VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA
KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK
7.1 Analisis Fakta dalam Pendekatan Institutional Governance
Aspek institusional governance akan lebih dioptimalkan analisisnya dalam
rangka mencapai penjelasan ilmiah terkait dengan variabel-variabel yang telah
diajukan dalam angket. Aspek ini demikian pentingnya juga karena terkait dengan
beberapa alasan yaitu: 1) isu negatif terhadap kegiatan usaha pertambangan
terutama pada aspek kerusakan lingkungan, ketimpangan antara wilayah dan
klaim penguasaan lahan (PETI) sejatinya dapat dihindari bila ada proses
penyadaran institutional kepada masyarakat sehingga masalah tersebut dapat
diselesaikan secara melembaga; 2) hal ini dapat dilakukan bila ada asumsi ilmiah
yang dilakukan melalui model pengembangan dan pendalaman persepsi
masyarakat dan rona awal sosial ekonomi masyarakat sekitar pemanfaatan
sumberdaya tambang; 3) oleh karena prinsip tatakelola kelembagaan dalam
penelitian ini akan diawali dengan membangun model data tentang aspek-aspek
yang dibutuhkan untuk dijadikan rujukan awal. Adapun lokasi yang menjadi
sampel dalam penelitian dapat ditunjukkan pada pada Lampiran 9 Tabel sebaran
sampel lokasi pengambilan data.
Model kelembagaan dalam penelitian ini diarahkan pada sembilan unsur
yang terkandung dalam tatakelola atau yang dikenal dengan good governance
seperti yang telah dijelaskan oleh United Nation Development programe (UNDP)
mungkin menjadi bagian pedoman pada model kelembagaan yang baik dalam
konteks pengelolaan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango. Setelah
dicermati dari sembilan unsur tersebut maka ada enam unsur tatakelola yang
menjadi bagian pedoman. Enam unsur tersebut yaitu:
7.1.1 Peran Hukum (Rule of Law)
Pengertian peranan hukum dalam model kelembagaan sumberdaya
tambang lebih dipandang bahwa hukum harus mencerminkan nilai keadilan dan
kesamaan setiap orang didepan hukum melalui upaya penegakan hukum law
inforcement dan hak asasi manusia. Mendalami hasil analisis pada unsur peran
162
hukum dalam penelitian ini digunakan keterkaitan antara penegakan hukum
dengan aktivitas penambang tanpa izin (PETI) yang selama ini menjadi isu
konflik dan menjadi bahan perdebatan bahkan telah masuk pada rana politik
disetiap forum berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya tambang.
Masalah ini dimulai dengan sejarah permulaan penambang tanpa izin.
Berdasarkan hasil wawancara kegiatan PETI ini dimulai sejak 1985 yaitu seorang
responden, tahun 1989 yaitu dua orang responden, tahun 1990 yaitu lima orang
responden, tahun 1991 yaitu satu orang responden, kemudian pada tahun 1992
yaitu sepuluh responden. Mulai kembali lagi tahun 1997 yaitu 1 responden, tahun
2005-2010 masing-masing 1 responden dan terakhir tahun 2011 yaitu 2 responden
dengan total 27 responden yang menjawab pada bagian ini atau 32,5 persen dari
total 83 responden. Terlihat terjadi lonjakan Penambang Tanpa izin pada tahun
1992 dimana terdapat 10 responden yang menjawab permulaannya menambang di
wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo
Minerals.
Permulaan dari penambangan ini yaitu di dusun Mohutango tepatnya
berada di sudut utara sebelah kiri peta konsesi kontrak karya. Daerah ini di bawah
administrasi Kecamatan Suwawa Timur yang merupakan pemekaran Kecamatan
Suwawa. Kemudian semakin meluas ke wilayah bekas titik bor (penelitian
eksplorasi) oleh pemegang konsesi sebelumnya diantaranya PT New Crase, PT
BHP, PT Yutah Pasific. Perusahaan ini melepas kontrak karyanya ke perusahaan
lain yaitu PT Gorontalo Minerals merupakan pemegang hak kontrak karya
generasi ke tujuh. Adapun alasan pelepasan ini (take over) belum dapat dijumpai
sampai saat ini namun informasi dari para penambang karena perusahaan itu telah
menemukan cadangan yang lebih besar di wilayah lain. Adapun awal mulai
kegiatan penambang tanpa izin dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel awal mulai
penambang tanpa izi (PETI).
Selanjutnya dalam analisis ini yaitu hubungan penambang tanpa izin
dengan pengelolah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone lebih diartikan dalam
konteks kelembagaan hukum di saat wilayah ini masih bagian dari TN. Pada di
lokasi penelitian terdapat Kantor Sub Balai Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone yang berlokasi di Desa Bube Kecamatan Suwawa. Di kantor ini
163
terdapat beberapa pegawai staff administrasi dan Polisi Hutan. Hasil uji analisis
tabel frekuensi menunjukkan bahwa hubungan PETI dengan pengelola TN yang
menjawab tidak tahu 26 responden atau 31.3 persen, sedang jawabannya tidak
baik 3 responden atau 4 persen, dan yang menjawab hubungan baik yaitu 6
responden atau 7.2 persen dengan total 35 reponden yang menjawab atau 42.2
persen. Tabel mengenai hubungan penambang tanpa izin dengan pengelola TN
Bogani Nani Wartabone dapat dilihat pada Lampiran 11.
Adapun kepemilikan atau posisi dalam penambang tanpa izin telah menjadi
bagian dari penelusuran data melalui angket yang diedarkan. Pertanyaan ini relatif
sulit untuk diperoleh namun dengan kiat-kiat yang telah dilakukan cukup berhasil
mendapatkan jawaban dari para penambang. Hal ini wajar untuk disimak karena
terkait dengan keamanan diri masing-masing penambang. Hasil penelusuran data
diperoleh yaitu sebagai buruh 4 responden atau 5 persen, sebagai donatur 1
responden atau 1.2 persen, sebagai pemilik 29 responden atau 40 persen, dan
sebagai pedagang pengumpul yaitu 1 responden atau 1.2 persen dengan total yang
memberikan jawab yaitu 35 responden atau 42,2 persen dari total 83 responden
yang dapat ditelusuri. Lebih jelasnya item ini dapat dilihat pada Lampiran 12
Tabel posisi penambang tanpa izin.
Hubungan penambang tanpa izin dengan para pihak lebih diarahkan
kepada bagaimana interaksi mereka dengan para pihak terutama dengan orang-
orang yang ingin mempertahankan status quo ini yang disinyalir turut menerima
bagi hasil dari penghasilan penambang tanpa izin. Hal ini dapat dilihat pada
Lampiran 13 tentang hubungan PETI dengan para pihak, dimana masyarakat
penambang yang menjawab tidak tahu 22 responden atau 26.5 persen sedangkan
yang menjwab baik yaitu responden atau 5 persen. Keengganan menjawab ini
juga merupakan bentuk kecurigaan kepada peneliti karena lebih dihadapkan pada
alasan sebelumnya yaitu bentuk penguasaan lahan.
Asumsi sebelumnya semakin mengerucut pada penelusuran pertanyaan
terkait dengan kenyamanan bekerja Para Penambang Tanpa Izin. Seperti yang
telah dianalisis melaui tabel frekuensi nampak bahwa masyarakat penambang
yang menjawab tidak tahu 1 responden atau 1.2 persen dan penambang yang
merasa tidak nyaman bekerja yaitu 2 reponden atau 2.4 persen, akan tetapi cukup
164
berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin yang merasa nyaman bekerja yaitu
32 responden atau 39 persen. Hal ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 14 Tabel
kenyamanan bekerja PETI.
Asumsi bahwa penambang tanpa izin cukup percaya diri bekerja dan
menjawab pertanyaan sebelumnya mulai terjawab pada pertanyaan dibawah ini,
dimana penambang tanpa izin mendapat dukungan para pihak. Hal ini dapat
ditunjukkan pada Lampiran 15 Tabel dukungan para pihak yaitu pihak keamanan
16 responden atau 19.3 persen dan yang didukung oleh pihak politisi yaitu 5
responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang mendapat dukungan dari pemerintah
setempat yaitu 6 responden atau 7.2 persen. Total yang menjawab pada item ini
yaitu 27 responden atau 32.5 persen.
Isu yang tidak kalah penting dalam konflik pertambangan ini yaitu
berkaitan dengan penggunaan Mercury dan Cianida di kalangan penambang tanpa
izin di lokasi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Terbukti bahwa penggunaan
itu ada seperti pada jawaban penambang yaitu yang menjawab tidak tahu 17
responden atau 20.5 persen, kemudian penambang yang menjawab tahu 21
responden atau 25.3 persen. Jumlah total yang menjawab 38 responden atau 46
persen. Penggunaan mercury dan cianida dapat dilihat pada Lampiran 16.
Ekspansi ini telah menjadi isu politik praktis di kalangan masyarakat,
karena adanya penegakan hukum yang tidak optimal dan terpadu, bahkan pada
jawaban pertanyanan ternyata 16 responden yang menjawab pihak keamanan
termasuk yang memberikan perlindungan terhadap penambang tanpa izin. Terkait
dengan usaha penertiban yang dilakukan pihak keamanan akan menghadapi
persoalan sendiri dengan pihak PETI. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 17
tentang Tabel penertiban penambang tanpa izin. Penambang tanpa izin yang
menjawab tidak mengetahui tentang penertiban PETI 2 responden atau 2.4 persen,
dan menjawab tidak pernah ada penertiban 4 responden atau 5 persen, selanjutnya
yang memberikan jawaban pernah ada penertiban 31 responden atau 37.3 persen.
Jumlah total menjawab paertanyaan ini yaitu 37 reponden 45 persen.
Pertanyaan ini lebih lanjut diarahkan pada pengelolaan konsesi oleh PT
Gorontalo Mineral secara profesional, apakah menimbulkan konflik dengan
masyarakat. Jawaban responden pada pertanyaan ini yaitu pengelolaan secara
165
professional oleh PT GM tidak akan menimbulkan konflik 29 responden atau 35
persen dan menjawab akan menimbulkan konflik 9 responden 11 persen. Nampak
bahwa pengelolaan konsesi tersebut relatif dapat dipertimbangkan oleh para
pihak. Lebih jelasnya aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 18 tentang Tabel
konsesi lahan perusahaan PT Gorontalo Minerals.
Peluang pengelolaan secara professional kepada pemilik konsesi maka
kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat diarahkan untuk membangun
kohesivitas masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya konflik antara masyarakat
di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya dengan PT
Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 19 Tabel Kohesivitas
antar masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals. Adapun responden yang
menjawab tidak memberikan peluang konflik yaitu 13 responden 15,7 persen dan
menjawab kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat menimbulkan konflik yaitu
10 responden atau 12.0 persen. Nampak bahwa organisasi sosial kemasyarakatan
relatif tidak memberikan peluang terjadinya konflik bahkan dapat menjaga
kohesivitas.
Item ini lebih ditekankan pada peran kelembagaan organisasi sosial
kemasyarakatan dalam memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat
dengan PT Gorontalo Minerals. Terdapat 21 responden yang menjawab bahwa
kelembagaan organisasi tersebut bisa berperan mengatasi konflik antara
masyarakat (pemukim di lahan konsesi kontrak karya) dengan PT Gorontalo
Minerals atau 25.3 persen. Sedangkan 15 responden yang menjawab bahwa
kelembagaan organisasi sosial kemasyarakatan itu tidak bisa mengatasi konflik
atau 18.1 persen. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 20 Tabel organisasi untuk
fasilitasi konflik.
Permasalahan utama konflik ini karena tidak ada kesamaan visi baik dari
pihak perusahaan maupun dari pihak PETI demikian juga pemerintah. Akibatnya
tidak pernah ada solusi yang dapat menjadi titik tengah dari semua pihak dengan
mengedepankan aspek ketaatan hukum bagi semua pihak yang bias duduk
bersama untuk menyelesaikan konflik. Selain itu pimpinan pemerintahan di
daerah ini cenderung melihat konflik ini pada aspek politik. Artinya bila hukum
ditegakkan dan para penambang tanpa izin (PETI) akan keluar dari wilayah ini
166
akan mempengaruhi nilai dukungan masyarakat kepada pemerintah pada
pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif.
Pada item ini lebih diarahkan pada pendalaman konflik antara perusahaan
dengan pemerintah bila sumberdaya tambang akan dikelola secara professional.
Terdapat 23 responden yang menjawab tidak akan menimbulkan konflik antara
pemerintah dengan perusahaan (PT GM) atau 28 persen. Sebanyak 12 responden
yang menjawab bahwa pengelolaan secara profesional oleh perusahaan akan
menimbulkan konflik antar pemerintah dengan perusahaan atau 14,5 persen,
dengan total 35 responden yang menjawab pada item ini atau 42.2 persen. Bila
informasi ini dijadikan rujukan dalam menatakelola sumberdaya tambang
haruslah pemerintah dan para pihak termasuk LSM dan PETI sudah dapat duduk
bersama untuk menyusun resolusi konflik yang selama ini menjadi perdebatan.
Konflik perusahaan dengan Pemerintah dapat dilihat pada Lampiran 21.
Isu-isu konflik adanya pemanfaatan sumberdaya tambang secara
profesional bukan saja muncul antara masyarakat di sekitar lahan konsesi dengan
perusahaan (PT GM) namun potensi konflik dapat terjadi antara masyarakat
dengan pemerintah akibat arah kebijakan pembangunan ekonomi dengan
mengoptimalkan pemanfaata sumberdaya tambang secara profesional kepada
perusahaan tambang. Sebanyak 9 responden menjawab tidak akan menimbulkan
konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 11 persen dan yang menjawab
akan menimbulkan konflik 10 responden atau 12.0 persen. Mengenai kohesivitas
pemerintah dengan masyarakat ditampilkan pada Lampiran 22.
Arah dari item ini bagaimana peran lembaga sosial kemasyarakatan yang
ada dapat memfasilitasi kemungkinan konflik antara pemerintah dengan
masyarakat terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tambang di
lahan konsesi PT Gorontalo Minerals secara profesional. Sebanyak 14 responden
menjawab bahwa lembaga sosial kemasyarakatan ini tidak bisa menyelesaikan
kemungkinan konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 17 persen,
sedang yang menjawab bahwa kelembagaan sosial kemasyarakatan itu bias
mengatasi konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 10 persen. Terkait
dengan organisasi kemasyarakat untuk memfasilitasi konflik Pemerintah dengan
masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 23.
167
Lampiran 24 mendiskripsikan bentuk-bentuk konflik di wilayah timpang
tindih tersebut. Dijumpai bentuk konflik beda pendapat 3 responden, belum ada
konflik dan penertiban masing-masing 1 responden, konflik pengeboran 2
responden, perebutan kekuasaan dan salah paham 2 responden. Selanjutnya
perebutan lahan-lahan pertambangan tanpa izin 3 responden, perebutan lahan
pomukiman diwilayah konsesi kontrak karya 3 responden, perkelahian antar
warga 3 responden dan konflik minuman keras 1 responden serta konflik rumah
tangga 1 responden. Terdapat 20 responden yang menjawab pertanyaan item ini.
Dijumpai persaingan antar kelompok penambang tanpa izin di lokasi
penambangan cukup rawan dan relatif mudah terprovokasi karena karakter
pekerjaan dan sulitnya medan yang ditempuh karena bergunung-gunung membuat
perilaku penambang tanpa izin terkesan keras dan mudah tersinggung. Pengaruh
lain yaitu adanya persaingan antara kelompok penambang dengan kelompok
penambang lainnya cukup tinggi terutama bagaimana dapat mempertahankan
lahan-lahan yang menurut mereka memiliki potensi tambang serta siapa yang
menjadi beking masing-masing pemilik lahan dan tromol tersebut.
Arah pertanyaan terakhir lebih mencari solusi alternatif penyelesaian
konflik. Diharapkan alternatif ini dapat menjadi bagian penting dalam
memberikan umpan kepada para pihak agar saat pengelolaan secara professional
oleh perusahaan kemungkinan konflik dapat diperkecil dan bahkan dapat
memberikan informasi dan pengalaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Terkait dengan alternatif penyelesaian konflik dapat dilihat pada Lampiran
25 Tabel alternatif penyelesaian konflik. Responden yang menjawab yaitu konflik
dapat diselesaikan melalui jalur hukum 1 responden, dengan model musyawarah
mufakat yaitu 8 responden. Selanjutnya 4 responden memilih alternatif solusi
penyelesaian konflik yaitu penertiban, kemudian menjawab dengan persetujuan
masing-masing pihak 1 responden. Terakhir jawabannya yaitu PT Gorontalo
Minerals menghentikan dulu operasinya sampai saat yang lebih menjamin
keamanan dan kenyaman para pekerja yaitu 1 responden. Hirarki yang paling
tinggi dalam budaya kita yaitu musyawarah, artinya meskipun konflik ini belum
dapat teratasi namun keinginan masyarakat bermusyawarah masih cukup terbuka.
168
7.1.2 Partisipasi (Participation)
Prinsip kekuasaan berada di tangan negara namun kedaulatan berada
ditangan rakyat. Hal ini membutuhkan pelibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan baik secara langsung atau melalui model intermediasi atau
lembaga yang mewakili kepentingan masing-masing secara konstruktif dan
dibangun diatas kejujuran. Oleh karena itu pada penelitian ini telah dieksplorasi
tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di
Kabupaten Bone Bolango.
Mengetahui peran keterlibatan masyarakat dalam advokasi atau
penyuluhan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang. Dijumpai bahwa
keinginan berpartisipasi masyarakat cukup tinggi dimana 83 responden yang
menjawab turut berpartisipasi yaitu 34 atau 41.0 persen. Sementara yang tidak
berpartisipasi yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Akan tetapi yang tidak
menjawab lebih banyak bila dibanding dengan yang tidak berpartisipasi yaitu 33
responden 39.8 persen. Keengganan masyarakat ini lebih dikarenakan oleh belum
optimalnya model materi advokasi yang disampaikan terutama kepada masyarakat
yang bermukim di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya
PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 26.
Meskipun pada model partisipasi advokasi masyarakat di wilayah konsesi
relatif tidak optimal. Namun dijumpai keikutsertaan masyarakat didalam kegiatan
penyuluhan cukup baik yaitu 52 responden yang mengikuti penyuluhan atau 63
persen dan yang tidak mengikuti sebanyak 28 responden 34 persen. Sedangkan
yang tidak jelas hanya 3 responden atau 4 persen. Meskipun mengikuti itu kurang
bermakna bila dibanding dengan makna partisipasi namun penting adanya suatu
proses pencapaian hasil advokasi atau penyuluhan bukan dilihat dari aspek hasil.
Kapasitas atau tingkat pendidikan masyarakat yang relatif kurang baik merupakan
satu aspek yang perlu dipertimbangkan. Terkait dengan intesitas mengikuti
penyuluhan dapat dilihat pada Lampiran 27.
Kemampuan masyarakat tentang isi advokasi relatif cukup baik, hal ini
dapat dilihat pada Lampiran 28, dimana responden menjawab tahu dan mengerti
isi advokasi yaitu 54 responden atau 65.1 persen dan responden yang tidak tahu
dan tidak mengerti sebanyak 26 atau 31.3persen. Sedangkan responden yang tidak
169
menjawab yaitu 3 orang atau 3,6 persen. Lampiran 28 mengenai kemampuan
menyerap materi advokasi menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam
menyerap informasi tentang penyuluhan atau arahan mengenai pertambangan
profesional sudah cukup baik. Hal ini tidak terlepas dengan adanya kemajuan
teknologi, kepekaan masyarakat terhadap kemajuan dan kebaruan informasi cukup
cepat terutama mengenai informasi pertambangan yang sepertinya sudah tidak
sulit lagi bagi mereka (PETI) untuk mendapatkannya.
Aspek penting yang dijumpai di masyarakat pemukim pada wilayah
berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu sifat dukungan terhadap
pemanfaatan sumberdaya tambang. Terlihat bahwa responden yang menjawab
sangat mendukung yaitu 43 responden atau 52 persen dan yang cukup mendukung
yaitu 28 responden atau 34 persen. Responden yang kurang mendukung sebanyak
8 responden atau 10 persen dari total 83 responden yang berhasil diwawancarai.
Variabel sangat mendukung dan cukup mendukung yang dijawab responden
merupakan informasi yang baik dan menjadi harapan para pihak untuk mendesain
pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional tanpak mengabaikan aspek
lingkungan terutama masyarakat yang bermukim diwilayah tumpang tindih.
Bobot ini cukup berkaitan dengan kapasitas masyarakat dalam mengikuti
penyuluhan atau pengarahan dari para pihak. Semakin baik kualitas pemahaman
masyarakat maka semakin meningkat bobot pemahaman masyarakat terhadap
pemanfaatan sumberdaya tambang. Akan tetapi responden yang kurang
mendukung akan berkembang bila upaya advokasi tidak dilakukan secara baik
terutama kepada penambang tanpa izin karena upaya untuk melegalkan PETI ini
cukup berkembang. Misalnya seperti dijumpai dibeberapa aktivis mahasiswa dan
tokoh masyarakat menginginkan agar sebagian wilayah konsesi kontrak karya
tersebut diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat.
7.1.3 Kesepakatan (Consensus Orientation)
Orientasi membangun kesepakatan dalam mediasi antara kepentingan yang
berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas
dan jangka panjang dalam penelitian ini dicoba dilihat dari aspek dukungan
masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang di wilayah kontrak karya
170
PT Gorontalo Minerals. Hal ini seperti digambarkan pada hasil wawancara dalam
angket. Mengenai sifat dukungan pemanfaatan sumberdya tambang dapat dilihat
pada Lampiran 29.
Terkait dengan dukungan yang disampaikan oleh responden pada
Lampiran 28, maka pada Lampiran 30 Tabel tentang bentuk dan dukungan
pemanfaatan sumberdaya tambang sasarannya yaitu mengetahui bagaimana
dukungan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya tambang secara
profesional. Total responden yang memberikan jawaban atau saran diterima yaitu
54 atau 65,1 persen. Responden yang menolak idea atau saran sebanyak16
responden atau 19.3 persen dan yang tidak menjawab yaitu 13 responden atau
15.7 persen.
Selanjutnya penting untuk mengetahui apakah masyarakat di wilayah
berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya mengikuti dan menyalurkan
aspirasinya lewat organisasi atau lembaga di tingkat lingkungan. Nampak bahwa
masyarakat enggan atau kurang tertarik menyampaikan hal itu didalam organisasi
dimana terdapat 46 responden yang menjawab tidak mengikuti organisasi atau
55.4 persen. Selanjutnya responden yang mengikuti organisasi yaitu 32 responden
atau 39 persen, namun yang tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen.
Umumnya masyarakat kurang tertarik masuk dalam organisasi karena lembaga
organisasi relatif menyusun kegiatan program yang bersifat ritual sedangkan
organisasi yang menyusun program terkait dengan isu-isu konflik pemanfaatan
ruang relatif tidak ditemui.
Indikator bahwa kelembagaan sosial ekonomi dan budaya memberikan
peran terhadap interaksi dan kohesivitas masyarakat dalam rangka menjadi salah
satu penentu apabila pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional akan
diwujudkan. Meskipun bobot keterlibatan masyarakat masih harus didalami dalam
kajian ilmiah selanjutnya agar nanti rekomondasi akan lebih berbobot pula.
Lampiran 31 lebih memperjelas mengenai keterlibatan dalam organisasi.
Keengganan masyarakat mengikuti organisasi menjadi tolok ukur penting bagi
para pihak terutama pemerintah dan pemegang izin kontrak karya untuk
membangun konsensus melalui penyadaran institutionl kepada para pihak agar
kesepakatan tersebut dapat dipahami secara melembaga dan dapat dipertanggung
171
jawabkan kepada publik untuk dinaungi bersama serta mengedepankan
kepentingan semua pihak diatas kepentingan sendiri maupun kelompok.
Demikian pula masyarakat yang mengikuti organisasi dan memiliki
kedudukan dalam organisasi relatif sedikit. Masyarakat yang ikut berorganisasi
dan memiliki kedudukan yaitu 27 responden atau 32.5 persen dan yang tidak
memiliki kedudukan dalam organisasi relatif lebih banyak yaitu 48 responden atau
58 persen. Sedangkan responden tidak menjawab sebanyak 8 responden atau 10
persen. Kedudukan dalam organisasi lebih disebabkan oleh kapasitas dan
pengalaman berorganisasi yang relatif kurang. Aspek kehadiran dalam rapat
organisasi relatif baik dimana jumlah responden yang sering hadir yaitu 30
responden atau 36.1 persen dan selalu hadir yaitu 10 responden. Sementara
responden yang jarang hadir yaitu 16 reponden dan yang tidak ikut hadir yaitu 22
responden atau 26.5 persen.ada pula responden yang tidak mejawab yaitu 5
responden atau 6.0 persen. Bila ditotalkan antara jarang hadir, sering hadir dan
selalu hadir yaitu 55 reponden atau 67.4 persen.
Animo masyarakat menghadiri rapat organisasi cukup besar dan peluang
untuk membangun komunikasi yang baik dalam rangka mencari resolusi konflik
yang terbaik cukup terbuka. Hal ini dijumpai di lokasi penelitian bahwa frekuensi
kehadiran merupakan bentuk partisipasi masyarakat di dalam membangun
interaksi yang berbobot cukup besar bahkan keinginan ini sering disampaikan
lewat media massa lokal. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 32.
Frekuensi kehadiran dalam rapat organisasi cukup intensif karena obyek
atau agenda yang sering muncul yaitu adanya informasi tentang potensi
pertambangan memiliki nilai ekonomi cukup baik. Dijumpai bahwa beberapa
tokoh masyarakat dan organisasi kepemudaan, termasuk mahasiswa terkesan
menolak Konsesi kontrak karya karena alasan akan kehilangan pekerjaan di PETI
namun sebagian juga mendukung karena mereka berharap akan menjadi bagian
karyawan diperusahaan tambang.
Keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran disetiap pertemuan
dalam organisasi diindikasikan melalui jawaban responden. Sebanyak 27
responden tidak memiliki saran atau 32.5 persen. Responden yang jarang
memberikan saran yaitu 20 responden atau 24.1 persen dan responden yang sering
172
memberikan saran sebanyak 18 responden atau 22 persen. Ada pula responden
yang selalu memberi saran yaitu 13 responden atau 16 persen, kemudian tidak
menjawab yaitu 5 responden atau 6 persen. Umumnya masyarakat di wilayah
yang berhimpitan langsung dengan Konsesi Kontrak karya menginformasikan
bahwa penduduk asli itu sebagian mengetahui tentang wilayah kontrak karya.
Pemahaman akan status kelembagaan hukum kontrak karya relatif sedikit.
Misalnya masyarakat yang pernah menjadi tenaga kerja diperusahaan pemilik
konsesi sebelumnya. Faktor kurangnya penyampaian informasi dan adanya
desakan kebutuhan ekonomi yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya
penduduk disekitar kawasan konsesi tersebut menyebabkan resolusi konflik
sampai hari ini masih dalam proses untuk mencari formulasi yang dapat diterima
oleh semua pihak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun pemanfaatan
lahan secara ekspansif baik untuk kebutuhan pemukiman, sarana dan prasarana
pemerintah. Aspek keterlibatan memberikan saran dapat dilihat pada Lampiran 33
Kapasitas pemahaman masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya tambang
terutama yang bermukim disekitar kawasan konsesi di ilustrasikan melalui
jawaban responden pada Lampiran 34. Terdapat responden yang menjawab tidak
tahu dan tidak paham sebanyak 25 responden atau 30.1 persen, sedangkan
responden tahu dan paham yaitu 53 responden atau 64 persen, namun yang tidak
menjawab sebanyak 5 responden atau 6.0 persen. Dijumpai di lokasi penelitian
masyarakat ada yang pernah melakukan dan yang sedang melakukan
pertambangan tanpa izin memiliki pengalaman secara otodidak mereka
mempelajari tentang jenis batuan yang mengandung logam mulia dan
memprosesnya dengan mesin yang sudah modern serta memisahkan logam-logam
tersebut dengan Mercuri/Cianida. Kemampuan masyarakat dalam menggunakan
zat kimia ini sangat sulit terdeteksi. Pada bagian ini responden lebih banyak
memilih bungkam karena takut ketahuan menggunakan. Sehingga hal tersebut
menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat sedemikian mudah dapat
menggunakan zat ini secara bebas atau karena ada aparat yang melakukan upaya
perlindungan.
173
7.1.4. Keterbukaan (Transparence)
Status kawasan telah beberapa kali mengalami perubahan. Sejak
ditetapkannya wilayah ini manjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
(TNWB) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1127/Kpts-
II/1992 tanggal 12 Desember 1992. Kemudian ditinjau kembali statusnya menjadi
Hutan Produksi Terbatas melalui kajian Tim Terpadu dalam Revisi Tata Ruang
Wilayah Provinsi Gorontalo oleh Menteri Kehutanan Repulik Indonesia kepada
Gubernur Gorontalo Nomor S.238/Menhut-VII/2010 tanggal 14 Mei 2010.
Selanjutnya ditetapkan lagi dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi
Gorontalo tanggal 29 Desember 2011 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah
Provinsi Gorontalo. Item di atas menjadi bagian pertanyaan yang diajukan kepada
responden dengan jawaban yaitu 27 responden menjawab perubahan status
kawasan tersebut tidak diketahui atau 32.5 persen. Responden yang menjawab
tahu yaitu 7 responden atau 8.4 persen dengan total yang menjawab yaitu 34
responden atau 41.0 persen dari total 83 responden. Indikasi ketidaktahuan
masyarakat terhadap perubahan status kawasan adalah suatu fakta bahwa
sosialisasi tentang perubahan status kawasan kepada masyarakat masih sebatas
sosialisasi di forum-forum seminar saja. Sedangkan bagaimana sosialisasi tersebut
untuk membangun pemahaman amsyarakat secara konsisten dengan model
komunikasi yang mudah dipahami adalah penting untuk menghindari eskalasi
konflik yang sering terjadi diwilayah tumpang tindih tersebut. Hal ini dapat dilihat
pada Lampiran 35 Tabel perubahan status kawasan.
Selanjutnya mengenai informasi adanya potensi tambang di wilayah
konsesi dapat dilihat pada Lampiran 36. Informasi ini sangat cepat sampai kepada
masyarakat tentang status kontrak karya baik generesi pertama maupun generasi
ke tujuh. Saat ini telah ditelusuri bahwasanya informasi tersebut telah sampai
kepada masyarakat terutama pada pemukim disekitar kawasan konsesi. Pada
analisis tabel frekuensi diketahui bahwa responden yang tidak tahu tentang status
kontrak karya 21 responden atau 25.3 persen dan yang tahu hal itu 4 responden
atau 5 persen. Disimak dari persentase pengetahuan masyarakat tentang status
kontrak karya lebih didominasi oleh ketidaktahuan masyarakat, bukti konkrit
174
seperti yang telah dijumpai di lokasi penelitian terdapat 21 responden mengatakan
bahwa kontrak karya ini mereka tidak tahu.
Unsur ini lebih dilihat dari pandangan kemudahan mendapatkan informasi.
Dimana proses pemanfaatan sumberdaya tambang dapat langsung diakses oleh
para pihak yang membutuhkan secara bertanggung jawab. Proses pemanfaatan ini
dapat dimonitor dan dipahami secara berkelanjutan dan konsisten untuk
menyampaikan kepada publik agar nanti informasi ini menjadi bagian
peningkatan pemahaman masyarakat tentang pertambangan. Mengenai
pemahaman terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang dapat dilihat pada
Lampiran 37.
Terkait dengan permulaan memperoleh informasi tentang wilayah yang
memiliki cadangan emas dan tembaga yang telah diteliti atau dieksplorasi oleh
perusahaan sebelumnya yaitu informasi dari Pemerintah, jawaban responden
sebanyak 11 responden atau 13.3 persen. Sedangkan yang menjawab informasi itu
dari bekas staf pegawai perusahaan yang melakukan eksplorasi 15 responden atau
18.1 persen dengan jumlah yang menjawab yaitu 26 responden atau 31.3 persen.
Berikut informasi dari salah seorang bekas staf di perusahaan pertambangan
pemegang kontrak karya sebelumnya PT Tropic Endeavour Indonesia pemegang
kontrak karya generasi kedua tahun 1971:
(Saya jadi pegawai diperusahaan PT Tropic dan saya tahu disini bekas eksplorasi
perusahaan mulai dari titik bor 1 sampai titik kesekian itu saya tahu tempatnya,
mulai dari motomboto, sungai mak, cabang kiri dan cabang kanan sudah
diekplorasi oleh Tropic. Tapi sayang perusahaan tidak melanjutkan izin kontrak
karyanya setelah berakhir tahun 1986 pedahal kami yang paling makmur di
Gorntalo saat itu karena gaji kami lebih tinggi dari pegawai negeri: Pak Guru
Ridha).
Variabel ketidaktahuan ini cukup signifikan, oleh karena itu perlu ada
upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang status kawasan konsesi
kontrak karya. Lebih diasumsikan kepada keengganan masyarakat penambang
untuk tidak menanggapi informasi. Pada lokasi penelitian beberapa penambang
tanpa izin memiliki sifat antipati terhadap keberadaan perusahaan, karena akan
mengusik keberadaan mereka (PETI). Namun ketidaktahuan masyarakat adalah
175
bentuk yang perlu dipertanyakan karena saat ini masing-masing melakukan
aktivitas di lokasi yang berhimpitan dan tidak saling mengenal. Artinya terdapat
perasaan yang tidak ingin tahu tentang lahan kontrak karya yang telah dimulai
sejak tahun 1971 oleh beberapa perusahaan pertambangan ini meskipun isu yang
masih menjadi perdebata. Lampiran 38 mengenai informasi status kontrak karya.
Peran informal leader atau tokoh masyarakat untuk menjembatani resolusi
konflik terkait konsesi kontrak karya yang berhimpitan langsung dengan
pemukiman serta kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dapat dilihat pada
Lampiran 39. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak berperan aktif
sebanyak 36 responden atau 43.4 persen dan menjawab berperan aktif yaitu 39
responden atau 47.0 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 8 responden
atau 10 persen. Nampak bahwa peran tokoh masyarakat relatif seimbang antara
berperan dan tidak mengambil peran aktif, meskipun demikian responden yang
menjawab bahwa tokoh masyarakat tetap memberikan peranan aktif dalam
penyelesaian konflik ini cukup baik.
Aktualiasi peran tokoh masyarakat telah didalami sampai sejauh mana
penerimaannya terhadap keluhan masyarakat terkait dengan konflik kawasan ini,
nampak Lampiran 40. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak
menerima keluhan sebanyak 40 atau 48.2 persen dan selalu menerima keluhan
sebanyak 27 responden atau 32.5 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu
16 responden atau 19.3 persen. Konotasi tokoh masyarakat lebih diarahkan pada
tokoh politik, hal ini menjadi potret umum bahwa terkadang politisi itu akan lebih
melihat pada masyarakat yang mendukungnya/konstituennya, sehingga
masyarakat yang bersebrangan dengan kepentingannya kurang dilayani. Mengenai
peran tokoh masyarakat menerima keluhan dan informasi dari masyarakat dapat
dilihat pada Lampiran 40.
7.1.5 Kepekaan (Responsiveness)
Unsur ini berpandangan bahwa setiap proses dan kelembagaan yang
sedang dirancanakan dan diimplementasikan harus dapat memberikan pelayanan
kepada para pihak. Artinya aspek sosial budaya dalam membangun resolusi
konflik merupakan model yang dapat diterima oleh semua pihak karena
176
dipandang oleh semua pihak bahwa nilai-nilai budaya yang merupakan bagian
dari cara masyarakat untuk mencari solusi di setiap konflik yang muncul adalah
sebuah keniscayaan.
Meskipun nilai-nilai sosial budaya ini semakin luntur karena adanya
budaya luar yang masuk lewat media saat ini, namun ada saatnya nilai-nilai sosial
budaya tersebut dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang ada. Sebab
kemampuan nilai-nilai kearifan lokal dapat berada di semua kepentingan para
pihak. Seperti pada Lampiran 41 yang mendeskripsikan keaktifan masyarakat
dalam kegiatan organisasi sosial budaya. Responden yang menjawab mengikuti
organisasi sosial budaya yaitu 24 responden atau 29 persen dan tidak mengikuti
organisasi sosial budaya yaitu 19 responden atau 23 persen sedangkan yang tidak
menjawab sebanyak 40 responden atau 48.2persen. Potret data ini menjelaskan
bahwa keengganan masyarakat terhadap organisasi sosial budaya semakin terkikis
oleh aktivitas keseharian masyarkat meskipun mereka dibayang-bayangi oleh
persoalan konflik kawasan . Terkait dengan organisasi sosial budaya dapat dilihat
pada Lampiran 41.
Selanjutnya penelitian ini ditingkatkan pada pertanyaan alasan perlu
adanya organisasi sosial budaya. Terdapat beberapa alasan yang disampaikan
yaitu item banyak hal yang dapat dikembangkan 1 responden atau 1.2 persen,
keterkaitanya terhadap pengembangan lembaga desa terdapat 1 responden yang
menjawab 1.2 persen. Jawaban adanya organisasi ekonomi yaitu 1 responden atau
1.2 persen, kemudian yang merasa ekonomi rumah tangga terbantu yaitu 4
responden atau 5 persen, terkait dengan keberadaanya dalam organisasi terdapat 1
responden atau 1.2 persen. Terdapat pula 2 responden nyang menjawab bahwa
organisasi sosial budaya memberikan bantuan modal atau 2.4 persen. Responden
yang menjawab bahwa organisasi ini dapat membantu perekonomian yaitu 1
responden atau 1.2 persen, selanjutnya bahwa organisasi ini memberi penunjang,
memenuhi kebutuhan, organisasi memiliki pengaruh, organisasi mendukung
kemajuan, organisasi sebagai sarana pengembangan masyarakat juga sebagai
penghidupan ekonomi masing-masing 1 responden atau 1.2 persen. Mengenai
alasan perlu adanya organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 42.
177
Aspek yang berkaitan dengan perlu tidaknya syarat organisasi sosial
budaya dapat dilihat pada Lampiran 43. Dimana terdapat 61 responden yang
melakukan jawaban dan diantara responden tersebut hanya dua variabel yang
mendapatkan 2 jawaban dari responden yaitu mengikuti aturan dan variabel
memberdayakakan masyarakat. Item ini penting untuk membangun model
kelembagaan masyarakat kemasa yang akan datang karena sangat terkait variabel
mana menurut masyarakat yang perlu diutamakan. Artinya masyarakat cukup
menghargai aturan kelembagaan termasuk pola pemberdayaan masyarakat
cenderung yang dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pola
preferensi ini masih didominasi oleh variabel lain yang begitu banyak, dengan
angka masing-masing 1 responden namun dapat digarisbawahi bahwa keinginan
masyarakat untuk membangun kelembagaan sosial budaya ini cukup responsif.
Mengenai sayarat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 43.
Meskipun dari akumulasi persentasi hanya 48.5 persen atau sekitar 50
responden yang tidak menjawab item ini. Penting untuk mengetahui apakah
organisasi sosial budaya memiliki manfaat atau tidak buat masyarakat. Terdapat
16 responden yang menjawab tidak ada manfaat atau 19.3 persen dan yang
menjawab bahwa organisasi sosial budaya memiliki manfaat yaitu 17 responden
atau 20.5 persen. Responden memiliki pilihan antara manfaat dan tidaknya suatu
organisasi sosial budaya pada lokasi penelitian ini relatif seimbang. Terkait
dengan manfaat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 44.
Pada aspek kelengkapan organisasi yang diikuti masyarakat dalam artian
bahwa instrument dan struktur serta atribut organisasi telah dimiliki oleh
organisasi dapatlah dilihat pada tabel dibawah ini terdapat 13 responden yang
menjawab bahwa organisasi yang diikuti belum memilki kelengkapan atau 16
persen dan 11 responden yang menjawab bahwa organisasi tersebut telah
memiliki kelengkapan atau 13.3 persen sedangkan yang tidak menjawab yaitu 59
responden atu 71.1 persen.
Kelengkapan organisasi adalah intrumen untuk mencapai tujuan organisasi
yang akan menjadi bagian dari proses transformasi manajemen, budaya kerja dan
hubungan formal antara masyarakat yang membutuhkan tindak lanjut dan pada
akhirnya kelengkapan ini akan menjadi input yang akan diproses menjadi bagian
178
dari transformasi itu sendiri dalam dinamika organisasi kemasyarakatan dalam
suatu sistem kelembagaan. Oleh karena itu kelengkapan berada posisi penting
terutama kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang
saat ini yaitu teknologi. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 45 Tabel kelengkapan
organisasi yang diikuti.
Keterkaitan organisasi yang diikuti dengan pelestarian lingkungan
memiliki akumulasi persentasi yang relatif kecil yaitu 29 persen dari rata-rata total
responden. Akan tetapi aspek ini memiliki hubungan yang penting dengan aspek
pemanfaatan lahan diwilayah konsesi kontrak karya. Penambang tanpa izin dan
pemanfaatan pertanian dan perkebunan sebanyak 8 responden yang menjawab
kegiatan pelestarian lingkungan tidak diikuti atau 10 persen dan yang menjawab
mengikuti program pelestarian lingkungan yaitu 20 responden atau 71.4 persen.
Pada lokasi penelitian terdapat lahan-lahan yang kritis tidak dimanfaatkan lagi dan
dibiyarkan begitu saja karena sesuai denga informasi masyarakat bahwa ada
kebiasaan masyarakat untuk melakukan perladangan berpindah-pindah. Mengenai
organisasi pelestarian lingkungan dapat dilihat pada Lampiran 46.
Syarat organisasi dalam memelihara lingkungan memiliki akumulasi
persentase yang baik yaitu validitasnya mecapai 83.1 persen atau rata-rat 69
responden yang menjawab terkait dengan pertanyaan. Item bekerja sama, gotong
royong, kerja sama, menjaga kebersihan dan pemeliharaan lingkungan, semua
aturan harus diikuti serta tidak membuang sampah sembarang masing-masing 1
responden atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab bahwa tenaga kerja harus
siap yaitu 2 responden atau 2.4 persen. Keterlibatan organisasi dalam menjaga
lingkungan relatif tidak aktif terutama bagaimana membangun organisasi yang
memiliki persyaratan program terhadap pelestarian lingkungan. Sehingga nampak
beberapa anak sungai telah mengalami kekeringan karena hulu dari sungai
tersebut telah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan perkebunan dan sebagian
sungai juga telah berubah warna air karena limbah pertambangan tanpa izin
dialirkan lewat sungai-sungai tersebut. Beberapa penelitian menyampaika
hasilnya bahwa air sungai tersebut telah menurun kualitasnya dan berbahaya
untuk digunakan masyarakat. Oleh karena itu penting adanya organisasi yang
bergerak dibidang lingkungan yang bertujuan memberikan informasi dan advokasi
179
kepada masyarakat terkait dengan pelestarian lingkungan. Terdapat pula
organisasi yang disyaratkan untuk menjaga lingkungan, dapat dilhat pada
Lampiran 47.
Aspek kearifan lokal merupakan tata nilai yang tidak tertulis dalam
hubungan kekerabatan antar masyarakat merupakan hal yang diperlukan, seperti
pada tabel dibawah ini terdapat 12 responden yang menjawab bahwa dalam
organisasi sosial perlu mengedepankan kearifan lokal disetiap penyelesaian
konflik atau 14.5 persen dan menjawab tidak ada kearifan lokal dalam setiap
organisasi sosial yaitu 12 responden atau 14.5persen. sedangkan tidak menjawab
yaitu 59 responden atau 71.1 persen sehingga nampak pada akumulasi persentase
yaitu 50.0 persen atau dapat diinterpretasi bahwa aspek kearifan lokal diwilayah
berhimpitan langsung dengan konsesi relatif kecil bahkan mengalami degradasi.
Mengenai kearifan lokal dalam pembahasan dapat dilihat pada Lampiran 48.
Demikian pula pada aspek syarat organisasi tetap memelihara kearifan
lokal bila dilihat dari partisipasi responden untuk menjawab pertanyaan ini yaitu
belum adanya upaya pemeliharaan kearifan lokal sebagai syarat dalam organisasi
sosial 18 responden atau 22 persen. Responden yang menjawab sudah ada yaitu 5
responden atau 6.0 persen, sedangkan yang tidak menjawab yaitu 60 responden
atau 72.3 persen. Kegiatan organisasi sosial dengan tetap mempertahankan
kearifan lokal yang bersifat keagamaan seperti Zikir (Dikili), Mi’raz (meerazi)
surunani, buruda dan kegiatan olahraga tradisional seperti langga semakin
menurun peminatnya terutama dikalangan pemuda. Aspek syarat kearifan lokal
pada oraginasi sosial dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 49.
Selanjutnya bila disimak bagaimana peran organisasi sosial dalam
menyelesaikan konflik nampak pada akumulasi persentasi model tabel frekuensi
yaitu 56.5 persen, bila dibandingkan dengan responden yang tidak menjawab
yaitu 60 atau 72.3 persen maka nilai harapan untuk menggunakan atau member
peran terhadap organisasi sosial relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari responden
yang menjawab bahwa organisasi sosial tidak berperan dalam penyelesaian
konflik yaitu 13 atau 16 persen dan menjawab bahwa organisasi memainkan peran
dalam penyelesaian konflik yaitu 10 responden atau 12.0 persen. Organisasi yang
sering tampil dalam penyelesaian konflik bukanlah organisasi sosial, tetapi
180
organisasi non formal yang mengatasnamakan kelompok seperti Asosiasi
Pertambangan Rakyat yang memperjuangkan keinginan mereka untuk
memperoleh sebagian wilayah pertambangan dikawasan konsesi kontrak karya PT
Gorontalo Minerals. Terkait dengan peran organisasi dalam meyelesaikan konflik
yang dibahas, dapat dilhat tabelnya pada Lampiran 50.
Komponen penting dalam menyiapkan persyaratan perangkat organisasi
terkait dengan integritas orang-orang dalam organisasi dibutuhkan agar hasil yang
diinginkan bukan untuk kepentingan kelompok ataupun pribadi. Responden yang
menjawab belum ada perangkat organisasi yang baik sebanyak 15 responden atau
18.1 persen dan yang menjawab sudah ada perangkat atau persyaratan organisasi
sosia dalam menyelesaikan konflik yaitu 8 responden atau 10 persen. Sedangkan
yang tidak menjawab sebanyak 60 responden atau 72.3 persen. Dijumpai pada
spesifikasi persoalan ini kurang dapat dipahami oleh masyarakat terutama
bagaimana membentuk organisasi yang memiliki kapasitas kelembagaan hukum.
Adapun syarat yang di miliki organisasi dalam penyelesaian konflik yang dibahas
pada item ini dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 51.
7.1.6 Keadilan (Equity)
Setiap warga masyarakat yang berada di sekitar pemanfaatan sumberdaya
tambang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi bagian naik
langsung maupun tidak langsung dalam proses meningkatkan kapasitas ekonomi
dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik dengan adanya pemanfaatan
sumberdaya tambang ini. Hal ini menjadi jawaban juga atas isu-isu negatif
terhadap kegiatan pertambangan disuatu wilayah yang tidak memperbaiki
ketimpangan pembangunan wilayah. Penelitian ini akan lebih memaknai aspek
keadilan ini secara mendalam dengan melihat bagaimana kelembagaan ekonomi
yang ada disekitar kawasan pemanfaatan sumberdaya tambang.
Sejak Tahun 1983 kegiatan perekonomian telah ada, wilayah ini masih
merupakan bagian dari Kabupaten Gorontalo (Kabupaten Induk) dan juga saat itu
masih bagian wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Meskipun relatif
usaha perekonomian ini tidak begitu berkembang namun indikasi ini
menunjukkan bahwa di wilayah ini telah ada aktivitas perekonomian masyarakat
181
bahkan dijumpai terdapat beberapa pasar mingguan dan 1 buah Pelabuhan
Pelelangan Ikan di Kecamatan Bulawa yang semua wilayah administrasinya
berada didalam kawasan konsesi kontrak Karya, Potensi perikasnan laut di pesisir
Toluk Tomini cukup potensial namun belum ada investasi yang berskala besar .
Terkait dengan waktu terbentuk lembaga ekonomi yang dibahas pada aspek ini,
dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 52.
Aspek ini membahas tentang perkembangan lembaga ekonomi dari tahun-
ketahun. Terdapat peningkatan jumlah kelembagaan pada Tahun 1990 yaitu 8
responden atau 10 persen dalam artian bahwa terdapat 8 responden yang memiliki
usaha ekonomi dan pada Tahun 1992 dan 1998 terjadi peningkatan 3 unit usaha
ekonomi hingga pada tahun 2005. Terdapat 5 unit usaha ekonomi dan sampai
akhir 2009 terdapat 2 unit usaha ekonomi sehingga dijumlahkan menjadi 34 unit
usaha ekonomi yang dimiliki oleh responden.
Pada aspek ini dibahas tentang kepemilikan usaha ekonomi yang telah
dijelaskan pada tabel di Lampiran 53. Sebanyak 60 persen yang menjawab pada
item pertanyaan ini yang lebih ditujukan kepada kepemilikan atau posisi pada
usaha, terdapat 1 responden sebagai bendahara, 1 responden sebagai buruh, 1
responden sebagai nelayan. Hal yang menarik terdapat 1 responden sebagai
pedagang sekaligus pemilik tromol atau masing-masing 1.2 persen. Terdapat pula
4 responden sebagai pedagang atau 5persen, kemudian sebagai pemilik usaha 18
responden atau 22 persen, serta 1 responden menjawab usahanya adalah milik
keluarga. Usaha ekonomi yang menarik dan unik yaitu 7 responden yang
menjawab sebagai pemilik Tromol atau 9 persen dimana usaha tersebut
merupakan bukti bahwa pertambangan tanpa izin telah menjadi bagian dari usaha
perekonomian masyarakat di wilayah konsesi kontrak karya. Mengenai
kepemilikan dalam lembaga ekonomi dapat dilihat pada Lampiran 53. Selain
usaha lembaga ekonomi, terdapat juga kegiatan ekonomi masyarakat yang bersifat
massal, yaitu sebagai anggota PKK, arisan uang, pemanfaatan lahan kosong,
jualan makan tradisional, sumbangan duka dan sumbangan acara perkawinan
masing-masing 1 responden atau 1.2persen dan kegiatan arisan barang seperti
alat-alat rumah tangga dan perabot yaitu 24 responden atau 29persen .
182
Kegiatan ekonomi seperti ini cukup maju terutama di kalangan ibu-ibu
rumah tangga untuk memanfaatkan waktu. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 53
Tabel kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu usaha ekonomi ini memilki
administrasi yang sederhana dan lebih mengedepankan kepercayaan dimasing-
masing anggota arisan karena model ini hampir sama dengan orang menabung di
Bank meskipun tidak ada bunganya namun masyarakat lebih memilih hal ini
karena memelihara hubungan sosial dan kekerabatan antar masyarakat dan
keluarga yang ikut serta dalam arisan. Di sisi lain rumah tangga keluarga merasa
terbantu karena uang yang disimpan lewat arisan dapat diperoleh kembali
sehingga berbeda dengan uang tersebut hanya disimpan di rumah.
Terdapat 22 jenis organisasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan di
wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya. Terlihat bahwa
Ketua RT, ekonomi produktif, PNPM, Gotong Royong, Arisan, Huyula, huyulah
PNPM, Jama Tablig, Karang Taruna, KNPI HIPMI, Majelis Ta’lim Yatim Piatu,
majelis ta’lim PAB PNPM, PNPM pembangunan MCK, rukun duka, tadarus ibu-
ibu PKK, ta’mirul Masjid BPD, Taman pengajian Alquran masing-masing 1
responden dan organisasi nelayan 3 responden atau 4persen, juga arisan tadarus
Alquran sebanyak 8 responden atau 10 persen. Demikian pula taman pengajian 2
responden atau 2,4 persen. Dijumpai terdapat sarana olahraga seperti lapangan
sepak bola dan lapangan bola voli namun bila dilihat dari berbagai macam
organisasi pada tabelberikut bahwa organisasi olahraga nyaris tidak ada, demikian
juga organisasi kelembagaan petani relatif tidak ditemui meskipun pemanfaatan
lahan pada wilayah konsesi kontrak karya terus meluas.
Aspek ini cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan kepada responden pada
item sebelumnya, karena keikutsertaan masyarakat pada lembaga sosial ekonomi
dan kemasyarakatan merupakan indikasi bahwa kesadaran masyarakat untuk
menyampaika saran dan pemikiran secara melembaga semakin berkembang dan
juga keinginan untuk mengetahui informasi atau saran dari anggota atau
msayarakat lain dapat diperoleh melalui keaktifan mereka mengikuti organisasi
tersebut. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang dibahas pada aspek ini
dapat dilihat Lampiran 54.
183
Organisasi yang paling banyak diikuti masyarakat disekitar kawasan
pemukiman yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu arisan
PKK dan pengajian 2 responden atau 2.4 persen. Kegiatan arisan tadarus Alquran
2 responden atau 2,4 persen, bakti sosial 1 reponden atau 1,2 persen. Selanjutnya
pemilihan ketua DPC 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1 reponden atau
1.2 persen, karang taruna 7 responden atau 8.4 persen, karang taruna dan arisan 2
responden 2.4 persen, karang taruna, gotong royong 14 responden atau 17 persen,
karang taruna KNPI dan HIPMI, 1 responden atau 1.2persen, organisasi
keagamaan 1 responden, pengajian 2 responden atau 2.4 persen, PNPM 3
responden atau 3.6 persen, PNPM dan air bersih 1 responden atau 1.2persen dan
terakhir yaitu Taman Pengajian Alquran 1 responden atau 1.2 persen.
Total responden yang menjawab pada item ini sebanyak 44 atau 53.0
persen dari total 83 responden. Lebih dari 50 persen responden yang menjawab
pertanyaan ini. Sementara itu jumlah organisasi sosial ekonomi dan
kemasyarakatan yang paling banyak diikuti sebanyak 15 organisasi, hal ini
merupakan bentuk keinginan masyarakat untuk mengikuti perkembangan
informasi dan juga merupakan bentuk perkumpulan yang menjadi pilihan utama
karena kemungkinan pilihan organisasi selain itu sulit dijumpai dan meskipun ada
pusat kegiatannya lebih banyak di ibu kota kabupaten atau kota di setiap daerah.
Pilihan organisasi kemasyarakatan gotong royong dan karang taruna lebih
banyak diminati masyarakat sebagai indikasi disekitar kawasan konsesi kontrak
karya masih terpelihara tradisi gotong royong dalam bahasa Gorontalo yaitu
(Mohuyula), dan juga pada jaman yang semakin maju pun tradisi seperti itu masih
dapat dijumpai dalam masyarakat terutama pemukim yang berada dikawasan yang
berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals.
Aspek sosial ekonomi yang dibahas pada item dapat dilihat Lampiran 55.
Pola jawaban yang disampaikan reponden pada item pertanyaan berikut ini
memiliki keterkaitan langsung dengan pertanyaan yang telah dideskripsikan
diatas. Nampak pada jawaban responden yaitu arisan dan tadarus Alquran 2
responden atau 2.4 persen, BPD 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1
responden atau 1.2 persen, Karang taruna ditingkat Desa 3 responden atau
3.6persen, karang taruna ditingkat Kecamatan 2 responden atau 2.4persen, karang
184
taruna arisan 1 responden atau 1.2 persen, karang taruna gotong royong 11
responden atau 13.3 persen, selanjutnya karang taruna KNPI dan HIPMI 1
responden atau 1.2 persen, PKK kerja bakti 1 responden atau 1.2 persen, PNPM 3
responden atau 3.6 persen, PNPM air bersih dan MCK 1 responden atau
1.2persen, PNPM perbaikan jalan 2 responden atau 2.4 persen dan terakhir yaitu
organisasi sosial kesehatan 1 responden atau 1.2 persen.
Meskipun bentuk pertanyaan pada item ini bukan memilih namun menulis
sendiri bagi setiap responden dalam bentuk matriks isian. Hasilnya menunjukkan
bahwa organisasi yang bergerak atau berkecimpung dibidang pertanian dan
perkebunan nyaris tidak dijumpai namun secara eksplisit bahwa kegiatan
organisasi yang paling banyak memberikan manfaat yaitu karang taruna dan
gotong royong memiliki kedekatan dengan kegiatan pertanian dalam organisasi
usahatani atau nelayan yang merupakan pilihan yang sesuai dengan kondisi
georafis yang terdiri dari daratan dan pantai. Hal tersebut terkesan kontradiktif,
namun boleh jadi muncul pertanyaan apakah hal ini terjadi karena kurangnya
keadilan ekonomi dalam mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
dibidang ini atau mungkin adanya pilihan yang lebih baik seperti menjadi pekerja
di PETI. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang bermanfaat dibahas pada
aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 56.
Bentuk manfaat yang diperoleh dalam organisasi sosial ekonomi dan
kemasyarakatan yaitu yang menjawb baik 1 responden atau 1.2 persen. Jawaban
bahwa organisasi bermanfaat untuk belajar mengaji dan menabung 2 responden
atau 2.4 persen. Manfaatnya desa mengalami perkembangan yaitu 2 responden
atau 2.4 persen, desa mengalami perkembangan 1 responden atau 1.2 persen dan
masih jawaban yang sama yaitu desa mengalami perkembangan 7 responden,
kemudian desa mengalami perubahan 1 responden atau 1.2 persen, desa menjadi
berkembang 1 responden atau 1.2 persen, desa menjadi lebih baik 1 responden
juga 3 responden memberikan jawaban yang sama atau 4 persen, jalan semakin
membaik 1 responden atau 1.2 persen.
Kebersihan lingkungan terpelihara 1 responden atau 1.2 persen, ketertiban
masyarakat 1 responden atau 1.2 persen, lingkungan menjadi bersih 1 responden
1.2 persen, lingkungan terjaga denga baik dan memuaskan juga mendapatka
185
pengebatan yang gratis masing-masing 1 responden atau masing-masing 1.2
persen, menjalin persaudaraan 1 responden atau 1.2 persen, menyentuh
kepentingan masyarakat 1 responden atau 1.2 persen. Selanjutnya mudah
memperoleh air bersih dan desa berkembang masing 1 responden lagi, terjalinnya
tali persaudaraan yaitu 3 responden atau 3.6persen, dan terakhir tidak perlu ke kali
karena telah tersedia MCK yaitu 1 responden atau 1.2 persen. Hal ini dapat dilihat
pada Lampiran 57 Tabel bentuk manfaat organisasi sosial ekonomi.
Bila ditelaah dari isi tabel ini cukup banyak hal-hal yang terulangi dalam
bentuk jawaban responden. Tetapi jawaban ini merupakan jawaban masing-
masing secara terpisah disampaikan disetiap angket, sehingga hasil pengujiannya
terdapat kesamaan dalam tabel. Item pertanyaan dapat dipengaruhi juga oleh
kapasitas responden memberikan jawaban, sehingga perlu pencermatan dilokasi
penelitian agar pertanyaan ini tetap akan mendapatkan jawaban.
Pada aspek ini peneliti mencermati kebutuhan dasar masyarakat sekitar
kawasan yang berhimpitan langsung denga konsesi kontrak karya seperti sarana
dan prasana dasar, terdapat 59 responden yang menjawab atau 71.1 persen terkait
dengan sarana. Secara detil dapat disampaikan yaitu yang menjawab bahwa sarana
dasar itu buruk sebanyak 6 responden atau 7.2 persen. Ada pula yang menjawab
sarana dasar itu kondisinya sedang 40 responden atau 48.2 persen. Selanjutnya
yang menjawab sarana dalam keadaan baik yaitu 13 reponden atau 16 persen dan
tidak menjawab sebanyak 24 responden atau 29 persen. Mengenai persepsi
terhadap sarana yang dibahas pada item ini dapat dilihat pada Lampiran 58.
Terkait dengan pendalaman pertanyaan yaitu persepsi terhadap sarana
perhubungan disekitar kawasan yang berhimpitan langsung dilihat pada Lampiran
51 Tabel persepsi terhadap sarana perhubungan. Lampiran menunjukkan bahwa
sarana perhubungan dalam keadaan buruk 28 responden atau 34 persen, dan
jawaban bahwa sarana perhubungan kondisinya sedang yaitu 12 responden atau
14.5persen. responden yang menjawab sarana perhubungan kondisinya baik 10
responden atau 12.0 persen, selanjutnya tidak menjawab 33 responden atau 40
persen. Bila dibanding denga responden yang menjawab masih lebih banyak yaitu
58 responden atau 60.2 persen.
186
Pada item sarana perekonomian, masyarakat lebih terbuka menyampaikan
keadaan atau kondisi sarana ini karena kegiatan masyarakat sangat tergantung
pada sarana perekonomian ini untuk melakukan transaksi. Terdapat 31 responden
yang menjawab sarana perekonomian buruk 37.3 persen dan yang menjawab
kondisi sarana perekonomian sedang yaitu 12 responden atau 14.5 persen.
Selanjutnya yang menyatakan baik yaitu 8 responden atau 10 persen hingga total
51 responden atau 61.4 persen dari total 83 responden. Terkait dengan persepsi
terhadap sarana perekonomian yang dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 59.
Kebutuhan dasar masyarakat lainnya seperti sarana kesehatan sangat
penting untuk didalami kondisinya. Masyarakat yang menjawab bahwa kondisi
sarana kesehatan di wilayah berhimpitan langsung dalam keadaan buruk yaitu 39
responden atau 47.0 persen, dan yang menjawab sarana kesehatan dalam kondisi
sedang yaitu 8 responden atau 10 persen. Selanjutnya yang menjawab sarana
kesehatan dalam kondisi baik yaitu 3 responden atau 4 persen. Nampak bahwa
masyarakat lebih menjawab bahwa kondisi sarana kesehatan relatif buruk
meskipun dijumpai terdapat 1 buah Rumah Sakit Umum Daerah di Tombulilato
Kecamatan Bone. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 60 Tabel Persepsi terhadap
sarana kesehatan.
Sarana dasar lain yang sangat dibutuhkan masyarakat disekitar wilayah
konsesi kontrak karya yaitu pendidikan, pada umumnya sarana pendidikan ini
relatif kondisinya kurang baik. Jawaban masyarakat terkait dengan persepsi
terhadap sarana pendidikan yaitu 47 responden menyampaikan bahwa kondisi
sarana pendidikan dalam keadaan buruk atau 57 persen. Selanjutnya jawaban
bahwa kondisi sarana pendidikan sedang hanya 2 reponden atau 2.4 persen dan
menjawab bahwa sarana kesehatan baik yaitu 3 reponden atau 4 persen dengan
total jawaban terhadap item ini yeitu 52 responden atau 63 persen dari total 83
responden. Ketiadaan sarana pendidikan yang memenuhi standar minimal masih
jarang dijumpai di wilayah ini. Terdapat beberapa fasilitas Sekolah Dasar seperti
perpustakaan masih bergabung dengan ruangan guru bahkan ada yang bergabung
dengan ruang kelas. Ketersediaan buku di perpustakaan lebih banyak dari aspek
jumlahnya bukunya bukan jumlah jenis judul bukunya. Hal ini tidak sesuai
dengan prinsip keadilan bila ditinjau dari aspek keadilan masyarakat mendapatkan
187
pelayanan pendidikan yang baik. Terkait dengan persepsi masyarakat yang
dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 61.
Kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat terutama
diwilayah konsesi kontrak karya yaitu sarana penerangan listrik terutama sarana
ini dibutuhkan pada malam hari agar masyarakat tetap dapat melakukan aktivitas
sosial ekonomi dam meningkatkan perekonomian. Terdapat 25 responden yang
menjawab bahwa sarana penerangan buruk atau 30.1 persen sedangkan
jawabannya terhadapa sarana penerangan sedang yaitu 15 responden atau
18.1persen dan yang menjawab sarana penerangan baik yaitu 12 responden atau
14.5persen. Bila dibandingkan dengan tabel sebelumnya maka dikatakan sarana
penerangan relatif baik. Demikian juga untuk persepsi terhadap sarana penerangan
jalan dapat dilihat pada Lampiran 62.
Persepsi masyarakat terhadap Air bersih disekitar kawasan konsesi yang
berhimpitan langsung denga pemukiman relatif menjawab bahwa sarana air bersih
dalam keadaan buruk yaitu 38 responden atau 46 persen. Selanjutnya yang
menjawab bahwa sarana air bersih kondisinya sedang sebanyak 13 responden atau
16 persen, dan yang menjawab baik yaitu 5 responden atau 6.0 persen dengan
jumlah total responden yang menjawab yaitu 56 atau 67.5persen. Hal ini dapat
dijumpai pada beberapa daerah aliran sungai seperti Sungai Waluhu dan Sungai
Mamungaa telah mengalami perubahan warna akibat penambangan tanpa izin
dihulu sungai sehingga tidak layak lagi diproses manjadi air bersih. Mengenai
persepsi terhadap sarana air bersih yang dibahas, dapat dilihat tabelnya pada
Lampiran 63.
Aspek lain menarik dalam pembahasan ini yaitu terkait dengan sarana
ibadah di wilayah konsesi kontrak karya. Kecenderungan masyarakat menjawab
bahwa sarana ibadah dalam keadaan buruk yaitu 45 responden atau 54.2 persen,
dan yang menjawab bahwa sarana ibadah kondisinya sedang sebanyak 7
responden atau 8.4 persen. Jawaban bahwa sarana ibadah kondisinya baik 1
responden atau 1.2 persen dengan akumulasi persentase 85 persen. Sehingga
sarana ibadah realtif dipersepsikan buruk. Terkait dengan persepsi terhadap sarana
ibadah yang dibahas, dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 64.
188
Persepsi masyarakat diwilayah berhimpitan langsung dengan konsesi
kontrak karya terhadap kondisi sarana olahraga yaitu 32 responden yang
menjawab buruk atau 39 persen, selanjutnya yang menjawab sarana olahraga
dalam kondisi sedang 11 responden atau 13.3 persen dan yang menjawab sarana
olahraga dalam kondisi baik 10 responden atau 12.0 persen dengan kumulasi
persentasi 60.4persen atau dapat dikatan bahwa data terkait dengan penelitian
pada persepsi sarana olahraga cukup valid meskipun terdapat 30 responden atau
36.1 persen yang tidak menjawab. Tabel ini terdapat pada Lampiran 65.
7.1.7 Model Tata Kelola
Salah satu aspek penting model kelembagaan adalah mengenai tatakelola.
Pada penelitian ini aspek tatakelola didekati dengan model persepsi masyarakat di
sekitar wilayah tumpang tindih. Hasil dari pendekatan ini yaitu yang menjawaban
dari responden yaitu kurang sesuai sebanyak 6 responden atau 7.2persen, dan
menjawab cukup sesuai sebanyak 43 responden atau 52persen, kemudian yang
menjawab sangat sesuai yaitu 26 responden atau 31.3 persen. Dijumpai adanya
keinginan masyarakat untuk menerima pertambangan secara professional tanpa
mengabaikan pertamabngan secara tradisional. Demikian pula terkait dengan
pemukiman dimana keinginan untuk menetap dalam kawasan konsesi tersebut
meskipun pengelolaan pertambangan ini akan dilakukan secara professional.
Terkait dengan model pengelolaan sumberdaya tambang yang aktual dibahas,
dapat dilihat pada Lampiran 66
7.1.8 Biaya Transaksi (Transaction cost)
Model biaya transaksi yang didalami dalam penelitian ini diarahkan pada
kegiatan transaksi secara aktual yang dilakukan oleh penambang tanpa izin karena
kegiatan pertambangan yang telah sedang berlangsung saat ini yaitu kegiatan
(PETI). Kemudian diarahkan juga kepada biaya transaksi yang dilakukan oleh
pihak perusahaan PT Gorontalo Minerals meskipun perusahaan ini belum masuk
pada fase produksi. Hal ini dapat disampaikan bahwa pada Bab IV telah dibahas
asumsi-asumsi yang digunakan dalam biaya transaksi.
189
Dijumpai bahwa perusahaan memiliki beberapa staff yang direkrut dari
tokoh masyarakat dengan tugas utama yaitu mengkoordinasikan rencana kerja
perusahaan kepada Pemerintah di Kabupaten Bone Bolango dan memberikan
pemahaman tentang manfaat dari pertambangan terhadap masyarakat serta
kerugian yang diakibatkan oleh pertambangan. Pembahasan tentang biaya
transaksi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan dua sub komponen
yaitu:
A. Biaya Transaksi oleh Penambang Tanpa Izin (PETI)
Bentuk dukungan yang diberikan oleh para pihak pada penelitian ini
berkonsekuensi pada pembiayaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai biaya
perlindungan penambang tanpa izin. Hal ini dapat disimak pada pada penelusuran
penelitian yaitu masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 1 responden
atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab tidak memberikan biaya perlindungan
24 responden atau 29 persen sedang yang menjawab memberikan biaya
perlindungan 8 responden atau 10 persen. Total yang menjawab yaitu 33
responden atau 40persen. Terkait dengan biaya perlindungan PETI yang dibahas,
dapat dilihat pada Lampiran 67.
Meskipun jawaban mengeluarkan variabel biaya perlindungan hanya 8
responden, namun sedikit berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin
terhadap bentuk dan skema biaya perlindungan, nampak pada tabel frequensi
dimana penambang tanpa izin menjawab tergantung kebutuhan 2 responden atau
2.4 persen, sedangkan penambang menjawab skema biaya perlindungan tidak
menetu 10 responden atau 12.0 persen dan terakhir yang menjawab dengan skema
bagi hasil yaitu 2 reponden atau 2.4persen. Jumlah respoden yang menjawab pada
pertanyaan ini 14 responden atau 17persen sedikit meningkat dibanding dengan
pertanyaan sebelumnya. Hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa terdapat
beberapa aparat pemerintah terutama Kepelisian dan TNI yang menjadi beking
dari para PETI ini, termasuk wakil rakyat yang berada di DPRD Kabupaten Bone
Bolango yang teridentifikasi memiliki tromol di wilayah tumpang tindih dengan
lahan kotrak karya. Adapun komponen bentuk dan skema biaya perlindungan oleh
PETI dapat dilihat pada Lampiran 68.
190
B. Biaya Transaksi oleh Pihak Perusahaan Pertambangan
Kiat untuk meningkatkan usaha ekonomi melalui bantuan penguatan usaha
telah lama digulirkan, kenyataan ini merupakan fakta terbalik dari usaha ekonomi
yang ada disekitar kawasan konsesi kontrak karya, yang menjawab tidak
mengetahui bahwa ada bantuan pengembangan usaha yaitu 19 responden atau 23
persen, dan responden yang menjawab bahwa tidak pernah menerima bantuan
sebayak 18 responden atau 22 persen, sedangkan yang menjawab pernah
menerima bantuan yaitu 3 responden atau 4 persen. Hal ini merupakan informasi
bahwa bantuan untuk meningkatkan usaha tersebut belum sampai kepada
pengusaha kecil diwilayah ini, meskipun secara georafis daerah ini hanya memilki
satu ruas jalan dan merupakan jalan Trans Sulawesi lewat Pantai Selatan,
demikian pula diwilayah Kecamatan Suwawa Timur hanya terdapat satu ruas
jalan utama yang dapat mengakses kewilayah tersebut sehingga informasi terkait
dengan bantuan tersebut relatif mudah diperoleh. Dijumpai dimasyarakat bahwa
bantuan tersebut biasanya ada ketika mendekati Pemilihan Legislatif dan
Pemilihan Kepala Daerah. Terkait dengan penerimaan bantuan yang dibahas,
dapat dilihat pada Lampiran 69.
Meskipun pada tabel sebelumnya hanya terdapat 3 responden yang
menerima bantuan namun setelah ditelusuri terdapat dua lembaga pemberi
bantuan diwilayah ini yaitu 18 responden yang menjawab Lembaga Donor atau
22persen. Lembaga pemberi bantuan dari swasta dalam bentuk tanggung sosial
perusahaan (CSR) yaitu 1 responden. Dengan demikian bahwa pemberian bantuan
diwilah konsesi ini relatif ada meskipun dari total reponden yang menjawab hanya
19 atau 23 persen. Dijumpai dilokasi penelitian terutama sepanjang Jalan Trans
Sulawesi bagian selatan banyak usaha kecil yang berkembang, seperti pertokoan
atau kios barang campuran (kebutuhan sehari-hari) dan toko bahan bangunan dan
juga terdapat beberapa rumah makan diwilayah konsesi tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada Lampiran 70 .
Terkait dengan bantuan yang diberikan mencoba mendalami apakah
responden tersebut merasa terbantu. Dari data yang ada, responden yang merasa
terbantu hanya 5 atau 6.0 persen sedangkan yang merasa tidak mengetahui yaitu
33 responden atau 40 persen. Selanjutnya yang merasa tidak terbantu yaitu 1
191
responden atau 1.2 persen. Nampak bahwa konsistensi responden memberikan
jawan relatif tidak ada, terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
mengindikasikan bahwa terdapat jawaban-jawaban sebenarnya namun tidak
dikatakan oleh reponden.
Dijumpai kebiasaan ini mulai ada sejak adanya otonomi daerah dimana
salah satu pilar yang dilakukan yaitu pemilihan langsung baik eksekutif maupun
legislative, karena prinsip mereka yang penting ada bantuan dan pilihan pada
siapa itulah hak masyarakat. Indikasi lain yang ditemui yaitu adanya kejenuhan
masyarakat terkait dengan pertanyaan menyangkut bantuan peningkatan usaha,
karena lebih banyak hanya sekedar pengambilan data saja namun realisasi bantuan
nyaris tidak ada. Terdapat bantuan dalam bentuk natura yang disampaikan
pemerintah seperti bantuan sapi dan kambing disaat pemilihan Bupati pada tahun
2009 yang lalu. Setelah pemilihan terdapat isu bahwa bantuan akan ditarik lagi
karena Bupati yang terpilih bukan calon Bupati yang memberikan bantuan sapi
dan kambing tersebut. Sehingga itu motif politik dalam barbagai bantuan di
wilayah ini masih cukup tinggi. Terkait dengan pembahasan responden merasa
terbantu pada aspek ini dapat dilihat di Lampiran 71.
Secara umum pengaruh bantuan peningkatan usaha selalu menjadi
pertanyaan disetiap program bantuan yang dimaksud. Terdapat 29 responden yang
menjawab tidak tahu atau 35 persen, merasa usahanya tidak mengalami
peningkatan yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang meresa terjadi
peningkatan usaha karena adanya bantuan yaitu 6 responden atau 7.2 persen.
Dijumpai pula bahwa sebagian bantuan yang diberikan seperti sarana produksi
pertanian (saprodi) berupa bibit jagung, pupuk atau alat pertanian lainnya itu tidak
tepat waktu musim tanam sehingga bantuan ini tidak efektif bahkan beberapa
usaha penyalur bantuan merasa rugi dan lebih tidak baik lagi bantuan saprodI ini
sering diperjual belikan oleh petani penerima bantuan. Mengenai peningkatan
usaha yang dibahas pada item ini, dapat dilihat di lampiran 72.
192
7.2 Analisis Regresi Model Logistik Persepsi dan Kelembagaan
Untuk melihat lebih jernih mengenai aspek kelembagaan pada pendekatan
yuridis, maka dilakukan analisis Logistik yang merupakan proksi dari hasil
penelitian yang diawali dengan aspek profil rumah tangga responden kaitannya
terhadap partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang. Kemudian tingkat
partisipasi pada model advokasi, partisipasi pada persepsi responden terhadap
sarana dan prasarana, serta partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang pada
penambang tanpa izin (PETI). Hasil analisis ini dapat menjadi informasi bagi para
pihak untuk memilah dan memilih aspek-aspek manakah yang menjadi prioritas
dalam membangun dukungan masyarakat terutama terkait dengan konflik
kelembagaan dan konflik pemanfaatan. Analisis ini akan sangat membantu
melihat manakah variabel-variabel yang memiliki pengaruh kevariabel lain secara
positif (signifikan) dan manakah variabel-variabel yang tidak segnifikan namun
tetap memiliki hubungan atau pengaruh terhadap variabel-variabel yang diteliti.
Adapun aspek-aspek yang dianalisis dengan menggunakan model ini
antara lain:
7.2.1 Regresi Partisipasi Versus Jenis Kelamin dan Umur dan Pekerjaan
Terdapat 4 variabel yang akan di interpretasi pada uji logistik terhadap
aspek demografi responden yang telah di paparkan pada halaman sebelumnya dan
juga hasil uji statistik uji G serta hipotesis akan di deskripsikan sebagai berikut:
Statistik uji G, hasil analisis Logistik diperoleh model P Value 0.001 dengan
nilai Log-Likelihood = -51.292 yang mengindikasikan model Fit, dan test that all
slopes are zero: G = 22.457, DF = 6, P-Value = 0.001. secara umum hipotesis
yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model
Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ).
Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah
Jenis Kelamin, nilai-p) (0.008) < alpha 10 persen maka Jenis Kelamin
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 11.81 artinya pria
untuk berpartisipasi 11.81 kalinya dibandingkan wanita untuk berpartisipasi,
dengan kata lain kecenderungan pria lebih berperan dibandingkan wanita.
Selanjutnya variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah umur,
nilai-p) (0.038) < alpha 10 persen maka umur berpengaruh nyata terhadap
193
partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.90 artinya setiap kenaikan 1 tahun umur
maka peluang untuk berpartisipasi adalah 0.9 kalinya dibanding tidak
berpartisipasi. kecenderungan orang lebih muda lebih berpartisipasi diabndingkan
dengan orang yang lebih tua.
Demikian juga pada variabel X yang berpengaruh nyata terhadap
partisipasi adalah pendidikan SMA, nilai-p) (0.079) < alpha 10 persen maka
pendidikan sma berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar
2.56 peluang orang yang pendidikan SMA untuk berpartisipasi adalah 2.56
kalinya dibandingakan peluang seseorang yang pendidikannya SMP.
Komponen variabel X lain yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi
adalah pendidikan PT, nilai-p) (0.015) < alpha 10 persen maka pendidikan PT
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 15.19 peluang
orang yang pendidikan PT untuk berpartisipasi adalah 15.19 kalinya
dibandingakan peluang seseorang yang pendidikannya smp. Kesimpulan semakin
tinggi pendidikan maka peluang untuk berpartisipasi semakin besar.
7.2.2 Regresi Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan sumberdaya
Tambang
Pada aspek model advokasi pemanfaatan sumberdaya tambang
pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat nampaknya hanya 1 variabel yang
memiliki hubungan, hal ini dipengaruhi antara lain dijumpai dilokasi penelitian
program atau usaha para pihak untuk memberikan penyuluhan terhadap
masyarakat terutama yang bermukim diwilahan yang berhimpitan langsung
dengan dengan konsesi kontrak karya belum memperoleh penyuluhan atau
advokasi secara khusus yang dikaitkan dengan konflik pemanfatan lahan.
Statistik uji G, hasil analisis diperoleh nilai P value 0.000
mengindikasikan model fit dengan Log-Likelihood = -37.511 dan Test that all
slopes are zero: G = 50.019, DF = 10, P-Value = 0.000. untuk Hipotesis yaitu H0 :
Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model Fit (
minimal ada satu variabel X yang signifikan ).
Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah
mengikuti, nilai-p) (0.035) < alpha 10persen maka mengikuti berpengaruh nyata
194
terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 12.78 artinya seseorang yang
mengikuti penyuluhan peluang untuk berpartisipasi adalah 12.78 kalinya
dibandingkan dengan yang tidak mengikuti penyuluhan. Kecenderungan orang
yang mengikuti penyuluhan lebih berpartisipasi dibandingkan dengan yang tidak
mengikuti penyuluhan.
7.2.3 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Persepsi Responden
Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan
Sumberdaya Tambang
Uji Statistik logistik pada persepsi responden terhadap kesiapan sarana dan
prasarana hubungannya terhadap partisipasi yaitu terdapat 4 variabel yang
memiliki hubungan signifikan terhapa partisipasi antara lain variabel infrastruktur
jalan, variabel prasarana perhubungan, variabel sarana perekonomian seprti pasar,
Pelelangan ikan dan juga variabel sarana olahraga. Deskripsi dari masing-masing
variabel yaitu:
Statistik uji G, hasil analisis diperoleh Nilai-p (0.013) < alpha 10 persen
tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -52.022 dan Test that all
slopes are zero: G = 20.998, DF = 9, P-Value = 0.013. Untuk Hipotesis yaitu H0 :
Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) H1 : Model Fit ( minimal
ada satu variabel X yang signifikan ).
Komponen variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah
infrastruktur jalan, nilai-p)(0.027)<alpha 10persen maka persepsi infrastruktur
jalan berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 5.2 artinya
setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang berpartisipasi adalah 5.2 kalinya
dibandingkan tidak berpartisipasi. Kemudian diikuti oleh variabel X yang
berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah sarana perhubungan, nilai-
p)(0.003)<alpha 10 persen maka persepsi perhubungan jalan berpengaruh nyata
terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 4.71 artinya setiap kenaikan persepsi
kebaikan maka peluang perhubungan adalah 4.71 kalinya dibandingkan tidak
berpartisipasi.
Aspek lain dalam variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi
adalah sarana perekonomian , nilai-p) (0.060) < alpha 10 persen maka persepsi
perekonomian berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar
195
0.29 artinya setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang perekonomian
adalah 0.29 kalinya dibandingkan tidak berpartisipasi.
Selanjutnya variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah
sarana olah raga, nilai-p) (0.066) < alpha 10persen maka persepsi olah raga
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 3.02 artinya
setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang olah raga adalah 3.02 kalinya
dibandingkan tidak berpartisipasi.
7.2.4. Binary Logistic Regression Partisipasi versus Pertambangan Tanpa
Izin
Pada uji statistik logistik dengan masyarakat penambang tanpa izin
hubungan terdapa partisipasi terdapat 1 varibel yang memiliki hubungan
signifikan yaitu variabel kepemilikan terhadap pertambangan tanpa izin. Deskripsi
dari variabel tersebut sebagai berikut:
Statistik uji G adalah analisis diperoleh bahwa Nilai-p(0.006) < alpha
10persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -46.451 dan Test
that all slopes are zero: G = 32.139, DF = 15, P-Value = 0.006. Untuk Hipotesis
yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model
Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ).
Komponen pada variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi
adalah posisi (pemilik PETI), nilai-p) (0.062) < alpha 10persen maka posisi
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.062 artinya
kecenderungan yang bukan pemilik untuk berpartisipasi lebih tinggi dibandingkan
yang pemilik.
7.2.5 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang
Efektif dalam Penyelesaian Konflik
Pada aspek kelembagaan yang efektif dalam penyelesaian konflik
hubungannya dengan partisipasi responden pada penelitian ini, terdapat 1 variabel
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Variabel tersebut dapat dibaca setelah
statistik uji G dibawah ini.
196
Statistik uji G yaitu hasil analisis diperoleh bahwa Nilai-p (0.010) < alpha
10persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -55.917 dan Test
that all slopes are zero: G = 13.208, DF = 4, P-Value = 0.010. Untuk Hipotesis
yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model
Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Dari semua variabel X yang
berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah aktivitas sosial ekonomi, nilai-p)
(0.056) < alpha 10 persen maka aktivitas sosial ekonomi berpengaruh nyata
terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.40 artinya aktivitas ekonomi untuk
berpartisipasi 0.4 kalinya dibandingkan aktivitas sosial untuk berpartisipasi,
dengan kata lain kecenderungan orang yang beraktivitas sosial lebih berperan
dibandingkan yang beraktivitas ekonomi.
Apabila hasil uji logistik diatas di telaah dengan jumlah responden yang
telah diwawancarai dikaitkan dengan variabel yang cukup banyak untuk
diwawancarai maka potret output dari olehan data ini dengan jumlah responden
cukup memadai cukup mempengaruhi alat uji yang kita gunakan. Uji statistik
logistic yang dapat diinput dalam model ini memiliki keterbatasan kapasitas input
juga. Hal ini hanya dapat dilakukan, apabila jumlah responden yang menjadi
sampel ini cukup banyak .
Namun di sisi lain faktor geografis sampel lokasi menjadi penentu untuk
dapat memperoleh jumlah responden, dimana lokasi pengambilan sampel ini
berada di pegunungan dan jauh dari jankauan sarana jalan, dan juga karakter
penambang tanpa izin yang sulit untuk diwawancarai dapat menjadi faktor
penentu dalam pengambilan data ini. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut yang
diluar dari logika yang telah terbangun namun memilki hubungan yang signifikan
juga. Perspektif ruang dan kepemilikan serta penguasaan lahan yang diarahkan
pada konflik hukum telah mengawali penelitian ini dan dilanjutkan pada
perspektif ekonomi yang berbasis sumberdaya dan lingkungan sebagi rona awal
dari aspek pembangunan wilayah, nampak belum memberikan suatu makna dari
adanya ketidak pastian yang telah berjalan selama 40 tahun di wilayah ini. Oleh
karena itu model kelembagaan yang menjadi terobosan hukum namun tidak
menghilangkan makna sosial ekonomi jangka panjang menjadi salah satu resolusi
konflik pada penelitian ini. Model kelembagaan ini terilhami oleh pernyataan
197
seorang penggagas wilayah ini menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
yaitu:
“Silahkan diambil emas, tembaga, dan perak di wilayah ini karena barang ini di
ciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia bukan untuk tumbuhan, monyet, dan
burung yang ada di dalamnya, akan tetapi jangan diusir mereka dari wilayah ini”
(Muh. Suryani 2009).
Pernyataan ini mengandung makna bahwa perlu adanya resolusi yang
berbanding lurus antara kepentingan ekonomi jangka panjang dan lingkungan
yang seimbang dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran
universal. Selanjutnya untuk mengartikulasi pernyataan diatas, penelitian
mengadopsi dua mashab kelembagaan ekonomi yang baru (Hand Book New
Institutional Economics) dalam (Minerd and Shirley 2005) yang dipadukan
dengan data primer di lokasi penelitian terkait dengan pengembangan model
kelembagaan yaitu:
7.3 Analisis Yuridis dalam Pendekatan Institutional Arrangement
Mekanisme kelembagaan pada penelitian ini diarahkan pada prinsip-
prinsip keterpaduan antara aspek hukum perundang-undangan yang terkait dengan
kelembagaan pertambangan dan memiliki keterkaitan erat dengan kondisi riil
lokasi penelitian. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu:
7.3.1 Prinsip Human Capital
Dalam konteks institutional arrangement, salah satu komponen penting
untuk dipahami adalah prinsip hukum Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang
Minerba. Prinsip human capital terdapat pada pasal 20 sampai dengan pasal 26
yang berkaitan dengan penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Pada
pasal 67 ayat (1) menjelaskan tentang kewenangan Bupati/Walikota memberikan
IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat dan/atau koperasi. Selanjutnya pasal 106 menegaskan bahwa
pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja
setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan.
198
7.3.2 Prinsip Kemitraan
Prinsip kemitraan secara eksplisit terdapat pada pasal 107 Undang-Undang
Minerba yang menekankan agar dalam kegiatan operasi produksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK dan kontrak karya wajib mengikutsertakan pengusaha
lokal yang ada di daerah tersebut, sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-
undangan. Prinsip ini bermakna bahwa untuk mencegah kecumburuan sosial
terutama di wilayah sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone
Bolango perlu melibatkan pengusaha lokal dan koperasi atau membentuk badan
kerja bersama dengan melibatkan seluruh pihak yang memiliki pandangan (visi)
yang sama agar kerjasama tersebut akan lebih efektif dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai denga ketentuan yang berlaku.
Hal ini akan memberikan dorongan atau stimulus kepada pengusaha lokal untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka melalui pelatihan di bidang
usaha jasa pertambangan dan juga akan membuat biaya produksi perusahaan
pertambangan lebih efisien.
7.3.3 Prinsip Good Corporate Governance (GCG)
Prinsip ini dianggap sebuah keharusan dan diibaratkan seperti dua sisi
mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana GCG lebih mengarah pada
shareholders driven concept sedangkan prinsip model kelembagaan pemanfaatan
sumberdaya tambang kaitannya terhadap pembangunan wilayah lebih pada
stakeholders driven concept. Pada aspek ekonomi telah diatur dalam pasal 65 ayat
(1) Undang Undang Minerba yang menegaskan bahwa “badan usaha, Koperasi,
dan perseorangan seperti yang telah dijelaskan pada pasal 51, pasal 54, pasal 57,
dan pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi usaha
pertambangan, aspek administrasi, persayaratn teknis, persayaratan lingkungan,
dan persyaratan finansial.
7.3.4 Prinsip Pengembangan Komunitas
Makna penyusunan program pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat harus secara konsisten dan berkelanjutan mulai dari aspek
perencanaan, rencana aksi, yang melibatkan para pihak bertujuan untuk
199
meminimalisir resistensi dengan masyarakat termasuk LSM agar ketimpangan
wilayah sekitar yang selalu terjadi pada pemanfaatan sumberdaya tambang dapat
diminimalisir.
Meskipun telah dijelaskan pada pasal 108 jo pasal 39 ayat (1) huruf j dan
ayat (2) huruf n, pasal 78 huruf j dan pasal 79 huruf m Undang Undang Minerba
namun orientasinya lebih pada pengembangan masyarakat community
development . Pandangan ini cukup sempit bila dibandingkan dengan aspek
human capital dalam pandangan stakeholders driven concept. Pada pasal 95 huruf
d yang berkaitan dengan pemegang IUP dan IUPK serta kontrak karya untuk
melaksanakan pengembangan masyarakat setempat. Sedangkan pada pasal 106
Undang-undang minerba menegaskan pada para pemegang IUP dan IUPK harus
mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri.
7.3.5 Prinsip Pendidikan
Prinsip ini termuat pada pasal 39 ayat (2) huruf r berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerja dan huruf v berkaitan dengan pengembangan
tenaga kerja Indonesia. Pada pasal 79 huruf q berkaitan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja dan huruf u berkaitan dengan pengembangan tenaga kerja
Indonesia. Meskipun penekanan prinsip ini masih bersifat umum namun dapat
digarisbawahi bahwa peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal menjadi bagian dari
tanggung jawab perusahaan pemegang IUP, IUPK dan KK. Manfaat bagi
pemegang usaha kegiatan pertambangan dapat mengurangi biaya tidak tetap
terhadap pemanfaatan tenaga kerja asing yang harus disediakan akomodasi dan
transportasi lokalnya oleh pihak perusahaan.
7.3.6 Prinsip Keterbukaan Informasi
Makna dari prinsip ini lebih ditekankan pada peningkatan kapasitas
pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Pasal 64
berkaitan dengan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh pemerintah di WIUP kepada masyarakat secara terbuka.
200
Demikian pula pada pasal 139 berkaitan dengan kewajiban Menteri ESDM untuk
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan antara lain:
a) Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha
pertambangan. b) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi. c) Pendidikan
dan pelatihan; dan d) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemberitahuan,
dan evaluasi penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan
batubara.
Hasil pengamatan dilapangan bahwa prinsip keterbukaan informasi masih
cukup terbatas untuk dapat diakses oleh masyarakat, terutama berkaitan dengan
rencana anggaran dan produksi perusahaan pertambangan di suatu wilayah.
Meskipun hal ini erat kaitannya dengan etika perolehan informasi namun
komponen ini penting bagi masyarakat sebagai penerima manfaat dari usaha
pertambangan. Oleh karena itu perlu adanya kelembagaan yang dapat
menjembatani dua kepentingan tersebut.
7.3.7 Prinsip Pencegahan Perusakan lingkungan
Pada dasarnya pencegahan bermakna penanganan secara dini, oleh Karena
itu pemegang IUP , IUPK dan KK wajib memenuhi ketentuan AMDAL dan/atau
UKL/UPL sebagaimana yang telah diatur pada pasal 37 dan pasal 38 Undang-
Undang Minerba sehingga pencegahan dan perusakan lingkungan dapat diatasi
secara dini. Demikian pula pasal 99 Undang Undang Minerba telah menegaskan
bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan
rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP operasi produksi
dan IUPK operasi produksi.
Pada pasal 100 Undang Undang Minerba ayat (1) telah ditegaskan juga
bahwa Pemegang IUP dan IUP wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan
dan jaminan pasca tambang. Pada ayat (2) Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati
sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan
reklamasi dan pascatambang dengan dan jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). Kemudian pada ayat (3) menegaskan bahwa ketentuan sebagaimana pada
ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan
reklamasi dan pasca tambang sesuai denga rencana yang telah disetujui.
201
Pasal 145 ayat (1) Undang Undang Minerba lebih tegas lagi tentang
masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha
pertambangan yaitu a) memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam
pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan; b) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat
pegusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Bila disimak bahwa
pencegahan secara dini maupun penyelesaian kerusakan lingkungan akibat dari
kegiatan usaha pertambangan pada pasal ini telah cukup maju namun lebih
dituntut konsistensi dari semua pihak. Perlindungan hak-hak masyarakat yang
terkena dampak negatif langsung telah tertuang dalam pasal 145 Undang Undang
Minerba. Adanya jaminan ini dapat lebih bermakna apabila semua pihak
manyadari akan pentingnya suatu kelembagaan bersama institutional multi
stakeholders yang menjadi wadah bersama masyarakat untuk menyusun program,
menerapkan program, mengevaluasi program dan mempertanggung jawabkan
program serta wujud kegiatannya kepada masyarakat secara profesional.
7.4 Sintesa Kerangka Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya
Tambang Sebagai Alternatif Resolusi Konflik di Kabupaten Bone
Bolango
Adapun sintesa yang telah diformulasi berdasarkan hasil analisis fakta dan
telah diperkaya dengan pendekatan institutional arrangement dan institutional
governance untuk mendukung kerangka resolusi dalam kasus yang diangkat
dalam penelitian ini yaitu:
7.4.1. Kerangka Resolusi
Adanya ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah
konflik konsesi pertambangan PT Gorontalo Minerals telah ada sejak awal
terbentuknya kawasan konservasi, sejak statusnya sebagai Hutan Suaka
Margasatwa pada tahun 1971 sampai berstatus Taman Nasional pada tahun
1991 sampai Kawasan TNBNW, dan berlanjut terus sampai saat ini.
Berlangsungnya konflik yang telah berjalan selama 40 tahun, tanpa ada
pemecahan yang tuntas, mengakibatkan secara defacto wilayah konflik tidak
memiliki kejelasan tentang hak tenurial (tenurial right) atas kawasan dan
sumberdaya tambang yang terkandung di dalamnya. Keadaan ini
202
menimbulkan kesan bahwa status kawasan berikut sumberdaya tambangnya
berpeluang menjadi open access tanpa kontrol yang signifikan dari
pemerintah yang berkewenangan dalam mengatur sumberdaya publik. Hal
ini dimaknai sebagai kondisi ”kekosongan kelembagaan formal”.
Kegagalan memerintah (failur governace) terhadap berlangsungnya situasi
di atas akan menjadikan semakin besarnya peluang konflik yang berakibat
pada tren negatif dalam dampak lingkungan, jika tidak segera dilakukan
pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan yang terencana dan terkendali.
Hasil analisis fakta pada aspek sosial budaya menunjukkan adanya interaksi
sosial antarpihak dalam masyarakat yang cenderung bersifat kompetisi. Para
pihak merasa mempunyai dasar klaim pemanfaatan sebagai implikasi dari
kekosongan kelembagaan yang antara lain berlandaskan pada legitimasi
politik lokal, struktural birokrasi, pemerintah daerah, pemerintah,
cukong/permodalan lokal, dan PT Gorontalo Minerals serta Taman Nasional
sendiri. Kompleksitas situasi inilah yang membuat sulitnya mencapai solusi
tuntas apabila hanya mendasarkan pada pendekatan generik berupa
penegakan hukum (law enforcement) semata tanpa mengimbagi dengan
pendekatan soial ekonomi.
Konflik kelembagaan antar pihak terjadi secara horizontal antar para pelaku
di tingkat lapangan, dan juga secara vertikal dalam struktur birokrasi
kepemerintahan (daerah – pusat).
Konflik pada tataran regulasi juga terjadi, yang dipicu oleh distribusi
ekonomi dan kewenangan pengambilan keputusan yang lebih
mengedepankan distrubusi bagihasil yang merata dengan tidak diimbangi
oleh distribusi resiko dan konsekuensi yang ditanggung oleh daerah
penghasil.
Berdasarkan fakta di atas, maka menjadi hal yang penting untuk
mengembangkan upaya bersama untuk resolusi konflik yang mampu
mengakomodasi kepentingan para pihak tersebut. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan model Dewan Tambang dengan azas keadilan
dan keseimbangan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, dan
203
dilengkapi dengan struktur eksekutif yang digunakan adalah lembaga multi
pihak di Kabupaten Bone Bolango.
7.4.2 Tujuan dan Kerangka Struktur Kelembagaan Dewan Tambang serta
Lembaga Multi pihak di Kabupaten Bone Bolango
Tujuan dari formulasi struktur kelembagaan dewan tambang dan lembaga
multi pihak antara lain yaitu:
Formulasi kelembagaan yang didukung oleh legalitas (keabsahan formal)
dan legitimasi (pengakuan para pihak) diharapkan akan menghadirkan
kelembagaan yang akan memberikan kejelasan tentang pemain, pembagian
peran dan aturan main, serta penataan hak atas manfaat kawasan dan
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Konflik kepentingan pada dasarnya berada pada tataran regulasi juga, oleh
karena itu dalam membangun resolusi konflik perlu memperkaya pandangan
kelembangaan melalui spektrum lebih luas. Artinya batasan regulasi dan
kewenangan yang menjadi bagian dari sumber konflik dalam tataran hukum
harus bersenyawa dengan fakta hukum dilokasi penelitian ini. Kemudian
multi pihak yang dimaksud diharap lebih mengedepankan
komunikasi/dialog dalam membangun keputusan.
Adapun resiko dan konsekuensi atas model kelembagaan ini, baik dalam
aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, menjadi dasar dalam
pengembangan resolusi konflik yang bersifat win-win solusion. Artinya,
multi pihak akan memahami bahwa dibalik manfaat yang menjadi hasrat dal
model kelembagaan ini, tersimpan potensi resiko yang harus dihadapi dalam
proses pencapaian tujuan.
Apabila diperoleh solusi bersama berupa diperolehnya model kelembagaan
tambang di Kabupaten Bone Bolango, maka permasalahan tidak berhenti
disitu. Solusi harus menjawab persoalan bagaimana terbangunnya suatu
koordinasi dan pengelolaan kelembagaan tambang yang baik. Hal ini
sebagai bentuk respon balik yang kontruktif dan positif terhadap persoalan
distribusi manfaat yang diperoleh masyarakat setempat, pemerintah daerah,
pemerintah, menjadi hal yang perlu dipertimbangkan secara matang,
khususnya dalam rasionalitasnya sebagai penerima resiko. Keberadaan PETI
204
yang eksis di wilayah konsesi kontrak karya juga merupakan komponen
yang perlu disertakan dan dirumuskan transformasi legalitas model
kelembagaan tambang dalam sistem pengelolaan yang akan dikembangkan.
7.4.3. Struktur Kelembagaan Dewan Tambang.
A. Pendekatan Konsideran
Adapun pedoman yuridis dalam penyelenggaraan Model Kelembagaan
Sumberdaya tambang ini yaitu:
1. Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
pasal 2 ayat (1) huruf e yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan
kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat
dimana kepemilikan saham dalam PT Gorontalo Minerals di kuasai oleh
perusahaan BUMN yaitu PT Aneka Tambang sebanyak 20 persen.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 10
ayat (1), (3) dan (4) berkaitan denga ketenagakerjaan, Pasal 17 berkaitan
dengan kewajiban mengalokasikan dana untuk pemulihan lingkungan.
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas Pasal 74
ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang pengaturan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yaitu
Bab XX tentang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan
pelatihan Pasal 146 dan pasal 148 yaitu pemerintah harus mendorong
penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan pertambangan.
5. Undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Pasal
menegaskan bahwa dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
harus mengacu pada empat asas yaitu:
a. Manfaat, keadilan dan keseimbangan;
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas
d. Keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.
205
B. Pendekatan Prinsip Kelembagaan dewan Tambang
Dewan Tambang adalah model kelembagaan yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan para pihak dengan 3 prinsip utama yaitu:
1. Prinsip Ekonomi.
Artinya Dewan tambang ini dibentuk untuk meningkatkan kapasitas
ekonomi masyarakat di sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang melalui
program pemberdayaan ekonomi masyarakat agar kelak ketimpangan
wilayah pemanfaatan dan wilayah sekitarnya dapat terhindarkan.
2. Prinsip Sosiologi dan Antropologi.
Bahwa dewan tambang dibentuk untuk menjaga dan memelihara aktivitas
sosial budaya masyarakat sebagai perekat hubungan antar masyarakat yang
memiliki suku, kepercayaan dan agama yang sama dan hubungan antar
masyarakat yang berbeda agar kelak isu-isu konflik dapat diselesaikan
dengan pendekatan kultur yang ada disekitar kawasan. Dikawasan ini
terdapat Enclove Pinogu lokasinya berada di Zona inti kawasan Taman
Nasional Bogani Nani wartabone yang di tempati oleh masyarakat asli
gorontalo sekitar 1000 KK dimana dilokasi ini terdapat situs-situs
peninggalan sejarah keberadaan masyarakat Gorontalo (Eksistensi) yang
perlu dipelihara dan diarahkan secara terpadu agar enclove tersebut tidak
akan meluas kewilayah Zona inti Taman Nasional.
3. Prinsip Ekologi.
Dewan tambang dibentuk untuk menjamin pemeliharaan lingkungan sekitar
kawasan karena status wilayah ini adalah Hutan produksi terbatas HPT (Ex
Taman Nasional) yang berhimpitan langsung dengan Taman Nasional
Bogani nani warta Bone melalui program nyata dan terpadu serta
melibatkan seluruh para pihak agar adanya pemanfaatan sumberdaya
tambang yang diharapkan akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi disekitar kawasan namun tidak mengabaikan faktor ekologi atau
lingkungan.
206
Perusahaan
Pertambangan
Pemerintah pusat
dan daerah
Partial
RightLembaga
Multi Pihak
Masyarakat
Penambang
Tradisional
Masyarakat (Pemukiman
di Sekitar Kawasan
Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan
(CSR)
Transfer
Payment
Dewan Tambang
Dana Tambang
C. Pendekatan Tugas dan Fungsi Dewan Tambang
Berdasarkan intisari dari hasil analisis yang diperoleh maka struktur
kelembagaan diusulkan konteks ini seperti terlihat pada Gambar 39 berikut.
Gambar 39. Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di
Kabupaten Bone Bolango Legenda:
: Player
: Right Structure and Manajemen
: Rent flow / Rent Capture
: Garis Koordinasi
Adapun tugas pokok yaitu penyelenggara rencana kegiatan kerja
framework didalamnya terdapat model lembaga yang disebut Institutional Multi
pihak adalah model kelembagaan penerima manfaat atas sumberdaya tambang
secara konsisten dan konsekuen serta penuh tanggung jawab serta memiliki
dedikasi dan loyalitas terhadap lembaga penerima manfaat. Adapun fungsi
lembaga yaitu melakukan transformasi organisasi kelembagaan secara bertahap
dan konsisten serta menyerap aspirasi para pihak secara konstruktif dengan tetap
memperhatikan aspek yuridis.
207
Secara eksplisit seluruh arahan yuridis yang telah dideskripsikan diatas
memberikan signal yang kuat terhadap pembentukan dan penyelenggaraan
manfaat pertambangan secara melembaga agar efisiensi dan efektifitas
penerimaan manfaat dapat dikelola selanjutnya dalam penelitian ini disebut
Institutional multi Pihak. Adapun mekanisme tugas dan funsi Dewan Tambang
kepada Lembaga Multi Pihak yaitu:
1. Dewan Tambang dengan lembaga Multi Pihak sebagai pelaksana teknis
adalah lembaga yang bersifat formal berbadan hukum yang dibentuk
berdasarka statuta yang didaftarkan pada Akta Notaris dan sebagai
pengejawantahan dari isu-isu buruk tentang pertambangan terutama
kaitannya terhadap ketimpangan wilayah dan kerusakan lingkungan yang
terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
2. Dewan Tambang adalah yayasan yang terdiri dari orang-orang yang dipilih
langsung oleh masyarakat yang merupakan perwakilan pemerintah, tokoh
masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan perwakilan perusahaan
Pertambangan berazaskan Pancasila dan UUD 1945 serta bertaqwa kepada
Allah SWT, memiliki kecakapan, dengan masa tugas kerja selama 5 tahun.
3. Dewan Tambang memiliki lembaga teknis yang selanjutnya disebut
Lembaga Multi Pihak berazaskan Pancasila dan UUD 1945 serta bertaqwa
kepada Allah SWT, memiliki kecakapan yang dipilih langsung oleh
masyarakat berdasarkan kriteria dan aturan serta mekanisme yang telah
disusun sebelumnya.
4. Lembaga Multi pihak akan bekerja selama 1 Tahun dan akan menerima
tunjangan kerja lembaga sesuai dengan kesapakatan dan kemampuan
anggaran serta akan dievaluasi kinerjanya kenudian akan dipilih kembali
oleh dewan penganggaran mineral.
5. Membentuk forum penyusun program dan jabaran pembiayaan dan
mengkoordinasikan program kerja tahunan kepada para pihak untuk
mendapatkan kesepakatan untuk selanjutnya disampaikan kepada Dewan
Penganggaran Mineral untuk disetujui dan diajukan kepada PT Gorontalo
Minerals untuk manjadi bagian dari program kerja Pengembangan
208
komunitas (Comdev) dan Tanggung Jawab sosial Perusahaan (CSR)
kemudian diserahkan kembali kepada Dewan Penganggaran Minerals.
6. Dewan Penganggaran Minerals melakuan rapat dengan pihak perwakilan
perusahaan untuk menyepakati waktu pembahasan dan realisasi anggaran
berdasarkan item-item program kerja serta model monitoring bersama
terhadap implementasi program kerja.
7. Lembaga Multi Pihak akan menerima paket kesepakatan nomor (6) dan
akan disampaikan kepada publik secara terbuka melalui media masa lokal
untuk selanjutnya memberikan waktu selama 1 minggu kepada untuk
memberikan tanggapan ataupun koreksi secara konstruktif terhitung sejak
dokumen kesepakatan tersebut disampaikan ke publik. Apabila tanggapan
ataupun kritikan tersebut melewati batas waktu disampaikan maka dianggap
kadaluarsa.
D. Pendekatan Satuan Kerja Dewan Tambang
Berdasarkan tiga prinsip utama yang menjadi visi dalam model
kelembagaan ini, maka Lembaga Multi Pihak yang menjadi badan eksekutif dari
Dewan Tambang akan memiliki tiga divisi. Adapun yang dimaksud adalah:
1. Divisi Ekonomi
Tugas koorganisasian dari divisi ini yaitu menjalankan program
kelembagaan dibidang ekonomi seperti pelatihan kewirausahaan dan
pengembangan usaha kecil menengah serta menjadi mediator terhadap
pengelolaan jasa usaha pertambangan kepada pengusaha lokal sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
2. Divisi Sosial Budaya
Tugas koorganisasian yang diemban divisi ini yaitu memfasilitasi dan
mendorong penyusunan Peraturan Daerah tentang Desa Adat Pinogu dan
menggairahkan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan budaya serta
merevitalisasi keberadaan situs-situs peninggalan kerajaan Gorontalo yang
berada di Enclove Pinogu serta meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap pemeliharaan linbgkungan dengan pendekatan lokal jenius juga
209
dukungan program peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan,
ibadah dan olahraga.
3. Divisi Lingkungan
Tugas koorganisasian yang diemban divisi ini yaitu mendorong dan
memfasilitasi penyusunan peraturan daerah tentang Jasa Lingkungan dan
meningkatkan motivasi masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon
dengan memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang berhasil
melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon terutama di wilayah
Enclove Pinogi dan wilayah sekitar Taman nasional Bogani nani
Wartabone.