Download - Tugas PHI Finising

Transcript
Page 1: Tugas PHI Finising

Tugas Pengantar Hukum Indonesia

Nama : Mohammad Qudhsi Zarkasi

NIM : 120710101316

Kelas : A

Ilmu Hukum Tata Negara

1. Peristilahan

Ilmu Hukum Tata Negara adalah salah satu cabang ilmu hukum yang

secara khusus mengkaji persoalan hukum dalam konteks kenegaraan. Kita memasuki

bidang hukum tata negara, menurut Wirjono Prodjodikoro, apabila kita membahas norma-

norma hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum orang atau bukan orang

dengan sekelompok orang atau badan hukum yang berwujud negara atau bagian dari

negara. Dalam bahasa Perancis, hukum tata negara disebut Droit Constitutionnel atau

dalam bahasa Inggris disebut Constitutional Law. Dalam bahasa Belanda dan Jerman, hukum

tata negara disebut Staatsrecht, tetapi dalam bahasa Jerman sering juga dipakai istilah

verfassungsrecht (hukum tata negara) sebagai lawan perkataan verwaltungsrecht (hukum

administrasi negara).

Dalam bahasa Belanda, untuk perkataan hukum tata negara juga biasa

dipergunakan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law). Dalam istilah staatsrecht itu

terkandung 2 (dua) pengertian, yaitu staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan

staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit). Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata

Negara dalam arti sempit itulah yang biasanya disebut Hukum Tata Negara atau

Verfassungsrecht yang dapat dibedakan antara pengertian yang luas dan yang sempit.

Hukum Tata Negara dalam arti luas (in ruimere zin) mencakup Hukum Tata Negara

(verfas- sungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht).

Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai peng- gunaan verfassungslehre

daripada verfassungsrecht. Dalam berbagai kuliahnya yang dikumpulkan oleh salah seorang

mahasiswanya, yaitu Harun Alrasid, pada tahun1959,dan diterbitkan pertama kali pada

tahun 1982, Djokosoetono berusaha mengambil jalan tengah antara Carl Schmitt yang

menulis buku Verfassungslehre dan Hermann Heller dengan bukunya Staatslehre. Istilah

yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalah

Verfassungslehre atau teori konstitusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan menjadi

dasar untuk mempelajari verfassungsrecht, teru- tama mengenai hukum tata negara

dalam arti positif,

1

Page 2: Tugas PHI Finising

yaitu hukum tata negara Indonesia.

Istilah "Hukum Tata Negara" dapat dianggap identik dengan pengertian

"Hukum Konstitusi" yang merupakan terjemahan langsung dari perkataan Constitutional

Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau

Verfassungsrecht (Jerman). Dari segi bahasa, istilah Constitutional Law

dalam bahasa Inggris memang biasa diterjemahkan sebagai "Hukum Konstitusi". Namun,

istilah "Hukum Tata Negara" itu sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris, niscaya perkataan yang dipakai adalah Constitutional Law. Oleh karena itu,

Hukum Tata Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain

belaka dari "Hukum Konstitusi".

Di antara para ahli hukum, ada pula yang berusaha membedakan kedua istilah

ini dengan menganggap bahwa istilah Hukum Tata Negara itu lebih luas cakupan

pengertiannya dari pada istilah Hukum Konstitusi. Hukum Konstitusi dianggap lebih

sempit karena hanya membahas hukum dalam perspektif teks undang-undang dasar,

sedangkan Hukum Tata Negara tidak hanya terbatas pada undang-undang dasar.

Pembedaan ini sebenarnya terjadi karena kesalahan dalam mengartikan perkataan

konstitusi (verfassung) itu sendiri yang seakan-akan diidentikkan dengan undang-

undang dasar (gerundgesetz). Karena kekeliruan tersebut, Hukum Konstitusi dipahami

lebih sempit daripada Hukum Tata Negara.

Perkataan "Hukum Tata Negara" berasal dari perkataan "hukum", "tata", dan "negara",

yang di dalamnya dibahas mengenai urusan penataan negara. Tata yang terkait dengan

kata "tertib" adalah order yang biasa juga diterjemahkan sebagai "tata tertib". Tata negara

berarti sistem penataan negara, yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan

substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, ilmu Hukum Tata Negara dapat

dikatakan merupakan cabang ilmu hukum yang membahas mengenai tatanan struktur

kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan,

serta mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara. Hanya saja, yang

dibahas dalam Hukum Tata Negara atau Hukum Konstitusi itu sendiri hanya terbatas pada

hal-hal yang berkenaan dengan aspek hukumnya saja. Oleh karena itu, lingkup

bahasannya lebih sempit daripada Teori Konstitusi sebagaimana yang dianjurkan untuk

dipakai oleh Prof. Dr. Djokosoetono, yaitu Verfassungslehre atau Theorie der Verfassung.

Istilah Verfassungslehre itu, menurut Djokosoetono lebih luas dari- pada

Verfassungsrecht. Theorie der Verfassung lebih luas daripada Theorie der

2

Page 3: Tugas PHI Finising

Verfassungsrecht. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, Djokosoetono menganggap lebih

tepat untuk menggunakan istilah "Teori Konstitusi" daripada "Hukum Konstitusi" ataupun

"Hukum Tata Negara". Sebab yang dibahas di dalamnya adalah persoalan konstitusi dalam

arti yang luas dan tidak hanya terbatas kepada aspek hukumnya, maka yang lebih penting

adalah Theorie der Verfassung atau Verfassunglehre (Teori Konstitusi), bukan Theorie der

Verfassungsrecht, The orie der Constitutionnel Recht (Teori Hukum Konstitusi atau Teori

Hukum Tata Negara), ataupun Theorie der Gerundgesetz (Teori Undang-Undang Dasar).

Sejalan dengan penggunaan kata theorie dan lehre tersebut, dapat

dibandingkan pula antara staatsrecht dengan staatslehre. Dalam staatslehre di- bahas

mengenai persoalan negara dalam arti luas, sedangkan staatsrecht hanya mengkaji

aspek hukumnya saja, yaitu hukum negara (state law). Dapat disebut beberapa sarjana

yang mempopulerkan istilah staats- lehre ini, misalnya adalah Hans Kelsen dalam

buku "Algemeine Staatslehre" dan Herman Heller dalam bukunya "Staatslehre".

Cakupan pengertiannya jelas le- bih luas daripada staatsrecht, seperti halnya

verfassunglehre lebih luas daripada verfassungsrecht.

Konstitusi atau verfassung itu sendiri, menurut Thomas Paine dibuat oleh rakyat

untuk membentuk pemerintahan, bukan sebaliknya ditetapkan oleh pemerintah untuk

rakyat. Bahkan, lebih lanjut dikatakan oleh Paine bahwa "A constitution is a thing

antecedent to a government and a government is only the creature of a constitution".

Konstitusi itu mendahului pemerintahan, karena pemerintahan itu justru dibentuk

berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi lebih dulu ada daripada pemerintahan.

Pengertian bahwa konstitusi mendahului pemerintahan tetap berlaku, meskipun dalam

praktik banyak negara sudah lebih dulu diproklamasikan baru undang- undang dasarnya

disahkan. Misalnya, the Federal Con stitution of the United States of America baru

disahkan pada tanggal 17 September 1787, yaitu 11 tahun setelah deklarasi kemerdekaan

Amerika Serikat dari Inggris pada tanggal 4 Juli 1776. Bekas negara federasi Uni

Soviet mengesahkan undang-undang dasarnya (Konsti- tusi Federal) pada tahun 1924,

setelah 2 tahun ber- dirinya, yaitu pada 30 Desember 1922. Kerajaan Belanda yang

sekarang juga baru mengesahkan Grondwet pada tanggal 2 Februari 1814, yaitu setelah 2

bulan dan 11 hari sejak proklamasi kemerdekaannya dari Perancis pada tanggal 21

November 1813. Republik Indonesia sendiri yang sudah diproklamasikan sebagai

negara merdeka dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, baru mengesahkan

Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.

3

Page 4: Tugas PHI Finising

Dalam ilmu hukum tata negara juga berlaku doktrin "teori fiktie hukum"

(legal fiction theory) yang menyatakan bahwa suatu negara dianggap telah

memilikikonstitusi sejak negara itu terbentuk. Terbentuknya negara itu terletak pada

tindakan yang secara resmi menyatakannya terbentuk, yaitu melalui penyerahan

kedaulatan (transfer of authority) dari negara induk seperti penjajah kepada negara

jajahannya, melalui pernyataan deklarasi dan proklamasi, ataupun melalui revolusi dan

perebutan kekuasaan melalui kudeta. Secara juridis formal, negara yang bersangkutan atau

pemerin- tahan tersebut dapat dinyatakan legal secara formal sejak terbentuknya.

Namun, legalitas tersebut masih bersifat formal dan sepihak. Oleh karena itu, derajat legi-

timasinya masih tergantung kepada pengakuan pihak- pihak lain.

Istilah constitution dalam bahasa Inggris sepadan dengan perkataan grondwet

dalam bahasa Belanda dan gerundgesetz dalam bahasa Jerman. Grond dalam bahasa

Belanda memiliki makna yang sama dengan Gerund dalam bahasa Jerman yang

berarti "dasar". Sedangkan, wet atau gesetz biasa diartikan undang-undang. Oleh

sebab itu, dalam bahasa Indonesia, grondwet itu disebut dengan istilah undang-

undang dasar. Namun, para ahli pada umumnya sepakat bahwa pengertian kata konstitusi itu

lebih luas daripada undang-undang dasar. Sarjana Belanda seperti L.J. van Apeldoorn

juga menyatakan bahwa constitutie itu lebih luas daripada grondwet. Menurut Apeldoorn,

grondwet itu hanya memuat bagian tertulis saja dari constitutie yang cakupannya

meliputi juga prinsip-prinsip dan norma-norma dasar yang tidak tertulis. Demikian pula di

Jerman, verfassung dalam arti konstitusi dianggap lebih luas pengertiannya daripada

gerundgestz dalam arti undang-undang dasar.

Oleh karena itu, sampai sekarang, dalam bahasa Jerman, dibedakan antara istilah

gerundrecht (hak dasar), verfassung, dan gerundgezet. Kemudian dalam bahasa Belanda

juga dibedakan antara grond-recht (hak dasar), constitutie, dan grondwet. Demikian pula

dalam bahasa Perancis, dibedakan antara Droit Constitutionnel dan Loi Constitutionnel.

Istilah yang pertama identik dengan pengertian konstitusi, sedang yang kedua adalah

undang-undang dasar dalam arti konstitusi yang tertuang dalam naskah tertulis. Untuk

pengertian konstitusi dalam arti undang-undang dasar, sebelum di- pakainya istilah

grondwet, di Belanda pernah dipakai juga istilah staatsregeling. Atas prakarsa Gijsbert

Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah grondwet dipakai untuk menggantikan istilah

staatsregeling.

Oleh sebab itu, di negeri Belanda, seperti di- katakan oleh Sri Soemantri, istilah

4

Page 5: Tugas PHI Finising

grondwet itu baru digunakan pada tahun 1813. Artinya, yang dapat diidentikkan

dengan Undang-Undang Dasar negara jajahan Hindia Belanda adalah Indische

Staatsregeling. Oleh sebab itu, dengan terbentuknya negara Republik Indonesia berdasarkan

UUD 1945 pada tahun 1945, sudah seharusnya undang-undang dasar zaman Hindia Belanda

ini dianggap tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kalaupun berbagai

peraturan perundang- undangan yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda itu masih

diberlakukan berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945, maka daya ikatnya tidak lagi

berdasarkan ketentuan Indische Staatsregeling, melainkan karena UUD 1945 sendiri tetap

memberlakukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang merdeka dan

berdaulat berdasarkan undang-undang dasar yang baru, semata- mata untuk mengatasi

kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang dapat timbul karena situasi perubahan

transisional sebagai negara yang baru merdeka. Semua produk hukum masa lalu, sepanjang

memang masih diperlukan haruslah dilihat sebagai produk hukum Indonesia sendiri yang

memang diperlukan untuk negara hukum Indonesia. Seperti halnya di zaman

kemerdekaan sekarang ini, cukup banyak produk pe- raturan perundang-undangan

yang sebagian atau seluruh materinya berasal dari contoh-contoh praktik hukum di

negara-negara lain yang dinilai patut untuk dicontoh. Atas dasar alasan inilah, maka

pemberlakuan produk-produk hukum peninggalan zaman Hindia Belanda dapat

dibenarkan, meskipun hal itu tetap tidak menutup keharusan untuk melakukan upaya

pembaruan besar-besaran terhadap produk-produk hukum masa lalu itu disesuaikan dengan

kehendak perubahan zaman.

Apalagi, Indonesia dewasa ini berada dalam alam modern yang sangat ditentukan

oleh (i) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, (ii) sistem demokrasi yang

terus tumbuh, dengan (iii) tuntutan sistem ekonomi pasar yang semakin kuat, serta (iv)

diiringi pula oleh pengaruh globalisasi dan gejolak kedaerahan yang sangat kuat. Semua

ini memerlukan respons sistem hukum dan konstitusi yang dapat menjalankan fungsi

kontrol dan sekaligus fungsi pendorong ke arah pembaruan terus menerus menuju

kemajuan bangsa yang semakin cerdas, damai, sejahtera, demokratis, dan berkeadilan.

Definisi Hukum Tata Negara

Menurut Paul Scholten, hukum tata negara itu tidak lain adalah het recht dat

regelt de staatsorgani- satie, atau hukum yang mengatur mengenai tata organisasi

negara. Dengan rumusan demikian, Scholten hanya menekankan perbedaan antara

organisasi negara dari organisasi non-negara, seperti gereja dan lain-lain. Scholten sengaja

5

Page 6: Tugas PHI Finising

membedakan antara hukum tata negara dalam arti sempit sebagai hukum organisasi

negara di satu pihak dengan hukum gereja dan hukum perkumpulan perdata di pihak

lain dengan kenyataan bahwa kedua jenis hukum yang terakhir itu tidak memancarkan

otoritas yang berdiri sendiri, melainkan suatu otoritas yang berasal dari negara. Jika yang

diatur adalah organisasi negara, maka hukum yang mengaturnya itulah yang disebut

sebagai hukum tata negara (constitutional law). Mengenai hubungan antara organisasi

negara dengan warga negara, seperti mengenai soal hak asasi manusia, belum

dipertimbangkan oleh Paul Scholten.

Menurut van der Pot, hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang

menentukan badan-badan yang diperlukan beserta kewenangannya masing-masing,

hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan individu warga negara dalam

kegiatannya. Pandangan van der Pot ini mencakup pengertian yang luas, di samping

mencakup soal-soal hak asasi manusia, juga menjangkau pula berbagai aspek kegiatan

negara dan warga negara yang dalam definisi sebelumnya dianggap sebagai objek kajian

hukum administrasi negara.

Mirip dengan pendapat Paul Scholten, menurut J.H.A. Logemann, hukum tata

negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara. Negara adalah organisasi jabatan-

jabatan. Jabatan merupakan pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi merupakan

penger- tian yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang terdiri

atas fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam keseluru-

hannya, maka dalam pengertian juridis, negara merupakan organisasi jabatan. Hukum tata

negara meliputi baik persoonsleer maupun gebiedsleer, dan merupakan suatu kategori

historis, bukan kategori sistematis. Artinya, hukum tata negara itu hanya bersangkut-paut

dengan gejala historis negara.

Hukum tata negara (verfassungsrecht) disebutkan oleh van Apeldoorn sebagai

staatsrecht dalam arti yang sempit. Sedangkan dalam arti yang luas, staatsrecht

meliputi pula pengertian hukum administrasi negara (verwaltungsrecht atau

administratiefsrecht). Sebenarnya, van Apeldoorn sendiri dalam karya-karyanya

tidak banyak membahas soal-soal yang berkenaan dengan hukum tata

negara (verfassungsrecht), kecuali mengenai tugas-tugas dan kewenangan atau

kewajiban dan hak-hak alat-alat perlengkapan negara. Dalam berbagai bukunya, van

Apeldoorn malah tidak menyinggung sama sekali mengenai pentingnya persoalan

kewarganegaraan dan hak asasi manusia.

6

Page 7: Tugas PHI Finising

Kusumadi Pudjosewojo, dalam bukunya "Pedoman Pelajaran Tata Hukum

Indonesia" merumuskan definisi yang panjang tentang Hukum Tata Negara. Menu-

rutnya, Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara dan bentuk

pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang

bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang selanjutnya menegaskan wilayah dan

lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan

alat-alat perlengkapan yang memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu,

beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu.

Setelah mempelajari rumusan-rumusan definisi tentang Hukum Tata Negara dari

berbagai sumber tersebut di atas, dapat diketahui bahwa di antara para ahli tidak terdapat

kesatuan pendapat mengenai hal ini. Dari pendapat yang beragam itu kita dapat mengetahui

bahwa sebenarnya:

(a) hukum tata negara itu adalah ilmu yang termasuk salah satu cabang ilmu

hukum,yaitu hukum kenegaraan yang berada di ranah hukum publik;

(b) definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh para ahli sehingga tidak hanya

mencakup kajian mengenai organ negara, fungsi dan mekanisme hubungan antar

organ negara itu, tetapi mencakup pula persoalan-persoalan yang terkait dengan

mekanisme hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara;

(c) hukum tata negara tidak hanya merupakan Recht atau hukum dan apalagi hanya

sebagai Wet atau norma hukum tertulis, tetapi juga adalah lehre atau teori, sehingga

pengertiannya mencakup apa yang disebut sebagai verfassungsrecht (hukum

konstitusi) dan sekaligus verfassungslehre (teori konstitusi); dan

(d) hukum tata negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang mempelajari

negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun yang mempelajari negara

dalam keadaan bergerak (staat in beweging).

Dengan demikian, Ilmu Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai

cabang ilmu hukum yang mempelajari prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang

tertuang secara tertulis ataupun yang hidup dalam kenyataan praktik kenegaraan

berkenaan dengan (i) konstitusi yang berisi kesepakatan kolektif suatu komunitas

rakyat mengenai cita-cita untuk hidup ber- sama dalam suatu negara, (ii) institusi-

institusi kekuasaan negara beserta fungsi-fungsinya, (iii) mekanisme hubungan antar

institusi itu, serta (iv) prinsip-prinsip hubungan antara institusi kekuasaan negara

dengan warga negara. Keempat unsur dalam definisi hukum tata negara tersebut di

atas, pada pokoknya adalah hakikat konstitusi itu sendiri sebagai objek utama kajian hukum

7

Page 8: Tugas PHI Finising

tata negara (constitutional law). Karena pada dasarnya, konstitusi itu sendiri berisi (i)

konsensus antar rakyat untuk hidup bersama dalam suatu komunitas bernegara dan

komunitas kewarganegaraan, (ii) konsensus kolektif tentang format kelembagaan

organisasi negara tersebut, dan (iii) konsensus kolektif tentang pola dan mekanisme

hubungan antarinstitusi atau kelembagaan negara, serta (iv) konsensus kolektif tentang

prinsip-prinsip dan mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara tersebut dengan

warga negara.

Unsur – unsur Negara

Untuk terpenuhinya suatu kelompok manusia dalam komunitas masyarakat

agar dapat dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dalam bentuk Negara apabila

sudah memenuhi unsur – unsur daripada Negara. Unsur – unsur Negara tersebut

terdiri dari :

Rakyat

Rakyat merupakan komunitas manusia yang berada dalam kehidupan

masyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan suatu Negara. Orang yang menjadi

anggota dari masyarakat tersebut disebut warga Negara. Di dalam suatu Negara

diadakan pembagian atas warga Negara atau orang asing, masih ada lagi pembagian

yaitu penduduk dan bukan penduduk. Menurut Soepomo, yang di maksud penduduk

ialah orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu Negara. Sah artinya

tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan mengenai masuk dan mengadakan

tempat tinggal tetap dalam Negara yang bersangkutan. Bukan penduduk ialah orang

yang bertempat tinggal tidak tetap dengan tujuan tertentu di dalam Negara yang

bersangkutan, di mana orang tersebut hanya sementara bertempat tinggal dengan

maksud mencapai tujuan tersebut.

Asas pokok yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan

kewarganegaraan seseorang ialah “asas keturunan”(ius sanguinis). Maksudnya,

warga Negara suatu Negara itu semula terdiri dari orang – orang yang mempunyai

satu keturunan dari satu nenek moyang. Kemudian keturunan yang dilahirkan yang

disebabkan oleh temapt dimana faktor keberadaan bertempat tinggal bersama akan

turut juga menentukan terhadap kewarganegaraan seseorang, hal ini disebut dengan

“asas domisili” atau (ius soli).

Dalam hokum tata Negara, di katakan bahwa seseorang yang memiliki dua

status kewarganegaraan maka disebut “bipatride” sedangkan orang yang tidak

8

Page 9: Tugas PHI Finising

memiliki status kewarganegaraannya yang di sebabkan karena tidak menjadi warga

Negara dari suatu Negara atau kehilangan kewarganegaraannya disebut “apatride”.

Wilayah

Wilayah yaitu bagian muka bumi tertentu yang di jadikan tempat utama bagi

warga Negara untuk melaksanakn organisasi Negara, menjadi tempat untuk

menjalankan tugas dalam usaha untuk mencapai tujuannya. Hak Negara untuk

menjalankan kekuasaan atas wilayahnya itu dapat dipisah – pisahkan dalam beberapa

hak, antara lain :

Hak Negara atas penghormatan daerahnya oleh daerah lain.

Hal Negara untuk menentukan kedudukan daerahnya, termasuk melepaskan

sebagian dari daerahnya.

Hak Negara unrtuk menjalankan tindakan – tindakan penguasa dalam

daerahnya.

Pemerintahan yang Berdaulat

Secara sederhana dapat di ungkapkan menurut hokum tata Negara,

pemerintahan yang berdaulart itu akan terbagi menjadi beberapa teori dari pada

kedaulatan itu, di antaranya : teori kedaulatan Tuhan , teori kedaulatan Raja, teori

kedaulatan Negara , teori kedaulatan hokum, dan teori kedaulatan rakyat. Ciri dari

masing – masing bentuk pemerintahan yang berkedaulatan baik kedaulatan Tuhan,

Raja, Negara, Hukum, Rakyat itu dapat di lihat dari cara pemberian kekuasaan itu di

jalankan oleh penguasa Negara.

Pengakuan dari Negara Lain.

Pengakuan Negara berdasarkan hokum tata Negara itu dapat di bedakan

menjadi dua pengakuan yaitu :

Pengakuan de facto

Pengakuan de yure

Untuk pengakuan yang bersifat “de facto” bagi Negara yang baru berdiri yaitu,

apabila Negara itu sudah memenuhi kualifikasi untuk dapat di katakan sebagai sebuah

Negara. Di katakan sebagai sebuah Negara berdasarkan kualifikasi hokum tata Negara

apabila Negara tersebut sudah memenuhi syarat dan unsur – unsur daripada Negara

yaitu minimal harus ada rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.

9

Page 10: Tugas PHI Finising

Menyangkut pemerintahan yang berdaulat dalam prespektif kualifikasi agar dikatakan

sebagai sebuah Negara adalah, apabila Negara tersebut sudah mampu melakukan

penyelenggaraan Negara secara mandiri. Sedangkan untuk pengakuan yang bersifat

“de yure” atau pengakuan secara hokum (terutama hokum internasional) itu

dimaksudkan agar Negara- Negara di dunia ini mengakui otoritas daripada sebuah

Negara yang baru berdiri tersebut. Sehingga dari pengakuan Negara – Negara yang

ada di dunia ini, Negara baru tersebut dapat melakukan hubungan diplomatic dengan

Negara lain baik yang bersifat “bilateral” maupun “multilateral”.

Hukum Tata Negara Formil dan Materiel

J.H.A. Logemann, dalam bukunya "Staatsrecht", membedakan antara formeele

stelselmatigheid dan materieele stelselmatigheid. Istilah yang pertama adalah hukum

tata negara, sedangkan yang kedua adalah asas-asas hukum tata negara. Perbedaan

keduanya seakan-akan adalah perbedaan antara bentuk dan isi, antara vorm en inhoud, atau

antara stelsel en beginsel. Vorm adalah bentuk, sedangkan inhoud adalah isinya. Beginsel

adalah asas-asasnya, sedangkan stelsel adalah pelembagaannya. Istilah vorm en inhoud

dipakai oleh van Vollenhoven seperti dalam Vorm en Inhoud van het Internationale

Recht. Sedangkan Ter Haar Bzn menggunakan istilah beginsel en stelsel seperti dalam

Beginsel en Stelsel van het Adatrecht.

Seperti halnya undang-undang, menurut Djokosoetono, konstitusi yang menjadi

objek kajian hukum tata negara materiel dan formil juga mempunyai tiga arti, yaitu dalam

arti materiel, dalam arti formil, dan dalam arti naskah yang terdokumentasi. Menurutnya,

undang- undang dapat dilihat:

a. dalam arti materiel, algemene verbindende voorschriften;

b. dalam arti formil, yaitu bahwa undang-undang itu telah mendapat persetujuan

(wilsovereen-stemming) bersama antara Pemerintah dan DPR; dan

c. dalam arti naskah hukum yang harus terdokumentasi (gedocumenteerd) dalam

Lembaran Negara supaya bersifat bewijsbaar atau dapat menjadi alat bukti dan stabil

sebagai satu kesatuan rujukan.

Demikian pula konstitusi yang menjadi objek kajian hukum tata negara juga

mempunyai tiga pengertian, yaitu:

a. Constitutie in materiele zin dikualifikasikan karena isinya (gequalificerd naar de

10

Page 11: Tugas PHI Finising

inhoud), misalnya berisi jaminan hak asasi, bentuk negara, dan fungsi-fungsi

pemerintahan, dan sebagainya;

b. Constitutie in formele zin, dikualifikasikan karena pembuatnya (gequalificerd

naar de maker), misalnya oleh MPR;

c. Naskah Grondwet, sebagai geschreven document, misalnya harus diterbitkan dalam

Lembaran Negara, voor de bewijsbaarheid en voor de stabiliteit sebagai satu kesatuan

rujukan, yaitu sebagai naskah kenegaraan yang penting atau belangrijke

staatkundige stukken.

Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis

Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan antara sifatnya yang statis dan dinamis.

Ilmu Hukum Tata Negara itu disebut sebagai ilmu yang statis apabila negara yang dijadikan

objek kajiannya berada dalam keadaan statis atau keadaan diam (staat in rust). Hukum

Tata Negara yang bersifat statis inilah yang biasa disebut sebagai Hukum Tata Negara

dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Tata Negara dalam arti luas, mencakup Hu- kum Tata

Negara dalam arti dinamis, yaitu manakala negara sebagai objek kajiannya ditelaah dalam

keadaan bergerak (staat in beweging). Pengertian yang terakhir inilah yang biasa

disebut sebagai bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara (Administrative Law,

Verwaltungsrecht).

Perhatian pokok ilmu Hukum Tata Negara (Verfassungsrecht, Constitutional Law,

Droit Constitutionnel) adalah menyangkut struktur hukum dan kehidupan bernegara,

sedangkan ilmu Hukum Administrasi Negara memusatkan perhatian pada substansi

sistem pengambilan keputusan dalam kegiatan berpemerintahan.

yang terkait dengan fungsi-fungsi administrasi negara atau tata usaha negara

tersebut sangatlah luas cakupannya. Seperti dikatakan oleh Profesor Kusumadi Pudjosewojo,

yaitu: "Hukum tatausaha meliputi keseluruhan aturan hukum yang menentukan secara

bagaimana alat-alat perlengkapan negara yang bersangkutan hendaknya bertingkah laku

dalam mengusahakan tugas-tugas pemerintahan, perundang-undangan, pengadilan,

keuangan, hubungan luar negeri, dan pertahanan negara beserta keamanan umum".

Norma hukum yang mengatur kesemua aktifitas demikian itu disebut sebagai hukum

administrasi negara atau biasa disebut pula dengan istilah hukum tata usaha negara, dan

ilmu yang membahasnya disebut ilmu Hukum Administrasi Negara atau ilmu Hukum Tata

Usaha Negara (Verwaltungsrechtlehre).

11

Page 12: Tugas PHI Finising

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Di berbagai negara, kedua cabang ilmu hukum ini seringkali disebutkan secara

bersama-sama secara berangkai. Di berbagai universitas di negeri Belanda, misalnya,

cabang ilmu ini disebut dengan perkataan "Staats en Administratief Recht" sebagai mata

kuliah tersendiri yang diajarkan oleh seorang guru besar. Di Amerika Seri-kat dan Inggris,

banyak pula dijumpai buku-buku teks hukum yang diberi judul "Constitutional and

Administrative Law", atau bahkan "Textbook on Constitutional and Administrative

Law". Namun, kedua bidang ilmu hukum ini biasa juga dibedakan sebagai dua cabang ilmu

yang tersendiri. Sedangkan di Jerman, biasa dikenal ada istilah Verfassungsrecht und

Verwaltungs-recht.

Namun demikian, keduanya tetap dapat dibedakan antara satu sama lain. Dalam arti

luas, Hukum Tata Negara itu sendiri memang mencakup juga pengertian hukum tata

negara dalam arti sempit dan hukum administrasi negara. Bagi mereka yang menyetujui

pendapat Oppenheim, perbedaan di antara keduanya dikaitkan dengan perbedaan antara

objek negara yang dikaji, yaitu negara dalam keadaan diam (staat in rust) atau dalam

keadaan bergerak (staat in beweging). Akan tetapi, hukum tata negara di samping

mempelajari aspek statisnya, juga mempelajari berbagai aspek dinamis dari negara.

Menurut van Vollenhoven,68 Hukum Tata Negara adalah rangkaian peraturan

hukum yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan

memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan membagi-bagi pekerjaan

pemerintah kepada banyak alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah

kedudukannya. Sedangkan, Hukum Tata Usaha Pemerintahan digambarkan oleh van

Vollenhoven sebagai serangkaian ketentuan yang mengikat alat-alat negara, baik yang

tinggi maupun yang rendah, pada waktu alat- alat negara itu mulai menjalankan pekerjaan

dalam menunaikan tugasnya, seperti yang ditetapkan dalam Hukum Tata Negara.

Van Vollenhoven mengartikan Hukum Administrasi Negara meliputi seluruh

kegiatan negara dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada tugas pemerintahan dalam

arti sempit saja. Hukum Administrasi Negara itu, menurutnya, juga meliputi tugas

peradilan, polisi, dan tugas membuat peraturan. Menurutnya, Hukum Administrasi

Negara dalam arti luas itu dapat dibagi dalam 4 (empat) bidang, yaitu:

1) bestuursrecht (hukum pemerintahan) ;

2) justitierecht (hukum peradilan);

12

Page 13: Tugas PHI Finising

3) politierecht (hukum kepolisian); dan

4) regelaarsrecht (hukum perundang-undangan).

Negara terpaksa mengambil sebagian tanah rakyat untuk kepentingan tersebut.

Lazimnya penyitaan ini dilakukan dengan ganti rugi kepada rakyat yang bersangkutan. Dapat

juga misalnya Pemerintah memberi konsesi atas na- ma perusahaan-perusahaan (nuts-

bedrijven) untuk kepentingan umum.

Sementara itu, Logemann dalam bukunya "Over de theorie van en stellig staatsrecht"

mengadakan perbedaan yang tajam antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi

Negara. Untuk membedakannya, Logemann bertitik tolak dari sistematika hukum pada

umumnya yang meliputi tiga hal, yaitu:

1) ajaran tentang status (persoonsleer);

2) ajaran tentang lingkungan (gebiedsleer);

3) ajaran tentang hubungan hukum (leer de rechtsbetrekking).

Berhubung Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara merupakan suatu

jenis hukum yang tersendiri (als byzonder soort van recht) yang mem- punyai obyek

penyelidikan hukum, maka sistematika hukum pada umumnya dapat diterapkan pula terhadap

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Sistematika yang dibuat oleh

Logemann, dibagi sebagai berikut:

1) Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi:

a. persoonsleer yaitu mengenai persoon dalam arti hukum yang meliputi hak dan

kewajiban manusia, personifikasi, pertanggungjawaban, lahir dan hilangnya hak

dan kewajiban tersebut, hak organisasi, batasan-batasan dan wewenang;

b. gebiedsleer, yang menyangkut wilayah atau lingkungan di mana hukum itu

berlaku dan yang termasuk dalam lingkungan dimaksud adalah waktu, tempat,

manusia atau kelompok, dan benda.

2). Hukum Administrasi Negara meliputi ajaran mengenai hubungan-hubungan hukum

(leerder rechtsbetrekkingen).

Dengan demikian, menurut J.H.A. Logemann, dapat dikatakan bahwa ilmu

Hukum Tata Negara itu mempelajari:

a. susunan dari jabatan-jabatan;

b. penunjukan mengenai pejabat-pejabat;

c. tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu;

d. kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan;

e. batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap daerah dan orang-orang yang

13

Page 14: Tugas PHI Finising

dikuasainya;

f. hubungan antar jabatan;

g. penggantian jabatan;

h. hubungan antara jabatan dan pemegang jabatan.

Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis, bentuk, serta akibat hukum yang

dilakukan oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.

Kita harus menyadari bahwa masih banyak hal lain yang diatur oleh Hukum Tata

Negara selain hanya soal tugas dan wewenang dari alat-alat atau organ- organ negara.

Dalam Hukum Tata Negara, baik menurut Stellinga maupun menurut Hans Kelsen,

seorang warga negara pun mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Pendek kata, seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen, kriteria

terpenting adalah ada tidaknya (i) norm creating function, dan (ii) norm applying

function yang terkait dengan subjek hukum tertentu. Jika kedua fungsi itu ada, maka

menurut Hans Kelsen, subjek hukum yang menyandangnya dapat disebut sebagai organ

atau state organ, dan menurut Stellinga, norma-norma hukum yang mengatur cara

menjalankan hak dan kewajiban itu termasuk dalam bidang Hukum Administrasi Negara.

Begitu pula Vegting ketika menyampaikan pidato jabatannya dengan judul "Plaats

en aard van het Administratiefsrecht", seperti halnya Kranenburg dalam "Het algemene

Nederlandsch Administratiefsrecht", menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi Negara mempunyai lapangan penyelidikan yang sama. Perbedaan keduanya

hanya terletak pada cara pendekatan yang dipergunakan oleh masing-masing ilmu

pengetahuan itu mengadakan penyelidikan ilmiah. Hukum Tata Negara berusaha

mengetahui seluk beluk organisasi negara dan badan-badan lainnya. Sedangkan, Hukum

Administrasi Negara menghendaki bagaimana caranya negara serta organ-organ negara itu

menjalankan tugasnya. Vegting tidak membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi Negara karena pembatasan wewenang (competentie afbakening) melainkan

karena caranya negara bertindak itu saja pun sudah merupakan pembatasan wewenang juga.

Artinya, bagi Vegting, Hukum Tata Negara itu mempunyai obyek penyelidikan yang

berkenaan dengan hal-hal yang pokok mengenai organisasi Negara, sedangkan objek

penyelidikan Hukum Administrasi Negara adalah peraturan-peraturan yang bersifat teknis.

Asas – asas Hukum Administrasi Negara :

a) Asas kepastian hukum

b) Asas keseimbangan

14

Page 15: Tugas PHI Finising

c) Asas kesamaan dalam mengambil keputusan

d) Asas bertindak cermat

e) Asas motivasi

f) Asas larangan untuk mencampur adukkan kewenangan

g) Asas perlakuan yang jujur

h) Asas keadilan atau kewajaran

i) Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal

j) Asas perlindungan atas pandangan hidup

k) Asas penyelenggaraan kepentingan umum

HUKUM ACARA MK

Sejarah MK

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide

MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan

Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan

Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu

perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah

disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK,

MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara

sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan

Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai

Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah

menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13

Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus

2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi

untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim

konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK

selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang

menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman

menurut ketentuan UUD 1945.

15

Page 16: Tugas PHI Finising

Dasar Hukum Acara MK-RI

1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7 B dan 24C)

2. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 28

sampai engan Pasal 85);

3. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)

4. Dalam praktik

Peraturan Mahkamah Konstitusi RI

1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PMK/2009

Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

2. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19/PMK/2009

Tata Tertib Persidangan

3. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PMK/2009

Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan

Persidangan Jarak Jauh (Video Conference)

4. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 17/PMK/2009

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden Dan Wakil

Presiden

5. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 16/PMK/2009

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah

6. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 15/PMK/2008

16

Page 17: Tugas PHI Finising

Pedoman BeracaraDalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

7. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 14/PMK/2008

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah

8. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 12/PMK/2008

Tentang Prosedur Beracara Partai Politik

9. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 11/PMK/2006

Tentang Pedoman Administrsi yustisial mahkamah Konstitusi

10. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 08/PMK/2006

Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga

Negara

11. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 07/PMK/2005

Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

12. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 06/PMK/2005

Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

13. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 05/PMK/2004

Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004

14. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 04/PMK/2004

Tentang Pedoman Beracara dalam Persidangan Hasil Pemilihan Umum

15. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 03/PMK/2003

17

Page 18: Tugas PHI Finising

Tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi

16. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02/PMK/2003

Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku

17. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 001/PMK/2003

Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Tentang MK

1. Pasal 28 – Pasal 49: Ketentuan hukum acara yang bersifat umum

2. Pasal 50 – Pasal 60 untuk Pengujian Undang-undang

3. Pasal 61 – Pasal 67 untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

4. Pasal 68 – Pasal 73 untuk Pembubaran Partai Politik

5. Pasal 74 – Pasal 79 untuk Perselisihan Hasil Pemilu

6. Pasal 80 – Pasal 85 untuk Pendapat DPR (Ps. 7B UUD)

Asas-Asas Umum Dalam Peradilan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu

pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan.

Panduan tersebut berupa asas-asas hukum yang digunakan sebagai pegangan bagi para hakim

dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi. Asas tersebut meliputi:

Persidangan Terbuka Untuk Umum

Pasal 19 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan

bahwa pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini juga

berlaku bagi persidangan pengujian undang-undang. Dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK

menyatakan bahwa persdiangan terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.

Persidangan yang terbuka merupakan sarana pengawasan secara langsung oleh rakyat.

Rakyat dapat menilai kinerja para hakim dalam memutus sengketa konstitusional.

18

Page 19: Tugas PHI Finising

Independen Dan Imparsial

MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka.

Sifat mandiri dan merdeka berkaitan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap

independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan

yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya

pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain. Selain itu hakim MK juga menjunjung tinggi

konstitusi sebagai bagian dalam sengketa pengujian undang-undang. Apabila hakim tidak

dapat menempatkan dirinya secara imbang merupakan penodaan terhadap konstitusi.

Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Murah

Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa peradilan harus

dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam prakteknya MK membuat

terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas video

conferrence. Hal ini merupakan bagian dari upaya MK mewujudkan persidangan yang

efisien.MK merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman

yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan,mencakup

Imparsialitas Fungsional

Imparsial structural

Imparsial Institusional

Imparsial Individual,(Psl 2 UU No. 24 Thn 2003)

Putusan Bersifat Erga Omnes

Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat para

pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian undang-undang di

MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik. Sifat peradilam di MK adalah erga

omnes yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku

bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

Hak Untuk Didengar Secara Seimbang (Audi Et Alteram Partem)

19

Page 20: Tugas PHI Finising

Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum

yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan. Setiap pihak

mempunyai kesempatan yang sama dalam hal mengajukan pembuktian guna menguatkan

dalil masing-masing.

Hakim Aktif Dan Pasif Dalam Persidangan

Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang

kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan melulu pada

inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu

permohonan dan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif dan tidak boleh aktif

melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian tanpa permohonan.

Ius Curia Novit

Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada

dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan secara luas

sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum (rechts vinding) untuk

menemukan keadilan.

Mekanisme Beracara Dalam Judicial Review

Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh

lembaga peradilan.

Prinsip-Prinsip Hukum Acara Judicial Review

Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di

dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau

hukum acara sengketa dan “non contentieus procesrecht” atau hukum acara non-sengketa.

Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan

20

Page 21: Tugas PHI Finising

hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak

bersengketa/berbentuk permohonan).

Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum

acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial review seharusnya juga terikat

pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:

a.      Asas Praduga Rechtmatig

Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan

mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut.

Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek

yang menjadi perkara harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan

Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya.

b.      Putusan Memiliki Kekuatan Mengikat (Erga Omnes)

Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan

mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang

mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa

putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku

pada siapa saja–tidak hanya para pihak yang berperkara.

Pengajuan Permohonan Atau Gugatan. 

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat

dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun

2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga

terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan

melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat

dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan

mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.

PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan

judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk

mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,

21

Page 22: Tugas PHI Finising

pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial

bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu

pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan

dinamis.

Alasan Mengajukan Judicial Review.

Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji

materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA

No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang

jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya

disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan

peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan

Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang

memutus.

Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial

review adalah sebagai berikut :

Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.

Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan.

Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.

Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang

perlu diklarifikasi

Pihak Yang Berhak Mengajukan Judicial Review.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat

atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih

lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti

22

Page 23: Tugas PHI Finising

apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan

permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka

yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat

semua orang.

Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi

berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi

penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena

pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah

pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk.

Putusan Dan Eksekusi Putusan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan

diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan

kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum.

Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil

mengikat.

Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari,

yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan

tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat.

Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana

kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka

kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap

inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK

(nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada

peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex

tunc).

Dalam hal pencabutan putusan secara extunc, complaint individu terhadap suatu

peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan

hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi

hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu

yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.

23

Page 24: Tugas PHI Finising

Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi

lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka

kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum

pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.

Daftar Pustaka

Mokhammad Najih, Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press, Malang, 2012

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

24