TOKOH-TOKOH BERSEJARAH DALAM SEJARAH
INDONESIA
Cournelis de Houtman: Pembuka Jalan Penjajahan
Belanda di Nusantara
Cornelis de Houtman lahir di Gouda, Belanda, 2 April 1565 dan Tewas di Aceh tahun
1599. Cornelis de Houtman adalah seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur
pelayaran dari Eropa ke Nusantara dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah
bagi Belanda. Saat kedatangan Cornelis de Houtman, Kerajaan Portugis telah lebih
dahulu memonopoli jalur-jalur perdagangan di Nusantara. Meski ekspedisi Cornelis de
Houtman banyak memakan korban jiwa di pihaknya dan bisa dikatakan gagal, namun
ekspedisi Cornelis de Houtman yang pertama ini merupakan kemenangan simbolis bagi
pihak Belanda karena sejak saat itu kapal-kapal lainnya mulai berlayar untuk berdagang
ke Timur.
Awal perjalanan
Pada tahun 1592 Cornelis de Houtman dikirim oleh para saudagar Amsterdam ke
Lisboa/Lisbon, Portugal untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai
keberadaan “Kepulauan Rempah-Rempah”. Pada saat Cornelis de Houtman kembali ke
Amsterdam, penjelajah Belanda lainnya, Jan Huygen van Linschoten juga kembali dari
India. Setelah mendapatkan informasi, para saudagar tersebut menyimpulkan bahwa
Banten merupakan tempat yang paling tepat untuk membeli rempah-rempah. Pada
1594, mereka mendirikan perseroan Compagnie van Verre (yang berarti “Perusahaan
jarak jauh”), dan pada 2 April 1595 berangkatlah ekspedisi perseroan ini di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman. Tercatat ada empat buah kapal yang ikut dalam
ekspedisi mencari “Kepulauan Rempah-rempah” ini yaitu: Amsterdam, Hollandia,
Mauritius dan Duyfken.
Ekspedisi Cornelis de Houtman sudah direcoki banyak masalah sejak awal. Penyakit
sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran dimulai akibat kurangnya
makanan. Pertengkaran di antara para kapten kapal dan para pedagang menyebabkan
beberapa orang terbunuh atau dipenjara di atas kapal. Di Madagaskar, di mana sebuah
perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan
kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan. (Teluk di Madagaskar tempat
mereka berhenti kini dikenal sebagai “Kuburan Belanda”).
Tiba di Tanah Jawa
Pada 27 Juni 1596, ekspedisi Cornelis de Houtman tiba di Banten. Hanya 249 orang
yang tersisa dari pelayaran awal. Penerimaan penduduk awalnya bersahabat, tapi
setelah beberapa perilaku kasar yang ditunjukkan awak kapal Belanda, Sultan Banten,
bersama dengan orang-orang Portugis yang telah datang lebih dulu di Banten, mengusir
rombongan “Wong Londo” ini.
Ekspedisi Cornelis de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa. Namun kali ini,
kapalnya takluk ke pembajak. Saat tiba di Madura perilaku buruk rombongan ini
berujung ke salah pengertian dan kekerasan: seorang pangeran di Madura terbunuh
sehingga beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan sehingga Cornelis de
Houtman membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu berlayar ke
Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot
merica pada 26 Februari 1597.
Saat dalam perjalanan pulang ke Belanda, mereka singgah di Kepulauan St. Helena,
dekat Angola untuk mengisi persediaan air dan bahan-bahan lainnya. Kedatangan
mereka ini dihadang oleh kapal-kapal Portugis yang merupakan pesaing mereka.
Akhirnya pada akhir 1597, tiga dari empat kapal ekspedisi ini kembali dengan selamat ke
Belanda. Dari 249 awak, hanya 87 yang berhasil kembali.
Akibat dari ekspedisi Cornelis de Houtman
Meski perjalanan ini bisa dibilang gagal, namun juga dapat dianggap sebagai
kemenangan bagi Belanda. Pihak Belanda sejak saat itu mulai berani berlayar untuk
berdagang ke Timur terutama di tanah Nusantara. Beberapa ekspedisi memang
mengalami kegagalan, sementara lainnya sukses gilang-gemilang dengan keuntungan
berlimpah-limpah dari total modal ekspedisi yang dikeluarkan.
Totalnya dalam rentang waktu antara 1598 dan 1601 ada 15 ekspedisi dikirim ke
Nusantara, yang melibatkan 65 kapal. Sebelum Verenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) didirikan pada 1602, tercatat 12 perusahaan telah melakukan ekspedisi ke
Nusantara dalam masa 7 tahun, yakni: Compagnie van Verre (Perusahaan dari Jauh), De
Nieuwe Compagnie (Perusahaan Baru), De Oude Compagnie (Perusahaan Lama), De
Nieuwe Brabantse Compagnie (Perusahaan Brabant Baru), De Verenigde Compagnie
Amsterdam (Perhimpunan Perusahaan Amsterdam), De Magelaanse Compagnie
(Perusahaan Magelan), De Rotterdamse Compagnie (Perusahaan Rotterdam), De
Compagnie van De Moucheron (Perusahaan De Moucheron), De Delftse Vennootschap
(Perseroan Delft), De Veerse Compagnie (Perusahaan De Veer), De Middelburgse
Compagnie (Perusahaan Middelburg) dan De Verenigde Zeeuwse Compagnie
(Perhimpunan Perusahaan Kota Zeeuw).
Tewas di Aceh
Tahun 1598, Cornelis de Houtman bersama saudaranya Frederick de Houtman
diutus lagi ke tanah Nusantara di mana kali ini ekspedisinya merupakan ekspedisi dalam
jumlah besar. Armada-armadanya telah dipersenjatai seperti kapal perang.
Pada 1599, dua buah kapal pimpinan Cornelis de Houtman yang bernama de Leeuw
dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Pada awalnya kedua kapal ini
mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat
dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan
Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada
kepada Belanda.
Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan dari pihak Portugis yang
telah lebih dahulu berdagang dengan Kerajaan Aceh, Sultan Aceh menjadi tidak senang
dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang kapal-kapal mereka.
Pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. Dalam penyerangan ini,
Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya tewas sementara Frederick de
Houtman ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Frederick de Houtman mendekam
dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku
berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan
tertua di Nusantara.
Sir Thomas Stamford Raffles
Sir Thomas Stamford Raffles lahir pada tanggal 6
Juli 1781, di atas kapal laut, yang dikapteni oleh
ayahnya, Kapten Benjamin Raffles, di kawasan Morant
Port di Jamaika.
Raffles dibesarkan oleh keluarga Inggris yang
miskin dan dipaksa untuk meninggalkan sekolah pada
usia 14 untuk bekerja. Dia memasuki pelayanan
Perusahaan India Timur dan mengembangkan dirinya
dengan kerja keras. Hal ini merupakan langkah awal
sejarah kemajuan politik Sir Stamford Raffles ', hingga
akhirnya ia memasuki East India Company (EIC) sebagai pegawai yang berperan penting
dalam perluasan pengaruh Inggris di Asia Tenggara
Pada tahun 1795 Raffles bergabung dengan EIC. Ia bekerja sebagai petugas di
kantor EIC yang terletak di India House di London. Di sini, Raffles bertemu dan
membentuk persahabatan denagn pewai penting lainnya seperti William Brown
Ramsay. Ayah Ramsay, William Ramsay, adalah Sekretaris Perusahaan India Timur. The
Ayah Ramsay mengenali bakat Raffles, dan pada bulan Maret 1805, atas rekomendasi
nya, Raffles diangkat jabatan sebagai Sekretaris Asisten Gubernur Penang dengan gaji
tahunan sebesar £ 1500.
Raffles menikah dengan Olivia pada tanggal 14 Maret 1805, beberapa hari setelah
dia diangkat sebagai Asisten Sekretaris kepada Gubernur Penang. Olivia meninggal pada
tahun 1814, berusia 43. Olivia dimakamkan di Batavia (Jakarta saat ini) di pemakaman di
Tanah Dalam. Teradpat juga sebuah monumen yang bernama Botanic Gardens,
Buitenzorg (Bogor, Jawa Barat, Indonesia).
Raffles menikah dengan Sophia setelah tiga tahun kematian istri pertamanya pada
22 Februari 1817 di St Marylebone Parish Church di London. Ia adalah Lady Sophia
Raffles yang memberikan reputasi historis Raffles sebagai salah satu dari administrator
terbesar kolonial Inggris di Asia Tenggara. Bukunya yang berjudul “ Hidup dan Pelayanan
Publik dari Sir Thomas Stamford Raffles”, yang ditulis dan diterbitkan pada tahun 1830
membuat masyarakat umum mengetahui prestasi Raffles. Pernikannya dengan Sophia
ini dikaruniai lima orang anak.
Raffles tiba di Penang pada bulan September 1805. Dia bekerja sebagai pemberi
lisensi dari Pers dan Penerjemah bahasa Melayu untuk Pemerintah. Pada 1807 dia
menjadi Sekretaris Gubernur dan pada tahun 1808 ia juga membuat Clerk of the
Recorder's Court di bawah Sir Edmond Stanley. Raffles terbukti bekerja keras dan
menjadi administrator yang handal. Akhirnya, pihak berwenang di EIC melihat bakatnya
dan saat itu mereka berusaha untuk memperpanjang keberadaannya di wilayah
tersebut.
Pada bulan Juni 1810, Raffles mengunjungi Calcutta di mana ia bertemu dengan
Gubernur Jenderal Lord Minto. Setelah kunjungannya, Raffles ditunjuk sebagai Agen
Gubernur-Jenderal di Malaka dan diberi tugas mengumpulkan informasi tentang Jawa
dalam persiapan untuk invasi. Pada 1811, ia bergabung dengan Lord Minto di sebuah
ekspedisi ke Jawa yang mendarat di Cilincing. Tak lama setelah pendaratan, Inggris
menguasai Batavia. Dalam pengakuannya karena Raffles telah memberikan bantuan,
Lord Minto mengangkat Raffles menjadi Letnan Gubernur-Jawa. Raffles diangkat
menjadi Letnan-Gubernur pada bulan September 1811. Di Jawa, Raffles
memperkenalkan sejumlah tindakan administratif, seperti menghapuskan perdagangan
budak dan Membagi Pulau Jawa menjadi 16 keresidenan.
Pada 1816, ketika Jawa dikembalikan ke Belanda, Raffles kembali ke Inggris di mana
ia menulis dan menerbitkan History of Java (1817). Pada tahun yang sama, dia
mendapatkan gelar bangsawan oleh Bupati Pangeran.
Pada bulan Maret 1818, Raffles tiba di Bengkulu, Sumatera dan menjabat sebagai
sebagai Letnan Gubernur. Raffles percaya bahwa Inggris sedang mebutuhkan untuk
pembangunan pelabuhan di ujung selatan Semenanjung Melayu dalam rangka
meningkatkan posisi mereka dalam perdagangan China yang menguntungkan. Pada
bulan September 1818, ia melakukan perjalanan ke Calcutta untuk membahas rencana
pembangun pemukiman di sebelah selatan Selat Malaka dengan Gubernur General
Hastings. Pada bulan Januari 1819, Raffles berlayar menyusuri Selat Malaka untuk
mencari lokasi yang sesuai untuk mendirikan sebuah pelabuhan Inggris. Dia melakukan
kunjungan ke Pulau Singa Pura yang ternyata sangat ekonomis dan strategis.
Pelabuahan di Singapura ini tidak hanya berperan di rute perdagangan utama antara
Cina, India dan Eropa, tetapi juga pelabuhan yang sangat baik dan dan mempunyai
suplai air bersih yang bagus untuk kapal berlayar di sepanjang rute perdagangan China.
Pada tahun 1824, Raffles melepaskan jabatannya sebagai Letnan Gubernur di
Bencoolen, Singapore dan siap dipulangkan kembali ke Inggris. Namun, kapal yang ia
tumpangi terbakar dan tenggelam. Raffles kehilangan semua koleksi-koleksi tak
tergantikan nya seperti lukisan dan spesimen, naskah Melayu, dan dokumen resmi dan
sejarah, yang berada di kapal tersebut. Pada saat Raffles kembali ke Inggris,
kesehatannya dalam kondisi yang buruk. Beberapa bulan sebelum kematiannya, ia
mengalami kesulitan keuangan ketika East India Company menuntut darinya
pembayaran uang yang telah dipinjam di masa lalu. Raffles meninggal pada 5 Juli 1826 di
rumahnya, Highwood House, di Hendon, Middlesex. Dia dimakamkan di Hendon Parish
Church.
Sumber: Singapore Story Stamford Raffles_version4
JAN PIETERZOON COEN
Jan Pieterszoon Coen lahir di kota Hoorn Belanda pada tanggal 8 Januari 1587. Tahun 1601 dia pergi belajar berdagang di kota Roma. Kemudian dia bekerja di kantor milik Justus Pescatore. Tahun 1607 dia menjadi pegawai VOC dengan pangkat asisten saudagar (onderkoopman) dan pergi ke Hindia (Indonesia) dengan menumpang kapal “Hoorn”. Tahun 1612 dia naik pangkat
menjadi saudagar tinggi (operkoopman) dan komandan dari kapal Galiasse saat pelayaran ke dua. Pada bulan Oktober 1613 dia ditunjuk sebagai akuntan – jenderal (boekhouder-generaal) yang membawahi seluruh kantor cabang VOC hingga kantor pusat di Hindia yang berpusat di Banten dan Jayakarta, yang nantinya bernama Batavia. Banten adalah pusat kegiatan administrasi dan pelayanan VOC di Hindia. Antara penguasa Banten dengan VOC sebetulnya kurang baik karena pihak keraton Banten melihat VOC sangat dominan dalam mengurus perdagangan dengan pihak asing yang juga merupakan pelanggan dari Kerajaan Banten. Tahun 1614 JP Coen menjabat sebagai Direktur Jenderal, jabatan tertinggi kedua setelah Gubernur Jenderal. Pada tanggal 25 Oktober 1617 Heren XVII menunjuk JP Coen sebagai Gubernur Jenderal menggantikan Laurens Reael yang telibat clash dengan mereka. JP Coen menerima penunjukkan itu pada tanggal 30 April 1618, dan menjalani masa transisi hingga tanggal 21 Maret 1619.
Jan Pieterszoon Coen merupakan Gubernur Jenderal VOC yang memiliki banyak keunikan dibandingkan gubernur jenderal lainnya. Beberapa diantaranya adalah Coen merupakan salah satu dari sedikit gubernur jenderal VOC – Hindia Belanda yang biografinya tercantum dalam Ensiklopedia Britannica, Coen juga merupakan satu-satunya pejabat Belanda yang menduduki jabatan gubernur jenderal hingga dua kali. Coen juga dianggap oleh para sejarawan barat sebagai salah satu tokoh kontroversial di Hindia Belanda. Tindakan-tindakan yang dianggap kontroversi adalah peristiwa pembantaian rakyat Banda tahun 1621 dan skandal Sarah Specx – Pieter Coertenhoff di Batavia. Sebagai catatan, peristiwa Banda tahun 1621 adalah tindakan ‘genocide’ pertama yang dilakukan bangsa Belanda kepada rakyat Indonesia.
Begitu menjabat sebagai Gubernur Jenderal, langkah pertama Coen adalah membangun sebuah markas besar VOC yang dapat memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan VOC di Hindia. Banten tidak menarik bagi Coen karena pertentangannya dengan bangsa Cina, Banten dan juga Inggris. Sedangkan Maluku terlalu kecil untuk dijadikan kantor pusat, selain itu Coen tetap menginginkan Jawa sebagai kedudukan kantor pusatnya karena sangat mudah untuk logistik pangan. Akhirnya Coen memilih Jayakarta sebagai pusat pemerintahannya karena di Jayakarta pula terdapat gudang dan loji VOC yang
berdiri sejak tahun 1610. Karena Pangeran Jayakarta tidak menghendaki kehadiran Coen di Jayakarta, Coen memperkuat diri dengan membangun benteng di sekitar Istana Jayakarta. Tanggal 18 Januari 1621 Coen dan tentaranya berhasil mengusir Pangeran Jayakarta dan pengikutnya, kemudian dia merubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Langkah kedua JP Coen adalah merealisasikan monopoli pembelian pala di Hindia. Pala merupakan komoditas rempah-rempah yang hanya ada di Kepulauan Banda. Saat itu penduduk Banda menandatangani persetujuan penjualan pala kepada VOC dan juga Inggris. Untuk menguasai pala di pulau itu Coen menggunakan cara keras dan brutal.
Pembantaian Banda 1621
Latar belakang pemusnahan etnis ini disebabkan karena ketidakmampuan bangsa Belanda menjual pala lebih murah dibandingkan dengan Inggris bahkan dengan penduduk lokal pun masih lebih mahal, padahal Belanda sudah mengontrol Maluku selama 20 tahun. Akhirnya para petinggi VOC mencoba membuat program untuk bisa memonopoli perdagangan pala di Pulau Banda. JP Coen kemudian mengambil tugas ini dan beranggapan bahwa hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli pulau Banda, monopoli pala baru bisa dilakukan.
Pertama –tama Coen dan serdadunya memaksa penduduk Banda (dibawah todongan senjata) untuk mau menandatangani kontrak perdagangan pala hanya dengan VOC tidak dengan Inggris. Tidak semua penduduk Banda mau mematuhi perjanjian tersebut, diam-diam mereka juga menjual Pala kepada Inggris dan ditukar dengan senjata, untuk memerangi kesewenang-wenangan VOC. Mereka membuat markas di pegunungan supaya tidak diketahui oleh Coen, saat dia datang ke Banda. Pemboikotan yang dilakukan oleh bangsa Banda ini akhirnya ketahuan juga, dan menyebabkan Coen naik pitam.
Pada tanggal 10 Maret 1621 dengan berkekuatan sebanyak 2000 tentara (sebagian tentara bayaran dari Jepang), Coen memimpin sendiri penyerangan tersebut ke P. Lontor, dari hasil penyerbuan tersebut Coen menangkap sebanyak 800 orang dan dikirim ke Batavia sebagai budak. Sebuah laporan yang diterbitkan setahun kemudian Verhael van eenighe oorlogen in Indië (1622) (Critici van Jan Pieterszoon Coen; Ewald Vanvugt; 1996) seorang saksi mata menjelaskan pada tanggal 8 Mei 1621 di depan Benteng Nassau, sebanyak 44 dakwaan dituduhkan kepada para pemimpin suku Banda, kemudian setelah dakwaan dibacakan delapan pemimpin suku Banda ini kemudian dipancung oleh enam orang tentara bayaran dari Jepang. Kemudian mayatnya dipotong menjadi empat bagian dan dibuang ke empat penjuru.
Menurut salah seorang serdadu VOC yang ikut, Vertoogh. Sekitar 2500 penduduk Banda dibiarkan tewas kelaparan, dan banyak yang tewas terpancung sehingga seandainya kita
bisa terbang pasti dapat melihat seluruh pulau penuh dengan mayat. Pembantaian lebih kejam terjadi pada minggu kedua April 1621, hanya dalam waktu satu minggu 1200 – 1300 penduduk Banda tewas dibantai, dan dengan bangga Coen melaporkan kepada Heren XVII “Seluruh orang aborigin dari Banda sudah mati karena perang, kelaparan dan kekurangan. Hanya sedikit yang bisa lolos dan mengungsi ke tempat lain” (Ewald Vanvugt; 1996).
Pembantaian ini dilakukan sangat brutal, Willard A. Hanna dalam bukunya Indonesian Banda Colonialism and its aftermath in the nutmeg island, menjelaskan bahwa sebelum pembantaian 8 Mei 1621, jumlah penduduk Banda adalah 14000 orang, setelah pembantaian hanya tersisa sekitar 1000 orang, itupun mereka selamat karena mengungsi ke pulau lain. Kemudian setelah kepulauan Banda ini kosong dari penduduk asli, maka Coen mendatangkan orang dari berbagai bangsa untuk bekerja di pulau ini, mayoritas penduduk baru yang tinggal di P. Banda ini berasal dari bangsa Makasar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku dan Buton.
Pada tanggal 1 Februari 1623 Coen menyerahkan jabatan Gubernur Jenderal kepada penggantinya Pieter de Carpentier, dan pulang ke negeri Belanda. Di Belanda pamor Coen naik, dia diangkat menjadi salah satu pemimpin VOC di Hoorn. Dia juga tetap mengontrol perdagangan VOC di Asia yang mulai menyebar hampir di semua belahan tempat di Asia semenjak tahun 1614. Tahun 1625 dia menikahi Eva Ment. Pada tanggal 3 Oktober 1624 dia ditunjuk kembali menjadi Gubernur Jenderal. Pada tahun 1627 dia pergi lagi ke Hindia, berserta keluarganya. Tanggal 30 September 1627, untuk kedua kalinya JP Coen memimpin VOC di Hindia. Saat tiba di Hindia, Batavia sudah resmi menjadi pusat pemerintahan VOC di Hindia, sementara di Banten menjadi kantor cabangnya.Saat kepemimpinannya yang kedua ini, Batavia mendapat serangan hebat dari Mataram di tahun 1628 dan 1629. Kedua pertempuran ini bisa dimenangkan oleh Belanda, disebabkan persenjataan VOC yang lebih unggul, juga logistik tentara Mataram yang kurang koordinasi. Pada pertempuran kedua tahun 1629 JP Coen meninggal akibat kolera dan dimakamkan di Pemakaman Belanda (Sekarang Museum Wayang). Penggantinya adalah Jacques Specx.
Kisah kehidupan dan kepemimpinan Coen ini menjadi perdebatan dan kritisi dari berbagai orang. Beberapa orang berpendapat tindakan Coen ini terlalu berlebihan, bahkan Heren XVII pun memandangnya seperti itu. Dalam sejarah Jan Pieterszoon Coen dianggap sebagai seorang pemimpin yang tiran dan antagonis. Meskipun dia menjabat sebagai Gubernur Jenderal tidak lama, tetapi kekejaman yang ditimbulkannya tetap menjadi cerita hingga saat ini. Bagi Coen sukses hanya bisa direbut melalui darah dan kekuatan militer.
Herman Willem Daendels
Herman Willem Daendels (Hattem, 21 Oktober 1762–Ghana, 2 Mei 1818), adalah seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-36. Ia memerinta antara tahun 1808-1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis.
Masa Kecil
Herman Willem Daendels lahir di Hattem, Belanda pada tanggal 21 Oktober 1762 sebagai putra Burchard Johan Daendels, sekretaris walikota dan Josina Christina Tulleken. Ketika menginjak dewasa, ia belajar hukum di Universitas di Harderwijk, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Ia lulus pada tanggal 10 April 1783.Masa dewasa
Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat Jendral dan pada tahun 1795 ia masuk Belandadan masuk tentara Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jendral. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan untuk menjadi petani dan peternak saja di Heerde, Gelderland.
Karir
Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur-Jendral. Daendels di Hindia-Belanda Maka setelah perjalanan yang panjang, Daendels tiba di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jendral Albertus Wiese. Daendels diserahi tugas terutama untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris. Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun
sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Herman Willem Daendels (1762-1818).
Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini sebenarnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat. Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Jadi ketika orang-orang Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja "mengkhianati" orang Belanda. Selain itu Daendels memaksa rakyat Jawa untuk melaksanakan kerja rodi secara berat. Belum pernah mereka sebelumnya disuruh bekerja keras seperti itu. Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat birokrasi menjadi lebih efisien dan mengurangi korupsi. Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya ia dipanggil pulang oleh Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada Jan Willem Janssens, seperti diputuskan oleh Napoleon Bonaparte. Kembali ke Eropa Sekembali Daendels di Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara Perancis. Dia juga ikut tentara Napoleon berperang ke Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo dan Belanda merdeka kembali, Daendels menawarkan dirinya kepada Raja Willem I, tetapi Raja Belanda ini tidak terlalu suka terhadap mantan Patriot dan tokoh revolusioner ini. Tetapi biar bagaimanapun juga, pada tahun 1815 ia ditawari pekerjaan menjadi Gubernur-Jendral di Ghana. Ia meninggal dunia di sana akibat malaria pada tanggal 8 Mei1818.
JOHANNES VAN DEN BOSCH
Johannes graaf van den Bosch (lahir di Herwijnen, Lingewaal, 1 Februari 1780 – meninggal di Den Haag, 28 Januari 1844 pada umur 63 tahun) adalah Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-43. Ia memerintah antara tahun 1830 – 1834. Pada masa pemerintahannya Tanam Paksa (Cultuurstelsel) mulai direalisasi, setelah sebelumnya hanya merupakan konsep kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda yang kehabisan dana karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni (terutama di Jawa dan Pulau Sumatera).
Biografi
Van den Bosch dilahirkan di Herwijnen, Provinsi Gelderland, Belanda. Kapal yang membawanya tiba di Pulau Jawa tahun 1797, sebagai seorang letnan; tetapi pangkatnya cepat dinaikkan menjadi kolonel. Pada tahun 1810 sempat dipulangkan ke Belanda karena perbedaan pendapat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Setelah kepulangannya ke Belanda pada bulan November 1813, Van den Bosch beragitasi untuk kembalinya Wangsa Oranje. Dia diangkat kembali sebagai kolonel di ketentaraan dan menjadi Panglima Maastricht. Di Belanda karier militernya membuatnya terlibat sebagai komandan di Maastricht dengan pangkat sebagai mayor jenderal. Di luar kegiatan karier, Van den Bosch banyak membantu menyadarkan warga Belanda akan kemiskinan akut di wilayah koloni. Pada tahun 1827, dia diangkat menjadi jenderal komisaris dan dikembalikan ke Batavia (kini Jakarta), hingga akhirnya menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1830. Van den Bosch kembali ke Belanda sesudah lima tahun. Dia pensiun secara sukarela pada tahun 1839.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
Jabatan Gubernur Jenderal (bahasa Belanda: Gouverneur-Generaal) adalah jabatan penguasa tertinggi dalam pemerintahan Hindia-Belanda. Konon jabatan ini baru diadakan pada tahun 1691. Sebelumnya gelar jabatan ini lain istilahnya. Penguasa Hindia-Belanda sebelumnya berarti hanya duta VOC saja di Jakarta dan kemudian Batavia.Setelah bangkrutnya VOC pada tahun 1799, aset-aset VOC di Hindia-Belanda diserahkan kepada pemerintahan Belanda, sehingga mulai saat itu seorang Gubernur Jenderal
benar-benar menjadi wakil daripada pemerintahan Belanda.Jabatan Gubernur Jenderal hanya ada di jajahan Belanda di Hindia-Belanda. Di Suriname, jajahan Belanda yang lain, gelar ini hanya Gubernur saja.Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang terakhir adalah Jhr A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Ia ditangkap oleh pasukan Jepang pada tahun 1942. Setelah dia masih ada satu pejabat Belanda lagi yang memakai gelar Gubernur Jenderal yaitu H.J. van Mook. Tetapi apakah ia juga seorang Gubernur Jenderal secara legal diragukan.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat Gubernur Jendral yang baru untuk Indonesia, yaitu Johanes Van Der Bosch. Van Den Bosch inilah yang kemudian mengeluarkan kebijakannya yang terkenal. Yaitu cultuurstelsel atau system tanam paksa. Adapaun latar belakang dikeluarkannya atutarn tanam paksa adalah sebagai berikut
· Terhentinya produksi tanaman ekspor selama sistim sewa/pajak tanah berlangsung.· Kosongnya kas Negara akibat besarnya alokasi dana untuk menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830) dan Perang Kemerdekaan Belgia.· Besarnya hutang Belanda.
Pokok-pokok/aturan awal tanam paksa1. Rakyat diwajibkan menyediakan 1/5 dari tanahnya unruk ditanami tanaman dagang/ekspor yang laku di pasar ekspor, seperti tebu, kopi, nila.2. Tanah yang disediakan untuk penanaman tanaman dagang tersebut dibebaskan dari pajak tanah.3. Nilai lebih/sisa keuntungan dari penanaman tanaman dagang tersebut diberikan kepada petani.4. Waktu pekerjaan menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.5. Kegagalan panen atas penanaman dagang menjadi tanggung jawab pemerintah.6. Pengwasan atas tanam paksa dilakukan oleh pejabat pribumi (bupati).
Pelaksanaan sistem tanam paksa1. Tanaman yang diwajibkan untuk penanaman tanaman dagang, sering melebihi 1/5, bahkan mencapai ½ luas tanah petani.2. Sisa keuntungan dari penanaman tanaman dagang diambil oleh pemerintah.3. Pekerjaan untuk menanam tanaman dagang sering melebihi waktu untuk menanam padi, sehingga areal penanaman padi rakyat menjadi terlantar.4. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.5. Adanya cultuur prosenten (prosentasi keuntungan) yang diberikan kepada pengawas tanam paksa.Pemberlakuan cultuur stelsel/system tanam paksa ini telah menimbulkan dampak yang luas bagi pemerintah Belanda maupun terhadap rakyat pribumi.
a. Dampak tanam paksa terhadap pemerintah Belanda.- Pendapatan pemerintah Belanda mengalami surplus (Batig Slot).- Hutang-hutang Belanda dapat terlunasi.- Pemerintah Belanda dapat melakukan pembangunan negaranya.
b. Dampak tanam paksa terhadap rakyat pribumi.- Menyempitnya luas areal penanaman padi.- Menculnya bencana kelaparan di Demak dan Grobogan (1849-1850).- Akibat kegagalan panen dan wabah kelaparan.- Meluasnya bentuk kepemilikan lahan beserta (tanah milik komunal).- Rakyat pribumi mulai mengenali jenis tanaman ekspor dan sistim penanamannya.
Top Related