi radian, yang menyebabkan kerusakan sebagian organ vital tubuh manusia, seperti sistem saraf pusat, yang akhirnya mengakibatkan kematian? Radiasi elektrornagnetik mernang menghasilkan anestesia pada tikus-tikus dan obat ini menyebabkan manusia tidak sadar, [dan] dosisnya yang berlebihan bisa menyebabkan kernatian.Al-Qur'an, mengenai malaikat-malaikat sebagai sahabat-sahabat manusia, menyatakan:Baginya [manusia] ada [malaikat-malaikat] yang mengikutinya secara bergiliran di depan dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah [13:11]

Page 5: Alam Semesta

Kita belum pernah menyadari tentang para malaikat yang menemani kita ini, tetapi pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya ketika menyelamatkan diri dari kecelakaan-kecelakaan yang serius kita benar-benar merasakan adanya sejumlah kekuatan eksternal yang menyelamatkan kita dari lindasan mobil atau terjatuh ke dalam jurang.

Mengenai perbuatan-perbuatan kita, Al-Qur'an menyatakan:Dan sesungguhnya terhadap kamu ada [malaikat-malaikat] yang mengawasi, yang mencatat [pekerjaan-pekerjaanmu]. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan [82:10-12]

Kita memiliki alat-alat seperti pita-pita rekaman, kaset-kaset video, dan kamera-karnera yang merekam suara-suara dan tindakan-tindakan kita. Ini adalah alat-alat elektronik yang mempergunakan radiasi elektrornagnetik. Apakah sulit bagi Allah, Sang Pencipta kita, mengatur alat-alat semacam itu dalam bentuk malaikat-malaikat yang tidak terlihat? Apakah malaikat-malaikat ini ditugaskan sebagai perekam-perekam, membantu kita mengumpulkan kembali sejumlah peristiwa di masa lampau sebagaimana penyimpan rekaman di suatu kantor yang membantu mengeluarkan arsip lama? Sangat boleh jadi ingatan kita tidak menyimpan apa-apa tetapi alat perekam para malaikat itu berhubungan dengan kita.

Mengenai tugas-tugas lain para malaikat, Al-Qur'an menyatakan:Ya. Bila kamu tetap sabar dan bersiap siaga, dan mereka menyerang kamu seketika itu juga, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya [Muhammad], dan Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain itu para malaikat pun adalah penolongnya juga. [66:4]Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu sekalian dan orang-orangmu dari [siksa] neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di atasnya ada malaikat-malaikat yang keras dan kejam. Mereka tidak berbuat ma'siyat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada Mereka.[66:6}

Page 6: Alam Semesta

Para malaikat dan ruh turun atas izin Tuhan. Mereka membawa [program mengenai] segala hal. Disertai kedamaian hingga saat terbit faJar. [97:4-5]

Dari ayat-ayat yang dikutip di atas terbukti bahwa disamping tugas-tugas lain yang tidak diberitahukan kepada kita, para malaikat mengkomunikasikan pesan-pesan Allah, menjaga keselamatan manusia, mencatat perbuatan-perbuatan mereka, menghukum dan membantu, membawa kematian, menjaga neraka dan turun [ke bumi] dengan membawa berbagai macam urusan. Dengan demikian tampaknya para malaikat merupakan utusan-utusan yang melaksanakan pekerjaan tetapi tidak tampak sebagai materi di alam sehingga kita tidak dapat melihat mereka dalam bentuknya yang normal. Bagi ilmuwan segala sesuatu yang mampu melaksanakan pekerjaan adalah energi, yang juga mendukung pandangan bahwa para malaikat adalah bentuk-bentuk energi atau makhluk tertentu yang melakukan peran berbagai macam energi. Barangkali mereka seperti para eksekutif dalam pernerintahan yang dipimpin oleh Allah yang hasil-hasil kinerjanya dapat dilihat tetapi pelaku-pelaku aktualnya tidak terlihat.

JibrilMengenai [malaikat] Jibril yang juga disebut الروح [Ar-ruh] atau Jiwa, menyatakan:Mereka bertanya kepadamu [Muhammad] tentang Ar-Ruh. Katakanlah bahwa Ar-Ruh itu salah satu di antara urusan Tuhanku. Pengetahuan yang diberikan kepadamu [mengenai hal itu] hanya sedikit. [17:85][Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat] ... adalah mereka yang dalam hati mereka telah ditulis iman [oleh Allah] dan telah dikukuhkan-Nya dengan Ruh daripada-Nya."[58:22]Dialah [Allah] Yang meningkatkan beberapa derajat, Yang memiliki 'Arsy [singgasana alam semesta]. Dialah yang menurunkan Ar-Ruh membawa urusan-Nya kepada sebagian hamba-hambaNya yang dikehendakiNya untuk mengingatkan mereka akan Hari Pertemuan.[40:15]

Dengan demikian Jibril yang tampaknya merupakan utusan untuk berkornunikasi, adalah energi yang mengilhami manusia. Jadi sebagaimana halnya dengan mata yang sensitif terhadap corak radiasi elektrornagnetik tertentu (cahaya), hati para nabi pun tampaknya sensitif terhadap komunikasi dengan Allah yang dikirimkan melalui Jibril (Ar-Ruh) yang juga terbukti dari ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini.

Page 7: Alam Semesta

Dan sesungguhnya [Al-Qur'an] itu diturukan daripada Tuhan Penguasa seluruh alam semesta. Ar-Ruh yang terpercaya menurunkannya kepada hatimu [Muhammad] agar kamu menjadi salah seorang pembawa peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.[26:192-195]Dalam sistem penyiaran radio (broadcasting system], gelombang-gelombang suara dikonversi menjadi gelombang-gelombang elektromagnetik, yang mentransformasikan kembali menjadi gelombang-gelombang suara pada pesawat penerima, yaitu radio. Apakah pesan Allah yang dikornunikasikan itu dilakukan dengan cara yang sama, dalam hal ini Jibril mengilhami hati para rasul yang kemudian mentransformasikan ilham ini menjadi kata-kata dalam bahasa yang mereka tuturkan, yaitu bahasa Arab dalam kasus Nabi MuharnmadShallallahu 'Alaihi wa Sallam? Sistem penyiaran radio, televisi, telepon, teleprinter dan sebagainya yang merupakan alat-alat untuk menyalurkan radiasi elektrornagnetik, adalah alat-alat bikinan manusia. Apakah Allah, Sang Maha Pencipta, tidak mampu membikin alat-alat yang sama atau lebih baik dan tidak dapat dilihat itu?

Al-Qur'an, Taurat dan BeibelAl-Qur'an yang memberi informasi mengenai berbagai komunikasi Allah, menyatakan sebagai berikut.Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu [meIalui] Ruh sebagian perintah Kami. Kamu tidak mengetahui apa [isi] Al-Kitab itu dan [juga] apakah iman itu. Akan tetapi Kami jadikan ia sebagai sinar yang dengannya Kami menunjukkan jalan kepada sebagian hamba Kami yang Kami kehendaki, dan sesungguhnya engkau [Muhammad] pasti akan menunjukkan kejalan yang lurus.[42:45]Sesungguhnya Kami telah menurunkan [Kitab] Taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya.[5:44]... dan Kami telah memberikan kepadanya [Isa, Jesus] Kitab Injil yang didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya.[5:46]Al-Qur'an, Taurat dan Injil dikatakan memiliki cahaya, atau radiasi. Bagi orang awam ini berarti cahaya (sinar) yang membantu menemukan jalan yang benar, tetapi bagi pengkaji sains kata-kata نور [Nur] memiliki arti energi radian. Al-Qur'an bila dibaca akan memberikan berbagai efek pada hati. Apakah pembacaan Al-Qur'an itu mentransfer gelombang-gelombang suara menjadi radiasi elektrornagnetik jenis tertentu yang mempengaruhi hati pendengamya sehingga menimbulkan perasaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata - suatu perasaan yang kadang-kadang membuat orang

Page 8: Alam Semesta

menangis, bahkan mereka yang sama sekali tidak memahami makna yang mereka dengar itu?Ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini tampaknya mendukung pandangan ini.Dan Kami telah menurunkan melalui Al-Qur'an bahwa ia merupakan obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. [17:82]Wahai ummat manusia! Sungguh telah datang nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi [penyakit] hati dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. [10:57]Dan ketika mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul engkau melihat mata mereka menggenang air mata karena mereka mengetahui sebagian dari kebenaran itu [5:83]Kenyataan yang sangat terkenal bahwa beberapa penyakit jasmani dan ruhani disembuhkan dengan beberapa jenis radiasi elektrornagnetik tertentu. Al-Qur'an dikatakan sebagai penyembuh bagi [penyakit] yang ada dalam hati. Apakah pembacaan Al-Qur'an, sebagaimana dinyatakan di atas, menimbulkan jenis radiasi elektromagnetik tertentu. (atau Nur) yang menyembuhkan penyakit-penyakit spiritual, yakni kejahatan yang ada dalam hati?

Daya-daya Pokok di AlamSains sejauh ini hanya menemukan empat macam daya (tenaga) pokok yang bisa menjelaskan semua gejala alam: (1) Daya gravitatif, (2) Daya listrik, (3) Daya nuklir yang kuat (strong nuclear force), dan (4) Daya kehancuran beta yang lemah (weak beta decay force).

Al-Qur'an dalam hal ini menyatakan:Dan milik Allahlah pasukan-pasukan [daya-daya] langit dan bumi.[48:4]Menurut kepercayaan-kepercayaan Islam yang populer ada empat malaikat penting yang melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:

1. IsrafiI: membunyikan terompet untuk mengakhiri alam semesta. 2. Jibril: mengkomunikasikan pesan-pesan Allah.

3. Mikail : bertugas mengatur hujan, angin dan sebagainya.

4. lzra'il: menyebabkan kematian.

Kami sudah mengemukakan pendapat bahwa para malaikat sebagai energi-energi atau makhluk-makhluk yang menjalankan [tugas] berbagai macam energi, dan karena semua daya adalah milik Allah, maka marilah kita Iihat apakah kita dapat mengkorelasikan tugas-tugas keempat malaikat yang penting itu dengan keempat daya alam yang pokok itu.1. Gravitasi - IsrafilSemua benda langit dan objek-objek yang ada di permukaannya masing-masing terikat bersama oleh daya gravitasi. Jika daya gravitasi itu diperbesar maka segala sesuatu akan terkumpul bersama dan alam semesta akan hancur dan jika ia diperkecil maka segala sesuatu akan terpisah [dan] berterbangan ke mana-mana. Apakah Israfil yang menjalankan tugas daya gravitasi, yang sekarang menjaga segala sesuatu dalam keseimbangan tetapi, jika atas perintah Allah, akan memperbesar daya ini sehingga menyebabkan semua benda langit terkonsentrasi di satu tempat untuk mengakhiri alam semesta dan kemudian

Page 9: Alam Semesta

mereduksi daya gravitasi itu yang akan menyebabkan terciptanya kembali alam semesta itu? Mekanisme berakhirnya dan terciptanya kembali alam semesta itu merupakan tema utama dalam teori Oscillating Universe [atau Teori Ledakan Hebat] dan sangat boleh jadi bersesuaian dengan peniupan terompet dua kali untuk mengakhiri dan mencipta kembali alam semesta, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an sebagai berikut.Dan akan ditiupnya terompet [struktur alam semesta] itu sehingga siapa saja yang ada di langit-langit dan bumi akan jatuh tidak sadarkan diri kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah. Kemudian akan ditiupnya terompet itu untuk kedua kalinya sehingga mereka akan berdiri melihat.[39:68]Daya Listrik - JibrilTelekomunikasi pada hakikatnya bersifat elektrik. Apakah Jibril menjalankan semua tugas daya listrik di alam, atau telekomunikasi sebagai satu-satunya bagian tugasnya?Daya Nuklir yang Kuat - MikailPanas dan cahaya yang kita terima dari matahari adalah akibat dari reaksi-reaksi nuklir yang terjadi di dalamnya. Cahaya dan panas matahari mendukung kehidupan di muka bumi. Panas menguapkan air untuk membentuk awan-awan, menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan temperatur yang mengakibatkan gerakan angin, yang mendorong awan-awan dan percikan-percikan hujan. Apakah Mikail bertugas menjalankan [reaksi] semua daya nuklir di alam, termasuk [reaksi-reaksi] nuklir yang terjadi di matahari itu?Transformasi Energi menjadi MateriSebelumnya kita sudah mengetahui bahwa materi dan energi bisa saling dikonversikan. Jika para malaikat adalah energi-energi, maka apakah mereka pemah mengambil bentuk materi? Dalam kaitan ini marilah kita kaji ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini.Dan para utusan Kami telah datang kepada Ibrahim membawa berita gembira. Mereka mengatakan, 'Selamat.' Selamat' kata Ibrahim dan dia pun tanpa mengulurulur waktu menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Kemudian ketika melihat bahwa tangan mereka tidak dapat menjamahnya, dia pun menganggap perbuatan mereka aneh dan merasa takut kepada mereka ...[11:69:70]Kemudian Kami kirimkan kepadanya [Maryam] Ruh Kami, maka ia pun menjelma di depan matanya seperti manusia yang sebenarnya.[19:17]Dalam kisah sejarah Nabi Lut a.s. [11:77-81] juga, para utusan dikatakan telah datang dalam bentuk manusia. Melalui hadis-hadis yang terkenal dan sahih kita mengetahui bahwa Jibril muncul sebagai manusia di depan Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya.Ayat-ayat AI-Qur'an yang dikutip di atas mendukung pendapat bahwa para malaikat dan Ruh itu merupakan bentuk-bentuk energi radian yang berbeda-beda karena mereka juga dapat berubah menjadi bentuk-bentuk materi sebagaimana energi berubah menjadi materi.JinMengenai jin Al-Qur'an menyatakan:Dan jin telah Kami cipta sebelumnya dari gelombang api yang sangat panas.[15:27]Dan di antara jin-jin itu ada yang bekerja untuknya atas izin Tuhannya. [34:12]Ayat-ayat Al-Qur'an ini memberikan kesan kepada kita bahwa jin pun, sebagaimana para malaikat, merupakan energi radian dan diberi pekerjaan oleh Allah.Di banyak tempat dalam Al-Qur'an, jin-iin itu disebut bersama-sama dengan manusia dan pada satu tempat tujuan utama penciptaan mereka disebutkan sebagai berikut.

Page 10: Alam Semesta

Sesungguhnya Aku tidak mencipta Jin dan manusia kecuali agar [mereka] beribadah kepada-Ku." [51:56]Dalam bidang Fisika Quantum sudah ditunjukkan bahwa sebuah photon tunggal (partikel cahaya) atau sebuah elektron, bisa dijatuhkan di sebuah layar yang memiliki dua buah lubang sempit, kita mendapatkan pola penerimaan sinyal yang memberikan kesan bahwa photon atau elektron tunggal menerobos melalui kedua lubang itu secara simultan. Bagi setiap pengamat yang melihat photon atau elektron itu datang melalui salah satu di antara lubang-lubang itu, maka ada pengamat lain di dunia lain yang melihatnya melalui bagian integral eksperimen itu dan tidak ada sesuatu pun bila ia tidak dipersepsi. Kedua pengamat itu. sama-sama benar. Alam semesta membagi dirinya menjadi dua. Apakah pengamat lain itu Jin yang berhubungan dengan manusia tertentu itu?Diriwayatkan oleh lbnu Mas'ud bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah berabda: 'Tidak ada seorang pun di antara kamu tetapi ada yang bertugas mengawasinya, seorang sahabat di antara Jin-jin dan seorang di antara para Malaikat. [HR Muslim]

SyetanMengenai syetan atau Iblis, Al-Qur'an menyatakan:Dia [Iblis] berkata, 'Saya lebih baik daripada dia [manusia, Adam] Engkau mencipta saya dari api dan Engkau mencipta dia dari tanah liat.[7:12] Maka mereka [para malaikat] pun bersujud [kepada] Adam, kecuali Iblis. Dia adalah dari Jin dan kemudian mereka membangkang perintah Tuhannya. [7:12]Mereka [Iblis] berjanji kepada mereka [manusia] dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka. Sesungguhnya yang dijanjikan oleh Syetan kepada mereka hanyalah tipu daya."[4:120]... sehingga Dia [Allah] menjadikan apa yang disampaikan oleh Syetan itu cobaan bagi orang-orang yang hatinya berpenyakit dan yang hatinya keras."[22:53]

Ayat-ayat Al-Qur'an ini menunjukkan bahwa Iblis juga dicipta dari bentuk energi yang sama sebagaimana Jin. Dia tersusun dari energi dan manusia dari materi. Barangkali karena menyadari kemungkinan bisa terjadinya antaraksi antara materi dan energi, maka dia menyatakan: 'Saya akan menyesatkan mereka [manusia] dan menggoda mereka dengan kesenangan-kesenangan semu. '

Page 11: Alam Semesta

Beberapa jenis penyakit jasmani disebabkan oleh bibit-bibit penyakit yang tidak terlihat, sama halnya dalam penyakit-penyakit kehidupan spiritual di hati disebabkan oleh Iblis. Penyakit-penyakit jasmani disembuhkan dengan obat dan dalam beberapa kasus, dengan radiasi elektromagnetik, maka demikian pula halnya dengan penyakit-penyakit hati, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bisa disembuhkan dengan Al-Qur'an, yang dinyatakan sebagai 'Nur'dan dipahami dengan makna energi radian.Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dilaporkan pemah bersabda, sebagaimana disebutkan sebelumnya, seorang Jin dan seorang Malaikat menemani setiap orang. [HR Muslim] Sangat boleh jadi Malaikat itu membisikkan ke dalam hati manusia gagasan-gagasan yang baik dan Jin dengan gagasan-gagasan jahat. Bisikan atau ilham dari Malaikat itu mungkin berupa apa yang kita sebut kesadaran yang membantu mem-bedakan antara yang baik dan buruk dan mendorong kita untuk berbuat baik dan [bisikan] Syetan boleh jadi berupa keinginan jahat kita yang menimbulkan pikiran-pikiran jahat dan yang menggoda kita untuk melakukan kejahatan. Dua corak bisikan atau ilham ini adalah penyebab-penyebab utama semua tindakan dan perbuatan manusia, salah satunya menuju ke surga dan yang lain ke neraka.

Hubungan antara Manusia, Malaikat dan JinPenyataan bahwa hati atau jiwa kita sensitif terhadap bisikan atau ilham atau, dengan bahasa sains, terhadap radiasi elektromagnetik, melalui Jiwa, para Malaikat, Jin atau Syetan, tidak berarti bahwa hati atau jiwa manusia berisi instrumen-instrumen seperti transmitter, amplifier, transformer, dan sebagainya. la hanyalah berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh alat-alat ini atau alat-alat lain di dunia materi dilakukan oleh hati dan atau jiwa di dunia spiritual disamping fungsi-fungsinya yang lain, jiwa manusia adalah komputer terbaik di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa otak itu sama dalam konstruksinya dengan komputer elektronik; ia hanya berarti bahwa otak melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang sama dengan yang dikerjakan oleh komputer elektronik. Otak dan komputer berbeda ukurannya, mekanismenya dan konstruksi materialnya, namun sifat pekerjaan yang dilakukannya sama.Dengan demikian manusia tampaknya merupakan perpaduan yang erat antara gejala-gejala materi dan energi. Keyakinan pada hakikatnya bersifat spiritual dan para Malaikat merupakan hal penting dalam keyakinan Muslim sebagaimana terbukti dari ayat Al-Qur'an berikut ini.Akan tetapi kebaikan itu adalah siapa saja yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat kitab-kitab [Allah] dan para nabi [Allah].[2:177]Keyakinan atas adanya para Malaikat, dalam semua pengertian yang sudah dikemukakan sejauh ini, berarti keyakinan atas adanya energi-energi berikut efekefeknya dan bahwa

Page 12: Alam Semesta

energi-energi ini sudah dicipta oleh Allah, yang perbedaamya hanya dalam nama-namanya saja. Al-Qur'an lebih lanjut menyatakan sebagai berikut.Dan [ingatlah] ketika Kami berbicara dengan para malaikat 'Bersujudlah kamu sekalian kepada Adam!' Maka mereka pun bersujud kecuali Iblis. Dia enggan melakukannya dan bersombong diri. Dan dia tennasuk kelompok kafir.[2:34]Menurut ayat Al-Qur'an tersebut di atas para malaikat disuruh bersujud kepada Adam as. Sernuanya taat kecuali Iblis. Ini berarti bahwa IbIis juga diakui sebagai malaikat, tetapi menurut ayat lain dalam Al-Qur'an [18:50], Iblis dinyatakan sebagai Jin. Dengan memperhatikan makna ini, katakata Arab  ةمالئك  [Mala'ikah],jamak dari kata ملك [Malak] untuk makhluk Malaikat tampaknya mempunyai makna energi-energi yang dalam hal ayat Al-Qur'an tersebut di atas, berarti semua energi diperintah oleh Allah untuk bersujud [tunduk] kepada manusia, dan semuanya mematuhi kecuali energi jahat, yaitu IbIis. Manusia ditugaskan untuk mengendalikan berbagai energi itu karena[nya] Allah memerintah energi-energi itu untuk tunduk di bawah kontrolnya [manusia]. Karena itu penghargaan terhadap kemajuan yang dicapai dalam sains dan teknologi kembali kepada Allah dan bukan kepada manusia. Karena hak untuk memerintah berbagai energi itu bukan merupakan keberhasilan manusia, maka meletakkan energi yang jahat, yakni Syetan, di bawah kontrolnya sajalah yang merupakan keberhasilannya. Sebenamya inilah satu-satunya tantangan yang dihadapkan kepadanya. Apakah kita tidak akan melakukan usaha secara sungguh-sungguh ke arah ini dengan mengikuti perintah-perintah yang terkandung dalam Al-Qur'an?

Allah dan ‘Arsy-Nya berada dalam ‘hati-nurani’ tiap makhlukPosted on 8 Februari 2012

Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk

"Dimanakah sebenarnya Allah berada?". Padahal 'esensi' Zat Allah, Yang Maha Gaib dan

Maha Suci, memang tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa dicapai

atau dijangkau oleh segala alat indera pada tiap makhluk (termasuk para malaikat-Nya

dan para nabi-Nya), di dunia dan di akhirat. Maka berikut ini diungkap, bahwa Allah

Page 13: Alam Semesta

dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk. Walau hal ini juga tetap bukan letak keberadaan Zat Allah, tetapi letak pemahaman tentang Allah.

Daftar isi Pendahuluan . Keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an .

'Esensi' Zat Allah, tersucikan dari segala sesuatu hal .

Membicarakan 'esensi' Zat Allah, bisa melahirkan kemusyrikan .

Tidak ada keterangan tentang 'esensi' Zat Allah, dalam kitab suci Al-Qur'an .

Segala hal 'gaib' mestinya selamanya tetap bersifat 'gaib' .

Akal-pikiran tiap makhluk, jangkauannya tertinggi .

Segala perbuatan-Nya di alam semesta, dalam jangkauan akal-pikiran tiap makhluk .

Alam pikiran tiap makhluk (alam batiniah ruhnya) = alam akhiratnya .

Alam pikiran tiap makhluk = langit yang sebenarnya dan tertinggi .

Keimanan (kesempurnaan pemahaman atas kebenaran-Nya) = kedekatan di sisi-Nya .

Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta .

Dalam 'hati-nurani', letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang kebenaran-Nya .

Proses pemahaman tiap makhluk tentang kebenaran-Nya .

Kesempurnaan pemahaman para nabi-Nya tentang kebenaran-Nya .

'Hijab-tabir-pembatas' antara Allah dan tiap makhluk .

Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk .

Penjelasan tentang keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an .

Kesimpulan .

Pendahuluan

Adanya berragam keterangan dalam kitab suci Al-Qur'an tentang keberadaan Allah, yang diungkap di bawah, sedikit-banyak justru telah bisa menimbulkan kebingungan pada sebagian kalangan umat Islam, khususnya jika ayat-ayatnya yang terkait dipahami secara 'tekstual-harfiah'. Tetapi jika umat justru telah bisa memahami 'hikmah dan hakekat', yang terkandung 'di balik' teks ayat-ayatnya, maka umat juga mestinya tidak perlu mengalami kebingungan. Bahkan umat sekaligus bisa membenarkan ayat-ayat tersebut.

Page 14: Alam Semesta

Maka dalam uraian-uraian di bawah akan diungkap pendapat penulis, bahwa "Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk". Walau hal ini bukan berupa 'letak keberadaan' Zat Allah, namun hanya berupa 'letak pemahaman' tentang Allah. Juga akan diungkap, bahwa pendapat tentang keberadaan Allah seperti ini, bahkan justru telah bisa menghubungkan, mencakup atau mewakili semua ayat tersebut, secara 'sekaligus' (semua ayatnya tetap relatif benar). Selain itu, pendapatnya justru tetap berdasar atas "ke-Esa-an Allah" (tauhid), karena memang sama sekali tidak terkait dengan 'esensi' Zat Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Gaib dan Maha Suci.

Baca pula Metode pencapaian pemahaman hikmah dan hakekat (Al-Hikmah).

Keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an

Berikut inipun diungkap ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, yang menerangkan tentang keberadaan Allah, seperti: "di atas 'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), "di langit" (pada QS.67:16), "Maha Dekat" (pada QS.34:50), "dekat" (pada QS.2:186), "lebih dekat daripada urat leher" (pada QS.50:16), "dekat ke jiwa-ruh-nyawa" (pada QS.56:85) dan "dimana-mana" (pada QS.57:4, QS.58:7, QS.2:115), beserta ayat-ayat lainnya yang terkait.

"Sesungguhnya Rabb-kamu ialah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. …" – (QS.7:54) dan (QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4).

"Apakah kamu merasa (aman) terhadap Allah, Yang di langit, bahwa Dia menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang," – (QS.67:16).

"…. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Dekat." – (QS.34:50).

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. …" – (QS.2:186).

"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya," – (QS.50:16).

"dan Kami lebih dekat kepadanya (nyawamu), daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat," – (QS.56:85).

"…. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat, apa yang kamu kerjakan." – (QS.57:4).

"…. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka, di manapun mereka berada. …" – (QS.58:7).

"Dan kepunyaan-Nya-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah (ada) wajah-Nya. Sesungguhnya, Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui." – (QS.2:115).

 

"Dan Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah 'Arsy-Nya di atas air (di langit), …" – (QS.11:7).

"Allah, tiada Ilah Yang disembah, kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai 'Arsy yang besar'." – (QS.27:26).

Page 15: Alam Semesta

"Katakanlah: 'Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh, dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?'. …" – (QS.23:86-87).

"…. Kursi Allah (tempat keberadaan Allah) meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar." – (QS.2:255).

'Esensi' Zat Allah, tersucikan dari segala sesuatu hal

Perlu diketahui, bahwa tiap zat pasti memiliki 'esensi' dan/atau 'perbuatan'. Karena keberadaan suatu zat telah terbukti, jika salah-satu dari keduanya bisa dibuktikan. Namun 'esensi' Zat Allah, Yang Maha Gaib dan Maha Suci, memang tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh segala alat indera 'lahiriah' (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb) dan alat indera 'batiniah' (hati / kalbu), pada tiap makhluk ciptaan-Nya (bahkan juga termasuk para malaikat-Nya dan para nabi-Nya), di dunia dan di akhirat. 'Esensi' Zat Allah juga mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Maka keberadaan Zat Allah memang hanya bisa dibuktikan, melalui pengamatan atas hasil segala 'perbuatan' Zat Allah di alam semesta ("tanda-tanda kekuasaan-Nya").

Hal itu relatif mudah dipahami, karena segala sesuatu hal di alam semesta, tentunya hanya berupa hal-hal yang bisa dijangkau oleh segala alat indera lahiriah ataupun batiniah pada tiap makhluk, secara langsung ataupun tidak (tanpa / dengan alat). Sedangkan segala sesuatu hal yang bisa dipikirkan oleh tiap makhluk, tentunya hanya hasil dari segala olahan akalnya, berdasar atas hal-hal yang telah bisa dijangkau oleh segala alat inderanya (hampir mustahil memikirkan hal-hal yang justru sama sekali tidak diketahuinya sedikitpun).

Padahal di lain pihak, "tidak ada sesuatupun di alam semesta, yang setara ataupun serupa dengan 'Zat Allah'". Maka 'esensi' Zat Allah tentunya sama sekali berbeda, daripada hal-hal yang bisa dijangkau, oleh segala alat indera dan akal-pikiran pada 'segala' makhluk. Sedangkan hasil dari segala 'perbuatan' Zat Allah di alam semesta, tentunya hanya berupa hal-hal yang bisa dijangkau, oleh segala alat indera dan akal-pikiran pada 'segala' makhluk (pasti 'terwujud' melalui segala sesuatu hal yang terdapat di alam semesta).

"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, …" – (QS.6:103) dan (QS.50:33).

"dan tidak ada seorangpun (sesuatupun), yang setara (serupa) dengan Dia." – (QS.112:4) dan (QS.42:11).

Membicarakan 'esensi' Zat Allah, bisa melahirkan kemusyrikan

Sedangkan segala usaha manusia dalam membicarakan, menguraikan, menjelaskan, mendefinisikan ataupun mendeskripsikan tentang 'esensi' Zat Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta alam semesta yang sebenarnya, justru pasti akan menghadapi segala dilema atau kegagalan. Terutama hal inipun pasti melahirkan segala bentuk 'ketidak sempurnaan', dalam pemahaman umat manusia tentang sifat-sifat Allah, Tuhan Yang Maha Sempurna.

Bahkan paling parahnya, hal ini justru bisa melahirkan segala bentuk 'kemusyrikan' (menyekutukan Allah), seperti halnya yang biasanya diketahui terjadi, pada agama-agama yang 'musyrik' (Tuhannya 'tidak sempurna', dan berupa seperti: para malaikat, para dewa, manusia biasa, patung / berhala, dsb). Dengan diakui ataupun tidak, hal ini justru biasanya sekaligus pula melahirkan 'banyak' Tuhan (politeisme), yang masing-masingnya bisa relatif 'sempurna', hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja. Maka agama-agama seperti itupun perlu 'banyak' Tuhan, agar bisa terbentuk kesempurnaan ketuhanan yang utuh.

Page 16: Alam Semesta

"Maha Suci dan Maha Tinggi Dia, dari apa yang mereka katakan (sifatkan), dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." – (QS.17:43) dan (QS.21:22, QS.23:91, QS.37:159, QS.43:82).

"…. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan." – (QS.16:1) dan (QS.10:18, QS.28:68, QS.30:40, QS.39:67).

"…. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." – (QS.2:22) dan (QS.4:36, QS.6:150-151, QS.16:74, QS.18:110, QS.28:87, QS.30:31, QS.31:13).

Tidak ada keterangan tentang 'esensi' Zat Allah, dalam kitab suci Al-Qur'an

Perlu diketahui pula, bahwa dalam kitab suci Al-Qur'an justru tidak pernah disebut tentang 'esensi' Zat Allah, namun hanya disebut tentang segala 'perbuatan' Zat Allah. Juga serupa halnya dengan seluruh sifat dan nama Allah, tidak ada yang terkait dengan 'esensi' Zat Allah. Bahkan sifat-sifat-Nya yang seolah-olah terkait dengan 'esensi' Zat Allah, antara lain: Ada (wujud), Maha Esa, Maha Gaib (Tersembunyi), Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir, Maha Hidup, dsb, justru hanya diperoleh dari mempelajari segala hasil 'perbuatan' Zat Allah di alam semesta, seperti halnya bagi seluruh sifat-Nya lainnya.

Tentunya untuk memahami hal di atas, umat Islam memang mestinya mempelajari kitab suci Al-Qur'an, kitab-kitab Hadits Nabi, ataupun bahkan segala kitab dan risalah dari para nabi-Nya terdahulu, secara amat hati-hati dan cermat, ayat-per-ayat. Hal seperti ini amat perlu dilakukan, agar umatpun bisa menjawab, "apakah para nabi-Nya benar-benar pernah menerangkan, tentang 'esensi' Zat Allah?", "apakah nabi Musa as benar-benar bisa melihat dan berbicara dengan Allah?" dan "apakah segala perbuatan Allah di alam semesta (selain penciptaan paling awalnya), benar-benar dilakukan 'langsung' oleh Allah sendiri?".

Sedangkan jawaban penulis atas semua pertanyaan seperti ini jelas "tidak". Karena segala makhluk mustahil menjangkau 'segala sesuatu hal' tentang tiap ciptaan-Nya, apalagi tentang Zat Allah; 'esensi' dan 'perbuatan' Allah justru sama sekali berbeda daripada segala sesuatu hal pada tiap ciptaan-Nya; Allah bernteraksi dengan segala makhluk hanya semata dari balik 'hijab-tabir-pembatas' (pasti melalui perantaraan wahyu dan para utusan-Nya); kalam atau wahyu yang 'sebenarnya' hanya berupa 'alam semesta' (bentuk wahyu lainnya berupa hasil pemahaman atas alam semesta); juga segala perbuatan Allah di alam semesta (selain penciptaan paling awalnya), justru dilaksanakan oleh segala makhluk ciptaan-Nya, berdasar segala perintah-Nya, secara sadar ataupun tidak.

Baca pula Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah, yang perwujudannya memang dilaksanakan oleh segala makhluk ciptaan-Nya (terutama para malaikat-Nya). Serta juga Wahyu dan kitab-Nya memiliki 4 macam bentuk.

Lalu mungkin timbul pertanyaan "apakah keterangan tentang Allah, seperti: 'kursi', 'wajah', 'tangan', 'kaki', 'pendengaran', 'penglihatan', dsb, bukan menunjukkan 'esensi' Zat Allah?". Jawaban ringkasnya, "hal-hal seperti ini hanya 'contoh-perumpamaan simbolik', bukan fakta-kenyataan yang sebenarnya". Baca pula pada uraian berikut.

Segala hal 'gaib' mestinya selamanya tetap bersifat 'gaib'

Hal yang relatif sering dilupakan oleh tiap umat Islam, bahwa hal-hal 'gaib' mestinya tetap ditempatkan sebagai 'gaib' (mestinya mustahil memiliki wujud 'fisik-lahiriah-nyata'), termasuk mustahil bisa dirasakan atau diketahui, melalui segala alat indera fisik-lahiriah. Hal-hal

Page 17: Alam Semesta

'gaib' hanya semata bisa dirasakan atau diketahui, melalui alat indera batiniah pada zat ruh tiap makhluk ("hati / kalbu"), ataupun lebih luasnya melalui akal-pikirannya.

Dengan sendirinya, pada pemahaman umat atas segala keterangan dalam kitab suci Al-Qur'an, tentang hal-hal 'gaib', juga mestinya tetap ditempatkan sebagai 'gaib', seperti: 'esensi' dan 'perbuatan' Zat Allah; 'Arsy-Nya; Kitab mulia (Lauh Mahfuzh); zat ruh; para makhluk gaib; alam akhirat (Surga dan Neraka); Hari Kiamat; Qadla dan Qadar (Takdir); dsb. Maka segala keterangan seperti itu mestinya sekaligus tetap tidak dibandingkan atau dipadankan begitu saja, dengan segala wujud 'fisik-lahiriah-nyata'. Khusus terkait dengan keberadaan Zat Allah, tentunya mestinya sama sekali tidak bisa ditunjuk 'disini' / 'disitu'.

Di samping itu pula, bahwa dalam kitab suci Al-Qur'an justru banyak dipakai segala bentuk "contoh-perumpamaan simbolik". Hal ini dipakai terutama untuk bisa meringkas, menyederhanakan dan memudahkan segala penjelasan bagi hal-hal gaib dan batiniah, yang sebenarnya relatif amat rumit dan panjang. Sedangkan hal-hal gaib dan batiniah memang sama sekali tidak memiliki bandingan atau padanan yang persis sama, secara fisik-lahiriah-nyata. Segala "contoh-perumpamaan simbolik" berupa analogi atau pendekatan, agar umat telah bisa merasakan secara 'tak-langsung', atas segala hal yang sebenarnya dimaksud 'di baliknya', walau belum benar-benar dipahaminya.

Di lain pihak, segala "contoh-perumpamaan simbolik" itu, beserta maknanya secara 'tekstual-harfiah', sama sekali bukan 'kekeliruan', bahkan tiap umat Islam justru tetap bisa memakainya dalam kehidupan beragamanya. Tetapi makna seperti inipun memang bukan berupa "makna yang sebenarnya" atau "makna yang tertinggi" (Al-Hikmah / hikmah dan hakekat kebenaran-Nya). Serta tiap "contoh-perumpamaan simbolik" itu sendiri tentunya justru bukan berupa fakta-kenyataan yang sebenarnya.

Akal-pikiran tiap makhluk, jangkauannya tertinggi

'Esensi' Zat Allah justru mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Sekalipun jangkauan akal-pikiran tiap makhluk justru relatif 'tak-terbatas', serta bisa melampaui jangkauan segala alat inderanya, misalnya bisa mencapai: dari saat paling awal penciptaan alam semesta, sampai saat berakhirnya (akhir jaman); dari isi perut Bumi terdalam, sampai di luar batas tepi alam semesta; dari materi yang terkecil, sampai benda langit yang terbesar; dari paling benar, sampai paling sesat; kecepatannya bisa melebihi kecepatan cahaya (bisa berubah amat sangat cepat); dsb.

Bahkan termasuk pula segala hal yang disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, memang mestinya masih bisa dijangkaunya, karena Nabi memang mustahil menerangkan segala hal yang berada 'di luar' akal-pikiran manusia. Sedangkan umat-umat di jaman Nabi, tentunya justru meyakini dan mengikuti ajaran-ajaran Nabi, pasti karena memang ada mengandung 'kebenaran' di dalamnya (pasti bisa diterima oleh akal-pikiran mereka). Maka umat Islam mestinya bisa memisahkan atau membedakan, antara 'amat sangat sulit' terhadap 'tidak bisa' atau 'mustahil' dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk.

Dengan kata lainnya, segala sesuatu hal (nyata & gaib; lahiriah & batiniah; esensi & perbuatan; zat & non-zat; sedikit & banyak; mudah & rumit; jelas & kabur; dsb), "selain" tentang 'esensi' Zat Allah, tentunya justru mestinya masih bisa dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Ringkasnya, batasan akal-pikiran tiap makhluk justru hanya berupa 'esensi' Zat Allah. Sedangkan segala 'perbuatan' Zat Allah di alam semesta ini (melalui sunatullah), justru mestinya masih bisa dijangkaunya.

Page 18: Alam Semesta

Baca pula keistimewaan akal-pikiran manusia, termasuk menurut Imam Al-Ghazali.

Segala perbuatan-Nya di alam semesta, dalam jangkauan akal-pikiran tiap makhluk

Segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), memang justru masih bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Hal ini terutama karena melalui segala perbuatan-Nya itu, Allah memang hendak menunjukkan kemuliaan, kekuasaan atau kesempurnaan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya, agar bisa mengenal-Nya, Tuhan Pencipta dirinya dan alam semesta, serta sekaligus pula agar bisa menyembah-Nya.

Hal ini juga karena perwujudan atau pelaksanaan sunatullah justru dilakukan 'bukan langsung' oleh Allah sendiri, tetapi oleh tak-terhitung jumlah makhluk ciptaan-Nya di alam semesta (terutama para malaikat-Nya), dengan segala macam tugasnya masing-masing, di dalam melaksanakan segala perintah-Nya, secara sadar ataupun tidak. Selain itu, tentunya karena perwujudan sunatullah justru bisa dilihat, dirasakan atau diketahui, melalui segala alat indera lahiriah ataupun batiniah, pada tiap makhluk.

Baca pula Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah.

Tiap makhluk bisa mengenal tindakan atau perbuatan-Nya, dengan cara mengamati segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta, yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah). Karena hal seperti ini memang hanya semata hasil dari perbuatan-Nya, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Tetapi persoalan pengenalannya justru terletak pada segala kejadiannya, yang juga bersifat 'gaib' (tersembunyi / amat tidak jelas kentara).

Pertanyaannya, "apakah umat Islam juga harus kalah daripada kaum non-Muslim, dalam memahami hal-hal gaib?". Sir Isaac Newton misalnya, justru telah pula 'bertafakur' di bawah pohon apel, agar bisa menjawab "kenapa apelnya bisa jatuh ke Bumi?". Apel dan Bumi memang 'nyata', namun penyebab gravitasi justru 'gaib'. Padahal di lain pihak, dalam kitab suci Al-Qur'an justru telah amat banyak, luas dan lengkap menerangkan hal-hal gaib. Maka tinggal kemauan umat Islam, untuk bisa relatif makin memperjelas, melengkapi dan menyempurnakannya, sesuai dengan kemajuan perkembangan ilmu-pengetahuan.

"Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,", "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Rabb-kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka'." – (QS.3:190-191).

"…. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami), supaya kamu memikirkannya." – (QS.57:17) dan (QS.16:11, QS.2:164, QS.13:3, QS.16:67, QS.16:69).

"…. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu memikirkannya." – (QS.2:266) dan (QS.16:44).

Alam pikiran tiap makhluk (alam batiniah ruhnya) = alam akhiratnya

Di lain pihak, secara umum segala sesuatu hal di alam semesta bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar 'alam', yaitu: 'alam dunia' dan 'alam akhirat'. Jika alam dunia berupa alam fisik-lahiriah, maka alam akhirat berupa alam batiniah ruh (alam pikiran). Alam dunia dan alam akhirat justru berlangsung secara bersamaan, walau keduanya memang berada pada aspek yang

Page 19: Alam Semesta

berbeda (aspek lahiriah dan aspek batiniah). Hal inipun tentunya jauh berbeda daripada pemahaman umat Islam pada umumnya, karena kehidupan alam akhirat justru dianggapnya terjadi, hanya setelah selesainya kehidupan alam dunia (setelah Hari Kiamat).

Padahal kehidupan alam akhirat bagi tiap makhluk, justru telah dimulai dan berlaku 'kekal' (bersama zat ruhnya), sejak saat awal penciptaan zat ruhnya (saat awal penciptaan alam semesta), sampai saat "dikehendaki-Nya" lain. Sedangkan kehidupan alam dunia bagi tiap makhluk nyata (termasuk tiap umat manusia), dimulai sejak saat zat ruhnya menyatu ke tubuh wadah fisik-lahiriahnya (ditiupkan-Nya ruh), sampai saat zat ruhnya terpisahkan dari tubuh wadahnya (dicabut atau diangkat-Nya ruh di Hari Kiamat / saat kematiannya). Maka kehidupan alam akhirat setelah Hari Kiamat, adalah kehidupan alam akhirat yang sebenarnya dan murni (tidak lagi 'bercampur-baur' dengan kehidupan alam dunia).

Baca pula tahapan umum kejadian manusia dan jagalah hati-pikiran, tentang kaitan antara alam pikiran, alam batiniah ruh dan alam akhirat pada tiap makhluk.

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." – (QS.30:7).

'Alam akhirat' juga biasa disebut 'alam atas' atau 'alam malakut' (alam tempat para malaikat berada). Di alam pikiran tiap manusia misalnya, tiap saatnya memang pasti selalu diikuti, diawasi dan dijaga oleh sejumlah para makhluk gaib (para malaikat, jin, syaitan dan iblis), selama di dunia dan setelah Hari Kiamat, termasuk di dalam memberi segala bentuk ilham (positif dan negatif). Sedangkan 'alam dunia' juga biasa disebut 'alam bawah'.

Alam pikiran tiap makhluk = langit yang sebenarnya dan tertinggi

Dengan adanya pengelompokan 'alam dunia' (alam fisik-lahiriah) dan 'alam akhirat' (alam batiniah ruh / alam pikiran), maka tentunya ada 'langit lahiriah' dan 'langit batiniah' bagi tiap alamnya. Dimana 'langit lahiriah' terisi oleh segala partikel-materi-benda di 'alam semesta'. Sedangkan 'langit batiniah' terisi oleh segala bentuk ilmu-pengetahuan pada tiap makhluk, tentang segala sesuatu hal yang terkait dengan 'alam semesta'.

Dimana ilmu-pengetahuan makhluk, antara lain meliputi: Pencipta alam semesta (sifat, kehendak, perbuatan-Nya, dsb); hakekat dan tujuan penciptaan; segala 'zat' (zat ruh dan zat materi) dan 'non-zat' (aturan, pengajaran, tuntunan-Nya, dsb); segala benda mati dan makhluk hidup; segala alam (akhirat, rahim, dunia, kubur, dsb); dan segala hal lainnya (lahiriah & batiniah, nyata & gaib, fisik & moril, mutlak & relatif, benar & sesat, obyektif & subyektif, hakiki & semu, dsb).

Maka 'langit lahiriah' tentunya justru lebih rendah daripada 'langit batiniah', karena jangkauan akal-pikiran tiap makhluk bisa melampaui 'batas tepi' alam semesta (termasuk bisa melampaui batas daya jangkauan teleskop atau alat indera fisik-lahiriah). Serta 'langit batiniah', adalah langit yang sebenarnya, paling tinggi dan sempurna, yang terletak di alam pikiran tiap makhluk.

Dengan begitu, umat Islam mestinya juga bisa membedakan, antara 'langit lahiriah' (di alam semesta) dan 'langit batiniah' (di alam pikiran tiap makhluk), yang disebut dalam kitab suci Al-Qur'an. Tentunya 'langit' yang disebut terkait dengan keberadaan 'Arsy-Nya, justru hanya berupa 'langit batiniah' (bukan 'langit lahiriah'). Serta 'langit batiniah' juga bisa terdiri dari 'tujuh tingkat' (tingkat kesempurnaan pengetahuan tentang kebenaran-Nya).

Page 20: Alam Semesta

Bahkan perjalanan "'Isra dan Mi'raj" yang dialami oleh nabi Muhammad saw, adalah perjalanan 'batiniah' saat menembus 'langit batiniah', sampai bisa 'amat dekat' ke hadapan 'Arsy-Nya. Lebih jelasnya, perjalanan ini berupa pengembaraan kesadaran Nabi, pada saat sedang bertafakur, sambil dituntun oleh malaikat Jibril, dalam mencapai berbagai 'hijab-tabir-pembatas' terdekat (tertinggi), terhadap kebenaran 'mutlak' Allah di alam semesta. Pada saat itu Nabi telah bisa memperoleh banyak pemahaman Al-Hikmah (wahyu-Nya / hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang memang amat tinggi pula nilai kemuliaan dan keagungannya. Baca pula uraian-uraian di bawah.

Juga bisa mudah dipahami, jika dalam kitab suci Al-Qur'an disebut, seperti "Surga (di alam akhirat), seluas alam semesta (langit dan bumi)" dan "'langit lahiriah' adalah langit yang 'dekat'". Sekali lagi, hal ini karena 'alam akhirat' pada tiap makhluk (alam batiniah ruh / alam pikirannya), memang jangkauannya amat sangat luas, bahkan juga bisa melampaui 'batas tepi' alam semesta ('langit lahiriah'), termasuk bisa menjangkau bertingkat-tingkat hakekat, 'di balik' segala hal yang teramati di alam semesta. Kesempurnaan pengetahuan makhluk tentang kebenaran-Nya di alam semesta, memang banyak tingkatannya (tingkat kedekatan antara kebenaran 'relatif' makhluk dan kebenaran 'mutlak' Allah).

Lebih spesifiknya lagi, karena segala kemuliaan dan keagungan yang diperoleh tiap makhluk di Surga, memang seluas segala keadaan batiniah ruhnya sendiri. Segala keadaan ini terbentuk dari hasil balasan-Nya, secara adil atau setimpal, atas segala amal-perbuatan makhluknya, selama hidup di dunia. Saat pemberian balasan-Nya juga pasti dihitung-Nya, secara amat teliti dan adil, atas segala keadaan batiniah ruhnya dalam berbuat, misalnya: niat, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, tingkat keterpaksaan, beban ujian-Nya, beban tanggung-jawab, dsb.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu (bertaubat), dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa," – (QS.3:133) dan (QS.57:21).

"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang, …" – (QS.67:5) dan (QS.37:6, QS.41:12).

Keimanan (kesempurnaan pemahaman atas kebenaran-Nya) = kedekatan di sisi-Nya

Dalam artikel/posting terdahulu "Cara proses diturunkan-Nya wahyu" sekilas telah diungkap, bahwa para nabi-Nya memiliki segala pemahaman yang relatif amat 'sempurna', tentang kebenaran-Nya di alam semesta (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), terutama tentang segala hal yang paling penting, hakiki dan mendasar, dalam kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Serta merekapun sekaligus relatif amat 'konsisten' pula mengamalkan segala pemahamannya tersebut, dalam kehidupannya sehari-harinya (terutama dalam melayani seluruh umatnya).

"(Al-Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa, dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran." – (QS.14:52) dan (QS.6:115).

"…. Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." – (QS.4:82).

Page 21: Alam Semesta

"…, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an, sebelum disempurnakan diwahyukannya kepadamu, dan katakanlah: 'Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan'." – (QS.20:114).

"Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. …" – (QS.28:14).

Maka mudah dipahami, jika para nabi-Nya memiliki 'tingkat keimanan' yang relatif paling tinggi, dibanding dengan seluruh umat manusia lainnya di tiap jamannya. Hal inipun karena 'keimanan' meliputi aspek 'pemahaman' (ilmu) dan aspek 'pengamalan' (amal). Jika pemahaman berupa keimanan 'batiniah', maka pengamalan berupa keimanan 'lahiriah'.

Tiap pemahaman tanpa pengamalan, sama halnya suatu bentuk 'kemunafikan' (jika pemahamannya memang telah benar), ataupun sebaliknya pemahamannya sendiri belum benar atau belum sempurna (meragukan). Sedangkan tiap pengamalan tanpa pemahaman, sama halnya suatu bentuk 'taklid' (umat hanya mengikuti begitu saja, anjuran dari orang lain). Persoalan bisa amat mudah timbul pada tiap 'taklid', terutama jika pemahaman umat yang keliru atas anjurannya, ataupun sebaliknya anjurannya ada mengandung kekeliruan. Maka keimanan yang tinggi pasti tetap diperoleh hanya melalui gabungan sekaligus, antara 'pemahaman' yang sempurna dan 'pengamalan' yang konsisten.

Terkait dengan tingkat keimanan para nabi-Nya yang relatif paling tinggi, terutama akibat segala pemahamannya yang relatif amat 'sempurna' tentang kebenaran-Nya, maka dalam kitab suci Al-Qur'an, para nabi-Nya juga biasa disebut "amat dekat di sisi-Nya". Hal inipun karena di sisi-Nya memang terdapat kitab mulia (Lauh Mahfuzh), sebagai 'simbol' tempat tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta.

Bahkan dalam kitab suci Al-Qur'an justru juga amat sering disebut berdampingan, antara 'iman' dan 'amal'. Sehingga 'keimanan' memang lebih terfokus kepada 'pemahaman' (ilmu). Hal ini amat mudah dipahami, karena 'ilmu' memang berada di dalam pikiran tiap makhluk. Sedangkan tubuh wadah fisik-lahiriahnya, justru pasti hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah pikirannya (berdasar ilmu, pengetahuan atau kesadarannya). Ringkasnya, 'pengamalan' (amal) pasti timbul berdasar 'pemahaman' (ilmu). Sehingga juga amat mudah dipahami, jika justru amat banyak anjuran-Nya dalam kitab suci Al-Qur'an, agar umat Islam menggunakan akalnya, bagi usaha peningkatan keimanannya. Sebaliknya Allah justru memurkai umat Islam, yang tidak menggunakan akalnya (pada QS.10:100).

"…, dia (nabi-Nya) mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami, dan tempat kembali yang baik." – (QS.38:25) dan (QS.38:40, QS.33:69).

"Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan, serta rejeki (nikmat) yang mulia." – (QS.8:4) dan (QS.9:20, QS.10:2).

"Dan orang-orang yang beriman, serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal (tinggal) di dalamnya." – (QS.2:82) dan (QS.2:62, QS.2:277, QS.3:57, QS.4:57, QS.4:122, QS.4:173, QS.5:9, QS.5:69, QS.5:93, QS.7:42, QS.10:4, QS.10:9, QS.11:23, QS.13:29, QS.14:23, dsb).

"Dan tidak ada seorangpun akan beriman, kecuali dengan ijin-Nya. Dan Allah menimpakan kemurkaan, kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." – (QS.10:100).

Page 22: Alam Semesta

Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta

Seperti halnya segala hal gaib lainnya, tentunya kitab mulia (Lauh Mahfuzh) justru juga hanya suatu "contoh-perumpamaan simbolik". Selain itu, segala kebenaran-Nya pada fakta dan kenyataannya memang tersebar dimana-mana di alam semesta (pada hembusan angin dan awan; turunnya air hujan; sinar Matahari atau bintang; siang dan malam; pohon yang tumbuh dan berbuah; hembusan napas dan detak jantung; penciptaan dan kematian makhluk; dan pada tak-terhitung hal lainnya). Maka segala kebenaran-Nya memang pada hakekatnya 'berada' atau 'tercatat' di alam semesta (bukan di dalam suatu kitab).

"Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta" itu terkadang juga bisa disebut "ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis", "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya", "wajah-Nya", "sabda, firman, kalam atau wahyu-Nya yang 'sebenarnya'" dan "Al-Qur'an dan kitab-kitab-Nya lainnya yang berbentuk 'gaib', yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya".

Sedangkan semua sebutan itu hanya berbeda pada fokus, sudut pandang ataupun konteks pemakaiannya. Namun semuanya justru merujuk kepada sesuatu hal yang sama, berupa "segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta". Serta hal seperti ini memang semuanya hanya semata hasil dari tindakan atau perbuatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa dan Maha Kekal.

Dalam 'hati-nurani', letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang kebenaran-Nya

Lalu "dimanakah letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang kebenaran-Nya?". Jawaban ringkasnya, "dalam hati-nuraninya". Lihat pula pada gambar-gambar berikut.

Gambar diagram detail proses berpikir manusia

Page 24: Alam Semesta

Perlu diketahui dari gambar di atas, bahwa pemahaman atas istilah, definisi ataupun fungsi dari tiap elemen pada zat ruh manusia, bisa berbeda-beda pada tiap umat Islam dan alim-ulama. Hal inipun terutama karena memang terkait hal-hal yang 'gaib' (tersembunyi). Maka para pembaca diharapkan, agar bisa lebih cermat dan fleksibel dalam menelaahnya, terutama dengan lebih menambah kepekaan batiniahnya, serta juga lebih terfokus kepada fungsi dari tiap elemen ruh (bukan kepada istilah dan definisinya).

Menurut pemahaman penulis misalnya, 'hati' dianggap sama dengan 'kalbu', namun berbeda daripada 'hati-nurani'. 'Hati / kalbu' dianggap sebagai 'alat indera batiniah' pada tiap makhluk (penerima segala informasi dari luar zat ruhnya), terutama menerima segala informasi dari segala alat indera fisik-lahiriahnya, dan juga menerima segala ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif). Maka segala informasi batiniah pada 'hati / kalbu', juga dianggap bernilai kebenaran relatif paling rendah (mentah).

Sedangkan segala informasi batiniah pada 'hati-nurani', dianggap bernilai kebenaran relatif paling tinggi (telah diolah oleh akal dan pembentuk keyakinan makhluknya), bahkan tidak bisa dilangkahi atau berada di luar pengaruh 'godaaan' dari para makhluk gaib. Serta perbedaan antara 'hati / kalbu' dan 'hati-nurani' relatif mudah dipisahkan. Jika isi 'hati / kalbu' terpakai saat

Page 25: Alam Semesta

awal makhluknya menghadapi sesuatu hal. Sedangkan isi 'hati-nurani' terpakai saat berikutnya, setelah makhluknya mulai menilai benar / salahnya sesuatu hal.

Proses pemahaman tiap makhluk tentang kebenaran-Nya

Segala informasi yang 'tiap saatnya' telah bisa diketahui, dijangkau, ditangkap atau dirasakan oleh semua alat indera fisik-lahiriah pada tiap makhluk, lalu pasti selalu terkirim dan diterima pula oleh alat indera batiniah, pada zat ruhnya ("hati / kalbu"). Sedangkan kepada "hati / kalbu" itu, justru para makhluk gaib juga 'tiap saatnya' pasti selalu memberi segala bentuk ilham yang 'positif-benar-baik' (dari para malaikat) dan yang 'negatif-sesat-buruk' (dari para jin, syaitan atau iblis), sebagai bentuk pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah kepada tiap makhluk lainnya (termasuk tiap umat manusia).

Lalu segala informasi yang 'murni' dari semua alat indera fisik-lahiriah, dan beserta segala informasi 'tambahan' dari para makhluk gaib, juga 'tiap saatnya' pasti selalu diterima oleh "akal"-nya, untuk dipilih, diolah, dinilai dan diputuskannya, sebagai bahan-bahan bagi penyusunan segala bentuk kebenaran atau pengetahuan 'relatif' (menurut penilaian 'relatif' tiap makhluknya sendiri). Tiap kebenaran 'relatif' ini justru pasti tersimpan ke dalam "hati nurani"-nya, yang membentuk keyakinannya dalam menilai segala sesuatu halnya. Makin sering "akal"-nya digunakan, tentunya relatif makin banyak menumpuk segala kebenaran 'relatif' dalam "hati nurani"-nya. Segala kebenaran 'relatif' makin sempurna (keyakinannya makin kokoh-kuat dan sulit terbantahkan), jika "akal"-nya telah digunakan secara relatif makin obyektif, cermat dan mendalam.

Pada saat paling awal penciptaan zat ruh bagi tiap makhluk, telah ditanamkan-Nya segala "keadaan, sifat atau fitrah dasar", yang suci-murni dan bersih dari dosa, sekaligus di dalamnya terdapat segala kebenaran atau tuntunan-Nya yang "paling dasar", dalam hati nuraninya. Termasuk suatu tuntunan-Nya, agar tiap makhluk bisa mencari dan mengenal Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Yang sebenarnya telah menciptakan dirinya dan seluruh alam semesta. Hal ini disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, sebagai suatu bentuk 'kesaksian' dari tiap jiwa makhluk, tentang Allah, Tuhan Penciptanya (pada QS.7:172)

Lalu setelah saat penciptaan paling awal itu, segala kandungan isi hati nurani pada tiap makhluk, justru hanya terbentuk dari hasil olahan akalnya. Pada manusia misalnya, hal inipun terutama terbentuk sejak mulai melewati usia akil-baliqnya. Di lain pihak, justru tiap kandungan isi hati nurani juga bisa dipakai kembali oleh akalnya, dalam menilai segala sesuatu halnya, 'selanjutnya'. Maka amat mudah dipahami, jika dalam kitab suci Al-Qur'an amat banyak anjuran-Nya, agar umat Islam menggunakan akalnya. Serta sebaliknya Allah justru memurkai umat Islam, yang tidak menggunakan akalnya (pada QS.10:100). Karena penggunaan akal memang relatif makin menyempurnakan segala kandungan isi hati nurani (makin memahami tiap kebenaran-Nya / makin mengenal Allah / makin beriman).

Namun jika tiap umat manusia justru telah relatif banyak berbuat amal-keburukan (cenderung mudah terpengaruh oleh informasi dari syaitan dan iblis), tentunya kandungan isi hati nuraninya juga mudah terkotori oleh segala pengetahuan yang negatif-sesat-buruk, sekalipun akalnya memang amat cerdas. Hal inipun tentunya karena segala informasi yang terolah oleh akalnya, justru relatif banyak yang jauh dari kebenaran-Nya (bersifat 'mutlak' dan 'kekal'). Juga kecerdasannya cenderung tidak digunakan sebagaimana mestinya, untuk mencari kebenaran, tetapi justru untuk mengabaikan, menyembunyikan atau merekayasa kebenaran, sekecil, sesederhana atau sehalus apapun bentuknya ("sebesar biji zarrah").

Page 26: Alam Semesta

Kesempurnaan pemahaman para nabi-Nya tentang kebenaran-Nya

Seseorang yang telah bisa memiliki segala pemahaman yang relatif amat 'sempurna' tentang kebenaran-Nya (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), sehingga bisa menjawab hampir seluruh persoalan kehidupan umat kaumnya ataupun seluruh umat manusia, yang paling penting, hakiki dan mendasar, yang justru telah menjadikannya disebut "nabi-Nya", dan tiap pemahamannya juga disebut "wahyu-Nya". Hal ini tentunya relatif mudah dipahami, karena tiap nabi-Nya memang relatif paling memahami kehendak Allah, Tuhan Pencipta alam semesta, dari hasil segala usahanya yang relatif amat keras dalam mempelajari "tanda-tanda kekuasaan-Nya" di alam semesta ("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis").

Namun juga relatif mudah dipahami, bahwa 'kenabian' justru telah berakhir secara 'alamiah', pada nabi Muhammad saw. Karena tiap manusia memang memiliki keterbatasan kapasitas dalam memahami seluruh persoalan kehidupan umat manusia, yang pasti makin berkembang, serta juga memiliki keterbatasan waktu dan kemampuannya dalam melayani seluruh umatnya, yang makin banyak jumlahnya. Sedangkan di jaman dahulu (kehidupan umat relatif sederhana), hal-hal seperti ini masih bisa diatasi hanya oleh seorang nabi-Nya.

Segala kebenaran atau pengetahuan pada tiap manusia (bahkan termasuk pada tiap nabi-Nya), memang pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Namun kebenaran atau pengetahuan 'relatif' manusia juga bisa makin 'sesuai atau mendekati' kebenaran atau pengetahuan 'mutlak' Allah, jika telah diperoleh secara relatif amat 'obyektif' dan telah bisa tersusun secara relatif amat 'sempurna' (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), seperti halnya segala pengetahuan pada tiap nabi-Nya. Maka pengetahuan seperti ini relatif amat sulit bisa terbantahkan.

Tiap pengetahuan pada para nabi-Nya (wahyu-Nya), yang telah tersimpan di dalam dada-hati-pikirannya, memiliki segala dalil-alasan-hujjah dan penjelasan, yang relatif amat kokoh-kuat dan lengkap (sulit terbantahkan). Bentuk pengetahuan seperti ini telah biasa disebut "Al-Hikmah", sebagai bentuk pengetahuan yang tertinggi yang bisa dijangkau oleh umat manusia tentang suatu kebenaran-Nya. Juga seperti disebut di atas, tiap wahyu-Nya tersusun sebagai "satu-kesatuan" yang utuh (saling terkait), bersama seluruh wahyu-Nya lainnya pada tiap nabi-Nya. Tidak ada suatu wahyu-Nya yang berdiri sendiri dan terpisah.

'Hijab-tabir-pembatas' antara Allah dan tiap makhluk

Maka tiap wahyu-Nya ataupun Al-Hikmah, adalah tingkat perbedaan terkecil (jarak terdekat / 'hijab-tabir-pembatas' tertinggi), antara pengetahuan 'relatif' manusia terhadap pengetahuan 'mutlak' Allah. Hakekat wujud dari suatu 'hijab-tabir-pembatas' antara Allah dan tiap manusia, adalah tiap "tingkat kesempurnaan pengetahuan" manusianya, tentang 'sesuatu hal'. Tentunya 'hijab-tabir-pembatas' itu amat banyak, baik jumlah (jumlah segala pengetahuan), maupun tingkatannya (tingkat kesempurnaan tiap pengetahuannya).

Dari kesempurnaan seluruh pengetahuan pada tiap nabi-Nya (seluruh wahyu-Nya), tentunya iapun telah bisa mencapai berbagai 'hijab-tabir-pembatas' tertinggi (baik jumlah maupun tingkatannya). Sedangkan kesempurnaan pengetahuan pada tiap umat manusia biasa lainnya, relatif masih 'amat jauh' daripada para nabi-Nya, terutama tentang segala hal yang paling penting, hakiki dan mendasar, dalam kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Serta umat manusia biasa hanya bisa memperoleh 'Al-Hikmah', tetapi bukan 'wahyu-Nya' (seluruh 'Al-Hikmah' yang tersusun relatif amat sempurna).

Page 27: Alam Semesta

Sekali lagi, hal ini telah menjadikan para nabi-Nya bisa "amat dekat di sisi-Nya" (di hadapan 'Arsy-Nya). Dengan kata lainnya, tiap pengetahuan 'relatif' milik para nabi-Nya (tiap wahyu-Nya), justru telah bisa "amat dekat" dengan pengetahuan 'mutlak' milik Allah, di alam semesta. Namun para nabi-Nya justru mustahil bisa 'meraih' atau 'menyentuh' ke 'Arsy-Nya, karena seluruh pengetahuan mereka memang pasti tetap bersifat 'relatif', 'fana' dan 'terbatas'. Hal yang serupa tentunya terjadi pula pada segala makhluk lainnya (bahkan termasuk para malaikat utusan-Nya), dengan segala tingkat kedekatannya di sisi-Nya.

Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk

Dari uraian-uraian di atas telah bisa disimpulkan, bahwa Allah, 'Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) memang berada dalam "hati-nurani" tiap makhluk. Hal ini tentunya sama sekali bukan letak keberadaan yang sebenarnya bagi 'Zat' Allah, namun hanya letak pemahaman atau pengetahuan tentang Allah (tentang kebenaran-Nya). Bahkan 'Arsy-Nya tentunya juga bukan 'kursi / tahta' yang sebenarnya bagi 'Zat' Allah. Dan kitab mulia (Lauh mahfuzh) tentunya juga bukan tempat yang sebenarnya bagi tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta, yang meliputi seperti: sifat, kehendak, keredhaan, tindakan / perbuatan, hukum / aturan / ketentuan / ketetapan, qadla dan qadar (takdir), kitab-kitab-Nya, dsb, yang selain tentang 'esensi' Zat Allah.

Serta suatu pendapat tentang "keberadaan Allah, 'Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dalam 'hati-nurani' tiap makhluk", yang justru relatif paling sempurna dan tepat, karena justru bisa mencakup atau mewakili semua 'dalil naqli' dalam kitab suci Al-Qur'an, secara 'sekaligus', seperti: "di atas 'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), "di langit" (pada QS.67:16), "Maha Dekat" (pada QS.34:50), "dekat" (pada QS.2:186), "lebih dekat daripada urat leher" (pada QS.50:16), "dekat ke jiwa-ruh-nyawa" (pada QS.56:85) dan "dimana-mana" (pada QS.57:4, QS.58:7, QS.2:115). Baca pula penjelasan lebih lengkap di bawah, tentang keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an, jika dihubungkan dengan "keberadaan Allah dalam 'hati-nurani' tiap makhluk".

Di samping itu pula, pendapatnya justru tetap berdasar "ke-Esa-an Allah" (tauhid). Dimana semua manusia, dari jaman ke jaman, yang telah 'amat sempurna' bisa memahami 'suatu' kebenaran-Nya, maka pemahamannya masing-masing atas kebenaran itu, dalam 'hati-nurani'-nya, justru pasti 'sama' ('satu'). Hal ini karena segala kebenaran-Nya di alam semesta memang bersifat 'mutlak', 'kekal' dan 'universal', walau juga bersifat 'gaib'.

Contoh sederhananya, tauhid seluruh para nabi-Nya, dari jaman ke jaman, justru 'sama', seperti "Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa". Hal ini berdasar segala hasil usaha mereka yang maksimal, dalam mengenal Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Tentunya tauhid ini juga sekaligus berupa nilai yang bersifat 'universal' (tidak tergantung konteks ruang, waktu dan budaya). Serta sebaliknya, segala pemahaman atas keberadaan tuhan-tuhan selain Allah, justru 'bukan' hasil usaha yang maksimal dan bersifat 'universal'.

Di lain pihak telah diuraikan di atas, bahwa "'Arsy-Nya, yang amat mulia, agung dan besar, berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk". Hal ini karena kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah memang terkait dengan nilai-nilai kebenaran-Nya, yang tersimpan dalam 'hati-nurani' tiap makhluk (terutama para malaikat Jibril dan para nabi-Nya, yang justru telah diyakini relatif paling memahami tiap kebenaran-Nya). Bahkan para malaikat Jibril disebut khusus dalam kitab suci Al-Qur'an, seperti “akalnya amat cerdas” (pada QS.53:6).

Page 28: Alam Semesta

Tetapi tiap umat manusia biasa lainnya yang telah relatif sempurna memahami tiap kebenaran-Nya, tentunya juga bisa merasakan tiap kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah dalam 'hati-nurani'-nya, setelah bisa berhasil menggunakan 'akal'-nya dengan 'benar' (amat obyektif, cermat dan mendalam). Serta sumber yang paling aman, mudah, lengkap dan sempurna, bagi seluruh umat manusia, dalam berusaha mempelajari atau memahami segala kebenaran-Nya di alam semesta ("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis"), adalah "kitab suci Al-Qur'an", tentunya sebagai "ayat-ayat-Nya yang tertulis", yang terakhir.

Penjelasan tentang keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an

Telah diungkap di atas, bahwa keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an, disebut seperti: "di atas 'Arsy-Nya", "di langit", "Maha Dekat", "dekat", "lebih dekat daripada urat leher", "dekat ke jiwa-ruh-nyawa" dan "dimana-mana". Lalu mungkin timbul pertanyaan, "bagaimana hubungan antara berbagai keberadaan Allah tersebut, dan keberadaan Allah dalam 'hati-nurani' tiap makhluk?". Maka pada tabel berikut diungkap pula penjelasan dan sekaligus hubungannya masing-masing, secara ringkas.

a. Allah bersemayam "di atas 'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4 dan QS.57:4)

Ayat-ayat ini jumlahnya paling banyak dan hanya menyebutkan "Allah bersemayam di atas 'Arsy-Nya", serta justru tidak menyebutkan "di langit". Namun "'Arsy-Nya" dikaitkan atau disamakan secara tak-langsung dengan "langit", oleh sebagian dari umat Islam, karena ayat QS.11:7 menyebutkan "'Arsy-Nya berada di atas air". Lalu "air" yang dimaksud, dianggap sebagai "air laut", serta "langit", yang dianggap berada di atasnya. Di samping itu, juga karena ayat QS.67:16 menyebutkan "Allah berada di langit". Dan tentunya Allah juga terkadang dianggap berada "di atas".

Walau begitu, pendapat yang menyebutkan "Allah berada 'di langit' ataupun 'di atas'", justru kurang sempurna atau tepat. Karena tiap makhluk bisa menunjuk 'langit' dan 'atas'-nya masing-masing. Juga 'atas' bagi suatu makhluk, justru bisa menjadi 'bawah' bagi makhluk lainnya. Maka pemahaman bagi 'langit' dan 'atas', lebih tepat dianggap sebagai kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, Yang Maha Tinggi (tak-terbatas). Apalagi 'Arsy-Nya memang amat mulia, agung dan besar.

Bahkan 'langit' yang sebenarnya, tertinggi dan sempurna berupa 'langit batiniah', yang berada di alam pikiran tiap makhluk, bukan 'langit lahiriah' (langit yang biasa dikenal).

Di lain pihak telah diuraikan di atas, bahwa 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk. Karena kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, memang terkait dengan nilai-nilai kebenaran-Nya yang tersimpan dalam 'hati-nurani' tiap makhluk (terutama para malaikat Jibril dan para nabi-Nya), yang telah amat sempurna memahaminya. Sehingga iapun bisa mendapat derajat atau kedudukan yang tinggi di sisi 'Arsy-Nya.

b. Allah berada "di langit" (pada QS.67:16)

Hanya ayat ini yang langsung menyebutkan "Allah berada di langit".

Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin a di atas. Namun sekali lagi, segala pendapat yang menyebutkan "Allah berada 'di langit', justru kurang sempurna atau tepat. Lebih tepat dianggap sebagai kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, Yang Maha Tinggi (tak-terbatas).

c. Allah "Maha Dekat" (pada QS.34:50)

Page 29: Alam Semesta

Ayat ini terkait dengan sifat Allah, Yang "Maha Dekat". Tentunya sifat inipun hanya berupa sifat 'perbuatan' Zat Allah, dan bukan sifat 'esensi' Zat Allah. 'Esensi' Zat Allah bahkan mustahil bisa dijangkau oleh para malaikat dan para nabi-Nya sekalipun.

Segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), justru bagian yang paling penting dari kebenaran atau pengetahuan-Nya. Dimana segala perbuatan-Nya secara lahiriah (melalui sunatullah lahiriah), terwujud atau terlaksana oleh para malaikat, yang menempati tiap partikel-materi-benda. Sedangkan segala perbuatan-Nya secara batiniah (melalui sunatullah batiniah), terwujud atau terlaksana oleh aejumlah para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang menempati alam pikiran tiap makhluk lainnya (termasuk tiap manusia).

Tentunya sifat "Maha Dekat" justru lebih terkait dengan segala perbuatan-Nya secara batiniah (bukan secara lahiriah). Karena alam batiniah ruh atau alam pikiran tiap makhluk, memang berada dalam 'diri' makhluknya (dalam jiwa-ruh-nyawanya).

Di lain pihak, 'hati-nurani' tiap makhluk memang salah-satu elemen dari zat ruhnya. Serta segala informasi batiniah pada "hati-nurani", justru bernilai kebenaran relatif paling tinggi (pembentuk keyakinan batiniahnya), dibanding pada elemen-elemen lainnya. Juga tingkat kebenaran tiap kandungan isi 'hati-nurani' justru menunjukkan tingkat kedekatan antara pengetahuan 'relatif' makhluknya dan pengetahuan 'mutlak' Allah (tingkat kedekatan antara makhluknya dan Allah / tingkat keyakinannya).

d. Allah "dekat" dengan tiap manusia (pada QS.2:186)

Ayat ini terkait dengan 'kedekatan' Allah dengan tiap makhluk (termasuk manusia).

Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c di atas.

e. Allah "lebih dekat daripada urat leher" tiap manusia (pada QS.50:16)

Ayat ini terkait dengan 'pengetahuan' Allah, Yang juga meliputi segala bisikan isi hati tiap makhluk nyata (termasuk manusia). Sedangkan hati makhluknya memang 'lebih dekat' daripada urat lehernya (anak tekaknya). Lebih jelasnya, ucapan tiap makhluk melalui urat lehernya, memang timbul atau terwujud berdasar isi hatinya.

Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c dan d di atas. Namun penyebutan "hati / kalbu" juga kurang tepat (lebih tepat justru "hati-nurani"). Karena menurut pemahaman penulis, segala informasi batiniah pada "hati / kalbu", bernilai kebenaran relatif paling rendah. Dimana "hati / kalbu" dianggap sebagai "alat indera batiniah" pada tiap makhluk (penerima segala informasi dari luar zat ruhnya), terutama menerima segala informasi dari segala alat indera fisik-lahiriahnya, dan juga menerima segala ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif).

Di lain pihak, segala informasi batiniah pada "hati-nurani", bernilai kebenaran relatif paling tinggi (telah diolah oleh akal dan pembentuk keyakinan makhluknya), serta tidak bisa dilangkahi atau berada di luar pengaruh 'godaaan' dari para makhluk gaib.

Perbedaan antara "hati / kalbu" dan "hati-nurani" relatif mudah dipisahkan. Jika isi "hati / kalbu" terpakai saat awal makhluknya menghadapi sesuatu hal. Sedangkan isi "hati-nurani" terpakai saat berikutnya, setelah makhluknya mulai menilai benar atau salahnya sesuatu hal.

f. Allah "dekat ke jiwa-ruh-nyawa" tiap manusia (pada QS.56:85)

Ayat ini terkait dengan 'kedekatan' Allah dengan 'jiwa-ruh-nyawa' pada tiap makhluk nyata

Page 30: Alam Semesta

(termasuk manusia), daripada dengan tubuh wadah fisik-lahiriahya. Apalagi hakekat dari tiap makhluk memang berada pada 'zat ruhnya', dan bukan pada tubuh wadah fisik-lahiriahya.

Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c s/d e di atas.

g. Allah berada "dimana-mana" (pada QS.57:4, QS.58:7 dan QS.2:115)

Ayat QS.57:4 terkait dengan 'keberadaan' Allah, dimanapun tempat tiap makhluk berada (termasuk manusia). Ayat QS.58:7 terkait dengan 'pengetahuan' Allah, Yang juga meliputi segala isi pembicaraan tiap makhluk (termasuk manusia), dimanapun tempat pembicaraannya. Serta ayat QS.2:115 terkait dengan "wajah-Nya", yang berada dimana-mana di alam semesta ("tanda-tanda kekuasaan-Nya").

Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c s/d f di atas. Hakekat dari tiap makhluk memang berada pada zat ruhnya. Maka dimanapun tiap makhluk berada, tentunya di situ pula zat ruhnya pasti berada, ataupun sebaliknya.

Segala sikap, perkataan dan perbuatan dari tiap makhluk memang dikendalikan oleh ruhnya. Maka para malaikat Rakid dan 'Atid yang memang diutus-Nya, dan memang berinteraksi dengan 'hati / kalbu' pada zat ruh makhluknya, tentunya juga pasti bisa mengetahui segala isi pembicaraannya, dimanapun dilakukannya.

Serta perwujudan segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), justru dilakukan oleh tak-terhitung jumlah makhluk ciptaan-Nya di alam semesta (terutama para malaikat-Nya). Maka "wajah-Nya" ("tanda-tanda kekuasaan-Nya"), tentunya memang berada dimana-mana di alam semesta, tempat segala ruh makhluk berada.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian atau penjelasan di atas, maka umat Islam mestinya sama sekali tidak perlu saling berselisih atau bahkan saling mengkafirkan, hanya akibat ada perbedaan pendapat tentang keberadaan Allah. Umat Islam justru bisa menyebutnya seperti: "di atas 'Arsy-Nya", "di langit", "di atas", "Maha Dekat", "dekat", "lebih dekat daripada urat leher", "di hati", "dekat ke jiwa-ruh-nyawa", "dimana-mana" dan juga "di dalam 'hati-nurani'".

Hal ini karena semua pendapat tersebut memang ada mengandung kebenaran (ada dalil-dalilnya dalam kitab suci Al-Qur'an), walau sedikit berbeda tingkat kesempurnaannya masing-masing. Namun jika keberadaan Allah mestinya dipilih atau disebut, maka secara 'tekstual-harfiah' paling tepat "di atas 'Arsy-Nya", dan secara 'hikmah dan hakekat' paling tepat "di dalam 'hati-nurani'".

Hal lebih pentingnya lagi, bahwa tiap pendapat tentang keberadaan Allah, mestinya bukan terkait dengan keberadaan yang sebenarnya bagi Zat Allah, ataupun bukan tentang 'esensi' Zat Allah, Yang Maha Esa, Maha Gaib dan Maha Suci, karena tersucikan dari segala sesuatu hal. Namun pendapatnya mestinya hanya terkait dengan "letak pemahaman atau pengetahuan" tiap makhluk, tentang Allah (tentang sifat, kehendak, keredhaan, tindakan / perbuatan, kebenaran / pengetahuan-Nya, dsb), selain tentang 'esensi' Zat Allah.

Segala pendapat yang memang berusaha membicarakan, tentang 'esensi' Zat Allah, justru pasti melahirkan segala dilema, kegagalan, 'ketidak sempurnaan' pemahaman umat tentang sifat-sifat Allah, atau bahkan paling parahnya, melahirkan segala "kemusyrikan", seperti halnya yang

Page 31: Alam Semesta

terjadi pada agama-agama 'musyrik' (Tuhannya 'tidak sempurna', dan berupa seperti: para malaikat, para dewa, manusia biasa, patung / berhala, dsb).

Serta suatu pendapat tentang "keberadaan Allah, 'Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dalam 'hati-nurani' tiap makhluk", yang justru relatif paling sempurna dan tepat, karena memang bisa mencakup atau mewakili semua dalil naqli ataupun semua pendapat di atas, secara sekaligus. Selain itu, pendapatnya juga tetap berdasar "ke-Esa-an Allah".

Namun juga pendapat ini tentunya mestinya tetap dijelaskan secara cukup cermat, misalnya: "Dalam 'hati-nurani' bukan berada Zat Allah, tetapi berada pemahaman tentang kebenaran-Nya"; "Jika manusia sedang mengingat Allah (berzikir), maka Allah pasti hadir dalam 'hati-nurani'-nya"; "Allah, Maha mengetahui segala isi hati, sikap, perkataan atau perbuatan manusia, sekecil atau sehalus apapun, kapanpun dan dimanapun berada"; dsb.

Dan harap baca pula buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", untuk penjelasan yang lebih lengkap, tentang Kembali ke hadapan 'Arsy-Nya dan Kandungan isi kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, di samping dari topik-topik terkait lainnya dalam buku ini, termasuk untuk mengetahui lebih lengkap, ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang mendukung berbagai dalil-alasan bagi tiap penjelasan atau pemahaman di atas.

Wallahu a'lam bishawwab.