4. pterigium fix.docx
-
Upload
mardoni-efrijon -
Category
Documents
-
view
74 -
download
5
Transcript of 4. pterigium fix.docx
BAB I
PENDAHULUAN
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga
yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.
Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium
adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya sayap.
Pterygium adalah satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam
penglihatan di negara berkembang (Saerang, 2013). Pterygium merupakan
pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva pada mata
dan dapat menganggu penglihatan (Erry dkk, 2011). Kondisi ini menciptakan
beberapa masalah, termasuk mata kering (dry eye), astigmatisme irregular, dan
masalah kosmetik yang sulit diterima (Saerang, 2013). Pada tingkat lanjut,
pterygium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan operasi kompleks
untuk rehabilitasi visual secara penuh (Gazzar, 2002).
Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering yangmerupakan karakteristik dari daerah di sekitar
khatulistiwa (Saerang, 2013). Di populasi, prevalensi pterygium bervariasi, mulai
1,2% di daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada
populasi berkulit hitam di Barbados (Gazzar, 2002). Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterygium di Indonesia pada kedua mata
didapatkan 3,2% sedangkan pterygium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi
yang meningkat dengan bertambahnya umur. Jawa timur menduduki peringkat
keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada
satu mata (Erry dkk, 2011).
Banyak cara dapat dilakukan untuk mencegah pterygium menimbulkan
masalah, antara lain dengan menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk
kondisi seperti kekeringan, debu, angin, dan sinar ultraviolet, dan melakukan
tindakan bedah eksisi atas indikasi (Erry, 2011) namun tidak semua penderita
mengetahui kondisi penyakitnya yang melakukan pengobatan dengan tepat.
Pengetahuan mengenai faktor risiko, penyebab, dan distribusi penyakit dapat
bemanfaat untuk mencegah bekembangnya penyakit sampai ke tingkat lanjut
(Gazzar, 2002) yang diharapkan dapat menurunkan dampak sosial dan ekonomi
untuk penyakit ini. Melalui makalah pterigium ini, penulis berharap dokter umum
dapat mengenali gejala dan tanda, dapat membuat diagnosis berdasakan
pemeriksaan fisik, dan memberi terapi pendahuluan sesuai kompetensinya
sebelum merujuk ke spesialis mata.
Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan referat ini untuk memngetahui lebih lanjut tentang
pterygium, secara umum mempelajari anatomi fisiologi konjungtiva, definisi,
etiologi, patogenesis, klasifikasi serta penatalaksanaan pada pterygium.
BAB II
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.(4,5)
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat
keposterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan
episklera menjadi konjungtiva bulbaris.(4)
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus kelenjar
lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali di limbus (tempat
kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.(4,5)
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga
pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.(4)
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, diatas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel-sel superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata
asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip
kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi
atas tarsus atas.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
pelpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya.
Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus
V, saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(4)
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan
forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola
mata mudah bergerak.(5)
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan
sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang
diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen Vaughan, 2010)
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu.
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun
dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar
pada mata (Vaughan, 2010).
Gambar : konjuntiva beserta tempat
kelenjar
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan
pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).
Gambar : Anatomi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA (Sihota, 2007).
BAB III
PATOGENESIS & DIAGNOSIS PTERIGIUM
III. 1 DEFINISI
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan infasif.pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea.
Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau tengah kornea.2
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke puncak pterigium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan
kerusakan epitel kornea dan membran bowman.3
Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk
segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis
bowman kornea diganti oleh jaringan hialin dan elastis.1
Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea
dan , biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak
lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada
konjuntiva memanjang pada sumbunya. Kadang konjuntiva bulbi digunakan
untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium, tetapi tak ada perlekatan
kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.6
Pterygium
Gambar : Pterigium awal yang mulai menutup mata
Gambar : Pterigium yang semakin bertambah dan menutupi media penglihatan
Gambar : Pterigium yang tumbuh pada dua sisi
III. 2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah
garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang
prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran
ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional
hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative
terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.7
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium
di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu
mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur. Jawa
timur menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada
kedua mata, dan 2,7% pada satu mata (Erry dkk, 2011).
III. 2. a. Mortalitas/Morbiditas
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam
fungsi visual atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa
menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
III. 2. b. Jenis Kelamin
Pterygia dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali
lebih banyak dibandingkan wanita.
III. 2. c. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20
tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
III.3 ETIOLOGI
Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga
disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas.
Penyebab paling umum adalah sorotan berlebihan dari sinar matahari yang
diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam
hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen,
kimia dan zat pengiritasi lainnya.2
Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut :
1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang
beriklim subtropis dan tropis.
2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah serta orang yang
hidup di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah
berangin. Petani, nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar garis khatulistiwa
sering terpengaruh.
Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga
tertentu. Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan, meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan
besarnya paparan sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.7
Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia
(misalnya disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea
marginal) dan Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan
konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).
III.4 PATOFISIOLOGI
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal
ini akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan
pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah.
Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga
menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinar termasuk sinar atau cahaya
tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa
mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang
disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian
tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan
ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang
disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet
secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang
akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan
menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan
menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu
berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu
terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.8
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel, Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila
dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk
jaringan elastis akan tetapi bukan jaringan elastis yang sebenarnya, oleh karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.7
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi
epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada
daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang
berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi
ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma
kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma
konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku.
Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan
diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada
pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah
eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar
ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi
pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan
meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan
mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada
kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan
hilangnya penglihatan penderita.9
III. 5 GEJALA KLINIS
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam
keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah
sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai
dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit
ini.7
Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya
untuk pemeriksaan kacamata dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh
diatas korneanya, namun terkadang penderita merasa penglihatannya terganggu
misalnya astigmat, dan dapat pula disertai keratitis pungtata dan dellen (penipisan
kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung
pterigium.7
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
1. Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal
dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung
lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah
untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.
2. Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat
dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygia dalam group ini
mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang
lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.
III. 6 KLASIFIKASI
Klasifikasi Pterygium:
1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
Grade pada Pterygium :
Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan
konjungtiva sklera masih dapat dibedakan), pembuluh darah sklera masih
dapat dilihat.
Grade 2: pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30
tahun), mudah kambuh.
III. 7 DIAGNOSIS
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis akan kita dapatkan keluhan-
keluhan pasien seperti adanya ganjalan pada mata yang semula dirasakan didekat
kelopak namun lama-kelamaan semakin ke tengah (kornea), mata merah dan tidak
disertai belek(sekret). Dari anamnesis ini kita juga akan dapatkan informasi
mengenai pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan kebiasaan hidupnya karena
hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang mengenainya.
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu
lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun
temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila
terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak
harus dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi
dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium
yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi
hialin pada stromanya.3
III. 8 DIAGNOSIS BANDING
Penyakit – penyakit yang menyerupai pterigium atau diagnosis banding
dari pterigium antara lain pseudopterigium, pannus dan kista dermoid.
Pseudopterigium adalah perlengkatan konjungtiva dengan kornea yang cacat,
biasanya hal ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea, dimana letaknya berdekatan dengan proses tukak
kornea sebelumnya. Perbedaannya dengan pterigium adalah letaknya yang tidak
harus dimulai dari celah kelopak atau fissura palpebra, selalu didahului oleh
riwayat tukak kornea sebelumnya, dan pada pseudopterigium ini dapat diselipkan
sonde di bawahnya.2
Pannus merupakan salah satu penyebab kekeruhan didaerah kornea yang
ditandai dengan terdapatnya sel radang disertai pembuluh darah yang membentuk
tabir pada kornea. Pembuluh darah ini berasal dari limbus yang memasuki kornea
diantara epitel dan membran bowman.3
Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan
mesodermal dan ektodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan
lemak, folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat
berada pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan
menyebabkan ptosis.3
III. 9 KOMPLIKASI
Komplikasi dari pterygia meliputi sebagai berikut:7
1. Penyimpangan atau penurunan tajam penglihatan
2. Kemerahan.
3. Iritasi.
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.
5. Astigmatisme
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan
memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot
rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang
belum dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan
focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi post operasi
pterygium meliputi : Infeksi, diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous
dan yang sering adalah kambuhnya pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%,
namun kejadian ini akan berkurang sekitar 5-15% apabila menggunakan autograf
konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid
topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada
steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan
intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan
pemberian Mitomicin C intraoperatif.10
III. 10 PENCEGAHAN
Secara teoritis, memperkecil terpaparnya radiasi ultraviolet untuk
mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai
resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki
pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan
kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih
penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien
yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya
ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk
mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan
kacamata atau topi pelindung.11
III. 11 PROGNOSIS
Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya
prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga
tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah
kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %) sebaiknya dilakukan penyinaran dengan
Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang
menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.
BAB IV
PENATALAKSANAAN
Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana
pada keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses
inflamasi dapat diberikan steroid topikal untuk menekan proses peradangan, dan
pada keadaan lanjut misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif), pterigium
telah menutupi media penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea)
maupun untuk alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa
ekstirpasi pterigium.3
Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :
a. Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) – untuk
membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat
ini merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar,
Gen Teal (OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada
permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan
lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada
keadaan pterygium.
b. Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan
okular. alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu
pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini
akan cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu
bahan ini sering dipergunakan pada malam hari terkecuali bila pasien merasakan
sakit dalam pemakaiannya.
c. Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan
mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu
dalam penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan mengurangi
pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya.
Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal yang
dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus
dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa
disembuhkan dengan pelumas topikal lain.
Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa dilakukan
pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila
diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien
biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau
salep mata antibiotika atau antiinflamasi.
Pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain :5
1. Teknik Bare Sclera
Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga
menggunakankokain 4% yang diteteskan maupun dioles dengan kapas
pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva dengan lidokain 1-2
%. Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi. Siapkan lid
spekulum, lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan
pterigium. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah
jam 6 dan jam 12. Posisi mata pada jahitan korset.
Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery. Gunakanlah ujung
spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang dilakukan
pengikisan pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan.
Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea
mata dengan menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12
mm akan memudahkan pengangkatan pterigium.
Bebaskan sklera dari pterigium :
a. Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda
cautery.
b. Kikislah pterigium dengan gunting.
c. Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan
sharp sehingga tampak jaringan sklera yang telanjang.
Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu
sangkutan otot untuk menghindari kerusakan jaringan yang akan
membentuk sikatrik. Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan
gunting. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan. Menghaluskan
sekeliling tepi limbus.
- Dengan menggunakan burr intan
- Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.
- Berikan antibiotik dan steroid topikal.
- Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.
2. Teknik Mc. Reynolds
Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva
dilakukan dengan cara, setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah
goresan di bawah konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan sklera,
yang lebarnya disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang
semula, sehingga diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan
menyeberang ke kornea. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut
dan masukkan ke dalam celah di bawah konjungtiva yang terletak di antara
kornea dan sklera. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan
bawah antara kornea dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.
3. Simple closure
Tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
4. Sliding flaps
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
5. Rotational flap
Insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
6. Conjunctival graft
Suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai
dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
7. Amnion membrane transplantation
Mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau
skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan
menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian
mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi
rekuren tetapi jarang digunakan.
BAB V
RINGKASAN
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga
yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.
Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium
adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya sayap.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi
pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan
berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di
luar rumah.
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan
seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin
kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan
fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada
daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Pterygium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia., Biasanya penderita mengelukan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik,
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.
Prinsip penanganan pterygium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterygium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan.1 Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium meradang dapat diberikan
steroid atau suatu tetes mata dekongestan.