BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan didunia dan dianggap
sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain
prevalensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat
terjadi cirroshis hepatitis dan karsinoma hepatoseluler primer. Sepuluh persen dari infeksi
virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25
tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan karsinoma hepatoselluler
(hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia
balita dimana respon imun belum berkembang secara sempurna.
Pada saat ini didunia diperkirnkan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap (carier)
HBsAg dan 220 juta (78 %) diantaranya terdapat di Asia termasuk Indonesia. Berdasarkan
pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi Hepatitis B berkisar
antara 2,50-36,17 % (Sulaiman, 1994).
Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi pada bayi dan anak,
diperkirakan 25 -45,g% pengidap adalah karena infeksi perinatal. Hal ini berarti bahwa
Indonesia termasuk daerah endemis penyakit hepatitis B dan termasuk negara yang dihimbau
oleh WHO untuk melaksanakan upaya pencegahan (Imunisasi).
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah/darah produk yang
mempunyai konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi, melalui semen, melalui saliva, melalui
alat-alat yang tercemar virus hepatitis B seperti sisir, pisau cukur, alat makan, sikat gigi, alat
kedokteran dan lain-lain. Di Indonesia kejadian hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang
berlanjut menjadi hepatitis kronik, chirosis hepatis dan hepatoma. Satu atau dua kasus
meninggal akibat hepatoma.
Mengingat jumlah kasus dan akibat hepatitis B, maka diperlukan pencegahan sedini
mungkin. Pencegahan yang dilakukan meliputi pencegahan penularan penyakit penyakit
hepatitis B melalui Health Promotion dan pencegahan penyakit melalui pemberian vasinasi.
Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan menyembuhkan pembawa
kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif mencegah berkembangnya penyakit
menjadi carier.
1
1.2 Rumusan masalah
Untuk mengetahui bagaimana penyakit hepatitis B, epidemiologi, cara penularan dan
upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar kasus hepatitis tidak meningkat.
1.3 Tujuan
Tujuan tulisan ini adalah untuk menggambarkan penyakit hepatitis B, epidemiologi,
cara penularan dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar kasus hepatitis tidak
meningkat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis
B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang,
gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian (Laila Kusumawati, 2006).
Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut karena suatu infeksi atau
keracunan. Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia dan dianggap
sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain
prevelensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat
terjadi cirrhosis hepatitis dan carcinoma hepatocelluler primer (Aguslina, 1997).
Hepatitis merupakan peradangan hati yang bersifat sistemik, akan tetapi hepatitis bisa
bersifat asimtomatik. Hepatitis ini umumnya lebih ringan dan lebih asimtomatik pada yang
lebih muda dari pada yang tua. Lebih dari 80% anak – anak menularkan hepatitis pada
anggota keluarga adalah asimtomatik, sedangkan lebih dari tiga perempat orang dewasa yang
terkena hepatitis A adalah simtomatik (Tjokronegoro, 1999).
Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20% penderita
hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirrhosis hepatic
dan carcinoma hepatoculler primer (hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik lebih
tinggi bila infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara
sempurna. Pada saat ini diperkirakan terdapat kira – kira 350 juta orang pengidap (carrier)
HBsAg dan 220 juta (78%) terdapat di Asia termasuk Indonesia (Sulaiman, 1994, dalam
Aguslina, 1997).
2.2 Etiologi Hepatitis
Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg tahun 1965 dan dikenal dengan nama antigen Australia yang
termasuk DNA virus.
3
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut dengan
“Partikel Dane”. Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti
(core). Pada partikel inti terdapat hepatitis B core antigen (HBcAg) dan hepatitis B antigen
(HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipoprotein dan menurut sifat
imunologiknya protein virus hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan
ayr. Subtype ini secara epidemiologis penting karena menyebabkan perbedaan geografik dan
rasial dalam penyebaranya (Aguslina, 1997).
2.3 Patogenesis
Berbagai mekanisme bagaimana virus hepatotropik merusak sel hati masih belum
jelas, bagaimana peran yang sesungguhnya dari hal – hal tersebut. Informasi dari kenyataanya
ini meningkatkan kemungkinan adanya perbedaan patogenetik. Ada dua kemungkinan : (1)
Efek simptomatik langsung dan (2) adanya induksi dan reaksi imunitas melawan antigen
virus atau antigen hepatosit yang diubah oleh virus, yang menyebabkan kerusakan hepatosit
yang di infeksi virus. Organ hati pada tubuh manusia.
Pada hepatitis kronik terjadi peradangan sel hati yang berlanjut hingga timbul
kerusakan sel hati. Dalam proses ini dibutuhkan pencetus target dan mekanisme persistensi.
Pencetusnya adalah antigen virus, autogenetic atau obat. Targetnya dapat berupa komponen
struktur sel, ultrastruktur atau jalur enzimatik. Sedangkan persistensinya dapat akibat
mekanisme virus menghindar dari sistem imun tubuh, ketidakefektifan respon imun atau
pemberian obat yang terus - menerus (Stanley, 1995).
2.4 Patofisiologi
Pada hati manusia merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B
(VHB) mula – mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian
mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma virus Hepatitis B
(VHB) melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjuntnya
nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam asam nukleat virus Hepatitis B
(VHB) akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hopses dan berintegrasi
pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA virus hepatitis B (VHB) memerintahkan sel hati untuk
4
membentuk protein bagi virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme
terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita
terhadap infeksi. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B, Non A dan Non B adalah
sama yaitu adanya peradangan akut di seluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai
infiltrasi sel – sel hati dengan histosit (Aguslina, 1997).
Perubahan morfologi hati pada hepatitis A, B dan non A dan B adalah identik pada
proses pembuatan billiburin dan urobulin. Penghancuran eritrosit dihancurkan dan
melepaskan Fe + Globulin + billiburin. Pengahancuran eritrosit terjadi di limpa, hati, sum –
sum tulang belakang dan jaringan limpoid.
a. Billiburin I
Hasil penelitian eritrosit di lien adalah billiburin I atau billiburin indirect.
Billiburin I masih terkait dengan protein. Di hati billiburin I dipisahkan protein
dan atas pengaruh enzim hati, billiburin I menjadi billiburin II atau
hepatobilliburin.
b. Billiburin II
Billiburin dikumpulkan didalam vesica falea (kandung empedu) dan dialirkan ke
usus melalui ductus choleducutus. Billiburin yang keluar dari vesica falea masuk
ke usus diubah menjadi stercobilin, kemudian keluar bersama feces lalu sebagian
masuk ke ginjal, sehingga disebut urobillinogen. Bila billiburin terlalu banyak
dalam darah akan terjadi perubahan pada kulit dan selaput lendir kemudian
kelihatan menguning sehingga disebut ikterus (Tjokronegoro, 1999).
2.5 Epidemiologi hepatitis b
2.5.1 Etiologi dan masa inkubasi bep a tms b
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen
Australia. Virus ini termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut
"Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel
inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat
Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen
5
permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat imunologik proteinnya
virus Hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini
secara epidemiologis penting, karena menyebabkan perbedaan geogmfik dan rasial
dalam penyebarannya. Virus hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80 hari, rata-
rata 80-90 hari.
2.5.2 Sumber dan cara penularan virus hepatitis b
a. Sumber penularan virus hepatitis b.
Dalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis B berupa:
- Darah
- Saliva
- Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B
- Feces dan urine
- Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang
terkontaminasi virus hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui
nyamuk atau serangga penghisap darah.
b. Cara penularan virus Hepatitis B
Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :
a) Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B
dan pembuatan tattoo
b) Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang
tercemar virus hepatitis B.
Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara
penting yaitu:
a) Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang
HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa
perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi
antar negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik.
b) Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari
seorang pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya,
misalnya: melalui hubungan seksual.
6
2.5.3 Faktor -faktor yang mempengaruhi terjadinya hepatitis b
1. Faktor Host (Penjamu)
Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit hepatitis B.
Faktor penjamu meliputi:
a. Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada
bayi dan anak (25 -45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun
dengan bertambahnya umur dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi
kronis, pada anak usia sekolah 23 -46 % dan pada orang dewasa 3-10%
(Markum, 1997). Hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam
jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B
dibanding pria.
c. Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering
terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis
B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal
ini karena sistem imun belum berkembang sempurna.
d. Kebiasaan hidup
Sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas
seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika
suntikan, pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.
e. Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah
dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi,
7
petugas laboratorium dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak
dengan penderita dan material manusia (darah, tinja, air kemih).
2. Faktor Agent
Penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus
Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.
Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4
subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi
dalam penyebarannya.Subtype adw terjadi di Eropah, Amerika dan
Australia. Subtype ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtype adw
dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan subtype adr
terjadi di Jepang dan China.
3. Faktor Lingkungan
Merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi
perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:
- Lingkungan dengan sanitasi jelek
- Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi
- Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.
- Daerah unit laboratorium
- Daerah unit bank darah
- Daerah tempat pembersihan
- Daerah dialisa dan transplantasi.
- Daerah unit perawatan penyakit dalam
2.5.4 Patologi hepatitis b
Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus
Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik dimembran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma
VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya
nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan
keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan
berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan gel
hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan
virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan
8
hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi.
Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat.
Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B adalah
sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati
disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi
hepatitis akut fulminan.
Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan fibrosis meluas didaerah
portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan terjadi hepatitis kronik
persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak teratur dengan nekrosis
diantara daerah portal yang berdekatan dan pembentukan septa fibrosis yang meluas
maka terjadi hepatitis kronik aktif.
2.5.5 Manefestasi Klinis Hepatitis B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis manefestasi klinis hepatitis B
dibagi dua, yaitu :
a. Hepatitis B akut
Hepatitis B akut yaitu manefestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan
hilangnya virus hepatitis B dari tubuh hopses. Hepatitis B akut terdiri atas
3, yaitu:
1) Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95% penderita dengan gambaran ikterus
yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu, fase praikterik
(prodromal), gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam
tinggi, anoreksia, mual, nyeri di daerah hati disertai perubahan warna air
kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan
hati, fase ikterik, gejala demam dan gastrointestinal mulai tambah hebat,
disertai hepatomegali dan spinomegali. Timbulnya ikterus makin hebat
dengan puncak pada minggu ke dua. Setelah timbul ikterus, gejala
menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal dan
fase penyembuhan, ditandai dengan menurunya kadar enzim
9
aminotransferase, pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri,
pemeriksaan laboratorium menjadi normal.
2) Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1% dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar
mempunyai prognosa buruk dalam 7 – 10 hari, 50% akan berakhir
dengan kematian.
b. Hepatitis B kronik
Hepatitis B kronik yaitu kira – kira 5 -10% penderita hepatitis B akut akan
mengalami hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak
menunjukan perbaikan yang mantap (Aguslina, 1997)
2.5.6 Kelompok Resiko Tinggi Terkena Hepatitis B
Dalam epidemiologi Hapatitis B dikenal kelompok resiko tinggi yang lebih
sering terkena infeksi Virus B dibandingkan yang lain, yang termasuk
kelompok ini adalah :
1. lndividu yang karena profesi / pekerjaannya atau lingkungannya relatif
lebih sering ketularan, misal : petugas kesehatan (dokter, dokter gigi,
perawat, bidan), petugas laboratorium, pengguna jarum suntik, wanita tuna
susila, pria homoseksual, supir, dukun bayi, bayi yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi hepatitis B.
2. Individu dengan kelainan sistem kekebalan selular, misal penderita
hemofilia, hemodialisa, leukemia limfositik, penderita sindroma Down dan
penderita yang mendapat terapi imunosupresif.
2.5.7 Prevalensi Hepatitis B Di Indonesia
Berdasarkan laporan Sistem Surveilance Terpadu (SST) sampai dengan tahun
1997, terlihat adanya penurunan jumlah kasus hepatitis di Puskesmas dan rumah sakit
yaitu dari 48.963 kasus pada tahun 1992 menjadi 16.108 kasus pada tahun 1997.
Sedangkan penderita rawat inap di rumah sakit pada kurun waktu 5 tahun
berfluktuasi. CFR penyakit hepatitis dari kasus rawat inap di RS sejak tahun 1992
sampai dengan 1997 terlihat ada penurunan yaitu dari 2,2 menjadi 1,64. Menurut data
per propinsi tabun 1997 bahwa kasus hepatitis paling banyak terjadi di Jawa Timur
10
(3002 kasus), Sumatera Utara (1564 kasus) dan Jawa Tengah (1454 kasus) dengan
CFR masing-masing 2,8 %; 1,71 % dan 2,15 %.
Penelitian di 14 rumah sakit pada tahun 1994-1996 mendapatkan bahwa kasus
hepatitis B pada tahun 1994 berjumlah 491 dengan 167 kasus di RS Husada Jakarta,
tahun 1995 sebesar 662 kasus dengan 203 kasus di RS Husada Jakarta dan tahun
1996, sebesar 278 kasus dengan 69 kasus di RS Pelni Jakarta.
Penelitian oleh Hartono 1991 menemukan angka prevalensi Hepatitis B di
Bojana Flores sebesar 7,3 %, Sanjaya dkk menemukan HBsAg dan anti HBs pada
anak murid TK dan SD adalah 4 % (HBsAg) dan 14,9 % (anti HBs).
Pada awal tahun 1993 dilakukan pemeriksaan HBsAg dan anti HBs pada
sejumlah 5.009 sampel darah yang diambil dari karyawan RS Ciptomangunkusumo
dan didapat hasil HBsAg 4,59 % dan anti HBs 35,72 % (Sulaiman A, 1993).
11
2.6 Penatalaksanaan Hepatitis B
Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi secara umum
penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai berikut :
a. Istirahat
Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat mutlak
tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali mereka dengan umur tua
dan keadaan umum yang buruk.
b. Diet
Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah – muntah, sebaiknya
diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup kalori (30-35
kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang diberikan secara berangsur
– angsur disesuaikan dengan nafsu makan klien yang mudah dicerna dan tidak
merangsang serta rendah garam (bila ada resistensi garam/air).
c. Medikamentosa
Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan billiburin darah.
Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang berkepanjangan, dimana
transaiminase serumsudah kembali normal tetapi billburin masih tinggal. Pada
keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari, jangan diberikan
12
antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan fenotiazin. Vitamin K diberikan pada
kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam keadaan perkoma atau
koma, penanganan seperti pada koma hepatik (Arif, 2000).
d. Pencegahan Hepatitis B
Menurut Park ada lima pokok tingkatan pencegahan yaitu :
1) Health promotion
Helath promotion yaitu dengan usaha penigkatan mutu kesehatan. Helath
promotion terhadap host berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene
perorangan, perbaikan gizi, perbaikan system tranfusi darah dan mengurangi
kontak erat dengan bahan - bahan yang berpotensi menularkan virus hepatitis B
(VHB).
2) Specific protection
Specific protection yaitu perlindungan khusus terhadap penularan hepatitis B
dapat dilakukan melalui sterilisasi benda–benda yang tercemar dengan
pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan yang langsung
bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga
pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan
darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg
petugas kesehatan (unit onkologi dan dialisa) untuk menghindarkan kontak
antara petugas kesehatan dengan penderita dan juga imunisasi pada bayi baru
lahir.
3) Early diagnosis and prompt treatment
Menurut Noor (2006), diagnosis dan pengobatan dini merupakan upaya
pencegahan penyakit tahap II. Sasaran pada tahap ini yaitu bagi mereka yang
menderita penyakit atau terancam akan menderita suatu penyakit. Tujuan pada
pencegahan tahap II adalah :
13
a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui pemeriksaan berkala pada
sarana pelayanan kesehatan untuk mematiskan bahwa seseorang tidak
menderita penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya.
b) Melakukan screening hepatitis B (pencarian penderita penyakit Hepatitis)
melalui suatu tes atau uji tertentu pada orang yang belum mempunyai atau
menunjukan gejala dari suatu penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi
secara dini adanya suatu penyakit hepatitis B.
c) Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita hepatitis B sehingga cepat
mengalami pemulihan atau sembuh dari penyakitnya.
4) Disability limitation
Disability limitation merupakan upaya pencegahan tahap III dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu penyakit.
Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan
upaya mencegah proses berlanjut yaitu dengan pengobatan dan perawatan
secara khusus berkisanambungan dan teratur sehingga proses pemulihan dapat
berjalan dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hepatitis B tidak
membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu. Akan tetapi sekali
vitus hepatitis B masuk ke dalam tubuh maka seumur hidup akan menjadi
carrier dan menjadi sumber penularan bagi orang lainnya.
5) Rehabilitation
Rehabilitasi merupakan serangkaian dari tahap pemberantasan kecacatan
(disability limitation) dengan tujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi
fisik, psikologis dan sosial. (Noor, 2006).
Rehabilitation yang dapat dilakukan dalam menanggulangi penyakit hepatitis B
yaitu sebagai berikut :
a) Rehabilitasi fisik, jika penderita mengalami gangguan fisik akibat penyakit
hepatitis B
14
b) Rehabilitasi mental dari penderita hepatitis B, sehingga penderita tidak
merasa minder dengan orangtua masyarakat sekitarnya karena pernah
menderita penyakit hepatits B.
c) Rehabilitasi sosial bagi penderita penyakit hepatitis B sehingga tetap dapat
melakukan kegiatan di lingkungan sekitar bersama orang lainnya.
e. Pencegahan Penyakit
Imunisasi hepatitis B pada individu dimaksudkan agar individu membetuk
antibodi yang ditunjukan untuk mencegah infeksi oleh virus hepatitis B. Tujuan
utama pemberian imunisasi hepatitis B yaitu untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian yang disebabkan oleh infeksi hepatitis B dan manifestasinya, secara
tidak langsung menurunkan angka kesakitan dan kematian karena kanker hati dan
pengerasan hati (Depkes RI 2000).
Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif maupun pasif
1. Immunisasi Aktif
Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang
lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah
immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin
hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan
perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut:
Dewasa: Setiap kali diberikan 20 μg IM yang diberikan sebagai dosis awal,
kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
Anak : Diberikan dengan dosis 10 μg IM sebagai dosis awal , kemudian
diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.
Jadwal immunisasi bayi di Puskesmas/Posyandu
Umur Antigen
2 bulan BCG, Polio 1, DPT 1
3 bulan HB 1, Polio 2, DPT 2
4 bulan HB 2, Polio 3, DPT 3
9 bulan HB 3, Polio 4, Campak
15
Jadwal immunisasi bayi di Rumah Sakit
Umur Antigen
0 bulan BCG, Polio 1, HB 1
2 bulan HB 2, Polio 2, DPT 1
3 bulan Polio 3, DPT 2
4 bulan Polio 4, DPT 3
7 bulan HB 3
9 bulan Campak
2. Immunisasi Pasif
Pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan immunisasi pasif
dimana daya lindung HBIG diperkirakan dapat menetralkan virus yang
infeksius dengan menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan
terhadap Post Expossure maupun Pre Expossure. Pada bayi yang lahir dari ibu,
yang HBsAs positif diberikan HBIG 0,5 ml intra muscular segera setelah lahir
(jangan lebih dari 24 jam). Pemberian ulangan pada bulan ke 3 dan ke 5. Pada
orang yang terkontaminasi dengan HBsAg positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg
BB diberikan dalam 24 jam post expossure dan diulang setelah 1 bulan.
2.7 Komplikasi
Komplikasi hepatitis virus yang paling sering dijumpai adalah perjalanan penyakit
yang panjang hingga 4 sampai 8 bulan, keadaan ini dikenal sebagai hepatitis kronik persisten,
dan terjadi pada 5% hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun kronik persisten dan terjadi
pada 5 % hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun terlambat, pasien – pasien hepatitis
kronik persisten akan sembuh kembali.
Pasien hepatitis virus sekitar 5% akan mengalami kekambuhan setelah serangan awal.
Kekambuahan biasanya dihubungkan dengan kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik
yang berlebihan. Ikterus biasanya tidak terlalu nyata dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan
kelainan dalalm derajat yang sama. Tirah baring biasanya akan segera di ikuti penyembuhan
yang tidak sempurna.
Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari hepatitis yang cukup bermakna adalah
perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun tidak sering ditemukan, selain itu juga
16
adanya kanker hati yang primer. Dua faktor penyebab utama yang berkaitan dengan
patogenesisnya adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan sirosis terakit dengan virus
hepatitis C dan infeksi kronik telah dikaitkan pula dengan kanker hati (Sylvia, 1995).
2.8 Prognosis
Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit berjalan ringan dengan perbaikan
biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 – 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis
kronik persisten dan kronk aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut
menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimiawi, pasien tetap
asimtomatik dan jarang terjadi kegagalan hati (Tjokronegoro, 1999).
Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari
1.675 kasus dalam satu kelompok, tertnyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis
karena tranfusi (B dan C) meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan
hepatitis A meninggal dunia (Tjokronegoro, 1999). Di seluruh dunia ada satu diantara tiga
yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia (WHO, 2005).
17
BAB III
KESIMPULAN
Hepatitis B merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang perlu segera
ditanggulangi, mengingat prevalensi yang tinggi dan akibat yang ditimbulkan hepatitis B.
Penularan hepatitis B terjadi melalui kontak dengan darah / produk darah, saliva,
semen, alat-alat yang tercemar hepatitis B dan inokulasi perkutan dan subkutan secara tidak
sengaja. Penularan secara parenteral dan non parenteral serta vertikal dan horizontal dalam
keluarga atau lingkungan. Resiko untuk terkena hepatitis B di masyarakat berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang meliputi aktivitas seksual, gaya hidup bebas, serta pekerjaan yang
memungkinkan kontak dengan darah dan material penderita.
Pengendalian penyakit ini lebih dimungkinkan melalui pencegahan dibandingkan
pengobatan yang masih dalam penelitian. Pencegahan dilakukan meliputi pencegahan
penularan penyakit dengan kegiatan Health Promotion dan Spesifik Protection, maupun
pencegahan penyakit dengan imunisasi aktif dan pasif.
18
DAFTAR PUSTAKA
Aguslina, S., 1997, Hepatitis B Ditinjau dari kesehatan Masyrakat dan Upaya Pencegahan.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Arif, M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aeculapius, Jakarta.
Laila Kusumawati, 2006. faktor – faktor yang berhubungan dengan pemberian Imunisasi
Hepatitis B (0-7 hari), di Kabupaten Bantul, Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Markum, 1997, Imunisasi. FKUI, Jakarta
Sulaiman Ali, Yulitasari, 1995. Virus Hepatitis A sampai E di Indonesia, Yayasan Penerbitan
IDI, Jakarta
Stanley, L.R, 1995, Buku Ajar Patologi, EGC, Jakarta
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 1995. Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC
Tjokronegoro A,. & Sudarsono, S. 1999. Metodelogi Klinik Praktik Kedokteran. Jakarta :
FKUI
19
Top Related