Download - Tugas Referat Fix!!

Transcript

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan industri yang sangat pesat di Indonesia menimbulkan dampak yang positif yaitu terbuka lapangan kerja yang akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan potensi dampak negatif yaitu terjadinya pencemaran pada lingkungan kerja maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Lingkungan kerja yang tercemar dari gangguan kesehatan dari penyakit akibat kerja. Kontaminasi udara yang dihirup masuk melalui hidung masuk melalui paru dapat berbentuk debu, asap, uap, atau uap air. Penimbunan partikel yang terjadi pada saat inhalasi maupun ekhalasi terbanyak pada hidung. Masalah kesehatan dapat terjadi jika pekerja terpajan partikel tersebut melebihi nilai ambang batas serta terjadi pajanan terus menerus selama beberapa tahun yang dapat merupakan penyebab gangguan kesehatan pada pekerja terutama penyakit pada saluran pernapasan yaitu rhinitis akibat kerja. Gejala yang ditimbulkan rhinitis akibat kerja akan memberi dampak pada kualitas hidup pekerja seperti gangguan tidur yang menyebabkan kelelahan, penurunan penampilan, dan konsentrasi di tempat kerja, serta mengantuk saat bekerja. Hal ini disertai gejala tambahan seperti sakit kepala, rasa lemah,malas, dan perubahan emosi yang sangat mengganggu. Keluhan tersebut semakin hari bertambah berat sehingaa mempengaruhi keadaan fisik, emosi, fungsi sosial dan dapat menimbulkan stress. Upaya perlindungan tenaga kerja diperlukan dalam membina tenaga kerja agar tetap pada tingkat produktivitas yang tinggi antara lain dengan mencegah timbulnya pengaruh negative dari berbagai faktor yang merupakan faktor risiko lingkungan kerja.

1

BAB II ANATOMI HIDUNG 2.1 ANATOMI Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagia-bagiannya dari atas ke bawah:1 1. Pangkal hidung (bridge) 2. Batang hidung (dorsum nasi) 3. Puncak hidung (hip) 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar Hidung luar di bentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :1 1. 2. 3. Lubang hidung Prosessus frontalis os maksila Prosesus frontalis os nasal

2

Gambar. Anatomi Kerangka Hidung Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :1 1.2.

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor Tepi anterior kartilago septum Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

3.

dipisahkan oleh septm nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.2 Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum dan kolumela. 13

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. 1 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan konka yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. 1

Gambar 3. Anatomi Hidung Dalam Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 1 Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateteral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 2

4

2.2 PENDARAHAN HIDUNG Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatine mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. facialis. 1 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a, etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor , yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-anak.1 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 1 2.3 PERSARAFAN HIDUNG Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksilaris melalui ganglion sfenopalatina. 1 Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. maksilaris (N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1 Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bukbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 3

5

2.4 MUKOSA HIDUNG Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratifed collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel goblet.3 Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.2 Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.1 Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastic dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah dapat dipengaruhi saraf otonom. 1 2.5 SISTEM TRANSPOR MUKOSILIER Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas system transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa. 1

6

Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mucus yang lebih elastic dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lakoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). 1 Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan local yang bersifat antimicrobial. Iga berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen salurab napas, sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri. 1 Pada sinus maksilaris, system transport mukosilier menggerakkan secret sepanjang dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium, secret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negative dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akn menghentikan atau mengubah transport, dan secret akan melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika secret lebih kental, secret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.2 Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian kea tap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding anterior da posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya. 2 Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama merupakan gabungan skresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba Eustachius. Transport aktif berjalan ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.3 Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba Eustachius.1

7

Secret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan secret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Secret pada septum akan berjalan vertikal kea rah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu du bagian inferior tuba Eustachius. 1

8

BAB III FISIOLOGI HIDUNG Berdasarkan teori structural, teori evolusiner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :1 1. Fungsi respirasi Untuk mengatur kondisi udara ( air conditioning ), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal 2. Fungsi penghidu Terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. 3. Fungsi fonetik Berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. 4. 5. Refleks Nasal Fungsi statik dan mekanik Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas 3.1 FUNGSI RESPIRASI Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawahke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.3 Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dinginakan terjadi sebaliknya. 3 Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. 3 Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yanh terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: 1 a. Rambut ( vibrissae ) pada vestibulum nasi9

b. Silia c. Palut lendir Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. 1 3.2 FUNGSI PENGHIDU Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 3 Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis stroberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 3 3.3 FUNGSI FONETIK Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 1 Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dari hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. 1 3.4 REFLEKS NASAL Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas. 1

BAB IV RHINITIS AKIBAT KERJA10

4.1 DEFINISI Rhinitis akibat kerja adalah penyakit inflamasi pada hidung yang ditandai dengan kongesti nasal, bersin-bersin, rhinorrea, dan gatal, dan/atau keterbatasan aliran udara dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh lingkungan kerja. 6 Rhinitis akibat kerja berdasarkan respon tubuh terhadap pajanan zat iritan dibagi menjadi 2 yaitu rhinitis akibat kerja alergi dan rhinitis akibat kerja non alergi. 6 4.2 ETIOLOGI Rhinitis akibat kerja alergi disebabkan oleh zat yang mempunyai berat molekul tinggi dan zat yang mempunyai berat molekul rendah. Hampir semua zat yang mempunyai berat molekul tinggi menyebabkan rhinitis alergi melalui mekanisme yang berhubungan dengan IgE. Zat dengan berat molekul tinggi yaitu sebagai berikut : 6

alergen binantang serangga, tungau, debu, tepung terigu, lateks, allergen tumbuhan misalnya daun tenbakau, kopi hijau , guar gum, enzim biologic yang digunakan pada pembuatan detergen, industri obat, dan makanan protein ikan dan makanan laut

Zat dengan berat molekul rendah dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik melalui pembentukan konjugat hapten protein. Zat dengan berat molekul rendah yaitu sebagai berikut: 6 Diisocyanate Anhydrides Debu kayu Metal Obat-obatan Zat kimia

11

Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang membran mukosa nasal dan menimbulkan rinitis iritan nonalergi dengan gejala iritasi yang predominan. Rhinitis akibat kerja dengan penyebab zat kimia non alergi seperti sulfur dioksid (berasal dari pembakaran batu bara atau minyak), florin, uap cat, pestisida, zat pembersih, gas kimia yang korosif seperti amoniak, klorin, klorid asid dan klorid vinil dapat mengakibatkan peradangan yang sangat jelas dan kecacatan yang permanen. Zat kimia seperti formaldehid dapat mengakibatkan rhinitis akibat kerja karena merupakan gas polutan yang dapat larut dalam air sehingga mudah melekat pada mukosa hidung. Formaldehid dapat ditemukan pada partikel papan, kayu, lem perekat, beberapa kosmetik, pelapis lantai, dan bagian belakang karpet. 6 Lingkungan kerja dengan perubahan suhu yang cepat atau gerakan udara berlebihan dapat merupakan faktor fisik yang relevan dalam timbulnya rinitis vasomotor. Di samping itu, bau-bauan seperti wewangian, asap rokok, pewangi ruangan dan lainnya dapat pula menimbulkan eksaserbasi rinitis. 4 Faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya rhinitis akibat kerja yaitu pekerja dengan riwayat atopi, perokok, pengguna narkoba yang dihisap melalui hidung, umur, masa kerja, tempat kerja,pemakaian APD, paparan ozon,kadar debu di udara tempat kerja dan udara dingin. Adanya kecenderungan peningkatan risiko RAK pada usia lebih dari 40 tahun dibandingkan dengan usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun walaupun secara statistic tidak bermakna. Masa kerja lebih dari atau sama dengan 80 tahun berisiko timbulnya RAK. 4 Riwayat atopi sering ditemukan pada pekerja yang menderita rhinitis akibat kerja (57%). Identifikasi gejala nasal yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi Test Cukil kulit yang positif pada allergen spesifik, gejala nasal yang tidak spesifik, dan gejala pernapasan karena terpajan oleh debu atau bau yang menyengat. Respon pajanan berhubungan dengan intensitas dari pajanan. 6 4.3 PREVALENSI Prevalensi rhinitis akibat kerja dapat dinilai dari kriteria diagnosis (gejala dengan/ tanpa sesitisasi), letak georafis, dan tipe pekerjaan. Data prevalensi sulit di dapat karena, membutuhkan survey lapangan dengan jumlah yang besar dan membutuhkan biaya yang tinggi. 5 Pada suatu studi, di Finlandia peternak yang melaporkan dirinya memiliki gejala rhinitis, prevalensinya sekitar 42%, 15% diketahui menderita rhinitis berdasarkan gejala rhinitis beserta12

Tes Cukil Kulit, dan 6% diketahui melalui Test Challenge. Survey menunjukkan dokter hewan di California memiliki prevalensi rhinitis akibat kerja sebesar 38% dan rhinitis alergi 62%. Di Inggris, insiden terjadinya rhinitis akibat kerja yang disebabkan oleh allergen sekitar 2,54/1000 orang terjadi pada pekerja hewan. 5 Survey menunjukkan resiko rhinitis akibat kerja pada laki-laki meningkat jika terpajan debu kayu, debu tekstil, asap dan cat. Sedangkan pada wanita resiko rhinitis akibat kerja meningkat jika tepajan debu kertas dan debu tekstil.5 4.4 PATOFISIOLOGI Mekanisme pathogenesis dan patofisiologinya sangat kompleks, sehingga tidak dapat ditentukan faktor manakah yang paling berperan. Terdapat 4 mekanisme yang terlibat pada terjadinya rhinitis akibat kerja, yaitu : 6 1. Efek Iritasi pada Mukosa Hidung Iritasi adalah peradangan non spesifik pada hidung yang tidak berdasarkan pada reaksi alergi. Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang membran mukosa nasal dan menimbulkan rinitis iritan nonalergi dengan gejala iritasi yang predominan. Pajanan terhadap zat seperti asap rokok, formalin dan capsaicin berakibat dilepaskannya substansi P, yaitu transmitter sensoris yang akan memacu respon peradangan neurogenik. Tipe rhinitis akibat kerja ini terdapat pada pekerja yang terpajan oleh material seperti cat, talcum, dan debu batu bara.6 2. Efek Korosi pada Mukosa Hidung Setiap zat yang berbentuk gas, kabut,uap, uap air, dan debu berpotensi untuk membuat erosi mukosa hidung. Gangguan fungsi dan perubahan mukosa hidung yang terjadi terutama adalah rusaknya silia, hyperplasia, dan metaplasi sel goblet, serta metaplasi sel epitel menjadi epitel skuamosa. Pemeriksaan fisik yang didapatkan berupa mukosa yang atrofi, ulserasi, atau perforasi septum dan epistaksis. Beberapa penelitian membuktikan terjadinya perubahan epitel yang signifikan pada pemaparan formaldehid, kromium, debu kayu, tembaga, debu nikel dan kulit. 6 Jika perubahan histopatologi dan gangguan fungsional akibat pajanan zat iritan masih reversible, maka gejala membaik setelah pajanan hilang. Sedangkan jika proses inflamasi kronik sudah irreversible, maka gangguan fungsional dapat terjadi secara permanen. 613

3. Reaksi Alergi Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap sesuatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. Individu yanga topi cenderung berkembang menjadi alergi dibanding yang non atopi, walaupun prevalensinya akan menurun setelah umur 50 tahun. Penelitian pada pekerja laboratorium yang terpajan dengan tikus, didapatkan 45% menderita alergi dengan tes cukil kulit positif terhadap tungau dan rumput, menjadi alergi terhadap tikus pada tahun pertama bekerja. Sedangkan pada penderita non atopi hanya 3% yang menjadi alergi terhadap tikus. 6 Alergi ditunjukkan dengan Tes Cukil Kulit, RAST dan Test Provokasi yang sesuai dengan allergen yang didapatkan pada lingkungan kerja. Reaksi silang dapat terjadi pada individu yang telah tersensitisasi. Keadaan ini membuat mukosa hidung lebih rentan terhadap perubahan lingkungan umum termasuk pajanan debu dan perubahan suhu. 6 4. Ikatan Hapten Protein Zat dengan berat molekul rendah yang biasa terdapat dilingkungan kerja, ada yang sangat kecil ukurannya sehingga tidak menimbulkan respon imunologi. Walaupun demikian zatzat tersebut dapat berfungsi sebagai hapten. Hapten akan berikatan dengan albumin serum yang berada di saluran napas sehingga terbentuk konjugat hapten protein yang merupakan imunogen potensial.6 4.5 GAMBARAN HISTOPATOLOGIK Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel Goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1 Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi, serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang irreversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. 1

14

4.6 DIAGNOSIS Langkah-langkah yang yang harus dikerjakan untuk mendiagnosis rhinitis akibat kerja yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, kunjungan lapangan, tes cukil kulit atau IgE spesifik, tes provokasi hidung dan pemeriksaan rhinomanometri. 6 4.6.1 Anamnesis Anamnesis adanya hubungan antara hidung tersumbat, bersin, gatal, dan peningkatan secret hidung dengan pajanan zat di tempat kerja merupakan petunjuk kecurigaan diagnosis rhinitis akibat kerja. Harus diingat bahwa gejala rhinitis akibat kerja terjadi dalam waktu yang lambat, sehingga mungkin saja gejala belum muncul pada saat dilakukan skrinning. Gejala juga akan menghilang setelah tidak ada di lingkunagn kerja, seperti pada saat libur. Adanya perbaikan waktu malam, akhir minggu, dan libur menunjang diagnosis rinitis oleh iritan. 6 4.6.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada saat penyakit aktif akan menunjukkan tanda-tanda inflamasi edema konka dengan peningkatan jumlah secret yang purulen, tetapi harus dibedakan dengan tanda-tanda infeksi sinus paranasal, walaupun rhinitis akibat kerja merupakan faktor predisposisi dari sinusitis. Jika ditemukan mukosa pucat disertai peningkatan secret encer dan jernih merupakan tanda dari rhinitis alergi. Anamnesis akan memiliki bobot yang lebih rendah daripada pemeriksaan fisik, jika didapatkan tanda-tanda mukosa hidung yang kering dan atrofi, pembentukan krusta, epistaksis dan gangguan penghidu. 64.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Tes Cukil Kulit dengan menggunakan ekstrak allergen merupakan alat diagnostic yang tepat untuk membuktikan telah terjadi fase sensitisasi oleh allergen tertentu kepda seorang individu, selama tes ini dilakukan secara benar. Tes positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas tipe 1 (reaksi alergi fase cepat), atau dengan kata lain pada intrakutan individu tersebut terdapat kompleks IgE-sel mast. Untuk menjamin akurasinya, Tes Cukil Kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa wash out obat anti alergi yang terakhir dikonsumsinya.6 Challenge Test atau Nasal Provocation Test atau Tes Provokasi Hidung biasanya dikerjakan dengan cara menempelkan atau menyemprotkan sejumlah kecil allergen / antigen kepada mukosa inferior hidung. TPH dapat diikuti reaksi sistemik berbentuk serangan asma atau reaksi sistemik lain. 615

Pemeriksaan rhinomanometri adalah suatu tekhnik mengukur tahanan jalan napas hidung sebagai alat diagnostik untuk mengevaluasi fungsi jalan napas dan mengevaluasi efektifitas pengobatan. 6 4.7 PENATALAKSANAAN 4.7.1 PADA RINITIS ALERGI 1. Medikamentosa Antihistamin Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral. 1 Antihistamin dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 ( klasik ) dan generasi 2 ( non sedative ). Antihisatmin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak ( mempunyai efek pada SSP ) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal ( non sedative ). 1 Antihisytamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif mengatasi untuk gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok 1 adalah aztemosil dan terfenadin yang mempunya efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian mendadak ( sudah ditarik dari peredaran ). Kelompik kedua adalah loratadin, setirizin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 1

16

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa. 1 Dekongestan Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topical maupun sistemik. Onset obat topical jauh lebih cepat daripada preparat sistemik, namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa dalam jangka waktu lama. Obat dekongestan sistemin yang sering digunakan adalah pseudoefedrin HCl, dan phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, 60 mg untuk dewasa diberikan tiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini adalah insomnia dan iritabilitas. 1

Antikolinergik Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. 1

Kortikosteroid Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama simbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical ( beklometason, budesonide, flunisolide, flukitason, mometason, furoat, dan triamsinolam ). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak responsive terhadapa rangsangan allergen ( bekerja pada respon cepat dan lambat ). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit ( mungkin menghambat ion17

kalsium ) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktivasi sel neutrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 1 Lainnya Pengobatan lainnya untuk rhinitis alergi adalah antileukotrien (zavirlukast/montelukast ), anti IgE, DNA rekombinan. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa pseudoefedrin dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. 1 2. Non medikamentosa KIE :

Penghindaran alergen Bertujuan untuk mencegah kontak antara allergen dengan IgE spesifik dapat dihindari, sehingga degranulasi sel mast tidak berlangsung dan gejala pun dapat di hindari.

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala alergi. Menggunakan Alat Pelindung Diri Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan

3. Imunoterapi sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 1 4.7.2 PADA RINITIS NON ALERGI Penatalaksanan rhinitis non alergi adalah mengobati penyebab dasar yang menimbulkan gejala rinitis. Jika tidak ada penyebab dasar yang ditemukan, kortikosteroid nasal bisa dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Azelastin intranasal sering menguntungkan dalam18

pengobatan rhinitis non alergi. Seperti rhinitis alergi, dekongestan oral dipertimbangkan sebagai dasar untuk mengurangi kongesti nasal. Jika diketahui penyebabnya, maka pengobatannya menghindari factor penyebab seperti penggunaan APD.7 Pengobatan rhinitis non alergi meliputi antihistamin intranasal yaitu azelastine. Azelastine bertindak sebagai antiinflamasi maupun deplesi neuropeptide. Karena keampuhannya sebagai pengobatan topical pada rhinitis, obat azelastine dan kortikosteroid nasal sering digunakan daripada obat sistemik oral.7 Kortikosteroid nasal merupakan terapi andalan untuk rhinitis alergi dan non alergi. Dengan menurunkan inflamasi, kortikosteroid nasal mengurangi edema mukosa dan kebocoran vaskuler dari gejala rinore dan kongesti nasal. Mereka juga menurunkan jumlah antihistamin pada sel mast di mukosa nasal, serta mengurangi gatal dan bersin. Kortikosteroid nasal benar-benar aman, toleransinya baik, dan efek steroid sistemiknya jarang. Penggunaan kombinasi kortikosteroid nasal dan antihistamin hamper efektif mengobati gejala rhinitis alergik maupun nonalergik.7 4.8 KOMPLIKASI Komplikasi rhinitis alergi yang paling sering adalah : 1 1. Polip hidung 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak 3. Sinusitis paranasal

BAB V19

KESIMPULAN Rhinitis akibat kerja adalah penyakit inflamasi pada hidung yang ditandai dengan kongesti nasal, bersin-bersin, rhinorrea, dan gatal, dan/atau keterbatasan aliran udara dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Rhinitis akibat kerja berdasarkan respon tubuh terhadap pajanan zat iritan dibagi menjadi 2 yaitu rhinitis akibat kerja alergi dan rhinitis akibat kerja non alergi. Rhinitis akibat kerja alergi disebabkan oleh zat yang mempunyai berat molekul tinggi dan zat yang mempunyai berat molekul rendah. Hampir semua zat yang mempunyai berat molekul tinggi menyebabkan rhinitis alergi melalui mekanisme yang berhubungan dengan IgE. Zat dengan berat molekul tinggi seperti alergen binantang, serangga, tungau, debu, tepung terigu, dan lateks. Zat dengan berat molekul rendah dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik melalui pembentukan konjugat hapten protein. Rhinitis akibat kerja dengan penyebab zat kimia non alergenik seperti sulfur dioksid (berasal dari pembakaran batu bara atau minyak), florin, uap cat, pestisida, zat pembersih, gas kimia yang korosif seperti amoniak, klorin, klorid asid dan klorid vinil dapat mengakibatkan peradangan yang sangat jelas dan kecacatan yang permanen. Faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya rhinitis akibat kerja yaitu pekerja dengan riwayat atopi, perokok, pengguna narkoba yang dihisap melalui hidung, umur, masa kerja, tempat kerja, pemakaian APD, paparan ozon, kadar debu di udara tempat kerja dan udara dingin.

BAB VI20

DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunkusumo, E., Soetjipto, D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007. 2. Hilger, Peter, A. Hidung : Anatomi dan Fisiologi. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997. 3. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem : Penghidu adalah indera khusus yang paling kurang dipahami. Jakarta : EGC; 2001.4. Lalwani AK. Occupational Rhinitis. In : Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in

Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. New York : McGraw-Hill ; 2008 ; p.265.5. Gautrin D, Desrosiers M, Castano R. Current Opinion in Allergy and Clinical

Immunology : Occupational Rhinitis. 2006. Available at : http://www.medscape.com/viewarticle/527885. Accessed on July 8, 2011.6. Fahrudin I. Rhinitis akibat kerja. FKUI.2006 : 5-10. 7. Scarupa MD, Kaliner MA. Rhinitis. 2006. Available at :

http://www.worldallergy.org/public/allergyc_disease_center/rhinitis/rhinitissynopsis.php. Accessed on July 7, 2011.

21