Download - Tp Virtopsy

Transcript
Page 1: Tp Virtopsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Otopsi virtual

Pengertian otopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga

kepala, leher, dada, perut, dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai

dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik maupun dengan

dukungan pemeriksaan laboratorium. Pelaksanaan otopsi seperti pengertian di atas mendapat

istilah baru yaitu otopsi konvensional.1 Otopsi konvensional dapat dimodifikasi berdasarkan

keperluan seperti diseksi leher pada kasus pencekikan, diseksi bagian dorsal pada kecelakaan

kendaraan bemotor, diseksi tenggelam dengan tes diatom jika diperlukan.3

Konsep virtopsy lahir dari adanya keinginan untuk mengimplementasikan teknologi

terbaru radiologi untuk keuntungan ilmu forensic. Virtopsy berasal dari kata virtual dan

autopsy, virtual dalam bahasa Latin yang berarti “bermanfaat”, autopsy kombinasi bahasa

Yunani dari “autos” yang berarti oleh diri sendiri dan “opsomen” yang berarti melihat

melalui mata. Jadi autopsy berarti melihat dengan mata sendiri. Untuk menghilangkan

kesubyektifitasan dari “autos”, maka istilah virtual dan autopsy digabungkan dengan

menghilangkan “aoutos”, menjadi istilah baru yaitu virtopsy. Virtopsy berarti dokumentasi

obyektif dan proses analisis dari segi fisik dan petunjuk yang ada. Adanya kemajuan pada

multislice computed tomography (MSCT) dan magnetic resonance imaging (MRI),

meningkatkan kontras dan resolusi serta menawarkan kemungkinan rekonstruksi 2D dan 3D.

Tujuannya untuk investigasi kemungkinan penting yang terjadi dari otopsi forensic minimal

invasive yang menggunakan teknik pencitraan radiologi. Oleh karena itu, diperlukan

pendekatan sistematis untuk mengevaluasi teknik dan keakuratan teknik pencitraan radiologi

dibandingkan dengan metode otopsi konvensional.2,3

Dalam otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling

melengkapi yaitu:

Pemindaian permukaan tiga dimensi (3D color encoded surface scanning) yang

didesain untuk pemetaan tubuh bagian luar. Penggunaan alat ini dapat memberikan

informasi dan menyimpan gambaran area permukaan secara detail.

4

Page 2: Tp Virtopsy

Multi slice computed tomography (MSCT).

CT scan adalah suatu alat radiologi yang menggunakan radiasi dan rekonstruksi oleh

komputer untuk mebuat citra secara tomografi (potongan). MSCT menggunakan

empat sampai 6 detektor sehingga mampu memberikan hasil pencitraan dalam

potongan yang lebih tipis. (Dirnhofer et al)

Kelebihan: mampu memberikan gambaran secara potongan, mampu membuat

gambaran tiga dimensi objek tertentu, dapat memperkirakan jumlah cairan pada kasus

tertentu (darah). Pada virtual otopsi alat ini dapat memdeteksi dengan baik fraktur,

perdarahan dalam jumlah besar pada trauma jaringan, terkumpulnya udara patologis

pada organ (pada kasus emboli udara, emfisema subkutis akibat trauma, hiperbarik

trauma atau efek dari pembusukan). Alat ini hanya membutuhkan waktu singkat untuk

pemeriksaan yaitu kurang lebih 10 menit. (MJ Thali)

(MRI) yang akan dapat memvisualisasikan tubuh bagian dalam, sehingga dapat

diperiksa secara detail setiap potongan bagian tubuh.

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah suatu alat radiologi yang digunakan untuk

menampilkan citra berupa potongan gambar tubuh manusia yang bekerja dengan

prinsip resonansi.

Kelebihan : memberikan gambaran dari berbagai posisi tanpa mengubah posisi

jenazah. Mampu melihat jaringan lunak (otot, sumsum tulang belakang atau sarar)

dengan jelas. Karena kelebihan dari alat ini, pada virtual otopsi alat ini sensitif lebih

spesifik pada kasus trauma jaringan lunak, trauma saraf dan bukan saraf serta kasus

bukan trauma. Pemeriksaan menggunakan alat ini lebih lama jika dibandingkan

dengan CT scan. MRI spectroscopy melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak

dapat memperkirakan saat kematian. (MJ thali)

5

Page 3: Tp Virtopsy

Gambar 1. Bagan alur otopsi virtual2

2.2. Otopsi virtual pada berbagai Kasus

Selain cara kematian (seperti sebab alamiah, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, sebab

yang tidak diketahui), kematian dapat memiliki sebab yang bervariasi. Beberapa penyebab

spesifik mengenai organ tertentu seperti otak, jantung, dan paru. Penemuan sistemik yang

bervariasi dapat juga mengindikasikan sebab kematian.2

Otak

Temuan tipe trauma pada radiologi klinis divisualisasikan sama bagus pada pencitraan

postmortem. Peningkatan tekanan intracranial akibat trauma atau iskemik, secara khas

bermanifestasi pada otopsi berupa herniasi transtentorial dari lobus temporal atau herniasi

serebelum ke dalam foramen magnum, dengan kesan pada dasar serebelum yang sama

dengan foramen magnum. Bila terdapat banyak temuan patologis dalam otak yang

bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan intracranial, pencitraan postmortem

memberikan visualisasi yang detail. Kapasitas ini sangat membantu ketika terjadi

peningkatan derajat pembusukan membuat otopsi tidak dapat dilakukan pada struktur otak

yang tersisa. Pada beberapa kasus, MRI postmortem memberikan gambaran anatomi otak

yang cukup baik dan memungkinkan untuk eksklusi perubahan patologis dalam otak. Studi

terbaru melakukan investigasi sensitivitas dan signifikasi dari MRI postmortem untuk

membedakan perubahan otak. Pemeriksaan MRI 3-T pada tubuh mengindikasi kurangnya

sensitifitas untuk lesi otak yang lebih kecil dari 5 mm, pada system 1,5-T dapat diatasi

dengan meningkatkan intensitas medan hingga gambaran matriks mencapai 1024.

6

Page 4: Tp Virtopsy

Selanjutnya, studi pencitraan postmortem berjanji mengatasi keterbatasan pencitraan cross-

sectional dalam menggambarkan lesi otak yang kecil dalam region yang sangat penting.2

Gambar 2. Gambaran pada otak2

Jantung

7

Page 5: Tp Virtopsy

Sebagian besar kematian alami disebabkan insufisiensi jantung. Penyakit jantung kronis

seperti kardiopati atau iskemik akut dapat menimbulkan insufisiensi jantung. Jantung sering

menjadi target injury dalam pembunuhan atau bunuh diri. Injury pada jantung secara khas

bermanifestasi pada pencitraan postmortem sebagai cardial tamponade dan hematothorax.

Kegagalan ventrikel kanan setelah emboli udara vena pada trauma kepala seperti pada luka

tembak di kepala atau luka tusuk di leher, merupakan penyebab kematian yang berhubungan

dengan jantung. Berlawanan dengan teknik otopsi tradisional, CT postmortem memberikan

visualisasi 3D yang detail dari struktur yang mengalami emboli, dengan jumlah emboli.2

8

Page 6: Tp Virtopsy

Gambar 3. Gambaran pada jantung2

Paru

Investigasi postmortem dapat digunakan untuk menilai dalam menentukan penyebab

kematian. Contohnya, pneumothorax mudah dideteksi pada pencitraan postmortem. Edema

pulmo, yang sering ditemui pada kematian toksikologi atau jantung, memiliki pencitraan

9

Page 7: Tp Virtopsy

postmortem yang dapat dibandingkan dengan temuan pencitraan cross-sectional klinis,

seperti peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau peningkatan intensitas sinyal pada

MRI. Pneumonia juga menyebabkan hyperattenuation dan hyperintensity. Perubahan paru

pada gambaran postmortem axial dapat ditutupi oleh overlap sedimentasi darah, temuan ini

tidak seharusnya diinterpretasi salah sebagai pneumonia local pada paru bagian dorsal. 2

Gambar 4. Gambaran pada paru2

10

Page 8: Tp Virtopsy

Temuan otopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan tempat

korban tenggelam dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang menggembung dan

kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung, dan dilatasi paru-paru kanan dan pembuluh

darah vena. Tanda-tanda tersebut merupakan variable-variabel yang diteliti dengan

menggunakan MRI dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan otopsi pada penelitian yang

dilakukan Levy et al. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa adanya sedimentasi pada

trakea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan

dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran ground-glass. Sementara

itu 89% lambung korban mengalami distensi. Hasil yang sama juga ditemukan pada

penelitian di Switzerland, meskipun pada penelitian ini mereka menggunakan MSCT. Kedua

penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang

didapat tidak jauh berbeda dengan hasil temuan otopsi dan histopatologi.1

Gambar 5. Gambaran paru axial3

Kulit, lemak subkutan, dan otot

Lapisan jaringan-jaringan ini tidak bernilai untuk evaluasi lokasi dan kekuatan yang

mengenai jaringan tersebut. Contohnya pada gambar di bawah ini, kontusio akibat cedera

langsung regio pantat saat kecelakaan sepeda motor. Untuk menilai luasnya kerusakan pada

lapisan lemak subkutan (hematoma tau laserasi), digunakan gulungan permukaan tambahan

11

Page 9: Tp Virtopsy

pada kaki. Pencitraan memberikan perbedaan antara jaringan lemak dengan hematom saja

dan adanya laserasi pada lemak subkutan. Hematom jaringan setelah cekikan, dapat

ditampakkan dengan baik menggunakan MRI. Pada kasus cekikan oleh orang lain, lesinya

tampak lebih berat, jadi penulis optimis akan kemampuan MRI untuk menunjukkan hematom

otot pada beberapa kasus.3

Temuan sistemik

Temuan yang bervariasi mengindikasikan penyebab kematian yang berbeda. Pada

hipotermia, area pendarahan dalam otot-otot tubuh menunjukkan tipe dan merupakan indikasi

tertentu, walaupun mekanismenya tidak jelas. Pada kasus trauma tajam, penyebab kematian

adalah pendarahan yang masif, misalnya pada kehilangan darah pada lokasi luka, pendarahan

pada organ internal, dan pendarahan pada area subendocardial mengindikasikan pendarahan

yang mengancam kematian. Dengan menggunakan pencitraan cross-sectional volume, berat

organ dapat diperkirakan seperti pada otopsi konvensional. Pengukuran volum suatu organ

secara radiologi dengan cara mengalikan factor densitas jaringan organ tersebut, misalnya

1,5g/mL untuk hati dan limpa.2

2.3. Perbandingan Otopsi Virtual dengan Otopsi Konvensional

Dokumentasi nondestruktif pada jenazah penting untuk dua alasan yaitu :1,4

1. Memberikan informasi tanpa melakukan otopsi konservatif,

2. Dapat digunakan pada budaya dan situasi saat otopsi tidak dapat ditoleransi oleh

agama tertentu atau penolakan dari anggota keluarga.

Radiologi otopsi virtual menawarkan keuntungan lain, seperti :

1. Memudahkan pemeriksaan pada tubuh yang terkontaminasi infeksi, substansi toksik,

radionuklir atau bahan-bahan berbahaya lainnya,

2. Hasil proses 2D dan 3D dapat membantu menggambarkan temuan yang tidak

terwakili pada saat pemeriksaan,

3. Arsip digital dapat dengan mudah didapatkan kembali dan telekonsultasi akan

mendukung proses

Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan otopsi konvensional

dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical imaging. Dunia kedokteran

khususnya ilmu kedokteran forensic senantiasa mengikuti perkembangan dalam konteks

12

Page 10: Tp Virtopsy

keilmuannya. Pada satu sisi otopsi virtual lebih baik jika dibandingkan otopsi konvensional

dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, namun tidak untuk kepentingan

medikolegal. Penelitian-penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba

mengatasi kekurangan-kekurangan dalam otopsi virtual. Banyak hal yang harus

dipertimbangkan untuk menerima otopsi virtual sebagai pengganti otopsi konvensional,

seperti :1

1. Cost and benefit.

Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata

api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh. Mayat

tidak tahan lama dan relative lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena tidak

dibutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong tubuh.

2. Biaya

Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan biaya yang amat

besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada setiap rumah

sakit di Indonesia.

3. Adanya bias

Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis. Belum adanya cukup data

yang membuktikan bahwa otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional, tidak

mungkin dapat melihat dengan jelas kelainan patologi yang ada dengan otopsi virtual,

tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka

antemortem dan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem, sulit

membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja terlewatkan.

Kemampuan mendeteksi trauma antara otopsi dan PMCT dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kemampuan mendeteksi trauma antara otopsi dan PMCT1

4. Tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan

13

Page 11: Tp Virtopsy

Kematian akibat keracunan dan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan

obat.

5. Aspek medikolegal dari masing-masing negara

Jepang sebuah negara maju dan sudah lama menekuni otopsi virtual tetap berhati-hati

dengan PMCT, ada 3 peraturan yang mereka laksanakan hingga hari ini yaitu PMCT

sebagai skrining untuk penyebab kematian, skrining kandidat untuk dilakukan otopsi

dan komplementer untuk otopsi konvensional. Aspek medikolegal otopsi virtual

sebagai alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia masih diperlukan

kajian yang lebih lanjut. Mengingat bahwa interest based otopsi virtual adalah untuk

mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensic yang lebih

mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan.1

2.4. Dasar Hukum Otopsi Virtual

Otopsi konvensional berdasarkan tujuannya dibagi menjadi 3 jenis yaitu otopsi klinik, otopsi

anatomi, dan otopsi medikolegal. Masing-masing otopsi tersebut diatur oleh aturan

perundang-undangan dalam pelaksanaannya.

Otopsi klinik atau bedah mayat klinis dilakukan pada pasien suatu rumah sakit atas izin

keluarga dengan tujuan untuk mengetahui penyakit atau kelainan yang menjadi sebab

kematian, menilai hasil usaha dari pemulihan kesehatan, serta penelitian untuk

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. Pelaksanaan otopsi klinik diatur oleh

UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 119 serta Peraturan Pemerintah nomor

18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi

Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut

dijelaskan pelaksanaan otopsi klinis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu

hidup misal dalam surat wasiat) atau keluarga terdekat setelah pasien meninggal. Namun

dalam keadaan tertentu otopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien menderita suatu keadaan

yang membahayakan orang lain misalnya penyakit baru yang mematikan. Tempat melakukan

otopsi klinik hanya boleh dilakukan di rumah sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk

itu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan (Dokter

Spesialis Forensik). Sebaiknya otopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan

amat memaksa dapat dilakukan otopsi parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu

meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat.

14

Page 12: Tp Virtopsy

Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI nomor 36 tahun 2009

tentang Kesehatan pasal 120, serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan

untuk pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus

memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti pelaksanaan otopsi klinis. Syarat tersebut adalah

persetujuan dari pasien atau keluarga jenazah, dilakukan oleh mahasiswa kedokteran atau

tenaga kesehatan di bawah pengawasan ahli urai (ahli anatomi tubuh manusia), tempat

pelaksanaannya adalah ruangan khusus (ruang Anatomi) di Fakultas Kedokteran.

Otopsi medikolegal atau otopsi forensic dilakukan terhadap jenazah seseorang yang diduga

meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti kasus kecelakaan, pembunuhan,

maupun bunuh diri. Tujuannya untuk mengetahui sebab kematian, identifikasi korban,

mengumpulkan bukti medis dan mencari adanya penyakit yang dapat memberikan kontribusi

pada kematian. Dasar hokum pelaksanaan otopsi medikolegal adalah UU RI nomor 36 tahun

2009 tentang Kesehatan pasal 122, KUHAP pasal 133 dan 134, KUHP pasal 222 serta

Instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975. Pelaksanaan otopsi medikolegal ini harus

berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik sesuai yang tercantum dalam pasal 133

KUHAP. Tujuannya untuk membantu penyidik menemukan kebenaran material sehingga

penyidik dapat menentukan identitas jenazah, sebab pasti kematian, mekanisme kematian,

perkiraan saat kematian, mengumpulkan dan memeriksa benda bukti medis untuk penentuan

identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan. Dalam hal persetujuan dari keluarga

berdasarkan KUHAP pasal 134 keluarga tidak mempunyai hak untuk menolak namun

mempunyai hak untuk diberitahu. Namun undang-undang memberikan kesempatan pada

keluarga untuk berunding, bila tidak ada tanggapan setelah dua hari dari pemberitahuan,

maka penyidik dapat memerintahkan untuk melakukan otopsi sebagaimana ketentuan yang

dimaksud pasal 133 ayat 3 KUHAP.

Namun hingga saat ini masih belum ada aturan perundang-undangan baku yang mengatur

penggunaan otopsi virtual, terutama dalam bidang medikolegal.

CT scan postmortem dapat membantu mendokumentasikan posisi yang benar atau salah dari

tube, kateter, probe dibandingkan prosedur otopsi lainnya. Hal ini memberikan keuntungan

medikolegal yang besar terutama pada kasus pasien meninggal selama atau setelah dilakukan

prosedur invasive atau invasive yang minimal.2,3

Otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia memerlukan

kajian yang lebih lanjut. Terlebih otopsi virtual lebih mengarah kepada mendiagnosis

15

Page 13: Tp Virtopsy

penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensic yang lebih mengedepankan untuk

proses penegakkan hukan dan peradilan.

Otopsi virtual dapat menjelaskan lima prinsip medikolegal penting dalam otopsi

konvensional yaitu:4

I. Atrium mortis, menjelaskan penyebab kematian.

II. Temuan patomorfologi di tulang, jaringan, dan organ.

III. Vital reactions, yaitu urutan cedera dan kematian. Apakah cedera didapatkan sebelum

atau setelah meninggal.

IV. Rekonstruksi cedera misalnya akibat kekerasan, biomekanikal, dan dinamis.

V. Rekapitulasi dan visualisasi, dapat menjelaskan sesuai temuan objektif.

Berikut peraturan yang mengatur tentang otopsi di Indonesia

UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 119

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan

bedah mayat klinis di rumah sakit.

(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan

diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.

(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan

tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.

(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan

bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab

kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 120

(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan

bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.

(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan

terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas

persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.

(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk

dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

16

Page 14: Tp Virtopsy

Pasal 121

(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai

dengan keahlian dan kewenangannya

(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan

adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli

forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat

yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah

mayat forensik di wilayahnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan

Peraturan Menteri.

Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981

tentang Bedah Mayat Klinis dan BedahMayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu

dan atau Jaringan Tubuh Manusia

Pasal 2

Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut

a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita

meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;

b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita

menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya

c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu

2x24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal

dunia datang ke rumah sakit.

Pasal 3

Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan untuk

keperluan itu.

17

Page 15: Tp Virtopsy

Pasal 4

Perawatan mayat sebelum, selama dan sesudah bedah mayat klinis dilakukan sesuai dengan

masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh

Menteri Kesehatan.

Pasal 5

Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan

memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan c.

Pasal 6

Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu fakultas

kedokteran.

Pasal 7

Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran

dibawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai.

Pasal 8

Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai

dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diatur

oleh Menteri Kesehatan.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Pasal 133

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara

tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit

harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan

diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan

pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Pasal 134

18

Page 16: Tp Virtopsy

(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak

mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga

korban.

(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya

tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.

(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang

diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Pasal 122

Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan

mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75 tentang Tatacara Permohonan/Pencabutan Visum

et Repertum

Pasal 3

Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak

dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.

Pasal 6

Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah

kewajiban petugas polisi dan pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan

tentang perlunya dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan

ditegakkan pasal 222 KUHP.

Jadi dari undang-undang yang berlaku di Indonesia, belum ada yang mengatur tentang otopsi

virtual. Bedah mayat yang diatur adalah otopsi konvensional.

19