UPAYA PELESTARIAN TRADISI BARITAN DALAM
UPACARA ADAT SEDEKAH BUMI DI DESA
KEDUNGWRINGIN KECAMATAN SEMPOR
KABUPATEN KEBUMEN
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Oki Setya Pambudi
112160520
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2014
i
UPAYA PELESTARIAN TRADISI BARITAN DALAM
UPACARA ADAT SEDEKAH BUMI DI DESA
KEDUNGWRINGIN KECAMATAN SEMPOR
KABUPATEN KEBUMEN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Oki Setya Pambudi
NIM 112160520
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2014
v
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
Kawula mung saderma, mobah mosik kersaning Hyang sukma
(Terjemahan: Lakukan yang kita bisa, setelahnya serahkan kepada Tuhan)
(penulis)
Bisa madeg lan bisa ngleksanani saka ing kawitane pisan ( Sunarno Sisworaharjo)
(Terjemahan: Bisa mandiri dan bisa melaksanakan sejak dari awal, tidak hanya
meneruskan karya orang lain.)
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:
1. Ayah dan Ibu yang paling ku cinta (Suwarjo dan
Ratinem) yang telah membesarkan dan
membimbingku dengan sabar dan dengan penuh
kasih sayang, senantiasa memberikan doa serta
dukungan yang tiada henti.
2. Kakakku yang aku sayang (Teguh Haryono, Tri
Yono, Endah Purwanti, dan Siti Nur Janah) yang
selalu memberikan semangat dan membesarkan
hati.
3. Saudara dan teman (Amel, Bahar, Indah, Ratna
Puspitasari, Pria, Rizki, Rudi, Sageta dan Welly)
serta teman-temanku semester VIII E, dan
vi
semua pihak yang telah memberikan bantuan,
dukungan dan doa.
4. Meli Andriyani yang senantiasa tanpa rasa
bosan selalu memberi motivasi.
5. Bapak Marsimin, Bapak Hoerun, Bapak Sagino,
Bapak Budi Sudarsono, Bapak Budiarjo, Bapak
Sujono, dan Bapak Tusiman yang telah
memberikan izin penelitian dan memberi
masukan serta motivasi.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis haturkan ke hadirat Allah Swt. Atas limpahan rahmat,
karunia, dan hidayahNya skripsi ini dapat penyusun selesaikan. Shalawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhamad SAW, kepada
kerabatnya, dan sahabat-sahabatnya serta pada umat islam lainnya.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya
bantuan, dorongan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Drs. H. Supriyono, M.Pd. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo
yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis mengadakan
penelitian untuk penyusunan skripsi ini.
2. Drs. H. Hartono, M.M. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo yang telah memberikan izin dan
rekomendasi kepada penulis mengadakan penelitian dan dorongan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Yuli Widiyono, M.Pd. selaku ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Jawa, yang telah memberikan perhatian, dorongan, mengarahkan,
memotivasi.
ix
ABSTRAK
Setya Pambudi, Oki. Upaya Pelestarian Tradisi Baritan dalam Upacara Adat
Sedhekah Bumi di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Dan Sastra Jawa. Universitas
Muhammadiah Purworejo. 2014.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskipsikan (1) Prosesi tradisi Baritan di Desa
Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen (2) Makna dan fungsi
Baritan bagi masyarakat Kedungwringin, Sempor, Kebumen (3) Isi cerita wayang
dalam tradisi Baritan di Desa Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten
Kebumen (4) Ubarampe atau perlengkapan sesaji dan makna simbolik ubarampe
dalam tradisi Baritan.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai November 2013. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan pendekatan
etnografi. Sumber data penelitian ini berupa informasi dan dokumentasi yang
diperoleh dari narasumber yaitu para sesepuh, perangkat desa, dan masyarakat Desa
Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen. Teknik pengumpulan
data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Instrumen dalam penelitian ini
yaitu handphone untuk merekam wawancara, dan kamera digital untuk mengambil
gambar dan merekam.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Prosesi tradisi Baritan di desa
Kedungwringin yaitu (a) Praprosesi atau persiapan prosesi, (b) Prosesi atau jalannya
upacara tradisi Baritan, (c) Prosesi akhir. (2) Makna tradisi Baritan di desa
Kedungwringin adalah (a) Makna budaya, (b) Makna sosial, (c) Makna ekonomi, (d)
Makna politik; fungsi tradisi Baritan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt
yang telah memberikan rizki, keselamatan dan keamanan. (3) Isi cerita wayang dalam
tradisi Baritan mencertiakan perintah Sang Hyang Wenang kepada Bhatara Guru
untuk menyebar wiji isining jagad. (4) Ubarampe tradisi Baritan di desa
Kedungwringin di bagi menjadi : (a) ubarampe dalam prosesi pemendaman kepala
kambing, (b) ubarampe kenduri dalam tradisi Baritan, (c) ubarampe dalam
pertunjukan wayang.
Kata Kunci : Tradisi Baritan, Sedhekah Bumi
x
ABSTRAK
Setya Pambudi, Oki. Upaya Pelestarian Tradisi Baritan dalam Upacara Adat
Sedhekah Bumi di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Dan Sastra Jawa. Universitas
Muhammadiah Purworejo. 2014.
Ancas panaliten inggih menika njlentrehaken (1) Ritual tradisi Baritan wonten
Desa Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen (2) Makna lan
fungsi Baritan kagem masyarakat Kedungwringin, Sempor, Kebumen (3) Isi cariwos
ringgit wacucal tradisi Baritan wonten Desa Kedungwringin, Kecamatan Sempor,
Kabupaten Kebumen (4) Ubarampe lan makna simbolik wonten tradisi Baritan.
Panaliten menika dipuntin tindakaken milai sasi Maret dumugi November
2013. Metode ingkang dipun ginakaken wonten panaliten manika inggih punika
metode kualitatif, ngagem pola etnografi. Sumber data wonten panaliten menika
informasi lan dokumentasi ingkang kapendhet saking narasumber inggih punika para
sesepuh, perangkat desa, lan masyarakat Desa Kedungwringin, Kecamatan Sempor,
Kabupaten Kebumen. Teknik pangempalan data awujud observasi, wawancara lan
dokumentasi. Instrumen wonten panaliten punika inggih menika handphone kangge
ngrekam wawancara, lan kamera digital kangge mendhet gambar lan ngrekam.
Asil panaliten saget dipunsimpulaken: (1) Prosesi tradisi Baritan wonten desa
Kedungwringin menika (a) Praprosesi utawi persiapan prosesi, (b) Prosesi utawi
lampahipun upacara tradisi Baritan, (c) Prosesi pungkasan. (2) Makna tradisi Baritan
wonten desa Kedungwringin inggih punika (a) Makna budaya, (b) Makna sosial (c)
Makna ekonomi (d) Makna politik; fungsi tradisi Baritan menika kagem
ngawujudaken raos syukur dumateng Allah swt ingkang sampun maringi rejki,
keselarasan saha katentreman. (3) Isi cariyos ringgit wacucal wonten tradisi Baritan
nyariosaken dawuh Sang Hyang Wenang dumateng Bhatara Guru kangge nyebar wiji
isining jagad. (4) Ubarampe tradisi Baritan wonten desa Kedungwringin kaperang
dados : (a) Ubarampe wonten prosesi pamendaman mustaka mendha, (b) Ubarampe
kenduri wonten tradisi Baritan (c) Ubarampe wonten pagelaran ringgit wacucal.
Tembung Wos : : Tradisi Baritan, Sedhekah Bumi
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
PERNYATAAN .............................................................................................. iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 3
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 4
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian .................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI ........................................ 7
A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 7
B. Kajian Teori .............................................................................. 9
1. Kebudayaan...... ................................................................... 9
a. Pengertian Kebudayaan ................................................... 9
b. Wujud Kebudayaan ....................................................... 10
c. Unsur-unsur Kebudayaan .............................................. 11
d. Perubahan Budaya ......................................................... 12
2. Folklor ............................................................................... 13
a. Pengertian Folkor ......................................................... 13
b. Ciri-ciri Folklor ............................................................ 14
c. Bentuk Folklor .............................................................. 15
d. Fungsi Folklor .............................................................. 17
e. Sifat Folkor ................................................................... 17
3. Tradisi ............................................................................... 17
a. Bentuk Tradisi .............................................................. 18
b. Makna Tradisi atau Simbolisme ................................... 19
c. Fungsi Tradisi ............................................................... 20
d. Pelestarian Tradisi ........................................................ 21
4. Kesenian. ........................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 25
xii
A. Jenis Penelitian ........................................................................ 25
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 26
C. Sumber Data dan Data. ........................................................... 26
D. Instrumen Penelitian................................................................ 27
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 27
1. Observasi ............................................................................. 27
2. Wawancara .......................................................................... 29
2. Dokumentasi ........................................................................ 30
F. Teknik Analisis Data ............................................................... 30
1. Penelitian Pra Informan ....................................................... 30
2. Wawancara Terhadap Informan .......................................... 30
3. Penulisan Catatan Lapangan................................................ 30
4. Penelitian Etnografi ............................................................. 31
BAB IV PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN ................................. 32
A. Penyajian Data ........................................................................ 32
1. Deskripsi Wilayah ............................................................. 32
2. Deskripsi Data ................................................................... 38
B. Pembahasan Data .................................................................... 43
1. Prosesi Tradisi Baritan ..................................................... 43
2. Makna dan Fungsi Tradisi Baritan ................................... 57
3. Isi Cerita wayang Baritan ................................................. 63
4. Ubarampe dan Makna Simbolik Tradisi Baritan.............. 72
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 112
A. Simpulan ............................................................................... 112
B. Saran ...................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 117
LAMPIRAN .................................................................................................. 120
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Waktu Penelitian.............................................................. 24
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
GAMBAR 1. Prosesi Pemendaman Kepala Kambing ................................... 46
GAMBAR 2. Ki Dalang Membaca Kidung .................................................... 51
GAMBAR 3. Sambutan Kepala Desa ............................................................. 54
GAMBAR 4. Hansip dan Salah Satu Warga Membagi Penggel .................... 55
GAMBAR 5. Jejer Khayangan Junggring Salaka ........................................... 65
GAMBAR 6. Prabu Naga Dampalan Naik Khayangan Junggring Salaka ..... 66
GAMBAR 7. Jejer Mendang Kamulyan Prabu Srimapunggung Berpesta ..... 83
GAMBAR 8. Sesaji Kepala Kambing ............................................................ 74
GAMBAR 9. Rakan Terdiri dari Gembili, Senthe, Uwi dan Ketela ............... 75
GAMBAR 10. Kinangan .................................................................................. 76
GAMBAR 11. Pisang Raja ............................................................................... 77
GAMBAR 12. Aneka Sesaji Minuman ............................................................. 70
GAMBAR 13. Kembang Telon ......................................................................... 80
GAMBAR 14. Tumpeng Rasul ......................................................................... 82
GAMBAR 15. Ingkung ..................................................................................... 83
GAMBAR 16. Tompo ....................................................................................... 84
GAMBAR 17. Ambeng ..................................................................................... 85
GAMBAR 18. Kecambah ................................................................................. 86
GAMBAR 19. Jenang Abang dan Jenang Putih .............................................. 87
GAMBAR 20. Tiris ........................................................................................... 89
GAMBAR 21. Godhong Andhong, Wringin dan Ampel Gading ...................... 91
GAMBAR 22. Padi ........................................................................................... 92
GAMBAR 23. Jagung ...................................................................................... 94
GAMBAR 24. Tebu Wulung ............................................................................. 95
GAMBAR 25. Pala Pendem ............................................................................. 96
GAMBAR 26. Kacang Panjang ........................................................................ 97
GAMBAR 27. Cabe Merah............................................................................... 98
GAMBAR 28. Pethe ......................................................................................... 99
GAMBAR 29. Gula Batu ................................................................................ 100
GAMBAR 30. Minyak Fanbo ......................................................................... 102
GAMBAR 31. Jajan Pasar ............................................................................. 103
GAMBAR 32. Rokok Kreni ............................................................................ 104
GAMBAR 33. Parem Gadhung, Kaca Dan Sisir ........................................... 105
GAMBAR 34. Pane Lemah ............................................................................ 107
GAMBAR 35. Telur Ayam Kampung ............................................................ 108
GAMBAR 36. Godhong Dadap Srep ............................................................. 109
GAMBAR 37. Singkong Bakar ..................................................................... 110
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Keputusan Pembimbing ................................................... 120
Lampiran 2. Kartu Bimbingan Skripsi .......................................................... 121
Lampiran 3. Izin Penelitian ............................................................................ 123
Lampiran 4. Surat Rekomendasi .................................................................... 124
Lampiran 5. Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian .......................... 125
Lampiran 6. Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara ....................... 126
Lampiran 7. Pedoman Wawancara ................................................................ 134
Lampiran 8. Daftar Pertanyaan ...................................................................... 145
Lampiran 9. Jadwal Penelitian ....................................................................... 136
Lampiran 10.Foto Copy Kartu Tanda Penduduk Informan ............................ 137
Lampiran 11.Catatan Lapangan ...................................................................... 145
Lampiran 12.Peta Jawa Tengah ...................................................................... 180
Lampiran 13.Peta Kabupaten Kebumen ......................................................... 181
Lampiran 14.Peta Kecamatan Sempor ............................................................ 182
Lampiran 15.Peta Desa Kedungwringin ......................................................... 183
Lampiran 16.Dokumentasi .............................................................................. 184
Lampiran 17.Daftar Istilah .............................................................................. 189
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hasil pemikiran cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang
berkembang pada masyarakat. Pikiran dan perbuatan yang dilakukan manusia
secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi. Tradisi merupakan
gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama
dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Salah satu tradisi
yang biasanya dilakukan masyarakat Jawa adalah tradisi sedhekah bumi.
Tradisi sedhekah bumi berarti menyedekahi bumi atau niat bersedekah untuk
kesejahteraan bumi. Bersedekah sebagai bentuk dari ucapan syukur atas segala
nikmat yang telah diberikan Allah kepada masyarakat pendukungnya dengan
sebuah harapan agar kehidupan tetap aman dan dapat memberikan penghasilan
yang melimpah.
Kegiatan Upacara tradisi sedhekah bumi sudah lama dikenal dan
dilaksanakan oleh masyarakat Kedungwringin dan juga sejumlah masyarakat di
daerah lain. Upacara sedekah bumi di Desa Kedungwringin, di kenal dengan
sebutan Baritan. Baritan adalah salah satu bentuk upacara selamatan sedhekah
bumi yang dilaksanakan di bulan Syuro. Tradisi menyambut bulan Syuro
merupakan hal yang menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat Islam
Jawa. Menurut Sholikin (2009: 23) Bulan Syuro bagi masyarakat Jawa sebagai
penanggalan yang ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang
2
kadang disebut sebagai penanggalan aboge. Tidak heran jika masyarakat
mengadakan upacara adat yang di dalamnya terdapat keunikan tersendiri.
Begitu juga pada acara Baritan terdapat keunikan diantaranya adalah
antusiasnya warga masyarakat dalam melestarikan tradisi Baritan, dalam
upacara Baritan diadakan pertunjukan wayang yang lakon Baritan, yang tidak
boleh diganti dengan lakon lainnya dan dalangnya selalu dalang turunan.
Selain itu, upacara Baritan selalu dilakukan pada hari Jum’at dan yang tidak
kalah menariknya adalah setelah proses semburan, masyarakat berebut hasil
bumi yang di gantung di sekeliling Baritan.
Namun dewasa ini mulai muncul permasalahan, yaitu bersamaan
dengan kemajuan teknologi informasi yang telah mengglobal mampu
membuka cakrawala pengetahuan dunia luar, yang dapat mempengaruhi tata
cara dalam kehidupan masyarakat. Salah satu diantaranya adalah sebagian
masyarakat tidak lagi mengetahui upacara adat, atau tidak mengetahui makna
dan fungsi upacara adat. Hal tersebut dikawatirkan akibatnya akan meluas
menyangkut budaya Jawa khususnya upacara adat sedhekah bumi Baritan.
Banyak hal yang menjadi penyebab orang meninggalkan prosesi ritual atau
selamatan yang telah dilakukan secara turun-menurun itu. Salah satu adalah
transfer prosesi ritual tidak diikuti dengan penjelasan maksud dan tujuan serta
simbil-simbol yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian orang tua
mengenalkan tradisi ritual sebatas kulitnya saja. Akibatnya, generasi ini
menganggap bahwa prosesi ritual menjadi semacam acara yang tidak memiliki
makna apa-apa bahkan terkesan ribet atau merepotkan.
3
Berangkat dari permasalahan di atas, maka perlu kiranya adanya
penelitian tentang salah satu bentuk ungkapan budaya daerah yang masih
dilakukan sekelompok masyarakat yang terkait upacara tradisional yang patut
dilestarikan agar tidak terjadi pergeseran makna dan hilang ditelan oleh
kemajuan zaman. Adapun penulis tertarik untuk meneliti prosesi, makna,
fungsi, isi cerita dan simbol-simbol pada upacara Baritan yang ditulis dalam
penelitian dengan judul “ Upaya Pelestarian Baritan dalam Upacara Sedhekah
Bumi di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1.Antusias warga masyarakat dalam prosesi upacara Baritan.
2.Banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui mengenai makna, fungsi dan
perlengkapan sesaji dalam upacara tradisi Baritan.
3.Bentuk prosesi tradisi Baritan di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor
Kabupaten Kebumen.
4.Makna dan fungsi serta perlengkapan sesaji tradisi Baritan di Desa
Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
5.Banyaknya masyarakat yang tidak mengerti isi cerita wayang dalam upacara
Baritan di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
4
C. Pembatasan Masalah
Untuk lebih mengarahkan pada penelitian ini, maka perlu dibatasi
ruang lingkup pembahasannya. Adapun batasan dalam penelitian ini adalah
pembahasannya hanya berkisar pada deskritif upacara adat Baritan yang
meliputi: Prosesi, makna, fungsi, isi cerita dan perlengkapan sesaji serta makna
simbolik dalam tradisi Baritan di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor
Kabupaten Kebumen.
D.Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.Bagaimana prosesi tradisi Baritan di Desa Kedungwringin Kecamatan
Sempor Kabupaten Kebumen?
2.Apa makna dan fungsi Baritan bagi masyarakat Kedungwringin, Sempor,
Kebumen?
3.Bagaimana isi cerita wayang dalam tradisi Baritan di Desa Kedungwringin,
Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen?
4.Apa saja ubarampe atau perlengkapan sesaji dan makna simbolik ubarampe
dalam tradisi Baritan?
E.Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk meneliti upacara adat
Sedhekah Bumi Baritan. Namun jika diperinci lebih khususnya lagi seperti ini:
Tujuan dari penelitian ini adalah
5
1.Mendeskripsikan prosesi tradisi Baritan di Desa Kedungwringin,
Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen.
2.Mendeskripsikan makna dan fungsi yang terkandung dalam tradisi upacara
Baritan.
3.Menjelaskan isi cerita wayang dalam upacara tradisi Baritan di Desa
Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen.
4.Menjelaskan ubarampe yang terdapat dalam tradisi Baritan di Desa
Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen.
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat
memberi manfaat antara lain :
a.Manfaat Teoritis penelitian ini adalah :
a. Sebagai pengembangan kasanah mata kuliah folklor Jawa, metodologi
penelitian kebudayaan dan Sastra perbandingan.
b.Sebagai pertimbangan dan masukan bagi masyarakat setempat dalam
memahami upacara Baritan
c. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan informasi bagi mahasiswa
bahasa Jawa khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
d.Memperluas cakrawala tentang upacara adat dan budaya tradisional
Indonesia.
6
b.Secara Praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Bagi penulis, dapat memperoleh pengalaman langsung dari hasil observasi
yang dilakukaan,Sehingga menambah pengetahuan dalam hal upacara
adat khususnya upacara adat Baritan.
b.Bagi masyarakat Desa Kedungwringin, Kecamatan Sempor, Kabupaten
Kebumen hasil penelitian ini bisa memberi kesadaran akan makna,
fungsi, isi cerita wayang serta makna simbolik dalam upacara tradisi
Baritan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penulis, kajian tentang upacara atau tradisi
sudah banyak yang menulis, tetapi kajian yang membahas secara khusus
tentang upacara adat sedhekah bumi Baritan di desa Kedungwringin, Sempor,
Kebumen belum ada yang membahasnya. Namun, ada beberapa karya tulis
yang membahasnya. Adapun karya tulis tersebut antara lain:
Upacara Sedhekah Bumi di Kebumen (Kajian Akulturasi terhadap
Nilai-nilai Islam dan Budaya Lokal di Desa Jatiroto Kecamatan Buayan).
Tulisan ini merupakan karya ilmiah yang disusun oleh Imam Ashari dari
Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2001, mengenai
upacara Sedhekah Bumi di Kebumen serta nilai-nilai islam yang terkandung di
dalam upacara dan relevansinya dalam kehidupan masyaraskat.
Persamaan penelitian karya ilmiah saya dengan penelitan yang
disusun oleh Imam Ashari yang berjudul Upacara Sedhekah Bumi di Kebumen
(Kajian Akulturasi terhadap Nilai-nilai Islam dan Budaya Lokal di Desa
Jatiroto Kecamatan Buayan) adalah sama-sama meneliti upacara tradisi
sedhekah bumi di daerah Kebumen.
Perbedaannya dengan Upacara Sedhekah Bumi di Kebumen (Kajian
Akulturasi terhadap Nilai-nilai Islam dan Budaya Lokal di Desa Jatiroto
Kecamatan Buayan) adalah dalam penelitian ini menbahas nilai-nilai Islam
yang terkandung dalam upacara sedhekah bumi. Nilai-nilai Islam diantaranya
8
adalah adanya tahlil, dizkir dan sodakoh, sedangkan penelitian yang saya kaji
mengenai prosesi, makna, fungsi, isi cerita wayang dan ubarampe dalam
sedhekah bumi Baritan.
Upacara Tradisi Suran Mbah Demang di Desa Banyuraden,
Gamping, Sleman Yogyakarta. Tulisan ini merupakan karya ilmiah yang
disusun oleh Maskhuin fauzi dari Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2009, mengenai tradisi suran di makam Mbah Demang di
Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Persamaan sama-sama meneliti
Tradisi Suran. Perbedaannya dalam penelitian yang disusun oleh Maskhuin
Fauzi menganalisis kegiatan pelaksanaan upacara suran dan nilai-nilai islam
yang terkandung di dalam kegiatan upacara tradisi suran Mbah Demang. Serta
menjelaskan Mbah Demang sebagai pendiri desa Banyuraden, Gamping,
Sleman Yogyakarta. Mbah Demang adalah seorang anak yang dulunya nakal,
kemudian di titipkan kepada ki Demang dan melakukan olah prihatin sehingga
menjadi orang yang sakti. Setelah sakti Mbah Demang mendirikan desa
Banyuraden, Gamping, Sleman Yogyakarta.
Tradisi Upacara Merti Dusun di Dusun Mantup, Batureno,
Banguntapan, Bantul ( Studi Persepektif Pergeseran Tradisi). Tulisan ini
merupakan karya ilmiah yang disusun oleh Hamzah Safi’i Saifuddin Fakultas
Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Persamaan dengan
penelitian ini adalah sama-sama meneliti tradisi upacara adat. Perbedaannya
dalam Skripsi ini mengkaji upacara adat Merti Dusun, asal-usul upacara Merti
Dusun Mantup dan mengapa terjadi pergeseran makna dalam masyarakat.
9
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian ini akan membahas
upacara Baritan objek penelitian yang penulis lakukan. Setelah penulis mencari
informasi dan mengadakan pengamatan di lapangan tentang objek penelitian
tersebut, menyatakan bahwa objek yang hendak diteliti belum pernah diteliti,
maka penulis mengadakan penelitian dengan mencoba mengungkap makna,
fungsi, isi cerita wayang dan ubarampe yang terkandung dalam upacara
Baritan dan peran serta masyarakat Kedungwringin pada khususnya dalam
pelaksanaan upacara Baritan. Sehingga diharapkan dari penelitian ini dapat
berguna sebagai bahan masukan mengenai budaya-budaya yang tumbuh dalam
masyarakat.
B. Kajian Teori
1). Kebudayaan
a. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari perkataan Latin “Colere” yang berarti
mengolah, mengerjakan menyuburkan dan menbembangkan, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti berkembanglah arti culture
sebagai “segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah
alam”. Widagdho (2010: 18)
Dilihat dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta “buddayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi
atau akal. Di dalam masyarakat kebudayaan sering diartikan sebagai the
general body of the arts, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat,
seni rupa, pengetahun filsafat atau bagian-bagiaan yang indah dari kehidupan
10
manusia. Koentjaraningrat dalam Widhagdho (2010: 19) mengatakan
kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan
yang teratur oleh tatakelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Sutardjo (2010: 12) mengatakan
bahwa budaya berasal dari budi ‘jiwa manusia yang telah masuk. Terdiri dari
(1) Cipta ( buah pikiran atau ilmu pengetahuan. Filsafat, pendidikan dan
pengajaran). (2) Rasa ( buah perasaan atau sifat keindahan dan keluhuran
batin, kesenian, adat-istiadat, keadilan dan sebagainya). (3) Karsa (buah
kemauan atau semua sifat perbuatan dan buatan manusia).
Dari pengertian di atas dapatdisimpulkan bahwa kebudayaan adalah
hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Segala sesuatu
yang diciptakan oleh manusia baik yang kongkrit maupun abstrak, itulah
kebudayaan.
b. Wujud Kebudayaan
Koentjaraningrat (2009: 150) berpendapat bahwa kebudayaan itu
mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide, gagasan,
nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari ketiga wujud kebudayaan yang terurai di atas dapat disimpulkan
bahwa ketiga wujud dalam kehidupan masyarakat tidak dapat terpisah, saling
berkaitan antara satu dengan lainnya. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur
11
mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-
ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu
lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alaminya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya,
bahkan cara berfikirnya.
Berdasarkan wujudnya tradisi Baritan di Desa Kedungwringin,
Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen termasuk dalam wujud kebudayaan
sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
c. Unsur-unsur Kebudayaan
Ada beberapa unsur kebudayaan diantaranya adalah bahasa, sistem
pengetahuan, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian
hidup, sistem rekigi, dan kesenian. Unsur-unsur tadi bersifat universal, artinya
dapat ditemukan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun
di dunia. Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu menjelma dalam
ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, yaitu wujud berupa sistem budaya,
berupa sistem sosial, dan berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Misalnya
unsur universal kesenian yang dapat berupa gagasan, pikiran, cerita dan syair
yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi
berpola antara seniman, seniman penyelenggara, penonton dan konsumen
hasil kesenian; tetapi kesenian juga berupa benda-benda indah, candi dan
kerajinan tangan.
12
Kesimpulan yang didapat bahwa kebudayaan adalah hasil buah budi
manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang
diciptakan oleh manusia baik yang kongkrit maupun abstrak, itulah
kebudayaan. Dapat juga diartikan kebudayaan adalah hasil cipta manusia
dengan menggunakan dan menyertakan segenap potensi batin yang
dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, seni, moral,
adat-istiadat dan sebagainya. Tradisi upacra mengandung arti serangkaian
tindakan dan perbutan yang terletak pada aturan-aturan tertentu menurut adat
dan agama. Serangkaian tindakan yang ada dalam rangkaian upacara tersebut
diwariskan dari generasi ke generasi secara turun-menurun. Kebiasaan yang
diwariskan mencangkup nilai budaya, seperti adat-istiadat, sistem
masyarakat, sistem kepercayaan, dan sebagainya. Seperti halnya kebudayaan
yang terus ada di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten
Kebumen yaitu tradisi Baritan dalam upacara adat sedhekah bumi yang sudah
lama dan masih terus diadakan.
d. Perubahan Budaya
Perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan
keniscayaan yang tidak dapat di helakan. Masyarakat tidak pernah statis
selalu dinamis berubah dari satu keadaan ke keadaan yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satu faktor diantaranya adalah proses enkulturasi.
Menurut Koentjaraningrat (2009: 189) Proses enkulturasi adalah proses
seseorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
13
sikapnya dengan adat, sistem norma dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan dalam tradisi
Baritan masyarakat Desa Kedungwringin menggunakan proses enkulturasi.
Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran suatu
masyarakat, dengan mengamati dan meniru berbagai tindakan terus-menerus
sehingga timbul rasa untuk membudidayakan atau melestarikan. Terkait
dengan hal ini, adanya proses enkulturasi dapat membentengi esistensi tradisi
Baritan di era globalisasi.
2). Folkor
a. Pengertian Folklor
Foklor berasal dari kata majemuk bahasa inggris folklore, yang
terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti kolektif atau kebersamaan.
Kata lore berarti tradisi yang diwariskan turun temurun. Menurut Dananjaya
dalam Purwadi (2009: 1) mendefinisikan folklore sebagai tradisi kolektif
sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lesan maupun gerak isyarat,
sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Folklor menurut Brunfand dalam Purwadi (2009: 2) adalah sebagian
dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan turun
temurun secara kolektif dan secara tradisional dalam versi yang berbeda baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat.
14
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang
berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan
masyarakat. Di dalam masyarakat indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis,
suku, bangsa, golongan agama msing-masing telah mengembangkan
folklornya sendiri-sendiri sehingga di indonesia terdapat aneka ragam
folklore. Folklor ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara
turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat Danandjaja dalam Cokrowinoto (1984: 2). Dapat juga
diartikan Folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang
diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan
kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun.
Berdasarkan pengertian folklor di atas dapat disimpulkan folklor
yang terdapat pada tradisi Baritan dalam upacara adat sedhekah bumi
termasuk dalam adat-istiadat (tradisi) yang di dalamnya terdapat ritual,
disertai gerak atau upacara pelaksanaan dan isyarat yang berupa simbol.
b. Ciri-Ciri Folklor
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya,
harus diketahui ciri-ciri utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
(a). Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap
atau dalam bentuk standar, (b). Berkembang dalam versi yang berbeda-beda,
hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah
mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dan dasarnya tetap bertahan, (c).
15
Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya. (d).
Biasanya memiliki bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut
sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau pada bahasa Jawa
misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijining dina (pada suatu hari). (e).
Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya
berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan
keinginan terpendam. (f). Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri
yang tidak sesuai dengan logika umum. (g). Menjadi milik bersama
(colektive) dari masyarakat tertentu.(h). Pada umumnya bersifat lugu atau
polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan.
c. Bentuk Folklor
Danandjaja dalam Cokroaminoto (1986: 3-4) menyatakan bahwa
folkor mempunyai tiga kelompok besar, yaitu : folklor lisan, folklor bukan
lisan, dan sebagian lisan.
1. Folklor Lisan
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lesan. Bentuk-
bentuk yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah : (a). Bahasa rakyat
seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis; (b). Ungkapan
tradisional seperti peribahasa dan sindiran; (c). Pertanyaan tradisional yang
dikenal sebagai teka-teki; (d). Sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan
syair; (e). Cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga
golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folkale),
seperti: Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro jonggrang dari Jawa Tengah,
16
dan Prana serta Layonsari dari Bali; (f). Nyanyian rakyat, seperti “Jali-jali”
dari Betawi.
2. Folklor Sebagian Lisan
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk yang termasuk folklor
sebagian lisan adalah : (a). kepercayaan dan takhayul (b). Permainan dan
hiburan rakyat setempat (c). Teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan
ludruk (d). Tari rakyat seperti tayuban, turun tanah, doger, jaran kepang, dan
ronggeng. (e). Adat kebiasan, seperti pesta selamatan, dan khitanan (f).
Upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten (g).
Pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruat
3. Folklor Bukan Lisan
Folklor bukan lisan, adalah folklor yang bentuknya bukan lisan,
walaupun pembuatannya dijadikan secara lisan, Misalnya : (a). Arsitektur
bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, rumah Gadang di
Minangkabau, rumah Beteng di Kalimantan, dan Honai di Papua. (b). Seni
kerajinan tangan tradisional (c). Pakaian tradisional (d). Obat-obatan rakyat
(e). Alat-alat musik tradisional. (f). Peralatan dan senjata yang khas
tradisional.
Berdasarkan bentuknya tradisi Baritan dalam upacara adat sedhekah
bumi di Desa Kedungwringin, Sempor, Kebumen adalah folklor sebagian
lisan karena termasuk pesta rakyat tradisional.
17
d. Fungsi Folklor
Folklor berfungsi sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat
pencerminan angan-angan suatu kolektif. Selain itu berfungsi sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat
pendidik anak dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat akan selalu dipenuhi anggota kolektifnya.
e. Sifat Folklor
Folklor yang baik mempunyai salah satu dari tujuh macam sifat ialah
menurut Ny.Yoharni dalam Cokrowinoto (1986: 5).Bersifat didaktif,
bersifat kepahlwanan, bersifat keagamaan, bersifat pemujaan, bersifat adat,
bersifat sejarah, dan bersifat humoris.
Dari pernyataan di tersebut dapat dinyatakan tradisi Baritan di Desa
Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen termasuk folklor
sebagian lisan karena merupakan upacara rakyat, adat-isitadat, dan
kepercayaan yang bentuknya merupakan unsur lisan dan bukan lisan.
3. Tradisi
Tradisi adalah kebiasaan yang masih dilakukan secara turun-temurun
oleh masyarakat. Adat istiadat atau tradisi, adalah merupakan sistem nilai dari
suatu pranata-sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
(Purwadi, 2012: 3). Tradisi dalam bahasa latin “traditio” yang artinya
diteruskan atau kebiasaan. Setiap masyarakat mempunyai tradisi. Tradisi
tersebut ada yang msih berlangsung sampai sekarang ada juga yang hilang di
telan zaman. Upacara tradisi merupakan perwujudan bagian tradisi masyarakat
18
yang sesunguuhnya merupakan implementasi kebudayaan dari satu masyarakat
(Wasino, 2009: 1).
Menurut Koentjaraningrat (2004: 347-348) upacara selamatan atau
tradisi dapat digolongkan menjadi enam macam sesuai dengan peristiwa atau
kejadian dalam kehidupan sehari-hari yaitu selamatandalam rangka lingkaran
hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, penggarapan tanah, upacara
menusut telinga, sunat, kenatian dan setelah kematian. Selamatan yang
berkaitan dengan bersih desa, pertanian dan setelah panan padi. Selamatan
yang berhubungan dengan hari (bulan besar Islam), selamatan pada saat-saat
tertentu, misal perjalanan jauh, menempati rumah baru, (ngruwat), janji kalau
sudah sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah
sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara kebudayaan, waktu
atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya informasi
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena
tanpa adanya ini, sesuatu tradisi dapat punah.
a. Bentuk Tradisi
Menurut Koentjaraningrat (2009: 151) salah satu wujud
kebudayaan adalah sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut adalah sistem sosial,
mengenai tindakan dari berpola pada manusia itu sendiri. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, saling berhubungan
19
dan bergaul satu sama lain, dari hari ke hari, dan tahun ke tahun selalu
menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan tata adat kelakuan.
Berdasarkan pendatat diatas tradisi Baritan yang ada pada
masyarakat Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen
adalah sistem sosial yang telah tumbuh dalam diri masyarakat sehingga
membentuk suatu adat kebiasaan. Tradisi Baritan di Desa Kedungwringin
Sempor Kebumen merupakan tradisi selamatan yang dilaksanakan oleh
seluruh warga masyarakat sebagai wujud terima kasih kepada sang pencipta
kepada atas melimpahnya hasil bumi. Prosesi tradisi Baritan dimulai dengan
musyawarah perangkat desa membentuk panitia tradisi Baritan, iuran warga
masyarakat, penyembelehan kambing kendit , perincian pendapatan dan
pengeluaran prosesi tradisi Baritan kemudian di akhiri dengan pagelarran
wayang kulit.
b. Makna Tradisi atau Simbolisme
Tradisi pada dasarnya di bagi menjadi dua cabang, yaitu tradisi
lisan dan tradisi tertulis. Akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu
dengan yang lain. Sebab orang Jawa jika hendak mengungkapkan sesuatu
tidak langsung dengan apa yang dituju, neggunakan simbol dan lain-lain.
Setiap tradisi pasti memiliki makna yang tersendiri yang tak semua orang
dapat mengerti dan memahaminya. Begitu banyak tradisi yang ada pada
masyarakat Jawa, seperti sedhekah bumi, tujuh bulan, acara setelah kematian.
Makna yang terkandung dalam sedhekah bumi yaitu wujud terima kasih
20
masyarakat desa atas hasil panen atau hasil alam yang telah di berikan pada
masyarakat selama satu tahun.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa orang
Jawa dalam mengungkapkan sesuatu tidak harus dengan sebuah kata yang
lugas, akan tetapi melalui simbol-simbol. Begitu juga seperti yang ada pada
tradisi Baritan menggunakan simbol-simbol yang pasti mempunyai makna
tersendiri.
c. Fungsi Tradisi
Tradisi pada dasarnya berfungsi sebagai bentuk kebersamaan
antara masyarakat sebagai bentuk kebersamaan. Karena tradisi itu di ikuti
oleh seluruh masyarakat desa, ini menggambarkan sebuah sikap gotong
royong dalam masyarakat sebagai wujud solidaritas sesama masyarakat desa.
Selain itu fungsi tradisi lainnya adalah sebagai sebuah bentuk rasa syukur
para petani atas melimpahnya panen raya yang terjadi di wilayah ini. Sebagai
ucapan rasa syukur ini diwujudkan dengan upacara tradisi slametan yang
dilakukan satu kampung untuk melimpahnya panen raya yang terjadi pada
setiap tahun. (Wasino, 2009: 100)
Adat orang Jawa biasanya mengadakan upacara selamatan atau
sedhekah bumi. Sedhekah bumi adalah salah satu bentuk ritual tradisional
masyarakat di pulau Jawa yang sudah berlangsung turun-temurun dari nenek
moyang Jawa terdahulu. Ritual sedhekah bumi ini biasanya dilakukan oleh
para petani, nelayan yang menggantungkan hidup keluargan dan sanak famili
mereka dari mengais rejeki dan memanfaatkan kekayaan alam yang di bumi.
21
Bagi masyarakat Jawa khususnya para kaum petani dan para nelayan, tradisi
tahunan semacam sedhekah bumi, bukan hanya sebagai rutinitas atau ritual
yang sifatnya tahunan belaka. Akan tetapi tradisi sedhekah bumi mempunyai
makna lebih dari pada itu, upacara tradisi sedhekah bumi ini sudah menjadi
bagian dari masyarakat yang tidak mampu dipisahkan dari budaya Jawa.
Sedhekah bumi di tiap daerah yang satu dan lainya pasti berbeda-
beda, mulai dari namanya, cara pelaksanaanya, waktu dan tempat dilakukan
upacara. Itu sama seperti pada masyarakat Desa Kedungwringin, Kecamatan
Sempor, Kabupaten Kebumen. Masyarakat dalam menyebut sedhekah bumi
adalah Baritan, ini dilaksanakan setiap tahun sekali pada bulan Muharom
(Syuro), dan pada hari Jum’at. Istilah Baritan berasal dari bahasa Jawa “bar
rit-ritan” berarti setelah panen padi. Baritan merupakan ungkapan rasa syukur
masyarakat desa Kedungwringin atas nikmat dan karunianya sepanjang satu
tahun yang telah diberikan. Sebagai ucapan terima kasih masyarakat desa
Kedungwringin melaksanakan upacara tradisi Baritan yang sudah turun-
temurun dari nenek moyang. Biasanya dalam upacara ini di adakan
pertunjukan kesenian wayang, yang mengangkat lakon atau cerita Baritan.
d. Pelestarian Tradisi
Pelestarian adalah suatu proses atau teknik yang di dasarkan pada
kebutuhan individu itu sendiri. Kelestarian tidak dapat berdiri sendiri, oleh
karena itu perlu dikembangkan pula. Melestarikan kebudayaan pun dengan
cara mendalami atau paling tidak mengetahui tentang budaya itu sendiri.
Mempertahankan nilai budaya, salah satu dengan mengembangkan seni
22
budaya tersebut disertai dengan keadaan yang kita alami sekarang ini. Yang
bertujuan menguatkan nilai-nilai budayanya. Filosofi pelestarian didasarkan
pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada
masa yang telah lewat namun memiliki arti penting bagi generasi selanjutnya.
Tidakah pelestarian yang dimaksud guna menjaga karya seni sebagai
kesakian sejarah, kerap kali berbenturan dengan kepentingan lain, khususnya
dalam kegiatan pembangunan. Mengungkapkan bahwa hal ini
menggambarkan begitu kompleksnya masalah yang ada dalam aktivitas
pelestarian.
Melalui kajian historis terhadap peristiwa-peristiwa penting di
masa lampau,kita yang hidup sekarang bisa mempelajari pola tingkah laku
(behaviolal patterns) manusia dan menganalisisnya demi kepentingan hidup
kita sekarang dan masa-masa selanjutnya. Sejarah eksistensi sebuah
peradaban tidak hanya dapat ditelusuri lewat historigrafi ataupun catatan
aktivitas perjuangan masyarakatnya. Selain misalnya memerinci kajian
geologisnya, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan
perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut mengalami
kejayaan. Salah satu saksi bisu adalah bangunan-bangunan tua, yang banyak
diantaranya menyimpan catatan sejarah autentik.
4. Kesenian
Kesenian diambil dari kata seni yang berarti proses dari manusia
(menciptakan) atau intisari ekspresi dari kreativitas yang mengandung unsur
keindahan dan keelokan, orang yang menciptakan sebuah kreativitas seni
23
disebut Seniman. Kesenian adalah salah satu penyangga kebudayaan, dan
berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Kesenian tidak pernah
berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang terpenting dari
kebudayaan, kesenian merupakan kreativitas dari kebudayaan dan pada
dasarnya berbentuk kesenian dianggap berasal dari ritual. Seni memang tidak
bisa diukur dengan parameter karena seni sulit untuk dijelaskan dan sulit
dinilai, karena manusia memiliki penilaian tentang seni itu sendiri dan Seni
juga bisa dikatakan proses atau produk dari memilih medium dan suatu set
peraturan untuk penggunaan medium tersebut. Jadi kesenian adalah bagian dari
kebudayaan yang ada hubungannya dengan unsur keindahan dan Keelokan,
Unsur itu adanya dalam batin dipikiran manusia yang termasuk unsur
keindahan itu dan bisa juga proses penciptaan unsur-unsur yang membuat hati
senang, puas buat melengkapi sisi batin kehidupan manuasia.
Karena bagi masyarakat, pertunjukan wayang itu mengandung
konsepsi yang digunakan sebagai salah satu pedoman sikap dan perbutan dari
kelompok masyarakat tertentu. Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi
sistem nilai budaya yang yang tersirat dalam pagelaran wayang. Dalam
pertunjukan wayang menggambarkan aneka ragam sikap hidup manusia seperti
yang dirasakan oleh orang Jawa, meskipun keanekaragaman itu diatur dengan
jelas, oleh dikotomi-dikotomi yang nyata. Misal ada pemisah fundamaental
antara kiri dan kanan, baik, buruk dan sebagainya yang pada dasarnya timbul
dari adanya dualitas yang nyata dalam alam semesta. Semua itu saling
melengkapi satu dengan lainnya.
24
Pertunjukan wayang purwa dengan sumber epos Ramayana dan
Mahabarata sejak masa lampau dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, artinya dapat digunakan oleh siapa saja dan dapat digunakan
sebagai sarana apapun. Secara luwes wayang bisa menjadi media dakwah suatu
agama, pembinaan moral, berkampanye, kritik sosial, menyampaikan pesan-
pesan tertentu, memotivasi semangat masyarakat dan lain sebagainya.
Pertunjukan wayang sebagai bahasa simbol mengenai hidup dan kehidupan
manusia, serta merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tinggi dan sangat
berharga untuk dipelajari dengan seksama. (Sutardjo, 2006: 48)
Begitu juga dengan pertunjukan wayang pada upacara tradisi Baritan
di desa Kedungwringin, kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen yang
mengangkat lakon Baritan. Lakon Baritan adalah suatu lakon yang berisi cerita
tentang Dewi Sri sebagai dewa padi. Karena orang Jawa menyakini bahwa
Dewi Sri adalah dewa padi. Dewa pembawa berkah dalam bidang pertanian
(Endraswara, 2010: 204).
Dalam penelitian ini penulis mencoba memaparkan prosesi upacara,
alasan apa yang mendasari lakon pertunjukan wayang, makna, fungsi, jenis
uborampe, makna ubarampe serta isi dari cerita atau lakon Baritan.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, dengan pendekatan etnografi. Dimana penelitian ini lebih cenderung
pada pemaparan hasil. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti
sendiri. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam bentuk tertulis maupun
lisan. Menurut (Koentjaraningrat, 2009: 252) Etnografi adalah suatu deskripsi
mengenai kebudayaan suatu suku bangsa. Etnografi berasal dari kata ethno
(suku bangsa) dan grapho (tulisan), yang secara luas diartikan sebagai catatan,
tulisan mengenai suku-suku bangsa. Penelitian Etnografi (budaya) merupakan
metode yang banyak dilakukan dalam bidang antropologi terutama yang
berhubungan dengan setting budaya. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskrisipkan tentang budaya masyarakat dalam bentuk cara berfikir, cara
hidup, adat, berperilaku, bersosial.
Untuk dapat memperoleh data digunakan teknik pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi atau pengamatan,
wawancara berupa rekaman, serta dokumentasi berupa foto dalam prosesi
tradisi Baritan dalam upacara adat sedhekah bumi di Desa Kedungwringin
Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
26
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi yang di jadikan penelitian dalam penelitian ini berada di Desa
Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
Tabel I Jadwal Kegiatan Penelitian
No
Keterangan
Bulan/ Minggu
Maret April Mei Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Observasi
2 Pengajuan
proposal
3 Pelaksanaan
penelitian
4 Pengumpulan
data
5 Penyusunan
laporan
C. Sumber Data dan Data
Menurut Lofland (1984: 47) dalam Moleong (2012: 157) sumber
data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Sumber yang diperoleh dalam penelitian ini adalah informasi dari
narasumber yaitu dari observasi dan wawancara dengan informan. Peneliti
memilih informan yang mempunyai pengetahuan dan informasi tentang
fenomena yang sedang diteliti. Walau bagaimanapun, penelitian kualiktif tetap
di hadapkan pada orang-orang yang dapat mengungkapkan informasi dari
27
orang itu bisa sedikit dan bisa banyak, bisa homogen, sifatnya dan
karakteristiknya, bisa juga berbeda. Oleh karena itu penelitian kualikatif tetap
dihadapkan pada pilihan untuk menentukan orang yang akan dijadikan
informan.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan di perlukan narasumber yang menguasai
tradisi Baritan, seperti: sesepuh, perangkat desa, dan anggota pelaksana tradisi
Baritan. Selain itu data diperoleh melalui pengambilan gambar pada saat
prosesi tradisi Baritan dalam upacara sedhekah bumi di Desa Kedungwringin
Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yamg digunakan oleh
peneliti dalam pengumpulan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya
lebih baik (Arikunto,2010: 203).
Intrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah alat tulis untuk
mencatat hal-hal yang penting ditemukan dalam proses pengumpulan data,
wawancara, serta tape rekorder dan kamera yang digunakan untuk mengambil
gambar pada proses penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa bagian dalam melakukan pengumpulan data,
diantaranya adalah sebagai berikut:
28
1.Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung
terhadap suatu objek yang akan diteliti. Alasan peneliti melakukan observasi
adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk
menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan
untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran tersebut.
Menurut Bungin (2007: 115) dalam Noor (2013: 115) berpendapat
beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif,
yaitu observasi partisipasi, tidak terstuktur, dan observasi kelompok. (a).
Observasi partisipasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan
untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan
dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian
responden. (b). Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang dilakukan
tanpa menggunakan pedoman observasi. Dalam penelitian ini penelitian
atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya data
mengamati sebuah objek. (c). Observasi kelompok adalah observasi yang
dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek
sekaligus. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pengamatan dilakukan pada proses tradisi Baritan dalam upacara adat
sedhekah bumi di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten
Kebumen.
29
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan
dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,
2012: 186).
Dalam melakukan interview tidak lepas dari masalah pokok yang
perlu diperhatikanguna mendapat informan yang baik. Informan yang baik
adalah mereka yang menguasai permasalahan yang benar-benar diperlukan
oleh peneliti (Ratna, 2010:228). Masalah pokok yang perlu diperhatikan
seperti: a). Seleksi individu untuk diwawancarai ; b). Pendekatan pada orang
yang telah diseleksi untuk diwawancarai ; c). Pengembangan suasana lancar
dalam mewawancarai serta untuk menimbulkan pengertian dan bantuan
sepenuhnya dari orang yang diwawancarai. Adapun pihak-pihak yang
dijadikan narasumber atau informasi para tokoh masyarakat dan lebih
diutamakan pada para pelaksana tradisi Baritan, yaitu para sesepuh dan
perangkat desa.
3. Dokumentasi
Penelitian kualitatif bukan hanya merajuk pada fakta sosial
sebagaimana terjadi pada kehidupan masyarkat, melainkan bisa juga merujuk
pada bahan berupa dokumen, seperti teks bacaan dan teks berupa rekaman
audio atau audio visual (Maryaeni, 2008: 73). Metode dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen biasanya berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya dari seseorang. Adapun sumber dokumen dalam
30
penelitian ini diambil dari data berupa foto-foto, rekaman suara dokumentasi
tradisi Baritan dalam upacara Sedhekah Bumi di Desa Kedungwringin
Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif
dengan pola etnografi yaitu pengamatan berperan serta sebagai kegatan dari
penelitian lapangan (Moleong, 2012: 26).
Proses analisis ini meliputi: kegiatan mengatur, mengurutkan,
mengelompokan, dan mengkatagorikan kata-kata dengan alat dengan alur
penelitian yang digunakan sebagai berikut:
1. Penelitian Para Informan
Penelitian para informan adalah informan yang ditentukan adalah
narasumber, sesepuh, aparat desa, dan warga masyarakat di berbagai
golongan yang dianggap berkompeten sebagai narasumber.
2. Wawancara Terhadap Informan
Informan diwawancarai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
sudah dibuat sebelumnya, atau terstruktur secara formal pertanyaan antara
lain tentang prosesi makna lakon wayang dalam Baritan fungsi Baritan dan
ubarampe serta pertanyaan-pertanyaan lainya yang lebih dalam.
3. Penulisan Catatan Lapangan
Penulisan catatan lapangan yaitu segala sesuatu yang akan
diamati dan didengar yang relevan dengan penelitian yang dicatat dan
direkam.
31
4. Penelitian Etnografi
Penelitian etnografi yaitu laporan hasil penelitian atau penulisan
etnografi. Isi dari karangan etnografi adalah suatu deskripsi mengenai
kebudayaan suatu suku bangsa (Koentjaraningrat, 2009: 252). Di buat
sebaik mungkin dan seefektif mungkin dan mampu menyampaikan makna
budaya yang telah ditemukan dalam tradisi Baritan dalam upacara sedhekah
bumi di Desa Kedungwringin Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen.
32
BAB IV
PENYAJIAN DATADAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Data
1. Deskripsi Wilayah
a. Gambaran Umum Desa Kedungwringin
Sebelum membahas tradisi Baritan, terlebih dahulu diuraikan
gambaran secara singkat mengenai daerah Kedungwringin yang menjadi
latar belakang tradisi Baritan. Hal ini penting, karena dapat memberikan
gambaran keadaan daerah dan kondisi masyarakat dimana tradisi Baritan itu
ada. Tanpa mengetahui latar belakang tersebut, tulisan ini terasa kering,
sebab tradisi Baritan tidak lepas dari keadaan yang melingkupinya.
Kedungwringin yang secara harfiah berarti “ Pohon Beringin di
Kedung”, adalah sebuah desa di kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen,
provinsi Jawa Tengah. Secara geografis letak desa Kedungwringin terletak
di kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen. Jarak desa Kedungwringin dari
pusat pemerintahan kecamatan Sempor 8 kilometer. Jarak desa
Kedungwringin dari pusat kabupaten Kebumen 41 kilometer. Sedangkan
jarak desa Kedungwringin dari provinsi Jawa Tengah 203 kilometer. Desa
Kedungwringin terletak pada ketinggian 457 meter dari permukaan laut
dengan batas-batas sebagai berikut: Batas desa Kedungwringin bagian utara
berbatasan dengan desa Donorojo, bagian timur berbatasan dengan desa
Semali dan Kenteng. Sedangkan bagian selatan berbatasan dengan desa
33
Bonosari dan Sempor, bagian barat berbatasan dengan desa Sampang. Hal
tersebut sependapat dengan bapak Hoerun yang berpendapat bahwa:
“Batas desa Kedungwringin bagian ler berbatasan kalih
desa Donorojo, sebelah wetan berbatasan kalih desa Semali lan
Kenteng. Sebelah kidul berbatasan kalih desa Sempor lan
Bonosari, lan sebelah kilen berbatasan kalih Sampang”.
Terjemahan: Batas desa Kedungwringin bagian utara berbatasan
dengan desa Donorojo, Sebelah timur berbatasan dengan desa
Semali dan desa Kenteng. Sebelah selatan berbatasan dengan desa
Sempor dan Bonosari, dan sebelah barat berbatasan dengan desa
Sampang.
Secara geografis, Kedungwringin terdiri dari daerah pegunungan
dan daerah waduk. Wilayah pegunungan memanjang dari sisi tepi
mengelilingi desa Kedungwringin. Di samping itu, wilayah perbatasan desa
Kedungwringin dikelilingi hutan. Dengan topografi daerah yang tidak rata,
lahan pertanian berupa sawah tadah hujan yang bergantung dengan curah
hujan dan ladang sebagai andalan masyarakat desa Kedungwringin. Selain
pegunungan dataran rendah, desa Kedungwringin terisi oleh genangan air
waduk Sempor, karena desa Kedungwringin sebagai hulu waduk Sempor.
Genangan air menyusut pada musim kemarau sehingga warga masyarakat
bisa memanfaatkan sebagai lahan pertanian. Akan tetapi lima tahun
belakang ini genangan air tidak menyusut banyak, karena di desa
Kedungwringin di bangun bendungan dengan tujuan untuk mencegah
sedimentasi waduk Sempor. (Sumber: Wawancara dengan Hoerun, 27 Maret
2013)
Berdasarkan data dari monografi tahun 2013, komposisi
penggunaan lahan untuk persawahan 87.29 Ha, pegunungan untuk lahan
34
ladang 172.39 Ha. Penggunaan lahan untuk pemukiman 130 Ha, lahan
untuk waduk 116 Ha.
Desa Kedungwringin merupakan daerah yang memiliki luas 10.4
Ha dan mempunyai jumlah penduduk laki-laki 1.852 jiwa, perempuan
2.043 jumlah keseluruhan penduduk menjadi 3.895 jiwa. Jumlah penduduk
tersebut terbagi menjadi 949 kepala keluarga. Akan tetapi dengan kondisi
desa Kedungwringin yang sulit di akses dengan alat transportasi
mengakibatkan sebagian warganya merantau. (Sumber: Data Monografi
Desa Kedungwringin 2013)
b. Kondisi Ekonomi
Letak desa Kedungwringin yang berada di pegunungan dan
dikelilingi oleh hutan mengakibatkan sebagian besar warganya bermata
pencaharian bercocok tanam atau bertani. Hal tersebut sependapat apa yang
dikatakan oleh Hoerun selaku perangkat desa:
“Kondisi desa Kedungwringin niku daerah pegunungan,
pramila masyarakat kangge nyekapi kebutuhanipun sami tani.
Ananging tani wonten ing mriki benten kalih tani wonten ing
kutha. Tani wonten ing mriki ngandelaken jawah. Menawi jawah
sekedik mboten saget panen, rata-rata petani wonten ing mriki
panen pantun namung sapisan menggah setaun”.
Terjemahan:Kondisi desa Kedungwringin itu berada pada daerah
pegunungan, oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhannya
melakukan pertanian. Akan tetapi bertani disini berbeda dengan
bertani di kota. Bertani disini mengandalkan hujan. Apabila hujan
sedikit tidak bisa panen, rata-rata petani disini panen hanya satu
kali dalam setahun.
Mengingat sawah yang ada di desa Kedungwringin bersifat tadah
hujan, jadi sangat bergantung pada curah hujan yang turun. Bagi masyarakat
35
yang tidak memiliki sawah mereka berladang di tepi hutan. Pada area ini
masyarakat menanam jenis padi khusus yaitu padi Gaga Rancah. Selain
bercocok tanam sebagai penghasilan sampingan masyarakat desa
Kedungeringin berternak. Jenis hewan yang diternak diantaranya sapi,
kerbau, ayam, kambing dan madu lebah.
Bertani dan berternak merupakan mata pencaharian utama
masyarakat desa Kedungwringin kecamatan Sempor. Selain itu ada
beberapa orang yang ber mata pencaharian sebagai nelayan. Mengingat
sebagian wilayah desa Kedungwringin digenangi oleh air Waduk Sempor.
Dari data di atas, kondisi perekonomian dan mata pencaharian masyarakat
desa Kedungwringin sangat berpengaruh terhadap lestarinya tradisi adat
istiadat salah satunya adalah tradisi Baritan.
c. Kondisi Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator sosial, ekonomi, budaya
dalam masyarakat serta salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan pendidikan memiliki posisi
strategis untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh wilayah,
meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya modal.
Melalui pendidikan formal maupun non formal penduduk memperoleh
pengetahuan dan wawasan yang mendorong pola pikir mereka.
Desa Kedungwringin yang berada di pegunungan membuat sarana
dan prasarana pendidikan kurang lengkap. Hal ini disebabkan sarana
transportasi yang sulit. Dulu, masyarakat jika ingin melanjutkan sekolah
36
SMP / SMA harus kost di kota. Namun, beberapa tahun ini sudah berdiri
sekolah SMP Negrei 1 Atap di desa Kedungwringin sehingga memudahkan
anak-anak untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertamanya.
d. Kondisi Keagamaan
Agama merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan kebudayaan. Agama bagi masyarakat merupakan keyakinan dan
mempunyai peran penting dalam kehidupan, karena dengan agama
kehidupan masyarakat akan seimbang antara dunia dan akherat.
Kehidupan beragama di desa Kedungwringin semua warganya
memeluk agama Islam. Dulu, terdapat agama Budha akan tetapi seiring
dengan perkembangan zaman mereka berpindah memeluk agama Islam.
Sarana ibadah setiap RT terdapat Mushola dan setiap kadus terdapat Masjid.
Selain menjalankan syariat Islam, masyarakat desa Kedungwringin
juga masih menjalankan dan melestarikan upacara tradisi dalam kehidupan
masyarakat. Dalam pelaksanaan tradisi, mereka masih tetap menjalankan
prosesi seperti aslinya. Akan tetapi, untuk menghilangkan anggapan dari
perbuatan syirik maka dalam pelaksanaan tradisi kemudian disisipi do’a-
do’a secara Islam. Dengan adanya alkultursi antara Islam dan Jawa, tradisi
akan tetap lestari.
e. Kondisi Sosial Budaya
Setiap masyarakat mempunyai kehidupan sosial yang berbeda
antara masyarakat satu dengan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari adat-
istiadat yang berlaku di dalam masyarakatnya. Adat-istiadat merupakan
37
bagian dari kebudayaan yang biasanya berfungsi sebagai pengatur,
pengendali dan pemberi arah kepada perlakuan dan perbuatan masyarakat.
Masyarakat Jawa memiliki kehidupan sosial yang khas yaitu banyak
menggunakan berbagai lambang dan simbol sebagai media atau sarana
untuk menyampaikan pesan atau nasehat. Disamping itu, masyarakat Jawa
juga masyarakat yang hidupnya penuh rasa kekeluargaan, rukun dan suka
menolong sesamanya.
Dalam kehidupannya, masyarakat Jawa khususnya desa
Kedungwringin kecamatan Sempor hampir selalu terlihat pengungkapan
rasa budaya yang sifatnya mistik seperti pada tradisi Baritan, Krapyakan,
Nyadran. Selain masih menanamkan nilai-nilai Jawa, mereka juga
mengembangkan tradisional Jawa.
Perkembangan kesenian tradisional di desa Kedungwringin
didukung oleh keinginan masyarakat yang masih tetap melestarikan dan
mengembangkan dalam bidang budaya. Adapun kesenian yang masih
dilestarikan oleh masyarakat desa kedungwringin seperti kesenian wayang
kulit, wayang orang, kuda lumping, calung atau lengger, campursari, dan
terbang. Kesenian tradisional kuda lumping adalah kesenian yang paling
banyak berkembang. Ada empat grup kesenian kuda lumping yang ada di
desa Kedungwringin.(Sumber: Data Monografi Desa Kedungwringin 2013)
38
2. Deskripsi Data
a. Prosesi Tradisi Baritan
Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan, karena
kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga
masyarakat pendukungnya dengan cara mempelajarinya (Purwadi, 2005:
1). Seperti halnya pada masyarakat desa Kedungwringin, mereka juga
memperoleh warisan dari nenek moyangnya. Hasil budaya yang
diwariskan oleh nenek moyang kepada generasinya yaitu sebuah tradisi
ritual. Salah satu tradisi ritual yang masih dilestasrikan oleh masyarakat
Kedungwringin adalah tradisi Baritan. Tradisi Baritan dilaksanakan
bertujuan untuk memperingati datangnya tahun baru Jawa sekaligus tahun
baru Islam. Dalam pelaksanaannya tradisi Baritan selalu jatuh pada hari
Jum’at dalam bulan Muharam. Adapun rangkaian kegiatannya sebagai
berikut:
Tradisi Baritan terdiri dari tiga bagian yaitu persiapan,
pelaksanaan, penutup. Prosesi persiapan dimulai dari pembentukan panitia,
penentuan tempat dan waktu, pencarian dana, dan menyiapkan
perlengkapan. Prosesi pelaksanaan tradisi Baritan dimulai dengan
pembacaan kidung, pagelaran wayang kulit, sambutan ketua panitia,
sambutan kepala desa, laporan keuangan Baritan, do’a dan kenduri
bersama. Sedangkan prosesi akhir tradisi Baritan yaitu setelah pagelaran
wayang kulit berakhir ki dalang membacakan semburan, dan masyarakat
39
saling berebut hasil bumi yang digatung pada sekeliling pementasan
wayang kulit.
b. Makna dan Fungsi Tradisi Baritan
Tradisi Baritan di desa Kedungwringin selalu dilaksanakan setiap
tahunnya, karena merupakan sebuah kebiasaan yang berlangsung secara
turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Di balik sebuah ritual
pasti mempunyai makna dan fungsi, makna dan fungsi tradisi Baritan di
desa Kedungwringin diantaranya sebagai berikut:
Makna yang terkandung dalam tradisi Baritan di desa
Kedungwringin dapat dikelompokan menjadi empat aspek yaitu makna
kebudayaan, makna sosial, makna ekonomi dan makna politik. Makna
kebudayaan tradisi Baritan sebagai salah satu kebudayaan daerah yang
dapat memperkaya kebudayaan nasional. Makna sosial tradisi Baritan
dengan adanya tradisi Baritan menunjukan kerukunan, gotong royong
antar warga masyarakat desa Kedungwringin terjalin dengan baik. Makna
ekonomi tradisi Baritan dapat menambah penghasilan pedagang di desa
Kedungwringin. Makna politik tradisi Baritan yaitu sebagai ajang
memperkenalkan diri kepada masyarakat desa Kedungwringin. Fungsi
tradisi Baritan bagi masyarakat desa Kedungwringin adalah saebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah swt yang telah memberikan
keselamatan, rejeki dan keamanan bagi masyarakat desa Kedungwringin.
40
c. Isi Lakon (Cerita) Wayang dalam Baritan
Isi cerita dalam pertunukan wayang dalam tradisi Baritan di desa
Kedungwringin tidak boleh diganti dengan lakon lainnya, ini menjadi
salah satu keunikan yang ada dalam tradisi Baritan. Karena dalam tradisi
Baritan, pertunjukan wayang merupakan salah satu sesaji yang harus ada
dan dalam pertunjukan ini tidak ada Gara-gara, Limbukan dan merupakan
Ruat Bumi.Untuk mengetahui isi cerita Baritan sebagai berikut:
Bhatara Guru menerima perintah dari Sang Hyang Wenang untuk
menanam Wiji Isining Jagad. Akan tetapi keadaan pulau Jawa belum
stabil, kemudian para dewa ditugaskan untuk menstabilkan keadaan pulau
Jawa. Setelah berhasil Bhatara Guru mendapat anugrah yang berupa cupu.
Sang Hyang Wenang berpesan siapapun tidak boleh tau isi cupu meskipun
itu istri sendiri. Bhatara Narada selaku patih memaksa ingin mengetahui,
akan tetapi cupu terbang sebelum jatuh di tanggan Bhatara Narada.
Kemudian Bhatara Narada mengejar dimana jatuhnya cupu.
Pada tempat berbeda Naga Gombang yang sedang menerima
kutukan dari dewa sedang mengeluh merasakan kantuk yang tidak
sewajarnya. Naga Gombang yang selalu menguap tiba-tiba merasakan ada
benda yang masuk dalam rongganya. Seketika rasa kantuk itu pun hilang,
dan datanglah Bhatara Narada menanyakan apa mengetahui dimana
jatuhnya benda yang berkilau. Akan tetapi Naga Gombang yang merasa
tidak mengetahui dipaksa untuk menujukan dimana jatuhnya benda yang
41
berkilau. Naga Gombang menangis dan tetesan air matanya berubah
menjadi anak perempuan.
Bhatara Narada menceritakan apa yang terjadi dan menyerahkan
anak yang dibawanya. Setiba di Khayangan Suralaya anak berubah
menjadi kembar,kemudian diberi nama Dewi Trisnawati dan Culmuka.
Culmuka berunah menjadi babi hutan dan Dewi Trisnawati meninggal.
Jasad Dewi Trisnawati tumbuh berbagai macam tanaman. Hasil tanaman
yang tumbuh di atas makam Dewi Trisnawati diserahkan kepada Bhatara
Guru. Bhatara Narada ditugaskan untuk memberikan hasil tanamanya
kepada ratu Medang Kamulyan.
Ketika tanaman mulai menguning datanglah putra-putra prabu
Kala Gumarang dari pulau Anjuk yang berniat untuk mencicipi tanaman
yang tumbuh di ladang Medang Kamulyan. Prabu Srimapunggung tidak
bisa mengalahkan putra-putra Kala Gumarang dan meminta bantuan
kepada Bhatara Narada. Bhatara Narda menuju Rara Dadapan, meminta
kepada prabu Putut Jantaka agar putranya Blangmenyunyang dan
Condromeo bersedia mengalahkan putra-putra Kala Gumarang. Setelah
berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan panen raya Prabu
Srimapunggung berpesta dengan seluruh warga negaranya.
d. Ubarampe dan Makna Simbolik dalam Tradisi Baritan
Perlengkapan atau Ubarampe dalam sebuah tradisi adalah
merupakan hal yang penting, akan tetapi keberadaanya kurang dimengerti
oleh sebagian orang. Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa sesaji itu
42
hanya merupakan perlengkapan yang harus dilengkapi akan tetapi tidak
dimengeti apa maknanya. Kebanyakan orang hanya mengikuti apa yang
dilakukan oleh nenek moyang tanpa mengetahui maksudnya, untuk
mengetahui ubarampe (perlengkapan) yang ada dalam tradisi Baritan
sebagai Berikut:
Perlengkapan sesaji pada tradisi Baritan terdiri dari tiga bagian
yaitu ubarampe pada saat pemendaman kepala kambing, ubarampe pada
saat kenduri pada tradisi Baritan dan ubarampe pada pertunjukan wayang
dalam tradisi Baritan. Perlengkapan pada saat pemendaman kepala kambing
yaitu berupa kepala kambing, pisang raja, kinangan, rakan, kembang telon,
arang-arang kambang, jembawuk, kopi dan teh . Perlengkapan pada saat
kenduri pada tradisi Baritanyaitu (tumpeng rasul, ingkung, tompo, penggel,
kecambah, jenang abang danjenang putih). Perlengkapan pada pertunjukan
wayang dibagi menjadi tiga bagian yaitu ubarampe pertunjukan wayang
yang berada di bawah tarub yaitu: (tiris, godhong wringin, andhong, ampel
gadhing, tebu wulung, padi, jagung, kacang panjang, cabe, pethe, pala
pendem kumplit). Perlengkapan atau ubarampe pertunjukan wayang yang
berada di atas panggung yaitu (gula batu, minyak fanbo, menyan putih, pane
lemah, parem gadung, pisang raja, rokok kreni, jajan pasar, pethet, dom,
bolah, kaca). Perlengkapan atau ubarampe pertunjukan wayang yang berada
di bawah tarub diantaranya (wedhang bening, jembawuk, kopi pait,kopi legi,
teh pait, teh legi, arang-arang kambang, telur ayam kampung, bakaran
budin, godhong dadap srep).
43
B. Pembahasan Data
1. Prosesi Tradisi Baritan
Upacara tradisi Baritan sebenarnya merupakan salah satu bentuk
ritual sedhekah bumi atau ruat bumiyang dilakukan oleh warga masyarakat
desa Kedungwringin. Menurut bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Tradisi Baritan ingih punika salah satunggaling tradisi
ingkang tasih wonten ing desa Kedungwringin, tradisi Baritan
punika tradisi slamatan sedhekah bumi ingkang dipun
laksanakaken wonten ing bulan Syuro”.
Terjemahkan: Tradisi Baritan yaitu salah satu tradisi yang masih
ada di desa Kedungwringin, tradisi Baritan yaitu tradisi selamatan
sedhekah bumi yang dilaksanakan dalam bulan Syuro.
Menurut Bapak Sujono berpendapat bahwa:
“Tradisi Baritan ingkang wonten desa Kedungwringin
menika salah satunggiling tuladha tradisi ingkang tasih dipun
lestarikaken menggah masyarakat desa Kedungwringin. Tradisi
Baritan menika sedhekah bumi ingkang dipun pengeti saben sasi
Syuro”.
Terjemahan: Tradisi Baritan yang ada di desa Kedungwringin itu
salah satu contoh tradisi yang masih dilestarikan bagi masyarakat
desa Kedungwringin. Tradisi Baritan itu sedhekah bumi yang
diperingati setiap bulan Syuro.
Sedangkan Bapak Suwarjo berpendapat bahwa:
“Tradisi Baritan yaitu sudah lama kita alami sejak dulu,
nenek moyang mengadakan suatu Baritan atau sedhekah bumi
yang intinya setiap bulan Syuro diadakan selamatan.”
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan tradisi Baritan
yaitu salah satu tradisi selamatan yang diperingati setiap bulan Syuro oleh
masyarakat desa Kedungwringin sebagai ungkapan rasa syukur terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi Baritan dilaksanakan oleh masyarakat desa
44
Kedungwringin khususnya kadus satu dan dua. Hal ini sependapat dengan apa
yang diungkapkan oleh Bapak Tusiman:
“Tradisi Baritan itu dilakukan oleh masyarakat kadus
satu dan dua, sedangkan kadus tiga dan empat adalah Tayuban”.
Menurut Bapak Suwarjo berpendapat:
“Diadakan wayangan, karena di Kedungwringin terdiri
dari dua, yaitu sebelah timur atau kadus satu dan dua
selamatannya wayang dan sebelah barat atau kadus tiga dan
empat adalah Tayuban”.
Mereka hanya dapat mengatakan bahwa upacara ini sudah
dilakukan oleh nenek moyang sejak dulu, kini mereka tinggal meneruskan
tradisi leluhurnya. Prosesi tradisi Baritan dapat dibagi menjadi tiga bagian
diantaranya sebagai berikut:
a. Persiapan Baritan
Persiapan pada tradisi Baritan di desa Kedungwringin dimulai
apabila menjelang bulan Muharam (Syuro). Perangkat desa mengadakan
rapat, membentuk panitia pelaksanaan tradisi Baritan. Kemudian panitia
menentukan lokasi, waktu dan berapa jumlah iuran yang dikenakan kepada
setiap kepala keluarga. Setelah mencapai mufakat, keputusan tersebut
disampaikan kepada seluruh warga masyarakat desa Kedungwringin. Tiga
hari sebelum tradisi Baritan salah satu sesepuh desa melakukan ziarah. Ziarah
ditunjukan kepada makam para leluhur desa Kedungwringin. Satu hari
sebelum tradisi Baritan dilaksanakan masyarakat bergotong royong membut
tarub, panggung dan menata gamelan. Sore harinya pemotongan kambing dan
45
pemendaman kepala kambing di perempatan jalan. Hal tersebut sama seperti
apa yang diungkapkan oleh bapak Hoerun:
“Saderenge prosesi Baritan, ngancik wulan Syuro
perangkat desa menika ngawontenaken rapat, mbahas babagan
dana, papan lan wekdal. Sasampunipun sadaya sampun saruju,
ketua RT kajibah woro-woro dumateng warganipun. tigang
dinten saderenge prosesi Baritan salah satunggiling sesepuh
kajibah ziarah wonten makam leluhur desa Kedungwringin.
Sadinten saderenge prosesi tradisi Baritan warga masyarakat
damel tarub. Sontenipun nyembelih mendha, endase dipun
kubur wonten prapatan”.
Terjemahan: Sebelum tradisi Baritan, memasuki bulan Syuro
perangkat desa mengadakan rapat, membahas tentang dana,
tempat dan waktu. Sesudah semua setuju, ketua RT mempunyai
kewajiban untuk menyampaikan kepada warganya. Tiga hari
sebelum prosesi Baritan salah satu dari sesepuh mempunyai
kewajiban untuk ziarah ke makam leluhur desa Kedungwringin.
Satu hari sebelum tradisi Baritan warga masyarakat membuat
trub. Sore harinya menyembelih kambing, kemudian kepalanya
dipendam di perempatan.
Sedangkan menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Prosesi tradisi Baritan ingkang sampun-sampun,
saderengipun ngancik wulan Syuro, lembaga pemerintahan desa
ngawontenaken rapat, ingkang isinipun mbahas wedkdal, iuran,
papan lan panggenan. Sasampunipun dipun tentokaken papan
lan panggenan, tigang dinten saderengipun prosesi, salah
satunggiling sesepuh kajibah ziarah wonten ing makam leluhur.
Sadinten saderenge prosesi masyarakat desa Kedungwringin
gotong royong wonten ingkang damel tarub, panggung lan nata
gamelan. sontenipun bapak kaum kajibah motong mendha
kangge acara tradisi Baritan. salajengipun endas dipun kubur
wonten ing prapatan margi”.
Terjemahan: Prosesi tradisi Baritan yang sudah-sudah, sebelum
datang bulan Syuro, lembaga pemerintah desa mengadakan
rapat, yang isinya membahas waktu, jumlah iuran dan
tempat.Setelah ditentukan tempat dan waktu, tiga hari sebelum
prosesi, salah satu dari sesepuh desa mempunyai kewajiban
untuk ziarah kemakam leluhur. Satu hari sebelum prosesi
masyarakat desa Kediungwringin gotong royong ada yang
membuat tarub, panggung dan menata gamelan. Sore harinya
46
bapak kaum mempunyai kewajiban memotong kambing untuk
acara prosesi tradisi Baritan. Selanjutnya kepala kambing
tersebut dipendam di perempatan jalan.
Gambar: 1 menunjukan proses pemakaman atau pemendaman kepala
kambing di perempatan jalan desa Kedungwringin.
Pemendaman kepala dan darah biasanya dilakukan oleh sesepuh
desa, akan tetapi jika ada acara, sehingga sesepuh tidak bisa memendam
sendiri mereka maka bisa diwakilkan kepada orang lain. Namun harus di japa
mantrani dulu oleh sesepuh,japa mantra dalam pemendaman kepala kambing
menurut Bapak Budiarjo selaku sesepuh berpendapat bahwa:
“Motong wedus kuwe ana jawabane cung kalacung tikus
Janada sira balia meng tanah sabrang ratu gustimu agi pesta
nek ora percaya tiliki nang prapatan darah lan ndase nang
kana”.
47
Terjemahan: Menyembelih kambing itu ada jawabannya heh
kamu tikus Janada pulanglah ke tanah sabrang ratu gustimu
sedang berpesta, kalau tidak percaya lihatlah di perempatan
jalan ada darah dan kepala di sana. (Wawancara dengan bapak
Budiarjo 12 November 2013 pukul 20.00)
Bapak Sujono selaku dalang dalam prosesi Baritan bependapat bahwa:
“Mendhem endas wedus niku wonten japa mantranipun,
mboten anamung asal mendhem. Japa mantranipun kados
mekaten cung kalacung tikus Janada sira balia meng tanah
sabrang ratu gustimu agi pesta nek ora percaya tiliki nang
prapatan darah lan ndase nang kana”.
Terjemahan: pemendaman kepala kambing itu ada mantranya,
tidak sekedar memendam. Japa mantranya seperti ini heh kamu
tikus Janada pulanglah ke tanah sabrang ratu gustimu sedang
berpesta, kalau tidak percaya lihatlah di perempatan jalan ada
darah dan kepala di sana.
Pada malam hari sebelum prosesi tradisi Baritan masyarakat sekitar
biasanya mengadakan pembacaan surat yasin dan tahlil untuk mengirim doa
kepada leluhur dan makam yang telah di ziarahi. Selain itu tujuan lainyauntuk
melengkapi ubarampe atau perlengkapan serta menemani ibu-ibu yang
sedang memasak.
b. Waktu dan Prosesi Tradisi Baritan
Prosesi tradisi Baritan di desa Kedungwringin kecamatan Sempor
selalu diadakan pada hari Jum’at. Adapun alasan mengapa dilaksanakan hari
Jum’at diantaranya sebagai berikut : Menurut penuturan bapak Budiarjo
selaku sesepuh desa Kedungwringin sebagai berikut:
“Dina Jum’at kuwe dina sing diistimewakna bagi
pitung dina, dina pitu kan rangkepe lima ganep, dina Jum’at
kuwe jodone wong sepasar, dina istimewa kanggone wong
Islam, dina Jum’at kanggo Jum’atan, terciptanya Adam as,
dina pertama Adam as mlebu surga, ditokna kan surga lan
dina tibane kiamat.”
48
Terjemahan: Hari Jum’at itu hari yang diistimewakan
diantara tujuh hari lainnya, hari tujuh yang rangkapnya lima
genap maksudnya lima bisa merangkapi tujuh yaitu Minggu,
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Juma’at dan Sabtu kemudian
lengkapi dengan Manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Hari
Jum’at jodohnya orang sepasar, maksudnya tidak ada
pantangan. Hari Jum’at hari istimewa bagi orang Islam
karena nabi Adam tercipta hari pada hari Jum’at, diturunkan
ke surga dan ke Bumi. Hari Jum’at dipercaya sebagai hari
akan terjadinya hari Kiamat.
Menurut Bapak Sagino berpendapat bahwa
“Amargi menika sampun turun-temurun saking
leluhur, kirang langkung amargi dinten Jum’at punika dinten
ingkang sae tumrapipun tiyang muslim”.
Terjemahan: Sebab itu sudah menjadi tradisi dari leluhur,
kurang lebih karena hari Jum’at itu hari yang baik bagi umat
muslim.
Sedangkan menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Hari Jum’at itu hari yang istimewa diantara tujuh hari lainnya”.
Setelah berbagai persiapan dan perlengkapan untuk perayaan tradisi
Baritan selesai, selanjutnya prosesi tradisi Baritan di desa Kedungwringin,
kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen bisa dimulai. Menurut Bapak
Hoerun selaku perangkat desa berpendapat bahwa:
“Prosesi Baritan punika kawiwitan kirang langkung
jam 09.00, mangke istirahat jam 11.30. Jam 13.00 dipun
lajengaken malih, sambutan saking panitia, kepala desa.
Salajengipun kenduri masal utawi sareng-sareng masyarakat
desa Kedungwringin, sasampunipun pamentasan wayang dipun
lajengaken malih dumugi paripurna.”
Terjemahan: Prosesi Baritanitu dimulai kurang lebih pukul
09.00, kemudian istirahat pukul 11.30. Pukul 13.00 dilanjutkan
dengan sambutan dari panitia, kepala desa. Selanjutnya kenduri
masal atau bersama-sama masyarakat desa Kedungwringin,
49
setelah selesai kenduri pementasan wayang dilanjutkan kembali
sampai selesai.
Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Ingkang sampun-sampun prosesi Baritan niku
dipunlaksanaken dinten Jum’at, kawiwitan kirang langkung jam
09.00 enjang. Saderengipun kawiwitan pak dhalang maos
kidungan, sasampunipun dipunlajengaken pamentasan ringgit
wacucal. Masyarakat desa Kedungwringin sami rawuh,
piyantun putri sami mbetha penggel satunggal-satunggal.
Kirang langkung jam 11.30 pagelaran ringgit wacucal istirahat
kangge ngormati sholat Jum’at, jam 1 tradisi baritan dipun
lajengaken malih, dipun wiwiti sambutan saking panitia, kepala
desa lan bendahara. Sasampunipun sambutan, acara
salajengipun inggih punika kenduri utawi makan bersama.
Kenduri dipun wiwiti pembagian penggel dumateng warga
masyarakat desa Kedungwringin ingkang sami rawuh.
Salajengipun penggel dipun bagi, bapak kaum kajibah mimpin
do’a. Pagelaran ringgit wacucal dipun lajengaken malih
sasampunipun keduri, dumugi paripurna.
Terjemahan: Yang sudah-sudah prosesi Baritan itu dilaksanakan
pada hari Jum’at, dimulai kurang lebih pukul 09.00 pagi.
Sebelum dimulai pak dhalang membaca kidungan, kemudian
dilanjutkan pementasan wayang kulit. Masyarakat desa saling
berdatangan, ibu-ibu sambil membawa penggel satu-satu.
Kurang lebih pukul 11.30 pertunjukan wayang istirahat untuk
menghormati sholat Jum’at, pukul 13.00 tradisi Baritan
dilanjutkan kembali. Di awali dengan sambutan panitia, kepala
desa dan bendahara. Setelah sambutan, acara selanjutnya adalah
kenduri atau makan bersama. Kenduri dimulai dengan
pembagian penggel kepada warga masyarakat desa
Kedungwringin yang telah datang. Kemudian penggel di bagi,
bapak kaum mempunyai kewajiban untuk memimpin do’a.
Setelah kenduri pertunjukan wayang dilanjutkan kembali sampai
selesai.
Dari beberapa pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa tradisi
Baritan di desa dimulai pada hari Jumat, pukul 09.00, sesepuh memasang
sesaji atau ubarampe yang dibutuhkan pada pementasan wayang. Sekitar
pukul 09.30 pementasan wayang sudah bisa dimulai. Sebelum pementasan
50
wayang dimulai Ki dalang Sujono membacakan kidung sebagai tolak bala(
penolak bencana), untuk lebih rinci kidung yang dibacakan sebagai berikut:
Kidung Rumeksaning Wengi
Ana kidung rumeksone wengi
Teguh kaya luputa ing lara
Luputo bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunane wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana jarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Sakaheng lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
pagupaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Sakatahing Rasul
Pan dadi sarira Tunggal
Ati adem utekku baginda Esis
pangucapku ya Musa
Napasku Nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup Pamiyarsaning wang
Yusup ing rupaku mangkr
Nabi Daud Suaraku
Jeng sulaiman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawaku
Edris ingrambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Getih daging Abubakar asinggih
Balung baginda Ngusman
51
Sumsuming Patimah linuwih
Siti Aminah Bayuning Angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing Otot mami
Netraku ya muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam sasak
Sampun pepak sakatahe para
Nabi dadya sarira Tunggal
Wiji sawiju mulane dadi
Apan apencar dadiya singing jagad
Kasamadan dening Dzate
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen wincakana toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan dadi waras
Gambar 2 : Ki dalang membaca kidung sebelum pertunjukan wayang
Terjemahan:
Ada nyanyian yang menjaga di malam hari
Kukuh selamat terbebas dari penyakit
Terbebas dari semua mala petaka
Jin setan jahat pun tidak berkenan
52
Guna-guna pun tidak ada yang berani
Juga perbuatan jahat
Ilmu orang yang bersalah
Api dan juga air
Pencuri pun jauh tidak ada yang menuju padaku
Guna-guna sakti pun lenyap
Semua penyakit pun bersama-sama kembali
Berbagai hama sama-samahabis
Dipandang dengan kasih sayang
Semua senjata lenyap
Seperti kapas jatuhnya besi
Semua racun menjadi hambar
Binatang buas jinak
Kayu ajaib dan tanah angker
Lubang landak rumah manusia tanah miring
Dan tempat merak berkipu
Walaupun arca dan lautan kering
Pada akhirnya, semua selamat
Semuanya sejahtera
Dikelilingi bidadari
Dijaga oleh malaikat
Semua Rasul
Menyatu menjadi berbadan tunggal
Hati adam, otakku Baginda Sis
Bibirku Musa
Nafasku Nabi Isa As
Nabi Yakub mataku
Yusuf wajahku
Nabi Daud suaraku
Nabi Sulaiman kesaktianku
Nabi Ibrahim nyawaku
Idris di rambutku
Baginda Ali kulitku
Darah daging Abu Bakar Umar
Tulang Baginda Usman
Sumsumku Fatimah yang mulia
Siti Aminah kekuatan badanku
Ayub kin dalam ususku
Nabi Nuh di jantung
Nabi yunus di ototku
Mataku Nabi Muhamad
Wajahku rasul
Dipayungi oleh syariat Adam
Sudah meliputi seluruh para Nabi
Menjadi satu dalam tubuhku
Kejadian berasal dari biji yang satu
53
Kemudian berpancar ke seluruh dunia
Terimbas oleh zat-Nya
Yang membaca dan mendengarkan
Yang menyalin dan menyimpannya
Mejadi keselamatan badan
Sebagai sarana pengusir
Jika dibacakan alam air
Dipakai mandi perawan tua cepat bersuami
Orang gila cepet sembuh
Setelah pembacaan kidung pementasan wayang bisa dimulai.
Pementasan wayang berhenti sejenak untuk melakukan sholat Jum’at pada
pukul 11.30-12.45.Warga masyarakat berdatangan untuk menghadiri prosesi
tradisi Baritan yang hanya dilakukan hanya satu tahun sekali. Antusias
masyarakat desa Kedungwringin sangat tinggi karena mereka menyadari
bahwa tradisi Baritan hanya sekali dalam setahun, dan ini adalah hajatan kita
semua. Tidak hanya bapak-bapak, ibu-ibu juga datang dengan membawa
kocok ( tempat untuk membawa nasi atau barang-barang yang terbuat dari
bambu dengan cara di gendong). Kocok itu berisi penggel dan di serahkan
kepada panitia untuk diisi ikan kambing yang sudah dimakan. Isi kocok
diantaranya sebagai berikut: nasi, sayur, peyek, krupuk, tempe, lalaban
(kacang panjang, toge, jengkol), srundeng (parudan kelapa yang di goreng),
Setelah melaksanakan sholat Jum’at, salah satu dari perangkat desa menjadi
pembawa acara. Susunan acaranya adalah sebagai berikut:
1. Sambutan ketua panitia
Sambutan ketua panitia Bapak Tusiman berisi ucapan selamat
datang kepada perangkat desa, dan seluruh masyarakat desa
Kedungwringin yang telah hadir. Selain itu ketua panitia juga meminta
54
ma’af atas tempat dan suguhan jika kurang berkenan dan menjelaskan
apaitu Baritan serta menghimbau kepada warganya untuk melestarian
kebudayaan leluhur.
Gambar 3: Sambutan kepala desa dalam prosesi tradisi Baritan.
2. Sambutan kepala desa
Sambutan kepala desa Bapak Marsimin berisi tentang
Baritansebagai salah satu bentuk kesenian leluhur yang harus kita
lestarikan dan harus di maknani dan mengingatkan kepada warga
masyarakat unuk tetap waspada menghadapi musim pancaroba. Untuk
mengantisipasi musim pancaroba masyarakat diharapkan selalu menjaga
kesehatan dan keadaan lingkungan. Menjaga kesehatan dan lingkungan
sangat penting, karena musim pancarobasering tersebar wabah penyakit
dan bencana alam seperti tanah longsor.
55
3. Laporan keuangan tradisi Baritan
Laporan keuangan dibacakan oleh bapak Sagino selaku bendahara
desa Kedungwringin, yang disampaikan yaitu pemasukan dan pengeluaran
dana pada acara tradisi Baritan. Pemasukan dana diperoleh dari swadaya
masyarakat terkumpul dari dua kadus. Kadus satu terdiri dari RT 01
memberikan dana sejumlah Rp 1.100.00, RT 02 sejumlah Rp 1.200.000,
RT 03 sejumlah Rp 1.250.000, RT 04 sejumlah 1.300.000 dan RT 05
sejumlah 1.400.000. Begitu juga dengan kadus dua terdiri yang terdiri dari
RT 01 memberikan dana sebesar Rp 900.000, RT 02 sebesar Rp
1.100.000, RT 03 sebesar 1.100.000 , RT 04 sebesar Rp 850.000 dan
1.250.000. Jadi jumlah keseluruhan pemasukan dana tradisi Baritan tahun
2013 sebesar Rp 11.400.000. Dana tersebut dikurangi pengeluaran untuk
belanja dan membeli perlengkanan sebesar Rp 10.300.000, sisa dana
sebesar Rp 100.000.
Gambar 4: Hansip dan salah satu warga membagi penggel
56
4. Penutupan do’a yang di pimpin oleh bapak kaum
Setelah laporan keuangan tradisi Baritan selesai, bersama dengan
pembacaan do’a ada beberapa orang membagikan penggel (nasi yang ditata
sedemikian rupa dengan dilengkapi sayur-sayuran). Nasi penggel itu di
bagikan kepada seluruh warga masyarakat hadir, untuk di makan bersama-
sama. Setiap penggel biasanya di bagi tiga orang. Setelah acara makan
bersama selesai pertunjukan wayang bisa dilanjutkan kembali.
c. Prosesi Akhir
Pertunjukan wayang biasanya berlangsung samapi jam 16.45 dan
ditutup dengan semburan ( ucapan dalang setelah selsai melakukan lakon
Baritanatau mantra yang ditujukan sebagai tolak bala). Kemudian warga
masyarakat saling berebut hasil tanaman atau benih tanaman yang di gantung
di sekitar tempat pertunjukan wayang. Menurut bapak Tusiman selaku kepala
dusun berpendapat bahwa:
“ Hasil panen setelah disembur menjadi bibit unggul, jika
ditanam akan menghasilkan hasil yang memuaskan. Sedangkan
air yang berada di pane tanah dipercaya oleh masyarakat sekitar
jika diletakan pada pertanian, tanamannya akan subur dan
mendapatkan hasil yang maksimal”.
Sedangkan menurut Bapak Sujono berpendapat bahwa:
“Sasampunipun semburan warga masyarakat sami
rebutan asil tanam tuwuh ingkang dipun gantung sakiwa
tengenipun. Tanam tuwuh punika menawi dipun tanem asilipun
ampun dipun dahar ngantos 7 taneman, menika saget
ndadosaken asil ingkang katah. Banyu kembang ingkang wonten
pane lemah punika saged kangge obat menawi sawedal-wedal
wonten keluarga ingkang nandang sumeng saha saget kangge
nyuburaken taneman ugi penangkal wereng”.
57
Terjemahan: Sesudah semburan warga masyarakat saling
berebutan hasil tanaman yang digantung sebelah kiri dan
kanannya. Benih tersebut jika ditanam hasilnya jangan
dimakan sampai tujuh tanaman, itu dapat menyebabkan hasil
yang melimpah. Air kembang yang berada di pane tanah itu
bisa untuk obat apabila sewaktu-waktu ada keluarga yang sakit
dan bisa untuk menyuburkan tanaman dan penangkal hama.
Malam harinya biasanya dilanjutkan pagelaran wayang kulit
semalam suntuk, akan tetapi pada malam hari boleh di ganti dengan dalang
lain. Alasannya pada malam hari hanya hiburan semata bukan termasuk ritual
yang harus di lakukan oleh dalang turunan.
2. Makna Dan Fungsi Tradisi Baritan
a. Makna Tradisi Baritan
Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri yang
berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainnya menunjukkan
peradaban suatu bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-
dasar pemikiran dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dan
lainnya. (Herusantoto, 2008: 1). Demikian pula halnya yang terjadi pada
masyarakat desa Kedungwringin, yang memiliki tradisi salah satunya adalah
tradisiBaritan. Tradisi Baritan sudah berlangsung dari nenek moyang, yang
wariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tentunya tradisi Baritan
bukan hanya sekedar ritual saja, akan tetapi mempunyai makna sehingga
tetap dilestrarikan oleh warga masyarakat desa Kedungwringin.
Makna yang terkandung dalam upacara tradisi Baritan diantaranya
sebagai berikut:
58
1. Makna Budaya
Baritan merupakan perwujudan semangat masyarakat desa
Kedungwringin kecamatan Sempor dalam menyambut tahun baru Islam
dan Jawa sejak ratusan tahun silam. Menurut Bapak Tusiman selaku
kepala kadus berpendapat bahwa:
“Makna budaya tradisi Baritan addalah salah satu
tradisi yang dilakukan turun-temurun sehingga perlu
dilestarikan agar tidak ditelan jaman”.
Menurut Bapak Hoerun berpendapat bahwa:
“Segi kebudayan, tradisi Baritan menika salah
satunggaling warisan kebudayaan saking nenek moyang,
ingkang kedah dipun lestarikaken.”
Terjemahan: Segi kebudayaan, tradisi Baritan merupakan
salah satu warisan kebudayaan dari nenek moyang yang
perlu dilestarikan.
Selain itu tradisi Baritan juga telah memberikan spirit tertentu bagi
sebagian masyarakat pendukungnya. Berdasarkan penuturan bapak
Suwarjo selaku warga masyarakat desa Kedungwringin memiliki
keyakinan bahwa:
“Hasil panen yang digantung di sekitar pertunjukan
wayang jika ditanam akan menghasilkan tanaman yang
bagus, apalagi jika hasil panen berikutnya jangan ddimakan
samppai tujuh kali panen, hasilnya sangat memuaskan.”
Menurut Bapak Sujono berpendapat bahwa:
Sasampunipun semburan warga masyarakat sami
rebutan asil tanam tuwuh ingkang dipun gantung sakiwa
tengenipun. Tanam tuwuh punka menawi dipun tanem
asilipun ampun dipun dahar ngantos tujuh taneman, menika
saget nadosaken asil ingkang katah. Banyu kembang ingkang
wonten pane lemah punika saged kangge obat menawi
sawedal-wedal wonten kaluarga ingkang nandang sumeng.
59
Terjemahan: Sesudah semburan warga masyarakat saling
berebut hasil bumi yang digantung pada kiri dan kanan
pertunjukan wayang. hasil bumi itu apabila ditanam hasilnya
jangan dulu dimakan sampai tujuh tanaman, itu bisa
menjadikan hasil yang melimpah. Air bunga yang berada
pada pane tanah itu bisa untuk obat apabila sewaktu-waktu
ada keluarga yang menderita sakit.
Sedangkan menurut bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Hasil panen yang disembur dipercaya bagi wargaa
masyarakat sebagai bibit unggul jika ditanam akan
menghasilkan hasil yang memuaskan. Sedangkan air yang
telah disembur dapat dipercaya jika diletakan pada pertanian
atau pohon dapat menyuburkan dan menghasilkan hasil yang
lebih maksimal.”
2. Makna Sosial
Tradisi Baritan ini dimeriahkan dengan pertunjukan wayang
kulit sebagai hiburan, dalam ranggka memperingati tahun baru Islam dan
Jawa. Menurut Bapak Hoerun berpendapat bahwa:
“Makna sosial tradisi Baritan menika awujud
tasyakuran desa, tasyakuran menika salah satunggiling raos
keikhlasan warga masyarakat desa Kedungwringin”.
Terjemahan: Makna sosial tradisi Baritan itu salah satu rasa
keikhlasan warga masyarakat desa Kedungwringin.
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Makna sosial ingkang wonten tradisi Baritan inggih
punika tradisi Baritan saget ningkataken raos silaturahmi
antar warga masyarakat, ngaketaken pasederekan lan gotong
royong”.
Terjemahan: Makna sosial yang ada dalam tradisi
Baritan bisa meningkatkan rasa silaturahmi antar warga
masyarakat, meningkatkan persaudaraan dan gotong royong.
Selain itu makna sosial tradisi Baritan juga dapat disaksikan
pada hubungan akrab yang dijalin tidak hanya di antara keluarga dan
60
warga masyarakat desa Kedungwringin, tetapi juga dengan para
pengunjung dari luar daerah yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Hubungan akrab ini dapat dilihat ketika warga masyarakat desa
menyantap makanan yang setiap makanannya dibagi menjadi tiga bagian
untuk tiga orang. Selain itu dapat kita lihat ketika menjamu para
pengunjung dari luar daerah dengan berbagai makanan.
3. Makna Ekonomi
Tradisi Baritan di desa Kedungwringin, kecamatan Sempor
kabupaten Kebumen, telah membuka peluang bagi para pedagang untuk
menjual dagangannya. Hal tersebut sependapat dengan apa yang
dikatakan oleh Bapak Budi Sudarsono:
“Aspek ekonomi tradisi Baritan saget ningkataken
kesejahteraan pedagang desa Kedungwringin”.
Terjemahan: Aspek ekonomi tradisi Baritan itu bisa
meningkatkan kesejahteraan pedagang desa Kedungwringin.
Sedangkan menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Makna ekonomi yang dapat diambil dalam tradisi
Baritan yaitu bisa meningkatkan penghasilan tambahan pada
pedagang yang berdagang pada prosesi tradisi Baritan”.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpiulkan makna
ekonomi tradisi Baritan yaitu dapat meningkatkan penghasilan bagi
masyarakat desa Kedungwringin yang berdagang pada prosesi tradisi
Baritan. Jumlah pengunjung yang banyak tentunya mengonsumsi
makanan dan minuman yang lebih dari hari-hari biasanya. Para pedagang
itu menjualkan aneka dagangannya seperti makanan dan minuman serta
61
mainan anak-anak. Degan demikian, tradisi Baritan telah memberikan
manfaat ekonomi bagi masyarakat desa Kedungwringin.
4. Makna Politik
Makna politik tradisi Baritan menurut bapak Tusiman yaitu:
“Makna politik tradisi Baritan sebagai sarana yang
tepat untuk menyampaikan sosialisasinya terhadap
masyarakat, karena radisi Baritan merupakan ajang
bertemunya warga masyarakat desa Kedungwringin,
kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen.”
Sedangkan menurut bapak Budi Sudarso berpendapat bahwa:
“Aspek politik tradisi Baritan iku saget kangge
sosialisasi tokoh politik utawi pemerintah desa
Kedungwringin dumatheng warga masyarakat.”
Terjemahan: Aspek politik tradisi Baritan itu bisa untuk
sosialisasi bagi tokoh politik atau pemerintah desa
Kedungwringin kepada warga masyarakat.
Biasanya dalam suatu acara besar ada calon legesiatif yang datang
untuk memperkenalkan kepada masyarakat desa Kedungwringin dengan
visi dan misi serta partai yang menaunginya. Selain itu,kepala desa juga
menyampaikan kepada warganya jika ada yang berminat menjadi
perangkat desa Kedungwringin, dengan ketentuan tertentu untuk
mendaftarkan diri secepatnya.
Tradisi Baritan telah menempuh perjalanan waktu yang sangat
panjang dan memiliki karakter yang sangat khas dan unik. Dalam
lingkungan global, identitas budaya sangat dibutuhkan oleh suatu negara
kebangsaan, agar masyarakat dapat mencintai bangsa dan tanah air, dan
tidak tersesat oleh budaya asing yang sangat berpotensi dalam
62
memusnahkan jati diri serta spirit nasionalisme. Jadi dapat disimpulkan
makna politis pada tradisi Baritan di desa Kedungwringin, kecamatan
Sempor, kabupaten Kebumen sebagai media informasi kepada
masyarakat secara langsung, pemupuk semangat agar masyarakat desa
terus memupukrasa cintanya terhadap tradisi agar tidak terjajah oleh
budaya asing.
2. Fungsi Tradisi Baritan
Masyarakat desa Kedungwringin yang sebagian besar merupakan
petani tadah hujan, sehingga panen dilaksanakan selama dua kali dalam
setahun. Sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat mengadakan Selamatan
dalam bentuk tradisi Baritan. Menurut bapak Saginoberpendapat bahwa:
“Fungsi tradisi Baritan inggih punika tanda raos syukur
petani dumateng ngarsanipun Allah swt ingkang sampun
maringi rejeki. Rejeki punika awujud asil panen ingkang katah.
Kangge imbangan rejeki ingkang sampun dipunparingaken
deneng Allah swt para petani ngawontenaken tasyakuran
awujud Baritan”.
Terjemahan: Fungsi tradisi Baritan yaitu tanda rasa syukur
petandi kepada hadapan Allah swt yang sudah memberi rejeki.
Rejeki itu berwujud hasil panen yang banyak. Untuk imbalan
rejeki yang telah diberikan kepada Allah swt para petani
mengadakan tasyakuran berwujud Baritan.Sebagai ucapan rasa
syukur ini diwujudkan dengan acara tradisi Baritan yang
dilakukan setiap tahun. Upacara tradisi ini dilaksanakan setiap
bulan Syuro atau Muharom pada hari Jum’at. (Sumber :
Wawancara dengan Bapak Sagino,tanggal 22 November 2013).
Sujono berpendapat bahwa:
“ Tradisi Baritan nggadehi fungsi kangge ngaturaken
sesaji dumateng ingkang mbaureksa desa Kedungwringin,
tujuanipun supados dipun paringi keselamatan, keselarasan lir
ing sambikala.”.
63
Terjemahan: Tradisi Baritan mempunyai fungsi untuk
menghaturkan sesaji kepada penguasa Gaib desa
Kedungwringin agar di beri keselamatan, kesehatan oleh Allah
swt. (Sumber: Wawancara dengan Bapak Sujono, tanggal 13
November 2013 ).
Tusiman berpendapat bahwa:
“Fungsi tradisi Baritan itu untuk memperingati
datangnya tahun baru Islam, dengan diadakan tasyakuran desa
bernama Baritan.”
Menurut bapak Marsimin mengatakan bahwa:
“Fungsi Baritan yaitu sebagai ungkapan rasa syukur
warga masyarakat desa Kedungwringin, atas nikmat yang
diberikan oleh Allah swt yang telah memberikan keselamatan,
rizki selama setahun ini, maka dari itu diwujudkan dengan
pelaksanaan tradisi Baritan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
fungsi tradisi Barian bagi masyarakat desa Kedungwringin adalah untuk
memperingati datangnya tahun baru Islam dan Jawa, selain itu fungsi
lainnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt yang telah
memberikan keselamatan, rejeki selama satu tahun, dan sebagai
permohonan agar di tahun kedepan lebih baik lagi.
3. Isi Cerita Baritan
Sumber cerita dalam pertunjukan wayang purwa adalah epos
Ramayana dan epos Mahabarata, akan tetapi seiring dengan kemajuan zaman
muncul cerita banjaran, yaitu sebuah cerita wayangyang menggambarkan
suatu tokoh sejak lahir hingga mati, dengan berbagai penggambaran peristiwa
suka dan duka, prestasi, kejayaan dan kematian seorang tokoh wayang, baik
64
protagonis maupun antagonis. Cerita banjaran ini muncul karena ngetren,
amat digemari dan memudahkan pemahaman para penonton.
Sedangkan menurut jenisnya dapat digolongkan dalam tema atau
jenis cerita wayang, diantaranya sebagai berikut:lakon labet, dinamakan
lakon labet karena didalam isi certia banyak mengandung makna filosofis
yang tinggi, berisi berisi ajaran hidup dan kehidupan yang amat sangat bagi
kehidupan manusia. Lakon ruwatan, cerita ruwatan merupakan suatu cerita
yang menggambarkan pembersihan dosa-dosa atau kesalahan manusia. Lakon
bersih desa, maksudnya cerita bersih desa memelihara kebersihan desa dan
keamanan desa, atau lingkungan. Lakon kasudiran,cerita kasudiran yaitu
cerita yang menggambarkan keperkasaan, kesantosanan, dan kesaktian serta
jasa-jasanya terhadap negara dan menghancurkan kerajaan. Lakon kelahiran,
lakon wahyon (menerima wahyu/anugrah), raben atau alap-alapan (Sutarjo,
2006, 22-26).
Menurut jenisnya Lakon wayang Baritan di desa Kedungwringin,
kecamatan Sempor termasuk dalam lakon bersih desa. Cerita bersih desa
tujuannya untuk pembersihan dosa-dosa, memohon keselamatan, keselarasan
dan hasil panen yang lebih melimpah. Ceritanya Baritan di desa
Kedungwringi berbeda dengan cerita-cerita sedhekah bumi di daerah lainnya.
Menurut bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa isi cerita Baritan di desa
Kedungwringin kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen adalah sebagai
berikut:
65
Gambar 5: Jejer Khayangan Junggring Salaka, Bhatara Guru
dihadap oleh Bhatara Narada, Bhatara Brama, Bhatara
Yamadipati, Bhatara Wisnu.
“Jejer khayangan Junggring salaka, Bhatara Guru
ngendika menawi nembe kemawon sowan ngarsanipun Sang
Hyang Wenang, Bhatara Guru nampi dawuh kapurih nyebar
wiji isining jagad. Ananging tanah Jawi tasih miring mangetan.
Pramila para dewa kapurih mindah gunung Jamur Dipa wonten
ing masrip wetan. Ingkang dados gotongan, ingkang dados tali,
lajeng ingkang nggotong sedaya niku dewa.
Sigeg ing kandha, ingkang wonten gunung Jamur Dipa.
Klinting mungil, Joro moyo, Joro meo gunem ngraosaken raos
ingkang kirang sekeca. Dumadakan rawuhipun Bhatara
Narada, matur bilih badhe mboyong gunung Jamur Dipa.
Sasampunipun para jim, setan, banaspati manungkul dumateng
Bhatara Narada gunung Jamur Dipa saget dipun gotong.
Wonten ing tengahing margi, gunung Jamur Dipa dawah,
dawahipun gunung Jamur Dipo dados gunung Salak, Halimun,
Cermai, Galunggung, Slamet, Sindoro, Sumbing, Merapi,
ingkang pucuk punika dados gunung Semeru. Wonten gunung
Semeru gunung Jamur Dipa mboten saget kagotong malih.
Bhatara Narada ngedika bilih wonten dewa ingkang mboten
nderek nggotong dados mboten kiat. Dewa ingkang mboten
nderek inggih punika empu Purwadi, empu Purwadi mboten
kersa amargi sampun gadhah tugas damel pusaka Nenggala.
Sulayaning rembag dados pasulayan antawisipun Bhatara
Narada kalawan empu Purwadi.
66
Gambar 6: Prabu Naga Dampalan naik ke Khayangan
Suralaya mencari Bhatara Guru.
Jejer Negara Banten, Prabu Naga Dampalan duka
yayah sinipi, mangertosi bilih gunung Jamur Dipa dipun boyong
wonten masrip wetan. Nirbito mangsuli, ingkang mboyong
menika para dewa, dewa punika nampi perintah dawuh saking
Bhatara Guru. Naga Dampalan lajeng madosi wonten ing pundi
papan dunungipun Bhatara Guru. Wonten ing tengah margi,
Naga Dampalan kapanggih pawongan ingkang sanggup
mbiantu nuduhaken wonten ing pundi Bhatara Guru, ananging
nyuwun dipun gendhong. Sasampunipun dipun padosi mboten
wonten Naga Dampalan kuciwa, rumaos sampun dipun kumbini.
Nilakanta matur menawi badhe madosi Bhatara Guru nggih niki
kula Nilakanta. Naga Dampalan mbudi sakiatipun, pada
sanalikala salah kedadosan, dados turangga. Nirbito samanten
ugi, Nirbito salah kedadosan, dados sardula. Salaminipun
wonten gendhongan Bhatara Guru sinambi nyebar wiji isining
jagat.
Jejer Khayangan Suralaya, Bhatara Guru matur
dumateng Batara Narada menawi nembe kemawon nampi
anugrah saking Sang Hyang Wenang arupi tirta prawita sari
lan cupu manik astagina. Bhatara Guru sampun dipun wanti-
wanti mboten angsal sinten kemawon mangertosi isinipun cupu
manik astagina. Bhatara Narada mbujuk badhe ningali isinipun
cupu, nebe kemawon cupu dipun ulungaken dereng dumugi asta
Batara Narada, cupu kasebat ical. Bhatara Narada mlajar
madosi wonten ing pundi dawahipun cupu kasebat.
67
Ingkang wonten Puser bumi, Naga Gombang ingkang
saweg nampi bebendu saking dewa, ngudi raos bilih ngraosaken
ngantuk ingkang sanget. Ngantuk punika sanalikala ical
sesarengan kalih raos ingkang manjing wonten lak-lakan.
Dumadakan rawuhipun Bhatara Narada, ndangu dumateng
Naga Gombang matur napa ngertos wonten barang mawa teja
ingkang dawuh wonten ing mriki. Naga gombang rumaos
mboten ngertos dipun tuduh kumbi. Naga Gombang sawan-
sawan tangis, tumetesing luh wonten bantala salah kedadosan,
dados kunang jabang bayi. Bhatara Narada sowan dumateng
ngarsanipun Batara Guru, matur napa ingkang sampun
kadadosan. Kunang jabang bayi dipun timbali Bhatara Guru
suwanten putra, dipun timbali Bhatara Narada suwanten putri.
Dados kaelokaning jagad, pada sanalikala dados kembar,
ingkang putri dipun paringi asma Dewi Trisnawati ingkang
kakung dipun paringi asma Culmuka.
Dewi Trisnawati manggen wonten widodaren, Culmuka
kenging bebendu saking Bhatara Guru dados andpan, manggen
wonten Wukir wudikri. Dewi Trisnawati tansah kayungyun
ingkang rayi, lajeng pejah. Dewa Wangkang, dewa Wangkeng
kapurih makamaken Jisim Dewi Trisnawati wonten ngandap
Wukir wudakir. Ngambu gandhanipun Dewi Trisnawati
Culmuka mrepeki. Culmuka dipun tlorong tigas jangganipun,
mustaka dados lintang benalung, gembungipun dados mina
Siminaloda. Makam Dewi Trisnawati lajeng tukul maneka
warna tetaneman. Sasampunipun panen Bhatara Narada
ngaturaken asil panen dumateng ngarsanipun Bhatara Guru.
Bhatara Guru dawuh dumateng Bhatara Narada kapurih
maringaken wiji sarining jagad dumateng titah mercapada.
Jejer Negara Medang Kamulyan, Prabu Srimapunggung
kaadep ingkang putra, dumadakan rawuhipun Bhatara Narada.
Bhatara Narada matur bilih nampi dawuh kapurih maringaken
wiji sarining jagad. Wiji sarining jagad punika kedah dipun
tanem wonten ladang Medang Kamulyan. Sasampunipun badhe
panen wonten ontran-ontran saking pulau Anjuk. Putra-putra
Prabu Kala Gumarang ingkang nami Dewi Kurese, Gerba
Sengara, Lembu Sengara, Cakutila lan Janada sami ngrisak
ladang Medang Kamulyan. Prabu Srimapunggung nyuwun
pambiantu dumateng Bhatara Guru, Bhatara Guru maringaken
pusaka pecut penjalin tinggal. Gerba Sengara, Lembu Sengara
lan Dewi Kurese saget manungkul ananging Cakutila kalawan
Janada dereng. Bhatara Narada lajeng pados jago wonten
Nagari Rara Dadapan.
Jejer Rara Dadapan prabu Putut Jantaka kaadep
dengeng putranipun Blangmenyunyang kalawan Candramowo.
Dumadakan rawuhipun Bhatara Narada, nyuwun pambiyantu
68
kangge mbrasta ontan-ontran ing Medang Kamulyan.
Condromowo lan Blangmenyunyang nyarujoni napa ingkang
dados kekarepanipun Bhatara Narada, ananging nyuwun
kudangan bilih saget ngasoraken Cakutila lan Janada.
Candramowo nggadahi panyuwunan menawi sare lan dhahar
nyuwun sesarengan kalih majikanipun, Blangmenyunyang
nyuwun bilih sare wonten longanipun lan menawi gusti dhahar
cekap dipun uncali wonten longanipun. Candramowo lan
Blangmenyunyang saget mbrasta menapa ingkang dados
ontran-ontan wonten nagari Medang Kamulyan. Sasampunipun
Prabu Srimapunggung lan sedaya warga ngawontenaken
tasyakuran kangge raos syukur ingkang dados kelilip wonten
negari Medang Kamulyan sampun saget dipun brasta.
Terjemahan: Jejer Khayangan Junggring salaka, Bhatara Guru
berbicara baru saja menghadap kehadapan Sang Hyang Wenang,
Bhatara Guru menerima perintah untuk menyebar wiji isining
jagad. Akan tetapi tanah Jawa masih condong ke timur. Oleh
karena itu para dewa menerima perintah untuk memindahkan
gunung Jamur Dipa ke bagian timur. Yang menjadi gotongan,
yang menjadi tali, kemudian yang memindahkan semua itu
dewa.
Sigeg yang menjadi pembicaraan, yang berada di gunung
Jamur Dipa. Klinting mungil, Joro moyo, Joro meo bercerita
merasakan rasa yang tidak enak. Tiba-tiba datanglah Bhatara
Narada, berbicara bahwa akan memindahkan gunung Jamur
Dipa. Selanjutnya para jin, setan, banaspati tunduk kepada
Bhatara Narada, kemudian gunung Jamur Dipa bisa untuk
dipindahkan. Di tengah perjalanan, gunung Jamur Dipa jatuh,
jatuhnya gunung Jamur Dipa menjdi gunung Salak, Halimun,
Cermai, Galunggung, Slamet, Sindoro, Sumbing, Merapi, dan
pucuknya menjadi gunung Semeru. Di gunung Semeru gunung
Jamur Dipa tidak bisa diangkat lagi. Bhatara Narada berbicara
bahwa ada dewa yang tidak ikut menggotong, jadi tidak kuat.
Dewa yang tidak ikut yaitu empu Purwadi, empu Purwadi tidak
mau karena merasa sudah mempunyai tugas membuat pusaka
Nenggala. Perselisihan diantaranya menjadi pertengkaran antara
Bhtara Narada dengan empu Purwadi.
Jejer Negara Banten, Prabu Naga Dampalan sangat
marah, mengetahui apabila gunung Jamur Dipa di pindah ke
bagian timur. Nirbito menjawab, yang memindahkan adalah
para dewa, dewa itu mendapat perintah dari Bhatara Guru. Naga
Dampalan kemudian mencari dimana keberadaan Bhatara Guru.
Di tengah-tengah perjalanan, Naga Dmpalan bertemu dengan
seseorang yang sanggup membantu menunjukan dimana
keberadaan Bhatara Guru, akan tetapi minta di gendong. Setelah
69
dicari tidak ada Naga Dampalan kecewa, merasa sudah di
bohongi. Nilakanta berbicara apabila akan mencari Bhatara
Guru ya ini Nilkantha. Naga Dampalan mengerahkan seluruh
tenaganya, pada saaat itu menjadi salah kejadian, Naga
Dampalan berubah menjadi kuda. Nirbito begitu juga, salah
kejadian, menjadi harimau. Selama dalam gendongan Bhatara
Guru sambil menyebarkan wiji isining jagad.
Jejer Khayangan Suralaya, Bhatara Guru berbicara
kepada Batara Narada baru saja menerima anugrah dari Sang
Hyang Wenang berupa tirta prawita sari dan cupu manik
astagina. Akan tetapi Bhatara Guru sudah diberi pesan, jangan
sampai ada seseorangpun yang mengetahui isinya cupu manik
astagina. Bhatara Narada mbujuk agar bisa melihat isinya cupu,
baru saja cupu mau diberikan belum sampai ke tangan Bhatara
Narada, cupu tersebut hilang. Bhatara Narada bergegas berlari
mengejar dimana jatuhnya cupu tersebut.
Yang berada di Puser bumi, Naga Gombang yang sedang
medapat karma dari dewa, sedang merasakan rasa kantuk yang
tidak seperti biasanya. Seketika rasa kantuk itu hilang
bersamaan dengan masuknya suatu bendadalam
tenggorokan.Tiba-tiba datanglah Bhatara Narada, bertanya
kepada Naga Gombang berbicara apakah mengetahui ada benda
berkilau jatuh di sekitar sini. Naga Gombang yang merasa tidak
mengetahui dituduh telah berbohong kepada Bhatara Narada.
Naga Gombang menangis, menetesnya air mata ke tanah
menjadi salah kejadian, air mata tersebut berubah menjadi bayi.
Bhatara Narada menghadap ke hadapan Bhatara Guru,
menceritakan apa ysng sudah terjadi. Bayi tersebut di panggil
oleh Bhatara Guru bersuara laki-laki, di panggil oleh Bhatara
Narada bersuara perempuan. Menjadi suatu keajaiban, seketika
bayi tersebut berubah menjadi kembar, yang putri di beri nama
Dewi Trisnawati, yang laki-laki bernama Culmuka. Dewi
Trisnawati ditempatkan bersama para bidadari, Culmuka
mendapat kutukan berubah menjadi babi hutan, ditempatkan di
gunung Wukir wudikri. Dewi Trisnawati selalu teringat kepada
adiknya, kemudian meninggal. Dewa Wangkang, dewa
Wangkeng ditugaskan untuk memakamkan jasad Dewi
Trisnawati dibawah Wukir wudakir. Culmuka mencium bau
Dewi Trisnawati kemudian mendekat. Culmuka dipanah oleh
Bhatara Narada, kepalanya berubah menjadi bintang benalung,
tubuhnya berubah menjadi ikan Siminaloda. Makam Dewi
Trisnawati kemudian tumbuh berbagai jenis tanaman. setelah
panen Bhatara Narada menyerahkan hasil panennya kepada
Bhatara Guru. Bhatara Guru memerintahkan kepada Bhatara
Narada untuk memberikan wiji sarining jagad kepada manusia
di bumi.
70
Jejer Negara Medang Kamulyan, Prabu Srimapunggung
dihadap oleh anaknya, tiba-tiba datanglah Bhatara Narada.
Bhatara Narada berbicara bahwa menerima perintah untuk
memberikan wiji isining jagad. Wiji isining jagad itu supaya
ditanam di ladang Medang Kamulyan. Setelah mendekati waktu
panen ada penyusup dari pulau Anjuk. Putra-putra Prabu Kala
Gumarang yang bernama Dewi Kurese, Gerba Sengara, Lembu
Sengara, Cakutila dan Janada bersama-sama merusak ladang
Medang Kamulyan. Prabu Srimapunggung meminta bantuan
kepada Bhatara Guru, Bhatara Guru memberikan pusaka pecut
penjalin tinggal. Gerba Sengara, Lembu Sengara dan Dewi
Kurese bisa ditundukan, akan tetapi Cakutila dan Janada belum
bisa ditaklukan. Bhatara Narada kemudian bergegas mencari
jagoan ke Nagara Rara Dadapan.
Jejer Rara Dadapan prabu Putut Jantaka dihadap oleh
putranya Blangmenyunyang dan Candramowo. Tiba-tiba
datnglah Bhatara Narada, meminta bantuan agar bersedia
membrantas penyusup di Medang Kamulyan. Condromowo dan
Blangmenyunyang menyetujui apa yang menjadi keinginan
Bhatara Narada, akan tetapi apabila bisa mengalahkan Cakutila
dan Janada. Candramowo mempunyai keinginan apabila tidur
dan makan ingin selalu bersama rajanya. Blangmenyunyang
mempunyai keinginan apabila rajanya makan cukup dikasih nasi
satu kepal di bawahnya. Candramowo dan Blangmenyunyang
bisa membrantas peyusut yang membuat keonaran di Medang
Kamulyan. Sesudahnya Prabu Srimapunggung dan semua warga
mengadakan tasyakuran sebagai ucapan rasa syukur yang
mmbuat keonaran di Negara Medang Kamulyan dapat teratasi.
Menurut Bapak Tusiman selaku kepala dusun berpendapat bahwa:
Isi cerita wayang Baritan yaitu dimulai ketika jagad
masih kosong, kemudian Bhatara Guru menebarkan wiji isining
jagad. Akan tetapi keadaan bumi belum seimbang, masih
condong ke barat. Untuk menyeimbangkan keadaan tersebut
Bhatara Guru mengerahkan para dewa untuk memindahkan
gunung Jamur Dipa yang berada di Banten. Setelah dirasa
seimbang Bhatara Guru menghadap Sang Hyang Wenang dan
Bhatara Guru diberi wiji isining jagad.
Mengetahui keadaan gunung Jamur Dipa sudah tidak
ada, penguasa negara Banten tidak terima. Kemudian berusaha
mencari Bhatara Guru, dalam perjalananya Naga Dampalan
bertemu dengan Nilakanta dan berjanji akan menunjukan
dimana Bhatara Guru berada. Akan tetapi ada persyaratannya
yaitu Nilakanta meminta untuk digendong. Merasa ditipu Naga
Dampalan dan Nirbito marah sekali kemudian Naga Dampalan
71
berubah menjadi kuda dan Nirbito berubah menjadi harimau.
Setelah selsai menyebar wiji isining jagad, Bhatara Guru
mendapat anugrah Cupu Manik Astagina. Akan tetapi tidak
boleh ada satu orang pun yang mengetahui isinya cupu. Bhatara
Narada memaksa karena dia adalah patih yang bertanggung
jawab jika ada suatu kejadian. Dengan berat hati Bhatara Guru
memberikan cupu, akan tetapi cupu belum sampai ke tangan
Bhatara Narada cupu terbang.
Bhatara Narada bergegas mencari dimana jatuhnya cupu
manik astagina. Cupu itu jatuh disekitar Puser bumi dimana
Naga Gombang yang sedang menerima karma. Naga Gombang
yang merasa tidak mengetahui jatuhnya cupu tersebut menangis
karena dianggap sudah membohongi dewa. Tetesan air matanya
berubah menjadi kunang jabang bayi. Bhatara Narada kemudian
memberikan bayi tersebut kepada Bhatara Guru. Dihadapan
Bhatara Guru bayi tersebut berubah menjadi Kembar, dan diberi
nama Dewi Trisnawati dan Culmuka. Culmuka berubah nenjadi
celeng ( babi hutan ) dan Dewi Trisnawati meninggal. Jasad
Dewi Trisanawati kemudian dimakamkan dan dari atas makam
tumbuh berbagai jenis tanaman. Setelah beberapa bulan
kemudian tanaman yang tumbuh di atas jasad Dewi Trisnawati
dipanen dan hasilnya diserahkan kepada Bhatara Guru. Bhatara
Guru memerintahkan kepada Bhatara Narada untuk memberikan
hasil tanaman kepada raja Medang Kamulan untuk ditanam di
Marcapada.
Gambar 7: Jejer Medang Kamulyan Prabu Srimapunggung
bersyukur telah berhasil menaklukan musuh-musuhnya.
Raja Medang Kamulan bernama Srimapungung
menanam biji terebut di ladang Medang Kamulan. Setelah
sekian bulan tanaman sudah siap dipanen tibalah penyusup dari
72
pulau Anjuk yang ingin mencicipi hasil tanaman yang ditanam
di ladang Medang Kamulan. Mengetahui hal tersebut prabu
Srimapunggung mencoba membrantas, akan tetapi kalah. Prabu
Srimapunggung meminta bantuan kepada Bhatara Narada,
kemudian Bhatara Narada mencari jago ke Rara Dadapan.
Bhatara Narada meminta kepada Prabu Putut Jantaka bahwa
anaknya yang bernama Candramowo dan Blangmenyunyang
untuk mengalahkan penyusup yang membuat ontan-ontran di
Medang Kamulan. Candramowo dan Blangmenyunyang
berhasil mengalahkan penyusup dan panen raya dilakukan.
Setelah panen raya Prabu Srimapunggung mengadakan pesta
bersama seluruh masyarakatnya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan isi cerita wayang
dalam tradisi Baritan yaitu menceritakan perintah Sang Hyang Wenang
kepada Bhatara Guru untuk menyebar wiji isining jagad, akan tetapi keadaan
tanah Jawa belum seimbang. Bhatara Guru kemudian memeritahkan kepada
para dewa utuk menyeimbangkn tanah Jawa. Kemudian Bhatara Guru
memeritahkan Bhatara Narada untuk memeberikan hasil wiji sarining jagad
kepada titah mercapada. Prabu Srimapunggung yang menjadi raja Medang
Kamulyan menanam wiji sarining jagad. Setelah panen prabu Srimapunggung
mengadakan tasyakuran bersama para warganya. Cerita wayang Barit dalam
tradisi Baritan merupakan keharusan, dengan diadakan lakon Barit
diharapkan hasil tanaman yang berada di desa Kedungwringin bisa menjadi
melimpah.
4. Ubarampe dan Makna Simbolik Ubarampe dalam Tradisi Baritan
Bagi masyarakat Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian
ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk
simbol-simbol yang memiliki kandungan yang mendalam (Sholikhin, 2010:
73
16). Namun sekarang ini muncul hal yang menarik untuk disadari, sampai
saat ini tidak sedikit orang yang melaksanakan sesaji, akan tetapi
kebanyakan tidak memahami makna ubarampe yang dibuatnya. Mereka
hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua dan nenek moyangnya.
Begitu juga yang terjadi pada masyarakat desa Kedungwringin, sebagian
besar dari mereka tidak mengetahui makna ubarampe dalam sebuah tradisi.
Salah satu tradisi yang masih dilaksanakan adalah tradisi Baritan, untuk
mengetahui lebih rincinya sebagai berikut:
a. Ubarampe pemendaman kepala kambing
Ubarampe dalam pemendaman kepala kambing adalah berbagai
jenis perlengkapan yang digunakan dalam proses pemendaman kepala
kambing.Ubarampe yang diperlukan dalam proses pemendaman kepala
kambing adalah kepala kambing, pisang raja, kinangan, rakan,
kembang telon, arang-arang kambang, jembawuk, kopi, teh, untuk
mengetahui makna simbolik dalam ubarampe prosesi pemendaman
kepala kambing lebih rincinya sebagai berikut:
1.Kepala kambing
Kepala kambing merupakan ubarampe Baritan yang dipendam di
perempatan jalan. Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat
bahwa:
“Endas mendha dipun pendem wonten prapatan
margi, menika kangge simbol persatuan lan kejayaan.
Warga masyarakat desa Kedungwringin nggadahi
pangajeng-ajeng pemimpinipun saget mupuk raos
persatuan.”
74
Terjemahan: Kepala Kambing dipendam di
perempatan jalan, sebagai simbol persatuan dan
kejayaan. Warga masyarakat desa Kedungwringin
berharap mempunyai pemimpin yang bisa mempererat
rasa persatuan.
Sedangkan menurut Bapak Tusiman berpendapat:
Kepala kambing mempunyai arti atau simbol
kejayaan dan persatuan, dengan simbol kepala kambing
masyarakat berharap agar desa Kedungwringin tetap
jaya dan tetap bersatu.
Gambar 8: Kepala kambing yang dijadikan
Ubarampe tradisi Baritan.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
kepala kambing merupakan lambang dari kejayaan dan persatuan.
Warga masyarakat desa Kedungwrungin berharap mempunyai
pemimpin yang bisa mempersatukan persatuan dan kejayaan. Untuk
75
mewujudkan persatuan dan kejayaan itu tercermin pada sosok
seorang pemimpin yang harus berbuat bijak, adil, dan jujur.
2.Rakan
Gambar 9: Rakan yang terdiri dari gembili, senthe, kethela,
singkong, uwi.
3.
Rakan yaitu sesaji berupa uwi, gembili, senthe atau jajanan pasar
seperti ketela yang bahannya diambil dari berbagai jenis pohon talas
dan direbus. Menurut Bapak Budi Sudarsono berprndapat bahwa:
“Rakan menika kangge simbol pangormatan
dumateng ingkang mbaureksa sela.”
Terjemahan: Rakan itu merupakan simbol atau
wujud penghormatan kepada penunggu batu.
Sedangkan menurut Bapak Tusiman berpendapat:
“Rakan itu mempunyai maksud sebagai
penghormatan kepada penunggu batu karang.”
Uwi Gembili
Kethela
Singkong
Senthe
76
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan rakan yaitu sesaji
berupa uwi, gembili, senthe atau jajanan seperti ketela yang
bahannya diambil dari akar berbagai jenis pohon talas dan direbus.
Sesaji ini dimaksudkan untuk penghormatan kepada penunggu batu,
batu karang atau batu-batu lainnya. Penunggu batu atau jin
diharapkan tidak menggangu warga masyarakat desa
Kedungwringin, karena manusia dan jin menempati tempat yang
sama akan tetapi berbeda alam. Mereka berharap agar tidak saling
mengganggu satu sama lain.
4.Kinangan
Gambar 10: Ubarampe kinangan
Kinangan adalah makanan yang biasa dimakan oleh nenek-
nenek yang terdiri dari daun sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih.
Ubarampe kinangan sebagai simbol gotong royong, karena kinangan
terdiri dari beberapa bagian, apabila kurang dari satu bagian akan
77
terasa kurang. Masayarakat desa Kedungwringin berharap mereka
bisa seperti kinangan, jangan merasa paling benar dan berjasa, semua
kisah sukses adalah kerja orang bersama-sama dalam kehidupan. Hal
tersebut sama dengan Bapak Budi Sudarsono yang berpendapat
bahwa:
“Kinangan menika kangge simbol gotong
royong, amargi ingkang kasebat kinangan saking
suruh, gambir, jambe, lan gamping. Menawi salah
satunggaling kirang raosipun kirang eco.”
Terjemahan: Kinangan itu merupakan simbol gotong
royong, sebab yang disebut kinangan terdiri dari daun
sirihh, gambir, pinang dan kapur sirih. Apabila salah
satu ada yang kurang rasanya menjadi kurang enak.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat:
“Kinangan yaitu sejenis makanan yang
dimakan oleh nenek-nenek jaman dahulu yang terdiri
dari daun sirih, gambir, buah pinang dan kapur
sirih.”
5.Pisang Raja
Gambar 11: Ubarampe pisang raja
78
Pisang raja sebagai simbol dari permohonan terkabulnya do”a
ambeng adil paramarta berbudi bawa leksana atau menjadi
seseorang yang mempunyai watak adil, berbudi luhur, dan tepat
janji. Warga masyarakat desa Kedungwringin berharap dengan
Ubarampe pisang raja mereka mempunyai pemimpin yang berwatak
adil, berbudi luhur dan tepat janji. Hal tersebut sependapat dengan
Bapak Budi Sudarsono yang berpendapat bahwa:
“Pisang raja menika simbol saking do’a
ambeng adil paramarta berbudi bawa leksana.”
Terjemahan: Pisang raja itu merupakan simbol dari
do’a adil, berwatak luhur atau baik dan tepat janji
Bapak Tusiman berpendapat bahwa :
Pisang raja merupakan simbol do’a agar raja atau
pemimpin mempunyai sifat yang bijaksana, baik dan
tepat janji.”
6.Arang-arang kambang, jembawuk, putih, teh pahit, teh manis, kopi
pahit dan manis.
Gambar 12: Ubarampe aneka sesaji, arang-arang kambang, kopi
manis, kopi pahit,teh pahit, manis dan jembawuk.
79
Arang-arang kambang adalah minuman yang terbuat dari
rengginang dicampur dengan air putih. Rengginang tersebut
dihaluskan kemudian dicampur dengan air putih. Jembawuk
merupakan minuman yang terbuat dari santan kelapa dicampur
dengan kopi dan gula merah. Makna yang terkandung dalam
berbagai jenis minuman tersebut adalah sebagai simbol rasa dalam
kehidupan. Kehidupan selalu berubah-rubah, dengan simbol tersebut
diharapkan masayarakat desa Kedungwringin selalu siap dan tabah
dalam menjalani suatu kehidupan. Hal tersebut sama seperti Bapak
Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Arang-arang kambang menika toya pethak
ingkang dipuncampur kalih rengginang. Menawi
jembawuk menika santen klapa ingkang
dipuncampur kalih gendis Jawi lan kopi. Ubarampe
unjukan punika nggadahi makna menawi
pagesangan punika kados roda, nggadahi pinten-
pinten raos”.
Jembawuk
Kopi pahit Teh manis
Air putih
Kopi manis
Teh pahit
Arang-arang kambang
80
Terjemahan: Arang-arang kambang itu air putih
yang dicampur dengan rengginang. Sedangkan
jembawuk itu santan kelapa yang dicampur dengan
gula Jawa dan kopi. Ubarampre unjukan itu
mempunyai makna apabila kehidupan itu seperti
roda, mempunyai banyak rasa.
Sedangkan menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Arang-arang kambang yaitu minuman yang
terbuat dari rengginang dicampur dengan air putih.
Jembawuk yaitu minuman yang terbuat dari santan
kepala dicampur dengan gula Jawa dan kopi.”
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
ubarampe minuman seperti kopi, teh, jembawuk, arang-arang
kambang, air putih mempunyai arti sebagai simbol rasa dalam
kehidupan.
7.Kembang Telon
Gambar 13: Kembang telon yang terdiri dari mawar,
kanthil dan bayam
Mawar Bayem Khantil
81
Kembang telon berisi tiga macam bunga, bunga mawar,
kantil, dan bayem. Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat
bahwa:
“Kembang telon menika kadadosan saking
tigang kembang inggih menika kembang mawar,
kanthil lan bayem. Mawar maknanipun panyuwunan
ingkang mawarini-warini, kanthil menika
panyuwunan ingkang kumantil wonten manah,
bayem menika sasampunipun kalaksanan dados
tentrem manahipun.”
Terjemahan: Kembang telon itu terdiri dari tiga
bunga yaitu mawar, kanthil dan bayam. Mawar
mempunyai makna permintaan yang bermacam-
macam, kanthil itu permintaan yang selalu
tergsntung didalam hati, bayam itu setelah tercapai
hatinya menjadi nyaman.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Kembang telon itu berisi mawar, kantil dan bayam
maknanya adalah suatu keinginan.”
Kembang telon terdiri dari tiga macam yaitu : mawar, kanthil dan
bayam. Maknanya adalah mawar kita mempunyai tujuan terutama di
desa Kedungwringin khususnya akan melaksanakan Baritan jadi
dikumpulkan rupanya harta benda, tarikan-tarikan pada masyarakat.
Bunga mawar maknanya mengumpulkan warna-warni atau berupa-rupa
macam, kembang kanthil karena orang kedungwringin banyak yang tani
itu mengharapkan supaya hasil panen di desa kedungwringin supaya
diberi hasil yang baik dan selamat tidak ada alangan suatu apapun,
bayam karena tujuan tradisi Baritan sudah terlaksana semoga hasilnya
82
akan lebih baik, sehingga orang menjadi ayem dan tentram (tenang dan
nyaman).
b. Ubarampe kenduri dalam tradisi Baritan
Kenduri selamatan dalam tradisi Baritan bagi masyarakat desa
Kedungwringin memiliki arti penting, dan menjadi bagian tidak
terpisah dari sebuah ritual atau tradisi. Kenduri adalah upacara
sedhekah makanan karena warga masyarakat desa Kedungwringin telah
memperoleh hasil panen yang melimpah.Ubarampe kenduri dalam
tradisi Baritan diantaranya tumpeng rasul, ingkung, tompo, penggel,
kecambah, jenang abang dan jenang putih untuk nengetahui makna
simbolik ubarampe kenduri dalam tradisi Baritan sebagai berikut:
1.Tumpeng Rasul
Gambar 14: Ubarampe tumpeng rosul
Tumpeng rasul adalah nasi yang dibentuk mengerucut besar
menyerupai gunung. Tumpeng rasulbiasanya di dampingi oleh
berbagai macam lauk-pauk dan ingkung. Tumpeng atau nasi
83
gunungan melambangkan cita-cita atau tujuan yang mulia, seperti
gunung yang memiliki sifat besar dan puncaknya menjulang tinggi.
Tumpeng rasul ini sebagai lambang penghormatan dan mendoakan
para arwah rosul, sahabat dan keluarganya. Hal tersebut sama seperti
Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Tumpeng menika kados gunung ingkang ageng lan
inggil, dados pralambang bilih manungsa ngadahi cita-
cita utawi tujuan ingkang mulia. Tumpeng rasul menika
kangge ngintu do’a lan pangurmatan dumateng arwah
para rasul, keluargi lan sahabatipun.”
Terjemahan: Tumpeng itu seperti gunung yang besar dan
tinggi, menjadi lambang bahwa manusia mempunyai cita-
cita atau tujuan yang mulia. Tumpeng rasul itu untuk
mengirim do’a dan penghormatan kepada arwah para
rasul, keluarga dan sahabatnya.
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Tumpeng rasul yaitu nasi besar berbentuk kerucut
atau menyerupai gunung. Tumpeng rasul sebagai simbol
mendo’akan kepada para arwah rasul, sahabat dan
keluarganya.”
2.Ingkung
Gambar 15: Ubarampe ingkung sebagai pelengkap tumpeng rasul
84
Ingkung adalah ayam yang dimasak dengan keadaan kaki, kepala
diikat menggunakan tali. Ingkung biasanya sebagai pelengkap
tumpeng Rasul maksudnya sebagai ciri khusus dari orang yang
mengikuti Rasulullah adalah “enggala njungkung’ atau bersujud, juga
bermakna “enggala manekung” (segala bermushasabah dan zikir
kepada Allah). Dengan adanya ubarampe ingkung berharap agar
masayrakat desa Kedungwringin selalu bersujud kepada Allah dan
mengikuti ajaran rasululah. Hal tersebut sependapat dengan Bapak
Budi Sudarsono bependapat bahwa:
“Ingkung punika nggadahi artos enggala njungkung
ugi enggala manengkung.
Terjemahan: Ingkung itu mempunyai arti cepatlah
bersujud dan cepatlah berzikir kepada Allah.”
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Ingkung yaitu ikan ayam yang diikat dan dimasak,
makna yang terkandung dalam ingkung adalah agar kita
senantiasa mengikuti ajaran rasul.”
3. Tompo
Gambar 16: Ubarampe tompo
85
Tompo adalah nasi putih yang bulat seperti bola dibagi menjadi dua.
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Tompo menika nggadahi makna ngaturaken raos
maturnuwun sasampunipun mentas resik utawi ngintu do’a
dumateng arwah leluhur.”
Terjmahan: Tompo itu mempunyai makna wujud rasa
terima kasih kepada Allah setelah melakukan ziarah dan
mengirim do’a kepada arwah leluhur.”
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Tompo itu sebagai lambang seseorang telah
melakukan ziarah kubur, dengan ubarampe tompo semoga
arwah yang dizarahi mendapat ampunan dari Allah swt.”
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan ubarampe tompo
sebagai lambang ucapan terima kasih setelah ziarah kubur. Dengan
harapan setelah mengirim do’a kepada leluhur dan memberi sedhekah
semoga arwah di alam kubur mendapat perlakuan yang sesuai seperti
apa yang dilakukan di dunia dan di ampuni dosa-dosanya.
4. Ambeng
Gambar 17: Ubarampe ambeng
86
Ambeng adalah nasi yang dibuat menyerupai bola yang dibagi dua.
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Ambeng menika sakah satunggiling simbol
raketipun tali pasederekan antawisipun warga
masyarakat.”
Terjemahan: Ambeng itu salah satu simbol terjalinnya tali
persaudaraan antara warga masyarakat.”
Menurut Bapak Tusiman berpendapat:
“ Ambeng merupakan lambang tali persaudaraan,
karena satu Ambeng biasanya dimakan oleh tiga orang.”
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Ambeng
merupakan lambang kekuatan ikatan tali perasudaraan dan
kebersamaan. Masayrakat desa Kedungwringin berharap dengan
adanya Ambeng yang dimakan bersama-sama semoga ikatan tali
persaudaraan dan persaudaraan akan selalu terjaga.
5. Kecambah
Gambar 18: Ubarampe kecambah ijo
87
Salah satu Ubarampe dalam tradisi Baritan adalah kecambah
atau toge, kecambah yang digunakan sebagai ubaranpe adalah
kecambah ijo. Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat
bahwa:
“Kecambah punika dados ubarampe wonten tradisi
Baritan,kecambah dados pralambang bakal manungsa
mugi mugi kados kecambah.”
Terjemahan: Kecambah itu menjadi perlengkapan dalam
tradisi Baritan, kecambah itu menjadi simbol calon
manusia semoga seperti kecambah.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“kecambah merupakan salah satu perlengkapan
dalam tradisi Baritan, kecambah sendiri memiliki makna
yaitu bibit manusia.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ubarampe
kecambah merupakan simbol dari benih manusia, dengan
simbol kecambah masyarakat desa Kedungwringin berharap
anaknya berkembang seperti kecambah.
6. Jenang Abang dan Jenang Putih
Gambar 19:Jenang abang dan jenang putih
88
Jenang abang adalah bubur yang dibuat dari beras dibumbui sedikit
dengan garam dan dicampur dengan gula Jawa sehingga warnanya
berubah menjadi merah. Menurut bapak Budi Sudarsono berpendapat
bahwa:
“Jenang Abang menika lambang bibit saking ibu,
menawi jenang putih menika pralambang saking bibit
bapak. Jenang abang lan putih punika nggadahi makna
kangge pangurmatan lan permohonan dumateng tiyang
sepuh mugi-mungi maringi pangestu.”
Terjemahan: Bubur merah dan putih itu lambang benih
dari ibu, sedangkan bubur putih itu lambang dari ayah.
Bubur merah dan putih mempunyai makna untuk
penghormatan dan permohonan kepada orang sepuh
semoga memberikan do’a restu.”
Menurut Bapak Tusiman Berpendapat:
“Jenang abang itu adalah lambang benih ibu (darah
–ed), sedangkang jenang putih itu adalah lambang benih
ayah (seperma). Lambang tersebut sebagai permohonan
do’a restu.”
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan jenang merah adalah
lambang bibit dari ibu (darah merah-ed), sedangkangdan jenang putih
merupakan lambang benih dari ayah (sperma). Kedua jenang tersebut
sebagai penghormatan dan permohonan kepada orang tua agar diberi
doa restu selalu mendapatkan keselamatan. Jenang abang
dimaksudkan sebagai lambang bibit dari ibu (darah merah-ed).
c. Ubarampe pertunjukan wayang dalam tradisi Baritan
Ubarampe dalam pertunjukan wayang dalam tradisi Baritan
tergolong banyak, karena merupakan ruwat bumi. Pertunjukan wayang
dalam tradsi Baritan merupakan suatu hal yang wajib, karena
89
pertunjukan wayang sendiri merupakan sesaji. Ubarampe dalam tradisi
Baritan dapat dibagi menjadi tiga bagian diantaranya: ubarampe yang
berada diatas panggung, dibawah panggung dan dibawah tarub.Masing-
masing ubarampe tersebut mempunyai makna tersendiri, untuk lebih
rincinya sebagai berikut:
1.Ubarampe pertunjukan wayang yang berada di bawah tarub.
Ubarampe pertunjukan wayang yang berada di bawah
tarub yaitu: (Tiris, godhong wringin, andhong, ampel gadhing, tebu
wulung, padi, jagung, kacang panjang, cabe, pethe, pala pendem
kumplit). Masing-masing ubarampe tersebut mempunyai makna
tersendiri, untuk lebih rincinya sebagai berikut:
a.Tiris atau cikal
Gamabar 20: Ubarampe tiris atau cikal
90
Tiris atau cikal adalah pohon kelapa yang baru
tumbuhatau tunas kelapa. Menurut Bapak Budi Sudarsono
berpendapat bahwa:
“Tiris punika lambang bilih tiyang agesang
kedah kados tiris, amargi tiris menika tuwuh
manginggil artosipun cita-cita ingkang inggil, lurus,
jujur. Tiris punika saget gesang wonten pundi
kemawon lajeng sedaya saking klapa wonten
ginanipun”.
Terjemahan: Tunas kelapa itu lambang kalau orang
hidup harus seperti tunas kelapa, sebab tunas kelapa
tumbuh ke atas artinya cita-cita yang tinggi, lurus
jujur. Tunas kelapa bisa hidup dimanapun berada
terus semua bagian dari pohon kelapa ada gunanya.
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Tiris itu adalah kelapa yang baru tumbuh,
ubarampe ini memiliki makna tunas yang tumbuh
sealalu menghadap ke atas berarti sifat jujur,
semangat tinggi, akar kelapa yang kuat
melambangkan agar masyarakat memiliki tekad dan
keyakinan yang kuat. Selain itu tunas kelapa dapat
tumbuh dimanapun berada.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwaTiris atau
Cikal sebagai lambang dari seseorang. Warga masyarakat desa
Kedungwringin berharap anaknya memiliki sifat seperti tunas
kelapa. Tunas kelapa yang selalu tumbuh menghadap keatas,
artinya mempunyai cita-cita yang tinggi, lurus, jujur tidak
mudah terombang-ambing. Tunas kelapa dapat bertahan hidup
lama dan dimana saja, agar masyarakat desa Kedungwringin
bisa bertahan hidup dengan kondisi bagaimanapun dan
dimanapun berada, akar tunas lelapa yang kuat melambangkan
91
agar masyarakat desa Kedungwringin memiliki tekad dan
keyakinan yang kuat dalam memegang dasar-dasar kebenaran
dan tradisi. Semua bagian dari pohon kelapa berguna, tujuannya
agar masyarakat desa Kedungwringin berguna bagi nusa
bangsa, negara dan sesama manusia.
b. Godhong wringin, godhong ampel gadhing, godhong andhong.
Gambar 21: Ubarampe godhong andhong, godhong wringin,
godhong ampel
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Ubarampe ingkang awujud godhong punika
nggadahi makna piyambek-piyambek. Godhong
wringin menika artosipun pengin utawi ngersaaken,
godhong andhong artosipun andongakake menawi
godhong pring ampel gadhing niku artosipun
gesang punika wajib eling, wajib pada eling, eling
dumateng ingkang pepeling”
Terjemahan: perlengkapan yang berwujud godhong
itu mempunyai makna sendiri-sendiri. Daun beringin
itu artinya keinginan, daun andhong artinya
Godhong andhong Godhong Wringin Godhong Ampel
92
mendo’akan sedangkan daun bambu ampel gadhing
itu artinya hidup itu harus ingat, wajip saling ingat,
ingat kepada yang membuat ingat.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa godhong
wringin atau daun beringin berarti ingin, beringin merpakan
simbol keinginan. Dengan simbol daun beringin masyarakat
desa Kedungwringin berharap keinginan atau cita-citanya dapat
tercapai. Daun andhong berarti “andhongaake” atau
mendo’akan. Daun andhong melambangkan agar warga
masyarakat desa Kedungwringin senantiasa mendoakan arwah
leluhur yang sudah meninggal. Semoga arwah para leluhur desa
Kedungwringin diampuni dosa-dosanya dan diringankan siksa
kuburnya.Daun pring gadhing adalah daun bambu kuning, daun
bambu kuning ini mempunyai arti “urip iku wajib eling, wajib
pada eling, eling marang sing pepeling”. Masyarakat desa
Kedungwringin diharapkan hidup itu harus selalu ingat, wajib
bersyukur atas apa yang telah kita dapatkan, dan harus inget
kepada siapa yang telah memberi yaitu Allah Swt.
c. Padi
Padi merupakan ubarampe dalam tradisi Baritan, karena
padi tersebut dipercaya sebagai bibit unggul yang diperebutkan
setelah selesai pertunjukan wayang. Menurut Bapak Budi
Sudarsono berpendapat bahwa:
“Makna simbolik saking pantun inggih punika
pantun mboten nate mentingken jati diri, sami kados
93
sesepuh ingkang sampun ndidik, ngorbanaken
kangge putranipun, sesepuh punika mboten
mentingaken mboten nyuwun imbalan. Makna
lintunipun inggih punika kados wonten peribahasa
semakin menunduk semakin menjadi”
Terjemahan: Makna simbolik dari padi yaitu padi
tidak pernah mementingkan jati diri, sama seperti
sesepuh yang tidak mementingkan jati diri dalam
mendidik, berkorban untuk anaknya. Orang tua itu
tidak pernah meminta balasan. Makna lainnya
adalah semakin menunduk semakin berisi.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat:
“padi untuk simbol karena semakin menunduk
semakin berisi”
Gambar 21: Ubarampe padi
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan padi sebagai
lambang karena padi memiliki arti padi tidak pernah
mementingkan jati diri, batangnya disebut jerami, bahnya
disebut gabah, kulitnya disebut merang, isinya disebut beras.
Maksudnya seperti sesepuh kita yang telah mendidik,
94
membesarkan, dia tidak mementingkan jati diri, walaupun
bersusah payah berkorban demi kita. Makna lain yaitu pada
semakin menunduk semakin berisi, artinya agar kita meniru
seperti padi semakin banyak ilmu semakin tidak sombong.
d.Jagung
Gambar 23: Ubarampe jagung
Jagung sebagai simbol, karena orang tua berharap agar
anaknya dalam hidup meniru seperti biji jagung, ketika ditanam
harus ditimpa tanah, membutuhkan perjuangan untuk tumbuh,
jika tidak ditimpa tanah akan dimakan ayam. Ketika sudah
tumbuh harus disirami, dipupuk, untuk menghasilkan hasil yang
manis. Dari biji jagung dapat ikta ambil bahwa hidup memerlukan
95
perjuangan, setelah tumbuh juga harus rendah hati, karena air
mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Supaya
menghasilkan hasil yang manis harus dipupuk dengan keimanan.
Hal tersebut sama seperti Bapak Budi Sudarsono berpendapat:
“Jagung punika nggambaraken pagesangan
awit saking lare dumugi dewasa.Saking wiji jagung
punika saget dipun pendhet menawi pagesangan
punika mbetahaken perjuangan.”
Terjemahan: Jagung itu menggambarkan kehidupan
mulai dari anak-anak sampai dewasa. Dari biji
jagung itu dapat kita ambil kalau hidup itu
membutuhkan perjuangan.
e. Tebu wulung
Gambar 24: Ubarampe tebu wulung
Tebu wulung adalah pohon tebu yang berwarna hitam. Orang
Jawa banyak yang meyakini bahwa tebu wulung dapat berfungsi
sebagai tolak bala atau penangkal. Oleh karena dengan diberikan
96
tebu wulung sebagai ubarampe semoga bisa menolak bala atau
mala petaka yang akan menimpa desa Kedungwringin. Hal tersebut
sepedapat dengan Bapak Budi Sudarsono:
“Tebu wulung punika nggadahi fungsi kangge
tolak bala”
Terjemahan: tebu wulung itu mempunyai fungsi untuk
menolak bala.
Sedangkan menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Tebu wulung adalah tebu yang berwarna hitam,
masyarakat meyakini bahwa tebu wulung biasa
digunakan sebagai tolak bala seperti santet, tenun atau
mala petaka.”
f.Pala pendem
Gambar 25: Ubarampe pala pendemyang terdiri dari
singkong, ketela, talas, uwi, gembili.
Pala pendem adalah segala macam ubi-ubian yang buahnya
berada di dalam tanah. Sesaji ini mempunyai artinya agar warga
masyarakat desa Kedungwringin dalam kehidupannya tidak boleh
97
sombong harus andap asor (rendah hati). Hal tersebut sama seperti
Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Pala pendem inggih punika sedaya woh-wohan
ingkang wonten lebeting siti.”
Terjemahan: pala pendem yaitu semua buah-buahan
yang buahnya berada di dalam tanah.”
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Pala pendem yaitu jenis ubi-ubian yang berbuah di
dalam tanah, seperti singkong, uwi, talas dan lain-
lain.”
g. Kacang panjang
Gambar 26: Ubarampe kacang panjang
Kacang panjang sebagai simbol diharapkan warga masyarakat desa
Kedungwringin dalam kehidupan sehari-hari semestinya harus
selalu berfikir panjang, dan jangan memiliki pikiran yang picik.
Sehingga dapat menghadapi segala hal dan keadaan dengan penuh
kesadaran dan bijaksana. Hal tersebut sependapat dengan Bapak
Budi Sudarsono yang berpendapat:
98
“Kacang panjang menika dados pralambang
bilih manungsa gesang wonten alam dunya kedah
nggadahi nalar ingkang mulur, mulur mungkretipun
nalar punika pating saluwir.”
Terjemahan: Kacang panjang itu menjadi simbol
bahwa manusia hidup di dunia harus mempunyai
pikiran yang panjang, panjang pendeknya cara
berfikir berpengaruh dalam memecahkan suatu
masalah.
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Kacang panjang sebagai simbol, diharapkan
masyarakat desa Kedungwringin mempunyai fikiran
yang panjang sehingga dapat memecahkan masalah
dengan bijaksana.”
h.Cabe
Gambar 27: Cabe merah
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Ubarampe lombok kedah ingkang warni
abrit, menika nglambangaken bilih mugi-mugi
masyarakat desa Kedungwringin nggadahi tekad
ingkang kiyat kangge wujudaken kabecikan.”
Terjemahan: Ubarampe cabe itu harus berwarna
merah, sebab sebagai simbol semoga masyarakat
desa Kedungwringin mempunyai semangat yang
tinggi untuk mewujudkan kebenaran.”
99
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Cabe itu adalah lambang keberanian,
keberanian yang diharapkan adalah keberanian
dalam menegakan kebenaran.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cabe
merah mempunyai arti agar muncul keberanian dan tekad untuk
menegakan kebenaran Tuhan. Masyarakat desa Kedungwringin
diharapkan mempunyai keberanian yang tinggi untuk
menegakan kebenaran Tuhan Yang Maha Esa.
i. Pethe
Gambar 28: Ubarampe Pehte
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Pethe menika kangge pralambang keadilan,
amabrgi pethe punika alit agengipun sami”
Terjemahan: petai itu menjadi simbol keadilan,
karena petai itu besar kecilnya sama.
100
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Petai itu menjadi suatu perlengkapan, karena
petai merupakan simbol keadilan.”
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
petai merupakan simbol keadilan, karena petai besar kecilnya
sama. Petai menjadi ubarampe dalam tradisi Baritan dengan
harapan masyarakat desa Kedungwringin mempunyai rasa
keadilan.
2.Ubarampe pertunjukan wayang yang berada di atas panggung
Ubarampe pertunjukan wayang yang berada di atas panggung
yaitu (gula batu, minyak fanbo, menyan putih, pane lemah, parem
gadung, pisang raja, rokok kreni, jajan pasar, pethet, dom, bolah,
kaca). Ubarampe tersebut mempunyai makna masing-masing,
untuk mengetahui makna yang ada dalam ubarampe lebih rincinya
sebagai berikut:
a. Gula Batu
Gambar 28: Ubarampe sesaji gula batu
101
Gula batu adalah gula yang berbentuk seperti batu,
berwarna bening atau berwarna putih. Menurut Bapak Budi
Sudarsono berpendapat bahwa:
“Ubarampe gula batu menika kangge
pralambang bilih manungsa gesang wonten alam
dunya kedah nggadahi sifat kados gula batu. Gula
batu punika sifatipun mboten sombong, nggadahi
pendirian lan cerdik.”
Terjemahan: Ubarampe gula batu itu sebagai simbol
bahwa manusia hidup di dunia ini harus memiliki
sifat seperti gula batu. Gula batu itu sifatnya tidak
sombong, menpunyai pendirian dan cerdik.
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Sesaji gula batu itu mempunyai makna,
dengan adanya sesaji gula batu diharapkan
masyarakat desa Kedungwringin memiliki sifat
seperti gula batu yang tidak keras kepala, tetapi
punya pendirian dan cerdik.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Gula batu
adalah gula yang berbentuk seperti batu, berwarna bening mirip
dengan es batu. Gula batu sebagai lambang agar masyarakat
desa Kedungwringin memiliki sifat seperti gula batu. Batu itu
melambangkan sifat yang keras, merasa menang sendiri dan
tidak bisa diubah. Gula batu jika dipanaskan tubuhnya memang
hancur seperti salju tapi lama (mempunyai pendirian), tidak
keras kepala, bukan karena tidak punya prinsip, airnya tidak
keruh, terlihat kalah tetapi menang mengalahkan dnengan cara
yang halus dan cerdik, karena bisa membuat air manis.
102
b. Minyak Fanbo
Gambar 20: Minyak fanbo
Minyak fanbo yaitu sejenis minyak wangi yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk memberi harum-haruman pada benda-
benda pusaka. Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat
bahwa:
“Minyak fanbo wonten tradisi Baritan
maknanipun inggih punika supados Dewi Sri tansah
angganda arum, menawi Dewi Sri angganda arum
mugi-mugi asil pertanianipun saget arum kados
Dewi Sri.
Terjemahan: Minyak wangi fanbo dalam tradisi
Baritan mempunyai makna agar Dewi Sri selalu
berbau wangi, apabila Dewi Sri selalu berbau wangi
diharapkan hasil pertaniannya bisa baik, seperti
Dewi Sri.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Minyak fanbo mempunyai makna yaitu
sebagai permohonan kepada Dewi Sri agar selalu
berbau wangi”
103
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan minyak wangi
fanbo yaitu sejenis minyak wangi yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk memberi harum-haruman pada benda-
benda pusaka. Minyak fanbo sebagai lambang keharuman, agar
Dewi Sri selalu berbau wangi. Pertanian di desa Kedungwringin
diharapkan menghasilkan hasil yang memuaskan seperti Dewi Sri
selalu bearoma harum.
c.Jajan pasar
Gambar 31: Ubarampe jajan pasar
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Jajan pasar punika maknanipun sesrawungan
ugi lambang kemakmuran.”
Terjemahan: Jajan pasar maknanya sebagai simbol
pergaulan dan lambang kemakmuran”.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Jajanan pasar itu mempunyai makna sebagai
simbol pergaulan seperti banyak orang yang ada di
pasar.”
104
Jajan pasar mempunyai makna sebagai simbol “sesrawungan”
(hubungan kemanusiaan, silaturahmi), lambang kemakmuran. Hal
ini diasosiasikan pasar adalah tempat segala macam barang, seperti
dalam jajanan pasar terdapat buah-buahan, makanan anak dan sekar
setaman. dengan adanya jajan pasar masyarakat desa
Kedungwringin yang terdiri dari berbagai kalangan dapat menjalin
tali silaturahmi dengan baik.
d.Rokok Kreni
Gambar 32: Rokok kreni
Rokok kreni adalah rokok yang terbuat dari rambut jagung dan
bungkusnya menggunakan bungkus jagung yang telah mengering.
Menurut Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa :
“Rokok kreni inggih punika rokok ingkang
kadamel saking rambut jagung, bungkusipun saking
klaras jagung. Makna ingkang wonten rokok kreni
inggih punika jagung ingkang katanem wonten desa
Kedungwringin saget kados rokok kreni.”
105
Terjemahan:Rokok kreni yaitu rokok yang terbuat
dari rambut jagung, terbungkus oleh kulit jagung.
Makna yang ada dalam rokok kreni yaitu jagung
yang ditanam di desa Kedungwringin bisa seperti
rokok kreni.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Rokok kreni yaitu rokok yang terbuat dari
klaras jagung. Tujuanipun agar jagung yang ditanam
seperti rokok kreni.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan rokok kreni adalah rokok
yang terbuat dari rambut jagung dan bungkusnya menggunakan
bungkus jagung yang telah mengering. Rokok kreni ini
mempunnyai makna atau tujuan agar jagung yang ditanam di desa
Kedungwringin hasilnya bisa besar-besar seperti rokok kerni.
e.Parem Gadung, dom, bolah, pethet dan pangilon.
Gambar 32: Ubarampe cermin, sisir, bedak
106
Ubarampe lainya yang berada di atas panggung adalah parem
gadung, dom, bolah, pethet, dan cermin. Parem gadung adalah
bedak yang terbuat dari bahan dasar tepung gadung. Gadung
yaitu jenis ubi-ubian yang tumbuh di pekarangan atau hutan,
pohonnya menjalar dan dipenuhi oleh banyak duri. Dom yaitu
jarum, pethet adalah sisir dan pangilon adalah cermin. Menurut
Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
“Ubarampe kados parem gadung, dom, pethet,
lan pangilon menika katujoaken dumateng Dewi Sri
supados tansah wanudya ingkang sulistianing wati.
Menawi Dewi Sri tansah sulistianing wati mugi-
mugi tanemanipun kados Dewi Sri.”
Terjemahan: Ubarampe seperti parem gadung,
jarum, sisir, dan cermin itu ditujukan kepada Dewi
Sri agar selalu menjadi wanita yang cantik. Dewi Sri
selalu cantik semoga tanamannya seperti Dewi Sri”
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Perlengkapan sesaji seperti jarum, sisir,
parem gadung dan cermin ditujukan kepada Dewi
Sri agar senantiasa mempercantik diri atau
bersolek. Keadaan Dewi Sri yang selalu cantik
diharapkan tanaman tersebut bisa cantik layaknya
Dewi Sri.”
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sisir, jarum,
parem gadung, cermin dan benang merupakan alat yang biasa
digunakan oleh para kaum wanita untuk bersolek. Perlengkapan
ini biasanya digunakan pada upacara selamatan yang berkaitan
dengan pertanian. Sesaji ini diperumpamakan bagi Dewi Sri
penguasa pertanian agar senantiasa ayu, cantik, wangi dan
107
menarik sehingga diharapkan hasil panen pertanian di desa
Kedungwringin menjadi ayu, cantik, dan menarik pula.
f.Pane Lemah
Gambar 33: Pane lemah
Pane lemah adalah semacam ember berbentuk bulat datar
yang terbuat dari tanah. Ubarampe ini diletakan di depan dalang,
setelah pertunjukan wayang selsai pane lemah ini dipindah ke
atas panggung untuk diperebutkan oleh warga masyarakatnya.
Maknanya dari pane lemah sebenarnya hanya sebagai tempat air
kembang. Hal tersebut sama seperti Bapak Budi Sudarsono yang
berpendapat bahwa:
“Ubarampe pane lemah punika anamung
kangge wadah toya kembang kemawon.”
Terjemahan: Perlengkapan pane lemah itu sebenarnya
hanya untuk menjadi tempat air bunga saja.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Pane lemah adalah tempat seperti ember yang
berfungsi sebagai tempat menaruh air kembang”.
108
3.Ubarampe pertunjukan wayang yang berada di bawah tarub.
Ubarampe pertunjukan wayang yang berada di bawah tarub
diantaranya (wedhang bening, jembawuk, kopi pait,kopi legi, teh
pait, teh legi, arang-arang kambang, telur ayam kampung,bakaran
budin, godhong dadap srep). Ubarampe tersebut mempunyai
makna masing-masing, untuk mengetahui makna ubarampe
tersebut secara rinci sebagai berikut:
a. Telur ayam kampung
Gambar 35: Telur ayam kampung
Telur ayam yaitu terdiri dari tiga macam bagian, cangkang (kulit
telur), putih telur dan kuning telur yang melambangkan tiga
kepribadian manusia. Kulit telur melambangkan kehidupan yang
selalu bergesek dengan orang lain, terhadap pribadinya sendiri dan
sang pencipta. Putih telur sebagai simbol niat baik manusia,
Kuning telur menjadi simbol hati manusia. Hal tersebut sepedapat
dengan Bapak Budi Sudarsono berpendapat bahwa:
109
“Ubarampe salajengipun inggih punika tigan,
tigan ingkang kangge ubarmpe menika tigan sawung
kampung. Tigan punika nggambaraken kepribadian
tiyang agesang. Kulit tigan lambang bilih tiyang
agesang punika wonten gesekanipun saking pribadi,
tiyang sanes ugi sang pencipta. Putih tigan lambang
niat sae manungsa lajeng kuning tigan menika simbol
batos namungsa.”
Terjemahan: Ubarampe selanjutnya adalah telur, telur
yang biasa menjadi ubarampe yaitu telur ayam
kampung. Telur itu menggambarkan kepribadian
orang hidup. Kulit telur lambang bahwa orang hidup
pasti pernah merasakan gesekan-gesekan baik dari diri
sendiri, orang lain ataupun sang pencipta. Putih telur
simbol niat baik seseorang, kemudian kuning telur itu
simbol dari hati seseorang.
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Telur ayam kampung adalah simbol kehiduan, telur
terdiri dari tiga bagian yaitu kulit telur, putih telur dan
kuning telur. Kulit telur melambangkan bahwa hati
seseorang biasanya berbenturan dengan diri sendiri, orang
lain dan dengan sang pemcipta. Putih telur melambangkan
niat baik seseorang dan kuning telur melambangkan hati
seseorang.”
b.Godhong dadhap srep
Gambar 36: Godhong dadhap srep
110
Godhong dadhap srep adalah daun tawa, biasanya digunakan
sebagai sesaji dalam pertunjukan kuda lumping, daunya biasanya
dimasukan ke dalam air putih. Menurut Bapak Budi Sudarsono
berpendapat bahwa:
“Godhong dadhap srep menika nggadahi fungsi
kangge ngandapaken benter. Ubarampe Godhong
dadhap srep wonten tradisi Baritan maknanipun
mugi-mugi desa Kedungwringin salebetipun setaun
ingkang badhe kalampahan batosipun saget adem.”
Terjemahan: Daun dadap srep itu mempunyai fungsi
sebagai penurun panas. Perlengkapan daun dadap srep
dalam tradisi Baritan maknanya semoga desa
Kedungwringin selama setahun kedepan hatinya bisa
tenang.
Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Daun dadhap srep adalah obat tradisional
yang biasa digunakan sebagai obat penurun panas
ketika salah satu anggota keluarga terkena sakit
panas. Sesaji ini mempunyai makna sebagai harapan
masyarakat desa Kedungwringin semoga mempunyai
hati yang dingin.”
c.Bakaran Budin
Gambar 37: Singkong bakar
111
Bakaran budin adalah singkong bakar, yang mempunyai makna
sebagai penghormatan kepada mbah dalang yang semasa hidupnya
sangat menyukai singkong bakar. Menurut Bapak Budi Sudarsono
Berpendapat bahwa:
“Beneman Bundin menika maknanipun kangge
pangormatan dumateng mbah dalang, amargi
beneman budin salah satunggaling kalangenan
sanalika tasih gesang.”
Terjemahan: Singkong bakar itu mempunyai makna
sebagai penghormatan kepada mbah dalang, sebab
singkong bakar merupakan salah satu kesukaan pada
saat masih hidup.
Menurut Bapak Tusiman berpendapat bahwa:
“Singkong bakar merupakan salah satu sesaji
tradisi Baritan, makna dari singkong bakar adalah
sebagai penghormatan kepada mbah dalang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ubarampe
budin bakaratau singkong bakar dalam tradisi Baritan adalah
sebagai penghormatan kepada mbah dalang, karena semasa
hidupnya mbah dalang sangat menyukai singkong bakar.
112
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam beberapa bab mengenai Upaya Pelestarian
Tradisi Baritan Dalam Upacara Sedekah Bumi di Desa Kedungwringin, Kecmatan
Sempor, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Upacara tradisi Baritan merupakan tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat desa Kedungwringin, kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen
secara turun-menurun. Masyarakat meyakini dengan melaksanakan tradisi
tersebut, kehidupan mereka akan selamat, aman, tentram, makmur, dan jauh
dari bencana dan malapetaka. Upacara tradisi ini dilaksanakan setahun
sekali yaitu pada bulan Syuro atau Muharram pada hari Jum’at. Acara
prosesi tradisi Baritan ini dimulai pada hari Jum’at jam 09.00 setelah
sesepuh selesai memasang perlengkapan sesaji, dilanjutkan dengan
pementasan wayang kulit. Setelah selsai sholat Jum’at dilanjutkan dengan
pidato dari perangkat desa dan beberapa orang yang bersangkutan,
kemudian diadakan makan bersama atau kenduri masal. Upacara tradisi
Baritan ditutup dengan berebut aneka macam hasil pertanian yang dipasang
disekeliling pertunjukan wayang.
2. Fungsi Baritan pertama, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur
masyarakat desa Kedungwringin atas hasil panen yang telah diberikan
selama satu tahun. Kedua, sebagai peringatan datangnya tahun baru Islam
dan Jawa, ketiga, melestarikan tradisi luhur yang sudah berlangsung dari
113
nenek moyang. Keempat, sebagai permohonan agar masyarakat desa diberi
keselamatan jangan sampai ada mala petaka, kelima, sebagai ungkapan
terima kasih kepada Allah swt yang telah memberi keselamatan, kesehatan
dan keamanan desa Kedungwringin.
Makna yang terkandung dalam tradisi Baritan diantaranya
sebagai berikut:
a. Makna budaya: tradisi Baritan sebagai semangat penyambutan
datangnya tahun Islam dan Jawa selama turun-temurun dan memberikan
spirit bagai sebagian masyarakat penduduknya, karena mereka meyakini
jika mengadakan tradisi Baritan akan di beri keselamatan.
b. Makna sosial: makna sosial yang terkandung dalam tradisi Baritan
ditandai dengan gotong royong warga, keakraban jalinan bukan hanya
antar keluarga, antar masyarakat tetapi juga terhadap pengunjung dari luar.
c. Makna ekonomi: dapat ditandai bahwa dengan adanya tradisi Baritan
masyarakat desa bisa menjual daganganya sehingga dapat menambah
pendapatannya.
d. Makna politis: tradisi Baritan juga sebagai ajang sosialisasi salah satu
partai politik atau lembaga desa untuk mengenalkan dirinya kepada
masyarakat.
3. Isi cerita wayang Baritan: isi cerita wayang Baritan menceritakan perintah
Shang Hyang Wenang kepada Bhatara Guru untuk menanam wiji isining
jagad, kemudian setelah ditanam hasilnya agar diberikan kepada titah
mercapada.
114
4. Makna simbolis ubarampe (perlengkapan) dalam tradisi Baritan sangat
banyak dan masing-masing mempunyai makna yang mendalam, simbol-
simbol tersebut sebagai perlambang suatu permohonan yang tulus kepada
Allah swt, bentuk do’a, pertimbangan hidup yang selaras dan harapan
masyarakat desa Kedungwringin agar selamat, aman, nyaman tidak ada
halangan yang berarti. Simbol-simbol tersebut diantaranya :
Kepala kambing sebagai lambang dari kejayaan dan persatuan,
rakan sebagai penghormatan kepada penunggu batu, batu karang dan batu-
batu lainnya. Minyak wangi fanbo sebagai lambang keharuman, gula batu
sebagai lambang harapan masyarakat desa Kedungwringin agar memiliki
sifat seperti gula batu.Sisir, cermin,jarum dan benang sebagai sesaji Dewi
Sri, dengan sesaji tersebut hasil panen diharapkan cantik seperti Dewi Sri.
Rokok kreni sebagai lambang agar tanaman jagungnya seperti rokok kreni,
parem gadung diperuntukan untuk Dewi Sri agar selalu memakai bedak,
dengan sesaji tersebut diharapkan panen padinya berwarna putih.Kemenyan
putih melambangkan sebagai pengikat tali keimanan, pane lemah
dimaksudkan untuk tempat air yang diberi bunga. Kinangan sebagai
lambang kerja sama, dengan ubarampe kinangan diharapkan masyarakat
desa Kedungwringin tidak merasa paling benar dan berjasa sendiri.
Pisang raja sebagai simbol terkabulnya orang yang bersifat adil,
berbudi luhur dan tepat janji sedangkan air putih, kopi pahit, kopi manis, teh
pahit dan jembawuk sebagai lambang rasa dalam kehidupan. Janur
melambangkan cita-cita yang tinggi mencapai cahaya ilahi harus disertai
115
hati yang bening. Cengkir gading melambangkan seseorang pemuda sebagai
generasi penerus, sumping sebagai lambang keseimbangan kehidupan
manusia.Singkong bakar sebagai penghormatan kepada mbah dalang karena
suatu kesukaan semasa hidupnya. Daun dadap srep sebagai lambang agar
hati seseorang bisa nyaman dan tentram, daun beringin merupakan simbol
keinginan dan daun andong sebagai lambang agar selalu mendoakan arwah
para leluhur.Sedangkan daun pring gading melambangkan manusia agar
selalu ingat, wajib bersyukur dan selalu ingat kepada Allah swt.
Tebu wulung sebagai tolak bala atau penangkal, tiris atau cikal
diharapkan manusia agar tumbuhnya seperti tunas kelapa bisa hidup
dimanapun dan dalam kondisi apapun. Padi sebagai lambang dalam
mendidik tidak perlu mementingkan jati diri dan semakin banyak ilmu
semakin menghormati. Kacang panjang sebagai simbol manusia agar selalu
berfikif panjang dalam menghadapi masalah. Tompo sebagai lambang
ucapan terima kasih setelah zirah kubur.Pala pendem sebagai simbol agar
bersifat rendah hati, tumpeng Rasul sebagai penghormatan dan mendoakan
arwah rasul, sahabat dan keluarganya. Ingkung sebagai lambang segala
bersujud kepada Allah, apem sebagai simbol payung atau perisai. Jenang
abang sebagai lambang ibu dan jenang putih sebagai lambang ayah.
Ambeng sebagai lambang ikatan tali persayaudaraan dan kebersamaan.
Jajanan pasar sebagai lambang sesrawungan dan kemakmuran. Kecambah
sebagai lambang benih dan bakal manusia, mempunyai arti keninginan yang
bermacam-macam yang selalu tertanam dihati setelah kembang telon
116
terlaksana hatinya akan tenang. Bayem sebagai lambang ketentraman dan
kenyamanan, telur melambangkan kepribadian manusia. Cabe merah
melambangkan keberanian membela kebenaran.
B. Saran
1. Tradisi Baritan adalah merupakan warisan nenek moyang yang harus
dijaga kelestariannya. Untuk itu para sesepuh harus menerangkan kepada
generasi penerusnya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi Baritan
agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memaknainya.
2. Untuk masyarakat desa Kedungwringin hendaknya dapat menambah
ilmu tentang ajaran agama Islam yang sesuai dengan Sunnah Rasul sehingga
antara unsur kepercayaan dan agama Islam tidak tumpang tindih.
3. Bagi pemerintah setempat dan Dinas Kebudayaan diharapkan peran
serta dalam membina dan menjaga kelestarian budaya Jawa. Karena
kebudayaan Jawa adalah aset budaya bangsa yang dipertahankan dan
dilestarikan keberadaannya.
117
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Cokrowinoto, Sardanto. 1986. Manfaat Folklor Bagi Pembangunan Masyarakat,
Yogyakarta Seminar Kebudayaan Jawa 23-26 Januari 1986.
Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Giri, Wahyana. 2010. Sajen & Ritual Orang Jawa.Yogyakarta: Narasi
Herusatoto, Budiono. 1983. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta
:Hanindita.
2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta : Ombak
Koentjaraningrat. 2004. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta :
Sapdodadi.
. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta :Rineka Cipta.
Maryaeni, 2008. Metodologi Penelitian Kebudayaan. PT Bumi Aksara Jakarta.
Moleong, lexy J. 2012. Metode Penelitian Kualikatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Noor, Juliansah. 2012. Metodologi Penelitian (Skripsi, Tesis, Disertasi, dan
Karya Ilmiah). Jakarta : Kencana.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta
. 2009. Folklore Jawa. Yogyakarta : Pura Pustaka
. 2012.Ensiklopedi Adat-Istiadat budaya Jawa. Yogyakarta : Remaja
Rosdakarya.
118
Ratna, Nyoman Khunta. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan Ilmu-
Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sholikhin Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa.
Yogyakarta: Narasi.
Sutardjo, Imam. 2006. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Surakarta :(UNS
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa)
. 2010. Kajian Budaya Jawa. Surakarta : (UNS Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa)
Wasino. 2009. Pengkajian Upacara Tradisional Di Kabupaten Wonogiri Jawa
Tengah : Dinbudpar
Widagdho, Djoko. 2010. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara
LAMPIRAN
120
Lampiran 1
121
Lampiran 2
122
123
Lampiran 3
124
Lampiran 4
125
Lampiran 5
126
Lampiran 6
127
128
129
130
131
132
133
135
Wawancara dalam penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan prosesi tradisi Baritan
a. Apa yang anda ketahui tentang tradisi Baritan?
b. Bagaimana prosesi tradisi Baritan?
c. Siapa saja yang terlibat dalam prosesi Baritan?
2) Mendeskripsikan makna dan fungsi tradisi Baritan yang ada di desa
Kedungwringin
a. Mengapa diadakan tradisi Baritan?
b. Mengapa tradisi Baritan masih berjalan sampai saat ini?
c. Apa makna tradisi Baritan?
d. Bagaimana reaksi masyarakat tentang tradisi Baritan?
e. Apa fungsi Baritan?
f. Kenapa selalu diadakan pada hari Jum’at?
3) Mendeskripsikan isi certia wayang dalam tradisi Baritan?
a. Mengapa harus dengan pertunjukan wayang?
b. Mengapa lakonnya harus Baritan?
c. Apa isi cerita Baritan?
4) Mendeskripsikan makna simbolis uborampe (perlengkapan) dalam tradisi
Baritan?
a. Apa saja uborampe dalam tradisi Baritan?
b. Apa makna yang terkandung dalam setiap uborampe Baritan?
Lampiran 7. Pedoman Wawancara
136
1. Apa Yang anda Ketahui tentang tradisi Baritan?
2. Kapan tradisi Baritan dilaksanakan?
3. Bagaimana prosesi tradisi Baritan?
4. Siapa saja yang terlibat dalam prosesi tradisi Baritan?
5. Mengapa tradisi Baritan masih berjalan sampai saat ini?
6. Apa makna tradisi Baritan?
7. Apa fungsi tradisi Baritan?
8. Mengapa harus di laksanakan pada hari jum”at?
9. Mengapa harus dengan pertunjukan wayang?
10. Apa isi cerita wayang dalam Baritan?
11. Mengapa selalu dengan lakon Baritan?
12. Mengapa tradisi Baritan masih dilakukan saat ini?
13. Perlengkapan apa saja yang ada dalam tradisi Baritan?
14. Makna apa yang terkandung dalam uborampe tradisi Baritan?
15. Bagaimana letak geografis desa Kedungwringin?
Lampiran 8. Daftar Pertanyaan
137
NO Hari dan Tanggal Jam Keterangan
1. 27 Maret 2013
Rabu
10.00-12.45 Obserfasi lokasi penelitian di tempat
desa Kedungwringin
2. 02 April 2013
Selasa
10.15-11.00 Meminta izin untuk melakukan
penelitian.
3. 10 April 2013
Rabu
10.30-11.00 Wawancara dengan salah satu
perangkat desa Kedungwringin.
4. 16 September 2013
Senin
15.30-16.15 Wawancara dengan salah satu
perangkat desa Kedungwringin
5. 15 November 2013
Jum’at
20.00-22.00 Wawancara dengan warga masyarakat
desa Kedungwringin
6. 12 November 2013
Selasa
20.00-22.00 Wawancara dengan sesepuh desa
Kedungwringin
7. 13 November 2013
Rabu
19.15-21.30 Wawancara dengan bapak dalang
Sujono
8. 21 November 2013
Kamis
15.00-17.00 Wawancara dengan beberapa warga
desa Kedungwringin
9. 22 November 2013
Jum’at
09.00-17.00 Wawancara dengan salah sesepuh,
warga masyarakat desa dan
mengamati jalannya tradisi Baritan
Lampiran 9. Jadwal catatan lapangan
137
Lampiran 10
138
139
140
141
142
143
144
145
Catatan Lapangan 1
Narasumber : Khoerun
Tempat : Balai Desa Kedungwringin
Waktu : 10 April 2013, 10.30-11.00
Sebelum melakukan penelitian mengenai apa yang diteliti, peneliti
melakukan observasi, observasi dimulai pada hari Rabu tanggal 27 Maret 2013
pukul 10.00. Observasi pertama peneliti mengunjungi kantor kelurahan atau balai
desa Kedungwringin. Peneliti mengungkapkan keinginanya akan melakukan
penelitian di desa Kedungwringin. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara
dengan salah satu perangkat desa Kedungwringin.
Peneliti : Assalamualaikum.
Narasumber : Waalaikumsalam.
Peneliti : Permisi pak, nuwun sewu ngganggu.
Narasumber : Mboten napa-napa mas, onten keperluan napa mas.?
Peneliti : Niki pak rencananipun kula badhe penelitian wonten ing desa
Kedungwringin.
Narasumber : Penelitian napa nggih mas.?
Peneliti : Penelitian ngengingi tradisi Baritan.?
Narasumber : Tradisi Baritan kae ya sing saben sasi Syura.?
Peneliti : Inggih pak, menawi batas desa Kedungwringin nika pundi
mawon pak.?
Narasumber : Batas desa Kedungwringin bagian ler berbatasan kalih desa
Donorojo, sebelah wetan nika berbatasan kalih desa Semali
dan Kenteng. Sebelah kidul berbatasan kalih desa Sempor
dan Bonosari lan sebelah kilen berbatasan kalih Sampang.
Peneliti : Menawi kondisi desa Kedungwringin niku kepripun pak.?
Narasumber :Kondisi desa Kedungwringin niku daerah pegunungan,
pramila masyarakat kangge nyekapi kebutuhanipun sami tani.
Ananging tani wonten ing mriki benten kalih tani wonten ing
kutho. Tani wonten ing mriki ngandelaken jawah. Menawi
Lampiran 11
146
jawah sakedik mboten saget panen, rata-rata petani wonten
mriki panen pantun namung sapisan menggah setahun.
Peneliti :Menurut panjenengan ingkang dipunwastani Baritan niku
punapa.?
Narasumber :Baritan inggih punika salah satunggiling tradisi utawi adat
sedhekah bumi wonten ing desa Kedungwringin, ingkang
dipunlaksanakaken saben wulan Syura.
Peneliti : Fungsi Baritan niku napa pak.?
Narasumber :Fungsi Baritan kangge mengeti ambal warso Islam lan Jawi
ugi wujud raos syukur masyarakat desa Kedungwringin
wonten ngarsanipun Allah swt.
Peneliti : Prosesi tradisi Baritan niku kepripun.?
Narasumber: Saderenge prosesi Baritan, nggancik wulan Syura perangkat
desa menika ngawontenaken rapat, mbahas babagan dana,
papan lan wekdal. Sasampunipun sadaya sampun saruju, ketua
RT kajibah woro-woro dumateng warganipun. Tigang dinten
saderengipun prosesi Baritan salah satunggiling sesepuh
kajibah ziarah wonten makam leluhur desa Kedungwringin.
Sadinten saderenge prosesi Baritan warga masyarakat gotong
royong damel tarub. Sontenipun nyembelih menda, endase
dipun kubur wonten ing prapatan. Prosesi Baritan menika
kawiwitan kirang langkung jam 09.00, mangke isitirahat jam
11.30. Jam 13.00 dipun lanjutaken malih, sambutan saking
panitia, kepala desa. Salajengipun kenduri masal utawi sareng-
sareng masyarakat desa Kedungwringin, sasampunipun
pamentasan wayang dipunlajengaken malih dumugi paripurna.
Sabibaripun pamentasan wayang masyarakat sami rebutan asil
tanam tuwuh ingkang dipun gantung wonten sakiwa
tengenipun pamentasan wayang.
Peneliti : Napa maknanipun Baritan.?
147
Narasumber : maknanipun menika warni-warni, kantun saking segi menapa
kita ningali.
Peneliti : segi napa mawon pak.?
Narasumber :Segi kebudayan, tradisi Baritan menika salah satunggaling
warisan kebudayaan saking nenek moyang, ingkang kedah
dipun lestarikaken. Makna sosial, tradisi Baritan menika
awujud tasyakuran desa, tasyakuran menika salah satunggaling
raos keikhlasan warga masyarakat desa Kedungwringin.
Makna ekonomi, wontenipun tradisi Baritan dados pedagang
ingkang sadean wonten Baritan dados tambah penghasilane.
Makna politik, wontenipun tradisi Baritan masyarakat saget
kempal, menawi wonten sosialisasi utawi woro-woro gampil
dipun sosialisasikan.
148
Catatan Lapangan 2
Narasumber : Bapak Marsimin
Tempat : Balai Desa Kedungwringin
Waktu : 02 April 2013 jam 10.15
Peneliti : Assalamualaikum..
Narasumber : Waalaikumsalam.
Peneliti : Permisi pak, ngapunten menawi sampun ngganggu.
Narasumber : Mboten napa-napa mas,
Peneliti : Niki pak badhe nyuwun ijin penelitian wonten desa mriki.
Narasumber : Mangga mas, ingkang kala wingi nggih tentang tradisi Baritan.
Peneliti : Nggih leres, menurut panjenengan napa ingkang dipun wastani
Baritan.?
Narasumber : Baritan inggih punika salah satunggiling tradisi selamatan atau
tasyakuran leleuhur ingkang dipun warisaken wonten generasi
penerus desa Kedungwringin. Tradisi Baritan punika tradisi
ingkang nggadehi nilai luhur inggil. Tuladhanipun nilai gotong
royong, keikhlasan, guyup, rukun, budi pekerti ingkang sae lan
lintu-lintunipun.
Peneliti : Fungsinipun tradisi Baritan niku napa.?
Narasumber :Fungsi tradisi Baritan inggih punika salah satunggiling wujud
ungkapan raos syukur warga masyarakat desa Kedungwringin
dumateng ngarsanipun Allah swt ingkang sampun paring pinten-
pinten kenikmatan, keselamatan, rizki, selami setahun, pramila
warga masyarakat ngawontenaken tradisi Baritan.
Peneliti : Napa mawon ubarampe utawi perlengkapan tradisi baritan.?
Narasumber : Ubarampe utawi perlengkapan ingkang wonten tradisi baritan
menika katah sanget. Ubarampe menika saget dipun bagi gangsal
panggenan. Pertama uborampe ingkang dipun tanem wonten
prapatan margi, ngandap panggung, nginggil panggung, ngandap
tarub lan lintu-lintunipun.
149
Peneliti : Cobi pak jelasaken napa kemawon.?
Narasumber : Ubarampe ingkang dipun tanem inggih punika kepala kambing,
ingkang wonten ngandap tarub ( wedhang putih, jembawuk, kopi,
teh, arang-arang kambang, krambil, sumping, bakmi kering, budin
bakar, godhong dadap srep). Perlengkapan ingkang wonten
ngandap tarub inggih punika: (tiris, godhong wringin, andong,
ampel gadhing, tebu, padi, jagung, kacang panjang, lomok, pete,
pala pendem komplit). Perlengkapan ingkang wonten nginggil
panggung (kembang telon, rakan, minyak fanbo, gula batu, asem
abang, petet, dom, bolah, rokok kremi, parem gadung, menyan
putih, pane lemah, pisang raja).
150
Catatan Lapangan 3
Narasumber : Tusiman
Tempat : Rumah bapak Tusiman
Waktu : 16 September 2013, 14.30-15.00
Peneliti : Asalamualaikum..
Narasumber : Waalaikumsalam..
Peneliti : Permisi pak, ma’af kalau sudah menggangu
Narasumber : Ngga ko mas, santai aja
Peneliti : Menurut bapak apa yang anda ketahui tentang tradisi Baritan.?
Narasumber :Tradisi Baritan yaitu suatu perayaan tahunan yang dilakukan oleh
masyarakat desa Kedungwringin secara turun temurun sebagai
ungkapan rasa syukur terhadap rizki yang diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Esa.
Peneliti : Bagaimana prosesi tradisi Baritan.?
Narasumber: Satu bulan sebelum tradisi Baritan saya dan perangkat desa lainnya
mengadakan rapat. Rapat itu membahas kapan diadakan tradisi
Baritan, dimana tempat prosesi Baritan, berapa besar iuran yang
harus dikenakan setiap kepala keluarga. Setelah mencapai mufakat,
keputusan tersebut disampaikan kepada seluruh masyarakat desa
Kedungwringin khususnya kadus satu dan kadus dua. Karena tradisi
Baritan itu dilakukan oleh masyararakat kadus satu dan dua,
sedangkan kadus tiga dan empat adalah tayuban. Tiga hari sebelum
tradisi Baritan salah satu dari perangkat desa atau sesepuh desa
melakukan ziarah kubur. Ziarah kubur ditunjukan kepada makam
eyang mbah wager glagah, eyang mbah kemuning, eyang mbah
kedung jamban, eyang mbah kenistan, eyang mbah sokawera, eyang
mbah beji pletuk, mbah nursiah, mbah wiraprata, mbah santana,
mbah karya sentana, mbah muryasentana. Satu hari sebelum tradisi
baritan dilaksanakan warga masyarakat desa bergotongroyong
membuat tarub, ada yang mengambil dan menata gamelan. Pada sore
151
harinya pemotongan kambing yang dilakukan oleh bapak kaum.
Kemudian kepala kambing satu diantara kambing yang dipotong
ditanam di perempatan jalan. Malam harinya biasanya diadakan lek-
lekan bagi masyarakat yang mau, tujuannya adalah melengkapi
ubarampe dan menemani ibu-ibu yang sedang masak. Prosesi tradisi
Baritan dimulai sekitar jam 09.00, diawali dengan kidungan yang
dibacakan oleh bapak dalang. Sekitar pukul 11.30 pertunjukan
wayang istirahat untuk menghormati sholat Jum’at, pukul 13.00
upacara tradisi Baritan dilanjutkan kembali dengan sambutan ketua
panitia, sambutan kepala desa dan laporan keuangan. Laporan
keuangan selesai dilanjutkan kenduri bersama dan do’a dipimpin
oleh bapak kaum. Setelah kenduri bersama pertunjukan wayang
dilanjutkan kembali. Pertunjukan wayang selesai sekitar pukul 17.00
ditutup dengan semburan. Hasil panen setelah disembur dipercaya
bagi warga masyarakat sebagai benih unggul jika ditanam akan
menghasilkan hasil yang memuaskan. Sedangkan air yang berada di
pane tembaga dapat menyembuhkan sakit.
Peneliti : Siapa saja yang terlibat dalam prosesi tradisi Baritan.?
Narasumber : Yang terlibat dalam prosesi tradisi baritan yaitu semua warga
masyarakat desa Kedungwringin.
Peneliti : Mengapa tradisi Baritan masih berjalan sampai saat ini.?
Narasumber : Karena tradisi Baritan bagi masyarakat desa Kedungwringin adalah
bentuk tasyakuran yang dilakukan secara turun menurun yang sudah
mendarah daging dalam kehidupan warga desa Kedungwringin.
Peneliti : Apa makna tradisi baritan.?
Narasumber : Makna yang dapat diambil dalam tradisi Baritan yaitu makna
ekonomi, bisa meningkatkan penghasilan tambahan bagi pedagang
yang berdagang pada prosesi tradisi baritan, makna sosial,
mewujudkan persatuan dan kesatuan warga desa kedungwringin
dalam bergotong royong, kerja sama, mempererat tali persaudaraan
dan kekompakan warga masyarkat. Makna budaya tradisi Baritan
152
adalah sasah satu tradisi adat yang dilakukan secara turun temurun
sehingga perlu dilestarikan agar tidak punah ditelan jaman. Makna
politik tradisi Baritan sebagai sarana yang tepat untuk
menyampaikan sosialisasinya terhadap masyarakat.
Peneliti : Apa fungsi tradisi Baritan.?
Narasumber : Fungsi tradisi baritan yaitu untuk memperingati atau menyambut
datangnya tahun baru Islam.
Peneliti : Mengapa tradisi baritan harus dilakukan pada hari jum’at.?
Narasumber : Sebab hari jum’at itu hari yang istimewa diantara tujuh hari lainya.
Peneliti : Mengapa harus dengan pertunjukan wayang.?
Narasumber : karena pertunjukan wayang adalah sesaji desa dalam tradisi baritan
Peneliti : Mengapa lakonnya selalu lakon baritan.?
Narasumber: Karena tradisi baritan adalah ruat bumi, jadi lakonnya mengenai ruat
bumi.
Peneliti : Apa isi cerita wayang Baritan.?
Narasumber : Isi cerita wayang Baritan yaitu dimulai ketika jagad masih kosong,
kemudian Bhatara Guru menebarkan wiji isining jagad. Akan tetapi
keadaan bumi belum seimbang, masih condong ke barat. Untuk
menyeimbangkan keadaan tersebut Bhatara Guru mengerahkan para
dewa untuk memindahkan gunung Jamur Dipa yang berada di
Banten. Setelah dirasa seimbang Bhatara Guru menghadap Shang
Hyang Wenang dan Bhatara Guru diberi wiji isining jagad.
Mengetahui keadaan gunung Jamur Dipa sudah tidak ada, penguasa
negara Banten tidak terima. Kemudian berusaha mencari Bhatara
Guru, dalam perjalananya Naga Dampalan bertemu dengan
Nilakanta dan berjanji akan menunjukan dimana Bhatara Guru
berada. Akan tetapi ada persyaratannya yaitu Nilakanta meminta
untuk digendong. Merasa ditipu Naga Dampalan dan Nirbito marah
sekali kemudian Naga Dampalan berubah menjadi kuda dan Nirbito
berubah menjadi harimau. Setelah selsai menyebar wiji isining
jagad, Bhatara Guru mendapat anugrah Cupu Manik Astagina. Akan
153
tetapi tidak boleh ada satu orang pun yang mengetahui isinya cupu.
Bhatara Narada memaksa karena dia adalah patih yang bertanggung
jawab jika ada suatu kejadian. Dengan berat hati Bhatara Guru
memberikan cupu, akan tetapi cupu belum sampai ke tangan Bhatara
Narada cupu terbang. Bhatara Narada bergegas mencari dimana
jatuhnya cupu manik astagina. Cupu itu jatuh disekitar Puser bumi
dimana Naga Gombang yang sedang menerima karma. Naga
Gombang yang merasa tidak mengetahui jatuhnya cupu tersebut
menangis karena dianggap sudah membohongi dewa. Tetesan air
matanya berubah menjadi kunang jabang bayi. Bhatara Narada
kemudian memberikan bayi tersebut kepada Bhatara Guru.
Dihadapan Bhatara Guru bayi tersebut berubah menjadi Kembar, dan
diberi nama Dewi Trisnawati dan Culmuka. Culmuka berubah
nenjadi celeng ( babi hutan ) dan Dewi Trisnawati meninggal. Jasad
Dewi Trisanawati kemudian dimakamkan dan dari atas makam
tumbuh berbagai jenis tanaman. Setelah beberapa bulan kemudian
tanaman yang tumbuh di atas jasad Dewi Trisnawati dipanen dan
hasilnya diserahkan kepada Bhatara Guru. Bhatara Guru
memerintahkan kepada Bhatara Narada untuk memberikan hasil
tanaman kepada raja Medang Kamulan untuk ditanam di
Marcapada. Raja Medang Kamulan bernama Srimapungung
menanam biji terebut di ladang Medang Kamulan. Setelah sekian
bulan tanaman sudah siap dipanen tibalah penyusup dari pulau
Anjuk yang ingin mencicipi hasil tanaman yang ditanam di ladang
Medang Kamulan. Mengetahui hal tersebut prabu Srimapunggung
mencoba membrantas, akan tetapi kalah. Prabu Srimapunggung
meminta bantuan kepada Bhatara Narada, kemudian Bhatara Narada
mencari jago ke Rara Dadapan. Bhatara Narada meminta kepada
Prabu Putut Jantaka bahwa anaknya yang bernama Condromowo dan
Blangmenyunyang untuk mengalahkan penyusup yang membuat
ontan-ontran di Medang Kamulan. Condromowo dan
154
Blangmenyunyang berhasil mengalahkan penyusup dan panen raya
dilakukan. Setelah panen raya Prabu Srimapunggung mengadakan
pesta bersama seluruh masyarakatnya.
Peneliti : Mengapa selalu lakon Baritan.?
Narasumber: lakon Baritan adalah lakon ruat bumi, dengan lakon tersebut
masyarakat desa Kedungwringin berharap hasil panen melimpah dan
dijauhkan dari malapetaka.
Peneliti : Perlengkapan apa saja yang ada dalam prosesi tradisi Baritan.?
Narasumber:Perlengkapan dalam tradisi Baritan sangat banyak, sehingga
membutuhkan dana yang cukup besar untuk membeli ubarampe.
Ubarampe yang harus ada diantaranya: wedhang jembawuk, kopi
pahit, teh, bening, arang-arang kambang, sumping, kelapa, singkong
bakar, bakmi kering, kemenyan, kinangan, rokok kreni, rakan,
kembang telon bayem, gula batu, pisang raja, godhong dadap srep,
andong, beringin, ampel gading, tebu. Selain itu ada juga apem,
tumpeng rasul / tumpeng kuat, ingkung, tompo, penggel, bubur
merah dan putih.
Peneliti : Apa makna simbolik dari ubaramape atau perlengkapan tersebut.?
Narasumber: Setiap ubarampe memiliki makna simbolik tersendiri, seperti
beraneka jenis wedhang memiliki makna bahwa dalam suatu
kehidupan tidak hanya selalu berada dalam suatu posisi, ibarat roda
itu berputar. Rasa wedhang melambangkan suatu kehidupan bahwa
dalam menjalani kehidupan manusia menemui beraneka macam
situasi dan kondisi. Sisir, jarum, benang, parem gadung dan cermin
melambangkan bahwa alat tersebut digumakan oleh Dewi Sri untuk
selalu cantik, dengan keadaan selalu cantik diahrapkan tanam tuwuh
desa Kedungwringin mendapatkan hasil yang melimpah.
Peneliti : Tumpeng rasul atau tumpeng kuat.?
Narasumber: tumpeng berarti menggambarkan kehidupan manusia
agar selalu lurus. Tumpeng rasul memiliki makna bahwa kehidupan
manusia harus lurus mengikuti ajaran rasululah.
155
Peneliti : Ingkung.?
Narasumber: Ingkung biasanya sebagai pelengkap tumpeng rasul hal ini
mempunyai arti bahwa kita sebagai umat pengikut rasul harus
menjalankan apa yang dilakukan rasululah.
Peneliti : Kinangan.?
Narasumber: Kinangan adalah sebagai lambang bahwa manusia itu tidak bisa
hidup sendiri, artinya manusia membutuhkan bantuan dari berbagai
pihak dalam mencapai kesuksesan.
Peneliti : Kemenyan.?
Narasumber: Kemenyan itu bukan ditunjukan pemujaan kepada setan, kemenyan
itu sebagai pertanda dimulainya acara, kemebul dalam arti agar cita-
citanya terkabul.
Peneliti : Pisang raja?
Narasumber: Pisang memiliki makna sebagai simbol permohonan doa menjadi
seseorang yang berwatak jujur, berbudi luhur dan memepati janji.
Selain itu pisan juga sebagai gambaran etika kehidupan, agar
masyarakat desa Kedungwringin mempunyai watak seperti pohon
pisang yang bisa hidup dimana saja dan semua bagian dari pohon
pisang berguna.
Peneliti : Sumping?
Narasumber: Sumping adalah sebagai lambang keseimbangan, bahwa manusia
dalam hidupnya harus seimbang.
Peneliti : Jajan pasar
Narasumber: Jajan pasar adalah beraneka macam makanan yang ada di pasar ini
melambang dari pergaulan dan kemakmuran. Artinya dalam pasar
terdapat aneka buah-buahan, sayuran, mainan anak, perabotan dan
lain-lainya.
Peneliti : Sedangkan aneka godhong atau daun itu maknanya apa?
Narasumber: Godhong atau daun beringin itu bermakna keinginan, godhong
andong mempunyai makna mendoakan, godhong dapap srep itu
sebagai obat. Sedangkan aneka macam pala pendem itu berarti
156
bahwa manusia harus mempunyai rasa andap asor atau rendah hati
dan tidak boleh sombong.
Peneliti : Cengkir gadhing?
Narasumber : Cengkir adalah kelapa muda ini melambangkan pemuda, sedangkan
air manis rasanya menggambarkan semangat yang tinggi, walaupun
isinya masih tipis menggambarkan pemuda mempunyai pengalaman
yang masih tipis tapi dengan semangat yang tinggi diharap dapat
berguna dimasa depan.
Peneliti : Kembang telon bayem?
Narasumber: Kembang telon itu terdiri dari tiga macam, mawar, kanthil dan
bayem. Kembang mawar melambangkan keinginan masyarakat desa
yang bermacam-macam. Kembang kantil melambangkan keinganan
yang selalu tertanam dalam hati dan bayem mempunyai makna ayem
atau tenang.
157
Catatan Lapangan 4
Narasumber : Sagino
Tempat : di rumah bapak Sagino
Waktu : 16 September 2013 pukul 15.30
Peneliti : Sugeng sonten
Narasumber : Sugeng sonten ugi
Peneliti : Pak badhe tanglet, tradisi Baritan niku napa nggih?
Narasumber : Tradisi Baritan inggih punika ritual sedhekah bumi ingkang
dipunlaksanakaken denging masyarakat desa Kedungwringin
ingkang nggadehi profesi tani.
Peneliti : Sinten mawon ingkang nyengkuyung tradisi Baritan?
Narasumber : Ingkang nyengkuyung tradisi Baritan inggih punika para petani,
ananging ngengeti makna tradisi Baritan punika mboten anamung
kangge masalah pertanian masyarakat desa Kedungwringin
ingkang mboten tani sami nyengkuyung amargi Baritan punika
sedekah bumi. Napa kemawon sedaya sumberipun saking bumi.
Peneliti : Napa fungsi tradisi Baritan?
Narasumber : Fungsi tradisi Baritan inggih punika tanda raos syukur petani
dumateng ngarsanipun Allah swt ingkang sampun maringi rejeki.
Rejeki punika awujud asil panen ingkang katah. Kangge imbangan
rejki ingkang sampun dipunparingaken deneng Allah swt para
petani ngawontenaken tasyakuran awujud Baritan.
Peneliti : Napa makna tradisi Baritan?
Narasumber : Tradisi Baritan nggadehi pinten-pinten makna salah
satunggiling makna ingih punika makna budaya, wontenipun tradisi
Baritan menika salah satunggiling wujud pasrah awak atawi
penekatan diri wonten ngarsanipun Allah swt ingkang sampun
maringi pinten-pinten kenikmatan. Tradisi Baritan menika lambang
keikhlasan, ketulusan masyarakat desa Kedungwringin kanti
ngawontenaken sedekah ingkang mawarni-warni. Tradisi Baritan
158
nggadahi makna sosial, makna sosial punika katingal saking gotong
royong masyarakat ndamel tarub. Pertunjukan wayang menika
nggadahi makna hiburan, budi pekerti ingkang sae kangge tuladha
pagesangan.
Peneliti : kenging napa tradisi Baritan dipunwontenaken dinten Jumat?
Narasumber: Amargi menika sampun turun-temurun saking leluhur, kirang
langkung amargi dinten Jumat punika dinten ingkang sae tumrapipun
tiang muslim.
Peneliti : Kenging menapa tradisi Baritan ngangge pagelaran wayang?
Narasumber: Amargi wayang punika nggadahi petuah utawi nilai-nilai luhur
ingkang sae. Wayang punika nggambaraken watak pagesangan
manungsa sapa kang nandur kabecikan bakale mukti.
Peneliti : Kenging napa lakon wayang menika lakon Baritan, mboten ngangge
lakon sanesipun?
Narasumber: Amargi lakon Baritan punika salah satungggaling ruat bumi, ruat
bumi menika sifatipun sakral, mboten sedaya dalang saget
anindakaken lakon rutat.
Peneliti : Ubarampe napa kemawon ingkang wonten tradisi Baritan?
Narasumber: Ubarampe utawi sesaji tradisi Baritan punika radi katah. Sesaji
punika mboten dipun persembahaken dumateng setan, ananging
arupi simbol kangge ngejawentah utawi ekspresi pemahaman
ingkang langkung linuwih dumateng ngarsanipun Yang Maha
Kuasa. Ubarampe ingkang woten tradisi Baritan inggih punika
Tumpeng kuat utawi tumpeng rasul maknanipun kangge
pangormatan, ngintu do’a dumateng arwah para rasul, sahabat,lan
keluarganipun. Ingkung menika simbol panyuwunan ampunan
dumateng sedaya penduduk desa mugi-mugi katebihaken saking kir
sambikala. Salajengipun jajanan pasar mengku teges lambang saking
sesrawungan lan kamakmuran. Wonten lebet jajanan pasar ingkang
sering wonten arto atusan, atusan punika kadadosan saking tembung
159
sat (asat) lan tus (resik). Arto satusan punika ateges simbol bilih
manungsa punika sampun bersih saking dosa.
Peneliti : Menawi kacang panjang?
Narasumber : Kacang panjang punika lambang supados manungsa nggadahi nalar
ingkang mulur ampun mulur mungkrete nalar pating saluwir satemah
saget nggadepi kahanan kanti kesadaran lan bijaksana. Menawi pala
pendem lan asil tanam tuwuh ingkang dipun gantung sakiwo
tengening panggung punika nggadahi makna bilih kita sadaya
nyuwun utawi memohon dumateng ngarsanipun Allah swt ingkang
nyiptakaken langit kalawan bumi, supados rizki ingkang tasih
gumantung wonten ing langit utawi ingkang tasih kapendem wonten
ing bumi kedah dipun paringaken utawi dipun edalaken, amargi
Allah punika maha Kaya.
Peneliti : Pring gading maknanipun menapa?
Narasumber: Pring gading menika pring kuning ingkang lurus, ndadosaken
pralambang bilih nanungsa kedah nggadahi tujuan ingkang lurus
utawi tulus ikhlas semata-mata anamung kangge kabacikan. Kuning
punika pralambang kamulyan kangge nglaksanakaken kasaean
wonten ngarsanipun Allah.
160
Catatan Lapangan 5
Narasumber : Budi Sudarsono
Tempat : di rumah bapak Budi Sudarsono
Waktu : 15 November 2013 pukul
Peneliti : Asalamualaikum...
Narasumber: Wa’alaikumsalam...
Peneliti : Sugeng sonten
Narasumber : Sugeng sonten
Peneliti : Ngapunten pak badhe nyuwun pitados tradisi Baritan niku napa
nggih..?
Narasumber : Tradisi baritan inggih punika salah satunggiling tradisi ingkang
tasih wonten ing desa Kedungwringin, tradisi baritan punika tradisi
slamatan sedhekah bumi ingkang dipun laksanakaken wonten ing
bulan syuro.
Peneliti : Prosesi tradisi Baritan niku kepripun...??
Narasumber: Prosesi tradisi Baritan ingkang sampun-sampun, saderengeipun
ngancik wulan syura, lembaga pemerintahan desa ngawontenaken
rapat, ingkang isinipun mbahas wekdal, iuran, papan lan
panggenan. Sasampunipun dipun tentokaken papan lan panggenan,
tigang dinten saderengipun prosesi, salah satunggiling sesepuh
kajibah ziarah wonten ing makam leluhur. Sadinten saderenge
prosesi masyarakat desa Kedungwringin gotong royong wonten
ingkang damel tarub, panggung lan nata gamelan. Sontenipun
bapak kaum kajibah motong mendho kangge acara prosesi tradisi
161
baritan. Salajengipun endas dipun kubur wonten ing prapatan
margi. Ingkang sampun-sampun prosesi Baritan dipunlaksanaken
dinten Jum’at, kawiwitan kirang langkung jam 09.00 enjang.
Saderengipun kawiwitan pak dhalang maos kidungan,
sasampunipun dipunlajengaken pamentasan ringgit wacucal.
Masyarakat desa Kedungwringin sami rawuh, piyantun putri sami
mbetha penggel satunggal-satunggal. Kirang langkung jam 11.30
pagelaran ringgit wacucal istirahat kangge ngormati sholat Jum’at,
jam 1 tradisi baritan dipun lajengaken malih, dipun wiwiti
sambutan saking panitia, kepala desa lan bendahara. Sasampunipun
sambutan, acara salajengipun inggih punika kenduri utawi makan
bersama. Kenduri dipun wiwiti pembagian penggel dumateng
warga masyarakat desa Kedungwringin ingkang sami rawuh.
Salajengipun penggel dipun bagi, bapak kaum kajibah mimpin
do’a. Pagelaran ringgit wacucal dipun lajengaken malih
sasampunipun keduri, dumugi paripurna. Sasampunipun paripurna
pagelaran ringgit wacucal, ki dalang maos semburan. Adicara
semburan sampun kalaksanakaken warga masyarakat saling
berebut hasil bumi ingkang dipungantung wonten ing
sakelilingipun panggung.
Peneliti : Sinten mawon ingkang nyengkuyung wontenipun tradisi Baritan.?
162
Narasumber : Tradisi baritan niku dipun sengkuyung deneng sedaya warga
masyarakat desa Kedungwringin, mboten mbedakaken drajat lan
pangkat.
Peneliti : Kenging napa pak dipun wontenaken tradisi baritan.?
Narasumber: Diupun wontenaken tradisi baritan amargi sampun adat utawi
kebiasaan warga masyarakat desa kedungwringin awit rumiyin.
Peneliti : Kenging menapa tradisi baritan tasih dipun wontenaken dumugi
saniki.?
Narasumber : Amargi tradisi Baritan punika salah satunggiling tradisi ingkang
penting menggah warga masyarakat desa Kedungwringin, pramila
wajib dipun uri-uri.
Peneliti : Menapa makna tradisi baritan.?
Narasumber : Tradisi Baritan menika nggadehi pinten-pinten makna, pertama
makna sosial, makna sosial ingkang wonten ing tradisi baritan
inggih punika tradisi baritan saged ningkataken raos silaturahmi
antar warga masyarakat, ngraketaken pasederekan lan gotong
royong. Aspek ekonomi saged ningkataken kesejahteraan pedagang
desa Kedungwringin. Aspek budaya masyarakat desa
Kedungwringin nyambut kanthi bingahing panggalih, wujudaken
raos syukur dumateng allah swt kanthi tasyakuran, ziarah lan sanes-
sanesipun. Aspek politik, tradisi baritan iku saget kangge sosialisasi
tokoh politik utawi pemerintah desa kedungwringin dumateng
warga masyarakat.
163
Peneliti : Napa fungsi tradisi Baritan.?
Narasumber: Fungsi tradisi Baritan menika kangge warga masyarakat desa
Kedungwringin menika sebagai wujud raos syukur dumatheng
Allah swt, ingkang sampun paring pinten-pinten kanikamtan
terutami asil bumi ingkang kathah lan kaslamatan warga
masyarakat.
Peneliti : Kenging menapa tradisi Baritan dipunlaksanakaken dinten Jum’at.?
Narasumber : Amargi dinten Jum’at punika dinten paling sae menggah umat
agami Islam.
Peneliti : Kenging menapa tradisi Baritan kedah ngangge pagelaran wayang..?
Narasumber: Amargi pagelaran ringgit wacucal punika salah satunggiling
Ubarampe utawi sesaji ingkang kedah wonten.
Peneliti : Kenging menapa lakon wayang menika kedah lakon Baritan.?
Narasumber: Amargi lakon baritan punika lakon sesaji ruat bumi ingkang
sifatipun sakral, dados mboten saget dipun gantos.
Peneliti : Napa mawon perlengkapan utawi buorampe tradisi Baritan.?
Narasumber: Rakan, Petet, Cermin, Dom, Bolah, Rokok Krenik, Parem Gadung,
Menyan Putih, , Kinangan, Pisang Raja, Kopi Pahit, Kopi Manis, Teh
Pahit, Teh Manis, Jembawuk, Arang-Arang Kembang, Jajan Pasar,
Sumping sepasang, Cengkir Krambil Gading, Godong Dadap Srep,
Tiris, Godhong Andong, Wringin, Tebu wulung, Pari, Jagung, Tompo,
Ingkung, Tumpeng Rasul, Pala Pendem, apem, Kacang Panjang,
Jenang Abang, Jenang Putih, Bayem, Telur, Lombok Abang.
164
Catatan Lapangan 6
Narasumber : Budiharjo
Tempat : di rumah bapak Budiharjo
Waktu : 12 November 2013 pukul 20.00-
22.00
Peneliti : Apa makna sesaji kepala kambing?
Narasumber : Nek potongan wedus kuwe ana jawabane, jawabane kuwe maring
pertanian siji, loro maring keselametane warga Kedungwringin
diantara kedua belah pihak, keselamatan desa aja nganti ana apa-
apa karo tanem tuwuh. Tanem tuwuh yakuwe diantara pertanian,
keselamatan desa kuwe desa aja nganti kena bencana apa-apa,
tanem tuwuh yasing pada selamet, semoga bisa panen. Motong
wedus kuwe ana jawabane cung kalacung tikus janada sira balika
meng tanah sabrang ratu gustimu agi pesta, nek ora percaya tiliki
nang prapatan darah lan ndase nang kana. Kejaba kuwe terutama
enyong diuripna nang alam dunya kan percaya karo sing sing nang
duwur yakuwe sing kuwasa siji, lorone nyong bisa kepriwe bae
kankarenakanjeng nabi Muhammad. Slametan kuwe kejaba njaluk
ngapura maring sing kuasa kelorone aku ndongakna kanjeng nabi
Muhammad lan sahabate. Ora ana acara lia-lia, slametan kuwe seka
kaki ninine turun-temurun.
Peneliti : Makna kenenyan?
Narasumber: Masalah ngobong menyan nang kene bukane aku percaya maring
eyang mbah sing tek dipundi, enyong ngobong menyan kuwe
karena ujare kakine aku mbiyen menyan kuwe kebayan, kebayan
kuwe diprentah aku ndonga dongakna arwah men pada slamet, lah
aku nyuwun maring sing kuasa, maring sing kuasa njaluk
keuargaku pada slamet. Sing kon ngujudna kuwe menyan dibakar
kan kukuse cepet tekan
Peneliti : Lakon Baritan kuwe kepriwe?
165
Narasumber : Lakon Barit, lakon Barit terutama dijukut saka awang uwung bumi
urung ana wiji kuwe guru prentah nyebar wiji isineng jagad, ngantik
guru nyebar wiji. Akhire angger ruat bumi lakone kudu tentang
masalah pertanian, desa kuwe ora kena nyimpang maring
pemerintahan utawa digawe ana dagelan kuwe ora kena, sebabe
sajen. Ana semar gareng petruk sebab kuwe dadi dewa wangkang
dewa wangkeng lah semar kuwe nggo dasar mergane gunung
mahameru bisa dipindah saka kulon meng ngetan. Ruat bumi kuwe
ora karepe saka wong sing keri, kuwe turunan sekang nenek
moyang. Sesajine kuwe tergntung tiap desa masing-masing, ana sing
cukup motong kebo tok, sing akeh wayangan karo tayub. Masalah
slametane ya kuwe sing dibekteni kaya kuwe tok, siji njaluk
ngampura maring gusti Allah ben slamet kabeh, ngirim ndongakna
meng kanjeng nabi Muhammad lan sahabate karo ngirim donga
meng sing babad pertama desa Kedungwringin.
Peneliti : Nang ngapa kudu ngganggo pertunjukan wayang?
Narasumber: Tekane maring lurah pertama, lurah pertama desa Kedungwringin
kuwe asale seka solo, kakang adi jenenge Nursiah karo Nurajah,
Nursiah dadi lurah nang Kedungwringin, Nurajah dadi lurah nang
Penusupan.
Peneliti : Nang ngapa deneng dina Jumat terus, alesane apa?
Narasumber: Nek dina Jum’at kuwe dina sing diistimewakna bagi
pitung dina, dina pitu kang rangkepe lima, sebabe apa lima ko bisa
ganep, lima ko bisa nggnepi pitu. Bisane dina pitu lima ganep kuwe
antara Ahad, Senen, Selasa,Rabau, Kamis, Jum’at, Sabtu digenepi
Manis, Paing, Pon, Wage, Kliwon. Bisane Barite dina Jumat kuwe
sing gawe dina kuwe dina Jum’at kuwe diistimewakan, dina Jum’at
kuwe jodone wong sapasar, terus dina bagi agama islam dina sing
istimewa, dina pitu kanggone sing Jum’atan kan mung dina Jum’at.
Peneliti : Tradisi Baritan kuwe maknane apa?
166
Narasumber: Karena ngipuk-ngipuk tanah adat saka nenek moyang, maknane
jaluk slamete kabeh wargane satanam tuwueh sing bisa slamet aja
nganti ana apa-apa.
Peneliti : Uborampene?
Narasumber : Uborampene sing gede, sebab kabeh mau ana sranan, akeh sesaji
sing perlu dienggo kejaba sesaji nang wayang kulit, apa padane
enyong tes ziaroh meng endi bae. Sesaji kuwe kanggo ngormati,
ngormati tes ziaroh, ora karena aku aweh saesji aku mundi kuwe ora,
sahrene aku kirim donga tanda maturnuwun marang gusti kang maha
kuasa men dinei slamet kabean apik sing esih nang alam dunya lan
sing nang alam akherat.
167
Catatan Lapangan 7
Narasumber : Sujono
Tempat : Rumah Pak Sujono
Waktu : 13 November 2013 pukul 19.15-
21.30
Peneliti : Sugeng Ndalu pak?
Narasumber : Sugeng Ndalu
Peneliti : Saweg nopo pak?
Penliti : Nonton TV mawon
Peneliti : Nuwun sewu pak, niki kula badhe nyuwun pitados menggah babagan
tradisi Baritan. Kala wingi kan sampun tanglet sakedik babagan
Baritan.
Narasumber : Mangga bade tanglet napa malih, mangke kula jawab sasaget kula.
Peneliti : Menurut pamanggih panjenengan, tradisi Baritan niku napa?
Narasumber : Tradisi Baritan ingkang wonten desa Kedungwringin menika salah
satunggiling tuladha tradisi ingkang tasih dipun lestarikaken
menggah masyarakat desa Kedungwringin. Tradisi Baritan menika
sedekah bumi ingkang dipun pengeti saben sasi Syura.
Peneliti : kenging napa sasi Syura, sanes sasi-sasi lintunipun?
Narasumber : Sasi Syura punika ibarat dinten niku dinten Jum’at, dinten ingkang
minulya. Sasi Syura menggah tiang Jawi punika sasi ingkang Agung,
amargi kaagunganipun masyarakat mboten enten ingkang wantun
gadah damel utawi mantu. Menggah saking menika masyarakat desa
Kedungwringin ngawontenaken barang damel utawi hajatan desa
ingkang kasebat Baritan.
Peneliti : Prosesi tradisi Baritan dipun wiwiti kanti ziarah kubur dumateng
makam-makam eyang mbah utawi leluhur ingkang sampun mbikak
desa Kedungwringin, pemimpin-pemimpin ingkang sampun
sumareh. Sadinten saderenge tradisi Baritan dipunlaksanakaken,
masyarakat ingkang caket kalih panggenan tradisi Baritan sami
nyengkuyung damel tarub, ngusung gamelan, motong mendo,
168
ingkang ibu-ibu sami masak. Dinten Jum’at kirang langkung jam
09.00 sesepuh pasang sesaji lan mbakar kemenyan pratanda tradisi
Baritan sampun kawiwitan. Kemenyan punika kangge pratanda bilih
dipun wiwiti adicara, salajengipun kula maos kidungan, kidungan
punika kangge nolak bilahi utawi bencana. Mugi-mugi kanti
kidungan desa Kedungwringin ing taun punika saged lir saking
sambikala. Para warga sami rawuh, piyantun putri sami mbeta
penggel mangke dipun serahaken dumateng panitia. Penggel punika
dipun paringi iwak menda ingkang dipun masak panitia. Penggel
punika dipun bagi dumateng warga malih sasampunipun adicara
sambutan. Adicara sambutan kirang langkung jam 1 sabibaripun
sholat Jum’at. Sasampunipun tasyakuran sesarengan pagelaran saget
dipun lajengaken malih. Pagelaran wayang bibar kirang langkung
jam 5, kalajengaken semburan. Semburan punika sahrehne kula
sampun rampung nglampahaken ruat bumi, mugi-mugi desa
Kedungwringin dipun tebihaken saking pageblug, lelara, bilahi lan
sanes-sanesipun. Sasampunipun semburan warga masyarakat sami
rebutan asil tanam tuwuh ingkang dipun gantung sakiwa tengenipun.
Tanam tuwuh punka menawi dipun tanem asilipun ampun dipun
dahar ngantos 7 taneman, menika saget nadosaken asil ingkang
katah. Banyu kembang ingkang wonten pane lemah punika saged
kangge obat menawi sawedal-wedal wonten kaluarga ingkang
nandang sumeng.
Peneliti : Sinten mawon ingkang nyengkuyung wontenipun tradisi Baritan?
Narasumber :Ingkang nyengkuyung menika sedaya warga masyarakat. Tanpi
pambiyantu saking sedaya pihak tradisi Baritan mboten saget
kalaksanan. Saking iguh pertikelipun perangkat desa, saking
kesadaranipun masyarakat inggih punika iuran dana, tenaga, lan
partisipasinipun.
Peneliti : Napa makna saking tradisi Baritan?
169
Narasumber : tradisi Baritan nggadahi makna, saking tradisi punika gotong
royong, solederitas saget dipun tingkataken. Wontenipun tradisi
Baritan saget kangge ngraketaken tali silaturahmi, wujudaken
kaikhlasan kanti damel sedekahan.
Peneliti : Napa fungsinipun tradisi Baritan?
Narasumber : Tradisi Baritan nggadehi fungsi kangge ngaturaken sesaji dumateng
ingkang mbaureksa desa Kedungwringin, tujuanipun supados dipun
paringi kelsamatan, keselarasan lir ing sambikala.
Peneliti : kenging napa tradisi Baritan dipun pengeti dinten Jum’at?
Narasumber : Kados ingkang sampun kula aturaken wau, dinten Jum’at punika
dinten ingkang minulya kados sasi Syura.
Peneliti : Kenging napa tradisi Baritan kedah ngagem wayang?
Narasumber : Amargi tradisi Baritan punika ruat bumi, ruat bumi wonten desa
Kedungwringin punika ngagem wayang kulit awit rumiyin mbah-
mbah kawula.
Peneliti : Isi wayang tradisi Baritan niku napa?
Narasumber : Menika wonten ingkang sampun kula serat teng buku,
Peneliti : Mneapa angsal kula ngampil badhe kula foto Copy?
Narasumber : Saderenge ngapunten mas, lakon Barit punika kula mboten ngertos
sinten ingkang ngripta, sinten ingkang nganggit, kula anamung
nerasaken saking mbah-mbah kula ingkang sampun nglampahaken
lakon Barit. Lakon Barit punika kula serat, susunanipun onten
ingkang kula angsal saking wisikan gaib, sahingga dados ingkang
mekaten. Buku punika saget dipun gandakaken menawi menjang
kula sampun mboten kiat nglampahahaken, utawi sampun angsal
amandat saking kula. Pramila mbenjang mriksani kemawon, pripun
lampahannipun, utawi teken tiang sanes, amargi wonten rahasia
ingkang tiang sanes mboten pareng mangerti.
170
Catatan Lapangan 8
Narasumber : Suwarjo
Tempat : Pelaksanaan upacara tradisi Baritan
Waktu : 22 November 2013 pukul 09-15.00
Peneliti : Apa yang anda ketahui tentang tradisi Baritan?
Narasumber : Tradisi Baritan yaitu sudah kita alami sejak dulu, nenek moyang
mengadakan suatu Baritan atau sedhekah bumi yang intinya setiap
bulan Syura diadakan selamatan.
Peneliti : Bagaimana prosesi tradisi Baritan?
Narasumber: Tradisi Baritan yaitu berdasasrkan iuran, iuran tiap-tiap kepala
keluarga sebesar 35.000, untuk biaya pada waktu hari pelaksanaan.
Karena di desa Kedungwringin terdiri dari separo ndesa (sebagian
desa), yaitu terdiri dari 10 RT, uang tersebut dikumpulkan
mendapatkan 11.100.000,- digunakan untuk biaya Suran, utuk
memebeli kambing, soalnya kambing itu disembeli atau dipotong
dan kepalanya dipendam di mrapatan jalan (perempatan jalan).
Setelah itu, masalah Baritan warga masyarakatnya nyengkuyung
gotongroyongnya, tidak dibeda-bedakan antara pamong atau
masyarakat, lalau diadakan pembuatan tarub, setelah membuat tarub
lalu ditentukan harinya. Biasanya yang dipakai pada hari Jum’at,
karena hari Jum’at dianggap hari yang paling baik bagi umat agama
Islam. Selanjutnya uang itu untuk memberi kambing lainnya untuk
memebeli ubarampe, yang tujuannya untuk membuat selamatan.
L
a
m
p
i
r
a
n
.
D
i
a
l
o
g
P
e
n
e
l
i
t
i
d
171
Setelah gapura sudah jadi dan ditentukan hari Jum’at lalu diadakan
wayangan, karena di kedungwringin terdiri dari dua, yaitu sebelah
timur atau kadus satu dan dua slamatannya wayang dan sebelah barat
atau kadus tiga dan empat adalah tayuban, tapi intinya sama
menyelamati sedekah bumi. Setelah harinya sudah telaksana hari
jum’at, kira-kira jam 10 dimulai pertunukan wayang, setelah jam 12
wayangnya berhenti untuk menlaksanakan sholat jum’at. Setelah
sholat Jum’at diadakan musyawarah atau upacara, yang pertama
pembukaan, yang kedua adalah sambutan-sambutan yaitu terutama
dari ketua panitia sebagai tuan rumah, sambutan keduanya adalah
sambutan pertanggung jawaban atas iuran-iuran itu dan sambutan
yang ketiga adalah sambutan dari kepala desa. Setelah itu selsai
diadakan kenduri, kenduri yaitu semua warga, pada waktu kemarin
selamatannya dikumpulkan mendapat 250 tompo, itu adalah orang-
orang dari rumah menbawa tompo beserta uborampenya, dan
kemudian di beri daging kambing, lalu diadakan do’a oleh pak Kaum
(kaur kesra). Setelah selsai, pertunjukan wanyang dilanjutkan
kembali sampai sekitar jam 17.00. Setelah selasi, tadinya kan sudah
dipasang tanam tuwuh, bermacam-macam ada padi, jagung, salak,
lombok dan lain-lain, warga masyarakat khususnya di desa
Kedungwringin beramai-ramai berebutan bibit yang telah dipajang,
tujuannya bibit ditanam itu mendapat keberkahan dari Allah swt.
Peneliti : Siapa saja yang terlibat dalam prosesi tradisi Baritan?
172
Narasumber: Yang terlibat dalam tradisi Baritan adalah semua warga, tidak
pandang orang kaya, orang miskin, pangkat, derajat, pokoknya
semua warga nyengkuyung (bergotong- royong, membatu) untuk
mengadakan Baritan itu.
Peneliti : Mengapa diadakan tradisi Barian?
Narasumber: Diadakan tradisi Baritan karena itu sudah sejak nenek moyang kita
turun-temurun itu diadakan tradisi Baritan yaitu pokoknya
tradisional, kalau tradisi-tradisi yang ada di desa Kedungwringin
perlu dilestarikan karena tinggalan dari nenek moyang kita.
Peneliti : Mengapa tradisi Baritan masih berjalan sampai saat ini?
Narasumber: Karena masyarakat masih percaya bahwa tradisi jika ditinggalkan
akan mendapatkan musibah.
Peneliti : Apa Makna tradisi Baritan?
Narasumber: Makna tradisi Baritan karena manusia merasa hinggap atau
berdomisili di bumi, rumahnya diatas bumi, orangngya juga diatas
bumi, lalu hasilnya juga dari bumi, untuk menanam segala-galanya
itu dari bumi, air pun dari bumi. Lalu lagi tanahnya diinjak-injak
oleh manusia dan diberi kotoran, kotoran manusia, sehingga
kepercyaan nenek moyang kita samapi turun-temurun istilahnya
meminta selamat kepada Tuhan Yang Maha Esa yang membuat
bumi beserta isinya.
Peneliti : Bagamana reaksi masyarakat terhadap prosesi tradisi Baritan?
173
Narasumber: Reaksi dari masyarakat desa Kedungwringin dengan lapang dada,
gembira karena kepercayaannya masih kukuh (kuat) terhadap
petunjuk-petunjuk dari nenek moyang kita dulu.
Peneliti : Apa fungsi tradisi Baritan?
Narasumber: Fungsi tradisi Baritan warga masyarakat desa Kedungwringin
khususnya diberi keselamatan di dunia dan akheratnya nanti.
Peneliti : Kenapa tradisi Baritan selalu diadakan hari jum’at?
Narasumber : karena hari Jumat itu hari yang paling baik diantara hari lainnya.
Peneliti : Mengapa harus pertunjukan wayang?
Narasumber: Karena padawaktu pemerintahan Belanda kecamatannya dulu
berada di desa Kedungwringin, Kedungwringin itu dibagi dua yaitu
desa Kedungwringin dan desa Penusupan, akan tetapi sebelum
kemerdekaan kecamatan di pindah di Sempor, jadi tidak wajar kalau
satu desa dibagi menjadi dua, lalu diadakan penggabungan satu desa
Kedungwringin. Tetapi selamatan tradisional waktu masih dibagi
dua sebelah timur selamatannya wayangan dan sebelah barat itu
tayuban.
Peneliti : Mengapa lakonnya harus lakon Barit?
Narasumber: Karena masyarakat pada umumnya dan pada khususnya di desa
Kedungwrinin beranggapan bahwa mereka hidup itu di atas bumi,
bumi itu untuk membuat rumah, bercocok tanam, lalu diinjak-injak,
di beri kotoran, sehingga perlu diselamati, sebagai bentuk ucapan
minta ma’af kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
174
menciptakan bumi beserta isinya. Lakon itu harus Baritan karena
sebagai sesaji ruat bumi yaitu untuk meminta keselamatan warganya,
tanam tuwuh (pertanian) dan keselamatan desa Kedungwringin
semoga tidak ada apa-apa.
Peneliti : Bagaimana isi lakon cerita Baritan?
Narasumber:Pertama jejer Khayangan, Bhatara Guru sebagai ratunya,
mengumpulkan para dewa, Bhatara Narada, Bhatara Yamadipati,
Bhatara Bayu dan Bhatara Brahma ini dikumpulkan yang dimkasud
jagad atau bumi masih awang-uwung artinya belum ada tanaman
apa-apa, karena Bhatara Guru itu baru menghadap kepada Shang
Hyang Wengang, oleh Shang Hyang Wenang supaya Bhatara Guru
menyebar isi wijining jagad, karena bumi belum ada tanaman
apapun juga. Akan tetapi jagad masih condong kebarat, akhirnya
Bhatara Guru memerintah kepada Bhatara Narada untuk
memindahkan gunung Jamur Dipa di pindah ke arah timur.
Ceritanya gunung itu digotong, gotongannya dewa, talinya dewa,
yang menggotong juga dewa, gunung mau digotong tidak bisa sebelum
dijawab oleh Bhatara Narada. Setelah dijawab setan-setannya juga ikut
membantu menggotong. Dalam perjalanan gunung jatuh menjadi gunung
Salak, jatuh lagi oleh Bhatara Narada ditanya, apakah yang menggotong
selamat, maka gunung itu diberi nama gunung Selamat. Kemudian jatuh lagi
hingga yang terakhir jatuh di Semeru tidak bisa di angkat lgi, setelah
diperiksa oleh Bhatara Narada ternyata masih ada dewa yang belum ikut
175
menggotong yaitu Empu Puramadi, akan tetapi sudah mempunyai tugas yaitu
untuk membuat Nenggala. Akan tetapi dirasa oleh bumi masih condong akan
tetapi sedikit, kemudian Bhatara Narada kembali ke Khayangan oleh Bhatara
Guru dirasa sudah cukup.
Setelah tiba di Khayangan datang lagi dari penguasa gunung Jamur
Dipa bernama Prabu Naga Dampalan dan Nirbito, yang intinya mereka tidak
terima karena gunung Jamur Dipa dipindah, sehingga Bhatara Guru akan
dimakan. Pandainya Bhatara Guru, dia mau menunjukan dimana Bhhatara
Guru, akan tetapi Bhatara Guru jalannya seperti kilat, sehingga Bhatara Guru
minta untuk digendong. Bhatara Guru agar tidak lepas maka Naga Dampalan
dikendaleni (diikat), Bhatara Guru sambil menyebarkan wiji isining jagad,
dari masrip timur, utara, barat, selatan kemudian kembali lagi ke tengah-
tengah. Di tengah-tengah jagad Baru Bhatara Guru bilang kalau Bhatara Guru
ya aku, Naga Dampalan marah sekali, karena berpegang kendali sangat kuat,
berubahlah menjadi kuda. Kemudian tunduk dan dikancing agar tidak bisa
bersuara, diberi tempat tinggal di pulau Sumba, oleh karena itu kuda dari
Sumbawa Larinya cepat. Nirboto tidak terima hilangnya sang kaka, kemudian
diikat dan berubah menjadi macan (harimau) selanjutnya dikancing dan diberi
tempat di alas (hutan) Wager Gadung, dan diberi makan, apa bila setiap
malam jum’at kliwon ada orang liwat hutan itu tanpa bicara menjadi
makanannya.
Jejer Khayangan Ondar-Andir Bawana, menghadap Shang Hyang
wenang bahwa wiji sarining jagad sudah disebar keseluruh penjuru.
176
Kemudian Bhatara Guru menerima hadiah, Turta Amerta dan Cupu Manik
Astagina. Tirta Amarta memiliki khasiat bahwa air ini dimasukan kedalam
Kawah Candradimuka maka airnya akan dingin, Sedangkan Cupu Manik
Astagina Bhatara Guru dipesan tidak boleh ada yang tau. Karena Bhatara
Narada Sebagai teman seperjuangan, artinya ada ratu ya ada bawahannya,
Bhatara Narada memaksa ingin tahu, setelah tahu ingin memegang, belum
samapi tangan Bhatara Narada Sudah terbang. Kemudian Bhatara Narada
disuruh mencari barang yang mawa teja (berkilau) untuk diserahkannya.
Jejer di Puser Bumi, Naga Gombang yang sedang mengeluh
merasakan kantuk yang teramat sangat, hingga sering menguap, dalam
menguapnya itu kemudian kejatuhan barang yang berkilau masuk ke dalam
tenggorokan. Melihat kejadian itu Bhatara Narada bertanya kepada Naga
Gombang apakah tahu dimana jatuhnya benda yang berkilau tadi. Naga
gombang tidak mengetahui, kemudian Bhatara Narada mengunus keris untuk
menakut-nakuti Naga Gombang, hingga Naga Gombang menangis dan air
matanya menetes ke tanah berubahlah menjadi seorang putri. Kemudian
anaknya diberi nama Dewi Trisnawati dan dibawa ke menghadap Bhatara
Guru.
Bhatara Narada menceritakan apa yang telah terjadi, dan
menyerahkan seorang putri yang dibawanya. Kemudian Dewi Trisnawati
dipanggil oleh Bhatara Guru suaranya laki-laki, kemudian dipanggil oleh
Bhatara Narada bersuara Perempuan. Karena apa yang diadakan Bhatara
Guru pasti terjadi maka berubahlah menadi anak kembar, yang putra diberi
177
nama Culmuka. Kemudian Dewi Trisnawati ditempatkan para dewi, dan
Culmuka ditempatkan di tempat-tempat dewa. Akan tetapi keduanya tidak
mau dipisah, Culmuka dibilang seperti hewan, maka berubahlah menjadi
hewan dan ditempatkan di Gunung Wukir Mudakir. Sedangkan Dewi
Trisnawati menangis terus, oleh yang mengasuhnya dibilang seperti mau
mati, dewi Trisnawati kemudian mati. Bhatara Narada memerintah kepada
dewa Wangkang dan Wangkeng untuk memakamkannya, di perjalanan
karena merasa lelah, Wangkang dan Wangkeng alian (berpindah pundak),
jasad Trisanawati kemudian jatuh, dewa Wangkeng beruah menjadi bambu
tembelang, dan Wangkeng berubah menjadi Warak (Badak), talinya menjadi
rotan.
Jasad Dewi Trisnawati dirawat oleh Bhatara Narada, tidak lama
kemudian Culmuka datang karena mencium bau Dewi trisnawati. Bhatara
Narada marah karena Culmuka mencoba menggali makam Dewi Trisnawati,
kemudian mengambil bambu dan dilepaskan mengenai leher Culmuka,
kemudian kepalanya melayang keatas berubah menjadi Lintang Benalung dan
tubuhnya jatuh di laut menjadi ikan laut. Setelah beberapa waktu tubuh Dewi
Trisnawati tumbuh menjadi beberapa macam tanaman.
Bhatara Guru dan Dewi Uma berubah menjadi burung Prit Putih
yang tujuannya utuk memantau bagaimana kerja Bhatara Narada yang sedang
menunggu jasad Dewi Trisnawati. Melihat tanaman padi yang mulai
menguning Bhatara Guru dan Dewi Uma ingin mencicipi, nengetahui hal
tersebut Bhatara Narada mencoba mengusirnya. Sepasang burung tersebut
178
hinggap di pohon aren, dan tertutupi (kelilingan) oleh buahnya, oleh karena
itu buahnya diberi nama kolang-kaling, sebab untuk bersembunyi burung.
Buahnya di potong keluar airnya rasanya manis (legi), maka diberi nama
legen.
Jejer Khayangan Suralaya Bhatara Guru dihadap oleh para dewa,
kemudian datanglah Bhatara Narada, menceritakan apa yang telah terjadi dan
membawa hasil tanaman yang tumbuh di jasad Dewi Tresnawati. Bhatara
Narada memberikan air yang dibawanya, Bhatara Guru “gedeg” tidak mau,
maka minuman itu diberi nama Badeg. Bhatara Guru memerintahkan kepada
Narada supaya hasil tanaman yang tumbuh pada jasad Dewi Trisnawati untuk
diberikan kepada titah mercapada (manusia) untuk ditanam.
Jejer negara Medang Kamulyan, Prabu Srima Punggung diadap oleh
putranya Sutra Yunan dan Smara Pinggan, datanglah Bhatara Narada
membawa hasil tanama untuk diberikan dan ditanam di ladang Mendang
Kamulyan. Setelah tanaman mulai menguning, datanglah putra-putra dari
prabu Kala Gumarang dari negara Anjuk, yang ingin mencicipi tanaman di
Medang Kamulyan. Prabu Srima Punggung kalah dan meminta bantuan
kepada Bhatara Narada kemudian diberi cemeti penjalin tingal, untuk
mengalahkan putra-putra dari Prabu Kala Gumarang. Yang berhasil
ditundukan hanya tiga yaitu, Gerba Sengara, Lembu Sengara, Dewi Kurese
sedangkan Cakutila dan Janada belum bisa ditundukan. Kemudian Bhatara
Narada pergi mencari jago untuk mengalahkan Cakutila dan Janada.
179
Jejer Rara Dadapan, Prabu Putut Jantaka dihadap oleh kedua
putranya bernama Condromeo dan Blang Menyunyang, datanglah Narada
yang tujuannya meminta izin kepada Putut Jantaka meminta kedua anaknya
untuk mengalahkan Cakutila dan Janada. Prabu Putut Jantaka memberi izin,
akan tetapi Condromeo meminta imbalan apabila bisa membunuh Jandad, dia
ingin tidur dan makannya bersama majikannya, sedangkan Blang
Menyunyang cukup kalau tidur di bawahnya dan makannya nasi satu kepal
bersama tulang. Blang Menyunyang dan Candramawa berhasil mengalahkan
Cakutila dan Janada, akan tetapi tidak bisa bicara seperti manusia karena
sudah menelan darah dari mereka.
Mendengar kabar bahwa anak-anaknya hilang, Prabu Kala
Gumarang balas dendam kepada Prabu Srima Punggung, dan Prabu Srima
Punggung berhasil mengalahkannya. Setelah semua yang membuat keributan
dapat dimusnahkan prabu Srima Punggung berpesta untuk merayakan
kemenangannya.
180
PETA JAWA TENGAH
Lampiran 12
181
PETA KABUPATEN KEBUMEN
Lampiran 13
182
PETA KECAMATAN SEMPOR
Lampiran 14
183
PETA DESA KEDUNGWRINGIN
Lampiran 15
184
DOKUMENTASI
Gambar : Prosesi Penanaman Kepala Kambing
Gambar : Masyarakat Berogotong Royong Membersihkan Daging Kambing
Lampiran 16
185
Gambar : Pertunjukan Wayang Kulit
Gambar: Tumpeng Rasul atau Tumpeng Kuat
186
Gambar : Sambutan Kepala Desa
Gambar : Antusias Warga Masyarakat
187
Gambar : Nasi Ambeng
Gambar : Ubarampe Sesaji Baritan
189
DAFTAR ISTILAH
Aboge = Aboge adalah salah satu penanggalan kaum muslim Jawa,
jika diperinci A berasal dari alif, salah satu dari siklus
windu yang merupakan daur ulang tahun Jawa. Bo
mengacu pada Rebo yang berarti hari Rabu dan Ge
adalah wage yang merupakan hari pasaran dalam budaya
Jawa.
Ambeng = Ambeng adalah nasi putih berbentuk bola dibagi menjadi
dua, yang diletakan di atas tampah lengkap dengan lauk
pauknya.
Apem = Apem adalah kue yang terbuat dari tepung beras,
berbentuk seperti prisai atau payung biasanya berwarna
merah.
Arang-Arang Kambang = Arang-arang kambang biasanya terbuat dari air putih
dengan rengginang. Rengginang tersebut di masukan
sebuah gelas yang berisi air putih.
Bakaran Budin = Bakaran budin adalah singkong bakar.
Bolah = Bolah adalah benang
Calung atau Lengger = Calung atau lengger adalah suatu kesenian tradisional
khas Banyumasan. Penari biasanya menggunakan
slendang dengan iringan musik calung yaitu musik yang
terbuat dari bambu.
Dom = Dom adalah jarum
Lampiran 17
190
Gara-gara = Gara-gara adalah salah satu babak dalam pementasan
wayang purwa dengan keluarnya punakawan, di isi
dengan lawak.
Gaga Rancah = Gaga Rancah adalah salah satu jenis padi yang biasa
ditanam di ladang atau tanah yang tidak banyak terdapat
air.
Godhong Dadap Srep = Godhong Dadap Srep adalah daun dadap
Godhong Wringin = Godhong Wringin adalah daun pohon beringin
Godhong Andong = Godhong Andong adalah daun andong
Jembawuk = Jembawuk adalah jenis minuman yang terbuat dari kopi,
gula Jawa, dan santan di satukan menjadi satu.
Harifah = Arti kata sebagaimana aslinya atau asalnya.
Jenang Abang = Jenang abang adalah bubur di campur dengan gula Jawa
atau gula merah sebagai pewarna.
Jengang Putih =Jenang putih adalah bubur yang terbuat dari nasi,
kemudian di beri garam sebagai perasa.
Kambing Kendit = Kambing kendit adalah kambing yang berbulu warna
hitam atau merah di tengah-tengahnya terdapat bagian
seperti sabuk berwarna putih.
Kaul = Niat atau yang diucapkan sebagai janji untuk melakukan
sesuatu jika permintaannya dikabulkan.
191
Kembang Telon = Kembang Telon adalah kumpulan bunga yang terdiri dari
tiga macam bunga. Biasanya terdiri dari bunga mawar,
bunga kanthil dan bunga kenanga.
Lakon = Lakon adalah peristiwa atau karangan yang
disampaikan kembali suatu (boneka, golek dan wayang)
sebagai pemain.
Limbukan = Limbukan adalah suatu babak dalam pertunjukan
wayang purwa, biasanya limbukan setelah jejer pertama.
Limbukan diperankan oleh Beyung Emban atau
pembantu.
Luwes = Luwes adalah pantes pas, cocok.
Mudin = Mudin adalah kaum, atau tokoh agama yang di tentukan
oleh desa sebagai pengarah agama.
Ngruat = Ruat sama dengan kata luar, berarti lepas atau terlepas.
Ngruwat berarti orang yang melaksanakan ruat.
Olah Prihatin = Olah prihatin adalah salah satu kegiatan orang Jawa dengan
cara prihatin. Prihatin kepanjangan dari “rasa perih ing
sajroning batin”, perih di dalam batin karena seseorang
tidak lagi bergumul dalam kenikmatan jasad mengumbar
nafsu-nafsunya.
Pala Pendem = Pala Pendem adalah ubi-ubian yang buahnya berada di
bawah tanah.
192
Parem Gadung = Bedak yang terbuat dari bahan dasar tepung gadung.
Petet = Petet adalah sisir
Pring Ampel Gading = Pring Ampel Gading adalah pohon bambu yang berwarna
kuning.
Punden = Punden adalah tempat terdapatnya makam orang yang
dianggap oleh masyarakat desa sebagai orang yang
dihormati.
Rakan = Rakan adalah ubarampe berupa gembili, senthe atau jajanan
seperti ketela yang bahannya diambil dari akar berbagai
jenis pohon talas dan direbus.
Ribet = Ribet adalah rumit.
Rokok Kreni = Rokok kreni adalah rokok yang terbuat dari kulit jagung.
Semburan = Semburan adalah ritual penolak bala atau pembacaan mantra
oleh Ki dalang setelah selsai melakukan pementasan
wayang.
Sumping = Sumping adalah perlengkapan yang di kenakan pada telinga,
biasanya dapat kita jumpai pada pementasan wayang orang.
Tiris = Tiris adalah pohon kelapa yang baru mulai tumbuh.
Tolak Bala = Tolak bala adalah penangkal.
Tompo = Tompo adalah nasi yang dibentuk seperti bola kemudian di
bagi menjadi dua, bentuk tompo lebih kecil dibanding
dengan ambeng.
193
Tumpeng = Tumpeng adalah nasi yang dibentuk mengerucut besar
menyerupai gunungan
Ubarampe = Perlengkapan
Top Related