MODUL PENDIDIKAN
INKLUSI DOSEN PENGAMPU LUNCANA FARIDHOH SASMITO, M.Pd
Program Studi PGSD
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tunas Pembangunan
2016
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayahNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. modul ini berisi Konsep Anak
Berpendidikan Khusus. Atas terselesaikannya modul ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
modul ini.
Penulis menyadari dalam modul ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan
yang menyebabkan modul ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dari pembaca yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis atas terbentuknya modul ini, semoga
modul ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................ ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... IV BAB I ..................................................................................................................................... 4 BAB II .................................................................................................................................. 15 BAB III ................................................................................................................................ 27 BAB IV ................................................................................................................................ 39 BAB V .................................................................................................................................. 47 BAB VI ................................................................................................................................ 55
BAB VII ............................................................................................................................... 64 BAB VIII ............................................................................................................................. 73 BAB IX ................................................................................................................................ 81 BAB X .................................................................................................................................. 88 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 95
iv
BAB I
Konsep Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Khusus 1. Latar Belakang
Berbicara mengenai Anak Kebutuhan Khusus masih sering terjadi
ketidakkonsistenan dalam menggunakan istilahnya. Istilah anak berkebutuhan khusus
oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan
atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab
pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu
anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di
dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat
khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga
kebutuhannya dapat dipenuhi.
Sehingga diperlukan pemahaman yang baik dan benar mengenai Anak kebutuhan
khusus (ABK) dan Pendidikan Kebutuhan Khusus. Menguraikan konsep Anak
Kebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan Khusus dalam makalah ini. Gilirannya
diharapkan para pembaca memliki sikap yang positif dan pendirian bahwa setiap anak
itu beragam, dan keragaman itu sebuah kenyataan yang harus diterima dan di
akomodasi melalui pembelajaran di sekolah.
2. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam
paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap
anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbedabeda,
dan oleh karena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta
hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya
memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar
dan kebutuhan masing-masing anaK berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai
seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar
dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
5 PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
3. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer)
dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
a. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah
anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan
oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan
emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar.
Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak
memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak
seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan
yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu
dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang
mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu
mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan
kebutuhan khusus. Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang
mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa
ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika
belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan
bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan
dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun
dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan
oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan
kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak
mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak
berkebutuhan khusus permanent.
6 PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal
dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan
fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan
kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan
emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang
bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata
lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup
spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak
berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila
menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak
penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota
dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah
lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda
dengan lingkup garapan Pendidikan Luar Biasa yang hanya menyangkut anak
penyandang cacat.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhataian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada
lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak memerima kehadiran anak,
tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak
seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat
perlakuan orang tua yang tidak tepat.
c. Sebab-Sebab Timbulnya Kebutuhan Khusus
1). Faktor Internal
Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang bersangkutan.
Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar karena ia
tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau mengalami kesulitan untuk begerak.
7 PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang bersangkutan secara internal.
Dengan kata lain hambatan yang dialami berada di dalam diri anak yang
bersangkutan.
2) Faktor Ekternal
Faktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak
mengakibatkan anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan
belajar, sehingga mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga dalam
jangka panjang mengakibatkan anak teresbut kehilangan konsentrasi, menarik diri
dan ketakutan. Akibantnya anak tidak tidak dapat belajar.
c) Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal
Kombinasi antara factor eksternal dan factor internal dapat menyebabkan
terjadinya kebutuhan khusus pada sorang anak. Kebutuhan khusus yang
disebabkan oleh factor ekternal dan internal sekaligus diperkirakan anak akan
memiliki kebutuhan khusus yang lebih kompleks.
Sebagai contoh seorang anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhatian dengan hiperaktivitas dan dimiliki secara internal berada pada
lingkungan keluarga yang kedua orang tuanya tidak memerima kehadiran anak,
tercermin dari perlakuan yang diberikan kepada anak yang bersangkutan. Anak
seperti ini memiliki kebutuhan khusus akibat dari kondisi dirinya dan akibat
perlakuan orang tua yang tidak tepat.
4. Pengaruh Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pengaruh Gerakan Pendidikan Kebutuhan Khusus terhadap Inklusi
Harus diakui bahwa banyak pelopor dan pejuang inklusi atau pendidikan
inklusif adalah pendukung pendidikan kebutuhan khusus yang tangguh. Secara
pelahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa Pendidikan Luar Biasa memiliki
keterbatasan. Akan tetapi banyak pelajaran yang baik yang dapat diambil dari
praktek pendidikan kebutuhan khusus yang berkualitas, yaitu (1) Pembelajaran
kreatif yang berpusat pada anak merespon gaya dan kebutuhan belajar secara
8 PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
individual, (2) Pendekatan holistic terhadap anak dengan memperhatikan semua
area perkembanngan, (3) Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah, dan
keterlibatan orang secara aktif terhadap pendidikan anaknya di sekolah, (3)
Pengembangan teknologi yang spesifik memfasilitasi akses terhadap pendidikan
dan membantu mengatasi hambatan belajar.
Nilai-nilai positif yang terkandung dalam pendidikan kebutuhan khusus
bersesuaian dengan nilai-nilai yang terkandung dalam gerakan schools
improvement. Selain itu keakhlian khusus dalam pendidikan kebutuhan khusus
memungkinkan anak penyandang cacat untuk memiliki akses terhadap kurikulum
atau keahlian dalam mengembangkan keterampilan dasar belajar adalah sangat
penting dalam mengembangkan pendidikan inklusif bagi semua.
konteks pendidikan inklusif peranan para profesional pendidikan
kebutuhan khusus berubah menjadi nara sumber (resources person) yang
memfokuskan tugasnya kepada upaya menghilangkan hambatan yang ada di
dalam system, agar dapat diadaptasikan kebutuhan belajar semua anak dapat
dipenuhi.
5. Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga fungsi yaitu:
a. Fungsi Preventif
Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul
hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan
khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat disebabkan oleh tiga
faktor yaitu: (a) akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami
hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu
padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja
mencari nafkah, trauma karena bencana alam/perang, anak yang
diperlakukan kasar di rumah dsb. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan
khusus adalah mencegah agar faktorfaktor lingkungan tidak menyebabkan
munculnya hambatan belajar, (b) akibat faktor dari dalam diri anak itu
sendiri. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau
9 PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
kehilangan fungsi pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu
dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu
sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam
hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan
fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak berdampak buruk dan lebih
luas kepada aspek-aspek perkembangan dan kepribadian anak, (c)
interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri anak.
Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan secara
bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak
memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami
hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan
fungsi pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan. Fungsi
preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah
melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara
bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan
anak akan kasih sayang yang tidak diperoleh di lingkungan keluarganya
.
b. Fungsi Intervensi
Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan
belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak.
Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan
kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara
akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya
menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan
dengan potensi yang dimilikinya. Contoh lain, seorang anak yang
mengalami gangguan dalam perkembangan motorik (misalnya: cerebral
palsy). Akibat dari gangguan motorik ini anak dapat mengalami kesulitan
dalam bergerak dan mobilitas, sehingga akitivitasnya sangat terbatas.
Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah
menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat belajar secara
10
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan
potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain fungsi intervensi tidak
dimaksudkan supaya anak yang mengalami kehilangan fungsi
pendengaran agar dapat mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat
mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar
bersama dengan orang lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut
dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum dengan kondisi
yang dimilikinya.
c. Fungsi Kompensasi
Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan
khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi
yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang
anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk
belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi
penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat
dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan
pendengaran.
Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan
penglihatan adalah pengunaan tulisan braille. Seorang tunanetra akan
dapat membaca dan menulis dengan menggunakan fungsi perabaan.
Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan
dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan
terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari
adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang
kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan
sangat berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran. Contoh lain
jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam
penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal
menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat
11
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara
tertulis melainkan dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu
tidak dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat
menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa
yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks. Melalui
upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar
seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang
dimodifikasi dan disesuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak
berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh.
6. Hubungan ABK dan PKh dengan Pendidikan Inklusif
Paradigma pendidikan kebutuhan khusus melihat individu anak dari sudut
pandang yang lebih holistik yaitu melihat anak dari kebutuhan, hambatan belajar
dan hambatan perkembangannya secara individual bukan dari label kecacatan
yang dialami. Konsekuensi dari cara pandang ini melahirkan gagasan bahwa anak-
anak penyandang cacat seharusnya dilayani pendidikannya bersama-sama dengan
pada umumnya di sekolah biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Layanan
pendididikan seperti ini dinamakan pendidikan inklusif yang bersifat responsive
dan disesuiakan. Prinsip pendidikan inklusif di adopsi dari Konferensi Salamca
tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) dan di ulang kembali
pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar (2000).
Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi
semu anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa,
atau kondisi-kondisi lain, termsuk anak-anak penyandang cacat anak-anak
berbakat (gifted children),pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil,
anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak serta
anakanak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat
(Salamanca Statement, 1994). Persoalan pokok dalam pendidikan inklusif adalah
hak azasi manusi (HAM) dalam pendidikan yang dinyatakan dalam deklarasi
universal tentang hak azasi manusia (Universal Declaratation of Human Right,
12
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
1948). Hal yang lebih khusus dan sangatpenting adalah hak anak untuk tidak
didiskriminasikan yang dinyatakan dalan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on theRight
of the Child, UN, 1989). Sebagai konsekuensi logis dari hak-hak anak ini adalah bahwa
semua anak (all children)mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang ramah yang
tidak diskriminaatif dalam hal
kecacatan (disability), kelompoketnik (ethnicity)), agama (religion), bahasa(langu
age), jenis kelamin (gender), kemampuan (capability) dan sebagainya. Sementara
itu terdapat alasan-alasan penting seperti alasan ekonomi, sosial, dan politik untuk
mencari kebijakan dan pendekatan pendidikan yang bersifat inklusif. Ini berarti
bahwa pendidikan harus memimbulkan perkembangan personal, membangun
hubungan di antara individu, kelompok dan bangsa.
Salamanca Statement and framework for Action, (1994) menjelaskan
bahwa sekolah regular yang beorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif
untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun
masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua. Harus diakui
bahwa banyak pelopor dan pejuang inklusi atau pendidikan inklusif adalah
pendukung pendidikan kebutuhan khusus yang tangguh. Secara pelahan-lahan
mereka mulai menyadari bahwa Pendidikan Luar Biasa memiliki keterbatasan.
Akan tetapi banyak pelajaran yang baik yang dapat diambil dari praktek
pendidikan kebutuhan khsusus yang berkualitas, yaitu (1) Pembelajaran kreatif
yang berpusat pada anak merespon gaya dan kebutuhan belajar secara individual,
(2) Pendekatan holistic terhadap anak dengan memperhatikan semua area
perkembanngan, (3) Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah, dan
keterlibatan orang secara aktif terhadap pendidikan anaknya di sekolah, (3)
Pengembangan teknologi yang spesifik memfasilitasi akses terhadap pendidikan
dan membantu mengatasi hambatan belajar. Nilai-nilai positif yang terkandung
dalam pendidikan kebutuhan khusus bersesuaian dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam gerakan schools improvement. Selain itu keakhlian khusus
dalam pendidikan kebutuhan khusus memungkinkan anak penyandang cacat
untuk memiliki akses terhadap kurikulum atau keahlian dalam mengembangkan
13
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
keterampilan dasar belajar adalah sangat penting dalam mengembangkan
pendidikan inklusif bagi semua.
konteks pendidikan inklusif peranan para profesional pendidikan
kebutuhan khusus berubah menjadi nara sumber (resources person) yang
memfokuskan tugasnya kepada upaya menghilangkan hambatan yang ada di
dalam system, agar dapat diadaptasikan kebutuhan belajar semua anak dapat
dipenuhi.
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Konsep Inklusi
Munculnya gagasan tentang pendidikan inklusif dilatarbelakangi oleh dua faktor utama
yaitu adanya gerakan yang disebut schools improvement dan didorong oleh pemikiran
yang berkembang dalam bidang special needs eductation. Kedua faktor tersebut dalam
realitasnya terjadi melalui:
(1) Lobi-lobi yang dilakukan oleh para aktivisseperti organisasi penyandang cacat,
kelompok-kelopok orang tua, dan kelompok kelompok yang mendorong anak perempuan
untuk memperoleh akses ke pendidikan,
(2) Adanya pandangan yang menganggap bahwa program sekolah khusus dan sekolah
terpadu tidak berhasil,
(3) Adanya desakan yang sangat kuat terhadap sekolah agar peduli terhadap kenyataan
bahwa ada sekian banyak anak yang terpinggirkan dan tidak mendapatkan akses ke
pendidikan, seperti pengungsi, orang yang terinfeksi HIV/AIDS, anak-anak dari keluarga
miskin, dan situasi konflik,
(4) Adanya keberhasilan program-program yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam
pemberantasan buta huruf dan keberhasilan program rehabilitasi berbasis masyarakat
(Community Based Rehabilitation),dalam membantu mengembangkan para penyandang
cacact,
(5) Banyaknya contoh-contoh keberhasilan dalam praktek inklusif dalam rentang budaya
dan konteks social tertentu.
14
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB II
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi dan Model Pelayanan Inklusi
A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang
masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif
memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan
yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja
sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan
rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar
keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka
dimasukkan dalam sekolah umum. sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak
negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang
kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada
anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya
kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Anggapan ini muncul ketika sebagian pihak masih kurang memahami,
bagaimana suatu pendidikan inklusif diselenggarakan. Sebagian besar masyarakat
memandang sebelah mata pendidikan ini, karena belummemahami bagaimana
pelaksanaan pendidikan ini. benak mereka, anak mereka yang dalam keadaan
normal akan menurun kualitas belajarnya bila disatu sekolahkan dengan anak
berkebutuhan khusus. Dilain sisi, mereka berannggapan bahwa anaknya tidak
layak di sejajarkan dengan kemampuan anak berkebutuhan khusus.
B. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif 1.1 Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang
15
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka
Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003).
Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik
kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal
sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.
1.2 Landasan Yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah
Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia.
Deklarasi ini adalah penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang Hak
Asasi manusia tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung
pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi
individu penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagai bagian integral
dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa
selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Indonesia, penerapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU No.20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan
bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik penyandang cacat
atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa
sekolah khusus.
Adapun landasan yuridis penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Indonesia antara lain sebagai berikut :
i. UUD 1945 (amandemen) Pasal 31Ayat (1)
16
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
“setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.Ayat (2) “setiap warga
Negara wajib mengikuti pendiddikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”.
ii. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 3yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsimengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratisserta bertanggung jawab.
iii. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal 5Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yangsama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.Surat Edaran Dirjen
Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C8/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.Perihal
pendidikan inklusi.
Menyelenggarakan dan mengembangkan disetiap kabupaten/kota
sekurangkurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, SMK.
iv. Deklarasi Bandung (Nasional)
”Indonesia Menuju PendidikanInklusif” 8-14 Agustus 2004
v. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
1.3 Landasan Pedagogis
Pada Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berahlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mendiri dan menjadi Warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta
didik penyandang cacat dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan
bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
17
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa.
Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman
sebayanya.
1.4 Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan negara-negara barat
sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National
Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar
pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan
hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982Faktor
Pendukung Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
2.1 Sikap dan Keyakinan yang Positif :
a) Guru reguler yakin bahwa ABK dapat berhasil.
b) Kepala sekolah merasa bertanggung jawab atas hasil belajar ABK.
c) Seluruh staf dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk
menerima kehadiran ABK.
d) Orang tua ABK terinformasi dan mendukung tercapainya tujuan program
sekolah.
e) GPK memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan guru reguler di kelas.
2.2 Akses ke Kurikulum dan Lingkungan:
a) Tersedia program keteram kompensatoris (misalnya: Braille, O&M).
b) Tersedia peralatan khusus dan teknologi asistif untuk memungkinkan ABK
mengakses semua kegiatan kurikuler (misalnya: buku Braille,screen reader).
c) Lingkungan fisik sekolah diadaptasikan agar lebih aksesibel bagi ABK
(misalnya: ramp, tanda-tanda aktual).
2.3Dukungan Sistem:
18
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
a) Sistem penerimaan siswa baru yang nondiskriminatif dan akomodatif bagi
semua anak.
b) Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasukGPK (Guru Pendidikan
Khusus) dan tenaga pendukung lainnya.
c) Terdapatupaya pengembangan staf dan pemberian bantuan teknis yang
didasarkan pada kebutuhan personel sekolah (misalnya pemberian informasi
yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kecacatan, metode
pengajaran).
d) Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap
ABK, termasuk untuk asesmen dan evaluasi hasil belajar.
2.4 Metode Mengajar:
a) GPK menyiapkan PPI pendidikan Inklusif bagi ABK.
b) Guru reguler, GPK dan spesialis lainnya berkolaborasi dalam pengajaran di
kelas.
c) Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memilih
dan mengadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut
kebutuhan khusus setiap siswa.
d) Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (team teaching, cross-grade
grouPendidikan Inklusifng, peer tutoring, teacher assistance team).
e) Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan
sosialisasi bagi semua siswanya.
2.5Resource Center:
a) Proaktif memberikan advis dan konsultasi.
b) Menyediakan layanan guru kunjung.
c) Menyediakan alat bantu khusus.
d) Menyelenggarakan pelatihan.
e) Menyelenggarakan kampanye kesadaran masyarakat.
C. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif 3.1 Prinsip:
19
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
a) Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka.
b) Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang
berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan
kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas
kepada semua siswa.
c) Hal itu dapat dicapai melalui penyusunan kurikulum yang tepat,
pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat,
pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan
kemitraan dengan masyarakat sekitar.
3.2 Kekecualian:
Penempatan anak secara permanen di SLB atau kelas khusus di sekolah regular
seyogyanya merupakan suatu kekecualian :
a) Untuk kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa
pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan anak.
b) Bila diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan.
c) Bila kehadiran ABK terbukti menggangu kesejahteraan anak-anak lain di
sekolah itu.
3.3 Nilai Positif Pendidikan Inklusif :
a) Meningkatkan peluang pemenuhan hak pendidikan bagi semua (education for
all).
b) Meningkatkan peluang pemenuhan hak belajar bagi ABK.
c) Proses pembelajaran emosi sosial bagi ABK.
d) Proses pembelajaran (emosi-sosial-spiritual) bagi orang-orang normal.
e) Pendidikan bagi ABK yang lebih mudah dan efisien.
D. Langkah-langkah Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif 4.1 Hal Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Penyelanggaraan Pendidikan
Inklusif :
a) Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangta, ramah,
20
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
menerima keanekaragaman dan menghargaiperbedaan.
b) Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menersapkan
kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
c) Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
d) Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain
dalam perencaan pelaksanaan dan evaluasi.
e) Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses
pendidikan.
E. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
5.1 Perencanaan Pembelajaran Inklusif
Perencanaan pembelajaran disusun berdasarkan hasil asesmen siswa.
Asesmen adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang perkembangan
peserta didik dengan menggunakan alat dan teknik yang sesuai untuk
membuat keputusan pendidikan yang berkenaan dengan penempatan dan
program yang sesuai bagi peserta didik tersebut (Kustawan, 2013: 80).
Dengan adanya asesmen, maka perencanaan pembelajaran dapat disusun
berdasarkan karakter dan kemampuan siswa ABK sehingga pembelajaran dapat
sesuai dengan kebutuhan siswa. Guru tidak dapat membuat suatu
perencanaan tanpa adanya hasil asesmen, dan kurikulum tidak akan bisa
digunakan sesuai dengan kebutuhan siswa ABK tanpa adanya asesmen pula.
Seperti yang diungkapkan oleh Sunaryo (2009) bahwa perencanaan pembelajaran
harus dibuat berdasarkan asesmen. 5.2Pelaksanaan Pembelajaran Inklusif
Pelaksanaan belajar siswa inklusif menerapkan sistem kelas Pull Out ,maksudnya
Selama siswa ABK dapat mengikuti pembelajaran di dalam kelas
reguler, maka siswa tersebut akan belajar bersama-sama dengan siswa
reguler lainnya. Apabila siswa ABK tidak dapat mengikuti pembelajaran
di dalam kelas reguler, maka siswa tersebut akan ditarik dari kelas
reguler untuk belajar di dalam ruang belajar inklusi. Pelaksanaan pembelajaran
21
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
bagi siswa berkebutuhan khususmemakaiprogram pembelajaran individual (PPI)
yang berasal dari kurikulum modifikasi.
5.3 Evaluasi Pembelajaran Inklusif
Kegiatanevaluasipembelajaraninklusif yangdilakukan adalah melalui ulangan
harian,UTS, Ujian AkhirSemester,UjianAkhirSekolah,dan penugasanpenugasan
lainnya.Melaluikegiatanevaluasi ini maka akan diperoleh hasil belajar
siswa, apakah sudah dapat mencapai indikator atau standar yang telah
ditentukan atau belum. Jika belum mencapai standar tersebut, maka
akan diberikan remidial berupa penugasan lain sesuai dengan
materinya.Soal-soal ujian yang diberikan untuk siswa ABK berbeda
dengan soal siswa reguler.Soal untuk ABK disusun oleh GPK yang bekerjasama
dengan guru mata pelajaran dan telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan
belajar siswa ABK.
5.4 Faktor Pendukung Dan Penghambat Pembelajaran Inklusif
Hal-halyangmendukung pendidikaninklusifdi sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif adalah surat keputusan yang menyatakan bahwa sekolah
yang ditunjuk berhak dan bertanggungjawab dalam memfasilitasi pendidikan
bagi ABK. Peran selanjutnya adalah memberi pelatihan serta
mengirim para Guru Pendamping Khusus atau GPK untuk
mengikuti pelatihan serta workshop tentang pendidikan inklusif dengan
tujuan untuk meningkatkan kompetensi para GPK dalam pendidikan inklusif.
Sarana dan prasarana pendukung berupa ruang belajar khusus jika
ABKyang bersangkutan mengganggu siswa lain dikelasnya dan membutuhkan
penenangan dari GPK ataupun psikolog,media pembelajaran, dan lain
sebagainya juga perlu diperhatikan oleh sekolah guna mendukung
pembelajaran yang diberikan untuk siswa berkebutuhankhusus.
Adanyaprogram sosialiasi terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di
sekolah juga diperlukan sehingga seluruh pihak yang ada di sekolah dapat
22
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
menerima kondisi ABK dan memberikan lingkungan yang ramah kepada
mereka.
5.5 Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Pembelajaran Inklusif
Diketahui bahwa hambatan pembelajaran yang sering terjadi adalah berasal
dari siswa ABK sendiri. Menanggapi permasalahan tersebut, guru
pendamping khusus selalu siap untuk mendampingi siswa ABK dalam proses
pembelajaran baik saat berada di kelas reguler maupun di kelas inklusi.
Kerjasama antara guru mata pelajaran dan GPK sangat diperlukan saat proses
pembelajaran.
Memberikan pelatihan terhadap guru mengenai pembelajaran
siswa ABK atau karakteristik ABK perlu untuk dilakukan secara rutin, guna
meningkatkan komptensi guru dalam memberikan layanan pendidikan yang
sesuai bagi seluruh siswa, khusunya siswa ABK.
F. Kurikulum Dan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
4.1 Kurikulum ABK
Kurikulum adalah seperangkat rencana pembelajaran yang didalamnya
menampung pengaturan tentang tujuan, isi, proses, dan evaluasi.
Dengan demikian kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum yang dirancang, diberlakukan dan diimplementasikan dalam satu
lembaga atau satuan pendidikan tertentu.
Selanjutnya silabus merupakan rancangan pembelajaran yang disusun oleh
guru selama satu semester. Sedangkan RPP sebagai rencana pembelajaran yang di
susun guru untuk satu atau bebrapa pertemuan dengan peserta didik.
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat
dikelompokan menjadi empat, yakni: a) Duplikasi Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama
dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik
tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta
didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu
23
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille,
dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
b) Modifikasi Kurikulum
Yakni kurikulum siswa rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada
peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk
peserta didik gifted and talented.
c) Substitusi Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti
dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan
melihat situasi dan kondisinya.
d) Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan
total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara
dengan anak rata-rata.
G. Model Pendidikan Inklusif 5.1 Pendidikan Inklusif Pada Dasarnya Memiliki Dua Model
a) Model Inklusi Penuh(full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas
reguler.
b) Model Inklusif Parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan
peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang
berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out
dengan bantuan guru pendamping khusus.
H. Model Inklusi menurut Heiman dalam Manisah Mohd Ali dkk
ada empat model yang berbeda dalam inklusi , yaitu:
(a) in and out,
(b)two-teachers (c)fullinclusion,and
24
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
(d) rejectionofinclusion.
Dalam studi pendidikan inklusi, Heiman dalam Manisah Mohd Ali dkk.
(2007:38) menemukan bahwa sebagian besar guru diInggris dan Israel mempunyai
gagasan bahwa model masuk dan keluar Israel mempunyai gagasan bahwa model
masuk dan keluar kelas “in and out” akan lebih efektif bagi siswa dengan kesulitan
belajar. Para guru percaya bahwa pendekatan ini akan memungkinkan siswa dengan
disabilitas/berkelainan. Untuk Kepentingan dari dua dunia, pengajaran khusus yang
mereka butuhkan bersama dengan pelajaran reguler dan Interaksi dengan teman
sebaya dalam setting reguler.
1.1 Model Kurikulum Pada Pendidikan Inklusi Dapat Dibagi Tiga :
a) Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti
kawankawan lainnya di dalam kelas yang sama.
b) Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi
oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program
tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik
berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan
khusus yang memiliki PPI.
c) Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang
dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru
pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP)
merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan
inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model
pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal
yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP
merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan
25
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta
bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.
6.2 Perbedaan
Perbedaan dari ketiganya sudah nampak pada pengertiannya, yakni :
a) Model kurikulum regular penuh, Peserta didik yang berkebutuhan khusus
mengikuti kurikulum reguler ,sama seperti teman-teman lainnya di dalam kelas
yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses
pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajar.
b) Model kurikulum regular dengan modifikasi,kurikulum regular dimodifikasi oleh
guru dengan mengacu pada kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
c) Model kurikulum PPI, kurikulum disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang
melibatkan berbagai pihak. Guru mempersiapkan Program Pembelajaran
Individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang Kurikulum
Sekolah. Model ini diperuntukan bagi siswa yang tidak memungkinkan mengikuti
kurikulum reguler.
26
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB III
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN ANAK TUNANETRA
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan,
namun dibalik kesempurnaan itu terdapat beberapa orang yang memiliki
keterbatasan. Keterbatasan yang dimiliki individu tidak selamanya dipandang
sebagai hal yang wajar sehingga terdapat pihak yang berpandangan bahwa
individu yang memiliki keterbatasan tidak sama dengan individu pada umumnya
yang sempurna baik fisik maupun mentalnya.
Pandangan yang tidak mewajarkan terhadap individu yang memiliki
keterbatasan terjadi pada masa Renaissance, pada masa itu anak yang memiliki
keterbatasan fisik maupun mental diperlakukan dengan buruk (dianggap sebagai
manusia yang kerasukan roh jahat).
Seiring dengan perkembangan zaman anak-anak yang memiliki
keterbelakangan atau kelainan, baik dalam segi fisik maupun mental telah
mendapatkan perhatian dari pemerintah, terbukti dengan dikeluarkannya
UndangUndang ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) termasuk di Indonesia, pada
tahun 2003 diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tentang Satuan Pendidikan
Nasional Bab IV Pasal 5 Ayat 2.
B. .Pengertian Gangguan Penglihatan (Ketunanetraan)
Kamus lengkap bahasa Indonesia (Wardani, 2011) memaparkan
“Tunanetra berasal dari 2 kata, yaitu tuna dan netra, tuna berarti tidak memiliki,
tidak punya, luka atau rusak, sedangkan netra berarti penglihatan sehingga
tunanetra berarti tidak memiliki atau rusak penglihatan.”
Tunanetra digunakan untuk menggambarkan tingkatan kerusakan atau gangguan
penglihatan yang berat sampai pada yang sangat berat, yang dikelompokan secara
27
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
umum menjadi buta dan kurang lihat. Jadi, tunanetra tidak hanya mereka yang
buta saja melaikan mereka yang mampu melihat tetapi penglihatannya sangat
kurang dan terbatas sekali sehingga tidak bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk
kegiatan pembelajaran seperti halnya orang awas biasa. Dalam hal ini adalah
kedua-duanya (indra penglihatanya) tidak dapat berfungsi dengan baik.
Secara pengertian, mereka yang mengalami kerusakan indra penglihatanyya
tergolong tunanetra. Akan tetapi, individu yang disebut sebagai tunanetra dalam
hal ini ialah mereka yang tak mampu atau tidak dapat memanfaatkan indra
penglihatannya secara optimal untuk kegiatan pembelajaran, sehingga perlu
penanganan atau layanan yang khusus (berkebutuhan khusus).
Efendi (2006) menggambarkan anak tunanetra sebagai: Orang tunanetra sebagai
orang yang memiliki klasifikasi kerja mata tidak normal: bayangan benda yang
ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata, retina, dan
saraf karena suatu sebab, misalnya kornea mata mengalami kerusakan, kering
keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang menghubungkan mata dengan
otak mengalami gangguan.
Klasifikasi anak dengan gangguan penglihatan menurut Somantri (2012: 65),
yaitu:
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan tidak saja
mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tapi
terbatas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam
kondisi berikut:
1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas,
2. Terjadi kekeruhan pada mata atau terdapat cairan tertentu,
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak, dan
4. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Karakteristik anak tunanetra menurut Somantri (2012: 66), yaitu:
28
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21. Artinya,
berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh
orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter yang diukur dengan tes snellen card.
Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dikelompokan menjadi 2 macam,
yaitu:
1.Buta jika anak tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya =
0).
2.Low vision jika anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi
ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline
pada suarat kabar.
Dari pengertian yang disampaikan para ahli, dapat disimpulkan bahwa gangguan
penglihatan (ketunanetraan) merupakan suatu keterbatasan penglihatan yang
dialami individu baik itu hanya berupa penglihatan terbatas maupun buta total
yang mengakibatkan dirinya membutuhkan pelayanan dan pendidikan yang
khusus agar perkembangan kognitif, motorik, emosi, sosial dan kepribadian
penderita dapat terus berkembang optimal.
C.Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan Menurut Efendi (2006) “Penyebab tunanetra terjadi karena adanya
faktor endogen (keturunan) dan eksogen (penyakit, kecelakaan dan lain-lain).
Pada tahun 1950, banyak penderita tunanetra disebabkan oleh retrolenta
fibroplasia (RLF)/ banyaknya bayi lahir prematur.”
Faktor-faktor penyebab ketunanetraan dijelaskan Wardani (2011), yaitu:
1.Faktor internal timbul dalam diri individu (keturunan)
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu itu sendiri
(intern), yakni sifat genetik yang di bawa individu akibat hasil persilangan yang
salah karena terjadi atau terdapat beberapa kelainan, sehingga beberapa fungsi
organ-organ tubuh akibat persilangan gen yang salah akan mengakibatkan
terganggunya atau menjadi tidak dapat berfungsinya organ-organ tersebut dengan
29
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
semestinya (tidak optimal). Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan
antar keluarga dekat dan perkawinan antar tunanetra. Karena didalam keluarga
memiliki kesamaan gen satu sama lainnya yang memungkinkan gen-gen tersebut
membawa sifat suatu penyakit atau kecacatan tertentu. Biasanya gen ini tidak
tampak (resesif), namun apabila gen-gen ini (gen pembawa sifat kelainan)
tercampur dengan gen yang sehat dan dominan, maka gen pembawa sifat penyakit
yang ada akan menjadi tampak. Begitupula dengan perkawinan antar atau salah
satu penderita tunanetra yang membawa gen akan mewariskan sifat genetiknya.
Pada umumnya faktor keturunan terdapat pada inti sel dalam bentuk kromosom
yang berjumlah 23 pasang, kromosom ini terdiri dari zat yang kompleks yang
dinamakan DNA. DNA membentuk gen-gen yang merupakan pembawa sifat bagi
setiap karakteristik dalam tubuh. Apabila terjadi kelainan genetik sebagai akibat
keturunan dari kedua orang tua atau salah satu maka gen-gen inilah yang intinya
akan diturunkan pada generasi berikutnya (Anastasia Widjajantin & Imanuel
Hitipeuw, 1996:22).
2. Faktor eksternal berasal dari luar individu
Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar individu itu sendiri.
faktor eksternal juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penyebab
terjadinya ketunanetraan. Faktor-faktor ini bisa saja timbul karena kecelakaan atau
terserang suatu penyakit.
Penyebab ketunanetraan menurut Wardani (2011) yang dikelompokkan pada
faktor eksternal, antara lain:
a. Penyakit rubella dan syphilis
b. Glaukoma
c. Retinopati diabetes
d. Retinoblastoma
e. Kekurangan vitamin A
f. Terkena zat kimia
30
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
g. Kecelakaan
D. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Menurut Somantri (2012: 67) “Indera penglihatan ialah salah satu indera
penting dalam menerima informasi yang datang dari luar dirinya.”
Setiap manusia membutuhkan indera penglihatan untuk mengamati objek
atau untuk memperoleh suatu informasi yang berada di lingkungan sekitarnya.
Melalui indera penglihatan, manusia akan memperoleh pengetahuan dari
lingkungan sekitarnya dengan jelas, karena dengan indera penglihatan sesuatu
yang bersifat abstrak dapat digambarkan secara konkrit. Sehingga informasi yang
perolehnya dapat lebih cepat dan mudah dipahami.
Menurut Somantri (2012: 68) “Bagi tunanetra setiap bunyi yang
didengarnya, bau yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya, dan rasa yang
dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya.”
Menurut Somantri (2012: 69) “Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata
terbagi atas dua golongan, yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan
pengalamannya sendiri dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang lain
yang ia sendiri sering tidak memahaminya.”
Menurut Piaget (Somantri, 2012: 70) perkembangan fungsi kognitif, yaitu:
Perkembangan fungsi kognitif berlangsung mengikuti prinsip mencari
keseimbangan (seeking equilibrium), yaitu kegiatan organisme dan lingkungan
yang bersifat timbal balik, artinya lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang
terus menerus mendorong organisme untuk menyesuaikan diri, dan demikian pula
scecara timbal balik organisme secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai
suatu struktur yang merupakan bagian darinya.
Tahapan-tahapan perkembangan perilaku kognitif dibagi menjadi dua
bagian, yaitu tahapan secara kulalitatif dan secara kuantitatif. Menurut Somantri
31
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
(2012: 71-73) tahapan-tahapan perkembangan perilaku kognitif secara kualitatif,
yaitu:
1. Pada tahapan sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik
dalam pengamatan dan penginderaan yang instensif terhadap dunia sekitarnya, pada
anak tunanetra prestasi intelektual dalam perkembangan bahasa mungkin bukan
masalah besar, asal lingkungan memberikan stimuli yang kuat dan intensif terhadap
anak. Tanpa stimuli tersebut bukan tidak mungkin perkembangan bahasa anak juga
terhambat karena pengamatan visual juga merupakan faktor penting dalam
menumbuhkembangkan bahasa anak. Sedangkan prestasi intelektual dalam konsep
tentang objek, kontrol skema, dan pengenalan hubungan sebab akibat jelas akan
mengalami kelambatan. Menurut Piaget (Choirul Anam, 1985; Somantri, 2012:71)
pada tahapan praoperasional, dibandingkan anak normal, anak tunanetra akan
mengalami kelambatan sekitar 6 bulan.
2. Tahapan pra-operasional yang ditandai dengan cara berpikir yang bersifat
transduktif (menarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang
khusus; sapi disebut kerbau), dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum
memahami cara orang memandang objek yang sama), serta besifat searah, anak
tunanetra cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara berpikir
seperti itu. Ketidakmampuannya dalam menggunakan indera penglihatan sebagai
saluran informasi cenderung mengakibatkan kesulitan dalam belajar
mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri yang mencolok (menonjol) atau
kriteria tertentu.
3. Pada tahapan praoperasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak
dalam mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan,
serta proses berpikir, walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat
konkrit, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam
batasbatas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan. Ini
32
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
disebabkan oleh sistem organisasi kognitif sebelumnya yang mutlak diperlukan
dalam cara-cara seperti diatas tidak terorganisasi secara utuh pada anak tunanetra.
4.Pada tahapan praoperasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk
mengoperasikan kaidah-kaidah formal yang tidak terikat lagi dengan objek-objek
yang bersifat konkret, seperti kemampuan berfikir hipotesis deduktif (hypotheic
deductive thinking), mengembangkan suatu kemungkinan berdasar dua atau lebih
kemungkinan (acombination thinking), proposional thinking, serta kemampuan
menarik generalisasi dan inferensi tertentu mungkin dapat melakukan dengan baik
walaupun sifatnya sangat verbalitas. Hal ini karena dalam pemikiran operasional
formal berawal dari kemungkinan-kemungkinan yang hipotetik dan teoritik dan
bukan berawal dari hal-hal yang nyata. Namun demikian, karena dalam
perkembangan kognitif ini sifatnya hierarkis, artinya tahapan sebelumnya akan
menjadi dasar bagi berkembangnya tahapan berikutnya, pencapaian tahapan operasi
lain yang menghambat ialah kurangnya pengalaman yang luas yang disebabkan
oleh terbatasnya jenis informasi yang dapat diterima serta keterbatasannya dalam
orientasi dan mobilitas.
Kecerdasan anak tunanetra menurut Kirley, 1975 (Somantri, 2012:75), yaitu:
Berdasarkan tes intelegensi dengan menggunakan Hayes-Bines Scale ditemukan
bahwa rentang IQ anak tunanetra berkisar antara 45-160, dengan ditribusi 12,5%
memiliki IW kurang dari 80, kemudian tunanetra cenderung memiliki rata-rata skor
comprehension subtest yang lebih rendah daripada rata-rata pada skor subtes
lainnya.
Menurut Salsabila (2013) untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak
difasilitasi dengan: Kemampuan kognitif penderita tunanetra dapat dioptimalkan
melalui fasilitas, seperti bacaan dan tulisan Braille, keyboarding, alat bantu
menghitung/calculation aids, mesin baca Kurzweil, buku bersuara/talking book,
komputer, latihan orientasi dan mobilitas, menggunakan pemandu, tongkat
pemandu dan kemampuan diri dalam melakukan aktivitas.
33
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
D. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra dijelaskan Somantri (2012:
76):Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan dengan
anak awas pada umumnya, karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan
adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan
otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang
diberikan oleh lingkungan. Fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi
fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam
perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai
kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karena fungsi psikisnya
(seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya
bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta
kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan
fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas
motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung
terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
C. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Menurut Somantri (2012: 80-83) perkembangan emosi anak tunanetra
digambarkan sebagai: Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit
mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan ini
terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam
proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan
melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun
hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan
pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi
yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai yang diharapkan oleh diri
maupun lingkungannya. Masalah-masalah lain yang sering muncul dan
dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra ialah gejala-gejala emosi
yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan seperti
34
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan
yang berlebihan.
D. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial anak tunanetra dijelaskan Somantri (83-85), yaitu:
Hambatan-hambatan muncul pada anak tunanetra sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari ketunanetraan, yaitu kurangnya motivasi, kekuatan menghadapi
lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat, penghinaan,
sikap tak acuh, ketidak jelasan tuntutan sosial, terbatasnya kesempatan belajar tentang
pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat
mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terhambat.
Jadi perkembangan sosial anak tunanetra harus didukung oleh lingkungan keluarga
melalui hal-hal positif agar termotivasi hidupnya dan memberikan peluang besar
untuk diterima di lingkungan masyarakat seperti kesempatan belajar, berinteraksi
secara normal dan diterima layaknya anak normal.
E. Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra
Pada hakikatnya perkembangan apapun mengenai anak tunanetra sangat
bergantung pada orang yang menanganinya.
Jika anak tunanetra didukung dan dipercaya untuk melakukan kegiatan
yang positif maka perkembangannya pun akan bermakna.
Pada pembahasan konsep diri disampaikan pula 3 aspek yang terdapat di dalamnya
menurut Callhoun dan Acocella (Ghufron dan Risnawati, 2011; Fitriyah, 2013), yaitu:
1. Pengetahuan merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya. Di dalam
benaknya terdapat satu daftar yang menggambarkan dirinya, kelengkapan atau
35
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama dan
lainlain.
2. Harapan digambarkan sebagai suatu aspek dimana seseorang memandang tentang
dirinya, kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan.
3. Penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri.
Menurut Somantri (2012: 86) “Anak tunanetra setengah akan mengalami kesulitan
menemukan konsep diri yang lebih besar daripada anak yang buta total karena mereka
sering mengalami konflik identitas di mana suatu saat oleh lingkungannya disebut anak
awas tapi pada saat yang lain disebut anak tunanetra.”
Konsep diri merupakan hal yang penting yang harus disadari penderita tunanetra
sehingga penderita tunanetra dapat memandang dirinya lebih bermakna dan berharga,
menutupikekurangan dengan kelebihan yang akan membuatnya lebih bersyukur dan bisa
membuktikan pada dunia luar jika dirinya juga bisa hidup mandiri seperti orang lain
dengan kondisi fisik yang normal yang pada akhirnya akan membentuk perkembangan
kepribadian yang positif pada diri penderita tunanetra.
F. Masalah Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara
Pendidikan
Permasalahan yang ditimbulkan karena ketunanetraan saling berkaitan sehingga
ketika suatu masalah timbul sering kali menimbulkan masalah yang lain sehingga
penanganannya memerlukan penanganan yang tepat dan solusinya pun harus
berkaitan.
Menurut Somantri (2012: 87) “Dalam menangani anak tunanetra perlu diupayakan
melalui layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan dan kesempatan yang luas
yang dilaksanakan secara terpadu dan multidisipliner untuk mencegah jangan
sampai permasalahan tersebut muncul, meluas dan mendalam yang akhirnya akan
merugikan perkembangan penderita tunanetra.”
36
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Permasalahan individu tunanetra di sekolah menurut Hidayat (2006), yaitu:
a.Masalah pengajaran mencakup kesulitan dalam proses belajar anak berupa
kesulitan dalam menangkap pelajaran secara verbalistik, menggunakan bukubuku,
cara belajar baik sendiri maupun kelompok, kesulitan dalam memilih metode
belajar yang tepat, kesulitan dalam membaca dan menulis, keterbatasan perabaan-
pendengaran dan ingatan serta sarana yang diperlukan dalam proses pembelajaran
yang terbatas.
b. Masalah pendidikan mencakup:
1) Awal : Menyesuaikan diri dengan lingkungan dan warga sekolah.
2) Proses: Mencari teman yang cocok, memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai
bakat, mendapatkan pembaca yang cocok, mendapatkan pembimbing yang
cocok dan lain-lain.
3) Akhir : Memilih suatu studi lanjutan, memilih latihan kerja tertentu dan
lainlain.
c. Masalah orientasi dan mobilitas serta kebiasaan diri berupa masalah yang ada
kaitannya dengan kesulitan penguasaan ruang dan kemampuan gerak serta
kebiasaan-kebiasaan hidup yang kurang menguntungkan, misalnya kesulitan
orientasi lingkungan baru.
d. Masalah gangguan emosi berupa gangguan-gangguan emosi seperti mudah curiga
terhadap orang lain, mudah tersinggung dan mudah marah.
e. Masalah penyesuaian diri berupa berubahnya konsep diri sehingga mereka merasa
rendah diri karena keterbatasannya.
f. Masalah keterampilan dan pekerjaan berupa sulitnya mencari kecocokkan
keterampilan individu tunanetra dengan pekerjaan yang ada di masyarakat serta
usaha-usaha pemilihan latihan-latihan untuk keterampilan pekerjaan tertentu.
g. Masalah ketergantungan diri berupa kurangnya kepercayaan terhadap diri sendiri.
37
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
h. Masalah penggunaan waktu senggang berupa penggunaan waktu yang selalu
dirundung kesunyian dan kesepian, mengkhayal, menyendiri, tidur tak ada hasil
dan sebagainya
G. Dampak Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara
Pendidikan
Ketunanetraan memberi dampak yang tidak begitu baik bagi keluarga. Salah
satu contoh dampak ketunanetraan bagi keluarga, yaitu:
1.Sebagian orang awam (kurang mengerti) menganggap bahwa
ketunanetraan yang terjadi pada anak diakibatkan oleh dosa orang tuanya sehingga
anak menjadi “wadal” dari dosa yang diperbuat orang tua. Asumsi sebagian
masyarakat tersebut seringkali dijadikan bahan olok-olokan bagi konsumsi
masyarakat.
2.Sebagian orang berpendapat pula bahwa ketunanetraan yang terjadi pada
diakibatkan oleh penyakit atau kelainan yang diderita orang tuanya, misalkan kedua
orang tuanya merupakan penderita tunanetra.
Dampak yang diterima orang tua dari ketunanetraan anaknya terkadang
menimbulkan reaksi yang berbeda yang orang tua tunjukkan kepada anaknya.
Reaksi-reaksi tersebut dipaparkan Somantri (2012: 90), yaitu:
a. Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya
b. Penyangkalan terhadap ketunetraan anak
c. Perlindungan yang berlebihan
d. Penolakan secara tertutup
e. Penolakan secara terbuka
38
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB IV
Pendidikan dan Bimbingan bagi
Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Grahita
Istilah tunagrahita (intellectual disability) atau dalam perkembangan sekarang
lebih dikenal dengan istilah developmental disability, sering keliru dipahami oleh
masyarakat, bahkan sering terjadi pada para professional dalam bidang pendidikan
luar biasa didalam memahami konsep tunagrahita. Perilaku tunagrahita yang
kadangkadang aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan situasi lingkungan seringkali
menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang yang berada didekat mereka. Keanehan
tingkah laku tunagrahita dianggap oleh masyarakat sebagai orang sakit jiwa atau
orang gila. Tunagrahita sesungguhnya bukan orang gila, perilaku aneh dan tidak
lazim itu sebetulnya merupakan manifestasi dari kesulitan meraka didalam menilai
situasi akibat dari rendahnya tingkat kecerdasan. Dalam pengertian lain terdapat
kesenjangan yang signifikan antara kemampuan berfikir dengan perkembangan usia.
Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita biasa
dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti
menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai
oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial.
Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Latihan,
pengalaman, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya pada
kemampuan adaptif seseorang.
39
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
A. Pengertian Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki kelemahan dalam berfikir dan bernalar. Akibatnya
dari kelemahan tersebut anak tunagrahita mempunyai kemampuan belajar dan
beradaptasi sosial berada dibawah rata-rata. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Munzayanah (2000: 14), yaitu: Anak cacat mental atau anak tunagrahita anak yang
mengalami gangguan dalam perkembangan daya pikir serta seluruh kepribadiannya
sehingga mereka tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri didalam masyarakat
meskipun dengan cara hidup yang sederhana.
Menurut A. Salim Choiri dan Ravik Karsidi (1999: 47), ”Anak tunagrahita adalah
anak dimana perkembangan mental tidak berlangsung secara normal, sehingga
sebagai akibatnya terdapat ketidak mampuan dalam bidang intelektual, kemauan,
rasa, penyesuaian sosial dan sebagainya”. Menurut Tjutju Sutjiati Somantri (1995:
159) menyatakan bahwa ”Anak tunagrahita atau terbelakang mental merupakan
kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak
mencapai tahap perkembangan yang optimal”.
Sedangkan menurut Mohammad Amin (1995: 116) adalah sebagai berikut: ”Anak
tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada dibawah rata-rata.
Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang
sulit-sulit dan berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil
bukan sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya dan bukan
hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran
seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan, hal-hal yang menggunakan simbol-
simbol, berhitung dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka
kurang atau terhambat dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya”.
Tuna grahita sebagai kelainan (1) yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah
rata-rata yaitu IQ 84 kebawah yang berdasar tes individual (2) muncul sebelum 16
tahun dan (3) menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Tahun1961 American
Association On Mental Deficiency (ADMD). Tuna grahita yaitu (1) anak yang fungsi
40
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
intelektualnya lamban yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes intelegensi buku (2)
kekurangan dalam perilaku adaptif dan (3) terjadi pada masa perkembangan yaitu
antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun (Japan League for The Mentally Retarded,
1992: 22). Pendidikan Luar Biasa Umum menurut Mulyono Abdurrachman (1994:
76), tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak yang
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Jadi dari beberapa pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah kondisi anak dimana
perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga mempunyai
ketidakmampuan dalam bidang intelektual, kemauan, rasa, penyesuaian diri dengan
lingkungan, kurang cakap dalam berpikir dalam hal-hal yang abstrak sehingga
mereka tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri didalam masyarakat meskipun
dengan cara yang sederhana.
B. Apa Saja Faktor Penyebab Tunagrahita
Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah berusaha membaginya
menjadi beberapa kelompok. Ada yang membaginya menjadi dua gugus, yaitu
indogen dan eksogen. Ada juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya
penyebab, disusun secara kronologis sebagai berikut faktor-faktor yang terjadi
sebelum anak lahir (prenatal), faktor-faktor yang terjadi ketika anak lahir (natal), dan
faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan (pos natal).
1. Penyebab terjadinya anak tunagrahita menurut Kirk (1970)
a) Faktor endogen (faktor yang dibawa sejak lahir) yaitu faktor
ketidaksempurnaan psikoniologis dalam memindahkan gen.
b) Faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patalogis dari
perkembangan normal seperti mengalami penyakit atau keadaan lainnya.
2. Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut
Devenportb dapat dirinci melalui jenjang :
a) Kelainan atau keturunan yang timbul pada benih plasma.
b) Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur.
c) Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi.
41
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
d) Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan yang timbul dalam embrio. e) Kelainan atau keturunan yang timbul dari luka saat kelahiran.
f) Kelainan atau keturunan yang timbul dalam janin.
g) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak..
3. Menurut penyelidikan para ahli (tunagrahita) dapat terjadi :
a) Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya
seperti : campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang
kekurangan gizi, pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
b) Natal (waktu lahir)
Proses melahirkan yang sudah terlalu lama dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil dapat
menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia),
juga proses melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
c) Pos Natal (sesudah lahir)
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam
tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak
(meningitis) dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan
(tunagrahita).
C. Kemampuan Bahasa Dan Bicara Anak Tunagrahita
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal
barangkali tidak banyak menemui hambatan yang berarti, karena mereka dapat
dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicaranya. Hal ini dikarenakan
kecerdasan sebagai salah satu aspek psikologis mempunyai kontribusi cukup besar
dalam mekanisasi fungsi kognisi terhadap stimulasi verbal maupun nonverbal,
terutama yang memiliki unsur kebahasaan. Namun tidak demikian halnya bagi anak
tunagrahita, apa yang dilakukan oleh anak normal sulit untuk diikuti oleh anak
tunagrahita. Seringkali stimulasi verbal maupun nonverbal dari lingkungan gagal
42
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
ditransfer dengan baik oleh anak tunagrahita. Bahkan hal-hal yang tampaknya
sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa
kebahasaan yang lazim terjadi di sekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita secara
maksimal, tentunya perlu upaya dan strategi khusus. Satu hal yang perlu dipahami
bagi guru, langkah pertama sebelum mangajarkan hal-hal yang lebih besar,
sedapatnya diajarkan untuk menhyebutkan namanya.. Apabila penguasaan kosakata
sudah baik, dapat dilanjutkan dengan memperkenalkan benda dilingkungan
sekitarnya, seperti delman, sungai, mobil, sepeda, dan lain-lain.
D. Penyesuaian Sosial Anak Tunagrahita
Pada anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan social dapat
berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun tidak dengan demikian halnya
dengan anak tuna grahita, pada setiap tahapan perkembangan social yang dialami
anak tunagrahita selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan
perilaku anak tunagrahita berada dibawah usia kalendernya, dan ketika usis 5-6 tahun
mereka belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata, 1979).
Beberapa studi menunjukkan bahwa terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada
hubungannya dengan taraf kecerdasannya yang sangat rendah.
Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang social umumnya terjadi
karena hal-hal berikut.
1. Kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak tunagrahita untuk
melakukan sosialisasi.
2. Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi.
3. Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
E. Pendampingan Yang Dilakukan Terhadap Anak Tunagrahita 1. Rekomendasi untuk Sekolah
Berperan aktif dalam meningkatkan kualifikasi guru untuk menangani anak
berkebutuhan khusus dan memfasilitasi layanan pendidikan khusus.
2. Rekomendasi untuk Guru
43
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
a. Guru di sekolah inklusif diharapkan lebih sedikit banyaknya memahami
konsep anak berkebutuhan khusus dan dapat membekali diri melalui
pelatihan-pelatihan mengenai pendidikan inklusi dan konsep ABK,
dengan memahami hal tersebut diharapkan mempermudah guru untuk
memberikan pelayanan terhadap ABK sesuai dengan kebutuhan dan
hambatannya, khususnya siswa dengan tunagrahita.
b. Sebagai bahan evaluasi untuk guru khususnya, guru di sekolah inklusi
agar termotivasi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan yang baik dan
sesuai bagi ABK, khususnya anak tunagrahita yang ada di sekolah-sekolah
inklusi.
3. Rekomendasi untuk Orang Tua
a. Orang tua ABK bersikap respontif terhadap pendidikan dan
perkembangan anak agar terciptanya perubahan dalam diri anak melalui
program-program sekoalh inklusi.
b. Adanya wadah/forum bagi perkumpulan orang tua ABK di sekolah inklusi
untuk berkerja sama dalam upaya mendidik anaknya dan mengevaluasi
kinerja guru mengenai pelayanan anak tunagrahita di sekolah
Pencegahan supaya anak tidak mengalami tunagrahita:
1. Pencegahan primer
Dilakukan untuk meningkatkan kesehatan calon anak yaitu dengan imunisasi
bagi anak dan ibu sebelum kehamilan, konseling perkawinan, pemeriksaan
kehamilan rutin, nutrisi yang baik, persalinan oleh tenaga kesehatan,
memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga, pendidikan kesehatan mengenai pola
hidup sehat dan program pengentasan kemiskinan.
2. Pencegahan sekunder
Dilakukan deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan sekolah
sehingga tindakan yang tepat segera diberikan, dengan cara konseling individu
dengan program pembimbing sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga
yang mengalami stress.
44
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
3. Pencegahan tersier
Dilakukan dengan memberikan informasi berupa pendidikan kesehatan kepada
orang tua dan anak mengenai masalah kesehatan yang terjadi berulang kali
dengan penekanan pada kebutuhan gizi, kebersihan gigi, kebersihan tubuh,
bahaya alkohol, narkotik, dan zat adiktif serta merokok.
Pelatihan untuk Tunagrahita
1. Occuppasional terapy ( terapi gerak)
Terapi ini diberikan kepada anak tuna grahita untuk melatih gerak fungsional
anggota tubuh gerak kasar atau halus.
2. Play terapi (terapi bermain)
Terapi yang diberikan kepada anak tuna grahita dengan cara bermain, misalnya :
memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan tentang tata cara sosial
drama, bermain jual beli.
3. Aktivity daily living (ADL) atau kemampuan merawat diri
Untuk memandirikan anak tuna grahita, mereka harus diberikan pengetahuan
dan ketrampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka
dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada
orang lain.
4. Lives kill , keterampilan hidup
Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah
rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak
tuna grahita yang memiliki IQ di bawah rata-rata mereka juga diharapkan untuk
dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup mereka diberikan
pendidikan keterampilan. Dengan ketrampilan yang dimilikinya, mereka dapat
hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia
industri dan usaha.
45
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
5. Fokastional terapy (terapy bekerja)
Selain diberikan latihan ketrampilan anak tuna grahita juga diberikan latihan
kerja. Dengan bekal latihan yang telah dimilikinya, anak tuna grahita
diharapkan dapat bekerja.
F. Layanan Pendidikan Anak Tunagrahita di Indonesia
Di Indonesia perkembangan pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus dimulai
sebelum masa kemerdekaan yaitu dengan berdirinya, untuk pertama kali, Lembaga
Penyandang Cacat Tunanetra di Bandung pada tahun 1901. Pada 1927 dibuka
sekolah bagi anak tunagrahita di kota yang sama dan pada saat yang hampir
bersamaan didirikan sekolah khusus bagi anak tunarungu pada 1930 di Bandung
juga.
tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang- undang no 20 tentang system
pendidikan nasional ( UUSPN ). Dalam undang – undang tersebut dikemukakan hal-
hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan
pendidikan khusus, beberapa diantaranya sebagai berikut :
a. Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan
fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
b. Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 ) Pendidikan khusus bagi
peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi kecerdasan.
46
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB V
Pendidikan dan Bimbingan ABK Tuna Daksa Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh (anak
tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks Pendidikan Luar
Biasa (Pendidikan Khusus) masih dipermasalahkan. Munculnya permasalahan
tersebutterkait dengan asumsi bahwa anak tunadaksa (kehialangan salah satu atau lebih
fungsianggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak mengalami kesulitan untuk
menititugas perkembangannya, tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak
tunadaksa(khususnya tunadaksa ringan).
Secara umum dikenal dua macam anak tunadaksa. Pertama, anak tuna daksa yang
disebabkan karena penyakit polio, yang mengakibatkan terganggunya salah satu
fungsianggota badan. Anak tunadaksa kelompok ini sering disebut orthopedically
handicapped,tidak mengalami hambatan perkembangan kecerdasannya. Oleh karena itu
mereka dapat belajar mengikuti program sekolah biasa.
Kedua, anak tunadaksa yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Anak tuna
daksa kelompok ini mengalami gangguan gerak dan kebanyakan dari mereka
mengalamigannguan kecerdasan dan sering disebut neurologically handicapped atau
secara khususmereka disebut penyandang cerebral palsy. Anak tuna daksa kelompok
inimembutuhkan layanan pendidikan luar biasa.Anak yang mengalami gangguan gerakan
pada taraf sedang dan berat,umumnya dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB),
sedangkan anak yang mengalami gangguan gerakan dalam taraf ringan banyak ditemukan
sekolah ± sekolah umum. Namun jika mereka tidak mendapatkan pelayanan khusus
dapatmenyebabkan terjadinya kesulitan belajar yang serius.
A. Pengertian Anak Tuna Daksa Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik atau salah satu
bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot, dan persendian yang
47
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau
bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu.
Wikipedia, pengertian Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan,
sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu
memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu
memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan
fisik.
B. Karakteristik dan Permasalahan yang dihadapi Anak Tuna Daksa Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk mengidentifikasi
karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber
ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai
berikut :
1. Karakteristik Kepribadian
Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang demikian ini
tidak menimbulkan frustasi.Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan
lamanya kelainan fisik yang diderita.Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi
kepribadian atau ketidak mampuan individu dalam menyesuaikan diri.Anak cerebalpakcy
dan polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang mengalami sakit jantung.
2. Karakteristik Emosi-sosial
Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak tuna daksa dapat
berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat menimbulkanfrustasi yang
berat.Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkirkan diri dari
keramaian.Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-anak normal
dalam suatu permainan.Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan lingkunganya.
3. Karakteristik Intelegensi
Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi ada beberapa
kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu bila kecacatanya
meningkat.Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
4. Karakteristik Fisik
48
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami gangguan-gangguan
lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara
dan sebagainya.Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai pada
batas-batas tertentu.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna
daksa memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah
satunya tidak dimiliki.
Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif.
Dari dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi
siswa disekolah. Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa masalah,
yaitu:
1. Masalah kesulitan belajar
2. Masalah sosialisasi
3. Masalah kepribadian
4. Masalah ketrampilan dan pekerjaan
5. Masalah latihan gerak
C. Klasifikasi Anak Tuna Daksa Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya kelainan pada anak
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem
serebral ( Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka ( Musculus
Skeletal System)
1. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral system disorders)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem serebral ( cerebral) didasarkan
pada letak penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat mengakibatkan bentuk
kelainan yang krusial karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat dari
aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat
kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan
bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan
menurut:
a) Penggolongan menurut derajat kecacatan
49
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas: golongan ringan,
golongan sedang, dan golongan berat.
1) Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat,
berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
dapat hidup bersama-sama (dalam hal ini mengikuti aktivitas sehari-hari) anak
normal lainnya. Kelainan yang dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu
kehidupan dan pendidikannya.
2) Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment atau latihan khusus
untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri. Golongan ini memerlukan
alatalat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu
penyangga kaki, kruk atau tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan
pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus
dirinya sendiri.
3) Golongan berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy. Golongan ini yang tetap
membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan menolong dirinya sendiri.
Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat.
b) Penggolongan menurut topografi
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral Palsy dapat
digolongkan menjadi enam golongan, yaitu:
1) Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri.Sedangkan kaki kanan dan
kedua tangannya normal.
2) Hemiplegia
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama,misalnya tangan kanan dan
kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
3) Paraplegia
Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
4) Diplegia
Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri(paraplegia).
5) Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dankedua kakinya
lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
6) Quadriplegia
50
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggotageraknya. Mereka cacat pada
kedua tangan dan kedua kakinya,quadriplegia disebutnya juga tetraplegia. c)
Penggolongan menurut fisiologi
Dilihat dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat diotak dan fungsi geraknya
(motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
1) Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian
ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam
keadaan ketergantungan emosional, kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah,
sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis
spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada yang
normal bahkan ada yang di atas normal.
2) Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakkan
dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi
di luar kontrol dan koordinasi gerak.
3) Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya dapat
terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada
sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami
gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh dalam kehidupan
seharihari adalah pada saat makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi
makanan sampai ujung mulut.
4) Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan terus
menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat
terjadi pada kepala, mata, tungkai, dan bibir.
5) Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot – tidak seperti pada tipe spastik – di mana
gerakannya tampak tidak ada keluwesan.
6) Tipe campuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP sehingga akibatnya lebih
berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu tipe CP.
51
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
2. Kelainan pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel system)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka didasarkan
pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan
sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi :
a) Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan
tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini menyerang sumsum tulang belakang
pada anak usia dua tahun sampai enam tahun. b) Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita
muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin parah. Kondisi
kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan saja atau kedua kaki saja, atau
pada kedua tangan dan kaki. Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui
secara pasti. Gejala anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia
tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan yang lambat, di mana semakin hari keadaannya
semakin mundur. Selain itu, jika berjalan sering terjatuh. Hal ini kemudian
mengakibatkan anak tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas
kursi roda
D. Penyebab Tuna Daksa Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak sehingga
menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum
tulang belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa,
dan masing-masing timbulnya kerusakan berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya,
kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebelum lahir (fase prenatal)
2. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
3. Setelah proses kelahiran (fase post natal)
E. Perkembangan Kognitif Anak Tuna Daksa
Proses perkembangan kognitif banyak ditentukan dari pengalaman-pengalaman
individu sebagai hasil belajar. Proses perkembangan kognitif akan berjalan dengan baik
apabila ada dukungan atau dorongan dari lingkungan. Seperti dikatakan Piaget bahwa
setiap individu memiliki struktur kognitif dasar yang disebut schema (misalnya
52
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
kemampuan untuk melakukan gerakan refleks, seperti menghisap, merangkak, dan
gerakan refleks lainnya).schema ini akan berkembang melalui belajar. Proses adaptasi
yang didahulukan dengan adanya persepsi.
Anak tuna daksa yang mengalami kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah secara
fisiologis dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tuna daksa mengalami
hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan dan
mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga sedikit banyak masalah ini mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan struktur kognitif anak tuna daksa. Dalam pengukuran
intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka intelegensi yang cukup tinggi.
Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tuna daksa ini belum dapat
difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas, masalah emosi, kepribadian akan
mempengaruhi anak tuna daksa dalam melakukan eksplorasi keluar.
F. Perkembangan Sosial, Emosi, dan Kepribadian Anak Tuna Daksa 1. Perkembangan Sosial Anak Tuna Daksa
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga,
teman-teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin (1996) menjelaskan
bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tuna daksa dapat
mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
2. Perkembangan Emosi Anak Tuna Daksa
Ketunaan yang ada pada anak tuna daksa secara khusus tidak akan menghambat
dalam perkembangan emosi pada anak tuna daksa. Hambatan ini dialami setelah anak
mengadakan interaksi dengan lingkungannya.
3. Perkembangan Kepribadian Anak Tuna Daksa
Perkembangan kepribadian anak banyak ditemukan oleh pengalaman usia dini,
keadaan fisik, kesehatan, pemberian cap dari orang lain, intelegensi, pola asuh orangtua
dan sikap masyarakat. Pada usia dini anak tuna daksa mengalami gangguan dalam fungsi
mobilitas, gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan berjalan.
53
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB VI
PENDIDIKAN dan BIMBINGAN ABK TUNA LARAS
kehidupan sehari-hari banyak sekali macam tingkah laku, karakteristik dan
bentuk fisik manusia yang kita temui. Baik itu orang normal maupun tidak normal.
Didalam pendidikan juga ada yang untuk anak normal dan untuk anak yang
membutuhkan layanan khusu atau sekolah luar biasa. Anak luar biasa adalah anak
yang mengalami gangguan atau hambatan perkembangan baik fisik maupun
mentalnya sehingga mereka membutuhkan perhatian dan layanan khusus,hal ini
dengan tujuan agar mereka mampu menjalani kehidupan sehari-hari
tanpamembutuhkan orang lain. Salah satu anak yang mengalami hambatan atau
gangguan yaitu anak tunalaras. Anak tunalaras adalah anakyang mangalami gangguan
emosi dan mentalnya dimana anak ini berbuat sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh
anak seusianya. Contoh prilaku yang dilakukan adalah mencuri, membuat keributan
atau cemas orang lain, menyakiti orang lain dan srbagainya yang tidak biasa
dilakukan oleh anak seusianya.
lingkungan keluaga anak mendapat pendidikan yang baik, tapi lingkungan
tidak baik maka anak juga bisa mempunyai sifat atau kelainan misalnya suka
membuat keributan dan cemas orang lain. Untuk mengatasi terjadinya kelainan
tersebut yaitu dengan lebih memperhatikan anak baik dari lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Kalau anak sudah me,punyai pergaulan yang tidak baik
maka, orang tua harus cepat tanggap dan mencengahnya agar anak tidak berlarut-iarut
dalam permasalahan tersebut.
A. PENGERTIAN ANAK TUNALARAS
Bukan masalah yang sederhana untuk menentukan batasan mengenai anak
yang mengalami gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tuna laras.
Hingga kini belum ada suatu defenisi yang dapat diterima secara umum serta
memuaskan semua pihak. Kenyataan batasan atau definisi yang telah dikemukakan
54
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
oleh profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda
sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan
profesionalnya. Namun demikian, hampir semua batasan yang dikemukakan oleh
para ahli menganggap bahwa tuna laras menampakkan suatu perilaku penentangan
yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan
dalam belajar di sekolah (Somantri, 2006).
Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral
disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang
menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku,
apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak
mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan;
tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru;
bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu
dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik
seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan
di sekolah (Delphie, 2006).Dari banyak pendapat menurut para ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa anak tuna laras adalah anak yang mengalami hambatan emosi
dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan
mengganggu situasi belajarnya. Situasi belajar yang mereka hadapi secara monoton
akan mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat (Somantri, 2006).
Istilah yang digunakan untuk anak yang berkelainan perilaku (anak tunalaras)
dalam konteks kehidupan sehari-hari di kalangan praktisi sangat bervareasi.
Perbedaan pemberian julukan kepada anak yang berkelainan perilaku (tunalaras)
tidak lepas dari konteks pihak yang berkempentingan. Misalnya para orang tua
cenderung menyebut anak tunalaras dengan anak jelek (bad boy) para guru
menyebutnya dengan sebutan anak yang tidak dapat di perbaiki (incorrigible), para
pisikiater atau pisikolog lebih senang menyebutnya sebagai anak yang tergangu
emosinya (emotional disturb cbild).
55
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
B. KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS MENURUT HALLAHAN DAN
KAUFFMAN
Karakteristik yang dikemukakan Hallahan dan kauffman (1986) berdasarkan
dimensi tingkah laku anak tuna laras adalah sebagai berikut:
a. Anak yang mengalami gangguan perilaku
a) Berkelahi, memukul menyerang
b) Pemarah
c) Pembangkang
d) Suka merusak
e) Kurang ajar, tidak sopan
f) tidak mau bekerjasama
g) Suka menggangu
h) Suka ribut, pembolos
i) Mudah marah, Suka pamer
j) Hiperaktif, pembohong
k) Iri hati, pembantah
l) Ceroboh, pengacau
m) Suka menyalahkan orang lain
n) Mementingkan diri sendiri
b. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri:
a) Cemas b) Tegang
c) Tidak punya teman
d) Tertekan
e) Sensitif
56
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
f) Rendah diri
g) Mudah frustasi
h) Pendiam
i) Mudah bimbang
c. Anak yang kurang dewasa
a) Pelamun
b) Kaku
c) Pasif
d) Mudah dipengaruhi
e) Pengantuk
f) Pembosan
d. Anak yang agresif bersosialisasi
a) Mempunyai komplotan jahat
b) Berbuat onar bersama komplotannya
c) Membuat genk
d) Suka diluar rumah sampai larut
e) Bolos sekolah
f) Pergi dari rumah
C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK TUNA LARAS
1. Kondisi/Keadaan Fisik
2. Masalah Perkembangan
3. Lingkungan Keluarga 4. Lingkungan Sekolah
5. Lingkungan Masyarakat
D. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK TUNALARAS a.
Konsep
57
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Pendidikan inklusi merupakan model pendidikan yang memberi kesempatan
bagi anak tunalaras untuk belajar bersama siswa-siswa lain seusianya yang tidak
berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan
sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan
yang ada, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional,
cultural, maupun bahasa (Florian, 2008, dalam Sri Faridanto, 2010). Atas dasar
pengertian dan dasar pendidikan inklusi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang berusaha mengakomodasi segala jenis
perbedaan dari peserta didik. Secara konseptual dan paradigmatis( Farrell, 2008,
dalam Sri Faridanto, 2010) mengidentifikasi karakter akomodatif pendidikan inklusi
sebagai berikut :
a. Pendidikan inklusi mau merekrut semua „jenis‟ siswa.
Pendidikan inklusi tidak berpihak pada homogenitas sekelompok siswa.
Implikasinya adalah pendidikan inklusi tidak mengenal tes penyetaraan baik
kemampuan akademik maupun non akademik bagi calon siswa, dan tidak pula
mengenal istilah „mengeluarkan‟ siswa dari sekolah karena bermasalah.
Sekalipun itu adalah anak tunalaras yang memang sering „bermasalah‟ dengan
peraturanperaturan yang ada di sekolah.
b. Pendidikan inklusi menghindari semua aspek negatif labeling
Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas bagi pihak
yang diberi label negatif. Perasaan inferioritas akan mengganggu setiap aspek
kehidupan mereka, termasuk pendidikan. Secara kongkrit, pendidikan inklusi
berusaha menghindari label negative dengan mengubah label yang ada di masa
lalu menjadi lebih positif di masa kini. Untuk anak tunalaras, dahulu sebutannya
adalah ‘maladjusted’ (gangguan penyesuain diri), menjadi ‘emotional and
behavioral difficulties (EBD)’ (problem emosi dan perilaku), dan kini menjadi
‘behavioral, emotional, and social difficulties (BESD)’ (problem perilaku, emosi,
dan sosial) (Farrell, 2008, dalam Sri Faridanto, 2010).
58
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
c. Pendidikan inklusi selalu melakukan checks dan balances
Checks dan balances pada pendidikan inklusi dijaga secara ketat dengan
melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan siswa, yakni orangtua
siswa, masyarakat (komite sekolah), serta pada ahli yang terkait dengan
karakteristik khusus (Farrell, 2008, dalam Sri Faridanto, 2010). Dalam konteks
pendidikan anak tunalaras, checks dan balances sangat berarti. Peran sekolah
sebagai penyedia layanan pendidikan akan terbantu dengan kerjasama yang baik
dari orangtua siswa sebagai guru sekaligus diagnostician gangguan emosi dan
perilaku anak di rumah, komite sekolah yang juga dapat berperan dalam advokasi
atas berbagai resiko gangguan emosi dan perilaku yang ditimbulkan anak, dan ahli
psikiatri serta psikolog sebagai penentu dan pemberi treatmen klinis gangguan
emosi dan perilaku.
E. PENERAPAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK TUNALARAS
1. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama
dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian,
karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar
biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan, maka dalam kegiatan belajar-mengajar
guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum
juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak,
yaitu dengan:
a. Bentuk kelas Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan
dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak luar
biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
a) Kelas reguler (inklusi penuh)
b) Kelas reguler dengan cluster
59
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
c) Kelas reguler dengan pull out
d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out
e) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
f) Kelas khusus penuh.
b. Implementasi model pembelajaran
Disebabkan anak-anak dengan kelainan perilaku salah suai mengacu kepada
adanya:1) perilaku yang sangat ekstrim;2) masalahnya sangat kronis (salah
satunya adalah sulit untuk dihilangkan secepatnya);3) perilaku yang tidak diterima
oleh adanya harapan-harapan tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya
tertentu.
a) Kebutuhan intervensi pembelajaran khusus
Ada tiga bentuk hubungan pada diri peserta didik yang mengalami hambatan
perkembangan, yaitu Locus of control, expectancy for failure, dan outer directedness.
1. Locus of control
2. Expectancy for failure
3. Outerdirectedness
Dengan demikian maka perhatian guru lebih tertuju ke pada upaya-upaya untuk
membantu anak dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya, bukan dengan merubah
perilaku kelainan yang tampak atau memberikan keterampilan akademik. Program
pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat meningkatkan hubungan
orangperorang dengan hal-hal berikut:
1. Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan
kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang
bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.
2. Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk dapat memperoleh
pengalamanpengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya, dan
dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh.
60
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
3. Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan, seperti
permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.
2. Langkah-langkah kegiatan pembuatan rancangan pembelajaran, adalah sebagai berikut
a. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan fungsional
psikomotor.
b. Menganalisis seluruh hasil skrining, guna mengetahui secara rinci tingkat
keberfungsian psikomotor anak yang bersangkutan disesuaikan dengan
perkembangan sosial-emosionalnya.
c. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak,
berdasarkan atas hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum yang
berlaku.
d. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui:
1. Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor, sehingga dapat
berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosionalnya atau tidak
2. Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran (dalam hal ini adalah
perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai target yang akan dicapai dalam
pembelajara.
3. Penanganan Gangguan Perilaku
4. Keterampilan manajemen diri
5. Penerapan analisis perilaku
6. Latihan keterampilan sosial
7. Latihan perilaku-kognisi (cognitive-behavioral trainning)
8. Peranan guru
9. Kolaborasi teman sebaya 10. Partisipasi keluarga
61
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB VII
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI ANAK CERDAS DAN BERBAKAT
Salah satu bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar adalah bimbingan bagi
anak cerdas berbakat. Pelaksana bimbingan anak cerdas berbakat merupakan amanah
rakyat yang dituangkan dalam GBHN 1993 dan UU nomor 2 Tahun 1998 tentang sistem
pendidikan nasional. Oleh karena itu, pemahaman tentang siapa anak cerdas berbakat
hendaknya multidimensional dan hendaknya menyeluruh. Bimbingan bagi anak cerdas
hendaknya mengacu pada karakteristik dan kebutuhan murid itu sendiri. Pemahaman
akan kebutuhan dan karakteristik anak cerdas berbakat merupakan fondasi bagi guru
dalam memberikan bimbingan bagi anak cerdas berbakat. Berbagai bentuk program
pengembangan murid cerdas dan berbakat, salah satu diantaranya dapat didekati dari
bimbingan dan konseling. Tehnik bimbingan merupakan alternatif yang dapat diterapkan
dalam mengembangkan kemampuan anak cerdas berbakat. Penyelengara kelas unggulan
di Sekolah Dasar yang telah dirintis sejak tahun ajaran 1996/1997 merupakan salah satu
upaya pemerintah dalam mengembangkan anak cerdas berbakat, khususnya bakat
akademik.
A. Pengertian anak cerdas berbakat
Guna menjawab siapa murid yang cerdas dan berbakat memang bukan hal
yang mudah, tergantung pada filosofis, definisi, penentuan presentase, prosedur,
setting/adegan, model dan model pengayaan yang digunakan. Sampai sekarang belum
ada definisi tunggal dan sulit untuk merumuskan pengertian anak cerdas berbakat,
bahkan istilah anak berbakat diterjemahkan dari “gifted child” masih nampak
digunakan dalam berbagai sebutan. Bakat adalah kemampuan yang merupakan
62
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
sesuatu yang “interent” dalam diri seseorang dibawa sejak lahir dan terkait erat
dengan struktur otak. Secara genetis struktur otak itu sangat ditentukan oleh caranya
lingkungan berinteraksi dengan anak manusia itu sendiri. Salah satu ciri yang paling
umum diterima sebagai ciri anak berbakat ialah memiliki kecerdasan yang lebih
tinggi dari pada anak normal lainnya, sebagaimana diukur oleh alat ukur kecerdasan
yang sudah baku.
Clark (1988:6) mengatakan bahwa murid cerdas berbakat ialah anak-anak
yang menampilkan kapabilitas unjuk kerja yang tinggi dalam bidang-bidang seperti
intelektual, kreatif, artistik, kepemimpinan, kemampuan, atau lapangan-lapangan
akademik tertentu, dan memerlukan layanan-layanan atau kegiatan yang tidak biasa di
sediakan oleh sekolah dalam rangka untuk mengembangkan kemampuannya secara
penuh.
B. Karakteristik dan Kebutuhan Anak Cerdas Berbakat
Perbedaan program pendidikan anak cerdas berbakat dengan anak biasa
lainnya bukan sekadar berbeda tetapi secara kualitatif memang harus berbeda.
Perbedaan kualitatif ini mutlak perlu karena anak cerdas berbakat memiliki
karakteristik dan kebutuhan serta permasalahan yang berbeda dari peserta didik
biasanya. Sekalipun pengembangan program pendidikan untuk peserta didik anak
cerdas berbakat akan menyangkut berbagai pertimbangan aspek filosofis, tujuan
pendidikan peserta didik anak cerdas berbakat.
Anak cerdas berbakat pada umumnya memiliki karakteristik seperti berikut : 1. Membaca pada usia lebih muda
2. Membaca lebih cepat dan lebih banyak
3. Memiliki perbendaharaan yang luas
4. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat
5. Mempunyai minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa
6. Mempunyai inisiatif dan cepat berkerja sendiri
7. Menunjukan keasliannya dalam ungkapan variabel
8. Memberikan jawaban-jawaban yang baik
63
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
9. Dapat memberikan banyak gagasan
10. Luwes dalam berfikir
11. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan
12. Mempunyai pengamatan yang tajam
13. Dapat berkonsentrasi untuk waktu jangka panjang, terutama terhadap tugas atau
bidang yang diminati
14. Berfikir kritis, juga terhadap diri sendiri
15. Senang mencoba hal-hal yang baru
16. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintetis yang tinggi
17. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah
18. Cepat menangkap hubungan sebab-akibat
19. Berperilaku terarah pada tujuan
20. Mempunyai daya imajinasi yang kuat
21. Mempunya banyak kegemaran
22. Mempunyai daya ingat yang kuat
23. Tidak cepat puas dengan prestasinya
24. Peka serta menggunakan firasat
25. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Clark mengemukakan secara kualitatif anak cerdas berbakat menunjukan karakteristik
yang berbeda dari anak normal lainnya dalam aspek kognitif, afektif, sensasi fisik, intuisi,
dan kemasyarakatan. Dalam upaya pengembangan model program pendidikan yang
kondusif bagi anak cerdas berbakat perlu dilakukan analisis kebutuhan dan permasalahan
perkembangan yang mungkin muncul dari aspek yang disebutkan diatas serta
implikasinya bagi pengembangan program pendidikan
1. Perkembangan Fisik
Selama usia sekolah anak berbakat sangat mungkin mengalami kesenjangan antara
perkembangan fisik, intelektual dan sekolah secara tidak sengaja mungkin mengambat
aktifitas mereka.
2. Perkembangan Kognitif
64
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Para ahli dengan hasil penelitiannya (thompson, berger, berry, dan mac. Lean)
menunjukan secara biologis memang ada perbedaan struktur otak antara anak berbakat
dengan anak normal. Anak berbakat mampu kedua belahan otak kiri dan kanan sebagai
alat berfikir dan seluruh fungsi-fungsi lain. Secara terintegritas sehingga mewujudkan
perilaku kreatif.
3. Perkembangan Emosi
Karakteristik kemampuan kognitif yang tinggi pada anak berbakat dan
kepekaannya terhadap dunia sekitar menjadikan anak berbakat memiliki
akumulasi informasi yang banyak, apabila dengan fungsi kognitif dia mampu
mengolah informasi dan menumbuhkan kesadaran akan diri dan dunianya akan
menjadikan anak berbakat menunjukan perkembangan emosi yang lebih matang
dan stabil. Kesadaran yang tinggi ini akan disertai dengan perasaan yang berbeda
dari murid yang lain.
4. Perkembangan Sosial
Karakteristik perkembangan sosial anak berbakat temuan dan generalisasi
sering kali menunjukan karakteristik populasi yang selalu tidak dapat diterapkan
secara individual. Kecenderungan menunjukan bahwa perkembangan sosial anak
berbakat memang lebih baik dari pada anak yang normal pada umumya.
C. Identifikasi Anak Cerdas Berbakat
Identifikasi anak cerdas berbakat pada dasarnya dapat dilakukan sedini mungkin, yaitu
:
A. Pada usia 1-2 tahun
Pada masa ini keunggulan dan kelemahan intelektual anak akan tampak dengan
mudah bila anak diberi rangsangan dengan tepat. Fungsinya ganda, yaitu untuk
mengetahui kemungkinan adanya perkembangan intelektual yang cepat dan tidak
65
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
terbatas pada bidang-bidang bakat yang khas, serta untuk mengetahui
kemungkinan adanya kecacatan pada anak.
B. Pada usia 2-6 tahun
Indentifikasi anak usia ini dapat dilakukan dengan mengajak anak bermain pada
bidang yang disenanginya. Keterbakatan anak akan tampak dalam kemampuan
menyelesaikan tugas-tugas dan berbagai persoalan tanpa mengalami kesulitan
yang berarti, serta tidak banyak memerlukan bimbingan. Karena itu dalam usia
dini, orang tua, guru, kelompok bermain, dan TK tempat menjadi pelaksanaan
atau sumber informasi.
C. Pada usia 6 tahun-seterusnya
Pada masa sekolah informasi keterbakatan bisa diperoleh dari orang tua terutama
berkenaan dengan bidang-bidang yang disenanginya, dari guru terutama bidang
prestasi, dan dari teman sebaya terutama bidang kepemimpinan, kreatifitas dan
sosialisasinya. Dalam identifikasi ini, penggunaan tes kecerdasan dan tes lain
seperti minat, kreatifitas motivasi juga penting dilakukan. Dengan demikian pada
dasarnya ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi murid cerdaas dan berbakat,
yaitu dengan cara studi kasus dan melalui tes atau penggabungan keduanya.
Identifikasi di sekolah dapat dilakukan melalui tahap:
a.Tahap Penjaringan (screening) b.Tahap Selektif (identification)
D. Penyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak Cerdas Berbakat
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak cerdas berbakat secara konvensional dapat
dikelompokan ke dalam beberapa model, antara lain : a. Akselerasi (acceleration)
b. Pengayaan (enrichment)
c. Kelas Unggul (ability grouping)
d. Bimbingan Konseling
66
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
E. Tekhnik Bimbingan Bagi Anak Cerdas Berbakat
Karakteristik anak berbakat masalahnya yang digambarkan pada bagian
terdahulu, mengandung implikasi bagi kemampuan layanan bimbingan anak cerdas
berbakat. Layanan bimbingan yang dimaksud tidak diarahkan kepada layanan yang
bersifat ekslusif melainkan dikembangkan secara terpadu di dalam sistem bimbingan
yang ada.
Layanan bimbingan bagi anak cerdas berbakat tetap bertolak belakang dari
pandangan tentang hakikat manusia sebagai makhluk pribadi, sosial dan makhluk
Tuhan. Dengan kata lain, anak cerdas berbakat dipandang sebagai suatu keutuhan
pribadi sehingga program layanan bimbingan yang dikembangkan mampu menyentuh
semua dimensi perkembangan secara utuh. Sejalan dengan karakteristik dan
kebutuhan yang diuraikan dengan hasil teman studi, dimensi keutuhan perkembangan
pribadi yang dimaksud akan mencakup unsur-unsur berikut :
a.Perkembangan Ranah Kognitif/Intelektual
b. Pengembangan Ranah Fisik
c. Pengembangan Ranah Intuitif
d. Pengembangan Ranah Kemasyarakatan
F. Penyelenggaraan Kelas Unggulan sebagai Model Bimbingan bagi Anak Cerdas
Berbakat.
A. Pengertian kelas unggulan Kelas unggulan adalah kelas yang terdiri atas jumlah anak yang karena
prestasinya menonjol di kelompok di kelas tertentu pada Sekolah Dasar (Depdikbud.
1996). Program pengajaran pada kelas unggulan adalah program pengajaran yang
berlaku ditambah dengan pendalaman materi matematika atau berhitung dan IPA
serta pelajaran Bahasa Inggris. Pengelompokan ini dimaksud untuk memudahkan
membina anak oleh guru dalam mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada
pada anak seoptimum mungkin sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Tujuan pendidikan kelas unggulan SD mencakup :
67
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
- Mempersiapkan anak yang cerdas, beriman dan bertaqwa pada Tuhan YME,
memiliki budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta sehat
jasmani dan rohani.
- Memberikan kesempatan kepada anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata
normal untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan
potensi yang dimiliki siswa
- Memberikan kesempatan kepada anak lebih cepat mentransfer ilmu pengetahuan
dan teknologi yang diperlukan sesuai dengan perkembangan pembangunan.
- Memberikan penghargaan kepada anak yang berprestasi
- Mempersiapkan lulusan kelas unggulan menjadi siswa unggul dalam bidang
pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan anak. Anak yang
direkrut adalah siswa kelas IV dengan pertimbangan bahwa siswa kelas IV telah
mulai dapat berfikir rasional baik pada SD inti maupun SD imbas.
B. Proses belajar mengajar di kelas unggulan
Proses belajar mengajar di kelas unggulan diupayakan memiliki
keunggulan dari pada kelas biasa. Oleh karena itu seluruh komponen pendidikan
seperti guru, materi ajar, bahkan sarana belajar mengajar, metode mengajar dan
waktu belajar dikelas unggulan harus lebih baik dari kelas biasa mengingat
tuntutan prestasi belajar bagi siswa kelas unggulan sangat tinggi di perlukan
adanya guru bimbingan yang tugas khususnya mengawasi atau membantu,
membimbing serta mengarahkan siswa di kelas unggulan agar dapat berprestasi
dengan baik. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berlaku secara
nasional dan kurikulum plus yang terdiri atas mata pelajaran
matematika/berhitung (4 jam) dan bahasa inggris (4 jam). Dengan demikian di
perlukan penambahan waktu belajar di sekolah.
C. Model-model penyelenggaraan kelas unggulan di Sekolah Dasar Berdasarkan
pengamatan di kota Bandung di kabupaten Sumedang dan kabupaten Bekasi serta
kabupaten Tasikmalaya ternyata bentuk penyelenggaraan kelas unggulan di berbagai
daerah bermacam-macam di sesuaikan dengan kondisi masingmasing.
68
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
1. Penyelenggaraan kelas unggulan di SD inti dalam satu kompleks sekolah.
Model penyelenggaraan kelas unggulan yang paling banyak adalah di selenggarakan di
SD inti tetapi hanya melibatkan SD-SD di luar kompleks SD tersebut meskipun ada
gugusan untuk mengikutsertakan peserta didiknya dalam kelas unggulan apalagi bagi SD
swasta.
2. Penyelenggaraan kelas unggulan kecamatan.
Penyelenggaraan kelas unggulan di SD inti kota kecamatan dengan menampung siswa
terbaik dari SD-SD di seluruh kecamatan.
3. Penyelenggaraan kelas unggulan dalam satu kompleks secara bergiliran. Pada model
penyelenggaraan kelas unggulan di selenggarakan di SD dalam satu kompleks secara
bergiliran.
4. Penyelenggaraan kelas unggulan pada seluruh jenjang.
Model ini menyelenggarakan kelas unggulan pada seluruh jenjang kelas dengan
menambah waktu belajar selama dua jam pelajaran. D. Kelebihan dan kekurangan model
kelas unggulan.
Mencermati penyelenggaraan kelas unggulan di SD inti, pada hakikatnya model
pengelompokan berdasarkan kemampuan model ini akan memudahkan bagi guru dalam
mengembangkan kemampuan atau potensi siswa seoptimal mungkin.
Model kelas unggulan memungkinkan guru mengembangkan suasana belajar kompetitif
sehingga terjadi persaingan sehat antar siswa. Namun disisi lain model pengelompokan
kemampuan di khawatirkan akan menumbuhkan sikap ekslusif, elitisme. Memiliki
perasaan berbeda dari yang lain bahkan bisa-bisa menjadi besar kepala. E. Bimbingan
bagi siswa kelas unggulan.
Bertolak dari antisipasi terjadinya dampak negatif penyelenggaraan kelas unggulan maka
gagasan agar siswa kelas unggulan tetap merupakan siswa dari kelas biasa di sekolah
masing-masing atau lazim di kenal dengan pull out enrichment. Alternatif pertama siswa
unggulan bergabung dalam kelas unggulan hanya dalam kurikulum plus, yaitu mata
pelajaran matematika/menghitung, IPA dan bahasa inggris. Alternatif kedua, siswa
unggulan bergabung dalam kelas unggulan pada setiap mata pelajaran
69
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
matematika/menghitung, IPA dan bahasa inggris dalam pelaksanaan kurikulum biasa
maupun kurikulum plus.
BAB VIII
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DISLEKSIA
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai
dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini
ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh
problemproblem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga
prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan.
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis
manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak,
bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa.
Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang
rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non-
inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan
belajar.
Kesulitan belajar juga merupakan ketidakmampuan dalam
menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak
mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam
berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian.
Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan
sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang
seharusnya mereka lakukan.
Diidentifikasi oleh Oswald Berkhan pada tahun 1881, kemudian istilah
'disleksia' diciptakan pada tahun 1887 oleh Rudolf Berlin, seorang praktisi dokter
mata di Stuttgart, Jerman. Selama tahun 1890-an dan awal 1900-an, James
Hinshelwood menerbitkan serangkaian artikel dalam jurnal medis
menggambarkan kasus serupa dengan buta huruf bawaan. Pada tahun 1917 dalam
70
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
bukunya ''Congenital Word Blindness'', Hinshelwood menegaskan bahwa
kecacatan dasar dalam memori visual untuk kata-kata dan huruf, dan
menggambarkan gejala termasuk pembalikan huruf, dan kesulitan dengan ejaan
dan membaca pemahaman
A. Defenisi Disleksia
Disleksia adalah salah satu jenis kesulitan belajar pada anak berupa
ketidakmampuan membaca. Gangguan ini bukan disebabkan ketidakmampuan
penglihatan, pendengaran, intelegensia, atau keterampilannya dalam berbahasa,
tetapi lebih disebabkan oleh gangguan dalam proses otak ketika mengolah
informasi yang diterimanya.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita.
Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun
atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam
urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah
yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering
menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal.
Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab
pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.
Ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexsia (bawaan sejak lahir)
dan aquired dyslexsia (didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri
membaca). Developmental dyslexsia diderita sepanjang hidup pasien dan biasanya
bersifat genetik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan
dengan disfungsi daerah abu-abu pada otak. Disfungsi tersebut berhubungan
dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca). Beberapa tandatanda
awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-
balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi huruf-huruf, bingung antara konsep
ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal, cepat, dan berurutan.
Pada usia sekolah, umumnya penderita disleksia dapat mengalami kesulitan
71
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat
tulis dengan baik, dan kesulitan dalam menerima.
72
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
B. Ciri-Ciri Atau Gejala Disleksia
Disleksia sebetulnya bisa dikenali dari sejumlah gejala yang diperlihatkan
sang anak. Sejumlah faktor yang bisa dijadikan pedoman untuk mengenalinya,
antara lain:
1. Lambat Bicara
Normalnya, kemampuan bahasa sudah berkembang sejak anak
berusia setahun. Di usia ini biasanya anak sudah mulai bisa mengucapkan
satu kata seperti „mam'. Dan menginjak usia 2 tahun, anak biasanya sudah
bisa merangkai kata, seperti „mama ma-em'.
2. Tak Bisa Menghafal Huruf
Menjelang masuk usia sekolah, tak jarang orang tua mendaftarkan
Si Kecil kepre school. Di kelas ini biasanya anak sudah mendapat
pelajaran menghafalkan huruf, sebagai bekal belajar membaca di sekolah
formal kelak.
Pada anak disleksia, bisa terjadi kesulitan membaca-tulis huruf
tertentu, misalnya menyebut „t' menjadi „j', atau „b' menjadi „d'. Bagi
mereka, huruf-huruf ini sulit dibedakan karena bentuknya yang
mirip.Atau, ketika diminta menyebut huruf A-Z, ia mampu. Tetapi, ketika
dipenggal untuk menyebut dari huruf G sampai Z, ia akan bingung. Bagi
mereka, huruf bersifat hafalan dari bunyi yang didengarnya. Bukan
sebagai ingatan akan visualisasi dari huruf.
3. Tak Bisa Mengeja
Jika Si Kecil sulit mengenali sejumlah huruf, saat masuk sekolah
formal, ia akan kesulitan mengeja. Misalnya, ketika diajak mengeja d-ada,
d-u-du, lalu diminta melafalkan d-a (yang seharusnya dibaca „da'), ia tak
mampu. Atau, kesalahan membaca terbalik, misalnya „gajah' menjadi
„jagah'.
4. Salah Menyalin
73
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Seringkali ketika diminta menyalin teks, anak disleksia membuat
kesalahan berulang. Dan ketika ditanya di mana letak kesalahannya, ia tak
mengerti dan merasa sudah menuliskan semua abjad secara benar.
Misalnya, menulis „badak' menjadi „babak'.
5. Malas Membaca
Oleh karena tak mampu memroses tulisan dalam kata, anak
disleksia kerap tak paham apa maksud dari bacaan yang ia dibaca.
Lamalama, ia bisa malas membaca.
C. Faktor-faktor Penyebab Disleksia
1. Faktor keturunan
Anak yang mengalami disleksia biasanya cenderung
terdapat di keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang kidal.
Meskipun demikian, orang tua yang mengalami disleksia tidak
secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya.
Begitu juga, anak yang kidal belum tentu mengalamai gangguan
disleksia.
2. Masalah pendengaran sejak dini
Jika ada masalah dengan pendengaran dan tidak terdeteksi,
otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi
atau suara yang didengar dengan huruf atau kata yang dilihat.
Padahal, kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan
kemampuan bahasa –yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan
jangka panjang– terutama jika disleksia tidak segera ditangani.
Konsultasi dan penanganan dari para ahli sangat diperlukan.
3. Faktor kombinasi
Disleksia juga disebabkan oleh kombinasi faktor keturunan
dan masalah pendengaran. Jika penyebab ini yang terjadi, anak
berada dalam kondisi yang sangat serius sehingga perlu mendapat
74
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
penanganan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Jika tidak segera
ditangani, gangguan ini bisa berlangsung sampai dewasa.
D. Pendampingan Untuk Anak Disleksia
Ada tiga model strategi pembelajaran yg bisa diterapkan terhadap
anakanak disleksia. Ketiga model tersebut antara lain Metode Multisensori,
Metode Fonik (Bunyi), dan Metode Linguistik.
1. Metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual (kemampuan
penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran), kinestetik (kesadaran
pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak.
2. Metode Fonik atau Bunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan visual
anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya. Misalnya, huruf
B dibunyikan eb, huruf C dibunyikan dengan ec.Karena anak disleksia
akan berpikir, jika kata becak, maka terdiri dari b-c-a-k, kurang huruf e.
3. Metode Linguistik adalah mengajarkan anak mengenal kata secara utuh.
Cara ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan. Penekanan ini
diharapkan dapat membuat anak mampu menyimpulkan sendiri pola
hubungan antara huruf dan bunyinya.
E. Rekomendasi pendampingan yang dapat dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Cobalah membuat jadwal harian untuk membiasakannya
membaca.
2. Istirahatlah barang sejenak apabila anak Anda terlihat kelelahan,
lapar atau mulai jenuh.
3. Jangan memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketikabaru
pertama kali melakukannya.
4. Buatlah target-target yang ingindicapai.
5. Beri reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan
dan kesalahan.
75
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
6. Buat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan,
anak tidak berarti harus mengulang kata.
7. Mulailah dengan membaca beberapa halaman atau paragraf
pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak Anda
terpancing untuk menyimak.
8. Buatlah aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan
beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf
disamping aktivitas membaca.
9. Jadikan sesi ini sebagai pengganti sesi membaca denga suara keras
di hadapan anak Anda.
Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabila anak penderita
disleksia mengalami hal-hal berikut ini:
1. Stress karena takut belajar membaca.
2. Permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya
konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa
terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan
membaca yang mereka alami
F. Pendidikan Bagi Anak Disleksia
Dalam UU No.20/2003 telah mengatur tentang pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Baik anak disleksia atau anak autis pada dasarnya dapat
bersekolah di sekolah umum, namun dengan catatan bahwa orangtua harus lebih
peka terhadap kebutuhan khusus anak disleksia. Meskipun anak disleksia tidak
dapat disembuhkan tetapi ada berbagai pendekatan yang dapat membuat si anak
memaksimalkan potensinya dan bukan hal yang tidak mungkin untuk bisa sukses.
Pendekatan anak disleksia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
anak dalam membaca, menulis dan juga mengingat terutama huruf dan angka.
Orangtua dari anak disleksia bisa mencari bantuan dengan terapis profesional.
Selain itu, anak disleksia juga harus tetap diberikan pendampingan dalam belajar
76
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
dengan cara terus memberikan motivasi, memberikan contoh orang-orang
disleksia lain yang telah sukses untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka.
Orangtua juga dapat membangkitkan gairah belajar anak dengan hal-hal yang
disukai oleh anak, misalnya saja bacaan tentang memasak, berkebun dan lain
sebagainya.
Ada 3 model strategi pembelajaran bagi anak-anak disleksia, diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Metode Multisensori
Metode ini mendayagunakan kemampuan visual atau kemampuan
penglihatan anak, auditori atau kemampuan pendengaran, kinestetik atau
kesadaran pada gerak dan juga taktil atau perabaan pada anak.
2. Metode Fonik (Bunyi)
Metode yang memanfaatkan kamampuan visual dan auditori anak
dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyi bacaannya. Misalnya saja
huruf B yang dibunyikan eb, huruf C dibunyikan ec dan lain sebagainya.
3. Metode Linguistik
Metode yang mengajarkan anak disleksia mengenal kata secara
utuh.Metode ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan. Penekanan
inilah yang diharapkan bisa membuat anak mampu menyimpulkan sendiri
pola hubungan antara huruf dan juga bunyinya.
77
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
BAB IX
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DISGRAFIA
Setiap anak memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan dan dalam
memperoleh pengetahuan. Setiap anak berhak untuk menjadi pintar, tidak peduli
apakah anak tersebut mengalami gangguan atau tidak. Dewasa ini banyak gangguan
yang dialami oleh anak-anak, antara lain adalah disleksia dan disgrafia. Disleksia
adalah kondisi ketika perbedaan kerja otak yang membuat seorang individu dengan
disleksia memproses informasi yang ditrerima dari otak dengan cara yang berbeda.
Sedangkan, disgrafia adalah gangguan menulis. Sebagai guru, tujuan utama kita
adalah memastikan, anak yang mengalami gangguan disgrafia dan disleksia tidak
dirugikan dalam lingkungan belajarnya, bila dibandingkan dengan teman sebayanya,
akibat kekurangannya tersebut. Guna mendorong kepercayaan dirinya, penting untuk
mempertimbangkan berbagai prosedur pengajaran menulis dan membaca yang
bervariasi. Harus diingat bahwa anak disleksia dan disgrafia sangatlah unik, sehingga
satu pendekatan bisa saja hanya berlaku bagi satu anak, bukan pendekatan „satu untuk
semua‟ dan pendekatan mengajar yang berbeda mungkin dibutuhkan anak dengan
gangguan disleksia dan disgrafia.
A. Definisi Disgrafia
Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan atau
mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh
atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk
menulis. Pada anak-anak, umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar
menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih
dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan
belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD.Kesulitan dalam menulis seringkali
juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang
bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan
78
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya
saja ia memiliki hambatan. Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus
paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan,
asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar.Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya
perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual
motoriknya. Dysgraphia / Disgrafia adalah learning disorder dengan ciri perifernya berupa
ketidakmampuan menulis,terlepas dari kemampuan anak dalam membaca maupun tingkat
intelegensianya.Disgrafia diidentifikasi sebagai keterampilan menulis yang secara
terusmenerus berada di bawah ekspektasi jika dibandingkan usia anak dan tingkat
intelegensianya.
B. Karakteristik Disgrafia
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide,
pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap, caranya memegang alat
tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu
memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan
proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang
sudah ada.
C. Penyebab Disgrafia
Secara spesifik penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti, namun apabila
disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang yang telah dewasa maka
diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit,
dan seterusnya. Disamping itu para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala
79
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga yang memiliki gejala serupa.
Demikian ada kemungkinan faktor herediter ikut berperan dalam disgrafia.
Seperti halnya disleksia, disgrafia juga disebabkan faktor neurologis, yakni adanya
gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan
membaca dan menulis. Anak mengalami kesuitan dalam harmonisasi secara otomatis
antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis huruf dan angka.
Kesulitan ini tak terkait dengan masalah kemampuan intelektual, kemalasan,
asalasalan menulis, dan tidak mau belajar.
D. Pendampingan Anak Disgrafia
Teori konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
1. Kemampuan kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu
menganalisa dan menginterpretasikan sesuatu.
2. Kemampuan kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata
sebagai alat untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental.
3. Kemampuan kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial
budaya.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar
sebagai berikut.
1. Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara
level terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan,
hingga level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan
bimbingan.
2. Scaffolding, yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
3. Language and thought.
Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak
yang mengalami disgrafia.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:
1. Mengidentifikasi masalah disgrafia, terdiri dari:
a. masalah penggunaan huruf kapital.
b. ketidakkonsistenan bentuk huruf.
80
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
c. alur yang tidak stabil (tulisan naik turun).
d. ukuran dan bentuk huruf tidak konsisten.
2. Menentukan ZPD pada masing-masing masalah tersebut.
a. ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf kapital.
b. ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
c. ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran huruf.
d. ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.
3. Merancang program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding
dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
a. Memberikan tugas menulis kalimat yang didiktekan orang tua/guru.
b. Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
c. Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD masing-masing permasalahan.
d. Menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak
menyatakan kembali kriteria tersebut.
e. Memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan.
f. Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
g. Memberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada
kesalahan yang banyak dilakukan anak.
h. Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak.
i. Memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
j. Mengevaluasi pekerjaan anak.
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami anak
hingga terdapat perubahan.
E. Penanganan yang tepat untuk anak disgrafia
Adapun penanganan secara terstruktur dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:
1. Faktor kesiapan menulis
Menulis membutuhkan kontrol maskular, koordinasi mata-tangan, dan diskriminasi
visual. Aktivitas yang mendukung kontrol muskular antara lain: menggunting,
81
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
mewarnai gambar, finger painting, dan tracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan
antara lain: membuat lingkaran dan menyalin bentuk geomteri.
2. Aktivitas lain yang mendukung
a. Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas
serta bawah, dan jari.
b. Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.
c. Menyambungkan titik.
d. Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.
e. Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
f. Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.
g. Membuat garis miring secara vertikal.
h. Menyalin bentuk-bentuk sederhana.
i. Membedakan bentuk huruf yang mirip bentuknya dan huruf yang hampir sama
bunyinya.
3. Menulis huruf lepas/cetak
a. Perlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis.
b. Ucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.
c. Anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas
arah garis untuk membuat huruf itu.
d. Anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.
e. Anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.
4. Menulis huruf transisi
Huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih siswa sebelum menguasai
huruf sambung. Adapun langkah-langkah pengajarannya sebagai berikut:
a. Kata atau huruf ditulis dalam bentuk lepas atau cetak.
b. Huruf yang satu dan yang lain disambungkan dengan titik-titik dengan
meggunakan warna yang berbeda.
c. Anak menelusuri huruf dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf
sambung.
82
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
5. Peran lingkungan keluarga dan masyarakat mengenai karakteristik disgrafia. Untuk
para orang tua/guru/orang-orang yang dekat dengan anak, kesulitan belajar menulis
(disgrapia) sering terkait dengan beberapa hal di bawah ini, antara lain :
a. Positioning :Untuk mendukung pada tulisan anak, ingatkan agar duduk dengan
posisi yang benar karena kestabilan trunk akan mendukung pada kontrol lengan
yang baik pula.
b. Ukuran Kursi yang Tepat: Ingatkan anak agar duduk dengan posisi:
• kaki flat di lantai dan posisi paha paralel dengan lantai.
• Pergelangan kaki, lutut, dan paha membentuk sudut 900
• Pastikan tempat duduk tidak terlalu lebar, sehingga anak dapat bersandar
dengan nyaman. Lebar lutut belakang ke kursi sekitar 2″. Kita harus
dapat meletakkan satu jari atau dua jari di sela paha dan kursi.
c. Pastikan sudut kursi tidak membuat anak mengarah ke belakang.
• Posisi Kursi yang Benar : Pastikan anak duduk secara nyaman dan agak
condong ke depan dan ke arah depan. Lengan saat diletakkan di atas meja
berada di sudut 300.
• Modifikasi: Pemberian alat Bantu bidang miring akan membantu anak
supaya duduk lebih tegak, sehingga tidak banyak menekuk lehernya dan
ketika sedang mengerjakan tugas pada bidang miring itu akan membuat
secara otomatis ekstensi pergelangan tangannya sehingga mampu menulis.
d. Posisi kertas
Saat duduk dengan tepat, anak seharusnya meletakkan kertas di atas meja dan
di bawah yang menulis membentuk formasi segitiga.
Sudut kertas seharusnya:
1. 200-450, bagi anak yang tangan kanannya dominan.
2. 300-450, bagi anak yang tangan kirinya dominan.
3.
BAB X
83
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
PENDIDIKAN DAN BIMBIMBANGAN ABK DISKALKULIA
Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculis).
Kesulitan belajar matematika merupakan salah satu jenis kesulitan belajar yang
spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah rata-rata, tidak ada
gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan emosional primer,
atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi yaitu sulit
melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkan
adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan. Anak
berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi mengalami
kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar.
a. Pengertian Diskalkulia
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta,
diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut
gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat
ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung
(counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan
menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini
biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas
yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculis).
Kesulitan belajar matematika merupakan salah satu jenis kesulitan belajar yang
spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah rata-rata, tidak ada
gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan emosional primer,
atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi yaitu sulit
melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkan
adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan.
84
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Anak berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi
mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika
sering menjadi pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan
diskalkulia disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi,
mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami
soalsoal cerita. Anak-anak diskalkulia tidak bisa mencerna sebuah fenomena yang
masih abstrak. Biasanya sesuatu yang abstrak itu harus divisualisasikan atau
dibuat konkret, baru mereka bisa mencerna. selain itu anak berkesulitan belajar
matematika dikarenakan pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang cenderung menggunakan cara
konvesional, ceramah dan tugas. Guru kurang mampu memotivasi anak didiknya.
Ketidak tepatan dalam memberikan pendekatan atau strategi
pembelajaran. b. Ciri-ciri diskalkulia Ciri-ciri Diskalkulia :
1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali
mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis.
2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung
transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak
tersebut jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan
yang harus melibatkan uang.
3. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi,
membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.
4. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak
biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu
membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
5. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu.
Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang. 6. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti
proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur.
85
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
7. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama karena sulit memahami
notasi, urutan nada, dan sebagainya.
8. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena bingung
mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor
c. Gejala diskalkulia
Banyak anak-anak yang terdiagnosis diskalkulia memiliki kegagalan akademis
yang pada akhirnya menjadi ketidakmampuan dalam belajar matematika atau merasa
tidak mampu mempelajarinya.
Adapun gejala-gejalanya antara lain:
• Proses penglihatan atau visual lemah dan bermasalah dengan spasial (kemampuan
memahami bangun ruang). Dia juga kesulitan memasukkan angka-angka pada
kolom yang tepat.
• Kesulitan dalam mengurutkan, misalkan saat diminta menyebutkan urutan angka.
Kebingungan menentukan sisi kiri dan kanan, serta disorientasi waktu (bingung
antara masa lampau dan masa depan).
• Bingung membedakan dua angka yang bentuknya hampir sama,misalkan angka 7
dan 9, atau angka 3 dan 8. Beberapa anak juga ada yang kesulitan menggunakan
kalkulator.
• Umumnya anak-anak diskalkulia memiliki kemampuan bahasa yang normal (baik
verbal, membaca, menulis atau mengingat kalimat yang tertulis).
• Kesulitan memahami konsep waktu dan arah.Akibatnya,sering kali mereka datang
terlambat ke sekolah atau ke suatu acara.
• Salah dalam mengingat atau menyebutkan kembali nama orang.
• Memberikan jawaban yang berubah-ubah (inkonsisten) saat diberi pertanyaan
penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Orang dengan diskalkulia
tidak bisa merencanakan keuangannya dengan baik dan biasanya hanya berpikir
86
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
tentang keuangan jangka pendek.Terkadang dia cemas ketika harus bertransaksi
yang melibatkan uang (misalkan di kasir).
• Kesulitan membaca angka-angka pada jam, atau dalam menentukan letak seperti
lokasi sebuah negara, kota, jalan dan sebagainya.
• Sulit memahami not-not dalam pelajaran musik atau kesulitan dalam memainkan
alat musik. Koordinasi gerak tubuhnya juga buruk, misalkan saat diminta
mengikuti gerakan-gerakan dalam aerobik dan menari. Dia juga kesulitan
mengingat skor dalam pertandingan olahraga.
Deteksi diskalkulia bisa dilakukan sejak kecil, tapi juga disesuaikan dengan
perkembangan usia. Anak usia 4- 5 tahun biasanya belum diwajibkan mengenal konsep
jumlah, hanya konsep hitungan Sementara anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah
mulai dikenalkan dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penambahan
(+) dan pengurangan (-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit mengenali konsep jumlah,
maka kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan berhitung. Proses berhitung
melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah. Faktor
genetik mungkin berperan pada kasus diskalkulia, tapi faktor lingkungan dan simulasi
juga bisa ikut menentukan. Alat peraga juga sangat bagus untuk digunakan, karena dalam
matematika menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak. Jadi, supaya lebih
konkret digunakan alat peraga sehingga anak lebih mudah mengenal konsep matematika
itu sendiri.
d . Bimbingan atau penanganan diskalkulia
PENANGANAN DISKALKULIA
Penangani diskalkulia dapat menggunakan terapi dan pendidikan remidial dengan
tujuan untuk menyisihkan masalah yang dihadapi sehingga dapat membantu mencapai
potensi anak secara maksimal. Sehingga menanganinya harus berdasarkan tingkat
kesulitan atau defisit yang sesuai dengan usianya.Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menangani diskalkulia, antara lain: Gunakan gambar, grafik, atau kata-kata untuk
87
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
membantu pemahaman anak. Misalnya, ibu membeli jeruk seharga lima §ribu,
gambarkan buah jeruk dan uang kertas senilai lima ribu. Hubungkan konsep matematika
dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika menghitung piring sehabis makan atau
mengelompokkan benda sesuai dengan warna lalu menjumlahkannya dapat
mempermudah anak berhitung. Buat pelajaran matematika menjadi sesuatu yang
menarik. Anda bisa menggunakan media komputer atau kalkulator. Lakukan latihan
secara kontinyu dan teratur.Cara mengatasi diskalkulia bisa dengan cara mengubah
pembelajaran supaya memori bisa hidup kembali. Misalkan, penggunaan warna-warna
yang melambangkan angka.
Kelainan diskalkulia juga bisa berkomplikasi dengan kelainan lain, misalnya
autis. Anak-anak dengan kesulitan belajar belum tentu bodoh, tapi bisa jadi dia
mengalami kelainan komunikasi, sosialisasi, dan kreativitas seperti yang terjadi pada
anak autis, Diskalkulia juga terkadang dikaitkan dengan ketidakseimbangan orientasi
otak kanan dan kiri yang imbasnya menimbulkan kesulitan orientasi matematika.
Aktivitas fisik diduga ada hubungannya dengan anak yang kesulitan geometri atau
bangun ruang. Ada juga yang mengatakan bahwa diskalkulia terkait dengan kelainan
pada motorik sehingga terapi bisa diberikan untuk memperbaiki saraf motorik
Penanganan pada anak Diskalkulia
1. Guru dan orang tua harus menyadari taraf perkembangan anak
2. Pendekatan yang sistematis dengan alokasi waktu yang tepat buat anak
3. Perlu stategi belajar yang efektif dan memancing anak untuk memepertanyakan
matematika dalam dirinya
4. Pelatihan dan bimbingan buat anak-anak yang akan membantu pemecahan
masalah dalam menghadapi kesulitan pelajaran matematika
5. Memverbalisasikan konsep matematika yang rumit dengan cermat. Dengan cara
ini mempermudah anak untuk mengerti konsep matematika
88
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
6. Tulis angka-angka diatas kertas untuk mempermudah anak melihat. Dan
menuliskan urutan angka-angka untuk membantu memahami konsep angka secara
keseluruhan.
7. Jangan biarkan anak untuk berpikir secara abstrak sulu tentang matematika
8. Matematika dapat digunakan dalam konsep kegiatan sehari-hari. Seperti mengajak
anak untuk menghitung kursi yang ada dimeja makan. Usahakan anak aktif untuk
menghitung dalam kegiatan ini
9. Berikan pujian ketika anak sudah menujukkan kemajuan,, tetapi jangan terlalu
menekan anak untuk pandai berhitung
10. Gunakan gambar agar anak merasa nyaman dan tidak terlalu fokus dengan
penghitungan. Gunakan gambar yang menyenangkan.
DAFTAR PUSTAKA
89
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus diakses tanggal 22/09/2013.
http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73 diakses tanggal 22/09/2013
Soemantri, Sutjihati.1996.Psikologi Anak Luar Biasa.Jakarta.Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Mangunsong, Frida. (2009), Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta:LPSP3 UI
Thompson, Jenny. 2012. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Erlanga.
yasmin riadi Minggu, 15 Februari 2015 http: yasmina (pendidikan khusus)_ disgrafia
kesulitan menulis.html
Amah Putri Kamis, 23 Mei 2013 http: Djendela Pendidikan_Disgrafia.html
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (dalam Settin Pendidikan
Inklusi). Bandung:PT. Refika Aditama
Hernowo. "Mengimpikan Buku Pelajaran yang Mampu, Menyenangkan dan Menyalakan
Otak". Disampaikan pada Seminar "Menggagas Buku Pelajaran yang Mencerdaskan", 15
Agustus 2006, Penyelenggara Direktorat Pendidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam,
Departemen Agama, Jakarta.
Soedijarto. "Mana Lebih Penting, Pendidikan Dasar atau Lanjutan?" Tabloid Nakita No.
266/VI/8 Mei 2004.
"Penilaian Perkembangan Anak Didik di TK". Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Disdik Prop. Banten Edisi keempat TH.III Vol.IV/2003.
http://klinikautisindonesia.wordpress.com/2012/11/03/penanganan-terkini-
gangguanbelajar-disgrafia-gangguan-menulis-pada-anak/
90
PENDIDIKAN INKLUSI PGSD | UNIVERSITAS TUNAS PEMBANGUNAN
Top Related