Download - Traumatic Brain Injury

Transcript
Page 1: Traumatic Brain Injury

49

Rehabilitasi Cedera Otak (Brain Injury)

Bab ini membahas rehabilitasi pada pasien brain injury, yang didefinisikan sebagai

suatu injury (cedera) pada otak yang didapatkan oleh pasien, yang bersifat

nonprogresif. Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury (TBI)) adalah bentuk

cedera yang paling sering terjadi. Yang kurang begitu sering terjadi, cedera otak biasa

diakibatkan oleh anoksia dan beberapa tipe tertentu dari stroke, infeksi, dan tumor

otak. Meskipun etiolologinya berbeda-beda, banyak pasien penderita brain injury

memiliki riwayat klinis yang serupa—yang berawal dengan melemahnya fungsi

global otak, perkembangan-perkembangan setelah melalui suatu periode

penyembuhan fungsional, dan berakhir dengan level fungsi yang stabil tanpa adanya

kerusakan lebih lanjut. Kesamaan riwayat klinisnya merupakan dasar pemikiran

untuk memberikan program rehabilitasi yang sama dalam memperlakukan brain

injury dengan etilogi-etiologi yang berbeda-beda, seperti halnya program-program

rehabilitasi untuk urat saraf sumsum tulang belakang memperlakukan paraplegia dan

tetraplegia dengan etiologi yang berbeda-beda.

Bab ini mengkaji bahasan mengenai rehabilitasi brain injury dari sudut pandang

kedokteran yang bertanggungjawab terhadap manajemen individu-individu penderita

brain injury setelah berhenti dari perawatan akut. Bab ini menekankan pada

komplikasi-komplikasi medis pasien-pasien rawat inap yang mendapatkan rehabilitasi

brain injury. Topic-topik yang berkaitan dengan rehabilitasi brain injury yang

tercakup di dalam buku ini pada bab-bab yang lain antara lain spastisitas (Bab 29),

gangguan komunikasi (Bab 3), pengukuran outcome (Bab 8), ambulasi (Bab 5), dan

kemampuan hidup sehari-hari (Bab 25).

TBI diketahui sejak awal di dalam catatan sejarah kedokteran,96, 294 namun baru

setelah abad duapuluh-an program-program rehabilitasi untuk pasien-pasien penderita

Page 2: Traumatic Brain Injury

brain injury ditemukan. Selama Perang Dunia I, 44 program-program tersebut mulai

diadakan untuk membantu veteran-veteran perang yang menderita brain injury. Akhir

abad duapuluh-an, perkembangan di bidang ini berkembang dengan begitu pesatnya,

yang setidaknya memacu empat faktor yang terkait satu sama lain: (1)

perkembangan-perkembangan sistem-sistem penanganan trauma dan perawatan

neurosurgical yang meningkatkan angka harapan hidup penderita TBI203,317; (2)

peningkatan prevalensi penderita-penderita yang mampu bertahan dari brain injury

dengan kecacatan jangka panjang, yang menimbulkan beban emosional dan finansial

bagi keluarga mereka351; (3) edukasi publik oleh organisasi-organisasi advokasi

nasional, khususnya Brain Injury Association (dulunya the National Head Injury

Foundation) di Amerika Serikat dan Headway di Inggris, yang meningkatkan

pengenalan publik tentang kebutuhan-kebutuhan para penderita brain injury yang

mampu bertahan dan keluarganya; (4) pertumbuhan pengetahuan mengenai biaya-

biaya—yang diperkirakan $25.9 hingga $34.4 milyar di Amerika Serikat selama

tahun 1986184—bahwa TBI mengganggu hidup kemasyarakatan. Permasalahan brain

injury saat ini merupakan fokus umum perhatian dari berbagai bidang, dari ilmu

syaraf hingga pencegahan injury. Informasi lebih detil mengenai rehabilitasi brain

injury, dan mengenai TBI pada umumnya, dapat ditemui di berbagai buku dan

monograf. 25, 52, 88, 114, 149, 154, 171, 207, 215, 232, 260, 261, 295, 345.

TERMINOLOGI BRAIN INJURY

Traumatic Brain Injury. Istilah Traumatic Brain Injury (TBI) disahkan

sebagai istilah umum untuk semua jenis injury terhadap otak yang disebabkan oleh

faktor eksternal. 207 Seperti spinal cord injury, TBI merupakan istilah umum yang

tidak mengimplikasikan suatu keadaanpatologi yang spesifik. Istilah alternatif dapat

digunakan ketika terdapat kepentingan untuk menjelaskan keadaanpatologi TBI.

Tabel 49-1 menampilkan terminologi yang umum digunakan untuk TBI. Sedangkan

beberapa istilah terdahulu, yang singkatnya disebut head injury (atau head trauma),

Page 3: Traumatic Brain Injury

masih digunakan untuk menunjuk pada TBI, istilah-istilah dapat menyalahartikan.

“Head injury”, sebagai contoh, hanya mengimplikasikan adanya injury pada otak.

Lebih lanjut, istilah ini kadang kala digunakan untuk mengacu pada injury yang

terbatas hanya di bagian wajah atau kepala, namun tanpa adanya injury pada otak.

Dengan demikian istilah brain injury dipilih karena dengan jelas menunjukkan bahwa

injury pd otak merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan bahwa karena

injury tersebut disebabkan oleh faktor eksternal.

Nontraumatik Brain Injuries. Terminologi nontraumatic brain injuries

mengindikasikan etiologi dan keadaanpatologi yang spesifik, dan oleh karenanya siap

untuk dipahami. Istilah anoxic brain injury mengacu pada injury yang disebabkan

oleh berkurangnya suplai oksigen ke otak. 145 Istilah ini ekuivalen dengan istilah

hypoxic brain injury (injury otak hipoksi) dan hypoxic encephalopathy. Penyebab-

penyebab utama injury otak anoksik adalah gagal jantung, gagal pernapasan, dan

keracunan karbon monoksida. Istilah-istilah untuk injury otak nontraumatis lainnya,

seperti stroke (Bab 50), infeksi, tumor, dan injury otak toksik-metaabolik,9 semuanya

sudah cukup dikenal.

PATOFISIOLOGI BRAIN INJURY

Bagian ini membahas patofisiologi kerusakan otak pada TBI dan injury otak anoksik.

Patofisiologi stroke dijelaskan pada Bab 50. Detil-detil mengenai terminologi dan

patofisiologi penyebab injury otak yang lainnya dibahas di bagian-bagian lain.9,24

Traumatic Brain Injury

Patofisiologi TBI berbeda antara cedera kepala terbuka dan cedera kepala tertutup, di

lain sisi, dan cedera otak penetrating di lain sisi. Berbagai macam mekanisme yang

menyebabkan kerusakan otak traumatik dapat dikategorikan kepada mekanisme-

mekanisme primer dan sekunder. Mekanisme primer terjadi pada saat tabrakan;

Page 4: Traumatic Brain Injury

meknisme sekunder dipacu oleh mekanisme primer dan, sebaliknya menyebabkan

kerusakan otak.

TABEL 49-1 Terminologi Traumatic Brain Injury

Istilah Definisi

Cedera kepala

akibat benda

tumpul

Trauma otak

Gegar otak

(commotio cerebri)

Craniocerebral

injury

Closed Head Injury

Cedera kepala

(trauma capitis)

Trauma kepala

Cedera kepala

traumatis

Cedera kepala

terbuka

Cedera tembak

Penetrating head

injury

Traumatic brain injury yang disebabkan oleh kontak

antara kepala dan benda tumpul; sinonim dengan

nonpenetrating traumatic brain injury.

Sinonim dengan traumatic brain injury

Sinonim dengan closed head injury, khususnya, closed

head injury ringan.

Sinonim dengan traumatic brain injury

Traumatic brain injury dimana dura tetap utuh.

Traumatic brain injury dimana dura terbuka (misalnya.,

tercedera karena senjata tajam, terbentur benda

bergerak, bertabrakan)

Tipe penetratic traumatic brain injury (misalnya.,

tembakan, pecahan bom dari suatu ledakan, senapan

angin)

Traumatic brain injury yang disebabkan oleh benda

asing yang berpenetrasi ke dura memasuki otak

(misalnya., cedera tembak, cedera tusukan, laserasi oleh

Page 5: Traumatic Brain Injury

Penetrating brain

injury

Cedera tikaman

suatu bend yng bergerak)

Tipe penetrating traumatic brain injury (misalnya.,

tercedera dengan pisau)

Cedera Kepala Terbuka atau Tertutup

Pada cedera kepala tertutup atau terbuka, otak dapat menjadi rusak karena

kontak antara kepala dengan benda lain, dan/atau oleh akselerasi atau deselerasi otak

dengan tengkorak kepala.146 Pada kasus yang dikarenakan pasien terjatuh, misalnya,

otak dengan cepat berdeselerasi ketika kepala membentur tanah, dan dalam

keadaancedera otak dengan cepat berakselerasi ketika senjata tersebut membentur

kepala. Kecelakaan-kecelakaan motorik biasanya melibatkan baik akselerasi dan

deselerasi.

Sebagian besar meknisme-mekanisme primer kerusakan otak pada cedera

kepala terbuka maupun tertutup disebabkan oleh akselerasi-deselerasi. Mekanisme-

mekanisme utama kerusakan otak dihasilkan oleh akselerasi-deselerasi antara lain

diffuse axonal injury (cedera aksonal yang menyebar), multiple petechial

hemorrhages, cedera memar, dan cedera saraf kranial. Diffuse axonal injury133

mengacu kepada peregangan akson-akson yang tersebar meluas yang disebabkan oleh

rotasi otak mengelilingi aksisnya. Distribusi kerusakan aksonal bersifat konsisten

dengan model sentripetal cedera kepala tertutup,268 yang mempostulasikan bahwa

tekanan yang terdesak oleh karena rotasi otak mencapai nilai terbesar di permukaan

otak dan melemah pada struktur-struktur otak yang lebih dalam. Model tersebut

dengan tepat memprediksikan bahwa neuroimaging (penginderaan saraf)

abnormalitas-abnormalitas pada TBI yang lebih ringan cenderung ditemui di dekat

korteks, namun pada TBI yang lebih parah ditemui di bagian dalam seperti halnya

daerah-daerah permukaan otak.222 Pada TBI yang parah, kerusakan aksonal cenderung

Page 6: Traumatic Brain Injury

lebih besar pada saluran-saluran fiber yang lebih panjang (misalnya., corpus

callosum).146 Tanpa mempedulikan poin yang menyebutkan kontak kepala dengan

suatu objek eksternal, cedera-cedera memar paling sering terjadi di lobus-lobus

inferior frontal dan anterior temporal, dimana tempurung kepala berdekatan dengan

permukaan-permukaan bersifat irregular.146

Mekanisme-mekanisme sekunder kerusakan otak traumatis termasuk

pendarahan intrakranial (epidural, subdural, dan hematoma-hematoma intraserebral),

pembengkakan otak (edema vasogenik atau sitogenik), eksitotoksitas, cedera oksidan,

dan hipoksia yang dikarenakan menurunnya tekanan perfusion serebral. Baik

kerusakan otak primer maupun sekunder dapat menimbulkan peningkatan tekanan

intrakranial (increased intracranial pressure (ICP)), yang sebaliknya dapat memacu

mekanisme-mekanisme kerusakan otak sekunder dalam suatu simpul feedback

positif.146 Perubahan dan herniasi otak dapat dihasilkan oleh efek massa

pembengkakan otak atau pendarahan intrakranial.hidrosefalus merupakan suatu sebab

utama kerusakan otak sekunder yang dapat terjadi jauh setelah cedera tersebut

dialami. (Perhatikan gambar 49-1 sebagai contoh kasus beberapa mekanisme cedera.)

Excitotoxicity mengacu kepada kerusakan neuronal yang diakibatkan oleh

pengeluaran neurotransmitter excitatory di atas normal oleh neuron-neuron yang

mengalami cedera.146 Kerusakan otak excitotoxic dapat dikurangi dengan hipotermia

sedang. 80, 81, 234, 235 Dalam penelitian terhadap 82 orang pasien dengan cedera kepala

tertutup yang parah, Marion et al235 menunjukkan bahwa perawatan awal (rata-rata 10

jam pasca-cedera) dengan hipotermia memacu penyembuhan neurologis dan

meningkatkan outcome pada pasien dengan skor GCS antara 5 hingga 7. para pasien

ditempatkan pada suhu 32 hingga 33°C selama 24 jam, dan kemudian dihangatkan

kembali.

Kerusakan otak dalam TBI oleh karenanya merupakan suatu hasil akhir dari

berbagai efek mekanisme-mekanisme primer dan sekunder ganda yang terjadi

berkali-kali yang pada umumnya menimbulkan pola-pola kerusakan yang cenderung

bersifat menyebar daripada bersifat fokal, terutama pada para pasien penderita cedera

Page 7: Traumatic Brain Injury

kepala tertutup. Pola kerusakan otak yang menyebar konsisten dengan gambar kronis

atrofi serebral dan pembesaran ventrikular yang biasanya didapati pada neuroimaging

para mantan penderita cedera kepala tertutup.18 Selain komonalitas-komonalitas

tersebut, perbedaan-perbedaan individual dalam pola-pola kerusakan otak

menghasilkan pola-pola campuran kerusakan-kerusakan neurologis dan neuro-

psikologi14 pada individu-individu mantan penderita TBI.

Menyadari pentingnya penundaan, atau penderitaan-penderitaan sekunder pada

otak yang tercedera, the American Academy of Neurological Surgery (AANS)

menerbitkan the Guidelines for the Management of Severre Head Injury16 untuk

mempromosikan perawatan yang lebih baik dengan menggunakan panduan

berdasarkan fakta-fakta yang telah dikembangkan setelah diadakan suatu kajian yang

teliti terhadap literatur. Dokumen ini terdiri dari rekomendasi-rekomendasi untuk

resusitasi tekanan darah dan oksigenasi, tekanan perfusi serebral, indikasi-indikasi

monitoring ICP dan ambang batas perawatan, dan teknologi monitoring ICP. Juga

dibahas tentang penggunaan hiperventilasi pada manajemen akut, penggunaan

mannitol dan barbiturat-barbiturat, peranan glukokortikoid-glukokortikoid, perawatan

hipertensi intrakranial terelevasi, dukungan nutrisi, dan peranan profilaksis anti-

serangan.

Cedera Tembak di Otak

Pada cedera-cedera tembak, sebagian besar kerusakan otak terletak sepanjang

jejak peluru dan fragmen-fragmen tulang yang terkena.333 implikasi rehabilitasi utama

adalah bahwa cedera tembak pada otak pada umumnya menyebabkan sindrom-

sindrom kerusakan otak fokal (misalnya., hemiplegia, hemianopsia), dengan secara

relatif menghemat pemfungsian bagian-bagian otak yang terletak jauh dari lintasan

misil. (lihat gambar 49-2 untuk suatu contoh kasus cedera tembak pada otak.)

Page 8: Traumatic Brain Injury

Cedera Otak Anoksik

Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak anoksik adalah iskhemi yang

disebabkan oleh hipoksia atau penurunan perfusi serebral.145 Meskipun cedera otak

anoksik biasanya menyebabkakan kematian dan cedera neuronal yang menyebar,

terdapat kerentanan selektif neuron-neuron pada bagian-bagian di dalam

hippocampus, cerebellum, dan basal ganglia, dan di dalam zona-zona batas arterial

(misal., area-area yang tertutup cairan) pada serebrum.145 neuron-neuron pada

bagian hippocampus adalah bagian yang paling rentan, yang berkorelasi dengan

tingginya frekuensi amnesia yang menyertai cedera otak anoksik.170 Lebih lanjut,

frekuensi gangguan-gangguan gerak pada populasi ini berkorelasi dengan kerentanan

yang bersifat selektif terhadap hipoksia neron-neuron di dalam bangsal ganglia dan

serebellum. (lihat gambar 49-3 untuk suatu contoh kasus cedera otak anoksik.)

EPIDEMIOLOGI CEDERA OTAK TRAUMATIK (TBI)

Bagian ini membahas mengenai epidemiologi TBI. Epidemiologi stroke dibahas di

Bab 50. Epidemiologi tumor-tumor otak dan cedera-cedera otak nontraumatis lainnya

dibahas pada bab lain.9, 224 Secara relatif lebih sedikit hal yang diketahui mengenai

epidemiologi cedera otak anoksik.

TBI merupakan satu dari gangguan-gangguan neurologis yang paling sering

mengakibatkan kematian dan kecacatan. Kajian-kajian mutakhir30, 196, 197-199, 315

meringkas bahwa penelitian-penelitian epidemiologis besar di Amerika Serikat

memperkirakan bahwa angka insidensi tahunan penderita TBI yang dirawat di rumah

sakit mendekati 200 orang per 100,000 orang. Hampir 80% kasus TBI yang baru

dirawat di rumah sakit digolongkan dari kasus TBI ringan hingga memiliki angka

survival hingga mendekati 100%. Angka insidensi TBI ringan yang sesungguhnya

dapat dua kali lebih besar dari yang diperkirakan berdasarkan karcis masuk rumah

sakit karena banyak pasien TBI ringan gagal untuk mendapatkan perhatian medis atau

Page 9: Traumatic Brain Injury

dikirim pulang dari instalasi gawat darurat.87, 316 Sisanya sejumlah 20% kasus-kasus

TBI yang baru dirawat di rumah sakit dapat dikelompokkan secara merata sebagai

kasus TBI sedang dan parah. Akan tetapi, kasus TBI parah memiliki angka

kelangsungan hidup kira-kira 40%, sebagai perbandingan, angka kelangsungan hidup

untuk kasus TBI sedang berkisar antara 90%-95%. Perhatikan Tabel 49-2 untuk

angka-angka penderita TBI baru yang terproyeksikan di Amerika Serikat pada tahun

2000.335

Resiko TBI sangat dapat diperkirakan melalui faktor-faktor demografis. Kaum

pria pada semua kelompok usia beresiko lebih tinggi. Puncak resiko adalah sepanjang

masa dewasa muda dan khususnya antara usia 18-25 tahun.315 Angka insidensi

tahunan pria dalam kelompok usia tersebut diperkirakan antara 350-700 orang per

100,000 orang.198 Hal ini menjelaskan predominansi laki-laki dewasa muda dalam

rehabilitasi TBI.144 Terdapat juga puncak yang lebih kecil pada angka insidensi TBI di

kelompok umur pediatrik dan geriatrik.

Satu-satunya penyebab tidak langsung TBI mungkin adalah penyalahgunaan

alkohol.92, 94 Satu-satunya penyebab eksternal TBI adalah kecelakaan kendaraan

bermotorik, diikuti dengan frekuensi kecelakaan pejalan kaki-pengguna jalan, jatuh,

dan tercedera (termasuk juga cedera tembakan).197, 199 Tingkat pentingnya masing-

masing penyebab eksternal ini berbeda-beda di antara kelompok-kelompok

demografis. Kecelakaan kendaraan bermotorik menempati proporsi terbesar dalam

kasus-kasus penderita TBI dewasa muda. Kecelakaan kendaraa bermotorik dengan

pejalan kaki atau pengguna sepeda biasanya lebih sering terjadi di antara kelompok

anak-anak daripada di kelompok-kelompok umur lainnya. Jatuh secara relatif lebih

sering terjadi pada kelompok umur anak-anak dan orang-orang tua jika dibandingkan

kelompok usia muda atau paruh baya.197,199 Ciri-ciri epidemiologis bahwa TBI

mendukung pandangan bahwa TBI mewakili sebuah jalur umum final permasalahan-

permasalahan sosial seperti penyelahgunaan substansi, kejahatan, bahaya-bahaya

lingkungan dan tempat kerjacara mengemudikan yang tidak aman, penyalahgunaan

anak-anak, dan supervisi anak-anak dan kaum orang tua yang tidak memadai.

Page 10: Traumatic Brain Injury

TEKNIK-TEKNIK PENILAIAN DAN PROGNOSIS

Bagian ini membahas penilaian dan perkiraan outcome TBI dan cedera otak anoksik.

Detil-detil penilaian dan prognostikasi stroke dibahas pada Bab 50. Referensi-

referensi lain membahas topik-topik ini dalam kaitannya dengan nontraumatic brain

injuries (cedera-cedera otak nontraumatis).9, 224

MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN BRAIN INJURY: (GLASGOW

KOMA SCALE) SKALA KOMA GLASGOW

Glasgow Koma Scale. Kurangnya cara untuk mengukur tingkat keparahan

brain injury secara langsung, sebagian besar pusat-pusat menggunakan Glasgow

Koma Scale (GCS)324 untuk mengukur keparahan brain injury, khususnya selama

tahap-tahap awal penyembuhan. Meskipun GCS pada mulanya didesain untuk TBI,

GCS juga digunakan dengan anoxic brain injury dan nontraumatic brain injuries

lainnya yang menjadi penyebab kerusakan kesadaran. Dasar pemikiran menggunakan

GCS sebagai suatu ukuran keparahan adalah hubungan antara tingkat keparahan brain

injury, yang tidak dapat diukur secara langsung, dan tingkat kesadaran, yang dapat

diamati dan diperingkat. GCS, yang nampak pada Tabel 49-3, terdiri dari

pemeringkatan repon-respon motorik dan bicara pasien yang terbaik serta stimulus

terlemah yang dipercederan untuk membuka mata. Pemeringkatan tiga respon

tersebut diringkas untuk mendapatkan suatu skor GCS yang berkisar dari nilai

minimum 3 hingga nilai maksimum 15. Skor-skor GCS yang lebih rendah

mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih rendah dan oleh karenanya

mengimplikasikan tingkat keparahan brain injury yang lebih besar. Sebaliknya, skor-

skor GCS yang lebih tinggi mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih

mendekati normal, yang mengimplikasikan brain injury yang tidak terlalu parah.

Telah ditunjukkan berulang kali bahwa kedalaman dan durasi ketidaksadaran, seperti

yang terukur melalui skor GCS, merupakan satu-satunya prediktor terbaik outcome

TBI.78, 337 Sebuah modifikasi GCS juga tersedia untuk anak-anak.339

Page 11: Traumatic Brain Injury

Skor GCS post-resusitasi yang terendah, diperoleh kapanpun setelah melalui

resusitasi, merupakan indeks keparahan yang terpilih. Keuntungan utama

menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah adalah bahwa skor tersebut

bisa merefleksikan perusakan lebih lanjut yang tidak akan direfleksikan oleh suatu

skor GCS yang diperoleh pada saat itu juga atau segera setelah tiba di rumah sakit.110

Kerugian yang paling utama menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah

adalah bahwa skor tersebut bisa jadi ditekan karena adanya intracranial injuries

(cedera-cedera intrakranial)(misalnya., terguncang).

Apolipoprotein E4 dan Prognosis TBI. Perhatian terhadap adanya

apolipoprotein E4 (APOE-4), sebelumnya dikaitkan dengan penyakit Alzheimer,

begitu banyak laporan yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa jadi merupakan

suatu penanda kerentanan outcome yang tidak diinginkan setelah mengalami TBI. 187,

325 APOE, yang merupakan satu-satunya transporter lipid yang signifikan di dalam

otak dan cairan serebrospinal,85 dipercayai memainkan peran penting pada regenerasi

neural.72 Penelitian-penelitian menyatakan bahwa kehadiran apolipoprotein ε4 allele

(yang memproduksi APOE-4) meningkatkan resiko penyakit Alzheimer116, 307 dan

tingkat keparahan defisit neurologis kronis pada populasi-populasi TBI tertentu.187, 325

Gambar 49-1. Traumatic Brain Injury parah yang terkomplikasi oleh Hidrosefalus.

Pencitraan CT Scan otak seorang wanita berusia 47 tahun yang menderita traumatic

brain injury yang parah karena jatuh dari kuda. Skor Glasgow Koma Scale 14 pada

saat itu juga namun kemudian turun menjadi 8. A. Scan hari pertama menunjukkan

cedera memar hemorrhagic pada lobus kiri frontal dan membengkak pada hemisphere

serebral kiri, dengan cedera memar yang kurang ekstensif pada bagian kanan frontal

dan lobus temporal anterior kiri. B. Scan follow-up 14 hari setelah tercedera

menunjukkan peningkatan cedera memar pada hemisphere serebral kiri yang

mengakibatkan herniasi dini dan efek massa. Lobectomy sebagian di bagian lobus

frontal kiri kemudian dilaksanakan. Ia mendapatkan kembali kemandiriannya dalam

ambulasi dan perawatan diri sendiri, namun tetap dalam keadaan amnesia

Page 12: Traumatic Brain Injury

posttraumatis (PTA/Posttraumatic Amnesia). C. Scan follow-up 2 bulan setelah

mengalami cedera, diperoleh karena masa stabil awal penyembuhan fungsional,

menunjukkan pembesaran sistem ventrikular tergeneralisasi yang konsisten dengan

keterkaitannya dengan hidrosefalus. Setelah peletakkan sebuah ventrikuloperitoneal

(VP) shunt, ia jelas terbebas dari PTA. D. Scan follow-up 7 bulan setelah tercedera,

diperoleh karena munculnya permasalahan-permaslahan kognitif dan perilaku yang

semakin memburuk, menunjukkan hematoma subdural frontal-parietal kanan kronis.

Setelah pengeringan hematoma, penyembuhan fungsional mengalami kemajuan

hingga beberapa bulan ke depan. Setelah 15 bulan pasca cedera, ia lolos evaluasi uji

mengemudi dan mandiri untuk berbelanja dan memasak, namun tidak lagi bekerja.

Evaluasi neuropsikologis menunjukkan defisit memori saat ini yang bersifat selektif,

sedang dan koordinasi tangan kanan.

Gambar 49-2. Penetrating Traumatic Brain Injury yang disebabkan oleh Tembakan.

Hasil CT scan awal atas seorang anak lelaki berusia 14 tahun ditembak dalam jarak

dekat ketika tercedera melibatkan pergulatan di tanah dengan seorang remaja lainnya.

A. cedera entry di area frontal kanan superior dengan jejak peluru melintasi garis

tengah. Fragmen-fragmen tulang indriven mendasari cedera entry. B. cedera Exit di

area temporal-parietal kiri. Perusakan jaringan otak dapat terlihat sepanjang jalur

peluru. Cedera-cedera fokal ke area frontal superior bilateral dan ke area parietal-

frontal kiri berkorelasi dengan paresis kronis ekstrimitas bawah bilateral dan defisit

bahasa-tulisan. Setelah terapi fisik dan okupasional secara menyeluruh, pasien

memperoleh kemandirian dalam memprogram setup dan mobilitas dengan

menggunakan kursi roda bermotorik.

Gambar 49-3. Anoxic Brain Injury. Hasil CT menunjukkan anoxic brain injury pada

seorang pria berusia 32 tahun yang terus-menerus mengalami traumatic brain injury

dan facial injury (zygomatic arch dan fraktur) karena jatuh dari tangga, dan kemudian

mengalami gagal jantung selama 10 menit ketika mengalami operasi facial. Gambar-

Page 13: Traumatic Brain Injury

gambar tersebut dalam posisi horisontal melalui lapisan ventrikel-ventrikel lateral,

yang ditunjukkan sebelum dan sesudah brain injury. A. scan pada hari tersebut,

dilakukan untuk membersihkan pria tersebut guna keperluan operasi, menunjukkan

tidak adanya abnormalitas intrakaranial. B. Scan follow-up yang dilakukan 20 hari

kemudian, menunjukkan perubahan-perubahan atrofik predominan di bagian lobus

frontal dan temporal. Selama bulan pertama pasca tercedera, ia merasa gelisah dan

bingung, namun perlahan-lahan ia pulih kemandiriannya dalam ambulasi dan

perawatan pribadi. Follow –up setelah 4 bulan pasca tercedera mengindikasikan

anesia parah dimana ia emnerima supervisi sepanjang waktu. Setelah 1 tahun pasca

tercedera, tingkat kemampuan fungsinya telah meningkat hingga hanya perlu

supervisi paruh waktu. Pasien tidak pernah lagi bekerja, mengemudi, atau pergi tanpa

pengawasan selama 24 jam.

TABEL 49-2 Angka Insidensi Tahunan Traumatic Brain Injury Yang Terestimasi Di

Amerika Serikat pada Tahun 2000

Populasi A.S.

(kira-kira 274,634,000) per 1 juta

Total insidensi 549,628 2000

Total kematian pre-rumah sakit 54,927 200

Hidup

TBI ringan 395,473 1440

TBI sedang 49,434 180

TBI parah 49,434 180

Dipulangkan (hidup)

TBI ringan 395,473 1440

TBI sedang 45,864 167

TBI parah 20,872 76

Page 14: Traumatic Brain Injury

TABEL 49-3 Glasgow Koma Scale

Respon-respon Pasien Skor

Membuka mata

Mata terbuka secara spontan 4

Mata terbuka ketika diajak berbicara 3

Mata terbuka jika merasakan stimulus menyakitkan 2

Mata tidak membuka 1

Motorik

Mengikuti perintah 6

Membuat gerakan melokalisasi jika terasa sakit 5

Membuat gerakan menarik jika terasa sakit 4

Flexor (decorticate) posturing jika terasa sakit 3

Extensor (decerebrate) posturing jika terasa sakit 2

Tidak ada respon motorik terhadap rasa sakit 1

Verbal

Terorientasi tempat dan tanggal 5

Terbalik-balik namun tetap terdisorientasi 4

Mengucapkan kata-kata tidak jelas, tidak terbalik-balik 3

Mengucapkan suara nonverbal yang tidak dapat dimengerti 2

Tidak dapat bersuara 1

Instruksi: Angka merespon paling baik kategori verbal dan motorik dan stimulus

yang dipercederan untuk membuka mata. Jumlahkan ketiga angka untuk

mendapatkan nilainya.

Pengklasifikasian Tingkat Keparahan TBI

Saat ini dapat diterima bahwa tingkat keparahan TBI sebaiknya diperingkat ke dalam

tiga kategori—ringan, sedang, dan parah—berdasarkan skor GCS pasien (Tabel 49-

4).

Page 15: Traumatic Brain Injury

TBI parah, didefinisikan sebagai skor GCS terendah ≤ 8, mengimplikasikan

bahwa pasien dalam keadaankoma. Koma didefinisikan sebagai suatu keadaan

dimana pasien tidak membuka mata dan tidak menunjukkan fakta-fakta kognisi,

seperti mengikuti perintah-perintah atau berkomunikasi.180, 279 Dalam beberapa

penelitian, kriteria durasi koma > 6 jam telah ditambahkan guna mengantisipasi

kemungkinan skor GCS yang ditekan karena extracranial injury atau sedasi. TBI

parah bertanggung jawab atas mayoritas pasien rawat inap pada unit-unit rehabilitasi

yang mengalami brain injury akut.144 Dalam istilah prognosis, mayoritas bekas

penderita TBI parah memiliki kerusakan-kerusakan neurologis dan neuropsikologis

yang berakibat pada kecacatan-kecacatan fungsional.218, 229, 299 Waktu yang

dipercederan untuk memperoleh penyembuhan neurologis maksimum dari TBI parah

sekitar satu tahun pada kasus-kasus besar,79 namun bisa jadi lebih lama dalam

sebagian besar cedera yang lebih parah.

TBI sedang, yang berkaitan dengan skor GCS terendah pada kisaran 9 hingga

12, mengimplikasikan bahwa tingkat kesadaran pasien bersifat kombatif atau letargis.

Pada skor GCS 9 hingga 12, bisa jadi pasien mengikuti perintah-perintah, namun tida

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tepat. TBI sedang bertanggung jawab

atas minoritas pasien rawat inap pada rehabilitasi TBI akut.144 Dengan

mempertimbangkan prognosis, mayoritas pasien dengan TBI sedang dan dengan

tanpa komplikasi cedera intrakranial mampu untuk memulai lagi aktifitas-aktifitasnya

seperti sebelum mengalami cedera, selain defisit kognitif permanen, ringan dengan

proporsi yang tidak dapat ditentukan pada populasi ini.106, 229, 290, 320 Waktu yang

diperlukan untuk mencapai penyembuhan neurologis maksimal pada TBI sedang

lebih pendek daripada TBI parah.

TBI ringan, didefinisikan oleh skor GCS yang rendah ≥ 13, mengindikasikan

bahwa pasien mungkin mengalami kebingungan atau disorientasi, namun tetap sadar

(atau sadar ketika diajak berbicara), mengikuti perintah-perintah, dan berbicara

dengan koheren. Istilah concussion (gegar otak) yang sering digunakan sebanding

dengan TBI ringan. Diagnosis TBI ringan dapat dibuat meskipun skor GCS-nya

Page 16: Traumatic Brain Injury

adalah 15 jika terdapat bukti hasil neuroimaging trauma otak atau jika cedera tersebut

diakibatkan status mental yang berubah seperti kehilangan kesadaran, mengalami

suatu peride kebingungan atau disorientasi, atau amnesia karena cedera itu sendiri.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa temuan-temuan hasil

neuroimaging merupakan satu-satunya indikator prognostik yang terbaik untuk TBI

ringan, direkomendasikan bahwa pasien dengan GCS berkisar antara 13 hingga 15

dapat dikategorikan berdasarkan computed tomography (CT) scanning kepala yang

menunjukkan trauma otak apapun. Secara spesifik, direkomendasikan bahwa pasien

TBI ringan dengan bukti-bukti trauma otak pada CT scanning sebaiknya

diklasifikasikan sebagai complicated mild TBI atau high risk mild TBI (TBI ringan

beresiko tinggi).173, 350 Sebaliknya, pasien-pasien TBI tanpa bukti-bukti trauma otak

pada CT scanning sebaiknya diklasifikasikan sebagai uncomplicated mild TBI atau

low risk TBI (TBI beresiko rendah). Meskipun TBI ringan itu sendiri bukan

merupakan suatu indikasi untuk rehabilitasi pasien rawat inap, TBI ringan seringkali

terjadi kembali dengan cedera sumsum tulang belakang dan cedera muskuloskeletal

yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi rawat inap.103 Prognosis TBI ringan

jangka panjang bersifat kontroversial, sepertiyang akan didiskusikan kemudian pada

Bab ini. Akan tetapi, telah didemonstrasikan bahwa outcome suatu uncomplicated

mild TBI yang terjadi pada seorang anak atau dewasa muda biasanya dapat kembali

ke aktifitas-aktifitas sebelum mengalami cedera, tanpa terdeteksi adanya kerusakan-

kerusakan.210, 229, 306 Lebih lanjut, waktu yang diperlukan untuk penyembuhan

neurologis dari TBI ringan pada kasus demikian paling lama 3 bulan,212 dan mungkin

kurang dari satu bulan pada sebagian besar kasus.

Sebagai suatu indeks keparahan, GCS memiliki kekurangan-kekurangan yang

signifikan yang penting dipertimbangkan. Pertama, semua atau sebagian dari GCS

bisa jadi tidak dapat diskor selama fase perawatan akut awal karena paralisis kimiawi

atau sedasi, cedera sumsum tulang belakang, cedera wajah, atau intubasi.110, 233

sensitifitas GCS terhadap sedasi dapat menjadi permasalahan utama dalam

pengelompokan tingkat keparahan cedera otak. Meskipun skor GCS pada seorang

Page 17: Traumatic Brain Injury

pasien dalam keadaan koma bisa jadi tidak terpengaruh oleh intubasi endotrakeal

(yang menghalangi pasien untuk melakukan respon verbal), intubasi dapat

mengaburkan perbedaan antara TBI sedang dan TBI ringan. Skor GCS dapat

terpengaruh oleh intoksikasi. Skor GCS juga tidak dapat diketahui padapasien-pasien

yang tidak memahami bahasa penguji.180 Meskipun skor GCS kadang kala tidak

tercatat selama periode perawatan akut, biasanya memungkinkan untuk memberikan

skor GCS secara retrospektif berdasarkan catatan-catatan status mental dan

neurologis pasien.

TABEL 49-4. Pengklasifikasian Tingkat Keparahan Cedera Otak Traumatis

(TBI) Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)

TBI ringan—skor GCS 13-15 pada poin terendah setelah resusitasi dan tidak

ada abnormalitas-abnormalitas yang terkait dengan TBI pada pemeriksaan

neurologis

Uncomplicated mild TBI—CT scan normal otak

Complicated mild TBI—CT scan otak menunjukkan trauma otak

TBI sedang—skor GCS 9-12 pada poin terendah setelah resusitasi.

TBI parah— skor GCS 3-8 pada poin terendah setelah resusitasi.

Neuroimaging Cedera Otak

CT scanning dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan modalitas-moda;itas

neuroimaging yang utama yang diaplikasikan pada cedera otak dan khususnya pada

TBI.131, 134, 174 Pada TBI, CT merupakan teknik alternatif selama tahap perawatan akut

karena sensitifitasnya terhadap adanya darah, fraktur-fraktur tengkorak atau wajah,

dan sebagian besar cedera intrakranial lainnya yang membutuhkan perawatan

kegawatdaruratan. CT scan kepala bisa didapatkan dengan cepat dan tidak bersifat

kontraindikasi dengan adanya material logam di dalam tubuh atau peralatan

penunjang hidup. Keterkaitan-keterkaitan antara hasil-hasil awal CT scanning otak

Page 18: Traumatic Brain Injury

dan outcome total di kemudian hari (kemampuan untuk tetap bertahan sadar vs.

kematian atau vegetatif) dapat dipahami dengan baik. Temuan-temuan CT normal

menunjukkan prognosis yang terbaik, dan temuan-temuan CT pada hematoma

subdural akut, pendarahan intraserebral, dan pembengkakan hemisphere bilateral

besar-besaran menunjukkan prognosis yang lebih buruk.110, 337 Nilai temuan CT scan

dalam memprediksi outcome mantan penderita TBI selama rehabilitasi masih perlu

didefinisikan.90

MRI otak pada umumnya lebih sensitif daripada CT lesi-lesi otak traumatis karena

resolusinya yang lebih besar. MRI secara selektif lebih sensitif daripada CT terhadap

cedera-cedera sayatan nonpendarahan dan terhadap luka-luka memar di beberapa area

tertentu, seperti area frontal inferior dan batang otak, yang terletak di dekat

permukaan-permukaan yang tulang-tulangnya menonjol yang menghasilkan artefak

pada CT scanning.131 Kekurangan-kekurangan MRI adalah waktu yang diperlukan

untuk scanning cukup lama, ketidakmampuan terakses pasien selama masa tersebut,

dan kontraindikasinya dengan material-material logam di dalam tubuh pasien atau

peralatan medis. (Lihat Gambar 49-4 untuk suatu kasus contoh scan otak MRI pada

pasien penderita TBI).

Usaha-usaha untuk memperluas peran CT dan MRI sebagai indikator

prognostik telah dilakukan, namun kemampuan mereka untuk memprediksi outcome

bervariasi. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan outcome yang buruk pada

pasien-pasien dengan abnormalitas-abnormalitas CT seperti kompresi sisternal dan

herniasi.257, 332 Penelitian-penelitian lain327, 365 tidak menemukan CT scan memiliki

nilai prediktif dalam menentukan outcome fungsional. Nilai MRI dalam

memprediksikan outcome rehabilitasi TBI nampaknya menjanjikan jika dipandang

katerkaitan antara abnormalitas-abnormalitas MRI dan defisit-defisit neuropsikologis

pada pasien-pasien TBI ringan dan sedang.223 MRI lebih bermanfaat daripada CT

scanning dalam perencanaan rehabilitasi karena MRI lebih membantu dalam

menjelaskan defisit-defisit neurologis dan neuropsikologis pasien.

Page 19: Traumatic Brain Injury

Akhirnya, hasil-hasil penelitian yang menjanjikan yang diperoleh dengan CT

scanning emisi proton tunggal (SPECT) pada otak pasien TBI143, 226 menyatakan

kemungkinan bahwa SPECT scanning dapat memiliki peran penting dalam

pengevaluasian ketidasadaran atau cedera otak ringan para pasien di masa mendatang.

Penelitian lain mendemonstrasikan kegunaan SPECT dalam pengidentifikasian

pesien-pasien dengan hasil yag tidak baik.6 Kegunaan potensial SPECT scanning

dalam cedera otak telah dikaji akhir-akhir ini.70, 166, 328, 367

GAMBAR 49-4. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap cedera otak traumatis yang

parah. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap seorang wanita berusia 32 tahun yang

terluka dalam suatu kecelakaan antara pejalan kaki dengan pengendara mobil 1 bulan

sebelumnya. CT scan awal menunjukkan hematoma subdural frontal kanan. Gambar

ini menunjukkan kumpulan-kumpulan cairan subdural bifrontal dan luka sayatan pada

splenium corpus callosum. Lesi corpus callosum, yang merupakan tanda klasik

cedera aksonal menyebar, tidak nampak pada hasil CT scan. Pada umumnya, MRI

dapat memvisualisasikan jumlah lesi-lesi traumatis yang lebih banyak daripada CT,

terutama lesi-lesi nonpendarahan atau terletak di area-area yang tulang-tulangnya

menonjol. Pasien, yang telah lebih dulu memiliki Glasgow koma scale dengan skor 7,

menjalani rawat inap dan rehabilitasi post-akut. Ia kembali bekerja sebagai seorang

sekretaris dan hidup secara mandiri.

Penelitian-penelitian Neurofisiologis

Apabila CT dan MRI menyediakan informasi struktural, electroencephalography

(EEG) dan alat-alat penilaian elektrofisiologis lainnya, seperti potensial-potensial

yang ditimbulkan, memberikan informasi mengenai fungsi-fungsi neurofisiologis.

EEG lebih umum digunakan dalam penilaian suatu penyakit yang bersifat serangan.

Akan tetapi, kegunaannya sebagai suatu prediktor serangan-serangan posttraumatis

sangat terbatas karena abnormalitas-abnormalitas EEG interiktal semata-mata dapat

Page 20: Traumatic Brain Injury

merefleksikan tingkat keparahan cedera otak. 101, 176, 311 Perlambatan fokal,

abnormalitas EEG yang sering terjadi, dapat tetap bertahan dalam jangka waktu lama

tanpa adanya serangan-serangan klinis.95

Dalam setting akut, EEG merupakan prediktor yang handal akan kemampuan

seseorang sembuh dari cedera otak traumatis.322 Sebagai prediktor outcome

fungsional, bagaimanapun juga, peran EEG konvensional dan EEG kuantitatif masih

tetap digambarkan.331 Pola-pola tertentu EEG, seperti spindle (kumparan-kumparan)

tidur yang abnormal dan predominansi gelombang-gelombang alfa, menunjukkan

prognosis yang buruk.60,341 Suatu kajian mengenai topik242 ini menyatakan bahwa

pasien-pasien komatose, EEG kuantitatif mungkin memiliki suatu peran dalam

memprediksikan outcome kelangsungan hidup dan fungsional serta secara kontinyu

memonitor status neurologis. Suatu kajian penelitian-penelitian yang menggunakan

potensial-potensial yang dibangkitkan untuk memprediksi outcome TBI275

menyimpulkan bahwa absensi bilateral gelombang-gelombang N20 hingga P22 pada

potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan pada pasien-pasien TBI

komatose dulunya merupakan prediktor kuat kegagalan penyembuhan

kesadaran.ulasan yang sama275 menyimpulkan bahwa ketiadaan gelombang V atau

komponen-komponen lain potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan

dulunya juga prediktif akan suatu outcome yang buruk; akan tetapi, kehadiran

potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan bukan merupakan

prediktor yang valid akan outcome yang baik.

Potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan (SEP) juga telah

digambarkan untuk memprediksikan outcome jangka panjang cedera otak parah.99

Penilaian elektrofisiologis pada cedera otak dibahas secara lebih mendetit di bagian

lain.284, 331

Page 21: Traumatic Brain Injury

Penilaian Neuropsikologis

Uji-uji neuropsikologis merupakank alat-alat utama yang digunakan untuk

mengevaluasi fungsi-fungsi kognitif pada pasien-pasien penderitacedera otak.34, 209, 329

Tabel 49-5 menyajikan defisit-defisit kognitif yang seringkali diakibatkan oleh cedera

otak, beserta dengan uji-uji neuropsikologis yang pada umumnya digunakan (yang

dideskripsikan oleh Lezak227), beberapa diantaranya digunakan pada proyek Sistem-

sistem Model TBI. Beberapa kelebihan penilaian neuropsikologis pada rehabilitasi

cedera otak anatara lain:

1. Memberikan suatu pemahaman tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-

kelemahan kognitif pasien yang dapat digunakan untuk menentukan tujuan-

tujuan rehabilitasi; menilai kompetensi (kesesuaian) consent prosedur-

prosedur medis dan membuat keputusan-keputusan lainnya, menilai kesiapan

untuk memulai lagi aktifitas-aktifitas (misalnya, bekerja, sekolah,

mengemudi); merekomendasikan modifikasi-modifikasi dalam rangka

meningkatkan keselamatan dan efisiensi; serta memprediksikan outcome.

2. Menyediakan ukuran-ukuran terstandarisasi yang dapat diulang dalam rangka

untuk memonitor perubahan seiring dengan penyembuhan, intervensi-

intervensi, atau komplikasi-komplikasi medis.

3. Menyediakan suatu dasar pemikiran untuk diagnosis gangguan-gangguan

kognitif dan perilaku diferensial dimana terdapat gangguan yang muncul

sebelum atau sesudahnya (misalnya, ketidakmampuan untuk belajar,

demensia).

4. Mendeteksi performa-performa tugas yang invalid (misalnya, malingering).

Kekurangan-kekurangan penilaian neuropsikologis termasuk waktu yang diperlukan

dalam menilai, kesulitan dalam menghadapi pasien-pasien nonkooperatif, serta

ketersediaan uji-uji untuk level rendah dan pasien-pasien yang tidak dapat berbahasa

Inggris yang terbatas.

Page 22: Traumatic Brain Injury

Ringkasan Indikator-indikator Prognostik Akut

Tabel 49-6 menyajikan indikator-indikator prognostik utama TBI yang tersedia

berdasarkan daftar pasien rehabilitasi akut.78, 189, 274 Prediktor-prediktor outcome TBI

yang terbaik adalah skor GCS dan indikator-indikator lain dari semua tingkat

keparahan cedera otak.78, 225 Skor GCS juga merupakan prediktor kuat outcome TBI

penetrating.13 Perlu untuk dicatat bahwa validitas banyak dari indikator-indikator

tersebut sebagai perediktor outcome kasar tahap akut telah didemonstrasikan dalam

penelitian-penelitian neurosurgical multi-center.110, 337 Karena secara relatif hanya ada

lebih sedikit penelitian mengenai rehabilitasi pasien, beberapa indikator-indikator ini

bisa jadi kurang valid dalam memprediksikan outcome fungsional manatan penderita

TBI daripada indikator-indikator yang memprediksikan angka kelangsungan hidup itu

sendiri.366

Karena durasi ketidaksadaran merefleksikan tingkat keparahan cedera otak, hal

ini merupakan indikator prognostik yang dapat digunakan secara kombinasi dengan

skor-skor GCS, atau tanpa adanya skor-skor GCS, untuk memprediksikan outcome.

Sebagai contoh, seorang pasien dengan skor GCS terendahnya 7 yang mengalami

ketidaksadaran hanya selama 1 hari bisa jadi memiliki tingkat keparahan cedera otak

yang jauh lebih rendah daripada jika pasien mengalami ketidaksadaran selama

seminggu. Durasi amnesia posttraumatis merupakan indikator prognostik yang kuat,

namun tidak muncul dalam sebagian besar pasien-pasien TBI pada saat admisi

rehabilitasi.perlu adanya suatu prosedur untuk mengkombinasikan indikator-indikator

yang tersedia untuk menghasilkan kategori atau skor outcome yang terprediksi.

Meskipun Choi 78 telah menciptakan prosedur-prosedur tersebut, mereka perlu untuk

dievaluasi di dalam setting rehabilitasi.

Prognosis pada cedera otak anoksik dibahas berikut ini, pada bagian manajemen

koma. Prediksi outcome stroke dibahas pada bab 50 dan prognosis tumor-tumor otak

dibahas pada bab-bab lainnya.225 Sayangnya, jauh lebih sedikit informasi yang

Page 23: Traumatic Brain Injury

tersedia mengenai prognosis rehabilitasi cedera otak nontraumatis dan hal ini tetap

menjadi target penelitian di masa mendatang.153, 264

Pengukuran-pengukuran Outcome Cedera Otak

Karena cedera otak dapat berdampak pada aspek-aspek yang berbeda-beda dalam

kehidupan seseorang, ukuran-ukuran cedera otak sebaiknya bersifat

multidimensional. Bagaimanapun juga, untuk menghindari kebutuhan akan

pengukuran-pengukuran outcome multiple, para peneliti cedera otak telah dengan

sangat hati-hati memeringkatkan skala-skala yang mengurangi berbagai outcome

yang berbeda-beda hingga hanya menjadi satu peringkat outcome global.185 Skala

Outcome Glasgow (GOS),178 seperti yang tampak pada Tabel 49-&, adalah

pengukuran outcome yang paling umum digunakan dalam penelitian cedera otak.

Meskipun GOS telah dikritik di dalam literatur rehabilitasi mengenai insensitifitas

terhadap perubahan dan kekurangan-kekurangan lainnya,185 GOS masih tetap menjadi

pengukuran outcome primer dalam percobaan-percobaan klinis perawatan-akut.

Kefamilieran dalam menggunakan skala ini penting untuk membaca literatur outcome

cedera otak. The Diasability Rating Scale (DRS)286, 287 didesain untuk memberikan

pengukuran yang lebih sensitif dan komprehensif daripada GOS. Tabel 49-8

membandingkan pengukuran-pengukuran outcome utama yang digunakan di dalam

rehabilitasi cedera otak.

KESINAMBUNGAN PELAYANAN-PELAYANAN

REHABILITASI CEDERA OTAK

Rehabilitasi pasien penderita cedera otak biasanya dibagi ke dalam rehabilitasi akut

dan rehabilitasi pot-akut. Jalur pelayanan-pelayanan rehabilitasi pasien-pasien

penderita cedera otak nampak pada Gambar 49-5. Rehabilitasi akut mengacu pada

perawatan yang diberikan kepada pasien rawat inap pada suatu unit rumah sakit,

Page 24: Traumatic Brain Injury

selama tahap-tahap awal penyembuhan. Rehabilitasi post-akut mengacu kepada

perawatan setelah rumah sakit memulangkan pasien selama tahap-tahap kelanjutan

penyembuhan.230

Gambar 49-5. Jalur Rehabilitasi untuk Cedera Otak. Bagan alur menunjukkan jalur-

jalur yang biasanya diikuti oleh pasien-pasien cedera melewati rehabilitasi fase-fase

akut dan post-akut. Evaluasi oleh seorang dokter spesialis rehabilitasi merupakan

langkah awal, yang penting sebelum para pasien dipindahkan dari perawatan akut ke

program-program rehabilitasi. Para pasien bisa jadi ditransfer antara program-

program rehabilitasi akut dan subakut tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan

individu. Pilihan program post-akut bisa jadi tergantung pada ketersediaannya di

tempat tersebut.

Rehabilitasi Cedera Otak Akut

Rehabilitasi pasien-pasien penderita cedera otak sebaiknya dimulai selama perawatan

kritis. Pada tahap ini dokter spesialis rehabilitasi dapat mengintervensi untuk

mencegah komplikasi yang dapat memperbesar ketidakmampuan yang akan datang.

Sebagai contoh, pasien yang tidak sadar tanpa berbagai kontraindikasi sebaiknya

menjalani rangkai gerak pasif dua kali sehari untuk mencegah kontraktur-kontraktur

dan abnormalitas-abnormalitas persendian lainnya, serta sebaiknya diposisikan untuk

mencegah adanya tekanan bisul-bisul, edema dan kontraktur-kontraktur. Intervensi-

intervensi tambahan dapat direkomendasikan untuk spastisitas, nutrisi dan

incontinence. Meskipun manajemen ortopedik definitif fraktur-fraktur pada pasien-

pasien penderita TBI seringkali dapat ditunda, perawatan surgical dini cedera-cedera

ortopedik dapat meminimalisasi kecacatan.161

Evaluasi dini rehabilitasi dapat menentukan apakah pasien sesuai untuk

rehabilitasi akut (entah pada unit rehabilitasi umum atau unit khusus cedera otak),

untuk program subakut, atau untuk perawatan dalam suatu program post-akut.

Page 25: Traumatic Brain Injury

Transfer ke program rehabilitasi akut sebaiknya dilakukan dengan dasar

pertimbangan apabila pasien secara medis dinyatakan stabil dan apabila perawatan

medis yang sedang berlangsung secara substansial tidak mengganggu kemajuan

rehabilitasi.250 Kriteria perintah-perintah yang menyertai sebelum admisi hingga

rehabilitasi tidak dapat ditentukan karena, seperti tampak pada Tabel 49-9, mayoritas

mantan pasien-pasien TBI yang mengalami ketidaksadaran akhirnya medapatkan

kembali kesadarannya. Malah, dokter spesialis rehabilitasi dapat menggunakan

indikator-indikator prognostik untuk menyeleksi pasien-pasien yang mengalami

ketidaksadaran dengan probabilitas penyembuhan tertinggi. Pemindahan secara

langsung pasien yang mengalami ketidaksadaran dari perawatan akut ke bangsal,

tanpa adanya evaluasi terlebih dahulu oleh dokter spesialis rehabilitasi, sebaiknya

dihindari. Hal ini dikarenakan resiko mengabaikan pembentukan komplikasi-

komplikasi atau tanda-tanda perkembangan, dan dikarenakan resiko penundaan atau

bahkan pencegahan akses rehabilitasi.

Indikasi-indikasi admisi ke unit khusus rehabilitasi cedera otak, daripada ke unit

rehabilitasi umum, termasuk (1) ketidaksadaran atau bukti-bukti kesadaran yang tidak

konsisten, (2) agitasi yang memerlukan modifikasi-modifikasi lingkungan, (3) resiko

komplikasi-komplikasi (misalnya, spastisitas, yang memerlukan manajemen khusus,

dan (4) kerusakan kognitif parah yang membutuhkan modifikasi-modifikasi terapi

dan prosedur-prosedur keperawatan. Unit-unit yang dikhususkan untuk rehabilitasi

cedera otak memiliki kelebihan-kelebihan yaitu staf yang berpengalaman, jaringan

konsultan-konsultan dengan keahlian-keahlian khusus dalam hal cedera otak,

program-program untuk pendidikan keluarga dan masyarakat, dan protokol-protokol

untuk permasalahan-permasalahan rehabilitasi cedera otak pada umumnya. Tim terapi

unit rehabilitasi akut cedera otak biasanya melibatkan disiplin-disiplin rehabilitasi

tradisional, seorang dokter spesialis rehabilitasi dengan keahlian dalam bidang cedera

otak, dan seorang neuropsikolog. Tim tersebut juga membutuhkan akses ke para

spesialis di optometri dan orthotic. Deskripsi-deskripsi detil terapi-terapi rehabilitasi

untuk pasien-pasien penderita cedera otak sudah tersedia.43, 152, 206, 245, 355, 363

Page 26: Traumatic Brain Injury

Penelitian lebih lanjut diperlukan utnuk mengevaluasi kemanfaatan unit-unit

rehabilitasi akut yang dikhususkan untuk cedera otak, jika diperbandingkan dengan

perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien penderita cedera otak di unit-unit

rehabilitasi umum.289 Berbagai ulasan penelitian-penelitian kemanfaatan rehabilitasi

TBI akut74, 167 telah menemukan bahwa, ketika pasien-pasien penderita TBI dalam

penelitian-penelitian ini biasanya membuat perkembangan-perkembangan besar

selama rehabilitasi rawat inap, kemajuan-kemajuan tersebut tidak dapat secara unik

diatribusikan terhadap rehabilitasi karena penelitian-penelitian gagal untuk

mengontrol penyembuhan spontan atau perbedaan-perbedaan yang sudah ada

sebelumnya antara kelompok perawatan dan perbandingan. Lebih lanjut, pengukuran-

pengukuran outcome yang digunakan dalam penelitian-penelitian ini bisa jadi tidak

sesuai atau tidak cukup sensitif atau komprehensif untuk mendeteksi perbedaan-

perbedaan dalam perkembangan.160 Mayoritas perkembangan fungsional pada pasien-

pasien cedera otak selama rehabilitasi akut bisa jadi dikarenakan penyembuhan

neurologis secara spontan, dengan terapi memainkan peran pencegahan berbagai

komplikasi (misalnya, kontraktur-kontraktur), mengkondisikan ulang setelah

ketidakaktifan selama perawatan akut, menyediakan lingkungan yang telah diberi

pengetahuan, strategi-strategi imbangan pengajaran (termasuk modifikasi-modifikasi

lingkungan), dan kemungkinan pemfasilitasan reorganisasi neurologis.56, 263, 342

Tahap-tahap Penyembuhan Neurobehavioral dari Cedera Otak

Dibandingkan dengan gangguan-gangguan neurologis lainnya yang dirawat dalam

rehabilitasi, cedera otak memiliki jangka waktu penyembuhan yang lama. Sebagai

contoh, pasien-pasien penderita TBI pada umumnya membuat kemajuan fungsional

yang lebih besar selama rehabilitasi rawat inap daripada para pasien pada kelompok-

kelompok diagnostik lainnya.69 Jangka waktu penyembuhan dari cedera otak yang

parah meliputi tahap-tahap yang berbeda-beda, seperti tampak pada Gambar 49-6.

Tahap-tahap penyembuhan neurobehavioral dari cedera otak anoksik, putusnya arteri

Page 27: Traumatic Brain Injury

anurisme komunikasi anterior, dan banyak cedera otak nontraumatis lainnya

menyerupai TBI. Level-level skala Pemfungsian Kognitif (The Levels of Cognitive

Fungtioning scale), tampak pada Tabel 49-10, tercipta di Rancho Los Amigos

Medical Center231 untuk mendeskripsikan rangkaian penyembuhan neurobehavioral

dari TBI dan untuk memberikan suatu dasar pemikiran bagi rehabilitasi kognitif pada

masing-masing tahap penyembuhan. Meskipun Level-level skala Pemfungsian

Kognitif telah dikritik karena penyembuhan dari TBI lebih bervariasi daripada yang

diimplikasikan oleh skala, skala tersebut memiliki keuntungan yaitu membedakan

tahap-tahap utama penyembuhan dan memberikan suatu dasar komunikasi antar

anggota tim. Strategi-strategi rehabilitasi selama rehabilitasi akut sebagian besar

ditentukan oleh tahap-tahap penyembuhan pasien, seperti yang dijelaskan pada

bagian-bagian berikut.

Koma dan Ketidaksadaran

Riwayat alamiah penyembuhan cedera-cedera otak traumatis dimulai dengan

koma, suatu keadaan dimana pasien menunjukkan tidak adanya bukti-bukti kognisi

dan tidak membuka matanya, meskipun diberi stimulus yang menyakitkan.180 Pada

cedera otak yang diakibatkan oleh trauma, koma dan ketidaksadaran disebabkan oleh

gangguan input terhadap struktur-struktur permukaan otak dari struktur-struktur yang

lebih dalam yang mensyarafi gerakan dan keadaan terjaga seseorang.279 Gangguan ini

dapat, sebaliknya, dihasilkan oleh diskoneksi jalur-jalur fiber yang arahnya naik yang

dikarenakan cedera aksonal yang menyebar, atau oleh kompresi batang otak atau

struktur-struktur diensefalik sebagai akibat dari efek massa lesi-lesi supratentorial.

Pada pasien-pasien mantan penderita, terdapat rangkaian penyembuhan fungsi tubuh

yang cukup konsisten dari keadaan koma yang dimulai dengan pembukaan matadan

siklus-siklus tidur-bangun, dan kemudian kemajuan-kemajuan untuk mengikuti

perintah-perintah dan, pada akhirnya, untuk berbicara.59 rangkain proses

penyembuhan ini konsisten dengan model TBI sentripetal, yang memperkirakan

Page 28: Traumatic Brain Injury

bahwa fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak yang lebih dalam,

seperti siklus-siklus bangun-tidur, seharusnya sembuh terlebih dahulu daripada

fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak di bagian permukaan, seperti

memori.268 Kognisi biasanya didemonstrasikan pertama kalinya oleh kemampuan

pasien untuk berkomunikasi, seperti mengikuti perintah-perintah atau melakukan

gerakan bahasa isyarat. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan cepat, uji tanda-

tanda kognisi awal ini biasanya bersifat langsung dan tidak memerlukan teknik-teknik

tertentu. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan lambat, bagaiamanpun juga,

teknik-teknik khusus mungkin diperlukan untuk mendeteksi kemajuan-kemajuan,

atau bahkan bukti-bukti adanya kesadaran.343

Pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai TBI parah, 10% hingga 15% dari

para pasien yang bertahan hidup masih tetap dalam keadaantidak sadar pada saat

dipulangkan dari ruang perawatan akut.221 Sebagian besar para pasien yang masih

tetap tidak sadar hingga setelah satu bulan telah mendapatkan kembali siklus-siklus

bangun-tidur, dan oleh karenanya mereka membuka mata secara spontan pada

sebagian waktu. Mereka biasanya juga menunjukkan reaktifitas pupilari dan refleks-

refleks okulosefalik, perilaku-perilaku primitif seperti mengunyah dan menggerakkan

mata berputar-putar, dan fungsi –fungsi vegetatif seperti respirasi spontan, yang

kesemuanya itu merefleksikan batang otak yang masih berfungsi dan fungsi-fungsi

hipotalamik. Ketika terdapat kesepakatan umum akan kriteria diagnostik keadaan

koma, ketidakakuratan diagnostik dan kebingungan menyertai usaha-usaha untuk

membedakan vegetatif dari kesadaran minimal atau keadaan-keadaan responsif

minimal. Istilah persistent vegetative state (PVS) telah digunakan untuk menjelaskan

suatu keadaan dimana pasien dengan keadaan koma sebelumnya telah pulih kembali

siklus-siklus tidur-bangunnya dan membuat kemajuan-kemajuan hingga mencapai

keadaan suatu keadaan terjaga tanpa adanya kesadaran. 180, 279 Pasien-pasien dengan

PVS tidak memiliki respon behavioral yang bersifat dapat bereproduksi, bermakna,

atau dengan kesadaran terhadap stimulus-stimulus, dan tidak ada bukti-bukti

komprehensi atau ekspresi bahasa. Selama bertahun-bertahun, PVS telah

Page 29: Traumatic Brain Injury

dipergunakan secara tidak tepat sebagai suatu istilah prognostik, yang mengakibatkan

diagnosis yang tidak akurat, rekomendasi-rekomendasi perawatan yang tidak tepat,

keterbatasan-keterbatasan pelayanan-pelayanan medis dan rehabilitasi, dan buruknya

pemanfaatan dan penganggaran sumber-sumber daya.The Multi-society Task Force

on PVS menyatakan bahwa, karena PVS semata-mata mengacu pada “suatu

keadaankecacatan di masa lampau dan berlanjut di masa mendatang dengan tanpa

adanya suatu kepastian,” PVS lebih merupakan suatu diagnosis daripada suatu

prognosis.255, 256 Suatu keadaanyang terkait, permanent vegetative state,

mengungkapkan irreversibilitas dan oleh karenanya merupakan suatu prognosis. The

Task Force mendefinisikan secara operasional PVS sebagai suatu keadaan vegetatif

yang muncul satu bulan setelah cedera otak traumatis atau nontraumatis yang akut.

Keadaan vegetatif sebaiknya tidak dilabel permanen hingga terdapat suatu prognosis

irreversibilitas yang dapat ditetapkan dengan kepastian klinis yang berderajat tinggi,

setelah 12 bulan bertahan dalam keadaanvegetatif post-TBI dan 3 bulan mengikuti

cedera-cedera nontraumatis. Tabel 49-11 menyajikan terminologi yang digunakan

untuk pasien-pasien dalam keadaantidak sadar atau kesadarannya berada dalam level

yang rendah.139

Gambar 49-6. Proses Pemulihan Memori setelah Cedera Otak. Garis waktu

menunjukkan tahapan-tahapan pemulihan kognitif yang berlangsung pada sebagian

besar penderita cedera otak parah yang masih bertahan hidup. TBI ringan dan sedang

akan mendemonstrasikan tahapan-tahapan yang sama seperti yang digambarkan,

kecuali untuk datang. Beberapa pasien yang mampu bertahan hidup tidak sembuh

dari keadaantidak sadar atau dari amnesia posttraumatis/Post-traumatic Amnesia

(PTA). Mayoritas pasien-pasien yang puluh dari PTA dan memiliki suatu

kesenjangan memori permanen tentang pengalaman-pengalaman yang terjadi selama

keadaantidak sadar, PTA, dan suatu periode pra-cedera yang lebih pendek (amnesia

retrograde).

Page 30: Traumatic Brain Injury

Rehabilitasi Pasien-pasien dengan Gangguan Kesadaran

Pasien-pasien yang tetap saja tidak sadar meskipu dipindahkan dari ruang

perawatan akut menunjukkan permasalahan-permasalahan uji dan perawatan yang

sulit, dan sebaiknya dirujuk ke program rehabilitasi cedera otak. Dengan ketiadaan

perawatan yang telah terbukti kemanjurannya untuk memfasilitasi penyembuhan

ketidaksadaran, tujuan-tujuan rehabilitasi para pasien penderita TBI adalah (1) untuk

memindahkan penghambat-penghambat penyembuhan, dengan demikian

memungkinkan para pasien yang memiliki potensial untuk mendapatkan kembali

kesadarannya untuk memindahkan penghambat-penghambat tersebut; (2) untuk

merawat komplikasi-komplikasi medis yang dapat meningkatkan kecacatan pada

pasien-pasien yang telah sembuh; dan (3) untuk memberikan edukasi, konseling, dan

dukungan bagi para anggota keluarga. Ulasan yang lebih detil mengenai manajemen

pasien-pasien tersebut tersedia.38, 51, 138, 265, 304, 346

Langkah pertama dalam menguji pasien dengan kerusakan kesadaran yang

parah adalah dengan mengendalikan kemungkinan bahwa kegagalan untuk

membangkitkan kesadaran merupakan artifak dari teknik-teknik pemeriksaan atau

dikarenakan faktor-faktor medis reversibel. Pasien-pasien yang gagal untuk

mengikuti perintah-perintah karena ketidakpahaman akan bahasa yang digunakan

penguji atau karena afasia atau apraksia217 mungkin saja berhasil jika teknik-teknik

pemeriksaan yang digunakan dimodifikasi dengan tepat. Yang paling penting,

timbulnya gerakan pasien dan munculnya responsifitas pasien dapat dirusak oleh

obat-obat pensedasi, penyakit-penyakit sistemik, malnutrisi, dan permasalahan-

permasalahan medis lain yang bisa dikoreksi.

Khususnya, permasalahan obat sedasi terindusi pada pasien-pasien yang tidak

sadar lebih serius daripada yang terapresiasi pada umumnya dan perlu untuk

diperhatikan. Perlu untuk diketahui bahwa efek-efek samping sedatif dapat

memperparah keadaanotak yang cedera, dan bahkan meski perubahan kecil sekalipun

dalam hal melakukan gerakan dapat berdampak pada kemampuan pasien dalam

Page 31: Traumatic Brain Injury

merespon. Pengobatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang tidak sadar

sebaiknya diperiksa dengan teliti guna mengurangi efek-efek yang tidak penting dan,

jika memungkinkan, untuk menggantikan obat-obat yang penting dengan obat-obatan

yang bersifat kurang sedatif. Pengobatan-pengobatan yang potensial berefek sedasi

yang seringkali diberikan kepada para pasien yang tidak sadar tercantum pada Tabel

49-12. Profilaksis antikonsulvan seperti carbamazepine (Tegretol) atau valproic acid.

Perawatan hipertensi dengan clonidine, inhibitor-inhibitor angiotensin-converting

enzyme, penghalang-penghalang channel calcium, atau diuretik bisa jadi

memungkinkan untuk digunakan daripada menggunakan antihipersensitif dengan

efek-efek samping mensedasi, seperti propranolol, metoprolol, dan methyldopa.

Penggunaan metoclopramide (Reglan) sebaiknya dihindari pada perawatan

pengosongan lambung yang tertunda karena efek-efek samping pensedasinya.

Benzodiazepine seperti diazepam (Valium), yang sering digunakan untuk kontrol

spastisitas, sebaiknya juga dihindari. Antidepressant seperti amitriptyline (Elavil),

yang kadang kala digunakan untuk meningkatkan level kesadaran, dapat secara

paradoks menurunkan timbulnya gerakan karena efek-efek anticholinergic yang

mereka miliki. Tidak ada aturan untuk neuroleptic seperti haloperidol (Haldol),

chloropromazine (Thorazine), dan thioridazine (Mellaril) dalam manajemen medik

pasien-pasien yang tidak sadar.

Prediktor-prediktor apakah pasien-pasien yang tidak sadar akan mendapatkan

kembali kesadarannya adalah etiologi, umur, dan durasi ketidaksadaran itu sendiri.255,

256 Penelitian-penelitian outcome pada pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama

kira-kira satu bulan post-cedera (seperti yang diringkas pada Tabel 49-9)

menunjukkan bahwa 40% hingga 50% mendapatkan kembali kesadarannya dalam

waktu satu tahun post-cedera. Temuan-temuan ini juga mendukung rekomendasi

bahwa pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama dipindahkan dari ruang perawatan

akut sebaiknya dirujuk ke program-program rehabilitasi cedera otak daripada

ditransfer ke fasilitas-fasilitas keperawatan, dimana terdapat suatu resiko tidak akan

pernah mendapatkan perawatan khusus bahkan hingga setelah pulih kesadarannya.

Page 32: Traumatic Brain Injury

Ulasan tentang semua kasus-kasus keadaan vegetatif yang diperpanjang yang

terverifikasi yang mengikuti TBI menyimpulkan bahwa, pada pasien-pasien yang

tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali

kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera adalah 36%; akan tetapi, pada

pasien-pasien yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya

menurun hingga 21%.255, 256 Pada pasien-pasien dengan cedera otak nontraumatis yang

tetap tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali

kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera hanya 7% dan, pada pasien-pasien

nontraumatis yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya

bahkan lebih rendah.255, 256 Kajian yang sama yang melaporkan lebih sedikit dari

duapuluh kasus yang terverifikasi tentang pasien-pasien TBI yang pulih kesadarannya

setelah menetap dengan status vegetatif yang lebih lama dari satu tahun, dan

menyimpulkan bahwa pemulihan kesadaran setelah satu tahun benar-benar “sangat

jarang.”255,256

Umur merupakan prediktor kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis, dengan

tingkat kesembuhan terbaik dapat ditemukan pada anak-anak, yang diikuti oleh usia

dewasa di bawah 40 tahun.255, 256 Akan tetapi, umur tidak memprediksikan secara kuat

kesembuhan dari ketidaksadaran nontraumatis.226 Terdapat juga bukti-bukti bahwa

kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis lebih sedikit ditemui pada pasien-pasien

dengan bukti-bukti hasil neuroimaging atrofi serebral parah atau ketiadaan bilateral

potensial-potensial somatosensori yang terbangkitkan.255, 256, 275 Banyak prediktor-

prediktor potensial lain menyangkut kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis yang

telah dipelajari,221 namun tidak satupun yang telah divalidasi untuk digunakan dalam

prediksi klinis.

Pada pasien-pasien yang tidak sadar atau yang tidak secara konsisten merespon

dengan selektif, terdapat tuntutan yang kuat untuk suatu teknik uji yang dapat

merunut proses penyembuhan. GCS dan Rancho Los Amigos Levels of Cognitive

Fungtioning Scale dianggap kurang sensitif untuk diaplikasikan pada pasien-pasien

yang tidak sadar yang telah mendapatkan kembali kemampuan membuka matanya

Page 33: Traumatic Brain Injury

secara spontan.51 Beberapa skala peringkat telah ditetapkan untuk menguji

responsifitas pasien-pasien yang tidak sadar atau dengan level kesadaran rendah.172

Contoh-contoh skala-skala tersebut antara lain Skala Koma/Mendekati Koma,285

Skala Penyembuhan Koma,140 Western Neuro Sensory Stimulation Profile,24 dan

Sensory Stimulation Assessment Measure.282 Meski tidak satupun dari skala-skala ini

dapat memprediksikan kesembuhan pasien-pasien yang masih tetap tidak sadar,

mereka dapat berguna dalam memonitor apakah seorang pasien yang sadar

kehilangan responsifitasnya dari waktu ke waktu, yang dapat menjadi pertanda

adanya suatu sedasi atau suatu komplikasi yang dapat diobati. Sebagai pilihan

alternatif dari skala-skala ini, teknik-teknik saat ini telah diciptakan untuk mendeteksi

bukti-bukti kesadaran pada para pasien dengan respon-respon yang tidak frekuentif

atau ambigu.343

Rehabilitasi pasien-pasien yang tidak sadar masih saja menjadi suatu hal yang

kontroversial.54, 244, 354, 372 Khususnya, kemanjuran stimulasi sensori (juga disebut

stimulasi koma), dimana pasien-pasien diberi stimulasi terarah pada modalitas-

modalitas ganda,51 tidak didukung oleh percobaan-percobaan klinis. Kajian mengenai

penelitian-penelitian yang telah diterbitkan354 tidak menemukan adanya bukti-bukti

bahwa stimulasi sensori meningkatkan kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis

kronis, meskipun terdapat beberapa bukti efek perawatan pada pasien-pasien

penderita TBI akut yang masih dalam keadaan koma.

Pengobatan farmakologis masih menjadi intervensi yang paling menjanjikan

untuk secara langsung meningkatkan timbulnya gerakan dan memfasilitasi

penyembuhan kesadaran pasien-pasien tersebut. Tabel 49-13 meringkas beberapa

pengobatan yang digunakan untuk stimulasi neuro. Terdapat banyak laporan yang

bersifat anekdot mengenai pasien-pasien penderita TBI yang tidak sadar yang

mendapatkan kembali kesadarannya ketika dirawat dengan stimulan-stimulan

(misalnya, methylphenidate, dextroamphetamine) atau agen-agen anti parkinsonian

(misalnya, bromocriptine, amantadine).50, 51, 118, 119, 201, 358, 369 Meski

percobaan-percobaan yang terkontrol terhadap obat-obatan tersebut belum pernah

Page 34: Traumatic Brain Injury

dilakukan, berdasarkan pengalaman kami mereka digunakan secara meluas pada

perawatan neurotrauma dan rehabilitasi cedera otak akut.

Amnesia Posttraumatis dan Agitasi

Mengikuti pulihnya kesadaran, para pasien cedera otak biasanya melalui suatu

periode kebingungan dan disorientasi yang disebut amnesia posttraumatis (PTA).214,

300 PTA didefinisikan sebagai peride dimana kemamppuan pasien untuk belajar

informasi-informasi baru sangat minim atau bahakan tidak ada. Sebagai contoh, pada

PTA tahap awal, para pasien bisa saja tidak sadar bahwa ia berada di rumah sakit dan

justru merasa bahwa mereka di rumah atau di tempat kerja. Ingatan akan kejadian-

kejadian fiksisius yang salah ini, disebut konfabulasi, yang lebih bersifat organis

daripada suatu gejala fungsional. Menuju periode akhir PTA, para pasien menjadi

tidak terlalu konfabulatori namun masih saja gagal untuk mengingat kembali episode-

episode yang spesifik (misalnya, pengunjung yang menjenguk kemarin). Setelah

pulih dari PTA, pasien-pasien tersebut memiliki kesenjangan memori permanen

untuk kejadian-kejadian yang terjadi selama periode PTA. Mereka biasanya juga

memiliki suatu kesenjangan memori untuk kejadian-kejadian yang terjadi beberapa

waktu sebelum waktu cedera (disebut amnesia retrogade). Walaupun istilah PTA

mengimplikasikan bahwa cedera otak disertai itrauma, para pasien cedera otak

anoksik dan cedera otak nontraumatis tertentu lainnya (misalnya, putusnya arteri

anurisme komunikasi anterior) melalui tahap-tahap penyembuhan yang sama. Oleh

karenanya, suatu istilah alternatif diperlukan untuk menjelaskan amnesia tanpa

menspesifikasikan suatu etiologi traumatis.

Ukuran-ukuran yang berbeda tersedia untuk menguji apakah seorang pasien

dalam keadaan PTA atau sedang dalam masa penyembuhan dari PTA. Ukuran yang

paling banyak digunakan adalah orientasi terhadap tempat dan waktu, namun hal ini

dapat kurang tepat diaplikasikan pada unit-unit rehabilitasi dimana para pasien sering

diberi latihan-latihan “orientasi realitas”.93 Teknik standar yang digunakan untuk

Page 35: Traumatic Brain Injury

menguji PTA adalah Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT),214 suatu

interview singkat yang mengkuantifikasikan orientasi dan ingatan akan kejadian-

kejadian tertentu. Skor GOAT dapat berkisar dari 0 hingga 100, dengan skor >75

didefinisikan sebagai normal. Akhir PTA dapat didefinisikan sebagai tanggal setelah

skor GOAT yang didapat konsisten >75. Keuntungan menggunakan GOAT adalah

bahwa hasil-hasil dapat langsung dibandingkan dengan penelitian-penelitian outcome

yang juga menggunakan skala ini.112

Durasi PTA merupakan suatu indikator tingkat keparahan cedera otak dan

sebaiknya digunakan sebagai suplemen skor GCS, durasi ketidaksadaran, dan

temuan-temuan neuroimaging. Kenyataannya, durasi PTA indikator tingkat

keparahan pertama yang diterima secara meluas.123 Perlu dicatat bahwa durasi PTA,

seperti durasi ketidaksadaran, dapat merefleksikan faktor-faktor selain tingkat

keparahan cedera otak itu sendiri. Kegagalan untuk pulih dari PTA dapat

mengindikasikan suatu gangguan amnesik permanen, seperti yang dihasilkan oleh

cedera otak anoksik, atau dapat menjadi sinyal adanya komplikasi-komplikasi yang

dapat dicegah misalnya hidrosefalus.

Selama PTA banyak pasien-pasien menampakkan sindrom neurobehavioral,

yang disebut agitasi, yang meliputi kebingungan kognitif, kelabilan emosi yang

ekstrim, aktifitas motorik yang berlebihan, dan agresi fisik atau verbal. Pasien yang

mengalami agitasi biasanya tidak mampu untuk mempertahankan atensi dan usaha

dalam jangka waktu yang cukup lama untuk melakukan tugas-tugas sederhana,

seperti berpakaian, dan dapat bereaksi berlebihan hingga perasaan frustasi dengan

menangis atau berteriak. Pasien dapat dengan mudah merasa frustasi dan tersinggung,

dan pada umumnya menunjukkan perilaku yang tidak semestinya terhadap staf atau

anggota keluarga. Terhadap tanggal, tidak ada konsensus mengenai definisi agitasi.

Sandel dan Mysiw,303 berdasarkan kajian mereka terhadap berbagai literatur,

mendefinisikan agitasi posttraumatis sebagai “suatu subtipe delirium, yang terjadi

selama periode amnesia posttraumatis, yang dicirikan oleh perilaku yang berlebihan,

termasuk beberapa kombinasi agresi, akathisia, disinhibisi, dan kelabilan emosi.”

Page 36: Traumatic Brain Injury

Lebih lanjut, mereka mengingatkan bahwa gangguan mood dan pikiran harus

didiagnosa secara terpisah. Pada suatu survey para anggota Brain Injury Special

Interest Group of The American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation,

Fugate et al126 menemukan bahwa mayoritas tidak menggunakan teknik-teknik yang

standar untuk mengukur agitasi. Hanya 6% yang menggunakan Agitated Behaviour

Scale/Skala Perilaku Teragitasi (ABS), ukuran yang paling sering digunakan. ABS

adalah skala yang meliputi 14 item yang memeringkat perilaku ke dalam tiga bidang

yang saling terkait: disinhibisi, agresi, dan labilitas.91 Mudah untuk mengkategorikan

dan telah terbukti memiliki realibilitas antar ukuran pemeringkat yang baik.

Agitasi menjadi sangat penting jika pasien membahayakan bagi diri sendiri

maupun orang lain (misalnya, merenggut botol-botol, menjatuhkan diri, atau

berusahamelarikan diri dari ruang perawatan). Sebelumnya diyakini bahwa sebagian

besar pasien-pasien TBI yang menunjukkan tanda-tanda agitasi selama PTA, seperti

yang diimplikasikan oleh skala Rancho Los Amigos.231 Akan tetapi, riset

menunjukkan bahwa agitasi disertai agresi terjadi hanya pada sebagian kecil pasien-

pasien penderita penyakit tersebut, sedangkan yang lainnya hanya menunjukkan

tanda-tanda agitasi disertai kegelisahan motorikik,63, 288 dan yang lainnya lagi tidak

menunjukkan tanda-tanda agitasi. Faktor-faktor resiko agitasi masih perlu

diidentifikasi namun para pakar menyatakan bahwa defisit-defisit kognitif parah

dankerusakan lobus frontal mungkin prediktif.

Rehabilitasi Pasien Penderita Agitasi

Meski agitasi seringkali ditemui pada cedera otak, namun sebaiknya didiagnosis

secara terpisah. Permasalahan-permasalahan neurologis atau medis konkuren dapat

menyebabkan atau memperburuk delirium (kekacauan pikiran) dan perilaku

teragitasi. Jelas, kondisi-keadaanini perlu diperlakukan secara berbeda dengan

perlakuan yang diberikan terhadap agitasi. Kekacauan metabolik, hipertiroidisme,

infeksi dan sepsis, hipoglikemia, hipoksemia, pengobatan-pengobatan (misalnya,

Page 37: Traumatic Brain Injury

anticholinergics), dan obat penenang (misalnya, baclofen, sedatif-sedatif, hipnotis-

hipnotis) termasuk beberapa obat penyebab kekacauan pikiran dan agitasi. Di antara

komplikasi-komplikasi neurologis yang menunjukkan kekacauan pikiran atau agitasi

antara lain serangan-serangan, hidrosefalus, lesi-lesi massa intrakranial (misalnya,

hematoma,higroma), dan migrain. Rasa sakit, khususnya pada seorang pasien yang

mengalami kebingungan dan tidak mampu berkomunikasi, merupakakn penyebab

agitasi yang seringkali teramati. Merupakan hal yang masuk akal untuk melakukan

berbagai uji dalam evaluasi pasien yang mengalami kebingungan dan agitasi (Tabel

49-14). Hanya setelah kondisi-keadaanmedis dan neurologis dapat dikendalikan

sebaiknya diagnosis suatu agitasi segeera ditentukan.

Perawatan agitasi meliputi pengobatan-pengobatan, strategi-strategi behavioral,

dan manajemen lingkungan. Pengekangan fisik yang berlebihan tidak berhasil. Atas

dasar keprihatinan publik, the Joint Comission on the Accreditation of Health Care

Institution (JCAHO) dan the Health Care Financing Agency (HCFA) akhir-akhir ini

memperketat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penggunaan model-model

pengekangan. Cedera-cedera yang terkait dengan penggunaan rompi pengekang telah

dicatat.62 Jika diperlukan, pengekang sebaiknya diaplikasikan pada tingkatan yang

paling rendah, contohnya sarung tangan dengan bantalan dan sabuk kecil yang lunak

demi keamanan kursi roda. Penggunaan kasur lantai (Gambar 49-7) memberikan

lingkungan yang aman dan terkontrol dan dapat mengeliminasi kebutuhan akan

pengekang. Teknik-teknik modifikasi perilaku tradisional, seperti menggunakan

penghargaan untuk perilaku yang diharapkan, dianggap tidak efektif untuk agitasi

karena pasien biasanya bingung dan amnestik. Usaha-usaha nonfarmakologis

diarahkan ke manajemen lingkungan dan restrukturisasi terapi-terapi (Tabel 49-15).

Tujuan manajemen lingkungan adalah untuk menurunkan level stimulasi dan

kompleksitas kognitif pada lingkungan terdekat pasien. Lebih lanjut untuk edukasi

staf dan perencanaan strategi, keluarga perlu untuk memahami teknik-teknik

manajemen yang digunakan dan dilibatkan dalam implementasi sebagaimana

mestinya. Perilaku teragitasi yang ditunjukkan oleh seseorang yang kita cintai

Page 38: Traumatic Brain Injury

seringkali membuat keluarga sangat tertekan, dan ini dapat dimaklumi. Penting untuk

meyakinkan ulang keluarga bahwa agitasi merupakan suatu tahap penyembuhan yang

dapat diprediksi dan bahwa usaha-usaha terus dilakukan untuk mengidentifikasi

penyebab-penybab perilaku tersebutyang dapat disembuhkan. Pembahasan-

pembahasan yang lebih detil mengenai manajemen lingkungan agitasi tersedia pada

publikasi-publikasi lain.

Gambar 49-7. Craig Bed. Pasien-pasien penderita agitasi nonambulatori seringkali

diuntungkan dengan penggunaan kasur lantai (Craig Bed). Matras-matras dapat

diletakkan di lantai dan dinding dengan bantala setinggi 3-4 kaki pada keempat sisi

memungkinkan pasien untuk berguling-guling. Penggunaan kasur lantai dengan

pengawasan ketat serta penggunaan sarung tangan dan helm (jika perlu) seringkali

mengeliminasi kebutuhan untuk pengekang.

Tidak ada satupun aturan mengenai penggunaan obat-obatan bagi penderita

agitasi. Sedasi sebaiknya digunakan hanya ketika strategi-strategi lingkungan tidak

berhasil dan pada situasi-situasi darurat. Pada survey yang sama yang dilakukan oleh

Fugate at al.125, 126 ditemukan bahwa obat yang paling sering diresepkan oleh para

“ahli TBI” adalah carbamazepine, tricyclic antidepressants (TCAs), trazodone,

amantadine, dan beta-blockers. Para “ahli” ini juga sepertinya lebih jarang

menggunakan obat dengan efek sedasi daripada “non-ahli”, seperti haloperidol dan

benzidiaspines. Tabel 49-16 menyebutkan beberapa macam obat-obatan yang umum

digunakan. Hanya sedikit dari obat-obatan tersebut yang telah dievaluasi

kemanjurannya melalui uji-uji klinis.64 Dalam situasi-situasi dimana agitasi tidak

dapat dikontrol dan berkembang ke arah kekerasan, intramuscular lorazepam

(Ativan), 1 hingga 2 mg, bisa jadi diperlukan. Obat ini direkomendasikan hanya

untuk situasi-situasi darurat dimana muncul bahaya dadakan yang mengancam pasien

atau orang lain, dan bukan sebagai substitusi untuk intervensi-intervensi lingkungan

dan obat-obat yang lebih aman. Dokter sebaiknya juga harus berhati-hati terhadap

Page 39: Traumatic Brain Injury

peningkatan paradoksikal dalam agitasi, yang dapat terjadi dengan penggunaan

lorazepam.

Rehabilitasi Selama dan Setelah Amnesia Posttraumatis

Program rehabilitasi selama PTA sebaiknya dimodifikasi untuk pasien-pasien

dengan kerusakan-kerusakan memori parah. Unit rehabilitasi sebaiknya memiliki

suatu sistem (misalnya, pita tangan yang berwarna-warni) untuk mengidentifikasi

seberapa ketat pengawasan yang diperlukan oleh pasien. Pasien yang beresiko tinggi

menyerang atau menyakiti dirinya sendiri atau orang lain mungkin membutuhkan

suatu area terkunci atau pengawasan langsung oleh staf perawat. Untuk mengorientasi

ulang pasien dengan lingkungannya, tempat dan tanggal dan suatu jadwal harian

sebaiknya ditempelkan pada kamar-kamar pasien, dan informasi orientasi dapat

diulang sepanjang hari.93 mungkin sangat membantu pasien-pasien untuk menerima

makanan dan terapi-terapi mereka di ruang rehabilitasi saja, guna menghindari

stimulasi yang berlebihan. Tim sebaiknya menghindari menstimulasi pasien secara

berlebihan dengan jadwal terapi yang terlalu banyak persyaratan, ekspektasi-

ekspektasi terapetik yang tidak realistis, dan interaksi-interaksi emosional yang tidak

menyenangkan dengan keluarga atau staf. Pasien-pasien yang masih mampu berjalan

dapat mungkin saja membutuhkan pengawasan ketat karena pertimbangan-

pertimbangan keamanan dan mungkin akan lebih aman dengan menggunakan kursi

roda apabila tidak sedang menjalani terapi-terapi. Seiring dengan meningkatnya

ketahanan dan kesadaran pasien akan keamanan mendekati waktu akhir PTA, tim

dapat membiarkan pasien berjalan, berkegiatan kamar mandi, dan aktifitas-aktifitas

lainnya sendiri dengan tingkat pengawasan yang dikurangi.

Setelah pasien lepas dari PTA, suatu evaluasi neuropsikologis seharusnya

dilaksanakan untuk merencanakan rehabilitasi dan merekomendasikan batasan-

batasan aktifitas. Latihan-latihan yang lebih realistis dan banyakpersyaratan dapat

dilakukan di dalam terapi, seperti membaur dengan masyarakat. Permasalahan-

Page 40: Traumatic Brain Injury

permasalahan behavioral sebaiknya segera diobati apabila mereka mengganggu

kemajuan-kemajuan rehabilitasi.175 Ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan dalam

terpi dapat ditanggulangi dengan teknik-teknik manajemen behavioral.228, 313

Gangguan-gangguan mood, yang kadang muncul dalam bentuk kurangnya kemauan

atau motivasi untuk berpartisipasi dalam terapi, dapat ditanggulangi dengan

antidepressant.359 Keluarga membutuhkan edukasi mengenai gejala-gejala cedera otak

dan training mengenai teknik-teknik manajemen behavioral dan fisik yang perlu

untuk dilakukan di rumah. Untuk memfasilitasi training keluarga, sebaiknya ada

waktu untuk menginap satu hari satu malam (atau setidaknya satu hari) sebelum

pasien dipulangkan ke rumah guna memverifikasi bahwa keluarga telah menerima

training yang mencukupi, untuk mengecek apakah level pengawasan di rumah akan

mencukupi, dan untuk mengevaluasi peralatan dan modifikasi-modifikasi rumah.

Pertimbangan-pertimbangan untuk memulangkan pasien rawat inap dari

rehabilitasi meliputi ketersediaan terapiyang penting dan layanan-layanan

keperawatan dalam lingkungan yang kurang ketat dan probabilitas yang rendah

bahwa rehabilitasi pasien rawat inap yang berkesinambungan akan menghasilkan atau

berpengaruh terhadap kemajuan fungsional. Untuk pasien-pasien yang dapat dirawat

di rumah sepanjang malam namun masih membutuhkan terapi intensif, program

rehabilitasi akut dapat memberikakn program rumah sakit siang hari dimana para

pasien melanjutkan level intensitas terapetik yang sama dan menerima asuhan

keperawatan seperti yang dibutuhkan.

Rehabilitasi Cedera Otak Post-Akut

Rehabilitasi post-akut meliputi intervensi-intervensi yang didesain untuk membantu

pasien-pasien memasuki kembali masyarakat.230 Sebagian besar intervensi-intervensi

post-akut didasarkan pada training para pasien untuk menggunakan strategi-strategi

ibangan untuk mengatasi defisit-defisit mereka yang bersifat permanen (misalnya,

agenda-agenda memori), atau mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga pasien

Page 41: Traumatic Brain Injury

bisa lebih fungsional meskipun dengan defisit-defisit ini (misalnya, mengikuti jadwal

rutin). Terdapat kontroversi dalam rehabilitasi post-akut yang berkaitan dengan

kemanjuran trainig ulang koginitif, grup-grup terapidiarahkan untuk meremediasi

defisit-defisit memori, atensi, dan fungsi-fungsi kognitif lainnya. 7, 37, 163, 211, 238, 281, 314, 338,

352 Dokter spesialis rehabilitasi sebaiknya familier dengan program-program post-akut

lokal dalam rangka membuat referal-referal yang sesuai dan memonitor kemajuan

(lihat Tabel 49-17). Perlu untuk diketahui bahwa anggota keluarga pasien penderita

cedera otak diposisikan pada stres emosional dan finansial jangka panjang.243, 351

Dokter spesialis rehabilitasi harus sensitif terhadap kemungkinan tekanan emosional

dan permasalahan-permasalahan hubungan,66, 280 dan siap untuk memberikan

dukungan emosional dan membantu dalam pengadvokasian pelayanan-pelayanan

yang dibutuhkan.

KOMPLIKASI-KOMPLIKASI CEDERA OTAK

Pada akhir-akhir ini terdapat tren lama tinggal yang lebih pendek di ruang perawatan

akut dan, oleh karenanya, admisi rehabilitasi yang lebih dini. Lebih lanjut, penelitian-

penelitian terhadap para pasien penderita TBI pada tahun 1980-an menunjukkan

bahwa sejumlah signifikan penderita komplikasi-komplikasi medik tidak didiagnosa

sebelum rujukan rehabilitasi.128, 138 Pemeriksaan medik para pasien penderita cedera

otak biasanya menjadi sulit karena ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan

bekerjasama dengan prosedur-prosedur. Untuk alasan-alasan ini, suatu evaluasi yang

menyeluruh oleh dokter spesialis rehabilitasi diperlukan ketika pasien telah dirujuk ke

unit rehabilitasi. Bagian-bagian berikut ini membahas komplikasi-komplikasi medik

utama yang dihadapi dalam masa rehabilitasi cedera otak dan mengulas intervensi-

intervensi terkait yang tersedia bagi dokter spesialis rehabilitasi. Beberapa komplikasi

medik cedera otak tidak umum, seperti abnormalitas-abnormalitas endokrin dan

dermatologis, dan tidak akan dibahas. Informasi yang lebih detil tersedia pada

referensi-referensi khusus.158, 293

Page 42: Traumatic Brain Injury

Spastisitas

Spastisitas yang diakibatkan oleh cedera otak memiliki banyak kesamaan dengan

spastisitas yang menyertai stroke. Lebih lanjut, response of cerebral origin spasticity

(COS) terhadap intervensi-intervensi sering kali berbeda dari spastisitas SCI, dalam

hal penampakkannya. Sebagai contoh, COS secara karakteristik menunjukkan

keadaankesehatan ekstensor yang lebih besar pada ekstremitas bawah dan tendensi

“spasme” yang lebih kecil.

Meskipun spastisitas bisa jadi menguntungkan, penurunan resiko

thrombophlebitis dan pada beberapa kasus membantu dalam hal fungsi, ia juga dapat

menciptakan deformitas impresif, rasa sakit, dan komplikasi-komplikasi medik

lainnya. Spastisitas yang mengganggu tujuan-tujuan fungsional memerlukan

perawatan. Contoh-contoh tujuan-tujuan fungsional nampak pada Tabel 49-18.

Tujuan-tujuan fungsional perawatan spastisitas sebaiknya didefinisikan secara jelas,

dengan mempertimbangkan baik tujuan-tujuan pasien maupun keluarga. Lebih lanjut,

komplikasi-komplikasi spastisitas yang potensial muncul (osifikasi heterotopik, borok

akibat tekanan, infeksi-infeksi pernafasan, dll) sebaiknya dipertimbangkan.

Perawatan-perawatan dasar untuk tujuan-tujuan tertentu menjamin bahwa intervensi-

intervensi yang tepat bersifat terencana dan terinstitusi.

Evaluasi terhadap pasien penderita spastisitas harus meliputi tidak hanya

pemeriksaan neurologis biasa, namun juga pertimbangan terhadap faktor-faktor

seperti kecepatan berjalan, keseimbangan, pola-polasinergi, kecepatan gerak,

distribusi keadaankesehatan, skor Ashworth yang telah dimodifikasi (Tabel 49-19),48

evaluasi goniometris, dan uji-uji fungsional.

Di masa lampau, suatu pendekatan piramida tentang perawatan spastisitas

dianjurkan untuk diterapkan. Piramida tersebut dimulai dengan pencegahan stimuli

nosiseptif serta pendidikan dan kemajuan-kemajuan terapi (ROM, peregangan,

casting, orthoses, modalitas-modalitas), dan kemudian berlanjut ke opsi-opsi yang

lebih invasif seperti motorik point blocks. Intervensi-intervensi orthopedik dan

Page 43: Traumatic Brain Injury

neurosurgical merupakan opsi terakhir yang harus dipertimbangkan. Dengan

perubahan-perubahan dalam pelayanan kesehatan dan kemjuan-kemajuan opsi-opsi

terapetik, pendekatan ini telah kehilangan popularitasnya dan menjadi kurang praktis.

Suatu “pendekatan komplementer,” diamana berbagai strategi perawatan

diaplikasikan secara konkuren berdasarkan tujuan-tujuan terapetik, saat ini lebih

disukai (lihat Gambar 49-8).

Gambar 49-8. Pendekatan komplementer terhadap manajemen spastisitas yang

bersumber pada serebral.

Pengobatan-pengobatan oral yang digunakan untuk merawat spastisitas seiring

dengan etiologi-etiologi lainnya pada umumnya tidak direkomendasikan untuk para

penderita yang bertahan hidup dari cedera otak, karena mereka mungkin mengganggu

tujuan untuk memaksimalkan fungsi kognitif. Diazepam dan baclofen oral dapat

bersifat merusak kemampuan kognitif tertentu. Dantrolene sodium telah

dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan oral bagi populasi penderita TBI karena

cara kerjanya yang secara perifer, pada otot. Dantrolene menurunkan depolarisasi-

efflux kalsium yang terindusi ke dalam retikulum sakroplasmik. Bagaimanapun juga

Dantrolen bersifat mensedasi, dan mengakibatkan kelemahan yang tergeneralisasi.

Enzim-enzim liver juga perlu untuk dimonitor apabila kita menggunakan dantrolene

sodium. Tizanidine, yang merupakan agonist 2 alfa seperti clonidine, telah

menampakkan efek-efeknya dalam populasi-populasi penderita multiple sklerosis dan

cedera sumsum sumsum tulang belakang.32, 33, 39, 204, 318 Hal ini rupanya meningkatkan

inhibisi presynaptic neuron-neuron motorik dan mungkin mengurangi pelepasan asam

amino eksitatori. Efek-efeknya menyerupai efek-efek baclofen oral.39

Casting yang berurutan mengacu kepada praktek pengaplikasian dan

pemindahan pembalut (cast) ke anggota badan seiring dengan meningkatnya ruang

gerak persendian. Modalitas-modalitas seperti pemanasan dan pendinginan juga dapat

sangat membantu untuk meningkatkan gerak dalam waktu singkat, dan dapat

Page 44: Traumatic Brain Injury

digunakan dalam konjungsi-konjungsi dengan casting untuk memungkinkan

peregangan yang lebih besar. Para pasien mungkin diuntungkan oleh analgesik untuk

meningkatkan level kenyamanan mereka ketika pembalut-pembalut dipasang. Lebih

dari satu anggota tubuh yang dapat dibalut pada saat yang bersamaan, namun klinisi

harus mempertimbangkan tingkat agitasi yang mungkin ditimbulkan pada tiap kasus

masing-masing orang. Kulit sebaiknya juga dimonitor karena pasien mungkin tidak

dapat mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Bantalan yang mencukupi di dalam

pembalut merupakan hal yang sangat penting. Pada contoh-contoh kasus yang sangat

jarang, keadaankesehatan pasien tidak memungkinkan untuk casting terutama karena

terlukanya kulit yang potensial terjadi dan isu-isu behavioral. Pada kasus-kasus ini,

injeksi-injeksi toksin botulinum dan/atau phenol harus dipertimbangkan untuk

menurunkan spastisitas dan oleh karenanya menurunkan resiko.

Peran teknik-teknik pengaturan posisipada manajemen spastisitas seringkali

tidak diperhatikan. Pengaturan posisi yang tepat akan memaksimalkan relaksasi otak

seperti halnya peningkatan kesejajaran/kelurusan, simetris, dan fungsi. Pengaturan

posisi juga dapat digunakan untuk menurunkan refleks-refleks primitif yang dapat

terjadi kembali pada para pasien setelah cedera otak. Sebagai contoh, meletakkan

supine dapat meningkatkan tonic labyrinthine supine reflex (TLSR), dengan demikian

meningkatkan keadaanekstensor. Salah satu tujuan dari berbagai tujuan yang dapat

diterima mengenai rehabilitasi yaitu dapat memberikan resep-resep alat yang

memungkinkan pengaturan posisi secara optimal. Pindai antispastisitas yang

berbentuk bola untuk tangan yang spastis umum digunakan. Abduksi ibu jari dari

telapak tangan dan menyebar ke digit-digit dapat mengurangi keadaan fleksor pada

tangan. Seperti halnya casting, teknik-teknik pemindaian juga dapat digunakan baik

untuk mengurangi keadaan dan meregangkan jaringan-jaringan lunak. Teknik-teknik

ini juga dapat dokimbinasikan. Sebagai contoh, piringan kaki inhibitory

difabrikasikan ke dalam pembalut ekstrimitas bawah yang meningkatkan dukungan

dan kelurusan kaki bagian depan. Konsep-konsep ini dapat juga disertakan dalam

Page 45: Traumatic Brain Injury

orthoses. Peningkatan kelurusan kaki dan tungkai seringkali mengakibatkan

pengurangan pola penampakan spastisitas.

Opsi-opsi perawatan lain meliputi injeksi-injeksi seperti prosedur-prosedur

neurolitik dan kemodenervasi dengan toksin botulinum. Prosedur-prosedur neurolitik

memerlukan ketrampilan teknis tertentu untuk melakukannya. Pheno, alkohol, atau

agen-agen anestetik diinjeksikan untuk merusak konduksi impuls-impuls.130

Neurolisis kimia mengacu kepada destruksi sebagian syaraf dengan alkohol atau

phenol.130 Pada saat injeksi dilakukan pada syaraf-syaraf yang utamanya syaraf

motorikik, mereka mengacu sebagai motorik point blocks atau motorik branch

blocks. Toleransi keseluruhan dari prosedur baik, meskipun dapat menjadi hal yang

menantang untuk mencobanya pada anak-anak dan pada pasien-pasien yang lebih

teragitasi dan aktif, seiring dengan mereka membutuhkan untuk tetap beristirahat

selama injeksi-injeksi. Sedasi mungkin penting dalam kasus-kasus ini. Efek samping

neurolisis yang terlaporkan meliputi pembengkakan, rasa sakit, pendarahan,

dysesthesia, dan trombosis vena bagian dalam. Setelah prosedur, para pasien

sebaiknya beristirahat dan mengelevasi ekstremitas yang diinjeksi. Analgesik-

analgesik ringan, penting dan dapat diberikan secara profilaktik, khususnya untuk

pasien-pasien yang tidak mampu untuk mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan

mereka.

Toksin botulinum A juga efektif dalam perawatan spastisitas, meskipun ia

bukan merupakan obat yang disetujui oleh FDA untuk indikasi ini.273 Ia mengikat

secara irreversibel pada percabangan neuromuskular, menghalangi kontraksi otot.

Jarang didapati efek samping, namun meliputi atrofi, rasa sakit, dan infeksi. Tidak

seperti motorik point blocks, tidak ada aturan-aturan khusus mengenai aktifitas

setelah injeksi. Untuk meminimalisasi potensi produksi antibodi terhadap

pengobatan, direkomendasikan bahwa injeksi-injeksi tidak diulang lebih dari setiap 3

bulan dan bahwa dosis total toksin harus dibatasi hingga 400 unit per sesi.318

bagaimanapun juga, stipulasi-stipulasi ini berubah-ubah seiring dengan pengalaman

yang didapatkan dengan pengobatan dan jenis-jenis lain menjadi tersedia untuk

Page 46: Traumatic Brain Injury

pemakaian di masa mendatang. Prosedur injeksi siap untuk dipelajari. Banyak dokter

memilih untuk menginjeksi dengan panduan EMG atau stimulasi elektrik.318 hasil-

hasilnya bervariasi dengan tingkat spastisitas, keakuratan injeksi-injeksi, unit-unit

obat yang diinjeksikan, dan uji-uji klinis biomekanik yang memiliki kontribusi bagi

munculnya posisi yang tidak diinginkan.76

FDA menyetujui terapi baclofen intrathecal (ITB) untuk pengobatan cerebral

origin spasticity pada tahun 1996. obat tersebut secara efektif mengurangi spastisitas

pada persendian-persendian dengan jumlah yang terbesar dan seringkali

menghasilkan perubahan dramatis pada keadaankesehatan.360 administrasi baclofen

secaralangsung ke dalam ruang intrathecal menciptakan konsentrasi cairan

serebrospinal yang efektif dengan konsentrasi plasma 100 kali lebih kecil jika

dibandingkan dengan administrasi oral.12 efek-efek samping sistemik berkurang atau

bahkan tida ada sama sekali dan respon klinik lebih besar apabila digunakan secara

intrathecal. Efek-efek pengobatan inipaling besar didapati pada anggota badan

bagian bawah, karena konsentrasi baclofen empat kali lebih besar pada area lumbar

daripada pada area servikal. Perubahan-perubahan pada spastisitas ekstremitas atas

juga dapat diamati, namun ini tidak dianggap sebagai suatu indikasi primer untuk

pengobatan ini pada saat ini.135, 247 Repon terhadap interensi-intervensi yang dilakukan

sebelumnya juga harus dipertimbangkan.

Para pasien sebaiknya diuji dengan teliti dan diberikan edukasi terlebih dahulu

sebelum menjalani uji coba terapi ITB. Pasien dan keluarga yang memiliki informasi

yang lebih baik merupakan keuntungan-keuntungan pengobatan, semakin baik

outcome maka kepuasan pasien akan didapatkan. Sebelum menjalani suatu uji coba

baclofen intrathecal, pasien diuji seperti di bawah ini. Isu-isu psikososial harus

dipertimbangkan: Dapatkah pasien mengakses terapi-terapi yang tepat apabila

diindikasikan demikian? Akankah ia mampu untuk melakukan isi ulang pompa tepat

waktu? Apakah pasien dan keluarganya tinggal dalam lingkup pelayanan perawatan

kesehatan yang mampu melakukan terapi ITB?

Page 47: Traumatic Brain Injury

Jika seseorang diisyaratkan sebagai seorang kandidat yang memenuhi

persyaratan, uji coba dilaksanakan. Baclofen diinjeksikan secara intrathecal dan

responnya dimonitor selama kira-kira 8 jam atau hingga efek-efeknya hilang.33 Uji

coba dilaksanakan pada hari-hari yang berurutan dengan 50, 75, dan 100 mikrogram

(atau 25, 50, dan 75 mikrogram pada anak-anak).12, 246 jika pasien merespon pada hari

pertama, tidak ada alasan untuk melaksanakan uji coba labih lanjut. Pada institusi

kami, para terapis menguji ulang pasien-pasien 4 dan 6 jam setelah injeksi. Uji-uji

dapat direkam dengan video dan dibandingkan dengan uji sebelum uji coba. Penting

untuk mengingat bahwa tujuan dari uji coba adalah untuk menguji apakah pasien

merespon terapi yang diberikan atau tidak; bukannya untuk menentukan dosis akhir

dan outcome pasien. Hal tersebut akan ditentukan selama 1 tahun atau menyesuaikan

implan. Jika didapati respon yang baik, pompa diimplankan (ditanamkan). Pada pusat

perawatan kami, seorang ahli bedah syaraf mengimplankan pompa dan kemudian

pasien dirawat oleh fisiatris. Hal ini memungkinkan kesinambungan perawatan dan

merupakan suatu pendekatan fungsional terhadap titrasi dosis dan resep-resep terapi

yang dianjurkan. Seringkali, akan muncul kebutuhan terhadap pelayanan rehabilitasi

seiring dengan kemampuan gerakan laten, kontrol motorikik, dan potensial fungsional

nampak yang sesungguhnya.

Prosedur-prosedur surgical lainnya yang menyatakan mengenai manajemen

spastisitas meliputi pemanjangan dan transfer-transfer tendon. Apabila operasi dapat

melemahkan otot yang spastik, spastisitas residual dapat berakibat pada deformitas

rekuren.136 Lebih banyak klinisi sekarang mengetahui niali inheren dalam

mengkombinasikan teknik-teknik pengurangan spastisitas. Manajemen spastisitas

yang memenuhi dengan terapi ITB dapat menurunkan kebutuhan tindakan operasi.135,

136 Dalam pengalaman klinis kami, Achilles tendon lengthening/pemanjangan tendon

achilles (TAL) secara relatif dapat dikerjakan dengan lebih mudah untuk

mengkoreksi kontraktur-kontraktur plantarfleksi. The split lateral anterior tibialis

tendon transfer (SPLATT) dapat mengkoreksi inversi kaki bagian depan selama masa

ambulasi. Rhizotomi-rhizotomi pada umumnya tidak dilakukan pada pasien-pasien

Page 48: Traumatic Brain Injury

dewasa dan hasilnya pada anak-anak bervariasi secara regional. Ini merupakan

prosedur destruktif secara permanen. Rhizotomi-rhizotomi anterior memberikan

denervasi otot sedangkan rhizotomi-rhizotomi posterior menginterupsi afferent-

afferent IA dan IB dari kumparan-kumparan otot.

Epilepsi Post-traumatris

Diperkirakan bahwa sekitar 5% dari semua orang yang dirawat di rumah sakit karena

TBI akan mengembangkan serangan sisa, yang didefinisikan sebagai serangan yang

terjadi satu minggu atau lebih setelah cedera. Akan tetapi, hadirnya faktor-faktor

resiko tertentu dapat meningkatkan probabilitas pembentukan serangan sisa atau

epilepsi posttraumatis/posttraumatic epilepsy (PTE). Khususnya, cedera-cedera

penetrating biasanya secara signifikan meningkatkan resiko seseorang. Faktor-faktor

lain yang telah diidentifikasikan meliputi serangan-serangan selama minggu pertama

(seranganawal), fraktur-fraktur tengkorak yang tertekan, hematoma intrakranial akut,

dura yang menjadi basah, kehadiran benda-benda asing, tanda-tanda fokal seperti

apnasia dan hemiplegia, usia 65 tahun atau lebih, hilang kesadaran selama lebih dari

satu hari, dan amnesia posttraumatis dalam jangka waktu lebih dari 24 jam.22, 177

Meskipun dengan pengetahuan kita akan faktor-faktor resiko tersebut,

penentuan resiko serangan seorang pasien merupakan hal yang sulit. Pada tahun

1979, Feeney dan Walker,118 menemukan model matematis untuk memperkirakan

resiko berdasarkan suatu kombinasi faktor-faktor resiko. Akan tetapi, model tersebut

belum terbukti membantu dalam sebagian besar situasi-situasi klinis. Hal ini telah

menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan profilaksis pengembangan

serangan sisa yang lebih sulit.

Dimasa lalu para pasien dikategorikan pada profilaksis akut serangan dalam

jangka waktu yang lama. Namun, penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa

penggunaan phenytoin selama satu minggu mengikuti cedera otak tidak mencegah

pengembangan PTE sisa.326 Lebih lanjut, efek-efek samping neurobehavioral

Page 49: Traumatic Brain Injury

phenytoin dan antikonvulsan pensedasi lainnya, seperti phenobarbital, dapat bersifat

merusak bagi pasien yang sudah lamban dalam berpikir dan kehilangan memori.

Obat-obatan ini sepertinya menghambat keseluruhan program rehabilitasi pasien.20, 108,

117, 237

Oleh karenanya, profilaksis serangan pada para pasien dengan cedera-cedera

nonpenetrating yang tidak menunjukkan aktifitas serangan apapun tidak lagi

diindikasikan. Jika seorang pasien menderita cedera penetrating atau jika ia menderita

serangan selama minggu pertama (serangan awal), maka keputusan mengenai

pengobatan-pengobatan profilaktik perlu untuk didasarkan pada situasi klinis

individu. Gambar 49-9 meringkas pernyataan-pernyataan tersebut, yang sebagian

didasarkan pada parameter-parameter praktek klinis yang diterbitkan baru-baru ini.58

Jika serangan sisa muncul, maka pasien disebut menderita TPE dan

permasalahannya menjadi lebih cenderung ke perawatan daripada profilaksis. Dalam

kasus-kasus ini, carbamazepine nampaknya menjadi obat yang dipilih.147, 283 Sebagian

besar serangan sisa merupakan varietas parsial, entah parsial sederhana atau parsial

kompleks, yang secara sekunder dapat digeneralisasi. Carbamazepine telah terbukti

seefektif phenytoin dan phenobarbital yang diberikan untuk serangan-serangan tonik-

klonik tergeneralisasi, dan lebih efektif dalam mengontrol serangan-serangan

parsial.177, 239

Carbamazepine dapat ditolerir dengan baik dan memiliki efek-efek samping

yang lebih sedikit (misalnya, menderita gastrointestinal, sakit kepala, pusing-pusing,

diplopia), yang biasanya dapat diperbaiki dengan mulai memberikan dosis rendah dan

secara bertahap bertambah hingga kisaran terapetik. Efek samping carbamazepine

yang paling menjadi kelemahannya adalah suppresi sumsum tulang. Akan tetapi,

leukopenia transient, yang sesungguhnya merupakan suatu neutropenia relatif,

biasanya dapat dimonitor sepanjang jumlah sel darah putih di atas 3000 sel/mm3

(dengan 50% sel-sel darah putih menjadi neutrofil).277 Kelemahan carbamazepine

telah secara relatif menjadi separuh waktu hidupnya, yang membuat pemberian dosis

tiga kali sehari diwajibkan.1 Namun, persiapan-persiapan yang dapat bekerja lebih

Page 50: Traumatic Brain Injury

lama sekarang tersedia, sehingga memungkinkan pemberian dosis dua kali sehari dan

kemungkinan level-level yang lebih konsisten.

Valproic acid (Depakote, Depakene), meskipun pada awalnya mensedasi, juga

dapat bermanfaat, karena ia dapat memiliki efek-efek samping kognitif dan

behavioral yang lebih sedikit daripada carbamazepine. Gabapentin (Neurontin),

pengobatan antiepileptik lain yang masih baru, bisa jadi membuktikan dirinya dapat

membantu untuk para pasien dengan PTE. Ia disetujui sebagai obat terapi yang

membantu, tidak memiliki efek samping yang signifikan, dan tidak memerlukan

pemonitoran level-level darah. Antiepileptik yang lebih baru, yang keuntungan-

keuntungannya bagi PTE tidak diketahui, termasuk lamotrigine (Lamictal) dan

topiramate (Topamax).

Hidrosefalus Posttraumatis

Hidrosefalus merupakan komplikasi dari cedera otak traumatis yang dikenal dengan

baik perbedaan-perbedaan dalam hal kriteria diagnosis dan populasi-populasi pasien

yang diteliti mungkin mencatat berbagai macam insidensi yang terukur (dimanapun

dari 9 hingga 72%).164, 220 Abnormalitas fundamental dalam hidrosefalus adalah suatu

keadaan yang tidak seimbang dalam produksi dan absorpsi cairan serebrospinal

(CSF). Secara keseluruhan, kerusakan absorbsi didapati pada sebagian besar kasus

hidrosefalus.

Secara tradisional, hidrosefalus dikategorikan entah sebagai communicating

atau noncommunicating. Pada bagian terdahulu, terdapat adanya aliran bebas CSF

dalam berbagai porsi sistem ventrikular, ruang-ruang cisterna dan subarachnoid.

Namun, aliran CSF dari cisterna ke vili arachnoid terhalangi atau absorpsi CSF oleh

vili rusak. Yang kemudian terjadi dengan inflamasi atau pendarahan subarachnoid.

Istilah-istilah umum lain yang digunakan untuk mengkategorikan hidrosefalus

termasuk hidrosefalus obstruktif, yang mendeskripsikan patomekanisme, normal

pressure hydrocephalus (NPH), dan hidrosefalus exvacuo. NPH didefinisikan sebagai

Page 51: Traumatic Brain Injury

suatu triad klinis gangguan kecepatan jalan, kerusakan mental, dan urinary

incontinence yang disertai dengan pembesaran ventrikular dan tekanan CSF

normal.348 Selain bukti hasil radiografi pmbesaran ventrikular, hidrosefalus exvacuo

bukanlah merupakan hidrosefalus yang “sesungguhnya”. Sebaliknya, hal tersebut

merepresentasikan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh atrofi otak. Fitur-fitur

computerized tomography (CT) tertentu yang membedakan exvacuo dari hidrosefalus

yang sesungguhnya tercantum pada Tabel 49-20.192

Diagnosis dan perawatan tepat waktu merupakan hal yang penting selama

proses rehabilitasi, karena kegagalan untuk melakukan hal tersebut mungkin akan

menghambat penyembuhan dan meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan

mendapatkan keuntungan dari terapi-terapi yang diberikan. Diagnosis pada individu-

individu dengan cedera-cedera otak parah sulit dilakukan, karena triad klasik NPH

sudah nampak sebagai hasil langsung trauma otak. Para klinisi seringkali harus

mengandalkan gejala-gejala atipikal atau yang hampir tidak kentara (misalnya,

penurunan kemampuan fungsional, kegagalan untuk maju, serangan-serangan,

permasalahan-permasalahan emosional, postur abnormal, atau peningkatan

spastisitas) dan mengkonfirmasi kecurigaan melalui CT.

Jika kecurigaan pembentukan PTH tinggi, CT scan bulanan yang berurutan

untuk membuat perbandingan dapat membantu menentukan diagnosis.90, 192 Dalam

situasi-situasi dimana temuan-temuan radiografi bersifat equivokal, penentuan

pasien-pasien yang mana yang akan mendapatkan keuntungan dari shunting biasanya

didasarkan pada suatu kumpulan temuan-temuan. Suntikan lumbar untuk tekanan

aksis-kraniospinal dapat dipertimbangkan. Shunting biasanya berhasil jika tekanan

dinaikkan di atas 180 mm air atau jika ventrikel-ventrikel telah secara progresif

bertambah ukuran. Pasien juga sepertinya akan diuntungkan dari penempatan shunt

jika terdapat gambar klinis yang menunjukkan hidrosefalus tekanan normal.259 CT

cisternography dan radionuclide cisternography dapat sangat membantu, namun

reliabilitas uji-uji ini tidak dapat diterima secara universal.

Page 52: Traumatic Brain Injury

Penggunaan suatu versi uji tap cairan cerebrospinal yang telah diadptasikan348

sangat membantu dalam beberapa kasus. Uji ini meliputi penggunaan ukuran-ukuran

psikometris dan observasi pola-pola kecepatan berjalan (gait) sebelum dan sesudah

suntikan lumbar dimana 50 cc CSF dipindahkan. Perkembangan hasil-hasil tes setelah

pemindahan cairan mengimplikasikan bahwa hasil-hasil yang sukses akan tercapai

jika pasien diberi shunt.

Diversi CSF, seperti ventriculoperitoneal shunting, merupakan perawatan

hidrosefalus definitif. Metode-metode shunting alternatif termasuk ventrikulo-atrial,

ventrikulo-jugular, dan lumboperitoneal. Komplikasi-komplikasi mungkin muncul

dari kegagalan mekanik shunt, kegagalan fungsional berasal dari ketidakcukupan

kecepatan aliran sebuah shunt yang dipergunakan, dan infeksi. Detil-detil mengenai

shunting ditemukan pada berbagai buku teks neurosurgical.

Kerusakan Syaraf Kranial

Kerusakan syaraf kranial merupakakn konsekuensi wajar cedera otak. Kerusakan

yang dihasilkan, seperti segala sesuatu yang berkaitan dengan sensasi (penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasa) dan menelan, dapat berakibat pada kerusakan lanjut

fungsi pada pasien yang sudah dalam keadaan bingung.190

Pasien-pasien yang terluka dalam kecelakaan-kecelakaan pejalan kaki dengan

kendaraan bermotor dan mobil memiliki angka insidensi cedera syaraf kranial yang

lebih tinggi daripada mereka yang cedera karena sebab-sebab lainnya. Sembilan belas

persen pasien yang diperiksa akhir-akhir ini pada suatu penelitian multicenter

memiliki kerusakan pada satu atau lebih syaraf-syaraf kranial. Syaraf kranial VII (9%

dari pasien) mengalami cedera paling sering, diikuti oleh syaraf kranial III (6% dari

pasien), yang paling jarang mengalami cedera adalah syaraf kranial IX dan XI.49, 50, 55

Angka insidensi kerusakan syaraf kranial yang sesungguhnya terkait dengan cdera

otak traumatis tidak dapat ditentukan, akan tetapi, karena banyak penelitian dan

Page 53: Traumatic Brain Injury

praktek klinis pada umumnya cenderung untuk mengabaikan pengujian syaraf-syaraf

kranial tertentu seperti syaraf I (olfaktori).

Syaraf kranial I dapat rusak secara langsung apabila syaraf tersebut memasuki

lempeng cribiform dengan suatu tiupan frontal atau via cedera contra-coupe. Olfaksi

yang rusak, atau dysosmia, dapat sepenuhnya (anosmia) atau sebagian (hiposmia).

Dysosmia seringkali berakibat pada perubahan indera perasa dan dapat menyebabkan

para pasien memiliki pilihan menu makanan yang aneh atau baru. Para pasien dengan

indera penciuman yang rusak mungkin memerlukan pemberian isyarat dalam hal

higiene, memasak, penyimpanan makanan, dan penggunaan parfum. Mereka

mungkin perlu memasang detektor asap dan detektor-detektor gas natural untuk

mengkompensasikakn ketidakmampuan mereka. Para pasien yang bekerja pada

industri petrokimia dapat memiliki permasalahan-permasalahan signifikan dalam

proses kembali bekerja secara aman, karena mereka tidak lagi mampu untuk

mendeteksi kebocoran-kebocoran bahan kimia.105

Kerusakan pada syaraf kranial II berakibat pada neuropati optik yang nampak

sebagai ketidakmampuan/kehilangan visual pada berbagai tingkatan. Cedera pada

sistem motor mata (misalnya, syaraf kranial III, IV dan VI) dapat terjadi pada

beberapa level, baik secara sentral dan perifer. Gangguan sekunder dapat terjadi

setelah dampak, seiring dengan herniasi temporal yang diakibatkan edema (herniasi

uncaldengan cedera syaraf kranial III). Hasil strabismus dapat disebabkan oleh cedera

syaraf kranial, namun beberapa deviasi pandangan pada tahap-tahap awal setelah

cedera otak bisa jadi tidak disebabkan oleh cedera syaraf kranial. Pengujian yang

objektif untuk menentukan kesejajaran okular dapat langsung dilakukan dengan

memperhatikan letak simetris refleksi korneal dengan sinar pena pada masing-masing

posisi mata kardinal (refleks Hirschberg). Jika kesan-kesan pada kedua kornea

terpusat, maka aksis visualnya biasanya sejajar. Suatu tes tertutup/terbuka pada

umumnya dapat menentukan adanya ketidaksejajaran aksis visual ketika kedua mata

digunakan untuk melihat, kedua kebutruhan akan fiksasi mungkin membatasi

kegunaannya dan mengagitasi para pasien yang tidak kooperatif. Uji konvergensi dan

Page 54: Traumatic Brain Injury

akomodasi sebaiknya dilakukan secara hati-hati. Efek samping obat-obatan, yang

palingumum phenytoin dan phenobarbitol, juga dapat merusak refleks-refleks

tersebut. Diplopia yang terjadi hanya pada penglihatan jarak dekat dapat dihasilkan

oleh suatu sistem vergensi yang rusak.28

Evaluasi neuro-opthalmologic awal atau neuro-optometric dapat sangat berguna

dalam pendiagnosaan abnormalitas-abnormalitas yang tidak kentara,

merekomendasikan ukuran-ukuran korektif untuk abnormalitas-abnormalitas, dan

mencegah komplikasi-komplikasi sekunder, seperti eksposure keratitis terhadap

kornea. Pada pusat penelitian kami, “Low Vision Rounds” mingguan diselenggarakan

oleh ahli neuro-optometri untuk mencapai tujuan ini. Kurang begitu jelas apakah

latihan-latihan okulomotor yang digunakan oleh spesialis neuro-optometri memiliki

kegunaan bagi populasi ini, karena tidak adanya penelitian yang komprehensif. Akan

tetapi, pengalaman kami mengindikasikan bahwa prosedur-prosedur demikian bisa

jadi membantu dalam meningkatkan penglihatan selama fase rehabilitasi. Tentunya

penggunaan prisma-prisma korektif, apabila kesejajaran pasien tidak berfungsi pada

beberapa diopter, sangat membantu bagi pasien yang dapat menggunakannya.

Cedera pada syaraf wajah paling umum terjadi di dalam jalan lintasannya

menuju tulang temporal. Efek yang paling membahayakan adalah ketidakcukupan

kemampuan pelupuk mata untuk menutup dan pasien bisa jadi mudah terkena

exposure keratitis pada kornea. Jika syaraf kranial V juga mengalami cedera,

mengakibatkan hilangnya sensasi kornea, maka masalahnya menjadi semakin sulit.

Hal berikut bersifat imperatif adalah bahwa mata dilindingi oleh penggunaan lubrikan

dan menepuk pelupuk mata yang tertutup dengan bantalan mata. Sayangnya, teknik

ini tidak aman dan, jika tidak dilakukan dengan tepat, dapat menyebabkan kerusakan

lebih parah. Sebagai alternatif, film transparan oklusif (yang menutupi area okular

dan menciptakan suatu “kamar basah”) telah digunakan untuk menjaga kornea tetap

terkubrikasi dengan beberapa keberhasilan. Tarsorraphy mata bisa jadi penting untuk

mencegah kerusakan lebih parah, khususnya pada pasien dengan level-ringan.

Page 55: Traumatic Brain Injury

Evaluasi syaraf kranial VIII (syaraf vestibulo-koklear) biasanya terjadi selama

fase neurosurgical akut. Pemeriksaan langsung dapat mengungkapkan tanda-tanda

Nattle, fraktur mastoid, otorrhea, pendarahan dari telinga, hemotympanum, dan

laserasi-laserasi membran timpanik. Pendarahan dari telinga dan laserasi-laserasi

membran timpanik mungkin mengindikasikan fraktur longitudinal tulang temporal.

Seiring dengan stabilnya kondisi pasien, uji audiometri dan garpu tala dapat

dilakukan. Auditori batang otak membangkitkan potensial-potensial yang dapat

memberikan informasi lebih lanjut mengenai integritas sistem auditory. Jika

kehilangan pendengaran cukup signifikan, alat bantu dengan tipe CROS[Contralateral

Routing of Signal], yang mentransfer suara ke telinga secara utuh, dapat membantu

kompensasi pasien.

Gangguan-gangguan vestibular dapat berakibat pada rasa pusing, kerusakan

keseimbangan, ataksia, dan nystagmus. Uji barany, suatu uji provokatif dengan

menggunakan rotasi kepala, berguna dalam mengevaluasi nystagmus. Para pasien

akan seringkali melakukan kompensasi dengan memiringkan kepalanya untuk

mengurangi nystagmus. Pada pasien-pasien dengan keluhan rasa pusing, masuk akal

untuk mengimplikasi etiologi vestibular. Akan tetapi, etiologi-etiologi lain yang

memungkinkan perlu untuk dikendalikan.120 (lihat Tabel 49-21)

Pengobatan-pengobatan yang umum digunakan untuk problem-problem

vestibular, seperti meclizine atau dimenhydrinate, merupakan antihistamin dan dapat

menyebabkan sedasi pada para pasien dengan cedera otak. Terapi vestibular,

penggunaan habituasi, dapat dipilih.312 Pasien-pasien menggunakan latihan-latihan

provokatif, yang meningkatkan gejala-gejala, untuk mengurangi sensitifitas respon

vestibular.

Syaraf kranial yang lebih rendah biasanya hanya kadang-kadang terpengaruh

oleh cedera-cedera otak. Mereka lebih sering rusak oleh trauma langsung.190

Page 56: Traumatic Brain Injury

Hipertermia Posttraumatis

Hipertermia merupakan kejadian wajar selama masa penyembuhan dari trauma.

Merupakan hal yang menarik untuk mengatribusikan demam pada seorang penderita

cedera otak dengan disfungsi sentral, khususnya jika hasil uji awal tidak menyatakan

adanya proses infeksius atau proses inflamasi. Akan tetapi, hipertermia posttraumatis

pada pangkal sentral secara relatif tidak wajar, terjadi hanya pada 4% pada satu seri. 75

Suatu evaluasi yang menyeluruh biasanya diperlukan untuk menginvestigasi yang

lain, etiologi-etiologi yang lebih umum. Meskipun terdapat sejumlah kejadian-

kejadian yang potensial menghasut, masuk akal untuk mempertimbangkan infeksi

sebagai suatu penyebab yang paling mungkin, karena seorang penderita cedera otak

mudah terkena berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kencing, pneumonia

aspirasi, dan atelectasis. Cedera-cedera yang menyertai cedera utama menjadikan

pasien sebagai subjek prosedur-prosedur dan instrumentasi-instrumentasi ganda,

seperti intrakranial, abdominal, dan operasi-operasi orthopedik, ventrikulostomi,

intubasi, kateterisasi vena sentral, dan kateterisasi kandung kemih. Immobilitas

menambah resiko infeksi. Yang lain, merupakan penyebab demam yang kurang

umum75, 148 termasuk pengobatan-pengobatan (yang disebut “demam obat”), infeksi

intrakranial, trombosis vena bagian dalam, sinusitis paranasal, osifikasi heterotopik,

endokarditis, abses okkult, spastisitas, hidrosefalus, dan peningkatan tekanan

intrakranial. Gambar 49-1075 menyajikan suatu algoritma yang disarankan untuk

menanggulangi hipertermia pada seorang penderita cedera otak.

Ketika suatu sistem penanggulangan demam gagal untuk mengidentifikasi

suatu etiologi, klinisi diminta untuk memberi label kondisi tersebut”demam karena

etiologi yang tidak diketahui” ata mengatribusikan demam ke pangkal sentral.

Demam sentral biasanaya berakibat pada elevasi temperatur sedang. Pada beberapa

kasus, bagaimanapun juga, hal tersebut dapat muncul sebagai kelabilan temperatur.

Tujuan perawatan adalah untuk mencegah komplikasi-komplikasi lebih lanjut, karena

elevasi temperatur tubuh disertai dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan

Page 57: Traumatic Brain Injury

metabolik, exacerbation eksitotoksisitas neuronal, gangguan halangan aliran darah ke

otak.200 Manajemen meliputi penggunaan selimut pendingin dan antipiretik, seperti

aspirin, asetaminofen, dan obat-obatan anti inflamasi nonsteroid.35 Pengobatan-

pengobatan lain yang telah digunakan termasuk dopaminergics (bromocriptine,

amantadine), dantrolene sodium, chlorpromazine, clonidine, dan propranolol.248

Gangguan-gangguan Tidur

Meskipun gangguan tidur merupakan observasi yang wajar pada penderita cedera

otak yang bertahan hidup, insidensinya yang pasti tidak diketahui. Sebuah penelitian

melaporkan suatu angka insidensi 73 % dan 52% pada setting pasien rawat inap dan

rawat jalan, secara respektif. Gangguan tidur dapat dikategorikan sebagai masalah

awal ataupun saat perawatan, atau kedua-duanya. Rasa kantuk yang berlebihan pada

siang hari mungkin hampir pasti karena kurangnya waktu tidur malam, narcolepsy,

atau sleep apnea, satu dengan lainnya. Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur dapat

merusak waktu bangun, kesadaran, perilaku, dan kemampuan seorang individu untuk

ikut terapi.

Page 58: Traumatic Brain Injury

Gambar 49-10. Saran terhadap penanganan alghorithm demam untuk pasien dengan

cedera otak.

Peninggian temperature

Tindakan klinisCBC dengan nilai yang berbedaPemeliharaan temperature darah 101derajat FTindakan diagnosa lain, seperti yang ditunjukkan pada tindakan klinis.Mempertimbangkan pengobatan antibiotic empiris sementara menunggu hasil test.

POSITIVE NEGATIVE

Pengobatan dengan antibiotic yang sesuai

POSITIVE

Pengobatan yang tepat

Profil kimiaRata-rata pengendapanPenjagaan dahakPenjagaan Intravascular cathetherKerja Veneous thromboemlism, jika terindikasiBone scan, indium scanParanasal sinus radiographCT scan otakPenangan CSFPeninjauan pengobatan (Obat demam?)Mempertimbangkan konsultasi penyakit-penyakit yang menular

NEGATIVE

Mempertimbangkan percobaan bromocriptine, dantrolene,indomethachiri

Pemecahan demam secara cepat

YA TIDAK

Post-traumatic Konsultsasi penyakit-penyakit menularhyperthermia

Page 59: Traumatic Brain Injury

Berbagai macam neurochemical/proses pengobatan telah di libatkan dalam

siklus sleep-wake. Gangguan kimiawi yang mengikuti cedera pada otak secara

teoristis menjadikan dasar postraumatik ganguan tidur. Namun demikian, penyebab

yang lainnya perlu diketahui untuk memberikan perawatan yang tepat. Situasi yang

mengganggu ini termasuk pengobatan, nyeri, hypoxia, sleep apnea, stress, sejarah

tidur sebelumnya, keadaan lingkungan jelek, pengkonsumsian kafein yang

berlebihan, dan penggunaan nikotin.

Berbagai macam skala penilaian, seperti Epworth Sleepness Scale dan

Pittsburgh Sleep Quality Index dapat digunakan. Pada situasi pasien rawat jalan ,

catatan tidurnya mungkin cukup. Namun demikian, data laporannya tidak dapat

dipercaya karena cognitive dysfunction (tidak berfungsinya kognitif). Pada keadaan

pasien rawat inap siklus observational sleep-wake dapat dipakai oleh staf perawat.

Pernah etiology yang bisa dibenarkan telah di ketahui, pengukuran yang

sesuai perlu untuk diadakan. Strategi non-pharmakology termasuk pengaturan

lingkungan ( tenang dan sedikit cahaya lampu, tempartur ruangan yang nyaman), tak

berkelanjutan atau penggantian administrasi waktu untuk persediaan obata-obatan,

dan menhindari kafein serta nikotin, Table 49-22 menggambarkan daftar beberapa

hypnotis yang sering dipakai.

Komplikasi Paru-Paru

Komplikasi paru-paru berkaitan dengan cedera otak secara langsung dapat

berasal dari trauma itu sendiri ( contoh. Intubation) atau berkaitan dengan kekurangan

neurologis. Bahkan ketika benar-benar diterapkan, masalah ini memperpanjang

kebutuhan akan acute intensive management, mencegah mobilisasi dini, dan

menghalangi keterlibatan rehabilitasi secara keseluruhan.

Komplikasi paru-paru akut akibat dari trauma termasuk pneumothorax,

hemothorax, atelectasis, bacterial dan chemical pneumonia, mekanik ventilasi yang

Page 60: Traumatic Brain Injury

Ket

eran

gan

Leb

ih

sedi

kit

an

thic

holi

nerg

ic

dan

ca

rdio

toxi

k da

band

ing

deng

an tr

icyc

lic

anti

depr

esan

t

Mon

itor

tin

gkat

ser

um n

ortr

ipty

line

jik

a d

osis

nya

mel

ebih

i 100

mg/

hari

Dos

is y

ang

lebi

h ti

nggi

(15

-20m

g) b

erka

itan

den

gan

keja

dian

yan

g le

bih

mer

ugik

an .

Pen

yesu

aian

dos

is

untu

k it

u de

ngan

hep

hati

c im

pair

emen

t. E

fek

cns

Gun

akan

pe

ring

atan

un

tuk

ha

l

itu

de

ngan

pu

lmon

ary

kron

is

Eff

ek S

ampi

ng

Men

gant

ukT

anda

-tan

da a

ntic

holi

nerg

icM

uak,

mun

tah

Hip

oten

siR

asa

saki

t mus

culo

skel

etal

Sam

a se

pert

i nor

trip

tyli

ne

Gej

ala

an

tich

olin

ergi

k,

men

gant

uk,

po

stur

al

hypo

then

si,

be

rbag

ai

card

iac

yang

ta

bnor

mal

,

anor

ksia

, m

uak,

le

su,

ge

jala

ex

trap

yram

idal

, be

rdeb

ar,

saki

t

Men

gant

uk,

pu

sing

,

Dea

rhe,

ef

ek

swda

si

dan

ra

sa

saki

t w

aktu

ban

gun

Irit

asi

lam

bung

, m

uak,

mun

tah

diar

he,

efek

sed

asi

atau

sak

it

saat

ban

gun

CN

S

depr

esi,

am

nesi

a,

men

gant

uk,

bi

ngun

g,

agit

asi,

pusi

ng,

vert

igo,

ata

xia,

lel

ah,

lem

ah,

sa

kit

ke

pala

,

mua

k,

geja

la G

L la

inny

a.

Efe

k R

asa

sak

it s

aat

bang

un:

mal

as,

dam

men

gant

uk.

Tid

ak

ada

efe

k t

erha

dap

kes

adar

an,

daya

ing

at,

dan

pem

bela

jara

n ha

l bar

u. G

angg

uan

naik

mot

or.

Efe

k te

rhad

ap ti

dur

Pen

ingk

atan

RE

M t

idur

be

lum

ke

liha

tan

Pen

ingk

atan

slo

w-w

ave

tidu

r

Pen

ingk

atan

tidu

r ti

ngka

t 4P

enur

unan

pe

rsen

tasi

R

EM

ti

dur

Per

panj

anga

n

tidu

r

belu

m

tam

pak

Wak

tu

tidu

r

kese

luru

han

men

ingk

atP

enin

gkat

an k

uali

tas

tidu

rP

enur

unan

jum

lah

bang

un

Pad

a d

osis

ren

dah

m

ence

gah

ting

kat

tidu

r; p

ada

dosi

s ti

nggi

m

enin

gkat

kan

slo

w w

ave

tid

ur

dan

men

urun

kan

RE

M a

wal

Men

ingk

atka

n

jum

lah

tidu

r ke

selu

ruha

nT

idur

ya

ng

belu

m

tam

pak

berk

uran

g

Men

urun

kan

gang

guan

pha

ses

Men

ingk

atka

n w

aktu

tid

ur s

cr

kese

luru

han

Men

gura

ngi

RE

M t

idur

d

ini

dim

alam

har

i

Men

ekan

RE

M ti

dur

Mem

perp

ende

k M

engu

rang

i jum

alh

bang

un

Dos

is

25-1

50 m

g hs

25-1

00 m

g hs

25-1

50 m

g hs

5-10

mg

hs

500-

1000

mg

hs

(seh

arus

nya

tida

k

15-3

0 m

g hs

25-5

0 m

g hs

Oba

t

Tra

zodo

ne

Tri

cyli

c an

tide

pres

san

tA

myt

ript

ilin

e

Nor

trip

tyli

ne

zolp

idem

Chi

cral

hyd

rate

Ben

zodi

azep

ines

Tem

azep

am

An

tih

ista

min

esD

iphe

nhyd

ram

ine

Page 61: Traumatic Brain Injury

Diperpanjang dan neurogenic pulmonary edema (NPE). selain itu untuk recovery

medis yang complikatif, keadaan ini juga meningkatkan resiko cedera hypoxic kedua

(secondary hypoxic injury). Neurogenic pulmonary edema, dikaitkan dengan cedera

otak yang diisolasi atau hemorrhage, mungkin berkaitan dengan adult respiratory

distress syndrome (ARDS) yaitu sindrom pernapafasan dewasa yang sukar. Tekanan

organ-organ dalam tengkorak yang meningkat, aktivitas-aktivitas simpatik, dan

aktivitas-aktivitas pada pembuluh kapiler paru-paru terlibat menjadi penyebabnya.

Saran temuan klinis dari NPE termasuk dyspnea, hypoxia, penurunan pemenuhan

pe,buluh darah paru-paru, dan munculnya ‘fluffy’ (seperti benang halus) masuk ke

radiograf dada. Biasanya seseorang yang membatasi komplikasi dirawat dengan

tindakan yang suportif. Agen sympatholitik dan inotropik mungkin juga berperan

dalam perawatan.

Pneumonia merupakan komplikasi yang umum dari TBI. Lebih dari 80%

pasien TBI bertambah serangan pneumonia selama 7 hari pertama setelah cedera.

Pneumonia awal biasanya nosocomial. Pasien TBI yang terintubasi beresiko khusus

karena alat-alat, mekanis fentilasi, dan kompromi terhadap system kekebalan.

Organisme-organisme umumnya termasuk Staphylococcus aureus, Haemophiius

influenza, dan Pseudomonas aeruginosa. Faktor-faktor resiko yang penting termasuk

intubasi pada saat terjadi cedera, dan system penelanan yang tidak berfungsi.

Pada situasi rehabilitasi, aspirasi merupakan perhatian yang signifikan karena

ini merupakan penyebab yang potensial akan pneumonia. Seseorang dengan TBI

beresiko terhadap aspirasi isi perut karena gangguan refleks batuk yang normal,

tingkat kesadaran yang berkurang, sensasi oropharyngeal yang berkurang, dan

kesehatan esophapharyngeal sphincter yang lebih rendah. Untuk menurunkan

komplikasi, Nowak et al merekomendasikan menjaga pipa tracheostomy pada

seseorang pada tingkat III pada Rancho Los Amigos Cognitive Scale. Tracheostomy

plus percutaneous endoscopic gastrosmy telah diperlihatkan untuk menurunkan

resiko aspirasi segifikan secara klinis. Penting bagi ahli klinik untuk mengenal bahwa

kehadiran tube trachaeostomy yang mengembung tidak benar-benar melindungi

Page 62: Traumatic Brain Injury

aspirasi. Dengan melepaskan pipa rute mulut melalui gastrotomy atau jejunostomy

juga tidak memberi garansi perlindungan dari aspirasi. Pada kenyataannya,

keberadaan pipa makanan dapat mengurangi kesehatan esopahageal sphinter. Selain

itu, muncul tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian aspirasi pneumonia

individu dengan pipa-pipa pemberi makanan intragastric atau transpyloric.

Pada kebanyakan unit-unit rehabilitasi cedera otak, pasien baru diakui ditaksir

dari fungsi penelanan oleh ahli pathologi. Cairan dan konsistensi died lalu di

tentukan penjadwallnya. Prosedur ini ditampilkan tanpa menganggap adanya

rekomendasi diet dari perpindahan rumah sakit, karena kemampuan pasien dalam

menelan dapat berubah dengan cepat dalam rangkaian pemulihan. Evaluasi

koordinasi dan kekuatan gerakan mulut, pembuangan, kemampuan menelan cairan

yang berbeda serta konsistensi diet, dan perkiraan kanaikan bagian pangkal

tenggorokan dapat membantu dalam mengidentifikasi hal itu semua dari resiko

aspirasi. Kami belum menemukan “gag reflex” / refleks sumbatan. yang membantu

untuk tujuan ini. Adanya kebocoran cuping pada radiograf dada sebelah tengah

bagian dalam atau bawah seharusnya meningkatkan kecurigaan pneumonia. Karena

beberapa individu adalah “silent aspirator” aspirator yang pendiam (contoh. Penetrasi

trakhom atau aspirasi makanan tanpa gejala-gejala klinis seperti batuk atau

sumbatan), terjadi akibat penelanan barium atau penyelidikan videofluoroscopic

merupakan pembantu diagnosa yang penting .

Awal rekoveri/pemulihan, jalan udara buatan umumnya penting untuk

mencegah hypoxia dan meningkatkan pembuangan paru-paru. Ketika pemulihan

mengalami peningkatan, kebutuhan jalan udara berkurang; satu langkah tercapai,

dokter/ahli klinis seharusnya mempertimbangkan dekanulasi (pelepaxan pipa

tracheostomy). Selain itu pneumonia dan infeksi paru-paru, penggunaan pipa

trcheostomy yang lama meningkatkan resiko komplikasi lainnya. Sebuah peyelidikan

yang prospektif akan endoskpi dekanulasi sebelumnya secala langsung menunjukkan

bahwa 35% pasien dengan temuan larinygeal dan tracheal yang signifikan, termasuk

paralysis pita suara, tracheal stenosis, subglottic stenosis, glottic stenosis, dan tracheal

Page 63: Traumatic Brain Injury

malacia. Tidak jelas apakah komplikasi-komplikasi seperti ini diakibatkann oleh

intubasi (pemasangan pipa) atau polytrauma, atau keduanya. Formasi granuloma telah

diobservasikan kepada lebih dari 56% individu dengan TBI yang memercederan

tracheostomy lebih dari satu bulan. Lebih dari 23% dapat mengembangkan tracheal

malacia, atau menjadi kurus dan tidak kompeten terhadap trachea / ujung

tenggorokan, dan lebih dari 12% dapat menderita tracheal stenosis. Selain itu,

komplikasi, termasuk paralysis pita suara dan glottic dan subglottic stenosis

umumnya tidak terjadi. Dekanulasi yang tepat pada waktunya mungkin mencegah

komplikasi-komplikasi seperti ini , dan tipikalnya begitu ketika pasien tidak

membutuhkan bantuan oksigen. Mampu dengan baik pengeluaran, dan resiko aspirasi

kecil.

Dekanulasi umumnya diselesaikan dengan mengurangi ukuran pipa, lalu

memasang pipa tracheostomy selama 24 jam secara terus menerus, dan setelah itu

dilepas. Di tempat kami kami mengurangi ukuran pipa variasi cuffless sebelumnya

untuk dipasang untuk mencegah kekurangan napas yang secara kebetulan. Kami

memulai memasang pipa tracheotomy selama sekitar 2 jam. Jika pasien mampu

bertahan, hal itu berarti mampu menjaga oksigenasi yang baik (karena diukur dari

gejala dan denyut oxymetry) dan mampu menangani pembuangannya, pemasangan

ditingkatkan interval 2-6 jam setiap hari (tergantung terhadap ketahanan pasien) Hal

ini berlangsung terus menerus sampai pipa terpasang tanpa henti selama 24 jam. Lalu

pipa dilepas.

Beberapa penulis menganjurkan pengkajian endoscopic terhadap larynx

/pangkal tenggorokan dan trachea pada semua pasien, untuk mendeteksi jaringan

granulasi yang dapat mengganggu pernafasanketika pipa tracheostomy dilepas. Yang

lain menganjurkan larynxboscopy hanya pada pasien yang menunjukkan gejala

hambatan jalan udara atau yang tidak ada respon . Laryngoscopy dapat juga

dipertimbangkan pada pasien yang mendapat tracheostomy lebih dari satu bulan.

Dekanulasi merupakan kejadian penting terhadap pemulihan individu dari TBI. Pipa

dapat memperburuk agitasi dalam pemulihan pasien, menyebabkan keprihatinan

Page 64: Traumatic Brain Injury

anggota keluarga, dan meningkatkan perlunya perhatian pernafasan dan perawatan.

Pada situasi tertentu, kehadiran traceostomy dapat mempengaruhi kecondongan

watak, karena fasilitas post acute dan perwatan dalam waktu lama tidak menerima

pasien dengan tracheostomy.

Komplikasi Gastrointestinal dan Nutritional

Nutrisi Awal

Respon metabolis terhadap cedera kepala mempunyai karakteristik

meningkatnya metabolisme dan katabolisme. Diperkirakan mengistirahatkan

pengeluaran energy pada pasien yang terkena TBI berat meningkat rata-rata 40%.

Pada pasien TBI yang diisolasi, hilangnya nitrogen khusus karena meningkatnya rata-

rata proteolysis untuk memproduksi energi. Sebaliknya, hyperglycemia dengan

jumlah penggantian glukosa yang meningkat dan melawan insulin yang didapatkan

pada TBI, bahkan tidak ada trauma fisik. Kebanyakan bagian-bagian yang menagani

trauma saat ini melibatkan kebutuhan akan nutrisi bagi pasien yang akut dan dengan

cepat berinisiatif pemberian pipa enteral. Pasien yang telah menderita trauma visceral

serius dapat meminta suppleme dengan hyperlimentasi. Meskipun total enteral

nutrition (TEN) lebih dipilih setelah total parenteal nutrition (TPN), TPN harus

benar-benar diberikan terlebih dahulu sementara meningkatkan TEN sampai pada 2

sampai 2.5 g protein/kg/hari dan 25 sampai 35 nonprotein kcal/kg/hari. Parenteal

nutrion permulaan telah diperlihatkan untuk mempengaruhi fungsi kekebalan dengan

meningkatkan respon T-lymphocite, meningkatkan sel-sel CD4 dan menjaga rasio

CD4:CD8. selain itu usaha agrsif pada support awal nutrisi, dapat diterapkan 3

minggu untuk mencapai keseimbangan nitrogeb pisitif, bahkan jika kesimbangan

kalori positif sudah tercapai. Banyak pasien TBI masih memercederan perawatan

nutrisional yang agresif pada administrasi sampai rehabilitasi. Psikiater dan ahli diet

seharusnya juga memberi perhatian pada makanan berserat, vitamin, mineral, dan

isotonic untuk enteral feeding/ pemberian enteral makanan., sebagai tambahan kalori

Page 65: Traumatic Brain Injury

dan protein. Berat mingguan, juga tindakan bulanan akan serum prealbumin, adalah

cara yang tepat untuk memonitor status nutrisi selama fase rehabilitasi.

Dysphagia

Insiden dyspaghia pada pasien TBI pada saat pemindahan ke rehabilitasi

sekitar 27%. Pada suatu penelitian dimana para pasien dievaluasi melalui

videofluorocopy, 81% tidak ada respon penelanan, 50% menunjukkan control lidah

berkurang, sekitar 33% telah berkurang transit pharyngeal, dan 14% menunjukkan

penutupan, kenaikan, atau kejang laryngeal berkurang. Kebanyakan pasien

menunjukkan dua aspek disfungsi penelanan, seperti control lidah yang terganggu

dan tidak terjadinya mekanisme pergerakan. Pastinya, cairan yang encer harus

dihindari, karena mereka tipikalnya paling sulit untuk mengatasi prospektif penelanan

dan, sebgai akibatnya, dapat memicu aspirasi pneumonia.

Videofluoroscopy telah menjadi standat mas untuk evaluasi dysphagia.

Thenik ini membolehkan dokter atau ahli klinis meneliti anatomi dan psikologi

mekanisme pergerakan penelanan sebagai suatu bolus ( cairan atau cooki yang

diresapi barium) dari mulut melalui pharynx kedalam esophagus. Berbagai disfungsi

termasuk aspirasi dapat didokumentasikan pada evaluasi video. Strategi kompensatori

dapat juga dicoba dan dites selama evaluasi.

Pasien dengan kesulitan penelanan secara bersamaan mengalami gangguan

kognitif. Mereka typikalnya perlu untuk diperingatkan dan dimonitor untuk

diterapkan strategi kompensatory. Dietnya perlu diganti dengan cara sequensial

(contohnya dari pureed, menggiling, mencincang, melunakkan, teratur) karena

digunakannya mekanisme kompensatory meningkatkan perkembangan penelanan.

Usaha pengobatan khusus terfokus pada mekanisme kompensatory. Kebanyakan

pasien meningkat secara spontanitas, meskipun hal ini dapat terjadi pada beberapa

minggu. Selama waktu itu, pasien beresiko tinggi akan meningkatnya aspirasi

pneumonia.

Page 66: Traumatic Brain Injury

Pasien yang gagal mengalami kemajuan secara kognitif, tidak dapat mengikuti

perintah, mengalami kesulitan penelanan, dan beresiko tinggi terhadap aspirasi , perlu

diberi makan melalui pipa internal. Jika enteral feeding dipercederan lebih dari tiga

atau empat minggu, pipa gastrostomy atau jejunostomy lebih disukai pipa

nasogastrik. Pipa dapat ditempatkan melalui prosedur operasi terbuka atau

menggunakan teknik endoscopik. Penggunaan pipa nasogastrik dalam waktu lama

mungkin memicu akselerasi nasal, , iritasi nasoparyngeal, infeksi sinus, dan

ketidaknyamanan. Pipa nasogastrik juga memperburuk agitasi dan menyebabkan

pasien harus melepas pipa tersebut. Ketika hal ini terjadi, pemasangan kembali pipa

harus dilakukan, meningkatkan resiko trauma nasopharyngeal.

Komplikasi Gastrointestinal Lainnya

TBI berikut, stress gastritis dapat benar-benar terjadi pada pasien TBI. Erosi

superfisial mucosal dapat meluas sampai pada muscularis mucosa dab berkembang

menjadi borok. Sebalioknya, digambarkan oleh Cushing (borok Cushing) lebih dalam

dan berhubungan dengan tingkat gastrin yang tinggi dan pengeluaran asam meningkat

prophylaxis dengan penghalang H2 dan seperti agen mungkin bisa membantu

menurunkan mmagnet dari komplikasi. Satu penelitian menunjukkan bahwa

meskipun cimetidine tidak menurunkan insiden pengkikisan gastric superficial, itu

mengurangi berbagai macam cedera. Hampir semua pasien masih terkena ulcer

prophylaxis pada saat admisi sampai rehabilitasi. Ahli klinis seharusnya tidak

melanjutkan pengobatan ketika masih mungkin, untuk meminimalisir efek obat yang

tidak cocok dan interaksi obat-obat, menyederhanakan aturan obat, dan menghemat

pengeluaran yang tidak perlu.

Nausea dan muntah sering dialami pada komplikasi trointestinal pada TBI.

Meskipun hal ini muncul sebagai gejala yang relative minor, mereka dapat

meningkatkan resiko aspirasi pneumonia, menghalangi therapy, dan menyebabkan

distress bagi pasien dan keluarga. Etiologi dari nuesea dan muntah dalam TBI adalah

Page 67: Traumatic Brain Injury

multi factor. (lihat gambar 49-23). Diantara ketidak normalan gastrointestinal yang

spesifik yang bertanggung jawab untuk gejala-gejala seperti itu merupakan sphincter

esophageal lebih rendah yang tidak berkompeten. ( Yang dapat terganggu oleh

adanya pipa/penyalur makanan yang melintasi pertigaan gastroesopagheal) dan

menggagalkan pengosongan gastric. Pada satu penyelidikan, sekitar 50% pasien telah

telah gagal mengosongkan gastric dan mentolerir selama gastik feeding selama

minggu pertama setelah cedera. Perkembangan pengosongan gastric terlihat sampai

pada minggu ke-3. Etiologi eksak akan gagalnya pengosongan gastric pada TBI

masih tak jelas, tetapi tekanan intracranial yang meningkat , tingkat kanaikan factor-

faktor pelepas cortocotropin, dan pengobatan semuanya telah terlibat.

TABEL 49-23 beberapa Penyebab Nausea dan Muntah pada TBI

Pemberian makanan mankok kecil

melalui jejusnostomy merupakan perawantan

pilihan. Jejunostomy dipikirkan untuk

mengurangi resiko aspirasi, karena melewati

pylorus. Sebuah penelitian baru-baru ini,

namun demikian, gagal untuk

mendemonstrasikan keuntungan jejunostomy

ayng sudah diakui daripada pipa gastrostomy.

Jejunostomy dapat meningkatkan masalah

nutrisi dan administrasi pengobatan, karena

kapasitas penyerapan mangkok kesil lebih

sedikit dibanding yang ada diperut. Karena

jejunostomy juga membutuhkan pemberian makanan sera terus menerus, hal itu tidak

ideal selama rehabilitasi karena membatasi mobilitas dan therapi. Kecuali jika pasien

menderita reflux dan aspirasi serius, gastrostomy cara yang lebih disukai.

Merupakan keuntungan menerapkan keduanya jejunostomy dan gastronomy

secara bersamaan dalam situasi seperti itu dengan gangguan pengosongan gastric.

Jejunostomy dapat dipakai untuk pemberian makanan dan gastronomy untuk

IntracranialTekanan intracranial meningkatArea yang menempati lukaHydrochepalus

OphthaimologikKetidakseimbangan urat Ocular

VestibularRespiratory

Berkaitan dengan batuk dan dahak yang berlebihan

GastrointestenalGastritis dan ulcerGangguan kesehatan LES (lower esophageal Sphincter)Gangguan pengosongan gastricSembelitPancreatitisHepatitis

InfeksiIatrogenik

Pengobatan yang menyebabkan iritasi gastricPengobatan yang langsung induce nausea

Page 68: Traumatic Brain Injury

administrasi pengobatan dan pengurangan tekanan udara untuk pencegahan aspirasi.

Ketika pengosongan gastric meningkat, pemberian makanan dapat digantikan pada

route gastronomy dan diberikan di bolus. Pada minggu berikutnya, aspirasi perut

untuk pembersihan sisa-sisa yang ada merupakan hal yang penting untuk memonitor

pengosongan gastric yang memuaskan. Jika reflux tetap ada, ujung tempat tidur perlu

diangkat dan pasien seharusnya dicoba dengan berbagai formula atau pemberian

makana yang lebih sedikit.

Pada praktek kami, kami menggunakan “blue dye test” untuk membantu

pengidentifikasian individu dengan tracheostomy yang beraspirasi pengeluaran lewat

mulut. Ini muncul pada pasien yang refleks penelannya bagus dan mampu bertahan

dari deflasi tracheostomi cuff . Pada test pagi hari, empat tetes blue dye melalui

mulut dan tracheostomi cuff turun/berkurang. Lebih banyak lagi dye mungkin

ditambahkan paling tidak setiap empat jam. Malam sebelum tes, blue dye yang ada di

pipa pemberi makan tidak dilanjutkan. Adanya blue dye dalam pengeluaran tracheal

diindikasikan aspirasi atau tracheo-esophageal fistula.

Agen Prokinetik dapat dipakai untuk memfasilitasi pengosongan gastric.

Penggunaan metroclopramide (Reglan) seharusnya dihindari. Obat semacam ini

seperti phenothiazines; sementara itu dapat membantu diawal pada reflux dengan

meningkatkan pengosongan gastric bagi prosentase kecil pada sejumlah pasien, hal

itu secara khusus tidak bermanfaat untuk jangka panjang. Selain itu, diketahui

menyebabkan kesulitan kognitif pasien yang signifikan, khususnya bagi mereka yang

mendapatkan kembali kesadarannya. Hal itu juga berpotensi mempunyai efek

samping pergerakan extrapyramid dan bahkan dyskinesia tardive yang permanent.

Lebih jauh lagi untuk halangan pemulihan kognitif, metroklopramid dapat juga

menyebabkan kesulitan penelanan. Jika pasien harus berada pada metoclopramide

dengan berbagai alasan, maka seharusnya dibatasi sampai dua minggu atau kurang.

Cisapride (Propulsid) merupakan alternative yang lebih atraktif karena, tidak seperti

metoclopramide, hal ini tidak menyebabkan pusat blockade dopaminergic dan

pengaruh extrapyramidal jarang. The Food and Drug Administration FDA) yaitu

Page 69: Traumatic Brain Injury

administrasi makanan dan minuman telah mengeluarkan peringatan akan penggunaan

cisapride dan antibiotik, antidepressant, antifungal, protease inhibitor tertentu secara

bersama-sama, mengidikasikan bahwa kombinasi seperti ini dapat memicu

arrhythmias cardiac yang serious dan memperlama QT. Pada situasi cisapride tidak

dapat dipakai, erythromycin mungkin alternative yang berguna untuk meningkatkan

pengosongan gestrik.

Incontinence

Fecal incontinence menyertai cedera otak sangat umum, khususnya pasien

dengan gangguan kognitif yang signifikan. Cedera otak berikut ini, pasien dapat

mengalami usus besar yang tidak terisi neurogenik dan tidak sadar akan kebutuhan

pembuangan secara teratur. Sembelit atau diarhe juga menjadi masalah yang

signifikan. Perkembangan program training usus besar sehari-hari cocok dengan

mengesampingkan status kognitif pasien. Hal ini dapat dikerjakan melalui

penggunaan pemberian makanan kaya akan serat atau supplement yang diminum

yang berserat dan penggunaan glycerin rectal suppository sehari-hari atau setiap satu

hari. Penggunaan digital stimulasi seharusnya dihindari karena dapat terjadi salah

pengartian bagi siswa yang mengalami kesulitan kognitif.

Diarhe bisa sebagai akibat dari impaksi, overload osmolar, dari pipa makanan,

atau radang usus besar Clostridium difficile. Keduanya baik overload osmolar dan

impaksi dapat dicegah dengan penggunaan ismakanan otonic berkadar protein tinggi

yang menyediakan vitamin dan minral yang esensial. (contoh: Jevity atau Enrich)

Pasien dengan cedera otak resikonya meningkat akan seringnya kebutuhan perwatan

dengan antibiotic selama perawatan disaat akut. Screening untuk toxin C. difficile

terindikadi pada pasien dengan sejarah administrasi pengobatan dengan antibiotic

sebelumnya dan diarhew yang dibutuhkan rumah sskit . pengobatan biasanya sukses

dengan flagyl atau ancommycin melalui mulut.

Page 70: Traumatic Brain Injury

Pendarahan Gastrointestinal

Seperti kebanyakan pasien polytrauma, pasien dengan cedera otak cenderung

beresiko mengalami pendarahan gastrointestinal yang kedua kalinya untuk menekan

akselerasi selama fase perawatan disaat akut. Umum bagi pasien ditempatkan di

prophylaxis dengan H2 antagonis seperti cimetidine atau atau ranitidine. Karena

gangguan kognitif dan perilaku telah diketahui pada pasien pada Hs antagonis,

pengobatannya seharusnya ditarik ketika resiko pendarahan gastrointestinal sudah

berlalu.

Thromboplebitis

Deep Venous thrombosis (DVT) diperkirakan terjadi pada 40% sampai

54%dalam berbagai kasus yang menyertai trauma utama pada kepala. Factor resiko

penting bagi DVT cedera otak berikut ini termasuk immobilitas/ tidak mengalami

mobilitas, lemah otot, berkaitan dengan retak tulang, trauma vascular secara

langsung, dan catheterization venous. Tipe tanda klinis, seperti betis yang sakit dan

bengkak di kaki, tidak muncul pada semua kasus. Hal ini terjadi karena karena

potensialnya embolisme pulmonary (PE), yang merupakan paparan awal secara

kilinis mencapai 80%.pendeteksian awal penting untuk menghindari morbidity dan

konsekwensi yang berpotensial fatal (insiden fatal PE diperkirakan 1%). Impedance

Plethysmograph (IPG) yaitu ganguan plethysmograph, ultrasound Doppler, D-dimer

assay/pengujian D-dimer, I-fibrinogen scanning, dan radionuclide dan perbedaan

venography merupakan methode yang umum digunakan pada pendeteksian DVT.

Sensitive dan spesifikasinya sangat besar, khususnya tidak adanya penemuan klinis.

Umunya tindakan prophylactic yang digunakan termasuk intermittent

pneumattik compression, graded compression elactic stocking dan anticoagulants

(dosis rendah yang tidak dapat dibagi, dan heparin berat dengan molekuk ringan,

warfarin dan aspirin). Perawatan proksimal PE atau DVT pada betis termasuk

Page 71: Traumatic Brain Injury

anticoangulasi. Inisiatif perwatan berikut ini dengan heparin yang tak dapat dibagi,

warfarin diketahui ketika bagian thromboplastin keatipan waktunya 1.5 kali

pengendaliannya terkendali. Dosis permulaan disarankan 5mg warfarin untuk

menhindari efewk yang merugikan, seperti anticoangulasi yang berlebihan dan

perkembangan pernyataan hypercoagulable yang potensial. Tujuan perawatan dengan

warfarin adalah International Normalized Ratio (INR) : perbandingan normalisasi

internasional yaitu 2 dan 3. Dala hal itu resiko komplikasi pendaharaan tinggi,

inferior vena cava ( IVC ) penempatan filter ( Greenfield filter atau Modified Bird’s

Nest Filter ) seharusnya dipertimbangkan.Penggunaan antikoagulans yang menyertai

TBI berkaitan dengan intracranial hemorrhage controversial. Seharusnya juga

digunakan petunjuk dalam agitasi atau pasien dengan resiko jatuh yang signifikan.

Saat ini, tidak ada petunjuk untuk mengoptimalkan waktu awal dari antikoagulasi

yang menyertai trauma yang berkaitan dengan pendarahan intracranial.

Komplikasi Genitourinery

Bladder Neurogenic yang menyertai TBI cukup jarang; jika itu ada , biasanya

karena detrusor hyperreflexia yang terhambat yang menyebabkan pasien sering

muntah dengan pengosongan Baldder. Para pasien biasanya dapat diatur secukupnya

dengan alat pengumpul eksternal, seperti kondom catheter untuk laki-laki dan diaper

untuk perempuan. Tindakan ini seharusnya dilanjutkan sampai pasien tersadar akan

sekitarnya dan memori yang cukup untuk bermanfaat dari ditawarkannya sebuah

kamar kecil atau bad-pan secara umum. Pasien juga mengalami detrusor hyporeflexia

distance akibat dari over Distansi Bladder.yang terjadi dengan iatrogenic atau outlet

gangguan traumatic. Pasien ini pada umumnya perlu memperpanjang intermitten

Caterisation ( ICP ) atau chatheter Voley Indwelling sampai maslahnya teratasi, yang

mungkin memakan waktu berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan.Jarang

khususnya pasien yang tercedera pada otak dengan detrusor sphincter dysernergi

yang membutuhkan catheterisasi intermitten atau drainase Foley yang diperpanjang

dan penelitian urologic yang lengkap.

Page 72: Traumatic Brain Injury

Komplikasi Musculoskeletal

Ossification heterotopic

HO (heretoropic ossification) merupakan informasi tulang lamellar dewasa

dalam jaringan yang halus dan wilayah pariarticular . incident HO yang dilaporkan

berkisar antara 11% sampai 76%, yang mencerminkan perbedaan methode populasi

dan methode deteksi. Namun demikian, hanya 10% sampai 20% dari berbagai kasus

yang signifikan secara klinis HO.

Faktor resiko yang signifikan pada TBI termasuk koma yang lama(1 bulan),

imobilisasi, dan

Fungsi Seksual dan Reproduksi

Meskipun dikenal dengan baik, pengaruh dari TBI pada fungsi seksual sering

diabaikan pada rangakain pemulihan. Selain itu gangguan fisik yang mungkin

menghalangi fungsi deksual dan kepuasan, perubahan perilaku, menuruti kata hatinya

dan tidak sesuai, dan nafsu yang berubah menambah masalah. Pasien dengan cedera

cuping frontal tingkat fungsi seksualnya lebih tinggi dibanding degan yang tanpa

cedera. Tetapi pasien yang menderita frontal lobe lesions memperlihatkan perilaku

seksual yang nggak sesuai, yang mendapatkan kesulitan tidak hanya pasien, tetapi

juga hubungan pasien tersebut dengan keluarga, staf rumah sakit, dan dengan

khalayak ramai. Dengan kaa lain, beberapa pasien TBI muncul hilang ketertarikannya

pada sex. Ini juga bisa benar bagi partnernya, yang mungkin berpengaruh dengan

adanya perubahan peranan mereka dari partner menjadi pemberi perhatian. Jelasnya,

berpotensi mengganggu hubungan, karena banyak pasangan menggambarkan sex

sebagai ekspresi cinta dan intimnya suatu hubungan.

Penting untuk memperhatikan seksualitas selama atau setelah rehabilitasi akut

jika masalah ini muncul dengan efek negative akan reintegrasi pasien degan

kehidupan keluarga dan komunitasnya. Model plissit menawarkan pendekatan

komprehnsif untuk mengenali masalah-masalah tentang perhatian utama kepada

pasien dan pasangannya. Interfensi perawatan termasuk modifikasi dan konseling

Page 73: Traumatic Brain Injury

perilaku. Perawatan medis ( contoh obat untuk tikdak berfungsinya ereksi , panile

prostheses, dll.) tersedia, tetapi kontribusi terhadaphilangnya peranan seksual, seperti

depresi dan pengobatan, seharusnya diberikan terlebih dahulu.

Tidak biasanya menstruasi berhenti setelah TBI. Dalam banyak kasus, dapat

berlangsung satu tahun menstruasi kembali normal. Pada kejadian dimana kedatangan

menstruasi tertunda, atau ada perubahan kharakteristik menstruasi (missal,

metromenorrhagia), beralasan merujuk ke seorang obstreticitian untuk gynologic, dan

memeungkinkan evaluasi endocrionologic bagi pasien yang aktif seksualnya dan

pasangannya, konseling mengenai control kelahiran mungkin juga diterapkan , harus

dicatat, bagaimanapun juga, penggunaan kontrasepsi yang diminum beresiko

terhadap preneus thrombosis.

Pada bebrapa kasus kehaliman selama TBI berpengaruh terhadap keputusan

terapetik selam dan setelah rehabilitas. Pengobatan tertentu yang dipakai untuk

mengobati komplikasi TBI terpotensi teratogenic,beberapa didokumentasikan ( misal

phenytoin ) dan yang lainnya yang diketahui ( misal toksin spasticity botulinum).

Bagi pasien yang berkeinginan memulai lagi sebagai seorang ibu setelah pemulihan,

kegiatan sebagai orang tua (misal ; penggatian popok, menyusui) dapat bekerjasama

dengan berbagai terapi fisik dan pekerjaan. Lihat bab 80 untuk informasi yang lebih

jauh tentang seksualitas.

REHABILITASI PASIEN PEDIATRIC BRAIN INJURY

Pediatric brain injury (cedera otak pada anak) berbeda dalam beberapa hal

penting dengan cedera otak pada orang dewasa. Menurut pathologi, TBI bayi dan

anak berfrekwensi lebih besar akan terjadinya penyebaran pembekangkan otak dan

berfrekwensi lebih rendah terjadinya intracranial hemorrhage (pendarahan otak)

seperti yang terlihat pada orang dewasa. Faktor komplikasi epidemiologi adalah

proporsi TBI anak disebabkan penyalahgunaan anak. Teknik penilaian khusus, seperti

pediatric coma scale dan the Children’s Orientation dan Amnesia Test (COAT),

Page 74: Traumatic Brain Injury

dipercederan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan durasi PTA. TBI anak-anak

yang serius muncul dengan prognosis pemulihan kesadaran dan mobilitas yang lebih

baik. Keunikan dari cedera otak anak adalah cedera tertentu yang diderita pada usia

dini dapa memicu fungsional hasil yang lebih buruk disbanding cedera yang sama

pada masa dewasa. (missal; TBI serius selama bayi terjadi hambatan mental). Sifat

mudah terserang ini ditengarai sebagai gangguan proses perkembangan secara umum,

memicu kemampuan kecakapan lebih lambat.

Keunikan komponen yang kedua dari rehabilitasi cedera otak pada anak

adalah kebutuhan tindak lanjur dalam jangka waktu yang panjang bagi perkembangan

sekolah anak, karena anak dengan cedera otak muncul dengan meningkatktnya

tantangan dengan nilai yang lebih tinggi. Dokter rehabilitasi seharusnya dipersiapkan

untuk menjadi advokasi bagi kebutuhan pendidikan anak tersebut dan untuk

menyediakan rekomendasi khusus untuk modifikasi program pendidikan. Tim

seharusnya juga seharusnya dipersiapkan untuk bekerja dekat dengan orang tua untuk

jangaka panjang. Informasi detail tentang rehabilitasi anak tersedia pada referensi

khusus.

MANAJEMEN MILD TRAUMATIC BRAIN INJURY

Manajemen TBI ringan telah mengalami perubahan yang cepat sebagai akibat

dari penelitian fungsional hasil kerja, rangkaian gejala postconcussional. Temuan ini

ada pada referensi khusus.

Criteria diagnosa untuk TBI ringan diberikan pada table 49-4 diatas. Kriteria

alternative untuk TBI ringan diajukan oleh subkomite American Congress of

Rehabilitation Medicine (ACRM). ACRM mendefinisikan TBI ringan sebagai

gangguan traumatic fungsi otak yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari hal

berikut: (1) hilang kesadrannya; (2) hilang daya ingat /memory untuk hal-hal yang

terjadi sebelum dan sesudah tercedera; (3) alterasi status mental disaat tercedera (4)

gejala fisik yang tampak pada cedera otak seperti tinnitus, perubahan daya lihat,

Page 75: Traumatic Brain Injury

gangguan memori/daya ingat, fatigue, dan anosmia; dan (5) gangguan kognitif

posttraumatic. Karena criteria ACM tetap divalidasi oleh hasil penelitian, hasil

temuan berdasarkan criteria TBI ringan pada Tabel 49-4 diatas seharusnya tidak

digeneralisasikan kepada pasien yang mennemukan definision ACRM.

Rasio perbandingan untuk memanaj TBI ringan berdasarkan pada kronisnya,

bukti yang oobjektif dari cedera otak , dan adanya cedera-cedera extracranial. Selama

masa akut yang menyertai TBI ringan, pasien seharusnya mendapat CT scan dikepala,

karena ada atau tidaknya trauma otak pada CT scan (contoh, tidak adanya komplikasi

TBI ringan) seharusnya menyebabkan pembatasan aktivitas selam beberapa hari atau

minggu. Namun demikian, jika trauma otak ada pada CT scan (komplikasi TBI

ringan), kelanjutan kegiatan sebelum tercedera ditunda saat itu, minoritas pasien,

kegiatan sebelum tercedera tidak dapat diteruskan. Kemungkinan akan resiko

kegagalan meneruskan kegiatan pre-injury lebih besar terjadi pada orang tua

disbanding dengan mereka preexisting ketidakberesan neurologik atau psikiatrik.

(contoh, TBI sebelumnya). Hampir semua pasien TBI ringan pertanyaan pronostik

bukannya apakah, tetapi kapan pembatan kegiatan dapat dicabut.

Tehnik manajemen untuk TBI ringan yang akut adalah pendidikan dan

pembatasan kegiatan. Komplain adanya sakit kepala dan pusing umum tejadi bebrapa

bulan setelah tercedera dan seharusnya diinvestigasi. Pasien dan keluarga seharusnya

diingatkan terlebih dahulu tentang perubahan kognitif dan perilaku serta tentang

keadaan yang mungkin memperburuk mereka. (contoh, kurang tidur, salah zat,

streaa). Kemungkinan kembali ke kediatan sebelum kejadian dengan cepat

seharusnya ditekankan bagi pasien dan keluarga. Keberanian tes neoropsychologi

munkin berguna untuk mengindentifikasi kekurangan kognitif pada fase ini. Jika

cedera berkaitan dengan adanya kekurangan kogntif , pasien seharusnya diminta

untuk tidak kembali bekerja sampai pngobatan dilakukan semua. Kembali bekerja

dapat dimulai dengan part time, atau tugas yang ringan-ringan, mungkin hanya

beberapa hari sebelum meneruskan dengan tugas seluruhnya. Dalam beberapa kasus

Page 76: Traumatic Brain Injury

mungkin perlu meneruskan kewajiban pekerjaanya melalui satu atau lebih langkah

selanjutnya.

Meskipun isolasi tbi ringan biasanya tidak terlihat seperti suasana rehabilitasi ,

sering terjadi orthopedic atau cedera sungsum tulang belakang yang butuh

rehabilitasi. Pada kasus TBI ringan pasien yang menjalani rehabilitasi untuk cedera

yang lainnya, strategy pembatasan kegiatan tidak mungkin terlaksana. Kecuali,

mungkin perlu memodifikasi program rehabilitasi untuk mencegah maslah keadaan

sekitar berkaitan degan TBI (contoh, antisipasi meminimalisir agar tidak ribur, atau

obat analgesic, pengarahan langsung kepada keluarga, atau memperpanjang istirahat/

opnam.

Manajemen TBI ringan pada tingkat kronis tetap kontroversi. Label post-

concussional syndrome secara umum telah diterapkan untuk mengembangkan

postinjury komplain akan pusing, sakit kepala, emosi yang tidak stabil, kesulitan

kognitif. Kemungkinan berpura-pura sakit perlu dipertimbangkan dengan tes

neoropsykologi dengan pasien kronis TBI ringan yang berpotensi secondary gain.

Tehnik yang berguna dalam penentuan kevalidan dary gejala komplain termasuk tes

spisialis neuropsychological (test pengenalan paksaan) MRI dari otak mendeteksi

cedera traumatic minoritas pada pasien TBI ringan dimana CT scannya normal, tetapi

nilai prognostiknya temuan MRI pada pasien TBI ringan yang mengalami

komplikasi tidak ditentukan. Imajinasi SPECT akan pasien TBI ringan sebagai

prosedur diagnostic yang lebih sensitif, peranan imajinasi SPECT terhadap TBI tetap

ditegaskan.

SAKIT KEPALA POSTTRAUMATIK

Sakit kepala merupakan komplain pasien yang biasa terjadi setelah trauma

pada kepala atau leher. Packard menyebutkan rata-rata timbulnya 30% sampai 80%.

Dapat sebesar 44% 6 bulan setelah cedera dan dalam hal ini yang umum tanpa

cedera-cedera yang serius. Harus ditegaskan bahwa posttraumatic headache (PTH)

Page 77: Traumatic Brain Injury

bukan merupakan diagnosa. Itu benar-benar merupakan gejala yang bisa mengalami

berbagai etiologi (Tabel 49-24). International Headache Society (HIS) criteria sakit

kepala posttraumatic perlu beberapa syarat yang ditemui, seperti hilang kesadaran,

amnesia posttraumatic yang berlangsung lebih dari 10 menit, dan sakit kepala yang

dimulai kurang dari 14 hari setelah trauma atau mendapatkan lagi kesadarannya.

Mungkin juga ada kelainan yang saling terkait paling tidak pada dua hal berikut:

kajian klinis neorologik, radiograf tengkorak, neuroimaging, potensi yang timbul,

pemeriksaan cairan tulang belakang, tes fungsi vestibular, atau tes neuropsychologi.

Berikutnya penting, karena kesulitan kognitif seringnya berkaitan dengan

posttraumatic headache. Sakit kepala posttraumatic yang akut menjadi kronis jika

masih terjadi lebih dari 8 minggu. Keberadaan sakit kepala itu, khususnya terkait

dengan status mental atau kelainan neurologik, mungkin membutuhkan investigasi

yang lebih jauh lagi, seperti neuroimaging, dan penelitian CSF yang mengatur etilogi

intracranial.

Perawatan sakit kepala posttraumatic ditujukan untuk membetulkan etiologi.

Pengobatan yang umum dipakai seperti daftar di tabel 49-25. Strategi perawatan yang

lain, termasuk biofeedback dan training relaksasi, dikaji kembali.

Tabel 49-24 Beberapa sebab sakit table 49-25 beberapa pengobatan

kepala posttraumatic yang dipakai untuk mencegah

dan merawat sakit kepala

IntracranialLuka pada strktur rasa sakit yang sensitive (venous sinuses, dura pada pangkal otak, pembuluh darah, syaraf cranial)

ExtracranialNeuromaLuka pada kulit, otot, urat nadiLuka pada periosteumSenusitasTidak berfungsinya tulang sendi temporomandibularKelainan sraraf cranial (contoh, ophthalmoplegiaSaki MyofascialLain-lainPengaruh obat yang tidak cocok dan zat-zat lainnya (contoh, cafein)Pemeliharaan Pengobatan Co-morbid 9contoh, hipertensi yang tak terkontrol).SeizureKurang tidur

Obat-obat anti inflammatory nonsteroidalAntiepilptiksSerotonin seletif agonis (contoh, sumatriptan)Serotonin reuptake penghambat secara selektifAntidepressant tricyclicBeta-blockerCalcium Channel blockersAntihistaminesSteroidAntiemetics

Page 78: Traumatic Brain Injury

OLAH RAGA TERKAIT DENGAN TRAUMATIK CEDERA OTAK

Meningkatkan kesadaran terhadap TBI yang diakibatkan dari olah raga dan

relasi yang berkaitan kelanjutan popularitas olah raga dan perhatian dari media.

Diperkirakan lebih dari 80% petinju mengalami bukti TBI baik secara klinis ataupun

radiologik. Gangguan kognitif pada para petinju mempunyai bentuk tersendiri:

dementia pugilistica.Namun demikan popularitas tinju tidak mereda. Kira-kira

250.000pemain sepak bola mengalami gegar otak per tahun. Setiap kontak pemain,

baik bola basket, sepak bola dan wrestling termasuk berpotensi terhadap TBI Hal

yang sama juga terjadi pada kegiatan rekreasi seperti misalnya jet ski. Meningkatkan

perhatian akan pengaruh syndrome kedua pada athlet muda meningkat menurut suatu

penelitian yang menyarankan cedera kepala yang kedua ada sebelum gejala yang

berkaitan dengan cedera kepala sebelumnya tampak nyata mungkin berakibat pada

perkembangan cereblal dan kematian. Namun demikian, investigasi terkini

membantah jika criteria diagnostic yang ketat diterapkan, syndrome mungkin tidak

separah yang terpikir sebelumnya.

The American Academy of Neurology akhir-akhir ini mempublikasikan

melaporkan Quality Standards Subcommittee milik mereka sebagai parameter

manajemen kegegran otak dalam olah raga. Gejala yang umum dari kegegaran

dikategorikan baik pada permulaan, kejadian-kejaian dalam beberapa menit sampai

jam setelah kejadian, atau paling lama (hari sampai minggu) Gejala awal seperti:

sakit kepala, pusing, vertigo, kurang sadar terhadap sekitar, nusea dan muntah. Gejala

yang terlambat termasuk sakit kepala yang menurun, sakit kepala ringan, Kurang

perhatian dan konsentrasi, tidak berfungsinya memori, mudah fatigability, iritasi,

tolenrensi frustasi yang rendah, tidak tahan terhadap cahaya lampu, atau kesulitan

memfokuskan visi, tidak tahan terhadap kegaduhan, gelisah, keadaan jiwa yang

tertekan, dan gangguan tidurberdasarkan pada revie literature, tingkat skala dan

rekomendasi pengobatan ditetapkan. Rekomendasi manajemen ini hanya suatu

pilihan, untuk menentang yang standards, karena tidak ada bukti akan keberadaan

Page 79: Traumatic Brain Injury

literature itu. Hal yang sama terhadap suatu laporan yang mengalamatkan

rekomendasi untuk kembali menerapkannya setelah kegegaran (lihat Tabel 49-26).

PERMASALAHAN ETIKA

Cedera otak meningkatkan permasalahan etika yang sangat besar dan sulit.

Sementara hal seperti ini dapat dialatkan hanya pada tingkat koletifitas (contoh,

bagaimana masyarakt menempatkan sumber bagi siapapun yang mengalami cedera

otak, yang lain meningkatkan praktek sehari-hari para professional rehabilitasi.para

dokter sering menkonfrontasi keputusan teika yang mempunyai konsekwensi yang

signifikan terhadap perawantan mereka. Berklaitan dengan itu, kami berkonsentrasi

pada beberapa kesulitan masalah etika yang mempunyai relefansi bagi para dokter:

menilai kompetensi pasien, membuat keputusan untuk tetap atau menarik tindakan

yang menopang kehidupan, dan memanfaatkan pengekangan.

Salah satu masalah yang muncul pada rehabilitasi cedera otak adalah

penilaian kompetensi. Keputusan menetukan kompetensi seorang pasien merupakan

hal krusial karena, sebagai dokter, kami mempunyai kewajiban menghargai keinginan

competent pasien dewasa. Dalam waktu yang sama, kami berkomitmen untuk

mencegah bahaya yang mungkin berasal dari keputusan pasien yang tidak

berkompeten. Bukti menyarankan bahwa para dokter bekerja dengan orang-orang

yang mengalami cedera otak cenderung mengabaikan masalah kmpetensi dan konsen.

Temuan ini didokumentasikan konggres investigasi awal decade ini, dan ditegaskan

oleh penelitian terkini.

Para dokter seharusnya mengenali bahwa kompetensi merupakan wewenang

khusus. Pasien dapat ditetapkan menjadi kompeten untuk membuat keputusan.

(contoh, menyangkut perawatan medis) tetapi bukan lainnya (contoh, menyangkut

manajemen financial). Selain itu, para komentator saat ini telah menekankan pada

proses evaluasi dari mana keputusan dibuat. Maka dari itu, focus perhatian tertuju

pada bagaimana keputusan dibuat, bukan apa yang diputuskan.

Page 80: Traumatic Brain Injury

Penilaian proses ini melibatkan pengamatan langsung pada kemampuan utama

akan kapacitas pembuatan keputusan, termasuk kemampuan untuk memilih,

memahami informasi yang relefan, menghargai signifikansi bagi orang yang berada

pada situasi itu, dan untuk memberi alasan secara logis dengan informasi itu.

Meskipun kegunaan model kompetenci ini, ada pembatasan dalam

penerapannya terhadap orang yang mengalami cedera otak. Khususnya, bias kognitif

dari model ini dapat membuatnya kurang sensitive terhadap keefektifan dan

volisional squel cedera otak yang juga bisa berkompromi terhadap kompeten pada

interviu dan tetapi sebenarnya gangguan yang signifikan dalam membuat keputusan

akan kehidupannnya sehari-hari.

Jika dijumpai orang yang tidak kompeten untuk membuat keputusan

pengobatan, pengganti keputusan atau surrogate harus diketahui. Dokter seharusnya

dengan dipandu hukum yang relefan dinegaranya menentukan siapa yang menjadi

surrogate dan macam pembatasan (jika ada) terhadap penguasaan pembuatan

keputusan. Bahkan, setelah mengetahui pembuat keputusan yang tepat (contoh,

anggota keluarga) dokter etikanya bertanggungjawab untuk memastikan yang dibuat

surrogate sesuai. (contoh, mewakili keinginan pasien sebelumnya, atau kepentingan

yang terbaik.

Masalah diteruskan atau dihentikan pengobatan untuk menopang hidup

mendominasi selama dua decade terakhir. Meskipun kontroversi berlanjut, sebuah

konsesnsus bioethical dan legal menjadi prinsip yang fundamental. Tugas utama dari

dokter dala situasi seperti ini memastikan apa yang diyakini dan disenangi pasien

sebelumnya (ketika masih sadar). Keputusan Pengadilan Supreme U.S. menegaskan

bahwa keputusan berkenaan dengan meneruskan atau menghentikan pengobatan

untuk menopang hidup dari pasien yang tidak kompeten dapat di rujuk dari apa yang

dinyatakan sebelumnya dan keinginan-keinginan sebelumnya.

Jelasnya tidak ada konsesnsus sosial akan bagaimana cara memproses ketika

keinginan pasien sebelumnya tidak diketahui. Dalam situasi seperti ini, dokter klinis

yang tidak nyaman dengan pencapaian keputusan dapat dipertimbangkan seharusnya

Page 81: Traumatic Brain Injury

mencari petunjuk ke komite etika rumah sakit dan juga ke consulate hukum. Dokter

fisik yang tidak nyaman dengan keputusan yang dicapai dapat mempertimbangkan

mengalihkan perawatan ke dokter fisik lainnya. Akhirnya, seharusnya ditekankan

bahwa tidak dipercederan keputusan yang gegabah. Khususnya jika pasien

dinyatakan hidup yang tanpa guna, bahayanya sedikit untuk memutuskan

pertimbangan ini.

Juga penting untuk mengenali kerugian menahan fisik. Bukti yang ada

menunjukkan bahwa penehanan seperti ini tidak efektif (contoh, pencegahan jatuh).

Selain itu, penahanan itu sendiri sikap yang beresikofisik terhadap pasien (termasuk

kasus laporan kematian). Akhirnya, penelitian mendemonstrasikan bahwa

pengurangan penggunaan penahanan seperti ini tidak perlu menambah kebutuhan

staf, biaya ke institusi. Untuk alasan ini, , dank arena permasalahan etika terlibat,

banyak institusi menerapkan minimal-restraint atau restrain-free policy.