BAB II
SENSATION SEEKING, SELF ESTEEM, DAN COSPLAYER
A. Sensation Seeking1. Pengertian Sensation Seeking
Zuckerman (1979) dalam buku "Sensation Seeking: Beyond the
Optimal Level of Arousal", menyebutkan bahwa pencarian sensasi
merupakan sebuah sifat (trait) yang mengenai kebutuhan akan perubahan
(variety), kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman
dan sensasi yang bersifat kompleks serta keinginan untuk mengambil resiko
yang bersifat fisik dan sosial untuk kepentingan tertentu.
Sifat (trait) didefinisikan sebagai suatu kecenderungan dalam
bertindak dalam berbagai situasi. sedangkan the trait of sensation seeking
mengarah pada kecenderungan seseorang untuk selalu mencari hal yang
bersifat baru dan mengeksplor secara mendalam hal-hal baru tersebut
(Zuckerman, 1979).
Istilah perubahan (variety) merujuk pada kebutuhan akan perubahan.
frase "melakukan hal yang baru" (novel) merefleksikan adanya
ketidaksukaan individu terhadap kejadian-kejadian atau pengalaman yang
telah dialami sebelumnya. selain itu, frase novel juga menunjukan adanya
ketertarikan pada diri individu tersebut terhadap hal-hal yang tidak dapat
diprediksi (unpredictable). istilah "kompleksitas" merujuk pada jumlah atau
banyaknya elemen pada suatu kegiatan dan rangkaian-rangkaian dari
masing-masing elemen tersebut. sedangkan frase "risiko" merujuk pada
suatu kegiatan yang cenderung akan menghasilkan sesuatu yang negatif.
"risiko secara fisik" dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat
melukai fisik atau bahkan dapat membunuh. sedangkan "risiko secara sosial"
merujuk pada suatu keadaan dimana adanya perasaan malu, bersalah, atau
8Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
keadaan dimana individu tersebut tidak dipedulikan lagi oleh lingkungan
sekitarnya (Zuckerman, 1979).
Menurut Chaplin (2006), pencarian sensasi adalah mencari
pengalaman yang timbul apabila suatu stimulus merangsang atau
membangkitkan suatu reseptor. pencarian sensasi dianggap sebagai suatu
sifat (trait) yang ditandai dengan kebutuhan akan berbagai macam sensasi
dan pengalaman baru, luar biasa dan kompleks, serta kesediaan mengambil
risiko fisik dan sosial untuk memperoleh pengalaman tersebut.
kecenderungan untuk mencari sensasi yang tinggi dapat mengarahkan pada
perilaku yang positif bila ia menemukan tantangan dari perilaku atau aktivitas
yang dilakukannya, misalnya: menjadi seniman, melakukan olah raga
beresiko tinggi seperti mendaki gunung, mendayung, menyelam. namun
kecenderungan ini dapat mengarah ke perilaku negatif apabila individu
pencari sensasi tinggi merasa hanya menemukan tantangan melalui cara
yang tidak bisa diterima masyarakat, misalnya mengendarai motor dengan
kecepatan tinggi di jalan raya tanpa menggunakan helm atau melakukan
seks bebas. individu yang mencari sensasi tinggi memiliki keinginan untuk
mengaktualisasikan dirinya kurang terpuji.
2. Dimensi Sensation SeekingAdapun dimensi-dimensi dari sensation seeking menurut Zuckerman
(1979) adalah:
a. Pencarian getaran jiwa dan petualangan (thrill and adventure seeking)Dimensi ini berhubungan dengan kebutuhan individu untuk
melakukan kegiatan beresiko pada tiap individu. Tindakan beresiko
meliputi keinginan yang kuat untuk terlibat dalam aktivitas fisik
berbahaya dan merupakan aktivitas yang “tidak biasa” dari yang
orang lain lakukan pada umumnya.
9Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
b. Pencarian pengalaman (experience seeking)Dimensi pencarian pengalaman berhubungan dengan ekspresi
individu terhadap pengalaman baru melalui penginderaan, gaya hidup
yang tidak konvensional, termasuk dalam hal musik, seni, gaya
berpakaian, dan gaya hidup antikonformitas lainnya.
c. Rasa Malu (disinhibition)Dimensi ini berhubungan dengan perilaku impulsif pada individu,
meliputi keinginan yang kuat untuk melakukan perilaku yang
mengandung resiko sosial dan resiko kesehatan. Perilaku yang
mengandung resiko sosial dan kesehatan adalah perilaku yang
secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif terhadap posisi
seseorang dalam masyarakat dan terhadap kondisi peristiwa di masa
yang akan datang. Perilaku disinhibition antara lain adalah
mengkonsumsi minuman beralkohol, menyukai pesta, sengaja
melanggar peraturan lalu lintas, bermesraan di depan umum dan hal-
hal lain yang tidak sesuai dengan norma sosial masyarakat yang
berlaku.
d. Kerentanan terhadap Rasa Bosan (Boredom Susceptibility)Dimensi ini berhubungan dengan perilaku individu yang antipati
terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran
orang-orang yang dapat diprediksi, dan reaksi ketidakpuasan
terhadap kondisi yang membosankan tersebut. Boredom
Susceptibility juga menyebabkan munculnya kegelisahan pada
individu saat tidak ada perubahan pada kehidupannya, dan
ketidaksukaan pada orang yang membosankan.
3. Faktor yang Mempengaruhi Pencarian Sensasi (Sensation Seeking)
Terdapat dua faktor utama yang dijadikan sebagai faktor yang
menjadi sumber penyebab munculnya pencarian sensasi dalam diri individu,
yaitu faktor herediter dan faktor lingkungan (Zuckerman, 1991: Grasha &
10Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Krischenbaum, 1980). Berikut merupakan penjelasan faktor-faktor yang
mempengaruhi sensation seeking.
a. Faktor Herediter
Zuckerman (1979) mengindikasikan adanya faktor genetik
yang mempengaruhi gen dan kondisi biologis individu sehingga
memiliki kecenderungan untuk mencari sensasi dalam hidupnya.
Keberadaan MAO (monoamine oxidase), kode kelas genetik
dopamine 4 (DRD4), kadar hormon seksual dan kadar tingginya
neurotransmitter norepinephrine maupun dopamine dipercaya
menjadi kondisi biologis yang menyebabkan individu memiliki
kebutuhan arousal dan sensasi yang tinggi. Kondisi biologis ini tentu
disebabkan oleh susunan genetika yang diturunkan oleh generasi
sebelumnya. Oleh sebab itu faktor herediter diprediksi memberi
pengaruh setidaknya 60% pada seseorang untuk memiliki kebutuhan
arousal dan sensasi yang tinggi dalam dirinya.
b. Faktor LingkunganHasil pembelajaran sosial (social learning) merupakan faktor
yang mempengaruhi dan ‘mengajarkan’ individu untuk menyukai
sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu. Faktor lingkungan dan
pembelajaran sosial ini kemudian diprediksi sebagai 40%
kemungkinan seseorang untuk terstimulus dalam memiliki trait
sensation seeking dan kebutuhan pencarian sensasi lainnya.
Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan significant others
memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang
cenderung mencari sensasi, baik secara tinggi maupun rendah.
4. Karakteristik Individu dengan Pencarian Sensasi
11Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Berikut merupakan table perbedaan indivdu pencari sensasi tinggi
dan individu pencari sensasi yang rendah (London & Exner, 1978).
Tabel 2.1 Perbedaan Diri Individu Pencari Sensasi
Pencari Sensasi Tinggi Pencari Sensasi Rendah
Antusias Penakut (frightening)
Senang bermain (playful) Panik
Petualang Tegang (tense)
Imaginatif Gugup (nervous)
Pemberani Gemetar (shaky)
Riang (elated) Gelisah (fearful)
Lucu (zany) Mudah cemas
Nakal (mischievous) Pemarah
Menurut London & Exner (1978). Karakteristik individu yang memiliki
tingkat sensation seeking sedang adalah gabungan dari karakteristik tingkat
sensation seeking tinggi dan rendah. Ini menunjukan bahwa individu tersebut
memiliki sebagian aspek dari sensation seeking tinggi dan sebagian aspek
dari sensation seeking rendah.
B. Self-Esteem1. Pengertian Self-Esteem
Self-esteem secara bahasa berarti penghargaan diri. Dalam ilmu
psikologi self esteem adalah sebuah penilaian terhadap diri sendiri, baik itu
penilaian diri yang positif ataupun negatif yang mempengaruhi penerimaan
terhadap dirinya sendiri.
Menurut Centi (1995) konsep diri merupakan gambaran mental yang
terdiri dari bagaimana individu melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana
individu merasa mengenai diri sendirinya sendiri, dan bagaimana individu
menginginkan diri seperti yang individu harapkan. persepsi individu atas diri 12
Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
sendiri disebut gambaran diri (self-image), perasaan dan penilaian individu
atas diri sendiri merupakan harga diri (self-esteem), dan harapan individu
atas diri sendiri disebut cita-cita diri (self-idea) (Calhoun & Acocella dalam
Wulansari, 2010). Hal senada juga dikemukakan oleh Coopersmith (1967)
yang mendefinisikan:
"Self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan
berkembang menjadi kebiasaan terutama yang berkaitan dengan harga
dirinya sendiri, yang diekspresikan menjadi sikap menerima atau menolak,
dan mengidikasikan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya
sebagai seorang yang memiliki kemampuan (capable), keberartian
(significance), kesuksesan (successful), dan keberhargaan (worthy)."
Sementara menurut Rosenberg (dalam Burns, 1993), self-esteem ini
adalah suatu sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu, objek tersebut
tiada lain adalah dirinya sendiri.
2. Karakteristik Self-EsteemMenurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa karakteristik individu
yang berhubungan dengan self esteem yaitu,
a. Physical attributeKarakteristik ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh
seseorang. Bagaimana seorang individu memandang dan
mengahrgai kondisi fisik yang ada pada dirinya. Kondisi fisik yang
dibahas di sini diantaranya seperti, tinggi badan, berat badan, warna
kulit, dan lain-lain.
b. General capacities, ability, and performanceKarakteristik ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi
individu secara umum. Apakah seorang individu menghargai prestasi
dan kemampuan dirinya atau tidak.
c. Affective stateKarakteristik ini berhubungan dengan kebahagiaan, kemampuan
afeksi, dan kepuasan terhadap diri sendiri. Individu dengan penilaian
13Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
diri yang rendah biasanya memiliki ketidakpuasan dan
ketidakbahagiaan diri, sedangkan individu dengan penilaian diri yang
tinggi memiliki kepercayaan diri yang positif dan lebih ekspresif.
d. Self valuesKarakteristik ini berhubungan dengan bagaimana seorang individu
menilai keberhargaan dirinya seseuai dengan nilai yang berlaku dan
ideal self yang dimilikinya.
3. Aspek Self EsteemMenurut Rosenberg (1969), terdapat 3 aspek dalam self esteem
individu yaitu,
a. Physical Self EsteemAspek ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh seorang
individu. Apakah seorang individu menerima keadaan fisiknya atau
ada beberapa bagian fisik yang ingin diubah.
b. Social Self EsteemAspek ini berhubungan dengan kemampuan individu dalam
bersosialiasi. Pakah seorang individu membatasi orang lain untuk
menjadi teman atau menerima berbagai macam orang sebagai
teman. Selain itu, aspek ini mengukur kemampuan individu dalam
berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungannya.
c. Performance Self EsteemAspek ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi individu.
Apakah seorang individu puas dan merasa percaya diri dengan
kemampuan dirinya atau tidak.
4. Tingkat Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967), individu dengan self esteem yang
berbeda hidup dalam dunia yang berbeda. Menurutnya, individu yang
14Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
memiliki penilaian yang rentan terhadap dirinya terhambat oleh tingkat
kecemasannya yang tinggi, rendang dalam pengungkapan perasaan, serta
lebih sering terhambat oleh gejala psikosomatis dan perasaan depresi.
Coopersmith (1967) mengulas karakteristik umum yang tampak pada
individu dengan berbagai tingkat self-esteem, yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat self esteem tinggiIndividu yang memiliki self-esteem tinggi akan puas dengan karakter
dan kemampuan dirinya yang ditandai dengan self-evaluation yang
positif sehingga memiliki self-image yang positif, mampu menerima
masukan dari lingkungannya, dapat melakukan evaluasi secara positif
serta memiliki self worth yang positif dan mampu mengoptimalkan
dan mengendalikan self worth yang dimilikinya (Coopersmith, 1967).
Individu dengan self esteem tinggi lebih independen dalam
mempengaruhi situasi, memiliki karakter yang konsisten dalam
merespon sesuatu. Gambaran dirinya akan menjelaskan bahwa dia
adalah seorang yang bernilai dan penting, mempunyai kemampuan
yang sebaik individu lain seusianya. Individu tersebut merasa bahwa
dirinya dinilai sebagai seseorang yang berharga dan dipertimbangkan
oleh orang-orang terdekatnya (Coopersmith, 1967).
Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
dikarenakan adanya pengakuan orang-orang terhadap cara pandang
dan pendapat yang ia miliki (Coopersmith, 1967). Selain itu, mereka
juga percaya diri dengan padangan dan keputusan yang mereka
buat, sikap-sikap positif yang dimiliki oleh individu dengan harga diri
tinggi akan membimbing mereka pada penerimaan pribadi dan
kepercayaan terhadap reaksi dan konklusi yang mereka buat,serta
membuat mereka menimbulkan ide-ide baru (Coopersmith, 1967).
Ketika terlibat dalam sebuah diskusi mereka akan lebih senang untuk
15Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
berpartisipasi daripada hanya sekedar menjadi penyimak
(Coopersmith, 1967). Mereka memiliki kejujuran dalam berpendapat
dan memiliki kemampuan dalam mempertimbangkan isu-isu eksternal
(Coopersmith 1967). Mereka juga bisa mengelola tindakan sesuai
dengan tuntutan lingkungan, memiliki pemahaman yang baik tentang
dirinya, dan sangat menyukai tantangan dan tugas-tugas baru dan
biasanya tidak merasa kecewa meskipun belum berhasil
(Coopersmith, 1967). Selain itu sikap-sikap positif mengenai diri
mereka sendiri juga akan membuat mereka memiliki kemandirian
sosial yang lebih baik (Coopersmith, 1967).
b. Tingkat self esteem sedangPada dasarnya individu memiliki kesamaan dengan individu yang
memiliki self-esteem yang tinggi dalam hal penerimaan diri. Mereka
memiliki penerimaan yang relatif baik, pertahanan yang baik, serta
pemahaman dan penghargaan yang sangat baik (Coopersmith,
1967). Namun, mereka kurang mampu mengendalikan self-worth
yang mereka miliki dari pandangan sosial sehingga kurang konsisten
dalam mempertahankan pandangannya. Selain itu mereka ragu-ragu
dengan penghargaan yang mereka miliki dan cenderung tidak yakin
terhadap kemampuan mereka dibanding yang lain (Coopersmith,
1967). Mereka memiliki sejumlah pernyataan positif tentang diri
mereka, tetapi penilaian mereka mengenai kemampuan, keberartian,
dan harapan lebih moderat dibanding yang lain. Mereka tidak menilai
diri mereka sebagai yang paling baik, melainkan lebih baik.
c. Tingkat self esteem rendahIndividu dengan self-esteem rendah adalah individu yang hilang
kepercayaan dirinya dan tidak mampu menilai kemampuan dan
atribut-atribut dalam dirinya (Coopersmith, 1967:71).
Individu yang memiliki self-esteem yang rendah menilai atribut-atribut
dalam dirinya secara negatif. Mereka mempunyai sikap yang negatif
16Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
terhadap diri mereka sendiri. Gambaran yang mereka buat cenderung
memberi kesan depresi dan pesimis. Mereka merasa bahwa mereka
bukan orang penting dan pantas disukai. Menurut mereka, mereka
tidak bisa melakukan apapun yang mereka ingin lakukan. Mereka
tidak yakin dengan ide, kemampuan, dan pandangan mereka sendiri.
Mereka juga merasa lingkungan tidak memberikan perhatian kepada
apapun yang mereka lakukan (Coopersmith, 1967:47). Berkebalikan
dengan individu yang memiliki tingkat harga diri tinggi, individu ini
memiliki self-consciousness yang tinggi dan terlalu sibuk dengan
masalah internal mereka. Kesadaran mengenai diri mereka sendiri
yang tinggi, mengganggu mereka untuk bisa terlibat dengan orang
lain dan isu-isu yang ada dan menyebabkan mereka menjadi
keasyikan secara tidak wajar dengan kesulitan mereka sendiri
(Coopersmith, 1967).
Menurut Coopersmith (1967), mereka merasa terisolasi, tidak pantas
dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri, dan tidak mampu
mempertahankan diri sendiri. Mereka merasa terlalu lemah untuk
melakukan konfrontasi dan melawan kelemahan mereka sendiri
(Coopersmith, 1967). Individu dengan harga diri yang rendah memiliki
perasaan ditolak, ragu-ragu, dan tidak berharga. Mereka merasa tidak
memiliki kekuatan (Coopersmith, 1967). Hal ini menyebabkan
ekspetasi mereka akan masa depan sangat rendah (Coopersmith,
1967:47).
C. Cosplayer1. Definisi Cosplayer
Cosplay dapat dibilang sebagai produk subkultur. Dick Hebdige
(2002) menjelaskan “Subculture represent of “noise‟ (as opposed to sound);
interface in orderly sequence which leads from real events and phenomena
to their representation in the media.” Subkultur adalah bagian dari
17Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kultur/budaya yang dianggap “tidak normal” dikalangan masyarakat. Awal
mulanya cosplay dan harajuku style muncul sebagai bentuk pemberontakan
remaja di Jepang untuk keluar dari batasan-batasan normal yang berlaku di
masyarakat. Gagasan tentang cosplay muncul sekitar tahun 1960-an di
Stasiun Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo, dan telah mengalami
perkembangan yang luar biasa. Selain sebagai produk budaya, cosplay juga
merupakan pembentukan seni dengan misi kebudayaan dan iklan. Cosplay
ini akrab dalam hal ideologi dengan Harajuku style, memberikan nuansa
perdebatan wacana mengenai transformasi ide-ide berbusana yang
bersumber pada tokoh-tokoh film animasi dan manga Jepang. Ide tersebut
divisualisasikan dalam wujud busana yang bertema tokoh atau kondisi
tertentu, dengan melakukan akulturasi berbagai jenis budaya, dan
menghasilkan kostum-kostum yang ekspresif.
Menurut Aji (2011) pada sebuah buku yang berjudul Cosplay Naze
Nihonjin wa Seifuku ga suki Na No Ka, Karya Fukiko Mitamura, menyebutkan
pengertian cosplay sebagai berikut :
簡単に「ある役割」になりきることができる。求められる、役柄、
なりたい自分に早代わりできる。それがコスプレである。
Artinya: Dapat dengan mudah menjadi suatu peran/ tokoh. Dapat
dengan cepat menjadi apa yang diinginkan oleh dirinya, atau menjadi peran
yang dibutuhkan. Inilah yang disebut cosplay.
Menurut Mitamura (2011), cosplay adalah merubah diri menjadi peran
yang dibutuhkan atau status yang diinginkan, terlepas dari apakah orang
tersebut memang berprofesi sebagai peran yang sedang diembannya
tersebut atau memiliki kemempuan yang dituntut harus dimiliki oleh peran
yang diembannya tersebut. Dengan kata lain, seseorang dapat menjadi
bagian dari suatu profesi atau peran hanya dengan mengenakan kostum
yang menandai peran tersebut sehingga dia akan merasa berkewajiban
untuk memiliki kemampuan sesuai dengan yang dituntut oleh profesi atau
peran yang diemban dengan kostum yang dikenakan.
18Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Menurut Hlister (2007) Cosplay adalah sebuah Konstruksi dan
mempunyai beberapa sifat yang mendasar dan juga komponen–komponen
yang menciptakan keseluruhannya. Setiap cosplayer mempunyai pilihan
yang mereka sadari untuk diekspresikan dengan cara memilih karakter dan
“penampilan” untuk bercosplay. Kebanyakan akan memilih genre atau media
kategori untuk inspirasi mereka. Perlu diperhatikan bahwa banyak genre
menginspirasikan cosplay berada disekitar mereka dan jelas tidak dalam
bagian dari komunitas cosplay.
Banyak dari para cosplayer yang terlihat sedang berada dalam suatu
event dengan cosplayer lainnya yang sedang berakting “in character”. Salah
satu contoh menjadi “in character” adalah dengan bercosplay dan menjadi
seperti aktor di panggung. Aksi mereka yaitu seperti ekspresi wajah yang
khas, atau mengingat kata-kata untuk diucapkan dan dibawa keluar kepada
orang-orang yang berinteraksi dengan mereka. Intinya yaitu untuk menjadi
satu dengan kepribadian dari karakter yang digambarkan. Dalam ranah dunia
cosplay terdapat kesepakatan semakin mirip dengan karakter yang
diperankan, berarti orang tersebut dapat dikategorikan dengan cosplayer
yang baik. “Semakin mirip dengan karakter yang diperankan” disini tidak
hanya kemiripan dengan kostum tetapi juga dengan karaktenya. Cosplayer
dituntut untuk dapat berakting sesuai dengan karakter tokoh yang
dicosplaykannya baik itu gesture yang diperlihatkan melalui foto dan video
atau tampil di atas panggung pada suatu acara cosplay.
2. Jenis-jenis CosplaySampai saat ini belum ada penelitian yang mengkategorikan cosplay,
namun bila dikategorisasikan berdasarkan jenis pakaian dan atribut yang
dikenakan, maka cosplay terdiri dari,
a. Fabric atau Cloth
Pada jenis ini seorang cosplayer mengenakan pakaian yang berbahan
dasar kain dan menyerupai pakaian pada umumnya. Biasanya pada jenis
ini tidak terlalu banyak atribut yang dikenakan dan membutuhkan biaya
yang relatif murah (Rp.150.000 – Rp. 400.000) serta tingkat kesulitan
19Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pengerjaannya yang tidak terlalu sulit dan dapat dibuat sendiri. Karakter
yang diperankan pada jenis ini biasanya mengacu pada karakter-karakter
dari anime atau video game, serta dalam pendalaman karakter lebih
mudah dikarenakan kita data mendalami karakter tokoh yang diperankan
jika menonton anime atau memainkan game yang diperankan tokoh
tersebut.
20Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
b. Armored
Pada jenis ini biasanya cosplayer meniru tokoh-tokoh dari tokusatsu atau
sentai dan anime seperti Kamen Rider atau Saint Seiya, namun ada juga
yang meniru desain dari mecha (robot) seperti Gundam. Pada dasarnya
cosplay jenis ini meniru desain atau kostum yang digunakan namun kostum
tersebut memiliki bahan dari busa tebal atau resin dan biasanya menutupi
seluruh tubuh. Pada umumnya sedikit cosplayer yang memilih cosplay pada
jenis ini dikarenakan biaya yang mahal dalam pembuatan kostum (>
Rp.400.000), kostum yang berat sehingga sulit untuk bergerak, pembuatan
yang rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama, panas ketika
dikenakan, dan dalam event tidak dapat melakukan stunt act sehingga
hanya menjadi objek foto bagi para kameraman dalam sebuah event,
meskipun ada juga beberapa armored cosplayer seperti cosplayer yang
memerankan seri Saint Seiya yang melakukan stunt act ketika tampil di
panggung.
3. Perkembangan Cosplay di IndonesiaCosplay di Indonesia baru dikenal pada tahun 2000 ketika gaya berpakaian
harajuku dari Jepang mulai dikenal oleh remaja-remaja di Indonesia. Saat itu selain
gaya berpakaian, anime dan manga serta video game dari Jepang pun semakin gencar
muncul di Indonesia yang membuat banyak remaja-remaja di Indonesia menyukai hal-
hal tersebut dan mulai melakukan cosplay secara individu. Pada tahun 2002 di
Universitas Indonesia (UI) mencoba membuat sebuah event budaya Jepang yang
didalamnya memperbolehkan orang-orang untuk melakukan cosplay, ini menjadi awal
dari event Jepang dan cosplay di Indonesia. Setelah membuka beberapa event di
Jakarta beberapa kota lainnya di Pulau Jawa seperti Bandung dan Yogyakarta mulai
membuat event serupa yang mempertemukan orang-orang dengan hobi serupa seperti
cosplay, menonton anime, dan membaca manga.
Di Bandung sendiri event budaya Jepang yang pertama adalah di Institut
Teknologi Bandung (ITB) dengan bekerja sama dengan majalah Animonster serupa
majalah yang berfokus pada kebudayaan Jepang. Mulai saat itu terbentuk beberapa
21Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
komunitas cosplay di Bandung seperti Shinsen-Gumi, AEON Cosplay Team,
ALBATROSS FORCE, dan komunitas lainnya.
Dalam komunitas tersebut seorang cosplayer tidak hanya dapat bertemu dengan
orang lain yang memiliki hobi yang sama, namun mereka dapat bertukar informasi
mengenai cosplay mulai dari cara pembuatan dan bahan yang digunakan dalam sebuah
kostum, menjahit, membuat property dari barang yang sudah tidak terpakai lagi, dan
pendalaman karakter dengan belajar acting, maka banyak dari cosplayer-cosplayer ini
memiliki kreativitas dan kemampuan lain yang orang lain tidak miliki.
Dalam perkembangan gaya cosplay di Indonesia pun terus berkembang mulai
dari hanya sekedar mengenakan kostum, kemudian mulai bertingkah laku seperti
karakter yang diperankan, melakukan stunt act di panggung dan fenomena-fenomena
yang mulai muncul sekarang ini seperti crossdress yaitu seorang perempuan yang
berpakaian dan berperilaku seperti laki-laki dan sebaliknya, light ecchi adalah perilaku-
perilaku ketika cosplay yang agak senonoh seperti mencium dan berpelukan, serta
cosplay photography yaitu cosplay yang berfokus pada suatu adegan atau situasi yang
diabadikan oleh foto.
D. Kerangka BerpikirMenurut Zuckerman (1979) pencarian sensasi merupakan sebuah sifat (trait)
yang menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk
melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks serta
keinginan untuk mengambil resiko yang bersifat fisik dan sosial untuk kepentingan
tertentu. Menurut Coopersmith (1967) self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh
individu dan berkembang menjadi kebiasaan terutama yang berkaitan dengan harga
dirinya sendiri, yang diekspresikan menjadi sikap menerima atau menolak, dan
mengidikasikan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya sebagai seorang yang
memiliki kemampuan (capable), keberartian (significance), kesuksesan (successful), dan
keberhargaan (worthy).
Dalam dunia cosplay pun banyak terjadi cemoohan terutama bila seorang
cosplayer tidak cocok memerankan suatu tokoh secara karakter atau fisik. Cemoohan ini
tidak hanya dari dunia nyata saja sebagian besar berasal dari dunia maya yang
22Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
menyebar foto-foto cosplay seseorang. Hal inilah yang sering dialami oleh cosplayer
Indonesia yang secara fisik berbeda dari karakter yang diperankan. Hal- hal tersebut
menjadi salah satu alasan cosplayer di Indonesia memiliki sikap yang introvert dan
memiliki self-esteem yang rendah. Dan hal ini juga dijelaskan dalam teori self esteem
yang dikemukakan oleh Heatherton bahwa terdapat 3 sub-komponen dalam self esteem
yaitu, performance self esteem, social self esteem, dan appearance self esteem.
Bertolak belakang dengan gambaran kehidupan sosial seorang cosplayer yang
cenderung introvert dan memiliki self esteem yang rendah saat seorang cosplayer
bercosplay dalam sebuah event mereka seperti menjadi pribadi yang berbeda, mereka
menjadi seseorang yang ekspresif, ekstrovert dan aktif. Terlebih seorang cosplayer
biasanya dapat merubah perilaku mulai dari gaya bicara, tingkah laku, gesture, dan
kebiasaan dari tokoh yang diperankannya yang seringkali terbawa dalam kehidupan
nyata. Selain itu perilaku-perilaku ini juga seringkali terbawa dalam kehidupan sosial
seperti memakai pakaian yang penuh dengan atribut tokoh favorit, musik yang
didengarkan berbeda dengan orang kebanyakan, meniru kebiasaan tokoh yang
diperankan seperti tidak menyukai paprika atau tomat dan berjalan atau berlari dengan
meniru dengan gaya ninja.
Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini
yaitu bagaimana gambaran self esteem dan sensation seeking pada cosplayer? Serta
apakah terdapat hubungan antara self esteem dan sensation seeking? Gambaran
kerangka berpikir pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini,
23Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
COSPLAYERLingkungan Sosial
Introvert Self esteem rendah? Sensation seeking
rendah? kurang konformis dengan
lingkungan sekitar
Cosplay
Ekstrovert Ekspresif Sensation seeking tinggi? Sensation seeking
rendah?
Self Esteem
Appearance self esteem Performance self esteem Social self esteem
Sensation Seeking
Thrill and adventury seeking
Experience seeking Disinhibition Boredom susceptibility
Grafik 2.1 Kerangka Penelitian
E. HipotesisBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monty dan Putu (2006) pada
penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Sensation Seeking dan Self-esteem pada
Pendaki Gunung” yang meliputi 117 pendaki gunung di Indonesia mendapatkan hasil
berupa korelasi positif dimana semakin tinggi sensation seeking pendaki gunung
semakin tinggi juga self-esteemnya. Berdasar pada hasil penelitian diatas maka dalam
penelitian ini didapat hipotesis sebagai berikut,
H0 = Tidak terdapat korelasi positif antara sensation seeking dan self-esteem pada
cosplayer di Kota Bandung.
H1 = Terdapat korelasi positif antara sensation seeking dan self-esteem pada cosplayer
di Kota Bandung.
Berdasarkan hipotesis diatas H0 menjelaskan bahwa tidak terdapat korelasi
positif antara sensation seeking dan self esteem ini berarti apabila seorang individu
memiliki sensation seeking yang tinggi maka self esteem individu tersebut rendah.
Sebaliknya dalam hipotesis H1 menjelaskan bahwa terdapat korelasi positif antara
sensation seeking dan self esteem, ini berarti apabila seorang indivdu memiliki
sensation seeking yang tinggi maka self esteem individu tersebut juga tinggi.
24Muhammad Abdillah Arsi Efsa, 2014HUBUNGAN SENSATIONA SEEKING DENGAN SELF ESTEEM PADA COSPLAYER (Studi Kotelasioanal Cosplayer di Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Hubungan?
Top Related