Abstract Jurnal Sd Geologi

25
Jurnal Sumber Daya Geologi

description

abstract

Transcript of Abstract Jurnal Sd Geologi

Page 1: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

Page 2: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

JSDG VOL. 19 NO. 3 JUNI 2009

1) PENGARUH TEKTONIK PADA RUNTUNAN ENDAPAN ALUVIAL DEPRESI

PADANGSIDEMPUAN, SUMATERA UTARA

U. M.Lumbanbatu, C. Basri, S. Hidayat dan D.A. Siregar

Pusat Survei Geologi, JI. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI Daerah penelitian Depresi Padangsidempuan diisi oleh endapan Aluvial yang bersifat urai. Sedimen tersebut dapat dipisahkan ke dalam lima lingkungan pengendapan seperti cekungan banjir, limpah banjir, endapan alur sungai purba, endapan rawa dan endapan rombakan.

Upaya memahami pengaruh kegiatan tektonik terhadap runtunan endapan, beberapa penampang dibuat. Dari penampang tersebut terlihat bahwa runtunan pengendapan telah mengalami gangguan oleh aktivitas tektonik seperti penurunan dan pengangkatan. Indikasi penurunan di daerah ini diperlihatkan oleh perulangan fasies endapan rawa pada posisi stratigrafi yang berbeda, serta oleh posisi Sungai Batang Toru yang berimpit dengan endapan slur sungai purba tiga (Ch-3). Selanjutnya pengaruh pengangkatan menyebabkan terjadinya pergeseran endapan alur sungai purba secara mendatar. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa intensitas tektonik di daerah penelitian tidaklah terlalu kuat.

Kata kunci: tektonik kuarter, alur sungai purba, cekungan regangan, runtunan sedimen

ABSTRACT The investigated area, that is so called Padangsidempuan depression has been filled up by unconsolidated fluvial sediments. The sediments can be distinguished into five different environments, these are flood basin deposit, flood plain deposit, palaeo channel deposit, swamp deposit and colluvium deposit. To understand the influence of tectonic activities on lithological succession of the studied area several profiles were made. It reveals, that lithological successions have been disturbed by tectonic activities such as subsidence and uplifted. Subsidence can be identified by alternating of swamp facies deposit within different stratigraphic position and superimposed of the Batang Toru river on the palaeo channel deposit three (Ch-3). Further more the effect of uplifting caused palaeo channel deposit shifting horizontally. The data show that the tectonic activities in the studied area are not so very intensive. Keywords: quarternary tectonics, palaeo channels, pu

Page 3: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

2) CRETACEOUS OROGENIC GRANITE BELTS, KALIMANTAN, INDONESIA

Amiruddin

Geological Survey Institute JI. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

ABSTRACT Two types of Cretaceous Orogenic Granite-Belts are able to be recognized in Kalimantan, which tend to show characteristics of Cordilleran and Caledonian Granite-Types. The Cordilleran Granite-Type consists of huge granitoid batholiths known as the Schwaner, Ketapang and Singkawang batholiths. This granite type comprises tonalite and granodiorite, and minor granite sensu stricto, predominantly owning calc-alkaline to slightly alkaline composition. The granitioids are also metaluminous and slightly peraluminous which probably due to the assimilation of magma stopping. Genetically, the granite is an I-type which was formed during a subduction of oceanic crust material beneath a continental margin. Those plutons were emplaced during a longer period, rangingfrom 86 to 129 m.a orfrom Early to Late Cretaceous. The Caledonian Granite-Type comprises isolated smaller plutons of Pueh Granite, Manyukung Granite, Era Granite, Topai Granite, Nyaan Granite, Alan Granite, Kelai Granite and Sangkulirang Granite. This granite type consists of granite sensu stricto and granodiorite, having calc-alkaline and alkaline and also metaluminous and peraluminous compositions. They belong to 1-type and S-type granites, suggesting that in the area, different magma sources had been generated. The I-type granite was derived from partial melting of igneous rock whereas the S-type one was derived from anatexis of sedimentary rocks of continental crust. These plutons were emplaced within a relatively short time, rangingfrom 74.9 to 80.6 m.a or Late Cretaceous. Keywords: Cretaceous Orogenic Belts, Cordilleran and Caledonian Granite types.

SARI Dua tipe Jalur Granit Orogen Kapur dapat diketahui di Kalimantan, yang cenderung memperlihatkan ciri-ciri tipe Granite Kordilera dan tipe Granite Kaledonia.

Jalur Granit Kordilera terdiri dari batolitgranit berukuran sangat besar yang dikenal sebagai batolit Schwaner, Ketapang dan Singjkawang. Jenis granit ini terdiri dari tonalit, granodiorit dan sedikit granit (sensu stricto), kebanyakan berkomposisi calc-alkalin sampai agak alkalin. Batuan granit tersebut umumnya juga berkomposisi metaluminus dan sedikit peraluminus yang barangkali disebabkan oleh adanya proses asimilasi "magma stopping". Secara genesa granit ini bertipe I yang terbentuk pada saat penghunjaman suatu kerak samudera terhadap suatu tepi lempeng benua. Tubuh pluton tersebut telah ditempatkan dalam waktu nisbi atau relatif panjang yang berkisar dari 86 sampai 129 juta atau dari KapurAwal sampai KapurAkhir.

Jalur Granit Kaledonia terdiri dari tub uh-tubuh pluton terisolasi berukuran kecil yaitu : Granif Pueh, Granit Manyukung, Granit Era, Granit Topai, Granit Nyaan, Granit Alan, Granit Kelai dan Granit Sangkulirang. Jenis granit ini terdiri dari granit (sensu stricto) dan granodiorit, berkomposisi calk-alkalin dan alkalin dan juga metaluminus dan peraluminus. Batuan granit tersebut merupakan granit tipe I dan tipe S yang memberikan dugaan bahwa di wilayah ini terdapat sumbermagma yang berbeda. Granit tipe I berasal dari peleburan batuan beku sedangkan tipe S berasal dari peleburan batuan sediment di kerak bumi. Tubuh intrusi tersebut telah ditempatkan dalam waktu yang lebih pendek berkisar dari 74,9 sampai 80, 9 juta tahun yang lalu atau KapurAkhir.

Kata Kunci : Jalur Orogenik Kapur, Tipe Granit Kaledonian dan Kordilera.

Page 4: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

3) MEDAN GAYA BERAT PADA BATUAN OFIOLIT (ULTRAMAFIK) DI BEOGA, PAPUA DAN

IMPLIKASI TERHADAP GENESIS ALIH TEMPATNYA

B. Setyanta dan B.S. Widijono

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro No. 57 Bandung, 40122

SARI Di daerah Beoga, Puncak Jaya, Papua, tersingkap sekelompok batuan ofiolit yang terdiri atas piroksenit, dunit, serpentenit, dan peridotit yang tersebar memanjang dengan arah barat - timur sepanjang kurang lebih 100 km dan lebar sekitar 50 km.

Anomali gaya berat pada kelompok batuan ini menunjukkan pola elips dengan kisaran nilai antara -25 mGal hingga 160 mGal. Pemodelan gravitasi yang ditunjang dengan analisis geologi menggambarkan bahwa batuan ofiolit sudah mengalami fragmentasi dall tersingkap karena proses obduksi akibat tumbukan dua lempeng besar yakni Lempeng Granitik Australia dan Lempeng Samudra Pasifik. Tataan tektonik yang demikian memberikan dampak rawan bencana gempa bumi dan tanah longsordi daerah Mulia dan sekitarnya.

Kata kunci : medan gaya berat, ofiolit, genesis, potensi geologi

ABSTRACT In Beoga, Puncak Jaya, Papua, a group of ultramafic rocks consisting of piroxenite, dunite, serpentenite and peridotite are exposed. The distribution of these rocks are very large, lying alongside east - west direction, reaching 50 km and 100 km long. The gravity fields in this region exhibit an elliptic gravity anomaly pattern ranging from -25 to 160 mGals. The gravity modelling and geological analysis suggest that ophiolite has been fragmented and exposed due tg obduction, caused by an interaction between Pacific oceanic and Australian granitic plates. This tectonic setting may cause Mulia and its surrounding area to be susceptible to geological hazards such as earthquake and landslides. Keywords -gravity potentials, ophiolite, genesis, geology potential

Page 5: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

4) BIOSTRATIGRAFI DAN BIOTA JURA KEPULAUAN MISOOL, INDONESIA DAN KORELASI

INTERREGIONAL DAN GLOBALNYA

Fauzie Hasibuan Pusat Survei Geologi

JI. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

[email protected]

SARI Kepulauan Misool mempunyai kesamaan dengan Kepulauan Sula berdasarkan kandungan fauna bivalvianya, tetapi berbeda derEgan Kepulauan Sula yang mengandung kumpulan fosil amonit yang lebih baik, namun di Kepulauan Misool digantikan oleh kumpulan fosil belemnit. Fauna Kepulauan Misool ini dapat dikorelasikan dengan fauna Papua berdasarkan pada fauna amonit seperti Fontannesia killiani. Fauna Kepulauan Misool ini juga dapat dikorelasikan dengan fauna Alpin Eropa, Amerika Utara, Chili, Argentina, Selandia Baru, Australia Barat Laut, Tibet Utara dan Selatan, Himalaya dan lain-lain. Walaupun demikian, korelasi dengan wilayah-wilayah lainnya berdasarkan beberapa jenis saja, dan kadang-kadang berdasarkan marga-marga yang bersifat kosmopolitan.

Kata kunci: Jura, Kepulauan Misool, amonit, bivalvia, korelasi interregional clan global

ABSTRACT The Jurassic fauna of Misool Archipelago is very similar to Sula Islands on the basis of bivalve content, but it differs from Sula Islands in that good ammonite assemblages which replaced by assemblages of belemnites. The fauna of Misool Archipelago can also be correlated with Papua is on the basis of ammonite fauna such as Fontannesia kill iani. Misool Archipelago fauna is also correlable with those of the European Alps, North America, Chile, Argentina, New Zealand, Northwestern Australia, North and South Tibet, Himalaya, etc. However, some areas correlation is based only on a few species and sometimes only on cosmopolitan genera. Keywords: Jurassic, Misool Archipelago, ammonites, bivalve, interregional and global correlation

Page 6: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

5) LITOSTRATIGRAFI PEGUNUNGAN SELATAN BAGIAN TIMUR DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH

Surono

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI Bagian tengah Pegunungan Se latan, yangtersebartimur- barat mulai Parangtritis (Yogyakarta) sampai Dataran Baturetno (Wonogiri, Jawa Tengah), disusun oleh batuan sedimen klastika, clan batuan sedimen karbonat yang bercampur dengan batuan gunung api. Kegiatan vulkanisme sangat intensif pada Oligosen Akhir sampai Miosen Awal. Berdasarkan litologinya, Pegunungan Selatan dapat dibagi dalam tiga periode: periode pravulkanisme, periode vulkanisme, dan periode pascavulkanisme atau periode karbonat. Batuan yang terbentuk pada periode pravulkanisme merupakan alas batuan yangterbentuk pada periodevulkanisme.

Hasil pemetaan clan penelitian geologi di Pegunungan Selatan mulai 2003 dirangkum dalam tulisan ini. Hasil pemetaan/penelitian tersebut di antaranya berupa formasi dapat dipisahkan lagi, sehingga formasi tersebut diusulkan untuk ditingkatkan menjadi kelompok.

Kata kunci: Pegunungan Selatan, litostratigrafi, periode vulkanisme, batuan alas

ABSTRACT the central part of the Southern Montains, which extends east-west from Parangtritis (Yogyakarta) to Baturetno Plain (Wonogiri, Central Jawa), is typically formed by clastic and carbonate sediments with volcanic rocks. Volcan7c activities had been very intensive during Late Oligocene - Early Miocene. Based on their lithologies, the Southern Montains can be divided into: pra-volcanic, volcanic and postvolcanic (carbonate) periods. The rocks formed during pre-volcanic period are as the basement of the rocks which were formed during the volcanic period. Results geological mapping/study in this Southern Montains are pesented in this paper, e.g. similar formations can be divided into smaller lithologic unit, therefore the formations can be proposed into groups. Key words: Southern Montains, lithostragraphy, volcanism period, basement rocks

Page 7: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

Page 8: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

JSDG VOL. 19 NO. 4 AGUSTUS 2009

1) PERKEMBANGAN DATARAN PANTAI (COASTAL PLAIN) DAERAH KENDAL PROVINSI JAWA TENGAH

Ungkap M. Lumbanbatu

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro No. 57 Bandung - 40122

SARI Wilayah dataran pantai (coastal plain) yang bersifat dinamis selalu mengalami perubahan. Pemahaman akan tataan stratigrafi endapan Kuarter berperan penting untuk menjelaskan proses-proses geologi yang terjadi dalam pembentukan dataran pantai. Berdasarkan analisis tataan stratigrafi Holosen, di daerah penelitian terlihat adanya proses geologi berupa genang laut, "susut laut dan aktivitas tektonik. Peristiwa geologi tersebut diperkirakan dapat mempengaruhi perubahan arah perkembangan dataran pantai di daerah ini.

Kata kunci : tektonik, runtunan stratigrafi Kuarter, genang laut, susut laut

ABSTRACT A coastal plain area having dynamic charakterisitc. Understanding of Quaternary stratigraphy plays an important role in explaining the occurance of geological processes during the development of the coastal plain. Holocene stratigraphic sequence analysis reveals that the studied area has been influenced by several geological processes such as sea level rise and drop, and tectonic activities. These geological phenomenas are expected as the agents to change the directions of coastal plain development. Keywords: tectonics, quaternary stratigraphic sequences, sea level rise, sea level drop ,

Page 9: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

2) MORFOLOGI DAN UMUR PERPINDAHAN ALUR SUNGAI OPAK DI DAERAH BERBAH SLEMAN

Santoso

Pusat Survei Geologi

JI. Diponegoro 57, Bandung 40122

SARI Kondisi morfologi lembah Opak di Dusun Dadapan, daerah Berbah, mengindikasikan bahwa Sungai Opak telah mengalami tiga kali pergeseran. Berdasarkan hasil pengukuran terperinci dengan metode passing compas, dapat dikenali adanya tiga lembah Sungai Opak purba yang masing-masing dipisahkan oleh morfologi teras. Berdasarkan hasil uji laboratorium dengan metode C14 terhadap endapan lempung organik yang diambil di lembah Sungai Opak 1, 2, 3, dan sungai sekarang masing-masing menunjukkan umur 6950 th BP; 6800 th BP; 6430 th BP dan 6360 th BP Hal ini membuktikan_bahwa tektonik di daerah ini sangat aktif karena dalam kurun waktu Holosen Atas ( 10.000th) Sungai Opaktelah mengalami tiga kali pergeseran.

Kata kunci., alur sungai purba, pergeseran, tektonik

ABSTRACT The morphologic condition of the Opak valley at Dadapan Village, Berbah area, indicates that the Opak River has three times shifted. Based on the passing compass land detail measurement, three paleo river valleys, can be recognized which are separated by terrace morphology. The result of carbon dating by using C14 method to the organic clay deposits which was taken from Opak valley 1, 2, 3, and existing river, shows the ages are 6950 years BP, 6800 years BP, 6430 years BP, and 6360 years BP. It proves that the tectonic in this area is very active, because during Upper Holosen ( 10, 000 years) the Opak River has three times shifted. Keywords: paleo river channel, shifting, tectonic

Page 10: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

3) SEDIMENTOLOGI DAN STRATIGRAFI ALUVIUM BAWAH PERMUKAAN DI PESISIR CIREBON DAN SEKITARNYA

S. Hidayat, H. Mulyana, H. Moechtar dan Subiyanto

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro 57, Bandung 40122.

E-mail: [email protected]

SARI Studi ini mencakup analisis sedimentologi dan stratigrafi terhadap tujuh hasil pemboran dangkal, yang dilakukan di sepanjang garis pantai Cirebon dengan arah barat laut - tenggara. Kedalaman pemboran berkisar antara 8 hingga 13 m. Endapan aluvium bawah permukaan berumur Holosen tersebut dapat dibedakan menjadi tujuh sistem pengendapan, terdiri atas Formasi Gintung, endapan laut lepas pantai, laut dekat pantai, pasir pantai, rawa, alur sungai, dan limpah banjir. Berdasarkan aspek stratigrafinya, susunan sedimen tersebut dapat dibedakan menjadi tiga interval pengendapan OP I-III). Setiap interval dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapannya yang dikontrol oleh peristiwa perubahan permukaan laut, seperti permukaan tinggi OP I), permukaan laut turun OP II), dan permukaan laut rendah OP III). Dinamika endapan kuarter yang berkaitan dengan perubahan lingkungan pengendapannya serta pengisian cekungan dipengaruhi oleh sirlulasi iklim universal, tektonik regional, clan perubahan lokal.

Kata kunci: endapan aluvium, , tektonik, iklim

ABSTRACT This study was based on sedimentological analyses of seven boreholes located along the NW to SE traverse, approximately parallel to coastal line of Cirebon. The penetration of the bore head varies from 8 to 13 m. Holocene subsurface of alluvial deposits can be divided into seven environment systems, consisting of Gintung Formation and deposits of offshore, nearshore, beach sand, swamp, channel river, and floodplain. Based on stratigraphic aspects, the succession of that sediments can be divided into three sedimentary intervals (IP I-lll). Each interval is typically for environment changes which is controlled by changes of sea level, such as high sea level UP I), sea level falling UP //), and low sea level UP IIU. The Quaternary dynamics related to environment changes and changes of basin fill were influenced by universal of climatic circulation, regional tectonic, and local of sea level changes. Keywords: Aluvium deposits, sea level, tectonic, climate .

Page 11: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

4) PROSES SEDIMENTASI DASAR LAUT DI TELUK KUMAI, KALIMANTAN TENGAH, DAN HUBUNGANNYA DENGAN CEBAKAN EMAS DAN PERAK

E. Usman dan Imelda R. Silalahi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan JI. Dr. Junjungan No. 236 Bandung 40174

Telp. 022.6017887, Email: [email protected]

SARI Hasil analisis kandungan emas dan perak dalam sedimen dasar laut di Teluk Kumai menunjukkan kandungan tertinggi terdapat pada lokasi TPL-43, TPL-44, TPL-54, TPL-74 dan TPL-75, yang berkisar antara 0,09 - 0,19 ppm emas clan 1,6 - 3,75 ppm perak. Kurva hubungan antara besar butir dan persentase kumulatif butiran sedimen mengandung emas dan perak menunjukkan proses-pengendapan sedimen membentuk pola gabungan antara saltasi clan suspensi. Pola saltasi terjadi pada ukuran butir antara -1,5 phi hingga 2 phi clan pola suspensi pada ukuran butir antara 2 - 4 phi. Berdasarkan kurva hubungan besar butir dan persentase frekuensi butiran menunjukkan adanya butiran tertentu yang mendominasi proses pengendapan. Ukuran butir yang paling berpengaruh dalam proses pengendapan tersebut adalah antara 0,5 - 2,5 phi (medium sand - very fine sand) dengan jumlah berkisar antara 10 - 28%. Pola pengendapan sedimen di daerah penelitian dipengaruhi oleh rezim arus teluk sebagai gabungan arus laut dan arus sungai yang membentuk endapan pasir pantai. Hasil analisis di atas dapat menjadi arahan dalam kegiatan pendulangan emas clan perak di daerah penelitian, sehingga diperoleh hasil yangoptimal, yaitu pada sedimen berukuran sedangsampai halus di sekitargaris pantai.

Kata kunci: sedimen, emas dan perak, proses pengendapan, ukuran butir, Teluk Kumai

ABSTRACT Results of analysis of gold and silver contents within the sea floor sediments in the Kumai Bay show that the highest contents are at the location of TPL-43, TPL-44, TPL-54, TPL-74 and TPL-75 locations with ranging from 0, 09 to 0,19 ppm for gold and 1, 6 to 3, 75 ppm forsilver. A curve showing the relationship between grain size and percentage of grain cumulative of gold and silver bearing sediments indicates that the deposition process is a combination pattern between saltation and suspension. The saltation pattern happened at the grain size between -1, 5 to 2 phi and suspension pattern 2 - 4 phi. Based on relation curve of the grain size and frequency percentage of the grains indicate the present of a certain grain dominated the depositional process. The most influenced grain size on depositional process are between 0, 5 - 2,5 phi that are a medium sand to very fine sand of about 10 - 28%. The depositional pattern of the sediment in the survey area is influenced by the regime of bay current as a combination of the sea and river currents to form the coastal sand sediments. Result of the analysis can become a guidence in gold and silver mining activities in the study area in order to obtain optimal results, that is on sediments with size ranging from medium - very fine sand around the coastline area. Keywords: sediment, gold and silver, depositional process, grain size, Kumai Bay

Page 12: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

5) GEOLOGI ALUVIUM DAN KARAKTER ENDAPAN PANTAI/PEMATANG PANTAI DI LEMBAH KRUENG ACEH, ACEH BESAR (PROV. NAD)

H. Moechtarl, Subiyantol dan D. Sugianto2

'Pusat Survei Geologi, Badan Geologi (DESDM), JI. Diponegoro 57, Bandung 40122.

E-mail: [email protected] Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Syiah Kuala University, Banda Aceh.

SARI Endapan aluvium di lembah Krueng Aceh, diduga diendapkan dalam lingkungan cekungan banjir, sistem sungai, transisi, dan klastika linier. Lingkungan klastika linierterdiri atasfasies endapan laut lepas pantai (Fellp), laut dekat pantai (Feldp), pantai/ pematang pantai (Fep/Fepp), dan rawa bakau (Ferb). Penelitian dilakukan dengan pemetaan geologi permukaan dan analisis'sedimentologi dan stratigrafi dari sepuluh hasil pemboran yang dilakukan di sepanjang lintasan berarah barat - timur - barat daya dan barat-timur-selatan. Kedalaman pemboran berkisar antara 2,30 hingga 10 m pada ketinggian + 0,90 hingga + 10 m dari permukaan laut.

Berdasarkan korelasi rangkaian perubahan lingkungan pengendapan di lingkungan klastika linier, siklus turun-naiknya permukaan laut dapat dibedakan menjadi tiga. Setiap siklus dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapan yang dikontrol oleh aktivitas sesar Seulimeum.

Kata kunci: sedimentologi, stratigrafi, aluvium

ABSTRACT The alluvium in the Krueng Aceh valley, suggests that it is deposited in floodbasin, fluvial system, transition, and linier clastic environments. The linier clastic enviroments consists of offshore (Fe//p), nearshore (Fedp), beach/ beach-ridge (Fep/ Fepp), and marsh deposits. The research was carried out by surface geological mapping 'and- analysed sedimentology and stratigraphy of ten boreholes trending west-east to southwest and west-east to south. Depths of the boreholes varies from 2.30 to 10 m at elevation of + 0.90 - + 10 m above sea level. Based on correlation of sedimentary environment in the linier clatic environment,sea level changes can be divided into three cycles that were controlled by active tectonic of the Seulimeum fault respectively. Keywords: sedimentology, stratigraphy, alluvium

Page 13: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

Page 14: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

JSDG VOL. 19 NO. 5 OKTOBER 2009

1) CONTRIBUTION OF ARC MAGMATISM STUDIES IN EARLY STAGE MINERAL EXPLORATION

Udi Hartono

Centre for Geological Survey, Bandung JI. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

ABSTRACT Indonesia contains at least 15 volcano-plutonic arcs with total length of approximately 9,000 km. The eight arcs contain known mineral deposits, while the rest may have mineral deposit prospects. The discovery of new mineral resources depends on research into the genesis of ore deposits and improved methods of finding them. In order to reduce a high exploration cost; knowledge of arc magma genesis is very important in mineral exploration before further study on mineral deposit genesis. Review on a number literatures suggests there is no linear correlation between potential porphyry-Cu/ epithermal mineralization and a single petrological/ geological factor. Mineral deposit formation is a product of interplay of magmatism, tectonics, volcanism, and fluid processes. Keywords : arc magma genesis, ore deposits, exploration

SARI Indonesia mempunyai sekurangnya lima belas busur vulcano-plutonik dengan total panjang sekitar 9000 km. Delapan busur telah diketahui mengandung endapan mineral, sementara yang tujuh sisanya mungkin prospek. Ditemukannya sumber mineral baru bergantung pada penelitian terhadap genesis endapan dan peningkatan metode untuk menemukannya. Untuk mengurangi biaya eksplorasi yang tinggi, pengetahuan tentang magma di daerah penunjaman sangat penting di dalam eksplorasi mineral sebelum studi lanjutan terhadap genesis endapan mineral dilakukan. Kajian dari sejumlah literatur memperlihatkan bahwa, tidak ada korelasi linearantara mineralisasi yang potensial, baik porfiri-Cu atau epitermal dan satu faktor petrologi/ geologi. Pembentukan deposit mineral merupakan hasil kegiatan magmatisme, tektonik, vokanisme, dan proses larutan. .

Kata kunci : genesis magma busur, endapan bijih, eksplorasi

Page 15: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

2) PENELITIAN PALEOMAGNETIK DAN GAYA BERAT KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN FORMASI BATUAN DI SULAWESI

SELATAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN SELAT MAKASAR DAN KALIMANTAN

S. Panjaitan

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro No. 57 Bandung - 40124

Telepon : (022) 703205-08 (Hunting) 772601 Facsimile (022) 7202669 Kawat : P3G Bandung E-mail : [email protected].

SARI Batuan yang terbentuk di Sulawesi Selatan terdiri atas: 1. Batuan ultrabasa berumur Trias dengan arah polaritas D= 268°, 1= -45° telah berotasi mengiri 92°, posisi lintang purba pada saat batuan tersebutterbentuk-26.5°LS. 2. Kelompok melange berumur Kapur Akhir denganarah polaritas D= 330°, 1= -30° rotasi mengiri 30°, posisi lintang purba -16.10° LS. 3. Formasi Tonasa umur Eosen Awal-Miosen Tengah dengan polaritas D= 280°, 1= -28° rotasi mengiri 80°, posisi lintang purba -14.8°LS. 4. Formasi Camba umur Miosen Tengah-Akhir arah polaritas D= 279° , 1= -24°, rotasi mengiri 81', posisi lintang purba -12.5° LS. 5. BatugampingAnggota Tacipi Formasi Walanae berumur Miosen-Tengah dengan arah polaritas D= 280°, 1= -9°, rotasi mengiri 80°, posisi lintang purba -4.5°LS. 6. Batupasir Formasi Walanae pada lapisan atas umur Plistosen dengan arah polaritas D= 358° , 1= -7°, rotasi mengiri sangat kecil antara 2° - 0°, posisi lintang purba -3.5°LS, yang kedudukannya sudah sama dengan posisi sekarang. Analisis gaya berat, paleomagnetik, dan GPS (Global Positioning System) menunjukkan bahwa rotasi yang terjadi di Sulawesi Selatan sejak zaman Trias hingga sekarang adalah mengiri (anticlockwise), maka konsep pemekaran di Selat Makasar pada diagram Resen kurang dapat diterima. Posisi Kalimantan, dan Sulawesi mungkin pernah dekat, gejala ini terindikasi dari pergerakan Kalimantan ke arah selatan sejak zaman Trias Akhir -17°LS. Sulawesi pada umur yang sama bergerak ke arah utara pada_lintang - 16.1°LS. Kemudian kedua pulau tersebut bertemu dan sama-sama bergerak ke arah utara dengan rotasi mengiri sebesar 50° - 92°. Kalimantan selama zaman Trias berasal dari bagian Benua Asia, sedangkan kelompok batuan di Sulawesi Selatan pada umur yang sama berasal dari selatan ekuator, kemudian bersama-sama terdorong ke utara akibat dorongan Benua Australia.

Kata kunci: pemekaran, paleomagnetik, berlawanan jarum jam,lintang,perputaran, kerak samudra, selat

ABSTRACT Rocks formed in South Sulawesi consist of: 1. Ultramaphic rocks of Triassic age having the polarity D = 268°, 1= -45°, rotation anticlockwise 92°, and paleolatitude position -26.50°S. 2. The melange complexes of Cretaceous age having the polarity D= 330°, 1= - 30°, rotation anticlockwise 30° and paleo lattitude position - 16.10°S. 3. Tonasa Formation of Middle Miocene-Early Eocene age having polarity D= 280°, 1= -28°, rotation anticlockwise 80 ° and paleo latitude position -14.80°S. 4. Camba Formation of Middle-Late Miocene age having the polarity D= 279°, 1= -24°, rotation anticlockwise 81° and paleo latitude position - 12.5°S 5. Limestones of Tacipi Member from Walanae Formation of Middle Miocene age, having polarity D= 280°, l= -9° rotation anticlockwise 80°, and paleo latitude position -4.5°S. 6. Sandstone of Walanae Formation of Pleistocene age and upper layer having the polarity D = 358°, 1= -7°, very small rotation anticlockwise between 0° - 2° S and paleo latitude position -3.5°S. Gravity analysis , Paleomagnetism and GPS analysis indicate that rotation occured in South Sulawesi since Trias until now is anticlockwise. There for rifting concept in Makasar Strait at Recent diagram is less acceptable. Kalimantan and Sulawesi possible had ever closed

Page 16: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

as indicated from the movement of Kalimantan to the south since Late Trias at -17°S. At the same age Sulawesi moved northward to latitude -16.10°S. Then both islands were amalgamed and moved together northward with anticlockwise rotation between 50° to 92°. During the Trias age R"alimantan was derived from Asian Continent, while rock group in South Sulawesi at the same age were derived from south latitude and then moved together, by Australian continent movement. Keywords: rifting, paleomagnetic, anticlockwise, latitude, rotation, sea floor, strait.

Page 17: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

3) KARAKTER WILAYAH GENANGAN LAKUSTRIN HOLOSEN BERDASARKAN ASPEKSEDIMENTOLOGI DAN STRATIGRAFI

ENDAPAN RAWA DAN UNDAK SUNGAI (Studi Kasus Geologi Kuarter Daerah Air Molek dan Sekitarnya, Kab. Singingi dan Kab.

Indragiri Hulu, Provinsi Riau)

S. Hidayat, C. Basri, Subiyanto, H. Mulyana, dan H. Moechtar Pusat Survei Geologi, Badan Geologi JI. Diponegoro No.57 Bandung 40124

SARI Studi ini dilakukan mencakup analisis sedimentologi dan stratigrafi terhadap sembilan contoh sedimen hasil pemboran. Pemboran dtlakukan di sepanjang lintasan A B, yang berarah barat daya - timur laut di daerah sekitar S. Indragiri, selatan Rengat. Penelitian dilakukan pada endapan alur sungai dan lakustrin di bawah endapan rawa dan undak sungai hasil pengeboran berkisar antara 3,80 - 9,95 m. Korelasi perubahan lingkungan pengendapan secara lateral dan vertikal dapat dikelompokkan menjadi dua interval pengendapan, yaitu Interval pengendapan I clan II ( IP I dan IP II). Perubahan komposisi litologi endapan tersebut secara tegak dapat dihubungkan dengan kondisi kelembaban, hal ini terlihat dari perbedaan karakter fasies endapan lakustrin atas dan bawah. Bergesernya poros cekungan antara lingkungan lakustrin bawah dan atas, dikontrol oleh perubahan base-level, sebagai akibat aktifitas tektonik yang berdampak turun naiknya dasarcekungan.

Kata kunci: Sedimen Kuarter, lakustrin, iklim, tektonik

ABSTRACT This study was based on analyses of sedimentology and stratigraphy of nine sediment samples obtained from shallow boreholes. The boring was done ofA - B traverse, southwest -northeast direction around lndragiri river, south of Rengat. The study was focus on river channel and lauctrin deposits under the swamp sediments and river terraces as the resent of penetration of the bore head varies from 3.80 to 9.95 m. Based on the correlation of lateral and vertical variation, the stratigraphic succession can be grouped into two depositional interval i.e. depositional interval I & ll. (lP.l & IP lI). Vertical changes on the lithologic composition can be related to changes on humidity conditions. It is shown from the changes in the character of the facies between lower and upper lacustrine. Changes in basin centre between lower and upper lacustrine environment, as the result of basement movement caused by tectonic activity, :impected to up and down movement of the basin floor Keywords: Quaternary sediments, lacustrine, climate, tectonic

Page 18: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

4) POLEN PALEOGEN-NEOGEN DARI DAERAH NANGGULAN DAN KARANGSAMBUNG JAWA TENGAH

A.A.Polhaupessy

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro 57, Bandung 40122

ABSTRAK Penelitian fosil palinomorf (pollen spora) dari daerah Nanggulan (Yogyakarta) dan Karangsambung (Kebumen) disajikan dalam makalah ini. Percontoh pollen diambil dari batuan Paleogene dan Neogen yang mengandung karbon dan sisa organik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebaran fosil polen, umur nisbi dan lingkungan pengendapannya sebagai hasil akhir. Fosil polen dari daerah Nanggulan menunjukkan umur Eosen-Oligosen, sedangkan polen dari daerah Karangsambung Eosen Tengah - Pliosen. Seluruh polen spora ini, baik di daerah Nanggulan maupun Karangsambung diendapkan di lingkungan sublitoral.

Kata kunci:Nanggulan,Karangsambupg, polen

ABSTRACT A research on palynomorph fossils is presented in this paper. Pollen samples were collected from Paleogene and Neogene rocks containing carbon materials and organic remains. The aim of this study is to better understanding the pollen distribution, age and their depositional environments as a final result. Pollen fossils from Nanggulan area suggest an age of Eocene - Oligocene, while that from Karangsambung indicates Middle Eocene - Pliocene. All of pollen, both from Nanggulan and Karangsambung were deposited in littoral environments. Keywords: Nanggulan, Karangsambung, pollen

Page 19: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

5) PERCEPATAN PERGERAKAN TANAH MAKSIMUM DAERAH CEKUNGAN BANDUNG : STUDI KASUS GEMPA SESAR LEMBANG

L. Handayani, D. Mulyadi, Dadan D. Wardhana, dan Wawan H. Nur

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Kompleks UPI, Jalan Sangkuriang Bandung - 40135

Telp. 022 250365, email: [email protected]

SARI Daerah cekungan Bandung dengan populasi sangat tinggi memerlukan peta kebencanaan gempabumi. Hal ini terutama karena sumber gempa bumi Sesar Lembang yang diduga aktif di sisi utaranya. Peta kerentanan bencana gempa bumi ini dibuat berdasarkan perhitungan percepatan gerakan tanah maksimum dengan menggunakan persamaan atenuasi Boore (1997), dengan, model gempa bumi berkekuatan Mw = 6 bersumber dari aktivitas Sesar Lembang. Sebagai data masukan berupa kecepatan gelombang seismik S yang diperoleh melalui klasifikasi formasi geologi. Hasil perhitungan menunjukkan adanya tiga daerah dengan tingkat kerentanan yang tinggi, yaitu daerah sekitar pusat gempa, dataran rendah di selatan Bandung, dan sisi barat Bandung. Adapun faktor penentu tingginya nilai percepatan tanah maksimum ialah jarak suatu tempat dari sumber gempa bumi dan jenis formasi batuannya.

Kata kunci: percepatan gerakan tanah maksimum, Sesar Lembang, Cekungan Bandung

ABSTRACT The highly populated Bandung Basin needs a seismic hazard map, especially due to the existence of Lembang Fault on the north of the area. In this paper, the seismic hazard map was constructed based on calculation of peak ground acceleration (PGA) using Boore's (1997) empirical attenuation relationship. The model was an assumed earthquake with moment magnitude (Mw) of 6 that was caused by Lembang Fault activity. Data input consists of velocity of seismic wave S, that was obtained through geological unit classification. The result shows three zones with highest PGA-values: near the seismic source, lowland at the south of Bandung, and a small area at the west of Bandung. The most significant factors on high PGA values are the distance from the source of an earthquake and the geological unit of an area. Keywords: peak ground acceleration, Lembang Fault, Bandung Basin

Page 20: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

Page 21: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

JSDG VOL. 19 NO. 6 DESEMBER 2009

1) APLIKASI METODE GAYA BERAT UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI HIDROKARBON DI DALAM CEKUNGAN JAKARTA DAN

SEKITARNYA

S. Panjaitan

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro 57, Bandung 40122

SARI Anomali Bouguer di Cekungan Jakarta dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: Anomali gaya berat 40 mgal hingga 60 mgal yang terdapat di daerah tern pat tersingkapnya batu gamping dan breksi vulkanik. Anomali gaya berat 20 mgal hingga 40 mgal menempati daerah cekungan batuan sedimen. Berdasarkan pemodelan pada penampang anomali sisa lapisan batuan Tersierdikelompokkan menjadi enam bagian, yaitu: Formasi Kaliwangu atau Formasi Cisubuh dengan rapat massa 2,5 gr/cm3, Formasi Subang rapat massa 2,45 gr/cm3, Formasi Parigi/Cibulakan dengan rapat massa 2,7 gr/cm3, Formasi Jatiluhur rapat massa 2,6 gr/cm3, Formasi Jatibarang 2,8 gr/cm3, batuan dasar metamorf/batuan beku. rapat massa 2,9 gr/cm3. Arftiklin Rengasdengklok dan Karawang ditafsirkan sebagai daerah migas yang sangat prospek dan terbentuk pada kontur anomali sisa 10 mgal dengan rapat massa 2,7 gr/cm3 dan berkedalaman antara 1900-2200 m. Antiklin Jakarta ke selatan dan antiklin Bekasi ditafsirkan juga mempunyai prospek migas yang dicirikan oleh anomali sisa 0 - 4 mgal, namun berdimensi lebih kecil. Batuan induknya adalah Formasi Cibulakan bagian bawah yang bersusunan dalam serpih lakustrin batuan reservoir adalah Formasi Cibulakan dan Parigi dengan ketebalan ± 400 m terdiri atas batugamping karbonat berongga. Batuan dasar Pratersier dengan rapat massa 2,9 gr/cm3 terdiri atas batuan metamorf/batuan beku.

Kata kunci: gaya berat, anomali sisai, formasi, antiklin, minyak bumi dan gas alam

ABSTRACT Bouguer anomaly in Jakarta Basin can be grouped into 2 parts there are the Bouguer anomaly of 40 mgal to 60 mgal showing limestone and volcanic breccia. Bouguer anomalies 20 mgal to 40 mgal indicate sedimentary rock basin. Rock units basedon residual anomaly are grouped into 6 parts: Kaliwangu Formation or Cisubuh Formation with a density of 2.5 gr/cm3, Subang Formation with a density of 2.45 g/cm3, Parigi Formation/Cibulakan with a density of 2.7 gr/cm3, Jatiluhur Formation with a density of 2.6 gr / cm3, Jatibarang Formation 2.8 gr/cm3, metamorphic bed rocks / intrusive rocks with a density of 2.9 gr / cm3, Rengasdengklok and Karawang anticline are interpreted as a good prospective hydrocarbon formed in a residual anomaly of 10 mgal with a density 2.7 gr/cm3 depthness between 1900-2200 m. Jakarta anticline to the south and Bekasi anticline are interpreted as having the prospect with residual anomalies of 0-4 mgal, but having a smaller dimension. Lower Cibulakan Formation is as the source rock consisting of shale lacustrine, and the reservoir rocks are Cibulakan and Parigi Formation with the thickness of ± 400 m consisting of limestone cavities. Pretertiary bedrock with the density of 2.9 gr/cm3 consists of metamorfic/igneous rocks. Keywords: gravity, residual anomaly, formation, anticline, oil and gas

Page 22: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

2) IDENTIFIKASI GUNUNG API PURBA DI DAERAH SAPAYA, SULAWESI SELATAN PADA DATA INDERAAN JAUH

Sidarto dan U.Hartono

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro 57, Bandung 40122. E-mail: [email protected]

SARI Pada zaman Tersier, Lengan Selatan Pulau Sulawesi merupakan busur gunung api yang batuannya ditunjukkan oleh Formasi Camba dengan sebaran yang cukup luas. Integrasi citra landsat dan citra IFSAR dapat memvisualisasi penampakan morfologi, batuan dan strukturgunung api, dan dapat digunakan untuk mengenali batuan gunung api purba di daerah Sapaya dan sekitarnya. Hasil interpretasi geologi pada citra tersebut mengidentifikasikan adanya dua gunung api purba, yaitu Gunung Api Sapaya dan Gunung Api Bantoloe. Gunung Api Sapaya yang berumur Mio-Pliosen memperlihatkan bentuk morfologi kerucut tererosi, yang tersusun oleh satuan breksi gunung api (fasies proksimal), satuan tuf (fasies medial), dan satuan konglomerat (fasies distal), sedangkan struktur gunung api yang terbentuk berupa kaldera, dan intrusi basal yang berpola menyebar. Gunung Api Bantoloe.dicirikan oleh morfologi kerucut tererosi, dan batuan penyusunnya berupa breksi Gunung Api Bantoloe (fasies proksimal), lava Bantoloe (fasies pusat), dan diorit sebagai batuan intrusi dalam (fasies pusat). Gunung Api Sapaya mungkin dikontrol oleh tipe tunjaman Tethyan yang merupakan tumbukan antara benua mikro yang berasal dari Australia dan Lempeng Benua Eurasia.

Kata kunci: Lengan Selatan Sulawesi, gunung api purba, Miosen Tengah-Pliosen, citra landsat dan citra IFSAR.

ABSTRACT In Tertiary, the South Arm of Sulawesi Island is a volcanic arc represented by Camba Formation having a, relalively wide distribution. Integration of landsat and IFSAR images is able to visualize volcanic morphological features, lithology and volcanic structures that are used to identify ancient volcanoes in Sapaya area and surroundings. The result of geological interpretation on the images indicated there were two ancient volcanoes in this area, involving Sapaya and Bantoloe Volcanoes. The Middle Miocene - Pliocene Sapaya Volcano shows eroded cone feature, consisting of breccia volcanic (proximal facies), tuff (medial facies), and conglomerate (distal facies) units, and the volcanic structures are caldera, and radier intrusion basalts; while the Pliocene Bantoloe Volcano is identified by an eroded cone morphology, consisting of volcanic breccia of Bantoloe (proximal facies), lava Bantoloe (central fasies), and diorite showing a deep seated intrusion (central facies). The Sapaya Volcano might be controlled by Tithyan type subduction showing a collision between micro continental which is part of Australian Continent and Eurasian Continent Plates. Keywords: South Arm Sulawesi, morphology, lithology, volcanic structure, ancient volcanoes, landsat and IFSAR images

Page 23: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

3) GEOLOGI DAN PALEONTOLOGI FORMASI BALANGBARU DAN FORMASI MARADA BERUMUR KAPUR, SULAWESI SELATAN

F. Hasibuan dan A. Limbong

Pusat Survei Geologi [email protected]. go.id dan alex.limbong@ yahoo.com

SARI Suatu penelitian geologi dan paleontologi terhadap Formasi Balangbaru dan Formasi Marada telah dilakukan. Kedua formasi menunjukkan bahwa lingkungan pengendapannya di dalam suatu cekungan dipengaruhi oleh arus turbidit. Formasi Marada dapat dikorelasikan dengan Anggota Panggalungan yang merupakan bagian endapan yang jauh (distal) dari Formasi Balangbaru. Penelitian paleontologi pada Formasi Balangbaru telah menemukan beberapa fosil macro seperti ekhinoid, bivalvia Inoceramus sp., amonit Grossouvreites sp. Formasi Marada mengandung fosil jejak (trace fossil) Spirorhaphe sp. dan jenis nano fosil yang dikenali dari batu serpih seperti Ceratolithoides aculeus, C. kamptneri, Lucianorhabdus cayeuxii, L.- arcuatus, L. maleformis, Micula murus, M. concava Lithraphidites quadratus, dan Prediscosphaera sp. Berdasarkan keberadaan fosil makro, fosil nano dan radiolarian dari penulis-penulis sebelumnya dapat disimpulkan bahwa umur pengendapan Formasi Balangbaru dan Formasi Marada berkisar antara Albian sampai Maastrichtian (Akhir KapurAwal sampai KapurAkhir).

Kata kunci: ekhinoid, bivalvia, amonit, fosil jejak, fosil nano, radiolarian, turbidit

ABSTRACT A geological and paleontological studies on the Balangbaru and Marada Formations has been carried out. Both formations show that their depositional environment was in basin with turbidity currents. Marada Formation can be correlated with Panggalungan Member of the distal part of the Balangbaru Formation. Paleontological study on the Balangbaru Formation has yielded some macrofossils such as echinoid, bivalve Inoceramus sp., ammonite Grossouvreites sp. Marada Formation contains trace fossil Spirorhaphe sp. and species of nannoplankton have been extracted from the shale e.g. Ceratolithoides aculeus, C. kamptneri, Lucianorhabdus cayeuxii, L. arcuatus, L. maleformis, Micula murus, M. concava Lithraphidites quadratus, and Prediscosphaera sp. Based on the presence of macrofossils, nannoplankton, and radiolarian fossils of previous workers it can be concluded that the deposition of the Ba/angbaru and Marada Formations was in Albian to Maastrichtian (Late Early Cretaceous to Late Cretaceous) time. Keywords: echinoid, bivalvia, ammonite, trace fossil, nannoplar,kton, radiolarian turbidite

Page 24: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

4) PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN KARAKTER SISTEM PENGENDAPAN PLISTOSEN AKHIR HOLOSEN DI DATARAN

PANTAI PEKALONGAN, JAWA TENGAH

H. Moechtar, H. Mulyana dan S. Hidayat

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro 57, Bandung 40122. E-mail: [email protected]

SARI Studi perubahan lingkungan clan karakter sistem pengendapan- Plistosen Akhir hingga Holosen di dataran pantai Pekalongan meliputi analisis sedimentologi clan stratigrafi yang berdasarkan empat belas pemboran. Kedalaman pemboran berkisar antara 7,70 hingga 15,80 m. Enam fasies lingkungan pengendapan yang terbentuk di atas Formasi Damar (QTd), terdiri atas: endapan klastika linier (laut lepas pantai, laut dekat pantai, dan pantai), endapan fluviatil (alur sungai dan limpah banjir), clan endapan rawa. Endapan-endapan ini dipisahkan oleh tiga Interval Pengendapan (IP I-III). Berdasarkan korelasi rangkaian stratigrafi secara lateral dan vertikal diketahui bahwa perubahan lingkungan clan karakter sistem pengendapannya dikendalikan oleh perubahan permukaan laut yang terkait dengan periode glasial clan interglasial. Kemungkinan, setelah proses pengendapan IP I terjadi deligitastektonik lokal.

Kata Kunci: Sedimentologi, stratigrafi, Plistosen Akhir - Holosen

ABSTRACT The studyof the environmental changes and character of the depositonal systems during Late Plistocene to Holocene on the Pekalongan coastalplain was based on analyses of the sedimentology and stratigraphy of fourteen boreholes. The penentration of the bore head varied from 7.70 to 15.80 m. Six depositional environments which occurred above the Damar Formation (QTd) are: linier clastic deposits (offshore, nearshore, and beach), fluvial deposits (river channel and floodplain), and swamp deposits. These deposits are separated by three depositional intervals UP I-lll). Based on the correlation of lateral and vertical stratigraphic successions, the environmental changes and character of the depostional systems are controled by sea level changes during the Late Pleistocene which were related by glacial and inter-glacial periods. Probably, afterdeposition of IP l, a local tectonic have controled deplifting of the are. Keywords: Sedimento/ogy, Stratigraphy, late Pleistocene – Holocene

Page 25: Abstract Jurnal Sd Geologi

Jurnal Sumber Daya Geologi

5) STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN LINTASAN PANGALENGAN-SUBANG, IMPLIKASINYA TERHADAP KESTABILAN

LAHAN

Subagio dan B.S. Widijono

Pusat Survei Geologi JI. Diponegoro 57, Bandung 40122. E-mail: [email protected]

SARI Pola tinggian anomali Jawa Barat yang membentang dari Provinsi Banten hingga perbatasan Provinsi Jawa Barat - Jawa Tengah, berubah menjadi pola rendahan anomali di Kota Bandung sampai ke daerah Pamanukan. Fenomena ini membentuk kelurusan anomali dengan gradien tinggi di daerah perbatasan kedua pola anomali tersebut. Pola penampang anomali Bouguer sepanjang Lintasan Pangalengan-Subang dan Gudangkahuripan-Parongpong memberikan gambaran yang lebih terperinci tentang struktur geologi bawah permukaan. Berdasarkan analisis gaya berat secara kualitatif dan kuantitatif yang ditunjang oleh data geologi permukaan, ketebalan sedimen, dan hasil analisis inderaan jauh, diduga pola kelurusan tersebut mencerminkan suatu sesar yang membentuk suatu terban besar. Penampang anomali juga menggambarkan beberapa sesar yang membentuk beberapa sembul dan terban. Dengan memperhatikan aspek intensitas erosi di daerah perbukitan dan strukturgeologi, diduga kestabilan lahan daerah ini sangat rendah.

Kata kunci : tinggian, rendahan, kelurusan, anomali, struktur, Lintasan Pangalengan-Subang, sembul. terban, Sesar Lembang, kestabilan lahan.

ABSTRACT The high anomaly pattern of West Java extending from Banten Province to the boundary of West - Central Java area, changes to low anomaly pattern in Bandung to Pamanukan. This phenomenon formed anomaly alignment with high gradient in the boundary part of both anomaly patterns. The profile pattern of Bouguer anomaly along PangalenganSubang and Gudangkahuripan-Parongpong sections show more detailed illustration of the subsurface geology structures. Qualitative and quantitative gravity analyses that were supported by surface geological data, sediment thickness, and remote sensing data, estimate that the anomaly alignment reflects a fault that formed a big graben. The anomaly profiles also describe some fault forming some horsts and grabens. Based on erotion intensity aspect in the mountainous area, and geological structures, the land stability of this area is interpreted as very low. Keywords : high, low, anomaly alignment, structure, Pangalengan-Subang Section, horst, graben, land stability