92
BAB IV
KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT AL-GHAZĀLI
DALAM KITAB AYYUHĀ AL-WALAD
A. Konsep Pendidikan Karakter Dalam Islam
Sebelum membahas konsep pendidikan karakter menurut al-Ghazali dalam
kitab Ayyuhā al-walad, perlu kiranya dibahas terlebih dahulu mengulas pengertian
pendidikan, pengertian karakter, dan pengertian pendidikan karakter, sehingga
akan jelas hal-hal apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai pendidikan karakter
tersebut.
Menurut Ramayulis104
, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan
memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti perbuatan (hal,
cara dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan “education” yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering
diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Sedangkan Ahmad D. Marimba mendefiniskan pendidikan sebagai suatu
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.105
104
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, 111 105
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma‟arif, 1989)
19, selanjutnya dituliskan Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
93
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang
dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau
mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi (mental). Dengan
demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kea rah
kedewasaan. Dalam konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada
kedewasaan fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami pada kedewasaan
psikis.106
Karakter berasal dari bahasa latin, kharakter atau bahasa yunani
kharassein yang berarti to engrave. Kata to engrave bisa diterjemahkan mengukir,
melukis, memahatkan atau menggoreskan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata karakter diartikan sebagai thabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.107
Secara etimologi, para ahli mendefinisikan karakter dengan arti yang
berbeda-beda. Doni Koesoema memahami karakter sama dengan kepribadian,
yaitu ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
keluarga pada masa kecil.108
106
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, 111 107
Echol, kamus Inggris-Indonesia 108
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(Jakarta; Grasindo, 2010), 80, Selanjutnya dituliskan Koesoema, Pendidikan Karakter
94
Sedangkan E. Mulyasa merumuskan karakter dengan sifat alami seseorang
dalam merespon situasi yang diwujudkan dalam prilakunya. Karakter juga biasa
diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi
pada perilaku individu yang bersifat unik, dalam arti secara khusus ciri-ciri ini
membedakan antara satu individu dengan yang lainnya, dan karena ciri-ciri
karakter tersebut dapat diidentifikasi pada perilaku individu dan bersifat unik,
maka karakter sangat dekat dengan kepribadian individu.109
Adapun Syarbini berpendapat bahwa karakter adalah sifat mantap, stabil
dan khusus yang melekat dalam diri seseorang yang membuat nya bersikap dan
bertindak secara otomatis, tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan, tanpa
memerlukan pemikiran/pertimbangan terlebih dahulu. Pengertian karakter ini
sama dengan definisi akhlak dalam Islam, yaitu perbuatan yang telah menyatu
dalam jiwa / diri seseorang, atau spontanitas manusia dalam bersikap sehingga
ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.110
Al-Ghazali dalam kitab Ihya‟ Ulumuddiin menyatakan pengertian
karakter. Menurut beliau, karakter ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
dari padanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak memerlukan
pertimbangan.111
Dalam bahasa Indonesia, pemakaian istilah karakter, akhlak, moral, etika,
dan budi pekerti meskipun memiliki makna yang berbeda, namun sesunggunhnya
memiliki kesamaan substansif jika dilihat secara normatif, karena kelimanya
109
E Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta; Bumi Aksara, 2012), 3-4,
Selanjutnya dituliskan Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter 110
Syarbini, Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga , 30 111
Imam al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, juz III ( Daru al-Ihya‟ al-kutub al-Arabiyah, tt ), 52,
Selanjutnya dituliskan al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, juz III
95
menguatkan suatu pola tindakan/perilaku yang dinilai baik dan buruk, hanya pola
yang digunakan didasarkan pada ukuran-ukuran dan sumber yang berbeda. Jika
akhlak, mengukur baik dan buruk berdasarkan kaca mata ajaran agama, karakter
dinilai menurut pandangan psikologi, etika diukur menurut pandangan akal atau
filsafat, dan moral diideologisasikan menurut pola hidup bermasyarakat yang
rujukannya diambil dari sosial normatif masyarakat (sosiologi).112
Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang guru
yang mampu mempengaruhi peserta didik. Hali ini mencakup keteladanan
bagaimana berperilaku, berbicara, bertoleransi dan berbagai hal lainnya. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.113
Sedangkan Pendidikan karakter menurut Syarbini adalah upaya sadar,
terencana dan sistematis dalam membimbing peserta didik agar memahami
kebaikan (knowing the good), merasakan kebaikan (feeling the good), mencintai
kebaikan (loving the good), menginginkan kebaikan (desiring the good), dan
melakukan kebaikan (acting the good), baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, orang lain, lingkungan sekitar, maupun masyarakat dan bangsa secara
keseluruhan sehingga menjadi manusia sempurna (insan kamil) sesuai
kodratnya.114
112
Syarbini, Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga, 37 113
Pupuh, Pengembangan Pendidikan Karakter , 17 114
Syarbini, Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga , 49
96
Pada dasarnya pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang yang baik, sehingga peserta didik paham, mampu
merasakan, dan mau melakukan nya. Dengan demikian pendidikan karakter
mempunyai misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.115
.
Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian dan
budi pekerti atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan
kepribadian atau akhlak.116
Pendidikan karakter tidak bisa dibiarkan jalan begitu
saja tanpa adanya upaya-upaya cerdas dari para pihak yang bertanggungjawab
terhadap pendidikan. Tanpa upaya-upaya yang cerdas, pendidikan karakter tidak
akan menghasilkan manusia yang pandai sekaligus menggunakan kepandaiannya
dalam rangka bersikap dan berperilaku (berakhlak mulia).
Dari beberapa pengertian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa
pendidikan karakter identik dengan pendidikan akhlak sehingga pendidikan
karakter merupakan pendidikan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang
meliputi seluruh aktivitas manusia yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatannya berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama,
budaya, dan adat istiadat.
Jadi menurut penulis, pendidikan karakter menurut al-Ghazāli dalam kitab
Ayyuhā al-walad merupakan perwujudan dari nilai-nilai pendidikan karakter yang
diungkapkan oleh al-Ghazali yang terdapat di dalam kitab Ayyuhā al-walad.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab
115
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, 23 116
Pupuh, Pengembangan Pendidikan Karakter, l 17
97
Ayyuhā al-walad adalah semua ungkapan atau pernyataan yang merupakan
gagasan terhadap tercapainya tujuan pendidikan karakter yang mana hal ini
termasuk dalam kategori nilai pendidikan. Sehingga gagasan yang merupakan
nilai pendidikan dalam kitab Ayyuhā al-walad dapat dikelompokkan dalam
beberapa hal, akan tetapi oleh karena sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa
sistematika penulisan kitab Ayyuhā al-walad ini tidak tersusun secara sistimatis
seperti layaknya karangan kitab pada umumnya, yakni dibagi melalui bagian
dengan judul kitab, kemudian bab, fasal dan seterusnya.
Oleh karena itu untuk memaparkan nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung dalam kitab Ayyuhā al-walad akan disistematiskan sebagaimana yang
tercantum dalam Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan Nasional, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Tahun 2011 yang berjumlah 18, yakni; nilai religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggungjawab.117
Adapun 18 nilai pendidikan karakter tersebut dan deskripsinya sebagai
berikut:118
117
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan
Nasional Pelaksanaan Pendidikan Karakter , ( Jakarta, Balitbang;2010),9-10. Selanjutnya
dituliskan Kemendiknas, Pedoman. 118
Kemendiknas, Pedoman.
NO NILAI DESKRIPSI
1 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang
98
dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.
2 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan dan pekerjaan
3 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya
4 4. Displin Tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan
5 5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya
6 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki
7 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas
8 8. Demokratis Cara berfikir, bersikap dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban
diriya dan orang lain
99
9 9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar
10 10. Semangat Kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempetkan
kepentingan bangsa dan Negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya
11 11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang
tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, social, budaya, ekonomi dan
politik bangsa
12 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain
13 13. Bersahabat/Komuniktif Tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul dan bekerja
sama dengan orang lain
14 14. Cinta Damai Sikap. Perkataan dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran
dirinya
15 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya
100
B. Konsep Pendidikan Karakter dalam Kitab Ayyuhā al-Walad
Konsekuensi judul ini ialah perlu merumuskan nilai-nilai pendidikan
karakter yang tercantum dalam kitab Ayyuhā al-walad secara sistematis. Adapun
makna nilai-nilai pendidikan karakter adalah semua ungkapan atau pernyataan
yang merupakan gagasan terhadap tercapainya tujuan pendidikan karakter.119
Pengertian ini mengindikasikan bahwa nilai pendidikan karakter sesungguhnya
termasuk dalam kategori nilai pendidikan secara umum. Gagasan yang
diasumsikan merupakan nilai pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhā al-walad
dapat dikelompokkan dalam beberapa hal.
119
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, (Semarang, al-Barkah, t.t), 3. Selanjutnya dituliskan Al-
Ghazāli, Ayyuhā al-walad.
16 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam disekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi
17 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan
18 18. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan, terhadap diri
sendiri,masyarakat,lingkungan(alam,s
ocial,dan budaya),Negara dan Allah
Yang Maha Esa
101
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa sistematika
penulisan kitab Ayyuhā al-walad tidak tersusun secara sistimatis seperti layaknya
karya kitab pada umumnya, yakni dibagi melalui bagian dengan judul kitab,
kemudian bab, pasal, dan seterusnya, maka untuk memaparkan nilai-nilai
pendidikan karakter tersebut akan disistematiskan sebagaimana nilai-nilai karakter
yang tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Tahun 2011
sebanyak 18 poin yang disusun oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional seperti yang tercantum di atas.
1. Nilai Religius
Religius berarti mengadakan hubungan dengan sesuatu yang adil dan
kodrati, hubungan antara makhluk dan Kholiq-nya. Hubungan ini mewujud
dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan
tercermin pula dalam sikap kesehariannya.120
Sedangkan makna nilai religius
adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.121
Berkenaan dengan nilai ini termaktub dalam kitab Ayyuhā al-walad
ungkapkan yang memesankan tentang urgensi nasihat keagaamaan dan
aplikasinya, meski secara objektif disebutkannya bahwa pengamalannya
bersifat problematis. Faktor penghambatnya yang krusial ialah
120
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung, Mizan, 1992), 210.
Selanjutnya dituliskan Shihab, Membumikan Al-Qur‟an. 121
Kemendiknas, Pedoman.
102
kecenderungannya kepada hawa nafsu yang akrab dengan melanggar larangan
agama. Teksnya sebagai berikut:
122
Artinya: Wahai anakku, nasihat itu mudah yang sulit menerima dan
menjalankannya. Bagi orang yang suka menuruti hawa nafsunya,
nasihat itu terasa pahit karena hal-hal yang dilarang agama sangat
disukai dalam hatinya.
Dalam pengertian sikap religius menurut kemdiknas, diantaranya adalah
sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama. Orang yang
patuh dalam melaksanakan adalah mau mendengarkan nasihat, karena agama
sendiri itu adalah nasihat sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Muhammad
SAW dalah hadistnya :
ى ت اس انذاسي سض هللا ع ا انث صه هللا عه سهى ع ات سلة ت
سه نالئة ان ؟ لال : هلل , نكتات, نشسن,: انذ انصحة , لها :لال
عايتى )سا يسهى (
Artinya : Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu
„anhu, bahwasanya Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”.
Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-
122
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, (Semarang, al-Barkah, t.t), 3. Selanjutnya dituliskan Al-
Ghazāli, Ayyuhā al-walad
103
Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”.
(HR. Muslim).123
Terdapat pula dalam kitab Ayyuhā al-walad redaksi yang
mengedepankan pentingnya melakukan aktifitas dalam perjalanan hidup
dimotivasi oleh ketulusan kepada Allah swt yang menjadi salah satu inti
agama Islam. Berbuat ikhlas, semata-mata karena Allah swt dalam segala
sepak terjang kehidupan berarti merealisasikan nilai-nilai religious,
sehubungan keikhlasan menjadi faktor penentu diterimanya amal seseorang.
Tampa ketulusan, amalnya tidak akan diperhitungkan dan diapresiasi oleh
Allah swt. Artinya amal apapun yang dilakukan seseorang tanpa keikhlasan
menjadi sia-sia. Redaksi tersebut sebagai berikut:
124
.
Artinya: Tidak terpejamnya mata dalam beberapa malam untuk
tujuan selain Allah adalah sia-sia. Menangisinya mata untuk tujuan
selain Allah adalah tiada guna. Wahai anakku, hiduplah menurut apa
yang engkau kehendaki, tetapi ingatlah bahwa engkau pasti akan
mati. Bersenang-senanglah terhadap apa yang engkau inginkan, tetapi
ingatlah dirimu pasti berpisah dengannya. Lakukanlah perbuatan
123
HR. Muslim (no. 55 (95)), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu
Hibban (Ta‟liiqatul Hisaan „ala Shahih Ibni Hibban no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi
(VIII/163), dan ini lafzah milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin
„Aus ad-Daari
124 Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 6.
104
sesuka hatimu, nanti engkau akan merasakan akibatnya
(pembalasannya).
Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Ghazāli mengarahkan
kehidupan setiap orang atau siswa seimbang antara dunia dan akhirat sebagai
mana yang tercantum dalam ungkapannya “hiduplah menurut apa yang kamu
kehendaki, tetapi ingatlah bahwa engkau pasti mati dan Bersenang-senanglah
terhadap apa yang engkau inginkan, tetapi ingatlah dirimu pasti berpisah
dengannya”. Semua amal dan pola kehidupan didasarkan semata-mata hanya
karena Allah swt, yang berarti sesuai dengan aturan-Nya. Berpanduan kepada
atura-Nya dalam kehidupan merupakan jalan yang benar dan di jamin lurus
menuju kepada-Nya.
Uraian tersebut sesuai dengan pendapat mukti Ali, bahwa nilai-nilai
religius datangnya dari suatu pengalaman, karena persoalan-persoalan religius
adalah persoalan batiniah dan subyektifitas dan bersifat individualistis,
sehingga tidak ada orang yang begitu bersemangat dan begitu emosional
akan membicarakan masalah agama.125
2. Nilai Jujur
Nilai jujur dalam pendidikan karakter menurut Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas dalam Pedoman
Pelaksanaan Pendidikan KarakterTahun 2011 adalah Perilaku yang
125
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Insani, 1987),
cet. ke-1, 118. Selanjutnya dituliskan Anshari, Ilmu Filsafat.
105
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selaludapatdipercayadalamperkataan,tindakan,danpekerjaan.126
Jujur merupakan terjemahan dari kata shiddiq yang artinya benar atau
dapat dipercaya. Dengan kata lain, jujur adalah perkataan dan perbuatan sesuai
dengan kebenaran. Jujur merupakan induk dari sifat-sifat terpuji (maḥmūdah).
Jujur juga disebut dengan benar atau sesuai dengan kenyataan. Jujur adalah
mengatakan sesuatu apa adanya. Jujur lawannya dusta, berdusta adalah
menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.127
Tercantum dalam kitab Ayyuhā al-walad ungkapan yang menekankan
kepada persesuaian antara ucapan dan perbuatan dengan syareat, baik ketika
melakukan suatu kepatuhan dalam wujud ibadah yang langsung kepada Allah
swt dan ibadah yang berkaitan dengan interaksi antara sesama makhluk,
terutama antarmanusia, maupun ketika meninggalkan larangan-Nya.
Kesesuaian merupakan perilaku jujur dalam merealisasikan ketentuan
Allah swt yang akan mendatangkan apresiasi-Nya, dan kontradiktif menjadi
unsur yang mencerminkan pengkhiatan terhadap aturan-Nya yang berdampak
kepada mendatangkan dosa yang mengantarkan kepada siksa.
Ungkapan tersebut sebagai berikut:
126
Kemendiknas, Pedoman. 127
Rachmat Syafe‟i, Al-Hadits Aqidah-Akhlaq-Sosial dan Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,
2000), Cet. Terakhir, 77. Selanjutnya dituliskan Syafe‟i, Al-Hadits.
106
128
Artinya: Wahai anakku, di antara sarinya ilmu adalah ketika engkau
mengetahui mana yang termasuk ketaatan dan mana yang termasuk
ibadah. Ketahuilah, sesungguhnya ketaatan dan ibadah itu saling
terkait dalam perintah dan larangannya, dalam perkataan dan
perbuatannya. Apa yang engkau ucapkan, engkau lakukan, dan
engkau tinggalkan, semuanya mengikuti tuntunan syariat.
Sebagaimana engkau puasa pada hari idul fitri atau hari-hari tasyrik,
maka engkau akan berdosa, atau jika engkau melakukan shalat dengan
mengenakan pakaian hasil gashab (menggunakan barang milik orang
lain tanpa izin), maka engkau akan berdosa meskipun itu untuk
ibadah.129
Pada pernyataan tersebut, terdapat kalimat االايش اا يتاتعة انساسع ف
انمل kata .(mengikuti syari‟at dengan ucapan dan perbuatan) . تانمل انفعم
berasal dari kata لال, yang mempunyai arti perkataan, lapadz, omongan.130
Sedangkan kata انفعم mempunyai makna yang sama dengan انعم yaitu
perbuatan.131
Jadi pernyataan تانمل انفعم menunjukan kesesuain antara ucapan
dan perbuatan. Atau dikenal dengan istilah jujur.
Jujur merupakan terjemahan dari kata shiddiq (انصذك) yang artinya
benar atau dapat dipercaya. Dengan kata lain, jujur adalah perkataan dan
128
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 9. 129
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad- misteri Ilmu Nafi, 9 130
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 1172 131
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir,1064
107
perbuatan sesuai dengan kebenaran.132
Dalam Kamus Al-Munawir133
انصذك : ,
Pada .(yang membenarkan ucapan dengan perbuatannya) انزي صذق لن تانعم
pernyataan al-Ghazali tersebut, terdapat kalimat “Apa yang engkau ucapkan,
engkau lakukan, dan engkau tinggalkan, semuanya mengikuti tuntunan
syariat”. Itu menandakan bahwa jujur dalam perkataan harus sesuai dengan
perbuatan, perbuatan harus sesuai dengan tuntunan syariat.
Pernyataan lain yang menekankan peranan penting kesuaian ucapan
dan perbuatan dengan syariat yang memiliki keterkaitan langsung dengan
kejujuran adalah:
134
Artinya: Wahai anakku, sesuaikanlah perkataan dan perbuatanmu
dengan pandangan hukum syariah, sebab jika ilmu dan amalmu
tidak sesuai dengan syariah, tentu akan membawa pada kesesatan.
Dalam teks lain di sebutkan :
135
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya lisan yang tidak dikendalikan
ucapannya dan hati yang tertutup oleh kelupaan dan syahwat
merupakan tanda kerusakan. Oleh karena itu, jika nafsumu tidak
132
Syafe‟i, Al-Hadits, 77 133
A.W. Al-Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia ( Surabaya, Pustaka Progresif,
1997), cet iv, 770. Selanjutnya dituliskan Al-Munawir, Kamus Al-Munawir 134
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 9 135
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 9
108
dilawan dengan mujāhadah yang sungguh-sungguh dikhawatirkan
hatimu akan mati dan tertutup dari cahaya ma‟rifat.
Pada penyataan tersebut, terdapat kata انهسا انطهك, kata انهسا
mempunyai makna lisan/ucapan, sedangkat kata انطهك berasal dari kata طهك
menjadi انطهك, mempunyai arti yang bebas, tidak terikat.136
Jadi انهسا انطهك
yaitu lisan yang tidak terkendali oleh orang yang berkata, merupakan sesuatu
yang membahayakan. Maka dari itu dituntut untuk jujur dalam berkata.
Ungkapan tersebut menunjukkan pentingnya membekali siswa dengan
karakter kejujuran dalam kehidupan, karena kejujuran tersebut akan membawa
siswa selamat di dunia dan di akhirat. Selain itu kejujuran akan membawa
siswa menjadi insan yang dipercaya banyak orang dan yang bermaslahat pada
sesama. Dalam ungkapan “lisan yang tidak dikendalikan” menandakan bahwa
jika berkata tidak bisa mengendalikan diri maka akan cenderung kepada
kebohongan, itu berarti tidak jujur.
3. Nilai Toleransi
Nilai Toleransi dalam pendidikan karakter menurut Pusat Kurikulum
Badan Penelitiandan Pengembangan Kemdiknas merupakan sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan suku, agama, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya.137
Dalam mewujudkan kemaslahatan umum agama telah menggariskan
dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan pemeluknya yaitu
hubungan secara vertikal dan hubungan secara horizontal. Hubungan yang
136
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 862 137
Kemendiknas, Pedoman.
109
disebutkan pertama merupakan hubungan antara pribadi dengan Allah swt
yang direalisasikan dalam bentuk ibadah sebagaimana yang telah digariskan
oleh setiap agama. Hubungan ini dilaksanakan secara individual dan kolegial,
tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau berjama‟ah, seperti shalat dalam
Islam. Pada hubungan vertikal berlaku toleransi agama yang hanya terbatas di
lingkungan atau intern suatu agama saja atau toleransi intern agama.
Sedangkan hubungan yang disebutkan kedua adalah hubungan manusia
dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak hanya sebatas pada lingkungan
suatu agama saja, tetapi mencakup kepada penganut agama lain yang
dimanifestasikan dalam bentuk kerja sama berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.138
Toleransi juga dapat diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada
sesama manusia atau sesama kepada warga masyarakat untuk menjalankan
keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-
masing selama menjalankan dan menentukan sikapnya tidak melanggar dan
bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan kedamaian
dalam masyarakat.139
138
Said Agil Husain al-Munawwar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), 13-14. Selanjutnya dituliskan al-Munawwar, Fiqh. 139
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar
Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), 22
110
Dalam kitab Ayyuhā al-walad dijelaskan :
140
Artinya: Ingatlah, memperdebatkan suatu masalah dengan siapapun
menurut kemampuanmu, demikian karena sesungguhnya perdebatan
itu lebih banyak mudharat dan dosanya dari pada manfaatnya. Selain
itu, perdebatan memicu timbulnya akhlaq yang buruk, seperti riya‟
hasud, takabur, terlukanya hati, permusuhan, sikap saling
menonjolkan kelebihannya, dan berbagai perbuatan buruk lainnya.
Memperdebatkan suatu masalah memang tidak diperkenankan, tetapi
jika masalah tersebut kejadiannya ada pada dirimu dan orang lain atau
suatu kaum, dimana tujuanmu dalam membahas masalah tersebut
untuk menunjukkan kebenaran, janganlah sampai perkara yang haq
menjadi sia-sia, maka engkau boleh membahas masalah itu. Meskipun
demikian, ada dua hal yang patut diperhatikan: Pertama; engkau tidak
boleh membedakan dalam memutuskan kebenaran, baik keputusan itu
lewat lisanmu maupun lewat lisan orang lain. Kedua; Membahas
masalah tersebut di tempat sepi lebih baik dari pada membahas di
depan orang banyak. Dengarkanlah! Disini aku akan menjelaskan satu
faedah untuk dirimu. Ketahuilah, bahwa menanyakan sesuatu yang
140
Al-Ghazali, Ayyuhā al-walad, 16-17.
111
sulit itu sama dengan melaporkan penyakit hati kepada seorang
dokter. Jawaban pertanyaan tersebut adalah cara yang paling baik
dalam mengobati penyakit.
Ada sebuah syair menyatakan :
141
Artinya: Semua permusuhan itu terkadang masih dapat diharapkan
hilangnya, kecuali orang yang memusuhi dirimu karena hasud. Oleh
karena itu, orang yang punya penyakit seperti ini hendaknya kamu
tinggal saja, sebab penyakitnya tidak bisa diobati.
Dalam bahasa arab akan kita temukan kata yang mirip dengna arti
toleransi yakni " تس ,إختال " ikhtimal dan tasammuh yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada (samuha - yasmuhu - samhan, wasimaahan,
wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma).142
Pada pernyataan al-Ghazali, diantaranya terdapat ungkapan “engkau
tidak boleh membedakan dalam memutuskan kebenaran, baik keputusan itu
lewat lisanmu maupun lewat lisan orang lain” pernyataan tersebut
menunjukan bahwa sikap membiarkan atau lapang dada dalam memutuskan
kebenaran ketika berdebat, baik kebenaran itu dari orang lain, tidak harus
dari diri.
Ungkapan tersebut menunjukkan pentingnya proses saling menghargai
di antara sesama manusia, semua bentuk perbedaan bermuara pada
kemaslahatan bersama. Perbedaan yang terjadi diterima dengan lapang dada,
141
Al-Ghazali, Ayyuhā al-walad, 17 142
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 702
112
tidak perlu diperdebatkan, apalagi jika didasari oleh kedengkian atau hasut,
karena hanya akan merusak sendi-sendi kehidupan bersama.
4. Nilai Disiplin
Nilai disiplin dalam pendidikan karakter menurut Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas merupakan tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.143
Secara etimologis, disiplin berasal dari bahasa Latin desclipina yang
menunjukkan kepada kegiatan belajar mengajar. Istilah tersebut sangat dekat
dengan istilah dalam bahasa Inggris disciple yang berarti mengikuti orang
untuk belajar di bawah pengawasan seorang pemimpin. Istilah bahasa Inggris
lainnya adalah discipline yang berarti tertib, taat, atau mengendalikan
tingkah laku, penguasaan diri, kendali diri.144
Disiplin merupakan sesuatu yang berkenaan dengan pengendalian diri
sesorang terhadap bentuk-bentuk aturan. Peraturan dimaksud dapat
ditentukan oleh orang yang bersangkutan maupun berasal dari luar.
Disiplin juga mempunyai arti yang menunjukan kepada kepatuhan
seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh
adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya.145
Dalam kitab Ayyuhā al-walad dijelaskan :
143
Kemendiknas, Pedoman. 144
Tulus Tu‟u, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa, (Jakarta: Grasindo 2004),
30. Selanjutnya dituliskan Tu‟u, Peran Disiplin. 145
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), 114. Selanjutnya dituliskan Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi
113
146
Artinya: Ketika engkau mempelajari atau muthala‟ah suatu ilmu,
sebaiknya ilmu yang dipelajari adalah ilmu yang bisa membuat hatimu
menjadi baik dan dapat membersihkan dirimu. Hal ini sebagaimana
ketika engkau mengetahui kalau umurmu itu tinggal satu minggu, maka
waktu yang pendek itu pasti tidak akan engkau gunakan untuk
mempelajari ilmu fiqih, ilmu akhlaq, ilmu ushul, ilmu kalam, dan ilmu-
ilmu yang lain, lantaran engkau mengerti kalau mempelajari ilmu-ilmu
tersebut kurang bermanfaat bagimu.
Pada pernyataan tersebut, terdapat kata يطانعة . Dalam kamus al-Munir,
kata يطانعة merupakan masdar dari kata طانع . kata طانع mempunyai arti yang
sama dengan kata لشاء yaitu membaca. Akan tetapi طانع bisa diartikan juga
menela‟ah147
. Dalam KBBI148
, menelaah mempunyai arti mempelajari,
menyelidik, mengkaji, memeriksa, menilik. Kata menelaah, menunjukan
bahwa ada sebuah perbuatan yang dilakukan terus menerus secara mendalam.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan kedisiplinan, karena jika tidak disiplin,
maka tidaka akan mencapai tujuan dari penelaahan tersebut.
146
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 22. 147
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 860 148
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka 2002),
230, Selanjutnya dituliskan KBBI,
114
Nilai kedisiplinan yang dimaksud dalam kandungan ungkapan al-
Ghazāli di atas adalah pentingnya seorang siswa untuk belajar dengan disiplin
dan memanfaatkan waktu, karena setiap waktu yang melingkari hidup siswa
akan bermanfaat jika dilakukan dengan menggali banyak ilmu yang
bermanfaat dan tidak menyiakan sedikitpun untuk perkara yang tidak
bermanfaat.
5. Nilai Kerja Keras
Nilai kerja keras dalam pendidikan karakter menurut Pusat Kurikulum
Badan Penelitiandan Pengembangan Kemdiknas merupakan perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-sebaiknya.149
Nilai kerja keras dalam konteks pembelajaran belajar adalah suatu
usaha untuk menggerakkan, mengarahkan tingkah laku seseorang untuk
melakukan suatu tindakan sehingga mencapai hasil tujuan tertentu dalam
kerangka sebuah belajar demi perubahan. Kerja keras bagi seorang muslim
adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh
aset, pikir, dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti
dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khoiru ummah).150
Menurut Quraisy Shihab, kerja keras adalah sebuah aktivitas yang
menggunakan daya yang dianugerahkan oleh Allah swt, karena pada dasarnya
149
Kemdiknas, Pedoman. 150
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), 27.
Selanjutnya dituliskan Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim
115
manusia diberi empat daya pokok. Pertama; Daya fisik yang menghasilkan
kegiatan fisik dan ketrampilan. Kedua; Daya fikir yang mendorong
pemiliknya berfikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan. Ketiga; Daya kalbu
yang mejadikan manusia semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan
dan menanggulangi kesulitan. Dan keempat, daya hidup yang menghasilkan
semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan, dan menanggulangi
kesulitan.151
Dalam kitab Ayyuhā al-walad dijelaskan :
152
Artinya: Yang dimaksudkan bodoh disini adalah orang yang menuntut
ilmu dalam masa yang pendek, baik ilmu aqli maupun ilmu syar‟i, lalu
ia bertanya dengan kebodohannya kepada orang alim yang sudah cukup
lama mempelajari ilmu aqliy dan ilmu syar‟i. Orang bodoh tersebut
tidak mengerti dan tidak menyadari kelemahan dirinya. Ia beranggapan
bahwa kesulitan yang dihadapi sama halnya dengan kesulitan yang
dihadapi orang alim tadi. Jadi ketidak mengertiannya diukur dengan
ketidak mengertiannya orang alim yang sudah lama belajarnya.153
Pernyataan al-Ghazali tersebut pada kata شتغم تطهة انعهى . Dalam
kamus al-Munir, kata شتغم ا mempunyai makna sibuk, jika digabung dengan
151
Qurais shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2002) cet iii, 222. Selanjutnya
dituliskan Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 152
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 18 153
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad- misteri Ilmu Nafi , 1
116
kata lain : شتغما عال عم bermakna sibuk bekerja yakni bekerja keras154
.
Berkenaan dengan nilai kerja keras tersebut, ada sebuah pepatah arab yang
mengatakan : # ( ومن زرع حصد ، من جد وجد ) # yang artinya "Siapa sungguh-
sungguh, ia akan berhasil, dan siapa menanam, ia akan menuai (hasil)".
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai segala sesuatu
khususnya ilmu yang bermanfaat berhajat kepada kerja keras. Seorang siswa
untuk meraih kesuksesan dalam belajar membutuhkan kepada usaha serius
mempelajari ilmu yang ditekuninya dan bersungguh-sungguh mengatasi
kesulitan yang dialaminya dalam belajar dengan bertanya kepada orang yang
lebih tahu dan telah mempelajari ilmu tersebut terlebih dahulu dengan detail
dan teliti. Jadi usaha keras mengandung makna menentukan arah perbuatan
yang jelas menuju tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian kerja
keras diorientasikan kepada aktivitas yang dapat memberikan arah dan
disasarkan pada target tertentu dalam bentuk kegiatan yang selayaknya
dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
6. Nilai Kreatif
Nilai kreatif dalam pendidikan karakter menurut Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas merupakan berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang
telah dimiliki.155
Dalam perspektif Islam kreatif di artikan sebagai kesadaran keimanan
seseorang untuk menggunakan daya dan kemampuan yang dimiliki sebagai
154
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 727 155
Kemendiknas, Pedoman
117
wujud syukur atas nikmat Allah swt guna menghasilkan sesuatu yang terbaik
dan bermanfaat bagi kehidupan sebagai wujud dari pengabdian yang tulus
kepada Allah swt.156
Kitab Ayyuhā al-walad berhubungan dengan nilai kreatif
menjelaskannya dengan redaksi sebagai berikut:
157
Artinya: Wahai anakku, ilmu tanpa amal adalah gila, sedangkan amal
tanpa ilmu tidak akan berhasil.
Pentingnya ilmu dikembangkan mengingat manfaat yang begitu besar
bagi kehidupan manusia. Akan tetapi bila manusia itu pelit dengan ilmu yang
dimilikinya, maka akan membawa efek dimana manusia menjadi bodoh,
termasuk jika ahli mengajar/fatwa telah meninggal dunia, maka ilmunya
musnah terbawa.158
159
Artinya: Apa-apa yang engkau hasilkan dari Ilmu yang perlu dipelajari
di antaranya teologi (ilmu kalam), ilmu khilaf (ilmu yang banyak
melibatkan pembicaraan dan perdebatan), kedokteran, diwan, buku
yang memuat berbagai syair, perbintangan (falak/astronomi), arudh
156
Anaz Azwar, Sifat-sifat Terpuji dalam Islam, (Surabaya: Surya Pustaka, 2007), 186.
Selanjutnya dituliskan Azwar, Sifat-sifat Terpuji. 157
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad – Misteri Ilmu Nafi‟, 7 158
Al-Ghazāli, Ringkasan Ihya' Ulumuddin,Terj. Ust. Labib MZ, (Surabaya : Bintang
Usaha Jaya, 2003), 12. Selanjutnya disebut Al-Ghazāli, Ringkasan Ihya'. 159
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 6
118
(ilmu yang mempelajari timbangan) syair, dan lain-lain tentang benar
salahnya syair, nahwu, dan sharaf.160
Pada pernyataan al-Ghazali tersebut, terdapat kata ي نك اي شئ حاصم
ى هتحصم انع . Kata حاصم dalam kamus al-Munir, mempunyai arti hasil atau
produksi.161
Hasil atau produksi sebuah karya, merupakan bentuk dari hasil
kreatifitas yang dihasilkan oleh seseorangdari ilmu yang ia peroleh. Jika tanpa
kreatifitas, tidak mungkin akan menghasilkan suatu karya.
Ungkapan tersebut mengisyaratkan pentingnya seseorang menggali
ilmu dengan kreatif agar mampu menjalankan amalan kehidupan yang baik.
Ilmu itu beragam, maka perlu kreatifitas dari seseorang dalam menjalankannya
dengan baik dan sesuai dengan tuntutan kehidupan. Selain itu ilmu yang
dimiliki perlu diamalkan agar menemukan sesuatu yang baru lagi untuk
mengembangkan ilmu tersebut yang pada akhirnya bermanfaat bagi orang lain.
7. Nilai Mandiri
Nilai Mandiri dalam pendidikan karakter adalah sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-
tugas.162
Sepanjang rentang kehidupan manusia perkembangan kemandirian
merupakan masalah penting. Tanpa banyak menggantungkan diri pada orang
lain, masalah kemandirian ini menuntut suatu kesiapan individu baik kesiapan
160
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafi‟, 6. 161
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 272 162
Kemendiknas, Pedoman.
119
fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas
atas tanggung jawabnya sendiri.163
Kitab Ayyuhā al-walad dijelaskan :
164
Artinya: Aku melihat setiap orang dalam hidupnya berpegang/bersandar
pada sesuatu yang diciptakan sebagai sandaran. Ada sebagian yang
berpegang pada dinar dan dirham, juga ada yang berpegang pada harta
benda dan kekuasaan. Sebagian lagi ada yang hidupnya berpegang pada
pekerjaan dan ada pula yang berpegang pada makhluk sejenisnya.
Pada pernyataan tersebut, terdapat ungkapaan “ يتعذا عه شئ يخهق “
kata يتعذا mempunyai arti disengaja, atau bersandar.165
Terdapat pada
ungkapan “Aku melihat setiap orang dalam hidupnya berpegang/bersandar
pada sesuatu yang diciptakan sebagai sandaran” Ungkapan tersebut
menunjukan bahwa masih banyak sebagian orang menyandarkan atau
bergantung pada orang lain. Maka dari itu pentingnya berusaha secara mandiri
tanpa ada tendensi kepada orang yang berada di luar dirinya, sikap independisi
menjadi faktor setrategis bagi mewujudkan kematangan diri dan
meminimalisir ketergantungan yang tidak rasional kepada makhluk. Hal ini
dapat menciptakan prinsip hidup bahwa kemampuan dan kompetensi
163
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010), 62. Selanjutnya dituliskan Desmita, Psikologi Perkembangan. 164
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 13 165
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 970
120
seseorang didasarkan pada keinginan sendiri dan niat yang tulus, bukan karena
ingin mengharapkan pujian dari orang lain.
Sandaran orang yang beriman dalam kehidupan dan orientasinya hanya
pada Allah swt semata. Termasuk dalam menuntut ilmu, peserta didik belajar
dan menggali ilmu dilandasi keinginan sendiri, dan berusaha memperkecil
motivasi karena perintah atau kehendak orang lain.
8. Nilai Demokratis
Nilai demokratis dalam pendidikan karakter dimaknai dengan cara
berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain166
.
Pendidikan yang demokratis menuntut adanya interaksi antara peserta
didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan equality (kesetaraan atau
sederajat dalam kebersamaan). Kesetaraan terealisasi dalam wujud kebebasan
berinisiatif, berbeda aspirasi, berlainan pendapat, dan adil dalam pendidikan
yang terakomodasi dengan baik. Karena itulah, dalam proses pembelajaran
terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa.167
Kitab Ayyuhā al-walad mengutarakan nilai demokrasi tersebut dalam
teks sebagai berikut:
168
166
Kemendiknas, Pedoman. 167
Haryanto, Macam-macam metode pembelajaran, (Surabaya: Unipress,2011), 173.
Selanjutnya dituliskan Haryanto, Macam-macam metode pembelajaran 168
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 12
121
Artinya: Aku melihat manusia senang menggunjing pihak lain, sebagian
menghujat sebagian yang lain. Adanya gunjingan dan hujatan seperti ini
sumber permasalahannya berpangkal pada adanya rasa hasud, baik
dalam soal harta benda, kedudukan, maupun ilmu.169
Pada Pernyataan tersebut terdapat ungkapan “ ازو تعضى تعض “ kata زو
berasal dari kata رو yang mempunyai arti mencela, mengecam.170
Mengecam
menunjukan makna tidak menghargai apa yang diucapkan atau dilakukan oleh
orang lain.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu selayaknya
didasarkan pada persamaan hak tanpa adanya rasa hasud dalam bekerja sama,
artinya seorang siswa dituntut mampu menghargai persamaan di antara sesame
mereka tanpa memandang kedudukan, harta maupun penampilan, semua
manusia sama di mata Allah swt. Konsekwensinya ialah memperlakukan sama
terhadap mereka sebagai teman yang baik dan tidak saling menggunjingkannya
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan sukses sebagai
hasil dari kerja sama berdasarkan persamaan hak dan kewajiban.
9. Nilai Rasa Ingin Tahu
Nilai rasa ingin tahu merupakan poin karakter penting yang sepatutnya
ditanamkan pada setiap peserta didik, mengingat rasa ingin tahu bermakna
sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas daris esuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar,171
169
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafi‟, 12. 170
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 451 171
Kemendiknas, Pedoman.
122
Rasa ingin tahu senantiasa akan memotivasi diri untuk terus mencari
dan mengetahui hal-hal yang baru sehingga menambah ilmu pengetahuan dan
pengalaman dalam kegiatan belajar. Rasa ingin tahu yaitu sikap dan tindakan
yang selalu beupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan luas dari apa yang
dipelajarinya, dilihat dan didengar. Hal ini berkaitan dengan diri sendiri
berhubungan dengan alam dan lngkungan hidup.172
Untuk mencapai hasil yang maksimal, rasa ingin tahu atau semangat
belajar diperankan dengan optimal, sehubungan perannya sedemikian penting
dalam pelaksanaan proses pembelajaran dan interaksi edukatif. Semangat
artinya mendorong kekuatan lahir dan batin untuk berkemampuan, bersikap,
berperilaku, bekerja, dan bergerak. Meningkatkan semangat belajar memiliki
hubungan yang erat dengan keinginan untuk belajar di kelas. Keinginan atau
wish adalah harapan untuk mendapatkan atau memiliki sesuatu yang
dibutuhkan.173
Pernyataan yang termaktub dalam kitab Ayyuhā al-walad yang identik
dengan rasa ingin tahu dapat dilihat dalam rangkaian kalimat sebagai berikut:
174
172
Muhammad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Jogjakarta,
Laksbang Presindo, 2011), 103. Selanjutnya dituliskan Mustari, Nilai Karakter. 173
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT.
RosdaKarya, 2003), 61. Selanjutnya dituliskan Sukmadinata, Landasan psikologi. 174
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 18
123
Artinya: Seseorang yang bertanya karena ingin mengetahui sesuatu yang
tidak dipahaminya terhadap perkataan orang-orang alim, kemudian
bertanya untuk kemanfaatan dirinya, tetapi tetap tidak dapat memahami
hakekatnya karena kemampuan daya talarnya yang sempit (bodoh),
maka pertanyaan tidak perlu dijawab.
Pernyataan berikut ini memiliki relevansi dengan pesan yang tersurat
dan tersirat pada teks di atas berkaitan dengan rasa ingin tahu.
175
Artinya: Sedangkan penyakit bodoh yang bisa diobati adalah seorang
yang bertanya meminta petunjuk (ingin tahu) perihal sesuatu
masalah, sedang ia memiliki kecerdasan akal dan pemahaman jika
diterangkan kepadanya. Pertanyatannya tulus tanpa disertai rasa hasud,
marah, menuruti hawa nafsu, motivasi pangkat, dan harta.
Pada Ungkapan tersebut terdapat kata يستششذا berasal dari kata سشذ –
.mempuyai arti memohon/meminta petunjuk استششذ176
Meminta petunjuk
menunjukan arti rasa ingin tahu terhadap sesuatu karena tidak
mengetahuinya.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rasa ingin tahu yang tinggi
dalam menggali ilmu sedalam-dalamnya kepada seorang guru perlu bagi
setiap siswa, agar terhindar dari kebodohan yang akan menyengsarakan
kehidupannya dan dapat mengarahkan jalan hidupnya pada jalan yang
terhindar dari kesesatan, malah mendatangkan kebahagiaan. Selain itu dapat
175
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 18 176
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 499
124
dipahami bahwa pendalaman suatu pengetahuan yang berbasis rasa ingin
tahu dilakukan secara berkesinambungan, istikomah, dan dalam waktu yang
panjang agar ilmu dan pengetahuannya dapat dipahami dengan detail.
Rasa ingin tahu sangat erat dengan kemampuan akal seseorang. Dalam
hal ini, Al-Ghazāli mengungkapkan bahwa akal merupakan sumber ilmu.
Hakikat akal adalah naluri yang digunakan untuk memahami pengetahuan-
pengetahuan teoritis. Seakan-akan akal adalah cahaya yang dimasukan ke
dalam hati, yang mana manusia siap memahami segala sesuatu.177
10. Nilai Semangat Kebangsaan
Karakter posistif yang selayaknya ditanamkan pada peserta didik
adalah nilai semangat kebangsaan (nasionalisme) yang pada hakekatnya
berarti cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan diri sendiri dan
kelompoknya178
.
Pembentukan karakter kebangsaan pada peserta didik akan menguat
manakala dilakukan dengan penguatan aqidah, akhlak, dan pembiasaan
ibadah dalam kehidupan sehari-hari agar benar-benar terbentuk karakter
orang yang bertakwa (muttaqīn) dengan kejujuran yang mewarnai
perilakunya, karena pembangunan bangsa tidak mungkin berjalan hanya
dengan mencari kesalahan orang lain, yang diperlukan dalam pembangunan
ialah keikhlasan, kejujuran, dan jiwa kemanusiaan yang tinggi, persesuaian
177
Imam Al-Ghazāli, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, Terj Zaid Husein Al-Hamid (Jakarta,
Pustaka Amani; 2007), 19. Selanjutnya dituliskan, Al-Ghazāli, Mukhtashar 178
Kemendiknas, Pedoman.
125
kata dengan perbuatan, prestasi kerja, kedisiplinan, jiwa dedikasi serta
berorientasi kepada masa depan dan pembaharuan. Dengan adanya penerapan
pendidikan karakter tersebut, maka akan terbentuklah sosok manusia cerdas,
kreatif, dan berakhlakul karimah yang siap membangun peradaban dunia
yang lebih baik dalam bingkai kebangsaan dengan landasan iman dan takwa
kepada Allah swt.179
Kitab Ayyuhā al-walad menjelaskan hal tersebut (karakter
nasionalisme) dengan menyebutkan bahwa non kooperatif dengan
kezaaliman, meski hanya sebatas mendo‟akan, terlebih bila kezaliman itu
dilakukan oleh penguasa sebaba sesungguhnya penguasa atau pejabat adalah
figur-figur pengemban amanat rakyat atau bangsa yang tidak diperkenankan
untuk dikhianati, melainkan untuk dipenuhinya bagi kepentingan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan setabilitas Negara. Teksnya yang
memesankan hal tersebut sebagai berikut:
180
Artinya: Sebagian dari yang kamu tinggalkan adalah bergaul erat dengan
pejabat, demikian itu karena melihat dan bergaul dengan para penguasa
banyak madharatnya. Namun jika engkau diuji oleh Allah swt terpaksa
179
Djohar, Pendidikan Strategik; Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta:
LESFI, 2003), 68. Selanjutnya dituliskan Djohar, Pendidikan Strategik. 180
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 21
126
bergaul dengan penguasa, maka yang perlu engkau perhatikan adalah
jangan sekali-kali memberikan pujian kepada mereka, sebab Allah
sangat murka terhadap orang yang suka memuji orang fasiq atau orang
dzalim. Barang siapa mendoakan panjang umur bagi para penguasa
yang dzalim, berarti dirinya senang jika Allah didurhakai di bumi-Nya.
Pada ungkapan tersebut, terdapat kata طسال dan kata االيشاء. Kata
ط سال merupakan bentuk jamak dari kata سهطا yang berarti
sultan/pangeran/raja.181
Sedangkan kata االيشاء merupakan bentuk jamak dari
kata االيش yang mempunyai arti amir, pangeran, putra mahkota.182
Kata-kata
tersebut menjelaskan tentang suatu kekuasaan atau pemerintahan, dimana
terdapat seorang raja, sultan atau pangeran yang berkuasa. Selagi mereka
berbuat adil, maka kita harus bersikap loyal pada mereka. Tapi jika mereka
berbuat dzolim, maka kita jangan sekali-sekali mengikutinya.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa untuk membentuk bangsa yang
baik perlu penanaman pada diri peserta didik watak dan karakter untuk menjadi
pemimpin yang amanah dan tidak berpolitik yang berbasis kemungkaran dan
kezaliman. Penguasa yang zalim adalah awal dari kehancuran suatu bangsa dan
negara.
Dalam konteks ini pendidikan diarahkan kepada penanaman dan
pembentukan karakter mulia pada peserta yang dapat menjelmakan akhlak
karimah sebagai bekal menjadi pemimpin yang baik dengan mengedepankan
kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan diri sendiri dan
kelompoknya.
181
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 650 182
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 38
127
11. Nilai Cinta Tanah Air
Nilai cinta tanah air merupakan karakter yang fundamental bagi suatu
bangsa dalamg rangka menguatkan rasa memiliki terhadap jiwa nasionalisme
dan rasa mempunyai tanah air dan tumpah darah yang pada gilirannya bisa
menguatkan dan mengembangkan sifat bela Negara dan bela bangsa berikut
seluk beluknya. Cinta tanah air sebagai suatu karakter bermakna cara berfikir,
bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, dan
budaya bangsa.183
Islam sebagai agama menuntun manusia ke jalan yang benar baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat bahkan negara. Islam bukan
sekedar ajaran ritualitas melainkan sebagai agama yang memberikan petunjuk
yang fundamental tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat,
bahkan dengan negara. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam
sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan
ketatanegaraan. Pertama; Berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan
yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia
termasuk kehidupan bernegara.184
183
Kemendiknas, Pedoman. 184
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 1993), 1-2. Selanjutnya dituliskan Sjadzali, Islam dan Tata Negara.
128
Bertalian dengan karakter ini kitab Ayyuhā al-walad menjelaskan
tentang ketidakbolehan seorang muslim sejati mendukung penguasa yang
berbuat zalim termasuk menerima pemberiannya. Kezaliman penguasa, pada
hakekatnya tergolong ke dalam pengrusakan terhadap negara, tanah air, dan
bangsa.
Dukungan terhadapnya berarti melakukan tindakan anti cinta tanah
air, sedangkan sikap tidak menyetujui dan tidak mendukung penguasa yang
zalim karena Allah swt, berarti menyelamatkan negara, tanah air, dan bangsa
dari kerusakan, sikap seperti ini merupakan perwujudan atau identik dengan
mencintai tanah air yang dalam suatu pepetah digolongkan sebagian daripada
iman kepada Allah swt dan Nabi-Nya saw.
Redaksi yang tertulis di dalamnya sebagai berikut:
185
Artinya: Senang menerima pemberian penguasa dapat merusak agama,
karena dapat melahirkan sikap mudahanah (mencari pujian), juga dapat
mempengaruhi diri untuk membela kedudukan penguasa tadi yang
akhirnya engkau-pun menyetujui perilaku kezalimannya. Semua ini
dapat merusak agama. Adapun kemudharatan yang paling ringan jika
menerima pemberian penguasa disertai adanya perasaan senang di
hatimu kepadanya setelah engkau memanfaatkan harta pemberiannya.
185
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 21
129
Pada pernyataan di atas, terdapat kalimat ال انطع يى فسذ انذ , kata
yang berarti ketamakan, kelobaan atau طع merupakan masdar dari kata انطع
kerakusan.186
Kerakusan menunjukan bahwa orang tersebut selalu mengharap
pemberian dari orang lain. Kalau dia selalu mengharap dan mendapatkan
pemberian dari penguasa atau orang lain, maka loyalitas dia kepada negara
diragukan, karena dia akan selalu loyal kepada orang yang memberinya saja,
bukan kepada negara yang dia tinggal di dalam nya sebagai tanah air dimana
dia tinggal dan dibesarkan.
Ungkapan tersebut menunjukkan tentang watak kesetiaan, kepedulian,
dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya
bangsa, dan lain-lain yang menjadi milik bangsa dan Negara. Watak dan
karakter positif tersebut akan dapat menyuburkan sikap pantang
memperjualbelikan milik negara dengan perilaku yang tidak bermoral dan bisa
menguatkan prinsip hidup yang menekankan bahwa apa yang ada pada negara
adalah asset yang berharga yang sudah semestinya dicintai, dijaga, dan
dipertahankan.
Salah satu manifestasi sikap dan karakter positif tersebut adalah
menegaskan perilaku KKN yang dapat dapat merusak sendi-sendi kehidupan
bernegara (zalim) dan berbangsa. Kecintaan kepada negara dilakukan dengan
ikhlas dan semata-mata mengharapkan ridha dari Allah swt.
186
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir,866
130
12. Menghargai Prestasi
Nilai menghargai prestasi menjadi bagian melekat bagi bangsa
yang besar dan berakhlak karimah yang diartikan sebagai sikap dan tindakan
yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.187
Kitab Ayyuhā al-walad yang menampung gagasan al-Ghazāli
memberikan kontribusi signifikan berkaitan dengan karakter ini dan
menjelaskan bahwa Nabi saw menghargai amalan salat malam yang
dilakukan oleh Abdullah bin Umar dengan menjulukinya sebagai sebaik laki-
laki. Hal ini dapat dilihat pada teks berikut ini:
188
Artinya: Diceritakan ada sekelompok sahabat nabi yang
mengungkapkan keadaan Abdullah bin Umar pada Rasulullah, lalu
beliau bersabda: Sebaik-baik lelaki adalah Ibnu Umar ketika sedang
salat malam. Dan beliau bersabda kepada para sahabatnya: Hai fulan,
janganlah banyak tidur di waktu malam, karena banyak tidur di waktu
malam, menyebabkan pelakunya fakir di hari kiamat.
Pada pernyataan tersebut terdapat kalimat عى انشجم ن كا صه تانهم
kalimat tersebut mempunyai makna: “ya, sebaik-baiknya lelaki adalah dia
187
Kemendiknas, Pedoman. 188
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 8
131
(Abdullah bin Umar) ketika shalat malam”. Pernyataan ini menunjukan bahwa
ada seseorang yang mempunyai prestasi bagus yaitu Abdullah bin Umar ketika
shalat malam.
Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa, para sahabat tersebut mengakui
keberhasilan atau prestasi Abdullah bin Umar sebagai sebaik-baik lelaki ketika
sedang salat malam. Pujian Nabi saw kepadanya menjadi indikator prestasi
menakjubkan yang diraih oleh Abdulah bin Umar serta sebagai bentuk
apresiasi dan penghargaan Nabi saw terhadapnya, sekaligus berfungsi sebagai
setimulasi yang urgen yang membuat para sahabat menjadi termotivasi untuk
menjadi lebih baik lagi.
13. Nilai Bersahabat/Komunikatif
Nilai Bersahabat/komunikatif merupakan karakter yang fundamental
dan merealisasikan potensi bawaan manusia sebagai makhluk zonpolitikon
yang senanatiasa melekat dalam tata kehidupannya dalam kerangka
menciptakan kondisi yang kondusif bagi terwujudnya kolektifitas yang
harmoni. Sifat bersahabat atau komunikatif merupakan tindakan yang
memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan
orang lain.189
Dalam kitab Ayyuhā al-walad tertuang teks yang berkenaan dengan
karakter bersahabat dan komunikatif, yaitu:
190
189
Kemendiknas, Pedoman. 190
Al-Ghazṭli , Ayyuhā al-walad, 9
132
Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya lisan yang tidak dikendalikan
ucapannya dan hati yang tertutup oleh kelalaian dan syahwat merupakan
tanda kerusakan. Oleh karena itu, jika nafsumu tidak kau lawan dengan
mujahadah yang sungguh-sungguh dikhawatirkan hatimu akan mati dan
tertutup dari cahaya ma‟rifat.191
Pada pernyataan tersebut, terdapat kata انهسا انطهك, kata يطهك berasal
dari kata طهك yang memiliki arti lepas, berpisah, bercerai.192
Kata tersebut
memiliki arti lisan yang tidak terkendali. Dalam bersahabat, peran lisan sangat
penting, sepeti kata pepatah “Mulutmu Harimaumu”. Jika kita tidak bisa
menjaga lisan dengan baik, maka persahabatan tidak akan bisa langgeng dan
malah menimbulkan permusuhan.
Redaksi lain yang memuat pesan yang sama berkaitan dengan nilai
bersahabat/komunikatif adalah:
193
Artinya: Aku melihat sebagian manusia menyangka bahwa kemuliaan
dirinya itu terletak pada banyaknya dukungan dan teman, sehingga
191
Al-Ghazṭli , Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 9. 192
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 861 193
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 12
133
pada akhirnya mereka tertipu. Sebagian manusia ada yang menyangka
bahwa kemuliaan dirinya terletak pada banyaknya harta benda dan
anak kebanggaan. Sebagian lagi ada yang beranggapan bahwa
kemuliaan dan keunggulan diri terletak pada kemampuannya dalam
meng-ghashab harta orang lain dan adanya keberanian melakukan
penganiayaan dan pembunuhan. Ada sebagian manusia yang
berkeyakinan bahwa kemuliaan diri terletak pada kemampuan merusak
hartanya, boros, dan senang menghambur-hamburkannya untuk hal-hal
yang tidak bermanfaat. Melihat kenyataan ini, aku lantas merenungkan
makna kandungan firman Allah swt: Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu. (QS. Al-Hujurat/43 : 13). Aku lantas memilih bertaqwa
sebagai jalan untuk mencari kemuliaan diri di hadapan Allah swt,
karena aku punya keyakinan kuat bahwa apa yang menjadi sangkaan
dan keyakinan banyak orang yang berke3naan dengan kemuliaan
seperti contoh di atas adalah salah dan menyesatkan.194
Pernyataan tersebut menunjukkan betapa pentingnya seseorang
menjaga hati agar tidak hasud atau dengki dan mengendalikan lisan agar tidak
ceroboh berbicara dalam setiap pergaulan. Peserta didik perlu diarahkan
kepada sikap legowo, lapang dada, dan bertutur kata yang baik serta gemar
menjalin persahabatan secara terbuka dengan tujuan yang baik pula, tidak
hanya berdasarkan pada kedekatan keluarga, suku, atau lainnya. Setiap
pergaulan yang dilakukan sepatutnya didasari akhlak mulia, bukan karena
memamerkan harta.
Pergaulan yang buruk akan membawa pengaruh yang tidak baik,
karena akan membawa akibat kekecewaan yang menyedihkan. Oleh karena
194
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 12.
134
itu kalau berteman hendaklah memilih teman yang akan membawa manfaat
kepada kita, jangan sampai salah memilih teman agar dapat hidup lebih baik
atau mendapat pengalaman yang berguna atau mendapat ilmu yang
bermanfaat.195
Persahabatan yang baik adalah persabatan yang sesuai dengan
ajaran Allah swt dan menghindari rasa hasud atau dengki di antara sesama
individu yang berada dalam lingkungan bermasyarakat dengan dilandasi
amar ma‟ruf dan nahi munkar.
14. Nilai Cinta Damai
Nilai cinta damai dalam pendidikan karakter merupakan sikap,
perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya.196
Sebagaimana bumi yang tidak dapat menumbuhkan tumbuhan tanpa
hujan dari langit, maka begitu juga manusia tidak dapat hidup tanpa
kedamaian yang bersumber dari Allah swt, dan ini menjadikan dia tidak boleh
hanya mengarahkan pandangan dunia material. Sebab utama dari hilangnya
kedamaian adalah memperebutkan hal-hal yang bersifat material yang
jumlahnya terbatas, berbeda dengan yang bersifat spiritual, yang terbentang
luas dan tidak akan habis betapapun banyaknya yang ingin diraih manusia.197
Kitab Ayyuhā al-walad menjelaskan sifat mencintai kedamaian
termasuk ke dalam akhlak karimah atau watak yang terpuji yang
menggambarkan kondisi batin yang tenang dan perilaku sosial yang
195
Imam Al-Ghazāli, Mutiara Ihya Ulumuddin, Terj Rus‟an (Semarang, Wicaksana, tt), 422 196
Kemendiknas, Pedoman. 197
Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 311.
135
harmoni. Cinta damai dapat berwujud dalam bentuk sikap akomodatif,
toleran, tidak memaksakan kehendak, dan menekan tabiat egois. Teks yang
memesankan karakter ter4sebut ialah:
198
Artinya: Ketahuilah bahwa tasawuf itu ada dua, yaitu istiqamah
beribadah kepada Allah dan tenang (jauh) dari berurusan dengan
makhluk. Barang siapa senantiasa istiqamah dalam beribadah kepada
Allah dan berbudi mulai bergaul dengan orang lain, serta sabar
menghadapi tingkah laku mereka, maka dia sudah termasuk ahli
tasawuf. Adapun yang disebut istiqamah di sini adalah menekan
dorongan nafsunya pada perbuatan buruk untuk diganti dengan
menjalankan perintah Allah swt. Termasuk di antara budi pekerti yang
baik terhadap manusia adalah tidak memaksa mereka supaya menuruti
kehendakmu, tetapi justru engkaulah yang mengikuti kehendak mereka
selama tidak bertentangan dengan hukum syariah.
Dalam pernyataan tersebut, terdapat kata سك dan استماية , adapun kata
سكة yang berarti diam, tenang, dan menjadi kata سك berasal dari kata سك
yang berarti ketenangan.199
Adapun kata استماية mempunyai arti lurus/menjadi
lurus. Orang yang diam, tenang atau lurus, menandakan orang tersebut tidak
suka berbuat yang macam-macam yang dapat menimbulkan keributan atau
198
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 15 199
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir,646
136
perpecahan. Dia lebih suka hidup tenang dan damai daripada selalu ribut dan
bertentangan dengan oranglain.
Statemen tersebut menunjukkan pentingnya menghargai orang lain
dengan mengedepankan budi pekerti yang luhur dan menghindari pertikaian
(cinta damai) dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain,
kehadiran seorang muslim sejati menjadi sesuatu yang menyejukkan bagi orang
lain, selanjutnya budi pekerti tersebut mengantarkan berbagai elemen masyarakat
kepada jalan kedamaian dalam kehidupan bersama. Karakter positif tersebut
merupakan bagian dari akhlakul karimah yang telah digariskan oleh Allah swt,
karena pergaulan yang sesuai dengan ajaran Allah swt akan terhindar dari
berbagai bentuk kemungkaran, termasuk gemar menaburkan benih-benih
permusuhan dan perselisihan, melainkan justeru sebaliknya karakter tersebut
mengarahkan mereka kepada perdamaian yang hakiki, yaitu kebersamaan yang
harmoni. Lembaga pendidikan sebagai media pembentukan kepribadian peserta
didik menjadi setrategis dalam menanamkan karakter cinta damai.
15. Nilai Gemar Membaca
Nilai gemar membaca menjadi ciri bagi bangsa yang maju dan
memandang jauh ke depan mengingat membaca merupakan kunci untuk
membuka gudang ilmu pengetahuan yang akan dapat merubah pola pikir dan
pola kehidupannya. Gemar membaca sesungguhnya terletak pada kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya.200
200
Kemendiknas, Pedoman.
137
Kitab Ayyuhā al-walad mengemukakan bahwa pendayagunaan waktu
di antaranya untuk membaca buku dengan maksimal dalam rangka
menghidupkan syareat Nabi saw, mendidik akhlak, dan menekan nafsu
amarah yang cenderung kepada kejahatan dan keburukan merupakan ibadah
yang dijamin bakal membahagiakan, seperti yang tertuang pada teks sebagai
berikut:
201
Artinya: Duhai anaku, berapa banyak malam engkau menyediakan
waktu untuk mempelajari ilmu, dan membaca buku-buku, dan engkau
menahan dirimu untuk tidak tidur. Saya tidak tahu apa tujuanmu. Jika
tujuanmu untuk menghidupkan ajaran Nabi Muhammad saw,
membersihkan akhlak budimu, serta memerangi nafsumu yang selalu
mengajak kejelekan, sungguh benar2 beruntung dirimu.
Pada pernyataan tersebut terdapat kata يطانعة انكتة تكشاس انعهى kata تكشاس
berasal dari kata كشس yang mempunyai arti mengulangi.202
Sedangkan kata
mempunyai arti yang sama طانع kata . طانع merupakan masdar dari kata يطانعة
dengan kata لشاء yaitu membaca. Akan tetapi طانع bisa diartikan juga
menela‟ah203
. Dua kata tersebut menunjukan kepada kesukaan atau kegemaran
terhadap membaca, karena mengulang berarti membaca secara terus menerus.
201
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 6 202
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 1200 203
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 860
138
Sumber ilmu syari‟ah ada empat: kitabullah, sunnah (jalan/cara
penetapan oleh Rasulullah saw), kesepakatan atau opini bulat para faqih
muslim (ijma‟), dan peninggalan atau ucapan para sahabat Nabi saw (atsar).
Ijma' adalah sumber ketiga Islam karena memberikan petunjuk kepada sunnah
Rasulullah saw. Sedangkan sumber yang pertama adalah al-Qur`an dan sumber
yang kedua adalah sunnah Rasulullah saw. Sumber yang keempat adalah
ucapan para sahabat.204
Cabang-cabang ilmu syari‟ah dijabarkan dari sumber-sumber pokok
dengan tidak mengikuti makna harfiah, tapi menurut makna yang diperoleh
melalui akal dan pikiran.205
Dalam konteks ini, pendidikan ditekankan kepada upaya
memperhatikan pemanfaatan ilmu yang diajarkan kepada anak didiknya, guru
perlu memahami dengan merealisasikan dengan baik kurikulum pendidikan
guna mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Al-Ghazāli
memposisikan guru pada tempat yang setrategis, menurutnya tugas guru
berpijak pada asas manfaat agar ilmu yang diajarkannya bermanfaat, sehingga
perlu usaha ekstra menseleksi mana ilmu yang perlu dipelajari dan ilmu yang
tidak dipelajari, dan memotivasi anak didik untuk belajar tentang ilmu-ilmu
agama, kemudian tahap berikutnya ilmu-ilmu umum, kedua-duanya dinilainya
sama-sama penting, tetapi tahapan yang ditempuhnya didasarkan pada
perioritas.
204
Al-Ghazāli, Ihya Ulumuddin I, Terj. Purwanto, (Bandung: Marja', 2003), 54.
Selanjutnya dituliskan al-Ghazāli, Ihya. 205
Al-Ghazāli, Ihya, 54.
139
Untuk ilmu agama, perioritasnya ialah pembelajaran al-Qur`an, karena
di dalamnya terdapat petunjuk kehidupan yang menyeluruh baik bertalian
dengan dunia maupun akhirat. Akan tetapi ilmu dapat dikatakan bermanfaat
ketika ilmu tersebut diamalkan oleh diri sendiri dan diperuntukkan bagi orang
lain, Hal ini didasarkan kepada teori yang menyebutkan bahwa seluruh
manusia akan binasa kecuali yang berilmu, seluruh orang yang berilmu binasa
kecuali yang beramal, dan seluruh orang yang beramal binasa kecuali orang
yang ikhlas, hanyalah amal shaleh yang berbasis iman dan ilmu yang bisa
menolong kehidupan seseorang di dunia dan akhirat.
16. Nilai Peduli Lingkungan
Nilai peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi.206
Lingkungan adalah semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia
atau hewan, sedangkan lingkungan alam adalah keadaan sekitar yang
mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisme. Adapun
lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang berada disekeliling mahluk
hidup (organisme) yang mempunyai pengaruh timbal-balik terhadap mahluk
hidup tersebut.207
206
Kemendiknas, Pedoman. 207
Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 268.
140
Dalam kitab Ayyuhā al-walad dijelaskan :
208
Artinya: Diriwayatkan dari wasiat lukman Hakim pada anaknya, beliau
berkata; wahai anakku, janganlah ayam jago lebih pintar darimu, ayam
jago itu berkokok di waktu sahur, sedangkan dirimu terlelap tidur.
sungguh indah apa yang diucapkan ulama dalam sya‟irnya :
Di tengah malam sungguh merpati telah bersuara atas kesenangan dan
kesusahan, sedang diriku terlelap tidur. Demi Allah aku telah berdusta
jika aku seorang yang rindu pada Allah, sementara merpati-merpati itu
mendahuluiku menangis. Aku mengira sesungguhnya aku orang yang
bingung berbuat dosa pada Tuhanku, tetapi tidak menangis, sedangkan
binatang-binatang itu menangis di waktu malam.
Pada ungkapan tersebut terdapat kalimat ى ئفال اتك تك انثا . Kata انثائى
merupakan bentuk jamak dari kata تة yang berarti hewan/binatang ternak.209
Ungkapan tersebut menunjukan bahwa kita harus peka terhadap binatang yang
merupakan bagian dari alam/lingkungan sekitar.
Manusia semestinya jauh lebih peka untuk bersyukur kepada Allah swt
dibandingkan dengan mahluk-makhluk-Nya yang lain, terutama binatang.
Mereka yang mempunyai keterbatasan memiliki kepekaan yang tajam untuk
208
Al-Ghazāi, Ayyuhā al-walad, 8-9 209
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 115
141
selalu bersyukur kepada-Nya. Sesungguhnya manusia yang diberi anugerah
oleh-Nya jauh lebih unggul dan lebih banyak, malah mayoritas tidak sensitif
untuk menyadari diri mensyukurinya dengan beriman kepada-Nya dan beramal
saleh agar tidak merusak lingkungan sekitar, melainkan justeru
melestarikannya.
17. Nilai Peduli Sosial
Nilai peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin
member bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.210
Sifat mulia ini menjadi kebutuhan mendesak di tengah-tengah pola hidup
yang individualistik sebagai dampak negatif dari dominasi sitem kapitalisme.
Kitab Ayyuhā al-walad dijelaskan :
211
Artinya: Aku melihat setiap manusia senang menumpuk-numpuk harta,
lalu disimpan dan dipegangnya erat-erat, tidak dishadaqahkan.
Selanjutnya, aku berpikir dan merenungkan firman Allah swt: Apa yang
ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah senantiasa
kekal. (QS. Al-Nahl/16 : 96). Akhirnya, harta benda yang diperoleh
dishadaqahkan dan diinfaqkan kepada orang yang membutuhkan karena
Allah swt. Harta benda dibagi-bagikan kepada fakir dan miskin supaya
menjadi harta simpanan di hadapan Allah swt.
210
Kemendiknas, Pedoman. 211
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 11-12.
142
Pada ungkapan tersebut terdapat kalimat فثزنت يحصن kata تزل
mempunyai arti mengurbankan/mendermakan.212
Mendermakan di sisi berarti
memberikan sabagian hartanya untuk di sedekahkan dijalan Allah, baik itu
disedekahkan kepada fakir miskin, anakyatin dan sebagainya. Pernyataan
tersebut menunjukan bahwa pentingnya sikan sosial atau kepedulian sosial
antar sesama manusia, karena pada hakikatnya manusia itu saling
membutuhkan.
Penanaman karakter peduli sosial pada diri peserta didik akan
membangun sikap solider atau kedermawanan, karena kedermawanan dapat
mebdorong dan mampu menjadikan tarap kehidupan yang lebih baik dan
harmonis, dan kedermawanan secara berangsur-angsur akan memperkecil
kesenjangan sosial serta pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan umum
dan memperoleh keuntungan bersama.
Perintah sedekah memberikan pengertian bahwa harta itu mempunyai
fungsi sosial dan perlu ada pembagian yang merata. Dengan pengeluaran
sedekah dapat membersihkan jiwa seseorang dari sifat kikir, loba, dan tamak,
sehingga harta tidak hanya beredar di kalangan oarng- orang yang mampu saja,
dan juga dapat memperbaiki hubungan antara orang kaya dan orang miskin,
sehingga antara keduanya tidak terjadi jurang pemisah yang lebar dan dalam.
Dalam kesempatan lain, imam Al-Ghazali menekankan nilai kepedulian
sosial ditanamkan oleh seorang guru sebagaimana yang ia tulis dalam kitab
Ihya‟ Ulumuddin ; Kedudukan itu akan tampak jelas jika seorang guru
212
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 68
143
mengamalkan ilmunya dalam arti mengajarkan kepada orang lain, dalam hal
ini guru adalah bagaikan matahari yang menerangi alam dan juga bagaikan
minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi.213
Guru dalam hal ini hendaknya bisa bermanfaat bagi orang lain dan
lingkungan sekitarnya dimana ia tinggal, bahkan bisa memberi warna yang
lebih baik demi kemajuan diri sendiri dan lingkungannya. ibarat matahari yang
bersinar menyinari alam sekitarnya,atau wewangian yang bisa membuat orang
lain harum karena guru tersebut memang wangi.
18. Nilai Tanggungjawab
Nilai tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang dialakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang
Maha Esa.214
Kitab Ayyuhā al-walad menjelaskan karakter tanggung jawab tersebut
lebih kepada tanggung jawab mendidik yang berorientasi memperbaiki akhlak
masyarakat atau peserta didik hingga berperangai mulia dan berakhlak
karimah, seperti dipesankan oleh teks berikut ini:
213
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Jilid I (Beirut, Dāru al-Kitab al-Islam, tth), 62 214
Kemendiknas, Pedoman.
144
215
Artinya: Ketahuilah, orang yang giat beribadah dan mencari kedekatan
kepada Allah, mempunyai guru atau mursyid yang bisa menunjukkan
dan membimbingnya kepada kebenaran, juga bisa mengeluarkannya
dari belenggu akhlaq yang buruk untuk diganti dengan akhlaq yang
mulia. Mendidik itu sama dengan pekerjaan petani yang mencabuti
rumput dan tetumbuhan liar lainnya yang tumbuh subur di sekitar
tanaman padi agar padi dapat tumbuh dengan baik dan sempurna.
Pada ungkapan tersebut, terdapat kata يشب dan تشتة . kedua kata tersebut
berasal dari kata “rabba” yang berarti mengasuh/mendidik.216
Orang yang
mengasuh atau mendidik, pasti mempunyai rasa tanggungjawab terhadap yang
diasuh/di didiknya. Menurut Ramayulis, salah satu kesan yang dimunculkan
oleh istilah tarbiyah itu adalah sifat yang terkandung dalam istilah itu sendiri
yaitu istilah rabbaniy yang dimiliki oleh seorang pendidik.217
Sedangkan menurut Quraisy Syihab bahwa salah satu karakteristik al-
Quran dalam bidang pendidikan adalah adanya tuntutan untuk bersatunya kata
dengan sikap. Dengan demikian dalam pandangan ahli tafsir ini, keteladanan
seorang pendidik (murabbiy) merupakan salah satu andalan pendidikan yang
berdasarkan al-Quran.218
Kemudian lebih lanjut kitab Ayyuhā al-walad mengutarakan persyaratan
yang selayaknya dimiliki oleh seorang guru yang murshid sebagai berikut:
215
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 13 216
Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, 469 217
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, 113 218
Muhammad Quraisy syihab, Wawasan al-Quran, (Bandung, Mizan, 2000), 11.
Selanjutnya dituliskan Syihab, Wawasan al-Quran,
145
a. Alim
Orang yang pantas menjadi penerus risalah ketuhanan yang diemban
oleh Nabi saw adalah orang alim, kendati tidak semua orang alim bisa
menjadi penerus dan pengembang risalahnya. Orang alim yang mampu
melanjutkan tugas kenabian dan kerasulan adalah yang memiliki sifat
mulia berupa rasa takut semata-mata kepada Allah swt (khashyat Allah)
yang ditandai dengan tidak mencintai dunia dan kepangkatan duniawi,
mengingat profil orang alim seperti ini berpijak sepenuhnya kepada
keyakinan dan pengetahuannya yang mendarahdaging akan kebesaran dan
kekuasaan Allah hingga hal yang duniawi dinilainya tidak berarti apa-apa.
Orang alim seperti inilah yang layak mendapatkan julukan murshid
(guru penuntun). QS. Faṭir/35 : 28 menyebutkan sifat tersebut secara jelas
dan eksplisit bahwa sesungguhnya yang semata-mata takut kepada Allah swt
adalah ulama. Teksnya sebagai berikut:
ي أ ي شى ٱلل ا خأ نك إ ۥ كز تهف أنأ ى يخأ ع أ ٱلأ اب ٱنذ ٱناس
عزز غفس ٱلل إؤا عه
ٱنأ .عثاد
Artinya: dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-
binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. Faṭir/35 : 28)
146
b. Berakhlak Mulia
Seorang alim bisa menjadi mursyid, manakala memiliki akhlak mulia
yang diwarnai dengan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sedikit
makan, menjaga pembicaraan, mengurangi tidur, dan memperbanyak shalat,
gemar bersedekah, dan melestarikan puasa.
Orang yang mencari keridhaan Allah dan selalu berusaha
mendekatkan diri kepada Allah swt selayaknya mengikuti bimbingan
gurunya yang mursyid, sehubungan guru yang mursyid dengan kemuliaan
akhlaknya senantiasa menampilkan perilaku dan sikap hidup yang
berketaladanan. Di samping itu pribadinya sendiri selaku murid sepatutnya
berhias diri dengan akhlaq mulia dalam segala perangainya, seperti sabar,
tekun dalam menjalankan shalat, senantiasa bersyukur atas kenikmatan
Allah swt yang dianugerahkan-Nya di berbagai aspek kehidupannya.
Seorang murid yang berakhlak mulia mempunyai keyakinan kuat terhadap
aqidahnya, memilki sifat qanā‟ah atau menerima atas semua pemberian
Allah swt kepadanya, kondisi hatinya tenang, tidak mudah terbujuk oleh
tipu daya duniawi, dan bersikap bijaksana dalam segala urusan yang
dijalankan. Perangai lainnya adalah merendahkan diri dan tidak berlaku
sombong, mengerti terhadap kebenaran dan perkara yang haq, berperilaku
jujur, punya rasa malu, selalu menepati janji, serta jiwa dan anggota
tubuhnya senantiasa harmoni dalam menghadapi berbagai masalah.219
219
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 14.
147
Kedua karakter seorang guru yang mursyid tersebut di atas
sesungguhnya termuat pada teks di bawah ini:
220
Ungkapan tersebut menunjukkan tugas dan tanggungjawab guru
yang mursyid dan peserta didik yang saleh, keduanya menggerakkan seluruh
potensi dan kapasitas diri mengarah kepada terciptanya hubungan yang
harmonis anatarkeduanya yang dilandaskan pada prinsip amar ma‟ruf dan
nahi munkar asesuai ajaran Allah swt dan keteladanan Nabi saw, sehingga
nantinya tercipta karakter peserta didik yang berkepribadian terpuji.
Seorang guru yang mursyid tahu akan tugasnya dalam mendidik
peserta didiknya, sedangkan peserta didik yang saleh dengan tugasnya yang
proporsional dalam menuntut ilmu akan selalu ta‟dzimm kepada guru yang
berimplikasi kepada kemampuan usaha menghasilkan ilmu yang bermanfaat
bagi kemaslahatan bersama.
220
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad,14
148
C. Metode Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ayyuhā Al-Walad
Secara etimologi, metode dalam bahasa arab di kenal dengan istilah
ṭarīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang di persiapkan dan
ditempuh untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan
pendidikan, maka metode itu diwujudkan dalam proses pembelajaran dan
interaksi edukatif dalam rangka mengembangkan sikap mental dan
kepribadian supaya peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif
dan dapat dicerna dengan baik.221
Dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam berbagai kata,
terkadang digunakan kata al-ṭarīqah, manhaj, dan al-wasīlah. Ṭarīqah berarti
jalan, manhaj bermakna sistem, dan waīlah ialah perantara atau mediator.
Dengan demikian kata yang paling dekat dengan metode adalah kata ṭarīqah,
karena sebagaimana telah dijelaskan pada awal paragraf secara bahasa metode
adalah suatu jalan untuk mencapai suatu tujuan.222
Dari sisi kebahasaan tersebut nampak bahwa metode lebih
menunjukkan kepada jalan, dalam arti jalan yang bersifat non fisik. Yaitu jalan
dalam bentuk ide-ide yang mengacu pada cara menghantarkan seseorang
untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Secara terminologi metode bisa membawa pada pengertian yang
bermacam-macam, yaitu ada kognitifnya seperti tentang fakta-fakta sejarah,
syarat-syarat sah shalat, ada juga aspek afektifnya seperti penghayatan pada
221
Basrudin M. Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta : Ciputat
Press, 2004), 3. Selanjutnya dituliskan Basrudin, Metodologi Pembelajaran. 222
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 144.
Selanjutnya dituliskan Abudin Nata, Filsafat Pendidikan.
149
nilai-nilai dan akhlak, dan ada juga aspek psikomotorik seperti praktek shalat,
haji dan sebagainya.223
Di antara makna metode adalah seperangkat cara, jalan, dan tehnik yang
digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran agar peserta didik dapat
mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu yang
dirumuskan dalam silabi mata pelajaran.224
Metode pembelajaran merupakan suatu cara penyampaian bahan
pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, fungsinya adalah media yang
menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar-mengajar dan merupakan
bagian yang integral dalam suatu sistem pengajaran. Oleh karena itu, metode
disesuaikan dan diselaraskan dengan karakteristik siswa, materi, kondisi
lingkungan (setting) dimana pengajaran berlangsung. Penggunaan atau
pemilihan suatu metode mengajar di sebabkan oleh adanya beberapa faktor
yang dipertimbangkan antara lain: tujuan, karakteristik siswa, situasi, kondisi,
kemampuan pribadi guru, sarana, dan prasarana.225
Untuk mencapai tujuan dari penanaman nilai-nilai agama Islam yang
telah ditentukan, seorang guru dituntut agar cermat memilih dan menetapkan
metode apa yang tepat digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran pada
peserta didik.226
Oleh karenanya, pendidik mempunyai kreatifitas dalam mendidik
peserta didik, agar nantinya dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter
223
Nata, Filsafat Pendidikan, 145. 224
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press,
2002), 5. Selanjutnya dituliskan Arief, Pengantar Ilmu. 225
Basrudin, Metodologi Pembelajaran, 4. 226
Arief, Pengantar Ilmu, 109
150
Islam, mereka tidak merasa kesulitan dan nilai-nilai karakter Islam dapat
tertanam baik dalam benak peserta didik.
Secara umum, metode pendidikan Islam dapat dikategorikan menjadi
beberapa bagian, yaitu:227
1. Metode ceramah, memberikan pengertian dan uraian suatu masalah.
2. Metode diskusi memecahkan masalah dengan berbagai tanggapan.
3. Metode eksperimen, mengetahui terjadinya proses suatu masalah.
4. Metode demonstrasi, menggunakan praga untuk memperjelas masalah.
5. Metode pemberian tugas, dengan cara memberi tugas tertentu secara bebas
dan bertanggung jawab.
6. Metode sosiodrama, menunjukkan tingkah laku kehidupan.
7. Metode drill mengukur daya serap terhadap pelajaran.
8. Metode kerja kelompok.
9. Metode tanya jawab.
10. Metode proyek, memecahkan masalah dengan langkah-langkah secara
ilmiah, logis, dan sistematis.
Bekaitan dengan penanaman karakter terdapat lima metode pendidikan
karakter (dalam penerapannya di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan,
keteladanan, menentukan prioritas, praktis prioritas, dan refleksi. Kelima
metode tersebut dapat dijabarkan dengan pemaparan sebagai berikut228
:
1. Mengajarkan.
227
Arief, Pengantar Ilmu, 41-42. 228
Koesoema, Pendidikan Karakter, 212-217
151
Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep
nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakterter tentu.
Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik
tentang struktur nilai tertentu, keutamaan, dan maslahatnya.
2. Keteladanan.
Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan
menempati posisi yang penting. Guru seyogyanya terlebih dahulu
memiliki karakter yang hendak diajarkan.
3. Menentukan prioritas.
Prioritas suatu pendidikan karakter berhajat kepada penentuan agar proses
evaluasi atas berhasil atau tidaknya pendidikan karakter dapat diketahui
dengan gamblang, tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat
terfokus, dan karenanya tidak dapat dinilai berhasil atau tidaknya.
4. Praktis prioritas.
Unsur lain yang tidak kalah pentingnya setelah penentuan prioritas
karakter adalah bukti dilaksanakan prioritas karakter tersebut.
5. Refleksi.
Berarti dipantulkan ke dalam diri. Apa yang telah dialami masih tetap
terpisah dengan kesadaran diri sejauh belum dikaitkan, dipantulkan dengan
isi kesadaran seseorang. Refleksi dapat disebut sebagai proses bercermin,
mematut-matutkan diri terhadap peristiwa/konsep yang telah teralami,
seperti menyadari perbuatan salah yang telah dilakukannya karena
memukul seseorang.
Pada dasarnya pendidikan Islam memiliki efektifitas dalam membina
kepribadian anak didik dan memotivasi mereka, sehingga dengan metode ini
hati manusia memungkinkan dapat dibuka untuk menerima petunjuk Ilahi dan
dan konsep-konsep pendidikan Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam
152
akan mampu menempatkan manusia di atas luasnya permukaan bumi kepada
penghuni bumi lainnya.229
Al-Qur`an menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam
pendidikan, terutama dalam penyampaian materi pendidikan, yaitu metode
keteladanan, metode kisah atau cerita, metode nasihat, metode pembiasaan,
metode hukuman dan ganjaran, metode ceramah (khutbah), dan metode
diskusi.230
Mengacu pada pembagian metode tersebut, kelihatannya kitab Ayyuhā
al-walad mengakomodir empat metode, yaitu metode keteladanan, metode
nasihat („ibrah), metode kisah atau cerita, dan metode pembiasaan.
Penjelasannya dapat diutarakan sebagai berikut:
1. Metode Keteladanan
Metode keteladanan mempunyai kedudukan penting dalam
pembelajaran dan interaksi edukatif, guru menjadi teladan bagi murid-
muridnya. Metode ini cepat dan mudah dicerna, karena murid akan
langsung melihat perilaku dan sikap gurunya yang kemudian menirunya
secara selektif sesuai dengan kualitas perangai gurunya. Metode
keteladanan digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam
dengan memberi contoh dan cermin yang baik kepada murid agar mereka
dapat berkembang, baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang
229
al-Nahlawiy, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah
wa al-Mujtama, 204 230
Nata, Filsafat Pendidikan, 91.
153
mulia. Keteladanan memberikan kontribusi yang besar dalam pendidikan
ibadah, akhlak, kesenian, dan lain-lain.231
Secara psikologis, ternyata manusia memang memerlukan tokoh
keteladanan dalam hidupnya, ini adalah sifat bawaan yang manusiawi.
Taqlīd (meniru) adalah salah satu sifat manusia. Peneladanan ini ada dua
macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja
adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan, dan
sebagainya. Sedangkan keteladan yang disengaja adalah keteladanan yang
disertai penjelasan atau perintah agar meneladani, seperti memberikan
contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar. Pendidikan
Islam menempatkan kedua keteladanan itu sama pentingnya. Keteladanan
yang tidak disengaja dilakukan secara tidak formal, yang disengaja
dilakukan secara formal. Keteladanan yang dilakukan secara tidak formal
itu kadang-kadang kegunaannya lebih besar dari pada keteladanan
formal.232
Dalam penanaman karakter peserta didik di sekolah, keteladanan
merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Karena peserta didik
(terutama siswa yang usia pendidikan dasar dan menengah) pada
umumnya cenderung meneladani (meniru) guru atau pendidiknya. Hal ini
karena memang secara psikologis siswa memang senang meniru, tidak saja
yang baik, bahkan terkadang yang jelekpun mereka tiru.
231
Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, 102. Selanjutnya dituliskan
Maunah, Metodologi Pengajaran. 232
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, 143-144. Selanjutnya dituliskan
Tafsir, Ilmu Pendidikan.
154
Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā al-walad banyak memberikan
nasihat-nasihat pendidikan yang lebih menekankan pada masalah praktek
dalam pembelajarannya atau yang sering disebut dengan metode
keteladanan. Diantara yang dikatakannya adalah:
233
Artinya: Duhai anakku! Apa yang kalian katakan dan kerjakan
disesuaikan dengan syara‟, sebab ilmu dan amal kalau tidak sesuai
dengan syariat adalah sasar (dhalalah).
Lebih jauh al-Ghazāli mensyaratkan orang yang menjadi da‟i
(penceramah) terlebih dahulu mengamalkan apa yang disampaikannya,
karena akan menjadi tauladan bagi masyarakat secara luas,234
kemudian
dikemukakannya urgensi signifikan dari integrelitas ilmu dan amal yang
menjadi induk keteladanan sebagaimana pernyataannya:
235
Artinya: Ilmu tanpa amal itu gila, dan amal tanpa ilmu tidak akan
terwujud. Ketahuilah bahwa ilmu yang tidak dapat menjauhkanmu
dari maksiat dan tidak membawamu pada ketaatan, ilmu tersebut
233
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 9 234
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis
(Jakarta, Ciputat Pers, 2002), 70. Selanjutnya dituliskan Nizar, Filsafat Pendidikan. 235
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 7
155
kelak tidak akan bias membuatmu jauh dari api neraka. Dan jika
kamu tidak dapat mengamalkan ilmumu hari ini.236
Tentang pentingnya keteladanan ini dikaitkannya dengan
pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Mengajar adalah pekerjaan
yang mulia. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan, dan
menuntun peserta didiknya mendekati Allah swt. Dengan demikian,
mengajar adalah bentuk lain bagian dari keteladanan seorang guru bagi
muridnya.237
Jika prinsip ini diketahui, dipahami dengan, dan ditiru oleh
peserta didiknya, maka akan melahirkan pendidik-pendidik idealis yang
menjadikan kegiatan mengajar dan mendidik sebagai pengabdian yang
akan bisa mengangkat kemuliaan dirinya.
2. Metode Nasihat („Ibrah/Mau‟iẓah)
„Ibrah adalah mengambil i‟tibār atau contoh dan pelajaran dari
pengalaman yang telah lalu, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari
melihat apa yang pernah disaksikan dihubungkan dengan apa yang belum
disaksikan, sedangkan Maui‟ẓah artinya nasehat atau pelajaran.238
Al-Ghazāli dalam kitab Ayyuhā al-walad berpendapat tentang
nasihat sebagai berikut:
236
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 7. 237
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun,
Jaya Star Nine, 2013), 25. Selanjutnya dituliskan Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali. 238
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas, (Jakarta, Gema Insani Press;1998), 65.
Selanjutnya dituliskan Mahmud, Fikih Responsibilitas.
156
239
Artinya: Menasehat itu mudah, yang susah adalah menerima
nasehat itu, karena nasehat bagi orang yang mengikuti nafsunya
terasa pahit, karena perkara-perkara yang dilarang itu menjadi
kesenangan dalam hatinya. Terlebih bagi mereka yang menuntut
ilmu hanya untuk pengetahuan, sibuk dengan kesenangan diri dan
keindahan dunia. Mereka beranggapan bahwa ilmu tanpa amal
akan menjadi sebab keselamatan dan kebahagiaannya. Mereka
menyangka bahwa ilmu itu tanpa amal. Pemahaman yang demikian
itu adalah keyakinan para filosof.
Menurut Al-Ghazāli, nasihat ini hendaknya dilakukan dengan cara
yang halus, baik melalui sindiran atau kiasan, karena jika dilakukan dengan
terang-terangan, hal ini akan merendahkan harga diri siswa. 240
Dalam hal ini
Al-Ghazāli sangat mengutamakan penanaman akhlak mahmudah (akhlak
terpuji/akhlak baik) dan melarang murid untuk mempunyai akhlak mazmumah
(akhlak tercela), karena hal ini selain merugikan siswa secara individual, juga
akan membawa dampak negatif untuk teman dan lingkungan sekitarnya.
239
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 3 240
Al-Ghazāli, Mukhtashar , 16
157
3. Metode Kisah atau C erita
Kisah sebagai metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik
yang menyentuh perasaan. Untuk tujuan dan maksud tersebut, antara lain Al-
Quran mengungkapkan kata-kata cerita sebanyak 44 kali. Sebagaimana
disebutkan pada Q.S. al-Baqarah/2 ayat 30-39, misalnya memuat cerita
tentang dialog Tuhan dengan para malaikat, mengenai akan diangkatnya
seorang khalifah dibumi dari jens manusia.241
Metode ini mempunyai efektifitas yang berarti apabila diterapkan
pada anak usia masih kecil (seperti: TK, SD atau MI). Kelebihan metode
ini adalah mudah dicerna dan dipahami anak yang relatif masih kecil.
Cerita-cerita yang digunakan untuk mendidik juga bisa beragam, mulai
dari sejarah para rasul atau nabi, ulama(tokoh agama), tokoh pendidikan
dan lain-lain.
Metode kisah mengandung arti sebagai suatu cara dalam
menyampaikan materi pelajaran dengan menceritakan secara kronologis
tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal, yang menuturkan perbuatan,
pengalaman atau penderitaan orang lain baik yang sebenarnya terjadi
ataupun hanya rekaan saja. Metode kisah yang disampaikan merupakan
salah satu metode pendidikan yang mashur dan terbaik, sebab kisah itu
mampu menyentuh jiwa jika didasarkan oleh ketulusan hati yang
mendalam.242
241
Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali, 82 242
Arief, Pengantar Ilmu, 160.
158
Kitab Ayyuhā al-walad banyak menggunakan metode ini, di
antaranya sebuah cerita yang berhubungan dengan seseorang yang
bermimpi melihat imam Junaid al-Baghdadi sesudah meninggal dunia,
orang tadi bertanya kepada imam Junaid, bagaimana kabarmu hai Aba al-
Qasim (imam Junaid)? Ia berkata: telah hilang ibarat, telah lenyap isyarat,
tidak ada yang bermanfaat bagi kami kecuali beberapa rakaat yang kami
lakukan di tengah malam.243
Selain itu terdapat pula cerita sebagai berikut:
244
Artinya: Bahwa ketika Hasan al-Basri diberi minum dengan air yang
dingin, beliau malah pingsan dan gelasnya jatuh. Ketika sudah sadar
beliau ditanya, ada apa dengan engkau wahai Aba Sa‟id? Beliau
menjawab: saya ingat harapan orang-orang ahli neraka yang berkata
kepada orang-orang ahli surga; Wahai ahli surga berikanlah kepada
kami air atau apa saja yang telah diberikan Allah kepadamu.
Pernyataan tersebut menjelaskan tentang kisahHasan al-Basri yang
pingsan ketika diberi minum dingin. Setelah sadar, beliau ditanya, kenapa
negkau wahai imam? Beliau menjawab; saya ingat harapan para penghuni
neraka yang berkata kepada orang-orang ahli surga; Wahai ahli surga
berikanlah kepada kami air atau apa saja yang telah diberikan Allah
243
Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali, 26. 244
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 7
159
kepadamu. Kisah tersebut membuat Beliau membayangkan betapa
dahsyatnya kehidupan di neraka.
Dari kisah tersebut dapat diambil hikmahnya yaitu, bagi yang
membaca kisah tersebut, setidaknya bisa tergambar tentang siksa
kehidupan di neraka yang begitu dahsyat dan mengenaskannya, untuk
meminum saja mereka sangat kesulitan.
Selain itu terdapat pula cerita sebagai berikut:
245
Artinya: Diceritakan ada sekelompok sahabat nabi yang
mengungkapkan keadaan Abdullah bin Umar pada Rasulullah, lalu
beliau bersabda: Sebaik-baik lelaki adalah Ibnu Umar ketika
sedang salat malam. Dan beliau bersabda kepada para sahabatnya:
Hai fulan, janganlah banyak tidur di waktu malam, karena banyak
tidur di waktu malam, menyebabkan pelakunya fakir di hari
kiamat.
Metode pengajaran melalui kisah-kisah (cerita) seperti ini
memiliki efek yang sangat kuat bagi perkembangan fitrah anak khususnya
bagi perkembangan aspek kecerdasan spiritual (SQ = Spiritual Quotient),
karena kisah-kisah tadi diambil sebagai pelajaran dan mauidzotul hasanah,
apalagi dalam keluarga, biasanya seorang anak lebih memperhatikan
nasihat melalui cerita-cerita dibandingkan dengan memberinya hukuman
245
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 8
160
atau lainnya, karena dengan cerita anak bias tersentuh untuk meniru dan
tertanam dalam hati sang anak.246
4. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan yang ditawarkan al-Ghazāli ini dicontohkan
dengan jalan mujāhadah dan riyāḍah nafsiyyah (ketekunan dan latihan
kejiwaan), yakni membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang
ditujukan kepada akhlak yang baik.247
Disebutkannya dalam pernyataan
berikut: Barangsiapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati, maka
caranya adalah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat
dermawan dengan mendermakan hartanya, nanti jiwa akan selalu
cenderung berbuat baik dan terus menerus melakukan mujāhadah
(menekuni) perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak dan tabiat
yang melekat. Demikian juga orang yang ingin menjadikan dirinya
tawāḍu‟ (rendah hati) kepada orang yang lebih tua, maka ia perlu
membiasakan diri bersikap tawāḍu‟ secara terus menerus dan jiwanya
benar-benar menekuninya sampai menjadi ahlak dan tabiatnya sehingga
mudah berbuat sesuai dengan akhlak dan tabiat itu.248
Al-Ghazāli dalam kitab Ayyuhā al-Walad juga mengungkapkan
246
Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali, 83 247
Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali, 26. 248
Ali al-Jumbulati Abdul Futuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terjemahan
H.M. Arifin, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002), 156-157. Selanjutnya dituliskan al-Tuwanisi,
Perbandingan Pendidikan Islam.
161
249
Artinya: Hai anakku! Berapa malam yang kau gunakan untuk
belajar ilmu (tikrār al-„Ilm) dan mengaji kitab (muṭāla‟at al-kutub)
dan mengharamkan tidur atas dirimu. Saya tidak tahu apa
tujuanmu. Jika semangatmu hanya untuk harta atau kedudukan di
dunia atau berbuat sombong, maka kehancuranlah yang akan kau
dapatkan. Jika tujuanmu untuk menghidupkan ajaran Nabi
Muhammad saw, membersihkan akhlak budimu, serta memerangi
hawa nafsumu yang selalu mengajak kejelekan, sungguh benar-
benar beruntung bagi dirimu.
Maksud Mujahadah di sini adalah usaha yang sungguh-sungguh
dalam melatih jiwa agar tunduk kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Adapun Riyhadhah adalah melatih diri, yakni berupaya maksimal
melakukan perbuatan yang bersumber pada akhlak yang baik, sehingga
menjadi suatu kebiasaan dan sesuatu yang menyenangkan.250
D. Relevansi Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Karakter Dalam
Kitab Ayyuhā Al-Walad Terhadap Pendidikan Karakter Masa Kini
Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Imam Al-
Ghazali dalam Kitab Ayyuhal Walad adalah lebih kepada sikap bagaimana
karakter seorang muslim atau seorang hamba dalam berperilaku, baik kepada
249
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 6 250
M. Abdul Quasem, Etika Al-Ghazali (Bandung, Pustaka Setia; 1988), 93. Selanjutnya
dituliskan Quasem, Etika Al-Ghazali
162
Tuhan, diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya.251
Karena Pada
dasarnya pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik, sehingga peserta didik paham, mampu
merasakan, dan mau melakukan nya. Dengan demikian pendidikan karakter
mempunyai misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan
moral.252
.
Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian
dan budi pekerti atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter
identik dengan kepribadian atau akhlak.253
Pendidikan karakter tidak bisa
dibiarkan jalan begitu saja tanpa adanya upaya-upaya cerdas dari para pihak
yang bertanggungjawab terhadap pendidikan. Tanpa upaya-upaya yang
cerdas, pendidikan karakter tidak akan menghasilkan manusia yang pandai
sekaligus menggunakan kepandaiannya dalam rangka bersikap dan
berperilaku (berakhlak mulia).
Akan tetapi, pendidikan karakter pada zaman sekarang tidak selalu
berjalan mulus sesuai dengan apa yang diharapkan semua orang, ada saja
faktor yang mempengaruhi naik turun nya pendidikan karakter pada masa
sekarang ini, sehingga penerapan nya tidak selalu berjalan sesuai dengan
harapan.
251
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 15 252
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, 23 253
Pupuh, Pengembangan Pendidikan Karakter, l 17
163
1. Kemunduran Dan Problematika Pendidikan Karakter
Era globalisasi yang sangat pesat dan menggemparkan membawa
tantangan serius bagi dunia pendidikan. Globalisasi menyebabkan
liberalisme moral, pemikiran dan perilaku yang merontokkan norma dan
etika yang selama ini dijunjung tinggi. Desakralisasi moral menjadi
realitas yang tidak bisa dihindari. Konservatisme dan liberalisme
dijadikan musuh besar oleh globalisme. Inilah yang menjadi tanggung
jawab semua komponen bangsa untuk mengembalikan nilai-nilai
tradisional yang relevan dengan dunia modern yang serba instan, liberal,
dan sekuler.
Diantara faktor yang menyebabkan kemunduran karakter seseorang
diantaranya adalah:
a. Perilaku konsumtif dan egois
Perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang ditandai oleh
adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang
dianggap paling mahal dan memberikan kepuasaan dan kenyamanan
fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang
dikendalikan dan didorong oleh suatu keinginan untuk memenuhi
hasrat kesenangan semata-mata.254
Untuk memenuhi kebutuhannya,
kadang sebagian orang cenderung akan menghalalkan segala cara,
demi keinginannya terwujud.
254
Abu, Al-Ghifari. Remaja Korban Mode. (Bandung: Mujahid Press.2003), 144
164
Dalam kitab Ayyuhā al-walad tertuang teks yang berkenaan
dengan kemunduran karakter seseorang, yakni lebih suka
mengumpulkan dan menumpuk-numpuk harta tanpa dishodaqohkan.
Ini menunjukan sikap egois yang mementingkan diri sendiri, tidak
peduli pada orang lain dan lingkungan sekitar, yaitu:
255
Artinya: Aku melihat setiap manusia senang menumpuk-
numpuk harta, lalu disimpan dan dipegangnya erat-erat, tidak
dishadaqahkan..
b. Mengidolakan figur yang salah dan selalu bergantung pada harta dan
kekuasaan
Masa remaja merupakan masa transisi dan pencarian jati diri,
biasanya para remaja selalu mencari figur yang pantas untuk dijadikan
idola dalam hidupnya. Akan tetapi sungguh disayangkan remaja
sekarang ini dalam mencari jati diri sangat memprihatinkan karena
mereka selalu hantui dengan kesalahan. Mereka justru mengidolakan
artis dan bintang film yang sebagian besar perilakunya tidak
menunjukkan dan tidak sesuai dengan norma-norma Islam.
256
255
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 11-12 256
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 13
165
Artinya: Aku melihat setiap orang dalam hidupnya berpegang
pada sesuatu yang diciptakan sebagai sandaran. Ada sebagian
yang berpegang pada dinar dan dirham, juga ada yang
berpegang pada harta benda dan kekuasaan. Sebagian lagi ada
yang hidupnya berpegang pada pekerjaan dan ada pula yang
berpegang pada makhluk sejenisnya.
c. Sifat iri dan hasud
Dengki adalah keinginan hilangnya nikmat dari orang lain,
yang disebabkan adanya rasa sakit hati, rasa dendam, rasa banci dan
adanya sifat ujub (merasa dirinya paling hebat) serta sifat sombong.
Sehingga ia akan sekuat tenaga untuk menjatuhkan dan
menghilangkan kenikmatan dari diri seseorang tersebut. Seorang
pendengki itu selalu mencari kejelekan dan berusaha menghancurkan
seseorang yang didengki supaya tidak mendapat kesuksesan,
kebahagiaan atau pujian dari orang lain. Ia akan lebih senang jika
melihat orang yang didengkinya menderita dan sengsara.257
258
Artinya: Aku melihat manusia senang menggunjing pihak lain,
sebagian menghujat sebagian yang lain. Adanya gunjingan dan
hujatan seperti ini sumber permasalahannya berpangkal pada
adanya rasa hasud, baik dalam soal harta benda, kedudukan,
maupun ilmu.
257
Zumroh, Tombo Ati, (Surabaya: Mitra Jaya, 2011), 35 258
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 12
166
2. Solusi Dalam Menumbuhkan Pendidikan Karakter
Manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam dua dimensi jiwa. Ia
memiliki karakter, potensi, orientasi, dan kecenderungan yang sama
untuk melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri
spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya
sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif. Artinya,
manusia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya dihadapan Allah atau
sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada porsi
yang rendah dan buruk seperti hewan, bahkan lebih rendah dari
hewan.259
Setiap orang pasti pernah mengalami namanya masalah dan
kegalauan dalam perjalanan hidupnya, karna dalam menjalani hidup
tidak selalu manis dan lurus seperti yang diharapkan. Akan tetapi yang
membedakannya adalah cara menyikapi masalah dan kegalauan tersebut.
Ada yang dengan cara putus asa, menyalahkan Allah, meyalahkan orang
lain dan sebagainya. Ada pula yang menyikapi masalah dan
kegalauannya dengan muhasabah (introspeksi diri) memohon petunjuk
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Begitu juga dengan imam al-Ghazali, beliau pernah mengalami
yang namanya masalah hidup dan kegalauan, namun beliau
mengatasinya dengan memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Sebagaimana yang tertuang dalam karyanya :
259
A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta:
Penerbit Amzah,2000), 1. Selanjutnya dituliskan Jaelani, Penyucian Jiwa
167
“...Hampir dua bulan aku diliputi keragu-raguan ini, dan kondisiku
tak ubahnya seperti kaum filosof. Namun alhamdulillah, Allah berkenan
menyembuhkan hatiku dengan pancaran cahaya-Nya. Pikiranku kembali
jernih dan seimbang, mampumenerima pengertian logis. Nur Ilahi itulah
yang akhirnya menjadi kunc pembukanya, termasuk untuk mencapai
makrifat.260
Diantara beberapa solusi untuk menumbuhkan karakter adalah :
a. Menanamkan Pemahaman Keagamaan.
Dalam menghadapi tantangan hidup dan kemunduran karakter,
agama sangat dibutuhkan peranannya dalam mengatasi segala bentuk
dekadensi moral dan kemunduran karakter pada masa kini. Ajaran Islam
memiliki tiga fondasi pokok yaitu akidah, syari‟ah dan akhlak. Akidah
berkenaan dengan keimanan, keyakinan. Syari‟ah berkenaan dengan
aturan-aturan yang dilaksanakan manusia dalam rangka mengabdikan
diri kepada Allah.
Sedangkan akhlak berkenaan dengan karakter, yakni perilaku yang
ditampilkan seseorang dalam kesehariannya berkaitan dengan
hubungannya dengan Alah, manusia atau makhluk lainnya. Ketiga
fondasi pokok itu berkaitan antara satu dengan yang lain sehingga ia
menjadi satu kesatuan. Akidah tidak banyak artinya jika seseorang tidak
260
Abu hamid al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali - al-Munqidz min ad-dhalaal terj
akhmad khudori soleh (Bandung, Pustaka Hidayah; 1998), 20.selanjutnya dituliskan Abu hamid
al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali
168
menjalankan syari‟ah, begitu sebaliknya dan juga syari‟ah tidak berarti
jika ia tidak berakhlak. Akidah juga terkait erat dengan karakter.261
Dalam kitab Ayyuhā al-walad tertuang teks yang berkenaan
dengan pentingnya mengikuti syariat agama sebagai peranan mengatasi
kemunduran moral dan karakter, yaitu:
262
Artinya: Wahai anakku, di antara sarinya ilmu adalah ketika
engkau mengetahui mana yang termasuk ketaatan dan mana yang
termasuk ibadah. Ketahuilah, sesungguhnya ketaatan dan ibadah
itu saling terkait dalam perintah dan larangannya, dalam perkataan
dan perbuatannya. Apa yang engkau ucapkan, engkau lakukan,
dan engkau tinggalkan, semuanya mengikuti tuntunan syareat..263
Oleh karenanya, pikiran keagamaan yang diambil dari sumber
yang benar tidak akan bercampur aduk dan tidak akan dimasuki unsur-
unsur lain di dalamnya. Dengan keasliannya ia menolak unsur-unsur
asing yang bersifat menyerang karena ia mempunyai benteng sendiri
261
Haidar Putra Baulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Mencerdaskan
Bangsa, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), 53. Selanjutnya Haidar Putra Baulay dan Nurgaya Pasa,
Pendidikan Islam Dalam Mencerdaskan Bangsa
262
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad, 9 263
Al-Ghazāli , Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 9.
169
yakni perlindungan Ilahi. Sehingga, tidak akan berbahaya bagi remaja
dengan adanya unsur-unsur asing yang kurang baik bila mereka telah
dibekali dengan sejumlah besar peradaban Islam yang benar dan
memperoleh pendidikan agama yang cukup memadai serta diluruskan
kelengkapan akal mereka dengan bimbingan dan dasar-dasar agama
yang benar, sehingga mereka tidak akan menerima kecuali ide-ide dan
ajaran agama yang menunjukkan jalan yang cerah dan terang.264
Karena
agama sendiri itu adalah nasihat sebagaimana yang disabdakan oleh nabi
Muhammad SAW dalah hadistnya :
ع ات سلة تى ت اس انذاسي سض هللا ع ا انث صه هللا عه
الئة سهى لال : انذ انصحة , لها :ن ؟ لال : هلل , نكتات, نشسن,
سه عايتى )سا يسهى (نا
Artinya : Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary
radhiyallahu „anhu, bahwasanya Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak
siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan
rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim).265
Kemudian, agama berperan pula dalam menanggulangi
penyalahgunaan NAPZA dan sejenisnya di kalangan anak muda atau
264
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta :
Rineka Cipta,2008), hlm.52. slanjutnya dituliskan Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran
Agama Islam, 265
HR. Muslim (no. 55 (95), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu
Hibban (Ta‟liiqatul Hisaan „ala Shahih Ibni Hibban no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi
(VIII/163), dan ini lafzah milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin
„Aus ad-Daari
170
remaja yang direalisasikan dalam bentuk pendidikan agama malalui
aktivitas keagamaan. Pengelola pendidikan mengadakan kegiatan-
kegiatan yang bertemakan keagamaan atau menghidupkan roh
spiritualitas di lingkungan sekolah dan pergaulan remaja, supaya dalam
komunitas ini bisa terbentuk visi dan budaya yang berporos
menghormati keberlanjutan hidup daripada perlombaan (pemburuan)
menuju kematian dini. Mereka perlu dilibatkan dalam kegiatan bercorak
“pengalih perhatian” atau aktivitas yang bercorak perlawanan (gerakan
kritis dan praksis) terhadap segala bentuk kultur yang menyesatkan dan
menghancurkan. Remaja yang terbentuk kepribadiaanya menjadi
kekuatan perlawanan ini akan dengan mudah mengimbangi dan
mengalahkan pengaruh yang bermuatan mengalahkannya.266
b. Istiqomah dan Sakinah
Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang
lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah
ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir
dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.267
Dalam kitab Ayyuhā al-walad tertuang teks yang berkenaan
dengan pentingnya istiqomah dan sakinah dalam menanamkan moral
dan karakter, yaitu:
266
Bashori Muchsin, Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung: PT Refika
Aditama,2009), hlm.139. Selanjutnya dituliskan Muchsin, Abdul Wahid, Pendidikan Islam
Kontemporer 267
Ibnu Rajab Al Hambali , Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, (Darul Muayyid, 2002), 246.
Selanjutnya dituliskan Al Hambali , Jaami'ul 'Ulum wal Hikam
171
268
Artinya: Ketahuilah bahwa tasawuf itu ada dua, yaitu istiqamah
beribadah kepada Allah dan tenang (jauh) dari berurusan dengan
makhluk. Barang siapa senantiasa istiqamah dalam beribadah
kepada Allah dan berbudi mulai bergaul dengan orang lain, serta
sabar menghadapi tingkah laku mereka, maka dia sudah termasuk
ahli tasawuf. Adapun yang disebut istiqamah di sini adalah
menekan dorongan nafsunya pada perbuatan buruk untuk diganti
dengan menjalankan perintah Allah swt. Termasuk di antara budi
pekerti yang baik terhadap manusia adalah tidak memaksa mereka
supaya menuruti kehendakmu, tetapi justeru engkaulah yang
mengikuti kehendak mereka selama tidak bertentangan dengan
hukum syariah.269
c. Tazkiyah an-Nafs
Dua dimensi jiwa manusia, yaitu positif dan negatif senantiasa
saling menyaingi, mempengaruhi, dan berperang. Islam sebagai agama
yang haq memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan
potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang
positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, tazkiyat atau
268
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 15 269
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 15.
172
penyucian jiwa, dan tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori
jiwa.270
Tazkiyah secara etimologis mempunyai dua makna : penyucian dan
pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya
penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan
(tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma‟ dan sifat
sebagai akhlaqnya (takhalluq).271
Tazkiyah an-nafs secara singkat berarti membersihkan jiwa dari
kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan
tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik
sebagai akhlaknya, disamping „ubudiyah yang sempurna kepada Allah
dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah. Semua itu melalui
peneladanan kepada Rasulullah saw.272
Dalam kitab Ayyuhā al-walad tertuang teks yang berkenaan dengan
tazkiyatu an-nafs dalam menanamkan moral dan karakter, yaitu:
273
270
Selanjutnya dituliskan Jaelani, Penyucian Jiwa, 2 271
Sa‟id Hawwa, intisari ihya‟ „ulumuddin Al-Ghazali : Mensucikan Jiwa konsep
tazkiyatun nafs terpadu (Rabbani Press, 1998), 2. Selanjutnya dituliskan Sa‟id Hawwa, intisari
ihya‟ „ulumuddin Al-Ghazali
272
Sa‟id Hawwa, intisari ihya‟ „ulumuddin Al-Ghazali 273
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 6
173
Artinya : Duhai Anakku…! Bangkitkan semangat di jiwamu,
kalahkan hawa nafsumu, dan peringatkan badanmu dengan
kematian, karena kubur adalah tempat kediamanmu kelak. Para
penghuni kubur setiap saat menantikan kedatanganmu. Hati-hati,
jangan sampai kau mendatangi mereka tanpa bekal.
Manusia mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri
ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih
dahulu pembentukan pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan tahapan itu
dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat
sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat sifat terpuji), tajalli
(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan).274
d. Mujahadah dan Riyadah
Mujâhadah menurut bahasa berasal dari kata Jahada, seakar dengan
kata Jihad, artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.
Dengan demikian, mujâhadah merupakan tindakan perlawanan terhadap
nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku buruk yang
ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazim disebut mujâhadah al-
nafs.275
274
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Hamzah, 2012), 209. Selanjutnya
dituliskan Munir Amin, Ilmu Tasawuf 275
Achmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian, (Jakarta : Pustaka Amani, 1996), 125.
Selanjutnya dituliskan Suyuti, Percik-Percik Kesufian
174
Al-Ghazāli dalam kitab Ayyuhā al-Walad juga mengungkapkan
276
Artinya: Hai anakku! Berapa malam yang kau gunakan untuk
belajar ilmu (tikrār al-„Ilm) dan mengaji kitab (muṭhāla‟at al-
kutub) dan mengharamkan tidur atas dirimu. Saya tidak tahu apa
tujuanmu. Jika semangatmu hanya untuk harta atau kedudukan di
dunia atau berbuat sombong, maka kehancuranlah yang akan kau
dapatkan. Jika tujuanmu untuk menghidupkan ajaran Nabi
Muhammad saw, membersihkan akhlak budimu, serta memerangi
hawa nafsumu yang selalu mengajak kejelekan, sungguh benar-
benar beruntung bagi dirimu.277
Tazkiyatun nafs, mujahadah dan riyadhoh, dalam penyucian jiwa
Al-Ghazali menekankan pentingnya seorang pembimbing akhlak sebagai
panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan jiwa. Sedangkan
mujahadah adalah memotivasi diri untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dan riyadhoh adalah latihan jiwa dalam meraih kebajikan.278
276
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad, 6. 277
Al-Ghazāli, Ayyuhā al-walad-Misteri Ilmu Nafie‟, 6. 278
Al-Ghazali, Raudhah Taman Jiwa Kaum Sufi, terj. Mohammad LuqmanHakiem,
(Surabaya: Risalah, 2000,), 127
Top Related