BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan
Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas
dari interaksi dengan manusia lain, hal ini sudah sepantasnya
karena manusia pada kodratnya adalah mahluk sosial. Manusia
sebagai mahluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka
masing-masing sehingga selalu dan akan memerlukan bantuan
dari orang lain. Dalam interaksi tersebut, akan banyak
menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan
antara masing-masing individu. Perbedaan yang semakin
meruncing antar individu dapat memicu timbulnya konflik
individu ataupun pertengkaran.
Perbedaan-perbedaan ini sebenarnya dapat dipahami
karena pada hakekatnya manusia antara satu dengan yang lain
tidak memiliki persamaan, yang menjadi masalah adalah
bagaimana individu-individu itu menanggapinya, karena
terkadang individu-individu tersebut melibatkan emosi dalam
menyelesaikan masalahnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik seringkali tidak dapat menahan diri sehingga melakukan
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum baik yang bersifat
pidana maupun perdata dan aspek hukum lainnya. Sebagai
contoh misalnya perbuatan tidak menyenangkan yang diatur
2
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Sebagai contoh
memaksa penumpang naik kedalam bus atau angkutannya.
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk
menciptakan tata tertib, keamanan dan ketenteraman dalam
masyarakat, baik sebagai usaha pencegahan maupun
pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran
hukum. Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah jelas
ditentukan tujuan dari penegakan hukum pidana adalah untuk
mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana yang diatur secara jujur dan
tepat.
Dalam rangka penegakan hukum, apabila terjadi suatu
peristiwa yang diduga atau patut diduga merupakan tindak
pidana, maka aparat hukum wajib melakukan berbagai tindakan
sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan yang dimaksud adalah melakukan penyelidikan oleh
penyelidik dan kemudian diteruskan dengan penyidikan sebagai
suatu tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti supaya
tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat
menemukan dan menentukan pelakunya.
3
Upaya untuk menemukan dan menentukan pelaku dalam
suatu peristiwa pidana sangat penting untuk menentukan siapa
yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana atas peristiwa
pidana tersebut. Mengenai pertanggungjawaban pidana, E. Y.
Kanter dan S. R. Sianturi mengemukakan pendapatnya bahwa :
Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tiada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtvaardigingsgrond atau alasan pembenar).1
Penyidikan sebagai upaya untuk menemukan dan
menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana dilaksanakan
oleh Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Polri).
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Polri menduduki posisi
sebagai aparat penegak hukum, sesuai dengan prinsip
diferensiasi fungsional yang digariskan KUHAP. Polri diberikan
peran berupa kekuasaan umum menangani kriminal (general
policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara
Indonesia. Lebih lanjut kewenangan penyidik diatur dalam pasal
6 KUHAP.
1E. Y. Kanter, dan S. R. Sianturi,2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Halaman. 106
4
Kewenangan Penyidik yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP
adalah kewenangan dari penyidik Polri. Kewenangan penyidik
pembantu serupa dengan kewenangan penyidik Polri, kecuali
dalam hal penahanan. Mengenai kewenangan penyidik
pembantu telah ditentukan dalam Pasal 11 KUHAP, yaitu:
‘Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut
dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib
diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”. Hal ini
berarti bahwa untuk melakukan penahanan, seorang penyidik
pembantu harus memperoleh pelimpahan wewenang dari
penyidik.
Mengenai peran Polri berupa kekuasaan umum menangani
kriminal (general policing authority in criminal matter) di seluruh
wilayah negara Indonesia, M. Yahya Harahap mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut :
“Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Polri berperan melakukan kontrol kriminal (crime control) dalam bentuk: investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan. Sesuai dengan otoritas kepolisian itu, semestinya Polri harus mengembangkan peran pelayanan (civil service).”Diantara fungsi pelayanan polisi yang harus dikembangkan pada saat sekarang, antara lain: mengatur lalu lintas, mengontrol keributan, memberi pertolongan darurat (emergency medical care) dan pengaturan jam malam.2
2 M.Yahya Harahap, 2004, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Sinar Grafika, Jakarta). Halaman. 101.
5
Dalam melaksanakan fungsi penyidikan, Polri harus taat
dan tunduk kepada prinsip the right of due process. Setiap
tersangka berhak disidik di atas landasan sesuai dengan hukum
acara, tidak boleh secara undue process. Hak due process dalam
melaksanakan tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-
cita negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum
yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum” dan bukan “oleh
orang” (government of law and not of men). Bertitik tolak dari
asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
penyidikan harus berpatokan dan berpedoman pada ketentuan
khusus yang diatur dalam KUHAP.
Polri sebagai ujung tombak penegak hukum di lapangan
tidak mungkin diharapkan dapat melakukan patroli secara terus
menerus sehingga setiap kali tindak pidana terjadi mereka
dapat langsung mengetahuinya. Polri sering mengeluhkan bahwa
jumlah rasio Polisi di Indonesia dengan jumlah penduduk sangat
tidak seimbang. Hal ini mengakibatkan pelayanan yang dapat
diberikan oleh Polri kepada masyarakat menjadi tidak atau
kurang maksimal. Oleh karena itu Polri selalu meminta agar
masyarakat selalu membantu Polri untuk menjaga dan
menciptakan ketertiban dan ketenteraman umum.
Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya
6
disebut UU Polri) yang isinya dinyatakan Keamanan dan
ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat
sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan Nasional dalam rangka tercapainya tujuan
Nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban
dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman yang
mengandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah
dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan
bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan
masyarakat. Pada prinsipnya, jika terjadi suatu peristiwa pidana
maka Polri sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum dapat
segera mengambil tindakan. Akan tetapi dari banyak peristiwa
pidana itu ada beberapa jenis yang hanya dapat dituntut atas
pengaduan dari orang yang dirugikan akibat terjadinya peristiwa
pidana tersebut. Peristiwa pidana tersebut biasanya disebut delik
aduan.
Menurut R. Soesilo:
Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oppurtuniteit dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan) senantiasa
7
mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum.3
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana telah mengatur
secara tegas mengenai jenis-jenis tindak pidana yang termasuk
dalam tindak pidana (delik) aduan. Salah tindak pidana yang
termasuk delik aduan adalah perbuatan tidak menyenangkan
yang diatur dalam pasal 335 Kitan Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat
fatal bagi pelakunya, jika perbuatan tersebut tidak disukai atau
tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari
perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut. Memang akibat
perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita,
akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan
oleh korban, atau korban mengalami sakit hati (perasaan).
Berarti dari sudut pandang hukum positif, perbuatan yang tidak
menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang
perorang,oleh karena itu hukum positif perlu berperan aktif dan
mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan,
pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap
“kemerdekaan orang”.
Dalam hukum pidana, perbuatan tidak menyenangkan
diatur dalam Bab. XVIII Tentang Kejahatan Terhadap
Kemerdekaan Orang. Perbuatan tidak menyenangkan ini 3http://legal-community.blogspot.com , 11 Juni 2015, Surabaya.
8
haruslah dilakukan dengan kesengajaan, sehingga orang yang
melakukan perbuatan pidana itu dapat dihukum karena
mempunyai sikap bathin yang berupa kesengajaan.4
Aturan yang mengatur tentang tindak pidana perbuatan
tidak menyenangkan adalah Pasal 335 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah;
Ke-1 : Barangsiapa secara melawan hukum memaksa
orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan, atau dengan memakai ancaman
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri
maupun orang lain.
Ke-2 : Barangsiapa memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
4Masruchin Ruba’i, dkk, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia Publishing, Malang, Halaman. 103.
9
b. Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2,
kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang
terkena.
Terkait dengan tindak pidana perbuatan tidak
menyenangkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 KUHP,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013
tertanggal 16 Januari 2014 dalam amar putusannya
menyebutkan bahwa;
a. Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat
(1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat
10
(1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958)
tidak mempunyai kekuatan mengikat;
c. Menyatakan Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang
menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara
Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1660 Tahun 1958) menjadi: “Barang siapa secara
melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan
memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman
11
kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang
lain”.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menghapus
ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP secara keseluruhan, tetapi
yang dihapus pada rumusan ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP
adalah frasa: “perbuatan tidak menyenangkan” dan frasa:
“perbuatan lain”, frasa tersebut dianggap oleh Mahkamah
Konstitusi telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 karena Pasal tersebut tidak memberi kepastian pada tindak
pidana mana yang harus diterapkan oleh Pasal 335 ayat (1)
KUHP sehingga penerapan frasa perbuatan tidak akan terlepas
dari penafsiran yang beragam.
Dalam hal terjadinya suatu delik aduan, sumber informasi
yang diterima oleh Polri adalah pengaduan. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa pengaduan merupakan dasar untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu delik
aduan. Hal ini membuat terjadinya perbedaan dalam
penanganan peristiwa yang termasuk delik aduan dengan
peristiwa pidana yang merupakan delik biasa.
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka Penulis
dalam tulisan ini akan mengkaji mengenai “Tinjauan Yuridis
Kedudukan Penyidik Atas Pengaduan Delik Perbuatan Tidak
12
Menyenangkan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
1/PUU-XI/2013”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka
dapat ditentukan rumusan masalahnya yaitu:
a. Bagaimana proses pelaksanaan penyidikan terhadap delik
aduan di Indonesia ?
b. Apa akibat hukum bagi kedudukan penyidik atas
pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi 1/PUU-XI/2013 tentang Uji
Undang-Undang pasal 335 KUHP dalam delik aduan
perbuatan tidak menyenangkan ?
3. Tujuan dan Mnfaat Penelitian
3.1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
3.1.1.Untuk menganalisis proses pelaksanaan penyidikan
dalam suatu peristiwa yang termasuk dalam
kualifikasi delik aduan .
3.1.2.Untuk menganalisis tentang kedudukan penyidik
Polri terhadap delik perbuatan tidak menyenangkan
pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-
13
XI/2013 Tentang Perubahan atas redaksi Pasal 335
ayat (1) KUHP.
3.2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
3.2.1. Manfaat teoritis dari penelitian ini agar dapat memberikan
pemahaman di bidang akademik maupun non akademik terkait
dengan proses pelaksanan penyelidikan terhadap delik aduan
maupun akibat hukum terhadap kedudukan Penyidik Polri atas
pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 Tentang
Perubahan atas redaksi Pasal 335 ayat (1) KUHP.
3.2.2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini di harapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam hal
ini Kepolisian, kejaksanaan maupun masyarakat luas dalam
kaitannya dengan pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan
Pasal 1 butir 2 KUHAP isinya dinyatakan bahwa:”Penyidik adalah pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Mengenai pengertian penyidikan dapat diketahui dari isi Pasal 1 butir 2 KUHAP
yang menetukan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”Penyidikan dilakukan segera
15
setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. Penyidik yang mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan
yang diperlukan.5
Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begrips bepaling) sesuai
tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual
dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga
melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek
sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang telah dilakukan.b. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti).c. Cara tindak pidana dilakukan.d. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan.e. Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan.f. Siapa pelakunya6
Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 mengenai
pengertian penyidik dan penyidikan, dapat diketahui bahwa penyidik itu bukan
hanya penyidik Polri, melainkan juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Tugas
dari penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Dari pengertian penyidik
dan penyidikan, dapat diketahui pula perbedaan antara penyelidik dengan
penyidik dan penyelidikan dengan penyidikan. Penyidikan adalah tindakan yang
dilakukan setelah penyelidikan selesai.
5Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Ghalia Indonesia, Bogor), Halaman. 24
6 Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya, (Alumni, Bandung), Halaman. 55
16
Menurut M. Yahya Harahap:
Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja.7
Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud
satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan
pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi,
terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:
a. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua
anggota” Polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di
bawah pengawasan penyidik.
b. Wewenang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan
menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana.
Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah
penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b
(penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan
sebagainya).
Memperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1), apalagi jika dihubungkan dengan
beberapa bab KUHAP, seperti Bab V (penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, dan pemeriksaan surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup
wewenang dan kewajiban penyidik adalah amat luas jika dibanding dengan
7M.Yahya Harahap, 2004, Op.Cit, (Sinar Grafika, Jakarta), Halaman.109
17
penyelidikan. Akan tetapi, cara penguraiannya dalam KUHAP agak berserakan
dalam beberapa bab. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang lingkup
fungsi penyidikan secara sempurna, tidak dapat melihatnya, hanya pada Bab XIV
saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya dari bab dan pasal-pasal lain di
luar kedua bab yang disebutkan.
Mengenai siapa saja yang disebut sebagai penyidik ditentukan dalam Pasal 6
KUHAP sebagai berikut:
a. Penyidik adalah:
1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang.
b. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 KUHAP diketahui bahwa yang disebut
penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari para pejabat
seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan
diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP. Akan tetapi, di samping apa yang diatur
dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 KUHAP yang
mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.
Apabila penyidik menerima laporan dari penyelidik atau korban maka
penyidik wajib dengan segera melakukan penyidikan terhadap tersangka. Sebelum
melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik wajib memberitahukan
kepada tersangka. Jika penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil
18
maka mereka diberi petunjuk dan bantuan oleh penyidik Polri. Berkas Acara
Penyidikan (BAP) disampaikan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang
bersangkutan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.Pasal 106 KUHAP
menentukan bahwa penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Lebih lanjut Pasal
108 KUHAP menentukan:
a. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan
maupun tertulis.
b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
c. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib
segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
d. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu.
e. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
19
f. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.
Pelaksanaan penyidikan oleh kepolisian dilakukan dalam rangka menjalankan
tugas utama kepolisian yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri yang diantaranya :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.8
2. Pengertian Delik
Delik berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam bahasa Jerman
disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda
disebut delic yang artinya perbuatan yang dapat dihukum.
Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,
menerjemahkan delik dengan istilah perbuatan pidana adalah:
“ Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan terssebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan orang.Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.”9
8
Sadjijojno,2006, Hukum Kepolisian dalam perspektif kedudukan dan hubungannya dalam hukum administrasi,laksbang pressindo, yokyakarta, Halaman.117
9Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman.54.
20
Adapun unsur-unsur delik Menurut VOS sebagai berikut :
a. Suatu kelakuan manusia.
b. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan
dilarang umum dan diancam dengan hukuman.10
Dalam hukum pidana dikenal dua macam delik yaitu : delik aduan dan delik biasa.
Delik biasa diartikan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang
penaganananya tanpa memerlukan pelaporan dari orang yang dirugikan.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti
bahwa kepentingan umum lebih diutamakan. Oleh karena itu penuntutan suatu
delik pada dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak
bergantung kepada orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan
juga andaikan ada keberatan dari penderita tidak merupakan penghalang bagi
usaha penuntutan.
Delik aduan (klacht delict) pada hakikatnya juga mengandung unsur-unsur
yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Pada lazimnya, setiap delik terjadi
menghendaki adanya penuntutan dari Penuntut Umum tanpa ada permintaan yang
tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Delik aduan
mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada penuntutannya.
Penuntutan suatu delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk
pengaduan dari penderita atau seseorang yang berhak mengadu. Mengenai
penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan, E. Y Kanter dan S. R. Sianturi
berpendapat:
10E. Utrecht, 2000, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, Halaman 252.
21
Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adalah karena kepentingan pribadi dari yang dirugikan/penderita/yang berhak mengadu dipandang perlu mengutamakan perlindungannya. Dalam hal ini, yang dijadikan alasan untuk menjadikan suatu delik menjadi delik aduan ialah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu disidangkan dibandingkan dengan kepentingan umum jika perkar itu tidak dituntut karena jabatan.11
Menurut R. Soesilo:
Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oppurtuniteit dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan) senantiasa mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum. Dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.
3. Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Dalam kaitannya dengan delik aduan, salah satu acuan yang menjadi objek
pembahasan dalam tulisan ini adalah Tindak Pidana Perbuatan Tidak
Menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 KUHP menentukan
bahwa:
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
a. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang
lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan
sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan
11E. Y. Kanter, dan S. R. Sianturi, 2002, Op.Cit, Storia Grafika, Jakarta, Halaman. 1012http://legal-community.blogspot.com,, Juni 2015
22
lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau
dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan
lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik
terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
b. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan
ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan
hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Pembuktian dalam pasal tersebut diatas ialah: bahwa ada
orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan
sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu;
dan Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu
ancaman ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau
ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap
orang itu, maupun terhadap orang lain.
“Memaksa”, menyuruh orang melakukan sesuatu demikian
rupa,sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan
kehendak sendiri. Paksaan dalam sub 1 harus melawan hak,
sedangkan dalam sub 2 tidak perlu. Kejahatan tersebut sub 2
adalah suatu delik aduan.
Yang dapat dikenakan pasal tersebut adalah rupa-rupa
misalnya memaksa dengan cara dalam pasal ini. Tentang
23
kekerasan dapat dilihat pada Pasal 89 KUHP dan tentang menista
dapat dilihat pada Pasal 310 KUHP.
Pasal 89 KUHP menentukan: “Membuat orang pingsan atau tidak
berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.
Pasal 310 KUHP menentukan:
a. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal,
yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
b. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran
yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka
umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
c. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran
tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan
umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
d. Di tuntut atas pengaduan orang yang terkena.
Sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya
24
pun dapat diukur, ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya
berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut
umum semata.
“Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian itu,
dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum
untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain
berdasarkan suatu laporan. Namun, apabila laporan tidak
terbukti di pengadilan, pihak yang dilaporkan jelas telah
menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan
penuntut umum. Terlebih, lagi apabila yang bersangkutan
ditahan yang berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan
sebagai hak asasinya.12
Rasa tidak menyenangkan dapat berbagai macam; ada
rasa cemas, takut, dongkol, malu, dan lain-lain rasa yang
menyeruak dalam hati. Berbagai perasaan timbul bergejolak,
emosi meninggi, ada rasa ingin membalas akan tetapi dengan
berbagai kendala dan keterbatasan membuat si penderita atau
korban tidak dapat melakukan pembalasan; kendala takut
menghadapi ancaman hukuman, malu dengan masyarakat, dan
keterbatasan karena lemahnya phisik, kurangnnya kekuatan,
1213Hukumonline.com, diakses tanggal 08 Juli 2015
25
membuat si penderita atau korban menahan gejolak emosinya
untuk membalas seketika.13
4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan tindak pidana perbuatan tidak
menyenangkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 KUHP,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013
tertanggal 16 Januari 2014 dalam amar putusannya
menyebutkan bahwa;
Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terdapat
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 1314ibid
26
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK) menegaskan hal yang sama, yakni
menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final, antara lain “menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian hukum
normatif,14 yakni berusaha memberikan gambaran terhadap
fenomena hukum dengan cara mengungkapkan hubungan
antara peristiwa hukum, perbuatan hukum dengan akibat hukum
dalam rangka keberlakuan suatu norma. Dalam hal ini peneliti
akan mengungkapkan kedudukan penyidik terhadap pengaduan
delik perbuatan tidak menyenangkan pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor .1/PUU-XI/2013 tentang perubahan atas redaksi
kalimat pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
2. Pendekatan Penelitian
1415Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, Halaman. 60.
28
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).
2.1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Adalah penelitian yang dilakukan dengan menelaah
semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani”.15
Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelusuri seluruh
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum
pidana khususnya pada perbuatan yang tidak
menyenangkan dan kepolisian.
2.2. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum.Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi”.16 Pendekatan ini dimaksudkan untuk
menelusuri doktrin-doktrin hukum pidana yang relevan
dengan isu hukum yang sedang dikaji.
1516Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Halaman. 93.
1617Ibid., h. 95.
29
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.17
3.1. Bahan hukum primer meliputi:
3.1.1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3.1.2.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3.1.3.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP);
3.1.4.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3.1.5.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3.1.6.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
3.1.7.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari 2014.
3.2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu, buku-
buku hukum yang berkaitan dengan buku-buku hukum
acara pidana, jurnal, tesis, disertasi, dan artikel serta
1718Ibid.,h. 95-96.
30
internet yang berkaitan dengan pokok permasalahan
dalam penelitian ini.
3.3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
cara mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang berisikan
doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran hukum dan konsep-
konsep hukum serta putusan-putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap mengenai perbuatan yang
tidak menenangkan dan mengenai kedudukan penyidik
dalam proses penanganan delik aduan. Selanjutnya
pengolahan dilakukan dengan cara melakukan
klasifikasi terhadap bahan hukum primer yang
terkumpul dan mengkaitkan kesesuaian pasal-pasal
perundang-undangan yang ada dalam bahan hukum
primer dengan pokok permasalahan yang diteliti,
setelah itu dicari untuk ditemukan asas-asasnya dalam
doktrin-doktrin hukum yang terdapat dalam buku-buku
hukum atau bahan hukum sekunder kemudian
dilakukan analisis dan penyimpulan terhadap hasil
pengolahan bahan hukum.
3.4. Analisis Bahan Hukum
31
Kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-fakta
hukum yang telah dikemukakan, dikaitkan dengan
bahan-bahan hukum yang relevan.18 Analisis hukum
dalam penelitian ini, dimulai dari peneliti melakukan
telaah atas isu hukum dengan cara mengemukakan
fakta-fakta hukum yang menimbulkan isu hukum,
selanjutnya isu hukum itu dicocokkan atau ditelaah
menurut bahan hukum primer sehingga dapat
ditentukan: aturan mana yang digunakan, selanjutnya
dilakukan interpretasi melalui doktrin-doktrin para ahli
hukum yang terdapat dalam bahan hukum sekunder,
dengan demikian peneliti dapat menjawab isu hukum
yang dikemukakan.
B. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka
penyusunan dalam penelitian dibagi menjadi 4 (empat) Bab, dan
tiap-tiap Bab dibagi dalam sub-bab yang disesuaikan dengan
luas pembahasan. Adapun sistematika penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
1819M. Syamsudin, 2008, Mahir Menulis Legal Memorandum, Kencana Prenada Media, Jakarta, Halaman. 45.
32
BAB IV
SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I pendahuluaan yang mengemukakan tentang latar
belakang,rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II akan diuraikan analisis tentang proses pelaksanaan
penanganan delik aduan yang terjadi di Indoensia.
Bab III akan diuraikan analisis kedudukan Penyidik terhadap
pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari
2014 tentang perubahan atas redaksi kalimat pasal 335 KUHP.
Bab IV berupa bab Penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran.
Top Related