I.PENDAHULUAN
Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya maka sangat
dibutuhkan peran pendidik yang profesional. Di dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 ditegaskan bahwa
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Guru merupakan kunci dan sekaligus ujung tombak pencapaian misi
pembaharuan pendidikan, mereka berada di titik sentral untuk mengatur,
mengarahkan dan menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar yang untuk
mencapai tujuan dan misi pendidikan nasional yang dimaksud. Oleh karena itu,
secara tidak langsung guru dituntut untuk lebih profesional, inovatif, perspektif,
dan proaktif dalam melaksanakan tugas pembelajaran.
Oleh karena itu, melalui berbagai pendekatan pembelajaran seperti
konstruktivisme, kontekstual, problem solving dan PMRI diharapkan target
penguasaan materi akan lebih berhasil dan siswa dapat semaksimal mungkin
untuk mengembangkan kompetensinya.
1
II.PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
1. Pengertian Pendekatan Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme merupakan proses pembelajaran
yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran
pelajar. Pengetahuan dikembangkan secara aktif oleh pelajar itu
sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang disekitarnya. Hal ini
bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha pelajar itu
sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada pelajar. Hal
tersebut berarti siswa tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran
dan pembelajaran yang lama, dimana guru hanya menuangkan atau
mentransfer ilmu kepada siswa tanpa adanya usaha terlebih dahulu
dari siswa itu sendiri.
Di dalam kelas konstruktivisme, para siswa diberdayakan oleh
pengetahuannya yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi
strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya, berpikir
secara kritis tentang cara terbaik menyelesaikan setiap masalah.
Dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada
anaknya bagaimana menyelesaikan persoalan, namun
mempresentasikan masalah dan mendorong (encourage) siswa untuk
menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan.
Pada saat siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak
mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru
2
mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang
dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa
yang dapat masuk akal siswa (dalam Suherman, 2003)
Merrill mengemukakan asumsi-asumsi konstruktivisme adalah
sebagai berikut:
1. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman;
2. Pembelajaran adalah sebuah interpretasi personal terhadap dunia;
3. Pembelajaran adalah sebuah proses aktif yang di dalamnya makna
dikembangkan atas dasar pengalaman;
4. Pertumbuhan konseptual datang dari negosiasi makna, pembagian
perspektif ganda, dan perubahan bagi representasi internal kita
melalui pembelajaran kolaboratif;
5. Pembelajaran harus disituasikan dalam seting yang realistis;
pengujian harus diintegrasikan dengan tugas dan bukan sebuah
aktivitas yang terpisah.
Steffe dan Kieren (1995) mengungkapkan beberapa prinsip
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme diantaranya bahwa
observasi dan mendengar aktivitas serta pembicaraan matematika
siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar, untuk
kurikulum, dan untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan
siswa dapat dievaluasi.
3
2. Ciri – Ciri dan Karakteristik Pendekatan Konstruktivisme
Dalam konstruktivisme proses pembelajaran senantiasa
“problem centered approach” dimana guru dan siswa terikat dalam
pembicaraan yang mempunyai makna matematika. Ciri-ciri
tersebutlah yang akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme. (dalam Suherman, 2003).
Menurut Hudojo (dalam Hermayani, 2008), ada tiga ciri yang
harus dimunculkan dalam proses pembelajaran matematika menurut
pandangan konstruktivisme yaitu sebagai berikut:
1. Pembelajar harus terlibat secara aktif dalam belajarnya.
2. Pembelajar belajar materi matematika secara bermakna dengan
bekerja dan berpikir;
3. Informasi baru harus diikutsertakan dengan informasi lama
sehingga menyatu dengan struktur kognitif yang dimiliki oleh
pembelajar;
4. Orientasi pembelajarannya berdasarkan pemecahan masalah.
3. Prinsip Pendekatan Konstruktivisme
Prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam
pembelajaran. Menurut Mohammad (2004:4) prinsip utama dalam
pembelajaran konstrutivisme adalah:
1) Penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran, yaitu peserta
didik belajar melalui interaksi dengan guru atau teman,
4
2) Zona perkembangan terdekat, yaitu belajar konsep yang baik
adalah jika konsep itu berada dekat dengan peserta didik,
3) Pemagangan kognitif, yaitu peserta didik memperoleh ilmu secara
bertahap dalam berinteraksi dengan pakar, dan
4) Mediated learning, yaitu diberikan tugas komplek, sulit, dan
realita kemudian baru diberi bantuan.
Pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pendekatan
konstruktivisme lebih menekankan keaktifan dan peran serta peserta didik
dalam pembelajaran, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator
sebagaimana yang dituntut oleh kurikulum.
4.Pembelajaran Matematika Dalam Paradigma Konstruktivisme
Menurut Hudojo (1998:6) pembelajaran matematika dalam
pandangan konstruktivisme adalah membantu siswa membangun konsep-
konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri
melalui proses internalisasi dan transformasi dari konsep-konsep dan
prinsip-prinsip itu sehingga terbangun kembali menjadi konsep/prinsip
baru. Oleh karena itu, pembelajaran matematika merupakan suatu proses
aktif dalam upaya membantu siswa membangun pemahaman.
Alexander & Murphy (dalam Kauchack, 1998:9) mengajukan 5
pertanyaan umum tentang belajar dan mengajar yang sejalan dengan
pendapat Good & Grophy, yaitu:
5
- Pengetahuan awal siswa mempengaruhi belajarnya
- Siswa perlu memikirkan strategi belajarnya
- Motivasi berpengaruh kuat pada belajar
- Perkembangan dan perbedaan individual mempengaruhi belajar
- Kontek sosial di dalam kelas mempengaruhi belajar
Berdasarkan karakteristik konstruktivisme dan pernyataan umum
tentang belajar mengajar yang disebutkan itu, terdapat kesesuaian yang
khas dalam belajar matematika untuk mengorganisasikan dan
menstrukturkan pengetahuan. Pertama, adalah karakteristik yang
mengatakan bahwa belajar yang baru bergantung pada pemahaman
sebelumnya. Hal ini berkenan dengan pengetahuan prasyarat untuk belajar
yang terlepas dari sifat struktur matematika itu sendiri.
Di dalam belajar matematika, seseorang yang mempelajari konsep
B sebelum memahami konsep A atau suatu konsep yang lebih tinggi
tingkatannya (higher-order concept) hanya dapat dipahami melalui konsep
yang lebih rendah tingkatannya (lower-order concept) (Hudojo, 1990:4).
Kedua, adalah pernyataan tentang perkembangan dan perbedaan
individual. Siswa pada tahap berpikir konkrit akan kesulitan apabila
matematika disajikan dalam bentuk abstrak. Karena itu, memerlukan
penyesuaian pembelajaran yang menyajikan sebagai bentuk representasi
konsep matematika untuk membantu siswa agar dapat memudahkan
belajarnya. Sebagai contoh, konsep tentang perkalian bilangan cacah akan
6
sulit atau mungkin tidak dapat dipahami oleh siswa yang belum
memahami penjumlahan, fakta dasar bilangan, fakta dasar penjumlahan,
fakta dasar perkalian dan yang lainnya. Sebaliknya, konsep perkalian dapat
direprestasikan dari bentuk abstrak-simbolik ke bentuk konkret sebagai
penjumlahan berulang untuk memudahkan siswa memahaminya.
Kauchack & Eggen (1998:192-193) mengemukakan bahwa
pembelajaran untuk memfasilitasi konstruksi pengetahuan memuat 4 aspek
penting sebagai berikut.
- Pembelajaran berfokus pada penjelasan dan jawaban siswa atas masalah
atau pertanyaan.
- Penjelasan dan jawaban datang dari siswa
- Penjelasan dan jawaban bersumber dari representasi konsep
- Guru membantu siswa mengkonstruk pengetahuan dengan mengarahkan
interaksi sosial dan menyediakan representasi konsep.
Karakteristik lingkungan belajar yang sesuai dengan pandangan
konstruktivisme,dikemukakan oleh Indrawati (1999), sebagai berikut:
- Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan serta dapat merespon situasi pembelajaran dengan membawa
konsepsi awal sebelumnya.
- Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin melibatkan proses aktif
siswa dalarn
7
mengkonstruksi pengetahuan yang sering kali melibatkan negosiasi
interpersonal.
- Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal dan sosial.
- Seperti siswa, guru juga membawa konsepsi awal ke dalam situasi
pembelajaran, baik mengenai materi pelajaran, dan pandangan mereka
tentang pembelajaran.
- Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan melainkan melibatkan
pengaturan situasi kelas serta tatanan pembelajaran yang memungkinkan
siswa dapat berpikir secara ilmiah.
-Kurikulum bukanlah sesuatu yang sekedar dipelajari melainkan
seperangkat program
pembelajaran, materi, sumber, serta pembahasan yang merupakan titik
tolak siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan.
5. Keuntungan Dan Kelemahan Pembelajaran Dengan Pendekatan
Konstruktivisme
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme ini akan
memberikan keuntungan kepada siswa, yaitu dapat membiasakan siswa
belajar mandiri dalam memecahkan masalah, menciptakan kreativitas
untuk belajar sehingga tercipta suasana kelas yang lebih nyaman dan
kreatif, terjalinnya kerja sama sesama siswa, dan siswa terlibat langsung
8
dalam melakukan kegiatan, dan dapat menciptakan pembelajaran menjadi
lebih bermakna karena timbulnya kebanggaan siswa menemukan sendiri
konsep yang sedang dipelajari dan siswa akan bangga dengan hasil
temuannya, serta melatih siswa berpikir kritis dan kreatif. Sedangkan
kelemahannya adalah siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya, tidak
jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi
para ahli matematika, hal ini dapat mengakibatkan salah pengertian
(miskonsepsi).
B. PENDEKATAN KONTEKSTUAL
1. Pengertian Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
adalah konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari
konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat (Nurhadi, 2003:13).
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning
/CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
9
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran
lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru
adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Guru bukanlah sebagai yang paling tahu, melainkan guru harus
mendengarkan siswa-siswanya dalam berpendapat mengungkapkan ide
atau gagasan yang dimiliki oleh siswa. Guru bukan lagi sebagai
penentu kemajuan siswa-siswanya, tetapi guru sebagai seorang
pendamping siswa dalam pencapaian kompetensi dasar. Menurut
Zahorik (dalam Mulyasa 2006:219) ada lima elemen yang harus
diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual yaitu:
1. Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah
dimiliki oleh peserta didik;
2. Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah
dimiliki oleh peserta didik;
3. Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah
dimiliki oleh peserta didik;
4. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan menuju bagian-bagiannya
secara khusus;
10
5. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara:
menyusun konsep sementara, melakukan sharing untuk memperoleh
masukan dan tanggapan dari orang lain, merevisi dan
mengembangkan konsep;
6. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara
langsung apa-apa yang dipelajari;
7. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan
pengetahuan yang dipelajari.
Pembelajaran kontekstual ini memungkinkan proses belajar
yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran dilakukan secara
alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktekkan secara langsung
apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual mendorong
siswa untuk memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar, sehingga
memungkinkan mereka rajin, dan termotivasi untuk senantiasa belajar,
bahkan kecanduan untuk belajar. Kondisi ini akan terwujud, ketika
siswa menyadari tentang apa yang mereka perlukan untuk hidup, dan
bagaimana cara untuk menggapainya.
2. Komponen Pendekatan Kontekstual
Depdiknas (2002:5) menyatakan pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) sebagai konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
11
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen, yakni:
a. Kontruktivisme (Constuctivism)
Kontruktivisme (contructivism) merupakan landasan berpikir
(filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
bergelut dengan ide-ide.
b. Bertanya (Questioning)
Bertanya (questioning) adalah suatu strategi yang digunakan
secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi
gagasan-gagasan. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran
yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang
sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan
menilai keterampilan berpikir siswa.
c. Menemukan (Inquiri)
Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan
pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengikat sepesrangkat
12
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam inkuiri
terdiri atas siklus yang mempunyai langkah-langkah antara lain:
a. Merumuskan masalah,
b. Mengumpulkan data melalui observasi,
c. Menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan,
bagan, tabel, dan karya lainnya,
d. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada
pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain.
d. Masyarakat belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar (learning community), hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan
antarmereka yang tahu ke mereka yang sebelum tahu. Dalam
masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam
kegiatan masyarakat memberi informasi yang diperlukan oleh teman
bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman
bicaranya.
e. Permodelan (Modeling)
Pemodelan (modeling) yaitu dalam sebuah pembelajaran
keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa
ditiru. Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang
dipikirkan, mendemonstrasikan bagaiman guru menginginkan para
siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan
13
agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk
demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi (reflection) adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah
kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran
terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima.
Kunci dari itu semua adalah, bagaimana pengetahuan mengendap
dibenak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan
bagaimana merasakan ide-ide baru.
g. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian yang sebenarnya (authentic assessement), merupakan
prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual yang
memberikan gambaran perkembangan belajar siswanya.
Assessement adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran
perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan
benar.
3. Elemen-elemen dalam pengajaran kontekstual
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima
bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami
14
(experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan
mentransfer (transferring).
1. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti
konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan
konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan
demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan
informasi baru.
2. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan
berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun
pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa
dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-
bentuk penelitian yang aktif.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan
kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan
memberikam latihan yang realistic dan relevan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu
kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara
kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan
sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa
mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman
belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
15
4. Penyusunan Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih
merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi
skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama
siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam
program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan
tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan
authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru
benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama
siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara
program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran
kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada
penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan
pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional),
sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan
pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam
penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual
adalah sebagai berikut.
Pertama, nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu
sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara
Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian
Hasil Belajar. Kedua, nyatakan tujuan umum pembelajarannya. Ketiga,
16
rincilah media untuk mendukung kegiatan itu. Keempat, buatlah
skenario tahap demi tahap kegiatan siswa. Kelima, nyatakan authentic
assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati
partisipasinya dalam pembelajaran.
5. Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum
apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun
keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup
mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
Pertama, kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya. Kedua, laksanakan sejauh
mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic. Ketiga, kembangkan
sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Keempat, ciptakan
masyarakat belajar. Kelima, hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran. Kelima, lakukan refleksi di akhir pertemuan. Keenam,
lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
C. PROBLEM SOLVING
1. Pengertian Problem Solving
Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual
dalam menemukan masalah dan memecahkan berdasarkan data
dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang
17
tepat dan cermat (Hamalik, 1994:151).Menurut Hunsaker Pemecahan
masalah ( problem solving ) didefinisikan sebagai suatu proses
penghilangan perbedaan atau ketidak sesuaian yang terjadi antara hasil
yang diperoleh dan hasil hasil yang diinginkan. Sementara menurut
Mu’Qodin mengatakan bahwa problem solving merupakan suatu
keterampilan yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang dicapai dan pada
akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang
tepat..
Berdasarkan dari beberapa definisi problem solving yang
dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa problem
solving merupakan suatu keterampilan yang meliputi kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah
dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif sehingga dapat mengambil
suatu tindakan keputusan untuk mencapai sasaran. Terkait dengan
pengertian problem solving tadi bila dikaitkan dengan pembelajaran
maka mempunyai pengertian sebagai proses pendekatan pembelajaran
yang menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, dimana problem
yang harus diselesaikan tersebut bisa dibuat-buat sendiri oleh pendidik
dan ada kalanya fakta nyata yang ada dilingkungan kemudian
18
dipecahkan dalam pembelajaran dikelas dengan berbagai cara dan
teknik.
Istilah Problem Solving sering digunakan dalam berbagai
bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula.
Tetapi Problem Solving dalam matematika memiliki kekhasan
tersendiri. Secara garis besar terdapat tiga macam interpretasi. Istilah
Problem Solvingdalam pembelajaran matematika, yaitu:
(1) Problem Solving sebagai tujuan (as a goal),
(2) Problem Solving sebagai proses (as a process), dan
(3) Problem Solving sebagai keterampilan dasar (as a basic skill).
a. Problem Solving sebagai tujuan
Para pendidik, matematikawan, dan pihak yang menaruh
perhatian pada pendidikan matematika seringkali
menetapkan Problem Solving sebagai salah satu tujuan
pembelajaran matematika. Bila Problem Solving ditetapkan atau
dianggap sebagai tujuan pengajaran maka ia tidak tergantung pada
soal atau masalah yang khusus, prosedur, atau metode, dan juga isi
matematika. Anggapan yang penting dalam hal ini adalah bahwa
pembelajaran tentang bagaimana menyelesaikan masalah
(solve Problems) merupakan “alasan utama” (primary reason)
belajar matematika.
19
b. Problem Solving sebagai proses
Pengertian lain tentang Problem Solving adalah sebagai
sebuah proses yang dinamis. Dalam aspek
ini, Problem Solving dapat diartikan sebagai proses
mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi
yang baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi ini, yang perlu
diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik yang
digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Masalah
proses ini sangat penting dalam belajar matematika dan yang
demikian ini sering menjadi fokus dalam kurikulum matematika.
Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan
proses Problem Solving dan bagaimana seseorang mengajarkannya
tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat
dan menguji beberapa teori tentang pemrosesan informasi atau
proses Problem Solving telah banyak dilakukan. Dan semua ini
memberikan beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam
belajar Problem Solving dan aplikasi dalam pengajaran.
c. Problem Solving sebagai keterampilan dasar
Problem Solving sebagai keterampilan dasar (basic skill).
Pengertian Problem Solving sebagai keterampilan dasar lebih dari
sekedar menjawab tentang pertanyaan: apa itu Problem Solving?
Ada banyak anggapan tentang apa keterampilan dasar dalam
20
matematika. Beberapa yang dikemukakan antara lain keterampilan
berhitung, keterampilan aritmetika, keterampilan logika,
keterampilan “matematika”, dan lainnya. Satu lagi yang baik
secara implisit maupun eksplisit sering diungkapkan adalah
keterampilan Problem Solving. Beberapa prinsip penting
dalam Problem Solving berkenaan dengan keterampilan ini
haruslah dipelajari oleh semua siswa, seperti yang dikemukakan
oleh George Polya tahun 1945.
2. Karakteristik Problem Solving
Karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah menurut
Taplin adalah sebagai berikut:
1. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi antara guru dan siswa.
2. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.
3. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan
siswa mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba
mengkonstruksi penyelesaiannya.
4. Guru menerima jawaban “ya” atau “tidak” dan bukan untuk
mengevaluasi.
5. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-
pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan
masalah.
21
6. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur
membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.
7. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem
solving dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi
aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam matematika.
3. Perangkat Pembelajaran Problem Solving
Untuk menerapkan pembelajaran problem solving diperlukan
beberapa perangkat terutama
a. Software (Metode)
Setiap pembelajaan seorang guru tidak dilepaskan dari
peranan metode, akan tetapi tak semua metode yang guru pakai
dapat menghasilkan output yang baik, Dan guru mengajar dengan
metode dapat menemukan dan membimbing anak ke arah
pemecahan masalah tapi tak semua metode bisa digunakan sebagi
proses problem solving paling tidak metode tersebut mempunyai
nilai-nilai sebagai berikut:
Keaktifan terhadap peserta didik
Karena keaktifan siswa dalam pembelajaran memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengexplorasi pengetahuannya
untuk memecahkan masalah serta membangun konsep-konsep
yang akan dipelajarinya. Keseluruhan pengalaman belajar ini
akan memberikan ketrampilan kepada siswa bagaimana
22
sesungguhnya belajar yang dapat menjadi bekal untuk menjadi
pembelajar seumur hidup dan memecahkan masalah dalam
proses pembelajaran.
Kreativitas
Dengan kekreatisan seorang siswa baik individual maupun
kelompok, dituntut untuk menghasilkan penemuan-penemuan
sebagai manifestasi dari pemecahan masalah, penting bagi
siswa untuk semenjak dini menghasilkan kreasi-kreasi atau
belajar mengkreasi sesuatu.
Berkreativitasnya siswa dapat menghantarkan daya pikir kritis
dalam memecahkan masalah dan tentunya setiap metode harus
didukung oleh fasilitas tertentu yang dapat mengarah kepada
tercapainya tujuan.
Diantara yang paling bermasalah ialah Metode ceramah
meruapakan metode klasik yang hanya menggunakan lisan
dalam menyampaikan materi, yang dampaknya murid menjadi
pasif, tidak gairah dan daya pikir siswa statis. Maka dari itu
metode ceramah sangat tidak relevan untuk digunanakan dalam
pembelajaran problem solving, memang setiap metode
pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari metode ceramah akan
tetapi metode ceramah hanya sebagai fasilitas daya dukung aja
dari pada metode yang diterapkan guru dalam pembelajaran.
23
b. Hardware
Untuk perangkat yang kedua ialah hardware yang terkait
dengan teknik pembelajaran, teknik pembelajaran ialah jalan, alat,
atau media yang diguanakan oleh guru dalam rangka mendidik
muridnya guna mencapai tujuan pembelajaran ( Garlach dan Ely,
1980 ). Aplikasi atau penerapan teknologi pendidikan dalam upaya
pemecahan masalah pendidikan dan pembelajaran
mempersyaratkan minimal tersedianya hal-hal berikut:
a) dukungan teknologi atau infrastruktur,
b) penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam
mengembangkan content,
c) kesiapan Siswa pengguna atau user.
Sementara itu pemecahan masalah belajar secara empirik
dapat dilakukan dengan berbagai cara, strategi, dan prosedur
(Purwanto, 2005:1718). Aplikasi atau penerapan teknologi
pendidikan dalam upaya pemecahan masalah pendidikan dan
pembelajaran dengan cara:
1) Memadukan berbagai macam pendekatan dari bidang ekonomi,
manajemen, psikologi, rekayasa, dan lain-lain secara bersistem;
2) Memecahkan masalah belajar pada manusia secara menyeluruh dan
serempak, dengan memperhatikan dan mengkaji semua kondisi dan
saling kaitan di antaranya;
24
3) Menggunakan teknologi sebagai proses dan produk untuk
membantu memecahkan masalah belajar;
4) Timbulnya daya lipat atau efek sinergi, di mana penggabungan
pendekatan dan atau unsur-unsur mempunyai nilai lebih dari
sekedar penjumlahan.
Demikian pula pemecahan secara menyeluruh dan serempak
akan mempunyai nilai lebih daripada memecahkan masalah secara
terpisah (Miarso, 2007:78).
4. Bentuk Problem Solving
Ada beberapa bentuk dalam problem solving menurut Chang,
D’Zurilla dan Sanna (2004), yaitu
a) Rational Problem Solving
Sebuah bentuk pembelajaran problem solving yang konstruktif
yang didefinisikan seperti rasional, berunding dan aplikasi yang
sistematik dalam kemampuan menyelesaikan masalah. Model ini
terdiri dari 4 tahapan, yaitu :
1) Identifikasi Masalah
Problem solver mencoba mengelompokkan dan mengerti
masalah yang dihadapi dengan mengumpulkan banyak
spesifikasi dan fakta konkrit tentang kemungkinan masalah,
mengidentifikasi permintaan, rintangan dan tujuan yang
realistik dalam menyelesaikan masalah.
25
2) Mencari Solusi Alternatif
Fokus pada tujuan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan
mencoba untuk mengidentifikasi banyak solusi yang
memungkinkan termasuk yang konvensional.
3) Mengambil keputusan
Problem solving mengantisipasi terhadap keputusannya dalam
solusi yang berbeda, mempertimbangkan, membandingkan dan
kemudian memilih yang terbaik atau solusi yang efektif yang
paling
berpotensial.
4) Mengimplementasi Solusi dan Pengertian
Seseorang harus berhati-hati dalam menerima dan
mengevaluasi solusi yang menjadi pilihan setelah mencoba
untuk melaksanakan solusi tersebut kedalam situasi masalah
dalam kehidupan nyata
5. Kelebihan dan Kekurangan Problem Solving
Salah satu tujuan pembelajaran ialah untuk menciptakan
prodak siswa yang tidak hanya memiliki keahlian koknitif dan
afektif saja melainkan seorang siswa juga dituntut untuk cakap
dalam mengembangkan psikomotorik, tujuan tersebut tidak dari
proses untuk memecahkan masalah, dan didalam memecahkan
masalah tersebut haruslah menghadirkan metode. Dan metode yang
tepat ialah metode problem solving, salah satu metode metode yang
26
menekankan untuk berpikir krisis dan kreatif guna mencapai
tujuan, tapi metode tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan.
a. Kelebihan Pembelajaran Problem Solving
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan
kehidupan, khususnya dunia kerja.
b. Kelemahan pembelajaran problem solving
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan
Pembelajaran ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium
menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta
akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan
dengan metode pembelajaran yang lain
3. Pengembangan program membutuhkan biaya tinggi dan waktu
yang lama.
4. Pengadaan dan pemeliharaan alat mahal .
27
D. PENDEKATAN PMRI
1. Sejarah PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan
adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori
pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970-an oleh
Hans Freudenthal. Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha mereformasi
pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh
Prof. RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun
1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen
pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk
mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di
Belanda.Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir
2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah.
Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di
Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun,
pada tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama
ditambah UNJ (Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri
Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed
(Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas
Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN
Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Â
Selain itu juga ada Unismuh, Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto dan
28
STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini
disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.
Sejarah PMRI bisa dibaca pada buku 10 tahun PMRI di
Indonesia ( A decade of PMRI in Indonesia, diterbitkan di Belanda)
yang sudah beredar diseluruh dunia.
2. Standar Guru PMRI (Standards for a PMRI teacher)
a. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang
matematika dan PMRI serta dapat menerapkannya dalam
pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif. (A teacher has a repertoire of mathematics and
PMRI didactics to develop a rich learning environment).
b. Guru memfasilitasi siswa dalam berpikir, berdiskusi,
danbernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.(A
teacher coaches students to think, discuss, and negotiate to stimulate
initiative and creativity).
c. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani
mengungkapkan gagasan dan menemukan strategi pemecahan
masalah menurut mereka sendiri. (A teacher guides and encourages
students to express their ideas and find own Strategies).
d. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa
bekerja sama dan berdiskusi dalam rangka pengkonstruksian
pengetahuan siswa. (A teacher manages class activities in such a
29
way to support students’ cooperation and discussion for the purpose
of knowledge construction).
e. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan
prinsip matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi. (Teacher
together with students summarize mathematics facts, concepts,
principlesthrough a process of reflection and confirmation).
3. Standar Pembelajaran Menurut PMRI (Standards for a PMRI
Lesson)
a. Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar
kompetensi dalam kurikulum. (PMRI lesson fulfill the
accomplishment of competences as mentioned in the curriculum).
b. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa
termotivasi dan terbantu belajar matematika. (PMRI lesson starts
with realistic problem to motivate and help students learn
mathematics).
c. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi
masalah yang diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat
saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.
(PMRI lesson giv students opportunities to explore and discuss
given problems so that they can learn from each other and to
promote mathematics concept construction).
30
d. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk
membuat pembelajaran lebih bermakna dan membentuk
pengetahuan yang utuh. (PMRI lesson interconnects mathematics
concepts to make a meaningful lesson and intertwining of
knowledge).
e. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk
menyarikan fakta, konsep, dan prinsip matematika yang telah
dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat
pemahaman. (PMRI lesson ends with a confirmation and
reflection to summarize learned mathematical facts, concepts,
and principles and is followed by exercises to strengthen
students’ understanding).
Standar Bahan Ajar PMRI ( Standards for PMRI
Teaching Materials)
a. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang
berlaku. (Teaching materials are in line with curriculum).
b. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk
memotivasi siswa dan membantu siswa belajar
matematika. (Teaching materials use realistic problems to
motivate students and to help students learn mathematics).
c. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang
saling terkait sehingga siswa memperoleh pengetahuan
matematika yang bermakna dan utuh. (Teaching material
31
intertwine mathematics concepts from different domains to
give opportunities for students to learn a meaningful and
integrated mathematics).
d. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang
mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan berpikir
siswa.(Teaching materials contain enrichment materials to
accommodate different way and levels of students’
thinking).
e. Bahan ajar dirumuskan/ disajikan sedemikian sehingga
mendorong/ memotivasi siswa berpikir kritis, kreatif dan
inovatif serta berinteraksi dalam belajar. (Teaching
materials are presented in such a way to encourage
students to think critically, creative, innovative and
stimulate students’ interaction and cooperation).
Standar Lokakarya PMRI (Standards for a PMRI
Workshop)
a. Kegiatan lokakarya berorientasi pada proses yang
memudahkan peserta memahami konsep PMRI, dan pada
produk yang dapat digunakan dalam pembelajaran.
(Activities in a workshop are process-oriented that can
support the participants to understand PMRI ideas and
product-oriented that can be used in school).
32
b. Lokakarya memfasilitasi peserta berpartisipasi aktif dalam
membangun pengetahuan dan keterampilan mereka,
terkait dengan prinsip PMRI. (A workshop facilitates
participants to experience the PMRI characteristic
themselves to build their knowledge and skills).
c. Materi lokakarya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum,
kondisi internal dan eksternal sekolah, dengan tetap
memperhatikan prinsip PMRI, untuk meningkatkan
adaptabilitas PMRI di sekolah. (Contents of a workshop
are in line with curriculum demand, internal and external
condition of school, and envision an ideal situation in
order to enhance
adaptability of PMRI in schoo)l.
d. Selama lokakarya peserta melakukan refleksi tentang
kaitan antara aktivitas yang dilakukan, konsep
matematikanya dan landasan teoritik PMRI. (During a
workshop participants reflect on the relation between the
activities,mathematical concepts and PMRI theories).
e. Lokakarya memberdayakan dan menumbuhkan
kepercayaan diri peserta tentang PMRI sehingga dapat
menerapkannya secara konsisten di sekolah. (A workshop
empowers and builds confidence of the participants to
sustain implementation of PMRI in schools).
33
Model pembelajaran PMRI
Untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan
teori PMRI, model tersebut harus mempresentasikan
karakteristik PMRI baik pada tujuan, materi, metode, dan
evaluasi (Zulkardi dalam Shahnaz, 2002; 2004).
1. Tujuan
Dalam mendesain, tujuan haruslah melingkupi tiga level
tujuan dalam RME : lover level, middle level, and high
level. Jika pada level awal lebih difokuskan pada ranah
kognitif maka dua tujuan terakhir menekankan pada ranah
afektif dan psikomotorik seperti kemampuan
berargumentasi, berkomunikasi, justifikasi, dan
pembentukan sikap kristis siswa.
2. Materi
Desain guru open material atau materi terbuka yang
didiskusikan dalam realitas, berangkat dari konteks yang
berarti; yang membutuhkan; keterkaitan garis pelajaran
terhadap unit atau topik lain yang real secara original
seperti pecahan dan persentase; dan alat dalam bentuk
model atau gambar, diagram dan situasi atau simbol yang
dihasilkan pada saat proses pembelajaran. Setiap konteks
biasanya terdiri dari rangkaian soal-soal yang menggiring
siswa ke penemuan konsep matematika suatu topik.
34
3. Aktivitas
Atur aktivitas siswa sehingga mereka dapat berinteraksi
sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi
ini mereka mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir
dan berkomunikasi tentang matematika. Peranan guru
hanya sebatas fasilitator atau pembimbing, moderator dan
evaluator.
4. Evaluasi
Materi evaluasi biasanya dibuat dalam bentuk open-ended
question yang memancing siswa untuk menjawab secara
bebas dan menggunakan beragam strategi atau beragam
jawaban atau free productions. Evaluasi harus mencakup
formatif atau saat pembelajaran berlangsung dan sumatif,
akhir unit atau topik.
Pembelajaran matematika menggunakan PMRI di Indonesia
mulai diujicobakan pada tahun 2001 di 12 SD termasuk 4
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) atas permintaan Departemen
Agama, bekerjasama dengan 4 LPTK: Universitas Pendidikan
Indonesia I(UPI) Bandung, Universitas Sanata Darma (USD)
Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan
Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
35
Beberapa penelitian tentang PMRI telah dilaksanakan di
Indonesia, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Fauzan
(2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk
topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar (SD) di Surabaya
menunjukkan bahwa para guru dan siswa menyukai materi
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI, proses belajar
mengajar menjadi lebih baik, dimana siswa lebih aktif dan kreatif,
guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk and talk’, dan peran
guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi
pembimbing dan narasumber.
Disamping itu, Penelitian Armanto (2002) tentang
pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan
pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota yaitu
Yogyakarta dan Medan menunjukkan bahwa siswa dapat
membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan
menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang, siswa
belajar perkalian dan pembagian secara aktif, dan mendapatkan
hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok.
Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di
Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan
menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika,
hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam
36
pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi
dalam Shahnaz, 2002).
Dari beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
PMRI merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang sangat
membantu untuk pengembangan pemahaman konsep matematika
siswa, siswa mampu menemukan sendiri konsep matematika, siswa
menjadi lebih aktif dan mampu berinteraksi dengan teman-
temannya maupun dengan gurunya, dan guru tidak lagi menjadi
pusat belajar mengajar melainkan guru sebagai fasilitator,
motivator, moderator dan evaluator. Pembelajaran PMRI
diharapkan bisa dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia
mengingat dengan pendekatan ini proses pembelajaran semakin
bermakna, konteks pembelajarannya tergantung dari sumber daya
daerah masing-masing dan siswa tidak lagi terbebani dalam belajar
matematika.
Karakteristik PMRI
PMRI mempunyai lima karakteristik yaitu :
1. Menggunakan masalah kontekstual
Masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari
mana matematika yang diinginkan dapat muncul.
2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal
37
Perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan
simbolisasi dari pada hanya mentransfer rumus atau matematika
formal secara langsung.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan
dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari
metode unformal mereka ke arah yang lebih formal atau standar.
4. Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi
sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses
belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa
digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya
Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak
akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan
keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Prinsip PMRI
Prinsip-prinsip PMRI adalah sebagai berikut :
1. Guided reinvention and didactical phenomenology
Karena matematika dalam belajar RME adalah sebagai aktivitas
manusia maka guided reinvention dapat diartikan bahwa siswa
hendaknya dalam belajar matematika harus diberikan
kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama saat
38
matematika ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan
menggunakan prosedur secara informal. Upaya ini akan tercapai
jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi yang
berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep
matematika dan nyata terhadap kehidupan siswa.
2. Progressive mathematization
Situasi yang beriisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area
aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari
keadaan yang nyata terhadap siswa sebelum mencapai tingkat
matematika secara formal. Dalam hal ini dua macam
matematisasi haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari
tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar
matematika secara formal.
39
III.KESIMPULAN
Pembelajaran dengan berbagai pendekatan-pendekatan merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan .
Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa perlu dikembangkan
pendekatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa,
mengkondisikan siswa sehingga dapat mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya dan menggunakan model-model yang dikembangkan
sendiri oleh siswa.
40
DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang.
Indrawati. 1999. Model-model Pembelajaran IPA. Bandung: Pusat Pengembangan
Penataran Guru IPA.
Kauchack, D.P., & Eggen, P.D. 1998. Learning and Teaching: Research-Based
Methods. (3rd edition). Boston:Allyn and Bacon
Marpaung,Y. 2012. http://p4mriusd.blogspot.com/2011/12/pendidikan-
matematika-realistik.html.
Mohammad Nur. 2004. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivisme dalam Pengajaran. Jakarta: Universitas Negeri
Surabaya
Nurhadi. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Kencana Media Group.
Shahnaz.2012. http://blog.unsri.ac.id/shahnaz/pmri/sr/6483/.
41
Top Related