LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM DASAR-DASAR PEMULIAAN TANAMAN
Kelompok 1 :
Arya Widura Ritonga: A263140061
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
2
iii
KATA PENGANTAR
Lampiran 2. Daftar isi:
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang Umum 1
Tujuan Umum 3
HIBRIDISASI BUATAN PADA TANAMAN KACANG HIJAU,
JAGUNG, PADI, DAN CABAI
Pendahuluan 14
Bahan dan Metode 15
Hasil dan Pembahasan 18
Simpulan25
PENDUGAAN RAGAM, HERITABILITAS DAN KEMAJUAN
SELEKSI PADA POPULASI BERSEGREGASI
Pendahuluan14
Bahan dan Metode28
Hasil dan Pembahasan33
Simpulan40
PEWARISAN SIFAT KARAKTER KUALITATIF PADA
TANAMAN CABAI
Pendahuluan41
Bahan dan Metode42
Hasil dan Pembahasan44
Simpulan55
DAFTAR PUSTAKA60
LAMPIRAN61
Lampiran 3. Daftar tabel:
DAFTAR TABEL/GAMBAR/LAMPIRAN
Halaman
1. Persentase keberhasilan penyerbukan silang buatan pada kacang hijau 11
2. Persentase keberhasilan penyerbukan silang buatan pada jagung 19
3. Persentase keberhasilan penyerbukan silang buatan pada padi 20
4. Persentase keberhasilan penyerbukan silang buatan pada cabai 22
5. Kastrasi dan emaskulasi bunga kacang hijau 23
6. Kastrasi dan emaskulasi bunga padi24
7. Kastrasi dan emaskulasi bunga jagung 25
8. Kastrasi dan emaskulasi bunga cabai 35
9. Polinasi pada persilangan jagung 37
10. Nilai komponen ragam dan heritabilitas pada beberapa karakter sorgum 37
11. Nilai komponen ragam dan heritabilitas pada beberapa karakter cabai 39
12. Nilai kemajuan seleksi pada beberapa karakter sorgum 40
13. Nilai tengah populasi F2 pada beberapa karakter sorgum45
14. -----------------------------------------------------------------52
15. -----------------------------------------------------------------54
3
PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang
Tujuan
HIBRIDISASI BUATAN PADA TANAMAN KACANG HIJAU, JAGUNG, PADI, DAN CABAI
PENDAHULUAN
Cabai dikenal sebagai tanaman menyerbuk sendiri. Tanaman menyerbuk sendiri adalah tanaman yang memiliki tingkat penyerbukan silang alami kurang dari 5%. Tanaman menyerbuk sendiri umumnya memiliki nilai heterosis yang rendah dan lebih sering diarahkan untuk menjadi varietas galur murni. Akan tetapi terdapat penelitian melaporkan bahwa tanaman cabai memiliki persentase penyerbukan silang alami yang lebih tinggi dari 50% (Campodonico 1983) dan memiliki nilai heterosis yang tinggi (Mantri 2006; Sujiprihati et al. 2007; Daryanto et al. 2010; Sitaresmi et al. 2010). Selain itu, lebih dari 80% varietas cabai yang ada di Indonesia adalah varietas hibrida bukan varietas galur murni (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2011).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan ini dilakukan pada bulan Mei Oktober 2012. Pembentukan enam populasi dilakukan di Citeureup, Bogor. Kegiatan perkecambahan dan pengamatan dilakukan di Labdik. Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA, IPB.
Alat dan Bahan
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini merupakan cabai koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA IPB. Bahan tanam yang digunakan terdiri atas tetua cabai ungu (IPB C20) dan tetua cabai hijau (IPB C2); turunan pertama (F1) dan turunan pertama resiprokal (F1R) masing-masing 24 bibit; backcross ke tetua betina (BCP1) sebanyak 62 bibit dan backcross ke tetua jantan sebanyak 91 bibit; dan populasi turunan kedua (F2) sebanyak 305 bibit
Pelaksanan Percobaan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada percobaan ini terdiri atas pembentukan 6 populasi, perkecambahan, dan pengamatan. Pembentukan populasi dilakukan dengan melakukan persilangan (crossing) dan penyerbukan sendiri. Populasi F1, F1R, BCP1, dan BCP2 diperoleh dengan melakukan persilangan, yang pelaksanaanya mengacu pada Syukur et al. (2012).
Pengamatan
Terdapat beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif yang diamati pada percobaan ini. Karakter-karakter tersebut adalah:
1. Warna hipokotil, diamati pada saat daun kotiledon sudah membuka
2. Warna kotiledon, diamati pada saat daun kotiledon sudah membuka sempurna
3. Panjang hipokotil (mm), diamati dari bagian atas akar sampai bagian bawah kotiledon ..
Analisis Data
Berikut adalah analisis data kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan pada percobaan ini:
1. Pendugaan nisbah fenotipe
Pendugaan nisbah fenotipe dilakukan dengan menggunakan uji Chi-kuadrat. Perhitungan uji Chi-kuadrat mengacu pada Sing and Chaudhary (1979):
Keterangan: X2 = X2 hitung
Oi2 = Nilai hasil pengamatan
Ei2 = Nilai yang diharapkan
2. Pendugaan komponen ragam
Komponen ragam yang dihitung terdiri atas ragam fenotipe (VF2), ragam fenotipe backcros (VBC), ragam lingkungan (VE), ragam genotipe (VG), dan ragam aditif (VA).
3. Pendugaan nilai heritabilitas
Pendugaan heritabilitas yang dihitung terdiri atas heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Perhitungan heritabilitas arti luas mengacu pada Allard (1960), sedangkan heritabilitas arti sempit mengacu pada Warner (1952):
Keterangan:
h2bs= heritabilitas dalam arti luas VF1= Ragam populasi F1
h2ns= Heritabilitas dalam arti sempit VF2= Ragam populasi F2
VBCP1= Ragam populasi BCP1 VP1= Ragam populasi P1
VBCP2 = Ragam populasi BCP2 VP2= Ragam populasi P2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Warna Hipokotil dan Kotiledon
Terdapat dua macam warna hipokotil dan kotiledon pada penelitian ini, yaitu ungu dan hijau. Genotipe cabai IPB C2 memiliki hipokotil dan kotiledon berwarna hijau, sedangkan genotipe IPB C20 memiliki hipokotil dan kotiledon berwarna ungu. Tanaman F1 dan F1R genotipe IPB C2 x IPB C20 memiliki warna hipokotil yang berbeda dengan warna kotiledonnya. Baik tanaman F1 dan F1R IPB C2 x IPB C20 memiliki hipokotil yang berwarna ungu dan kotiledon yang berwarna hijau (Gambar 2).
Gambar 2 Warna hipokotil dan kotiledon genotipe cabai IPB C20, F1 IPB C2 x IPB C20, dan IPB C2.
Hasil analisis genetik mendel pada karakter warna hipokotil menghasilkan nisbah fenotipe nisbah 3 ungu : 1 hijau pada populasi F2 dan nisbah 1 ungu : 1 hijau pada populasi BCP1 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa karakter warna hipokotil secara sederhana dikendalikan oleh 1 lokus dengan 2 alel. Menurut ICRISAT (1975), warna hipokotil pada tanaman lima bean dikendalikan oleh 3 gen. Wang dan Bossland (2006) melaporkan bahwa warna ungu bersifat dominan pada karakter bunga dan buah muda tanaman cabai, sementara Jones et al. (2003) melaporkan bahwa warna ungu bersifat dominan pada buah tomat.
Hal yang berbeda dihasilkan pada karakter warna kotiledon. Hasil analisis genetik mendel pada karakter ini menghasilkan nisbah fenotipe 3 hijau : 1 ungu pada populasi F2 dan 1 hijau : 1 ungu pada populasi BCP2 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa karakter warna kotiledon dikendalikan oleh 1 lokus dengan 2 alel. Warna hijau bersifat dominan terhadap warna ungu pada karakter ini. Menurut ICRISAT (1975), warna hipokotil pada tanaman lima bean dikendalikan oleh 1 lokus dengan 2 alel.
Tabel 2 Nilai X2hitung warna hipokotil dan warna kotiledon pada populasi BCP1 (IPB C2 x F1), BCP2 (IPB C20 x F1) dan F2 (IPB C2 x IPB C20)
Populasi
Fenotipe
Nisbah
Harapan
Pengamatan
X2tabel
X2hitung
Warna hipokotil
F2
Hijau : Ungu
1:3
76.75 : 230.25
79 : 226
3.841
0.14 tn
BCP1
Hijau : Ungu
1:1
45.5 : 45.5
53 : 38
3.841
2.47 tn
Warna kotiledon
F2
Hijau : Ungu
3:1
76.75 : 230.25
220 : 85
3.841
1.34 tn
BCP2
Hijau : Ungu
1:1
31 : 31
24 : 38
3.841
3.16 tn
Warna hipokotil dan kotiledon
F2
HU KH : HU KU :
HH KH : HH KU
9:3:3:1
172:57:57:19
140:86:79:0
48.2**
Keterangan : HU = Hipokotil ungu, HH = Hipokotil hijau, KU = Kotiledon ungu, dan KH = Kotiledon hijau
Analisis genetik mendel juga dilakukan terhadap dua karakter sekaligus (dihibrid), yaitu warna hipokotil dan warna kotiledon. Hasil analisis genetik mendel pada kedua karakter tersebut tidak menghasilkan nisbah fenotipe 9:3:3:1 pada populasi F2 (Tabel 2). Padahal hasil analisis genetik mendel karakter tunggal warna hipokotil dan warna kotiledon menghasilkan nisbah fenotipe 3:1 (Tabel 1). Hal ini memunculkan dugaan bahwa terdapat keterpautan antara karakter warna hipokotil dengan warna kotiledon. Jin et al. (1993) melaporkan bahwa segregasi gen Rph7 dan Xa yang tidak 9:3:3:1 pada populasi F2 menandakan adanya keterpautan antara warna kecambah dengan ketahanan terhadap penyakit karat daun pada tanaman barley. Keterpautan yang terjadi antara warna hipokotil dan warna kotiledon cabai diduga merupakan tipe repulsi. Hal ini ditandai dengan genotipe tetua cabai IPB C2 dan IPB C20 yang sama-sama memberikan satu gen resesif dan dominan kepada turunan F1. Peterson (1959) melaporkan bahwa terdapat linkage antara warna buah dan bentuk buah pada tanaman cabai.
Heritabilitas
Heritabilitas dalam arti luas (h2bs) karakter panjang hipokotil berada pada kisaran tinggi sedangkan heritabilitas dalam arti sempit (h2ns