1
Komang Shary K., 1206238633
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
LTM Pemicu 2 Imunologi Dasar
Vaksinasi dan Kekebalan Tubuh
Sejarah imunitas, atau perlindungan tubuh dari penyakit infeksius, telah dimulai
berabad-abad yang lalu. Sebelum imunologi modern ditemukan, masyarakat peradaban
Cina kuno telah melakukan pencegahan penyakit cacar pada anak-anak dengan cara
membuat mereka menghirup bubuk yang diambil dari lesi kulit pasien yang sudah
sembuh dari penyakit tersebut. Kemudian, Edward Jenner, seorang dokter dari Inggris
memulai sejarah imunologi modern yang berupa observasi eksperimental dengan
menemukan vaksinasi terhadap cacar. Jenner berhasil membuat seorang anak menjadi
kebal terhadap smallpox setelah diinjeksi materi bintilan cacar pada sapi, maka dari itu
disebut vaksinasi (berasal dari bahasa Latin vaccinus, artinya dari sapi) dan penemuan itu
dipublikasi pada tahun 1798. Sampai sekarang, vaksinasi telah menjadi metode paling efektif
dalam pencegahan infeksi penyakit.1
Vaksinasi adalah salah satu cara buatan untuk memberikan imunitas aktif pada
tubuh.2 Bagaimana vaksinasi dapat menghasilkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit?
Sebagai bentuk pemberian imunisasi aktif, vaksin merangsang tubuh anak membuat zat
anti setelah diberikan antigen dari luar tubuh, misalnya virus yang telah dilemahkan.
Setelah rangsangan ini, kadar zat anti dalam tubuh anak akan meningkat sehingga anak
menjadi kebal. Jadi, tubuh anak lah yang aktif membangun kekebalan itu. Hal ini berbeda
dengan imunisasi pasif. Pada imunisasi pasif, zat anti disuntikkan ke dalam tubuh anak dari
luar tubuh. Kekebalan dari imunisasi pasif hanya akan berlangsung beberapa bulan
sedangkan kekebalan imunisasi aktif dapat bertahan lama, yaitu sampai bertahun-tahun.3
Vaksin adalah agen-agen tidak berbahaya yang dianggap musuh sehingga
mengaktifkan respons imun tubuh.4 Prinsip kerja vaksin adalah memanfaatkan bentuk mati
atau atenuasi agen infeksius atau komponen mikroba yang tidak menyebabkan penyakit
tapi merangsang respons imun. Setelah terpajan komponen ini, respons imun akan
menyediakan perlindungan terhadap infeksi yang dihasilkan mikroba patogennya yang masih
hidup. Kesuksesan vaksinasi dapat dilihat dari kemampuan vaksin tersebut menghasilkan
sel memori pada pajanan awal terhadap antigen.1 Patogen-patogen yang dilawan vaksin
2
dapat berupa macam-macam, tetapi vaksin yang paling sukses adalah vaksin terhadap
virus. Penyakit hepatitis B yang disebabkan oleh virus adalah salah satu penyakit yang
pencegahannya dilakukan dengan vaksin.4
Kesuksesan vaksin dalam memberantas penyakit infeksius bergantung pada aspek-
aspek tertentu dari mikroba, yaitu:
1. mikroba tidak melalui variasi antigen atau tidak banyak melalui variasi antigen,
2. mikroba tidak memiliki periode laten, dan 3. mkroba tidak bercampur tangan dengan respons imun inangnya.1
Ketiga syarat ini membuat virus seperti HIV sulit dieradikasi karena HIV melakukan infeksi
laten, terdiri dari berbagai jenis, dan merusak komponen-komponen penting dalam sistem
imun.1
Untuk bisa melakukan vaksinasi, tentunya kita harus memperoleh vaksin itu terlebih
dahulu. Terdapat beberapa model pendekatan dalam melaksanakan vaksinasi yang mengacu
pada bagaimana vaksin dapat diperoleh: vaksin dari mikroba yang teratenuasi (tidak lagi
menimbulkan penyakit) atau terinaktivasi, vaksin dari subunit yang dimurnikan, vaksin dari
antigen sintetik, vaksin dari virus hidup yang melibatkan virus rekombinan, dan vaksin
DNA.1
Pengertian mengenai imunologi vaksin membutuhkan pengetahuan mengenai
bagaimana limfosit B dan T dapat dipengaruhi oleh antigen pada vaksin.5 Berikut adalah
penjelasan mengenai imunologi vaksin.
RESPONS TUBUH TERHADAP VAKSIN
1. Tahap Inisiasi
Inisiasi dari respons terhadap vaksin merupakan respons awal terhadap paparan
antigen di dalam tubuh. Setelah injeksi vaksin, mula-mula pola-pola patogen pata antigen
vaksin akan menarik sel dendritik, monosit, dan neutrofil yang telah berpatroli
mengelilingi tubuh.5 Pengenalan zat asing ini lebih mungkin terjadi di jaringan
nonlimfoid.6
Antigen ini akan merangsang penghasilan sinyal bahaya yang, apabila cukup, akan
mengaktifkan sel dendritik dan monosit. Selain itu, sinyal yang cukup akan membuat
kedua sel tersebut mengubah reseptor permukaannya. Kedua sel kemudian akan
bermigrasi menuju nodus limfa tempat terjadinya aktivasi limfosit T dan limfosit B. 5
3
Efektor-efektor pada sistem imun yang terangsang oleh vaksin pada umumnya
adalah antibodi. Antibodi ini dapat mengikat secara spesifik dengan patogen atau toksin.
Efektor lain yang mungkin adalah limfosit T CD8+ sitotoksik yang dapat membatasi
penyebaran agen infeksius dengan menyekresi sitokin antiviral yang spesifik atau
membunuh sel yang terinfeksi. Pembuatan sel B dan sel T sitotoksik dibantu oleh sinyal
yang diberikan oleh sel T CD4+ (T helper) dan growth factor. Dalam mengatur toleransi
imun, para efektor respons imun dikontrol oleh limfosit T regulator.5
Kebanyakan antigen merangsang baik respons humoral maupun seluler. Akan tetapi,
karakteristik vaksin berpengaruh dalam menentukan respons imun mana yang bekerja
lebih dominan. Contohnya, Polisakarida kapsular merangsang respons sel B dalam respons
yang disebut T-independent. Lain halnya dengan BCG, vaksin ini menggunakan limfosit T
sebagai efektor utamanya.5
Rangsangan limfosit B dan T bergantung pada aktivasi APC (Antigen Presenting
Cells), salah satunya adalah sel dendritik. Sel dendritik yang memakan antigen atau
ligan reseptor dendritik lainnya akan terinisiasi untuk melakukan tiga proses penting:
pemrosesan antigen, migrasi menuju nodus limfoid, dan maturasi sel dendritik itu sendiri.6
Sel dendritik yang telah bermaturasi mempunyai sifat spesifik terhadap antigen tertentu.
Selain itu, sel dendritik juga dapat menstimulasi sinyal bahaya kepada sel T. Sinyal bahaya
ini merupakan syarat pertama respons vaksin dapat terkirim. Sinyal yang cukup akan
diberikan oleh antigen vaksin dan/atau adjuvan untuk memicu respons inflamasi yang
dimediasi sistem imun bawaan.5
Sinyal bahaya yang diterima dari antigen disampaikan oleh reseptor-reseptor pada
sel dendritik, monosit, dan neutrofil. Sel-sel tersebut mengekspresikan serangkaian
reseptor yang ditujukan kepada pola-pola patogen yang tidak termasuk dalam antigen self
sehingga dapat diidentifikasi langsung sebagai zat berbahaya. Ketika terpajan patogen, sel-sel
ini menghasilkan sitokin dan kemokin yang merangsang inflamasi.5 Reseptor lain selain yang
telah disebutkan adalah reseptor IgM pada permukaan sel B naif.5,6
Seperti yang telah disebutkan, antigen vaksin dapat berasal dari mikroba yang mati
maupun yang masih hidup. Keduanya memberikan efek yang berbeda; pada vaksin dari
virus hidup, misalnya, lokasi dan rute injeksi tidak terlalu berpengaruh terhadap
respons karena virus dapat bereplikasi baik pada lokasi injeksi maupun pada lokasi yang
jauh dari lokasi injeksi. Vaksin dari mikroba yang tidak hidup, meskipun sama-sama
menginisiasi respons imun bawaan, bersifat lokal sehingga lokasi dan rute injeksinya perlu
dipertimbangkan. Maka dari itu, vaksin jenis ini membutuhkan adjuvan untuk memicu
4
respons imun.5 Adjuvan juga dapat digunakan untuk vaksin yang terbuat dari antigen yang
telah dimurnikan dari mikroba atau vaksin yang terbuat dari toksin yang inaktif.1
Penambahan adjuvan (zat kimia tertentu) berfungsi membuat antigen lemah tertentu
menjadi lebih bersifat imunogenik.2 Terdapat dua kategori adjuvan, yaitu adjuvan yang
memperlama penyimpanan antigen pada lokasi injeksi dan adjuvan yang bersifat
imunomodulator, yaitu dengan menyediakan sberbagai sinyal untuk mengaktifkan sel
dendritik dan monosit. Meskipun adjuvan dapat membantu vaksin dari mikroba tak hidup,
respons imun yang dipicu oleh vaksin tersebut tetap tidak dapat menandingi vaksin dari
mikroba yang hidup.5 Alum adalah adjuvan yang paling sering digunakan pada manusia.6
2. Respons
Dengan bermigrasinya sel dendritik setelah terpajan antigen, baik limfosit B maupun
T teraktivasi. Tipe respons terbagi dua, yaitu respons yang bergantung sel T dan respons
pembentukan sel T efektor. Respons bergantung sel T terdiri dari respons ekstrafolikular
dan respons pusat germinal sedangkan respons pembentukan sel T efektor terdiri dari aktivasi
sel CD8+ dan CD4+.5
2.1 Respons bergantung sel T
Vaksin yang banyak digunakan sekarang umumnya bekerja dengan mengaktifkan
respons imun humoral karena antibodi dapat mencegah infeksi sebelum mikroba bisa
berkuasa di dalam tubuh inang. Vaksin yang paling baik digunakan adalah vaksin yang
menstimulasi baik pembentukan sel plasma dengan afinitas tinggi maupun sel B memori.
Kedua hal ini bisa didapat dari reaksi pusat germinal (germinal center) yang membutuhkan
sel T CD4 (T helper).1
Respons bergantung sel T membutuhkan aktivasi dari sel B pada jaringan limfoid
dan aktivasi sel T naif di zona sel T. Kedua limfosit ini kemudian saling bermigrasi satu
sama lain pada ujung-ujung folikel sehingga sel B dapat menyajikan antigen kepada sel T
helper. Sel T yang telah teraktivasi akan mengekspresikan CD40L dan menyekresikan
sitokin yang berikatan dengan sel B. Kombinasi ini menstimulasi proliferasi dan
diferensiasi sel B.5 Stimulasi B sel yang aktif pada daerah ekstrafolikular juga menghasilkan
sel plasma yang berumur pendek dan menghasilkan antibodi dengan afinitas rendah.
Kemudian, sel T helper yang teraktivasi (bisa karena sel dendritik) ada yang berdiferensiasi
menjadi sel TFH yang mengaktivasi sel B agar bermigrasi ke folikel. Tujuan dari migrasi
ini adalah menginisiasi pembentukan pusat-pusat germinal (germinal center).1,5
5
Pada pusat germinal ini, sel B menerima sel tambahan dari sel T folikular dan
melalui proliferasi klonal yang masif serta bermaturasi menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi spesifik.5 Pada saat ini, IgM juga berubah menjadi IgG, IgA,
atau IgE dan mengalami maturasi afinitas.1,5 Sel plasma kemudian keluar dari lokasinya
dan bermigrasi ke tempat yang lebih sesuai, umumnya pada sumsum tulang.5 Akan tetapi,
ada juga sel B yang menjadi sel B memori dan hidup dalam waktu lama. Sel memori ini
akan berkeliling di antara limpa dan nodus limfa. Apabila sel ini berikutnya terpajan kembali
pada antigennya, ia akan berdiferensiasi menjadi sekretor antibodi dengan bantuan berbagai
ekspresi faktor transkripsi.1
2.2 Respons Pembentukan Sel T Efektor
Setelah mengalami fagositosis oleh sel dendritik, antigen diproses menjadi peptida-
peptida kecil yang kemudian diekspresikan pada permukaan sel menggunakan MHC kelas I
atau kelas II.5 Respons sel T terhadap antigen mencakup proliferasi sel, perubahan ekspresi
molekul permukaan, sintesis sitokin dan reseptor sitokin, dan diferensiasi menjadi sel
memori dan sel efektor. Sitokin IL-2 yang dihasilkan setelah aktivasi memicu proliferasi
sel, ditandai dengan ekspansi klonal yang spesifik terhadap antigen tertentu.1
Sel T yang berbeda menunjukkan respons yang berbeda pula. Limfosit T helper
CD4+, dengan bantuan sitokin yang dihasilkan APC dan dirinya sendiri, dapat
berdiferensiasi menjadi TH1, TH2, maupun TH17. Setiap jenis T helper mempunyai fungsi
yang berbeda-beda: TH1 akan menyekresikan IFN-gamma yang memediasi pertahanan
terhadap mikroba intraselular, TH2 menyekresikan IL-4 dan IL-5 yang membantu respons
imun terhadap helminthes, dan TH17 membantu proses inflamasi dan memediasi pertahanan
terhadap jamur dan bakteri ekstraseluler.1
Sel T CD8+ akan mengenali kompleks peptida pada MHC kelas I.5 Respon
dilakukan dengan proliferasi dan diferensiasi menjadi sel T sitotoksik yang dapat membunuh
sel yang terinfeksi dan sel T lainnya dapat berdiferensiasi menjadi sel memori yang hidup
dalam waktu lama (dapat bertahan selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup) dan
merespon secara cepat terhadap provokasi antigen. Sel T memori dapat berasal dari sel
efektor atau sel memori dan efektor dapat berupa dua kejadian diferensiasi yang berbeda.
Akan tetapi, mekanisme yang menentukan apakah sel T yang terangsang antigen akan
membentuk sel efektor atau sel memori belum ditemukan secara pasti. Kemungkinannya, sel
memori mempunyai faktor transkripsi yang berbeda dengan sel efektor sehingga sel tersebut
memiliki jalur diferensiasi yang berbeda.1
6
VAKSIN HEPATITIS B
Vaksin hepatitis B didapat dari antigen virus yang inaktif atau DNA rekombinan.7
Vaksin yang menggunakan subunit virus terbuat dari salah satu bagian virus hepatitis B,
yaitu HBsAg. HBsAg dapat diperoleh dari teknik rekayasa genetika atau serum manusia.3
Teknik rekayasa genetika untuk vaksin hepatitis B menggunakan DNA rekombinan
dengan bantuan ragi.4
Protein-protein pada HBsAg dikode oleh gen S, pre-S1, dan pre-S2. Keberadaan
protein pre-S dalam vaksin akan meningkatkan respons imun karena pada gugus pre-S1
terdapat titik kontak antara virus hepatitis B dengan sel hepatosit. Selain itu, protein pre-S1
dan pre-S2 juga mempunyai epitop untuk sel T helper.8
Kesimpulan Vaksinasi memanfaatkan bentuk atau bagian tertentu mikroba, yaitu bagian atau
bentuk yang tidak menyebabkan penyakit tetapi merangsang respons imun. Dalam
menghadapi antigen ini untuk pertama kalinya, respons imun akan menyediakan
perlindungan terhadap infeksi yang dihasilkan mikroba patogennya yang masih hidup.
Perlindungan tersebut berupa sel memori yang dapat bekerja secara aktif pada pajanan
antigen berikutnya, yaitu mikroba yang hidup. Salah satu aplikasi vaksinasi adalah dalam
pemberantasan hepatitis B.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology, Seventh
Edition. USA: Elsevier Inc.; 2012.
2. Ghaffar A, Haqqi T. Immunization [internet]. 2010 [updated 2010 Jul 7; cited 2013
Apr 16]. Available from: http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/immunization-ver2.htm
3. Markum AH. Imunisasi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 1997.
4. Ghaffar A, Haqqi T. Vaccines [internet]. 2010 [updated 2010 Apr 12; cited 2013 Apr
16]. Available from: http://pathmicro.med.sc.edu/lecture/vaccines.htm
5. Siegrist CA. Vaccine immunology. In: Plotkin SA, Orenstein WA, Offit PA, editors.
Vaccines, 5th edition [internet]. Philadelphia: Elsevier; 2008. p.17-36. [cited 2013
Apr 18] Available from:
http://www.who.int/immunization/documents/Elsevier_Vaccine_immunology.pdf
7
6. Beverley PCL. Immunology of vaccination. Br Med Bull. 2002;62(1):15-28.
doi: 10.1093/bmb/62.1.15.
7. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc.; 2007.
8. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis Virus B. Jakarta: EGC; 1999.
Top Related