I. TINJAUAN PUSTAKA
1. Asam Urat
a. Etiologi
Asam urat dinyatakan sebagai suatu senyawa alkaloida turunan
purin (xantin). Senyawa yang ditemukan pertama kali oleh Scheele
pada tahun 1776 ini merupakan produk akhir metabolisme nitrogen
pada burung dan hewan melata (Chairul, 2001).
Asam urat merupakan kristal putih, tidak berbau dan berasa,
mengalami dekomposisi dengan pemanasan menjadi asam sianida,
sangat sukar larut dalam air, serta larut dalam gliserol dan alkali
hidroksida (Budavari, 1996).
Asam urat dihasilkan oleh setiap makhluk hidup akibat proses
metabolisme, yaitu suatu proses kimia dalam inti sel yang berfungsi
menunjang kelangsungan hidup. Bila terjadi penyimpangan dalam
proses ini, terutama terjadi pada orang-orang berusia 40 tahun keatas/
manula, maka asam urat akan menumpuk (Chairul, 2001).
Dalam kondisi normal, mayoritas asam urat diekskresikan
melalui ginjal, kira-kira 10% dari asam urat yang difiltrasi oleh
glomerolus dikeluarkan melalui urin sebagai asam urat. Sedangkan
melalui intestin hanya dikeluarkan dalam jumlah yang sangat sedikit
(Gaw et al., 2005).
Ada beberapa hal yang dapat meningkatkan kadar asam urat
dalam darah dan merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia.
Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga mekanisme,
yaitu :
1) Peningkatan produksi asam urat
Hal ini bisa terjadi karena faktor idiopatik primer, makan yang
kaya purin (banyak mengandung protein), obesitas, alkohol,
polisitemia vera, paget’s disease, proses hemolitik dan psoriasis.
2) Penurunan ekskresi asam urat
Penurunan ekskresi asam urat merupakan sebagian besar penyebab
hiperurisemia (hampir 90% kasus). Penyebabnya antara lain :
idiopatik primer, insufisiensi ginjal, ginjal polikistik, diabetes
insipidus, hipertensi, asidosis, toksik pada kehamilan, penggunaan
obat-obatan seperti salisilat < 2 gram/hari, diuretik, alkohol,
levodopa, ethambutol dan pyrazinamid.
3) Kombinasi antara kedua mekanisme tersebut
4) Dapat terjadi pada defisiensi glukosa 6-fosfat, defisiensi fruktosa 1-
fosfat aldosa, konsumsi alkohol dan shock (Wortmann, 1998).
Kadar asam urat dapat meningkat menjadi hiperurisemia jika
kadarnya lebih dari 420 μmol/l (7,0 mg/dl) dan ada indikasi
peningkatan total urat dalam tubuh (Gaw et al., 1998). Jika pada
hiperurisemia didapatkan hasil bentukan kristal asam urat, maka
hiperurisemia dapat berkembang menjadi gout (Shamley, 2005).
Manusia mengubah nukleosida purin utama, yaitu adenosin dan
guanosin, menjadi produk akhir asam urat yang diekskresikan keluar
tubuh. Adenosin pertama-tama mengalami deaminasi menjadi inosin
oleh enzim adenosine deaminase. Fosforolisis ikatan N-glikosidat
inosin dan guanosin, yang dikatalisis oleh enzim nukleosida purin
fosforilase, akan melepas senyawa ribosa 1-fosfat dan basa purin.
Hipoxantin dan guanin selanjutnya membentuk xantin dalam reaksi
yang dikatalisis masing-masing oleh enzim xantin oksidase dan
guanase. Kemudian xantin teroksidase menjadi asam urat dalam reaksi
kedua yang dikatalisis oleh enzim xantin oksidase. Dengan demikian,
xantin oksidase merupakan lokus yang esensial bagi intervensi
farmakologis pada penderita hiperurisemia dan gout (Rodwell, 2003).
Aktivitas xantin oksidase merupakan tempat penting bagi
intervensi farmakologi pada penderita dengan hiperurisemia dan
penyakit pirai (gout). Pada primata rendah dan mamalia lainnya,
enzim urat-oksidase (urikase) bertanggung jawab untuk hidrolisis
asam urat menjadi alantoin (Schunack et al., 1990).
Adapun mekanisme reaksi dari pembentukan asam urat dapat
dilihat pada gambar :
b. Manifestasi Klinik
Macam hiperurisemia ada dua, yaitu
1) Hiperurisemia Primer
a. Peningkatan produksi purin karena : Idiopatik dan Kelainan
enzim tertentu (sindrom Lesch-Nyhan, penyakit glikogen)
b. Penurunan klirens asam urat
2) Hiperurisemia Sekunder
a. Penurunan katabolisme dan perubahan purin meliputi :
Mieloproliferatif, Limfoproliferatif, Karsinoma dan sarcoma,
anemia hemolitik kronik, Obat sitotoksin, Psoriasis.
b. Penurunan klirens asam urat meliputi : Induksi obat (tiazid,
probenesid), Hiperlaktisasidemia (lactis asidosis, alkohol),
Hiperketosedemia (diabetes ketoasidosis), Diabetes insipidus
(vasopresin-resisten), Sindrom barrier’s (Tierney et al., 2004)
c. Patogenesis
Serangan akut terjadi karena endapan urat, yang jarum-jarum
kristalnya merusak sel dengan menimbulkan nyeri yang hebat. Sendi
membengkak, menjadi panas, merah, dan amat sakit bila disentuh
tersering dijempol kaki, atau pergelangan kaki-tangan dan bahu.
Sering kali terdapat demam tinggi dan pada stadium lanjut tophi,
yakni benjolan keras di cuping telinga, kaki atau tangan. Peradangan
di sendi mengakibatkan pelepasan zat-zat kemotaksis, yang menarik
neutrofil ke cairan synovial. Granulosit ini memakan kristal urat
dengan jalan fagositosis, dengan sendirinya musnah dengan
melepaskan beberapa zat, antara lain suatu glikoprotein, radikal
oksigen, dan enzim-enzim lisosomal (protease, fosfatase), yang
bersifat destruktif bagi tulang rawan. Glikoprotein tersebut bila
diinjeksi intra-artikuler dapat menyebabkab gout. Selain itu dibentuk
juga asam laktat yang mempermudah presipitasi urat selanjutnya
karena sifat asamnya. Mungkin terjadi pula aktivitas sistem
prostagladin. Dengan demikian, proses peradangan diperkuat dan
terpelihara terus-menerus (Tierney et al., 2004).
d. Diagnosis
Diagnosis asam urat dapat dilakukan dengan tiga pemeriksaan, yaitu
sebagai berikut:
1). Pemeriksaan laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat jika pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7
mg/dl untuk pria dan 6 mg/dl untuk wanita. Selain itu kadar asam
urat dalam urin lebih dari 750-1.000 mg/24 jam dengan diet biasa.
2). Pemeriksaan cairan sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop.
Tujuannya untuk melihat adanya kristal urat atau monosodium urat
(kristal MSU) dalam cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis
arthritis yang terjadi perlu dilakukan kultur cairan sendi.
3). Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis digunakan untuk melihat proses yang
terjadi dalam sendi dan tulang serta untuk melihat proses
pengapuran di dalam tofus (Utami, 2005).
e. Pengobatan
Pengobatan pirai dilakukan dengan meningkatkan ekskresi asam
urat melalui kemih atau dengan menurunkan prekursor konversi
xantin dan hipoxantin menjadi asam urat (Katzung et al., 1994).
Untuk mencegah kambuhnya serangan gout dapat diikuti suatu
aturan hidup tertentu. Bila terjadi overweight, perlu menjalani diet
menguruskan tubuh, banyak minum (minimal 2 L perhari), membatasi
asupan alkohol (bir), menghindari stres fisik dan mental serta diet
purin (Tjay dan Raharja, 2002).
Diet yang rendah purin dengan hanya sedikit mengkonsumsi
daging atau ikan, terutama organ dalam (jeroan) seperti otak, hati dan
ginjal. Tetapi kini diketahui bahwa kebanyakan purin dibentuk dalam
tubuh dan hanya sedikit yang berasal dari makanan. Diet yang ketat
hanya dapat menurunkan kadar urat 25% dan tidak dapat mengurangi
timbulnya serangan gout, tetapi diet ini berguna sebagai tambahan dari
terapi terhadap batu ginjal (urat) yang sering kambuh, selain itu
diusahakan untuk tidak menggunakan diuretik tiazid dan menghindari
mengkonsumsi alkohol dan kopi (Tjay dan Raharja, 2002).
Adapun obat yang dapat digunakan sebagai pengobatan
hiperurisemia antara lain : allopurinol yang menghambat xanthine
oksidase, sehingga kadar asam urat dalam serum menurun tanpa
menyebabkan beban ekskresi pada ginjal. Obat-obat urikosurik seperti
probenesid dan sulfonpirazon juga menurunkan kadar urat dalam
serum dengan cara meninggikan ekskresi asam urat melalui urin.
Pasien yang memakai obat-obat ini harus mengeluarkan banyak urin
alkalis supaya asam urat tidak membentuk batu urat. Kolkisin, suatu
obat yang telah lama digunakan untuk mengobati gout, tidak
mempengaruhi pembentukan atau ekskresi urat, tetapi mengubah
respon fagositik leukosit terhadap kristal urat di jaringan (Saches dan
McPherson, 2000).
2. Cathecin Dalam Daun Teh
a. Klasifikasi Daun Teh
Di zaman dahulu, genus Camellia dibedakan menjadi beberapa
spesies teh yaitu sinensis, assamica, irrawadiensiesis. Menurut
Graham HN (1984); Van Steenis CGGJ (1987) dan Tjitrosoepomo
(1989), tanaman teh Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)
diklasifikasikan sebagai berikut (Tuminah, 2004):
Divisi : Spermatophyte (tumbuhan biji)
Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas : Dicotylydoneae (tumbuhan biji belah)
Sub kelas : Dialypetalae
Ordo (bangsa) :Guttiferales (Clusiales)
Famili (suku) :Camelliaceae (Tehaceae)
Genus (marga) :Camellia
Spesies (jenis) :Camellia sinensis
Varietas :Assamica
b. Etiologi
Tanaman teh terutama dibudidayakan di daerah beriklim tropis
dan subtropis, di areal dengan curah hujan sedikitnya 50 inci setahun.
Namun, teh dibudidayakan secara komersial dari katulistiwa hingga
sejauh Cornwall di daratan utama Inggris. Banyak teh kualitas tinggi
ditanam di ketinggian hingga 1500 meter karena tanaman ini tumbuh
lebih lambat dan rasanya yang lebih baik. Camellia sinensis berasal
dari daratan Asia Selatan dan Tenggara, namun sekarang telah
dibudidayakan di seluruh dunia, baik daerah tropis maupun subtropis.
c. Morfologi
Tumbuhan ini merupakan perdu atau pohon kecil yang biasanya
dipangkas bila dibudidayakan untuk dipanen daunnya. Ia memiliki
akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5–4
cm dengan 7 hingga 8 petal.
Daunnya memiliki panjang 4–15 cm dan lebar 2–5 cm. Daun
segar mengandung kafein sekitar 4%. Daun muda yang berwarna hijau
muda lebih disukai untuk produksi teh; daun-daun itu mempunyai
rambut-rambut pendek putih di bagian bawah daun. Daun tua
berwarna lebih gelap. Daun dengan umur yang berbeda menghasilkan
kualitas teh yang berbeda-beda, karena komposisi kimianya yang
berbeda. Biasanya, pucuk dan dua hingga tiga daun pertama dipanen
untuk permrosesan. Pemetikan dengan tangan ini diulang setiap dua
minggu.
d. Kandungan
Daun teh hijau mengandung gugus flavanoid dari polifenol.
Salah satu senyawa aktif teh hijau adalah catechin. Senyawa ini
bersifat sebagai antioksidan. Fungsi antioksidan adalah sebagai
peredam yang dapat menetralisir radikal bebas yang masuk tubuh
serta menghentikan reaksi berantai peroksidasi dari lipid. Selain itu
teh hijau juga dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Diharapkan
dengan pemberian catechin dari ekstrak teh hijau dapat menurunkan
kadar asam urat.
Daun teh mengandung 30-40% polifenol yang sebagiam besar
dikenal sebagai katekin. Katekin adalah senyawa dominan dari
polifenol dan merupakan antioksidan yang kuat, lebih kuat dari
vitamin E, C, dan β-karoten. Didalam teh ada beberapa jenis katekin
yaitu epicatechin (EC), epicatechin gallate (ECG), epigallocatechin
(EGC), dan epigallocatechin gallate (EGCG), gallocatechin, dan
katekin (Alamsyah, 2006).
e. Pemerian Katekin
Katekin adalah senyawa dominan dari polifenol teh hijau yang
merupakan senyawa larut dalam air, tidak berwarna dan memberikan
rasa pahit (Alamsyah, 2006). Katekin teh merupakan kelas flavanol.
(Hartoyo, 2003).
Katekin bersifat asam lemah (pKa1 = 7,72 dan pKa2 = 10,22)
(Lucida, 2006), sukar larut dalam air dan sangat tidak stabil di udara
terbuka. Bersifat mudah teroksidasi pada pH mendekati netral (pH
6,9) dan lebih stabil pada pH rendah (3,45) di bandingkan pH 4,9
(Lucida, 2006).
Sifat fisika Sifat kimia
Warna: putih
Melting point: 104-1060C
Boiling point: 2540C
Tekanan uap: 1 mm Hg pada 750C
Densitas uap: 3,8 g/m3
Flash point: 1370C
Eksplosion limits: 1,97%
(batas atas)
Sensitif terhadap oksigen
Sensitif terhadap cahaya (dapat mengalami
perubahan warna apabila mengalami kontak
langsung dengan udara terbuka)
Berfungsi sebagai antioksidan
Substansi yang dihindari: unsur oksidasi, asam
klorida, asam anhidrat, basa dan asam nitrat.
Larut dalam air hangat
Stabil dalam kondisi agak asam atau netral (pH
optimum 4-8)
Sumber: Anonim, 2001, Michael dan Irene, 1997 dan Alamsyah, 2006.
Katekin memiliki struktur :
f. Fungsi Katekin
Mekanisme kerja flavanoid termasuk catechin adalah
menghambat pembentukan peroksidasi lipid pada tahap inisiasi
dengan berperan sebagai scavengers (peredam) terhadap radikal bebas
oksigen reaktif (O2, 0-) maupun radikal hidroksil (OH, 0). Cara
kerjanya dengan memberikan donor atom H kepada radikal peroksil
membentuk radikal flavanoid dan akan bereaksi dengan oksigen
reaktif (superoksida) sehingga menjadi netral. Dengan reaksi tersebut,
reaksi berantai peroksidasi lipid dapat dihentikan.
Catechin juga menghambat kerja faktor transkripsi gen inflamasi
yaitu Nuclear Factor Kappa Beta (NF-KB) sehingga reaksi inflamasi
dapat dihentikan. Selain itu kerja catechin mirip dengan allupurinol
yang menghambat kerja enzim xantin oksidase sehingga pembentukan
asam urat yang berlebihan dapat dihentikan.
Catechin dapat pula meningkatkan pembentukan enzim urikase
yang menambah asam urat menjadi alantoin yang mudah larut dalam
air serta mudah diekskresikan lewat ginjal.
g. Ekstraksi Senyawa Katekin
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif dengan
menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa
bukan atom dipergunakan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan
tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang
digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam
pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar
(Anonymous, 2007).
Dalam metode ekstraksi bahan alam dikenal suatu metode
maserasi yaitu metode perendaman. Penekanan utama dalam metode
ini adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dengan
jaringan tanaman yang diekstraksi (Guentehr, 1987 dalam skripsinya
Kristianingsih, 2005).
Faktor - faktor yang mempengaruhi ekstraksi adalah:
i. Ukuran bahan
Bahan yang akan diekstrak sebaiknya memilki luas permukaan
yang besar untuk mempermudah kontak antara bahan dengan
pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik (Purseglove et.
al., 1981 dalam skripsinya Setiyowati, 2007). Kehalusan bubuk
yang sesuai akan menghasilkan ekstraksi yang sempurna dalam
waktu yang singkat, sebaiknya bahan yang akan diekstraksi jangan
terlalu halus karena dapat menyebabkan pemampatan (stagnasi)
(Guentehr, 1987 dalam skripsinya Setiyowati, 2007).
ii. Lama dan suhu ekstraksi
Ekstraksi akan berlangsung cepat dilakukan pada suhu tinggi,
tetapi hal ini dapat mengakibatkan beberapa komponen yang
terdapat dalam rempah-rempah akan mengalami kerusakan
(Moestofa, 1981 dalam skripsinya Setiyowati, 2007). Ekstraksi
baik dilakukan pada kisaran suhu 200C-800C tetapi suhu yang
digunakan harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan
(Susanto, 1999 dalam skripsinya Setiyowati, 2007). Menurut
Suryandari (1981) dalam skripsinya Setiyowati (2007) semakin
lama waktu ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan semakin
besar sehingga hasil ekstraksi semakin bertambah banyak.
iii. Jenis dan konsentrasi pelarut
Menurut Somaatmadja (1981) dalam skripsinya Setiyowati (2007),
ada dua pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu
pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak
berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang paling aman adalah
etanol. Pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi
adalah aseton, etil diklorida, etanol, heksana, isopropyl alkhohol
dan metanol (Perry, 1981 dalam skripsinya Setiyowati, 2007).
Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai
dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu pelarut yang
kepolarannya menengah (diklorometan atau etilasetat) kemudian
pelarut yang bersifat polar (metanol atau etanol) (Anonymous,
2007).
Katekin teh stabil dalam air pada suhu kamar. Kadar katekin
menurun sebesar 20% jika dipanaskan pada suhu 98oC selama 20
menit. Saat dipanaskan dalam autoklaf pada suhu 120oC, terjadi
epimerisasi dari (-)- EGCG menjadi (-)-GCG dan kadar katekin
menurun hingga 24%. Katekin bisa menurun hingga 50% jika
dipanaskan selama 2 jam (Anonymous, 2006).
Berdasarkan penelitian Cheong, et.al., (2005) menyatakan
bahwa ekstraksi dipengaruhi bentuk sampel, lama dan suhu ekstraksi.
Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Ekstraksi katekin
dari teh hijau lebih baik jika memakai metode maserasi dengan waktu
tidak lama hal ini terlihat pada tabel :
Komponen Katekin Metode ekstraksi Konsentrasi (µg/mL)
Epikatekin maserasi 130 (t: 60 menit)
soxhlet 45 (t: 350 menit)
Epikatekin gallat maserasi 145 (t: 60 menit)
soxhlet 50 (t: 350 menit)
Epigallokatekin
gallat
maserasi 1050 (t: 60 menit)
Soxhlet 190 (t: 350 menit)
Sumber: Cheong, et.al.(2005)
3. Pil
a. Pengertian
Pilulae menurut FI III adalah suatu sediaan berupa massa bulat
mengandung satu atau lebih bahan obat. Boli adalah pil yang beratnya
300 mg, pembuatannya sama dengan pil. Granula adalah pil kecil
yang beratnya tidak lebih dari 30 mg, mengandung 1 mg bahan obat.
b. Macam Sediaan Pil
i. Bolusà > 300 mg
ii. Pilà 60 – 300 mg
iii. Granul à 1/3 – 1 grain
iv. Parvul à < 20 mg
c. Tujuan Pemberian Sediaan Pil
i. Mudah digunakan/ditelan
ii. Menutup rasa obat yang tidak enak
iii. Relatif > stabil dibanding bentuk sediaan serbuk dan larutan
iv. Sangat baik untuk sediaan yg penyerapannya dikehendaki lambat
d. KERUGIAN PIL
i. Obat yang dikehendaki memberikan aksi yang cepat
ii. Obat yang dalam keadaan larutan pekat dapat mengiritasi
lambung
iii. BO padat/serbuk yang voluminous dan BO cair dalam jumlah
besar
e. PERSYARATAN PIL
i. Homogen (ukuran, bentuk, warna, dosis)
ii. Mempunyai kekenyalan, daya rekat dan kekerasan tertentu
iii. Keseragaman bobot. Dari 20 pit, tidak lebih dari 2 pil yang
masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih
besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak satu
pilpun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih
besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom B, yang tertera
dalam daftar berikut:
Timbang pil satu persatu. Timbang 20 pil sekaligus, hitung bobot
rata-rata.
iv. Kadar air. Tidak lebih dari 10 %. Penetapan dilakukan menurut
cara yang tertera pada Farmakope Indonesia atau Materia Medika
Indonesia.
v. Waktu hancur. Tidak lebih dari 60 menit.
Dalam FI III disyaratkan waktu hancur pil:
Tidak boleh > 15 menit utk pil tak bersalut
Tidak boleh > 60 menit utk pil bersalut gula atau selaput
Utk pil salut enterik: setelah dilakukan pengujian dalam larutan
HCl 0,06 N selama 3 jam, pada pengujian selanjutnya (lar dapar
pH 6,8) waktu hancur pil tidak boleh > 60 menit
Penetapan dilakukan menurut cara yang tertera pada Fermakope
Indonesia atau Materia Medika Indonesia.
Bobot rata-rata Pil Penyimpangan terhadap bobot rata-rata
A B
100 mg sampai 250 mg
251 mg sampai 500 mg
10%
7,5 %
20 %
15
vi. Bahan tambahan Pengawet. Tidak lebih dari 0,1 %
Pengawet yang diperbolehkan :
Metil p - hidroksi benzoat (Nipagin);
Propil p - hidroksi benzoat (Nipasol):
Asam sorbat atau garamnya;
Garam natrium benzoat dalam suasana asam;
Pengawet lain yang disetujui.
vii. Wadah dan penyimpanan. Dalam wadah tertutup baik; disimpan
pada suhu kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar
matahari. Pada penyimpanan bentuknya harus tetap, tetapi tidak
begitu keras sehingga dapat hancur dalam saluran cerna.
f. FORMULASI PIL
a. Zat utama : Berupa bahan obat
b. Zat tambahan berupa :
i. Zat Pengisi : Gunanya untuk memperbesar volum pil.
Contohnya : Akar manis, bolus alba
ii. Zat Pengikat : Membuat massa supaya saling melekat antara
satu dengan yang lain. Contohnya : Sari akar manis, gom akasia
dan tragakan, succus.
iii. Zat pembasah : membasahi massa sebelum dibentuk. Contohnya
: Air, gliserol, sirup, madu, campuran bahan tersebut atau bahan
lain yang cocok.
iv. Bahan Pemecah: Adanya bahan pengikat membuat pil sukar
larut/pecah di lambungà butuh bahan pemecahà Natrium
bikarbonat aa bahan obat.
v. Zat Penabur : Membuat sediaan yang telah terbentuk tidak
melekat satu sama lain atau dengan alat. Contohnya liqopodium
dan talk (BO oksidator/ garam PB, pil putiah, kan disalut,
amilum orizae, MgCO3, radix liquiritiae pulv.
vi. Zat penyalut : Digunakan untuk menutup rasa dan bau yang
tidak enak, melindungi BO dari pengaruh lingkungan (salut
selaput)à garam-garam ferro disalut tolubalsem, menutupi rasa
bahan yg tak enak (salut gulaà saccharum album),
memperbaiki penampilan pil (salut selaput)
II. FORMULA
R/ Katekin 10 mg
Radix q.s
Succhus liq q.s
m.f pil
s 3 dd 4 pil
III. PERALATAN
a. Alat
1. Lumpang
2. Alu
3. Pencetak pil
4. Pemotong pil
5. Pembentuk pil
6. Pipet tetes
7. Alat timbang
8. Alat soxhletasi
9. Waterbath
b. Bahan
1. Serbuk simplisia Daun Teh hijau
2. Etanol 90%
3. Glycyrrhizae Radix
4. Glycyrrizae Succus
5. Lycopodium cum Talcum
6. Aqua glycerinata
IV. PERHITUNGAN DOSIS
Ekstrak daun teh hijau = 10mg/kg BB 500mg/50 kg BB
untuk 1x minum
Pengumpulan simplisia kering
Simplisia kering dari herba daun teh
Determinasi tanaman
Serbuk
Ekstrak encer
penyerbukan
Maserasi etanol 70%
Penguapan
Ekstrak kental
Lolos uji
Uji :organoleptiskadar airkadar abukadar abu larut asamsusut pengeringan
D1x = 50 kg/kg x 10mg = 500 mg
D1hr = 500mg x 3 = 1.500 g
V. PERHITUNGAN BAHAN
Berat @ pil 120 mg
Massa pil 120mg x 120 pil = 14.400 mg
Nama Bahan Perhitungan Jumlah
Ekstrak Katekin 10 mg x 120 pil 1200 mg
Radix 2/3 x 14.400 mg 9600 mg
Succhus liq 14.400 – (1200 + 9600) 3600 mg
VI. CARA PEMBUATAN
a. Tahap Ekstraksi
b. Tahap Peracikan Pil
i. PEMBUATAN MASSA PIL
Tentukan bobot Bahan Obat untuk 1 pil
Tentukan macam dan jumlah bahan tambahan yang dibutuhkan
sesuai dengan jumlah dan sifat Bahan Obat
Campur Bahan Obat + pengisi + bahan pengikat + bahan pemecah
sesuai aturan
Tambahkan bahan pembasah sedikit-sedikit ke dalam camp digilas
kuat ad massa pil yg baik (elastis, tidak lengket di mortir, dan tidak
pecah digulung)
ii. PEMOTONGAN PIL
Massa pil dibentuk silinder yg panjangnya sesuai jumlah yg akan
dibuat sebelumnya pemotong diberi alat penabur dulu
iii. PEMBULATAN PIL
Potongan massa pil dipindahkan ke alat pembulat pil yg sudah diberi
bahan penabur, selanjutnya dibulatkan
Masukkan pil ke wadah melalui lubang yang ada dan dihitung
jumlahnya
VII. EVALUASI
a. PERSYARATAN PIL
1. Memenuhi syarat waktu hancur yang tertera pada compresi (FI Edisi
III)
2. Memenuhi Keseragaman bobot pil (FI Edisi III)
3. Pada penyimpanan bentuknya harus tetap, tetapi tidk begitu keras
sehingga dapat hancur dalam saluran pencernaan
b. EVALUASI PIL
1. Uji waktu Hancur
Kedalam keranjang dimasukkan 6 pil, masing-masing tabung 1 pil.
Waktu hancur dihitung berdasarkan pil yang paling terakhir hancur
Tabung ditutup dengan penutup dan keranjang tersebut dinaik turunkan dalam medium air dengan suhu 370C
Persyaratan: tidak lebih dari 2 pil masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari kolom A dan tidak satupun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata besar dari kolom B.
Hitung bobot rata-rata dan penyimpangan bobot tiap pil terhadap bobot rata-ratanya.
Ditimbang 20 pil satu per satu.
Diletakkan sebuah pil pada pengetes kekerasana-Stokes Monsanto.
Tekanan diatur hingga pil stabil ditempatkan dan jarum penunjuk berada pada skala 0.
Diputar ulirnya, pil akan terjepit semakin kuat sampai akhirnya pil tersebut pecah.
Besarnya tekanan dibaca langsung pada skala.
2. Uji Keseragaman bobot
3. Uji Kekerasan
Ketentuan:
Keseragaman bobot
Timbang 20 pil satu persatu, hitung bobot rata-rata, penyimpangan
terbesar yang diperbolehkan terhadap bobot rata-rata adalah sebagai
berikut:
Bobot rata-rata
Penyimpangan terbesar terhadap bobot rata-rata
yang diperbolehkan (%)
18 pil 2 pil
100mg-250mg 10% 20%
251mg-500mg 7.5% 15%
Waktu hancur:
Untuk pil bersalut waktu hancur tidak lebih dari 60 menit, Dalam air pada
suhu 36-38o C.
Kekerasan pil:
Tidak ada standar yang menuliskan, tetapi ada ketentuan bahwa pil tidak
boleh terlalu keras agar pil hancur dalam saluran pencernaan
VIII. Daftar Pustaka
Chairul, 2001, Tempuyung Untuk Menghadang Asam Urat, Intisari online.
http : //www.denutrition.com/intisari.
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Katzung, B. G., dan Trevor, A. J., 1994, Buku Bantu Farmakologi,
diterjemahkan oleh Staf Pengajar, Laboratorium Farmakologi,
Fakultas Kedokteran dan Universitas Sriwijaya, Cetakan I, 223-
229, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Tierney. M. L., Mc Phee. J. S., Papadakis. M. A., 2004, Current Mal
Diagnosis And Treatment, Edisi 43, 723-727, Mc. Grawl-Hill
Companies. Inc, Amerika.
Tjay HT dan Rahardja K, 2007, Obat-Obat Penting Edisi 6, Departemen
Kesehatan RI, PT Gramedia, Jakarta.
Tjitrosoepomo, G., 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta), 220,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Utami, P., 2003, Tanaman Obat untuk Mengatasi Rematik dan Asam Urat,
28-30, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Utami, I. W., 2008, Efek Fraksi Air Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium
polyanthum Wight.) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Pada
Mencit Putih (Mus musculus) Jantan Galur Balb-C Yang Diinduksi
Dengan Kalium Oksonat, Skripsi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Wijayakusuma, H., 2002, Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia Rempah,
Rimpang dan Umbi. Prestasi Instan Indonesia, Jakarta.
Top Related