Download - tugas dispepsia

Transcript

Airin Alia H1102011015

1.1. Definisi Sindrom Dispepsia

Dalam konsensus Roma II tahun 2000 disepakati dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit yang berpusat di perut bagian atas.1

Sindrom dispepsia juga didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, atau rasa panas yang menjalar di dada.2

1.3 Epidemiologi Sindrom Dispepsia

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek sehari- hari. Diperkirakan hampir 30 % kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologist merupakan kasus dispepsia. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data pustaka negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7- 41%, tapi hanya 10 - 20% yang mencari pertolongan medis. Angka insiden dispepsia diperkirakan 1-8%. Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya.3 1.4 KlasifikasiKlasifikasi dispepsia tebagi dua, yaitu:5

a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya

b. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispepsia nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

Tabel 1 Diagnosis banding nyeri atau ketidaknyamanan abdomen atas5

1.5 Etiologi

Etiologi sindroma dispepsi antara lain:6

1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), antibiotik (makrolides, metronidazole), besi, KCl, digitalis, estrogen, Etanol (alkohol), kortikosteroid, levodopa, niacin, gemfibrozil, narkotik, quinidine, theophiline

2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)

a. Alergi : susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai dan beberapa jenis buah-buahan

b. Non-alergi

Produk alam: laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein, dan lain-lain.

Bahan kimia: monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat, dll.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan PH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.

3. Kelainan struktural

a. Penyakit oesophagus

Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

Akhalasia

Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock

Ulkus gaster dan duodenum

Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

Kholelitiaasis dan Kholedokolitiasis

Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

Pankreatitis

Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus

Malabsorbsi

Obstruksi intestinal intermiten

Sindrom kolon iritatif

Angina abdominal

Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif

5. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen

Dispepsia biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan yang sifatnya hilang timbul atau terus menerus. Dispepsia disebabkan oleh : Menelan udara (aerofagi), Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung, iritasi lambung (gastritis), Ulkus gastrikum atau Ulkus duodenalis, kanker lambung, peradangan kandung empedu (kolesistitis), intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya), kelainan gerakan usus, pengeluaran asam lambung berlebih pertahanan dinding lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pylori ( sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung, dalam jumlah kecil ) ketika asam lambung yang dihasilkan keluar lebih banyak kemudian pertahanan dinding lambung menjadi lemah, bakteri ini bisa bertambah banyak jumlahnya, apalagi disertai kebersihan makanan yang kurang, gangguan gerakan saluran cerna dan stres psikologis.6

1.6 Patofisiologi

Patofisiologi dari sindroma dispepsia diantaranya:1,3

1. Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala- gejala dispepsia tidak jelas.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.

2. Perubahan sensitivitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukkan sensitivitas terhadap distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

3. Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia fungsional dari pada subyek kontrol yang sehat. Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.

Kepribadian dispepsia fungsional menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan nongastrointestinal seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik dispepsia fungsional ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.

4. Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosis endoskopik gastrtitis akibat infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:

a. Erosi kronik di daerah antrum

b. Nodularitas pada mukosa antrum

c. Bercak-bercak eritema di antrum

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia fungsional masih kontroversi. Pravelensi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia fungsional tidak berbeda dengan kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia fungsional menderita infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia fungsional dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia fungsional dengan Helicobacter pylori positif.7

5. Kelainan fungsional gastrointestinal

Dispepsia fungsional cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional gastrointestinal, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala ekstra gastrointestinal seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi.

Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defekasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia,yaitu perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua penderita.

1.7 Manifestasi klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dipepsia menjadi tiga tipe: 1,71. Dispepsia dengan keluahan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala:

Nyeri epigastrium terlokalisasi

Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid

Nyeri saat lapar

Nyeri episodik

2. Dispepsia degan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia), dengan gejala :

Mudah kenyang

Perut cepat terasa penuh saat makan

Mual

Muntah

Upper abdominal bloating

Rasa tidak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas).

Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.

1.8 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dispepsia diperlukan data anamnesis yang baik, pemeriksaan fisis yang akurat, disertai pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyakit organik/struktural.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik1,8

Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah anak, hubungan antar manusia, hubungan suami-istri, pekerjaan dan pendidikan. Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang. Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia:

Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid

Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum

Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.

Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma

Sebaliknya, bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum

Pasien dispepsia fungsional lebih sering mengeluhkan gejala di luar gastrointestinal, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik. Pemeriksaan fisik untuk menemukan organomegali, tumor abdomen, ascites, jaundice tetap penting dikerjakan untuk menyingkirkan penyakit organik.

Pemeriksaan Penunjang1,3

Pemeriksaan radiologi yaitu, OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter

pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

CLO (rapid urea test)

Patologi anatomi (PA)

Kultur mikoorganisme (MO) jaringan

PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, setidak-tidaknya perlu diperiksa darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan kearah karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9. Dan lain lain pemeriksaan laboratorium yang ada relevansi terhadap penyakit yang menimbulkan sindroma dispepsia.

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi banyak menunjang diagnosis sesuatu penyakit di saluran makan. Setidak - tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esophagus yang menurun terutama dibagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pylorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestine.

Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya regular, semisirkuler, dengan dasar licin.

Kanker di lambung secara radiologi, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltic di daerah kanker, bentukdari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat ganda seperti terpotongnya usus besar, atau tampak dilatasi dari intestine terutama di yeyenum yang disebut Sentinel loops.3. Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan banyak membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya kelainan di esofagus, lambung, dan duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa , lesi tumor jinak atau ganas. Kelainan di esofagus yang sering ditemukan dan perlu diperhatikan di antaranya ialah: esofagitis, tukak esofagus, varises esofagus, tumor jinak atau ganas yang umumnya lokasinya di bagian distal esofagus. Lokasi kelainan di lambung yang terbanyak ialah disekitar angulus, antrum, dan prepilorus, diantaranya berupa gastritis, tukak lambung, tumor jinak atau ganas. Kelaianan di duodenum yang sering ditemukan ialah tanda peradangan (duodenitis), tukak yang lokasinya terbanyak di bulbus dan pars desenden.

Bila pada endoskopi ditemukan tukak baik di esofagus , lambung maupun di duodenum, maka dapat dibuat diagnosis dispepsi tukak. Sedangkan bila tidak ditemukan tukak tetapi hanya tanda peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak.

4. Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang tidak invasif, akhir- akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnosis dari sesuatu penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi pasien yang beratpun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kearah kelainan di traktus biliaris , pankreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esofagus dan lambung.

5. Sidik abdomen

Juga dipakai sebagai pemeriksaan untuk mengeksklusi penyebab organik.

6. Manometri Esofago-gastro-duodenum

Sampai saat ini merupakan sarana penunjang diagnosis yang banyak dikembangkan. Dapat ditemukan kelainan manometrik berupa gangguan fase III migrating motor complex. Banyak ahli yang berpendapat bahwa saat ini dispepsia merupakan gangguan pengosongan lambung.

7. Waktu Pengosongan Lambung

Dapat dilakukan dengan scintigrafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.

1.9 Penatalaksanaan Umum1,2,4,6

Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentral kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.

Pengobatan dispepsia antara lain:

1. Diet

Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai adalah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy Diet. Sekarang lebih dikenal dengan diit lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar diet ialah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, masam, dan alkohol.

2. Antasida 20-150ml/hari

Antasida akan menetralisir sekresi asam HCl. Obat ini biasa digunakan untuk sindroma dispepsia. Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.

3. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.

4. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.

5. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

6. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).

7. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).

1.10 Pencegahan1

Pencegahan dispepsia antara lain:

Atur pola makan seteratur mungkin.

Olahraga teratur.

Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain).

Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon, semangka, dan lain-lain).

Hindari makanan yang terlalu pedas.

Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat antiinflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.

Kelola stres psikologi se-efisien mungkin.

1.11 Prognosis

Sindrom dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan

penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat, Dharmika.2009. Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-5,p 529-33. Jakarta: Internal Publishing

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

3. Tarigan, Pengarapen. 2009. Tukak Gaster dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

4. Dikutip dari http://payayat.blogspot.com/2011/11/anatomi-lambung.html. Tanggal 15 Desember 2012

5. Rani A, Soegondo S, Nasir A, Wijaya I. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Interna Publishing

6. Mansjoer, Triyani, Savitri, Wardhani, Setiowulan. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ke-3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

7. Hirlan.2009. Gastritis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

8. Jawetz, Melnick, Adelbergs. Medical Microbiology. Edisi ke-24. United States of America : McGraw-Hill ; 2007.

8