i
TINJAUAN YURIDIS BENEFICIAL OWNERSHIP PADA PERSEROAN
TERBATAS DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Nila Tari
NIM: 11140480000003
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
v
ABSTRAK
Nila Tari, NIM 11140480000003, TINJAUAN YURIDIS BENEFICIAL
OWNERSHIP PADA PERSEROAN TERBATAS DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG, Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 1441H/2019 M. Isi: x + halaman 98 + 10 daftar pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan Prinsip Mengenali
Pemilik Manfaat atau Beneficial Ownership (BO) dalam struktur kepemilkan
perseroan terbatas yang kompleks pasca lahirnya Peraturan Presiden Nomor 13
Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari
Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Tindakan Pendanaan Terorisme. Selanjutnya, peneliti
menganalisis relevansi dengan Perseroan Terbatas yang terafiliasi yang dijadikan
penyelundupan identitas BO oleh Penyelenggra Negara dalam melakukan Tindak
Pidana Pencucian uang (TPPU), serta relevansi tanggung jawab BO dalam
melakukan TPPU.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu normatif-yuridis. Penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan
penelitian normatif-doktriner, dimana terdapat unsur pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dengan menggunakan hukum positif di
Indonesia dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Berdasarkan penelitian ini, terdapat kedudukan yang setara antara BO
dengan pemegang saham utama berdasarkan hak BO yang dijelaskan dalam
Perpres Nomor 13 Tahun 2018. Sehingga, BO dapat dikenakan tanggung jawab
secara pribadi berdasarkan prinsip PCV yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, baik secara bersama-sama
dan atau sendiri dalam melakukan tindak pidana pencucian uang. Namun, saat ini
belum ada peraturan teknis yang mencantumkan sanksi bagi perseroan apabila
terjadi ketidakpatuhan dalam transparansi BO.
Kata Kunci : Beneficial Ownership, Perseroan Terbatas, Afiliasi,
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pembimbing : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 sampai tahun 2019
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ..................... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................ 6
D. Metode Penelitian ..................................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II TINJAUAN UMUM PEMEGANG SAHAM DAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM PERSEROAN
TERBATAS
A. Tinjauan Umum Pemegang Saham Pada Perseroan Terbatas.. 14
1. Ruang Lingkup Perseroan Terbatas ................................... 14
2. Hak- Hak Pemagang Saham Dalam Perseroan Terbatas ... 18
3. Kepemilikan Saham Nominee ............................................ 23
B. Tinjauan Umum Beneficial Ownership ................................. … 26
C. Struktur Kepemilikan Afiliasi .................................................... 27
D. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pencucian Uang ...................... 28
1. Tindak Pidana Pencucian Uang ..............................................28
2. Doktrin Pertanggungjawaban KorporasI ................................ 33
3. Delik Penyertaan .................................................................... 38
E. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum .................................................... 39
2. Piercing The Corporate Veil Pada Perseroan Terbatas….. 42
3. Prinsip Good Corporate Governance (GCG) .................... 46
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................... 47
BAB III TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH BENEFICIAL
OWNERSHIP
A. Sejarah Perkembangan Beneficial Ownership .......................... 50
B. Pengaturan di Indonesia Mengenai Beneficial Ownership Pada
Perseroan Terbatas .......................................... .........................
60
1. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam
Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
........................................................ 59
2. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor : PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15 Tentang
Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak
Pidana Pencucian Uang ..................... 66
C. Skema Beneficial Ownership di Indonesia ...................................68
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN BENEFICIAL OWNER PADA
PERSEROAN TERBATAS DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
A. Problematika Kedudukan Beneficial Owner Dalam Perseroan
Terbatas
................................................................................................... ...
71
B. Tanggung Jawab Benefial Ownership Pada Perseroan Terbatas
Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
................................................................................................... ...
81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 96
B. Rekomendasi ............................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan ekonomi dewasa ini selalu melibatkan penyalahgunaan entitas
badan hukum, tidak terkecuali pencucian uang dengan menggunakan
kendaraan bisnis berbasis dana tunai dan sarana legal lainya untuk
menyamarkan sumber dari pemasukan ilegal tersebut. Aktivitas ilegal ini
biasanya mengatasnamakan perseroan terbatas, yayasan, firma atau lainya.
Salah satunya Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, kerap
sekali digunakan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan
menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana. Hal tersebut sulit
dilacak dikarenakan terdapat struktur kepemilikan saham yang kompleks
yang terdiri dari aktor-aktor penjahat kerah putih (white color crimes).
Kepemilikan saham dalam perseroan, selain dimiliki langsung oleh
pemegang saham, dilakukan pula dalam bentuk nominee yang sejatinya.
Nominee adalah orang atau individu yang ditunjuk khusus bertindak atas
nama orang yang menujuknya (beneficiary) untuk melakukan suatu
perbuatan atau tindakan hukum tertentu. Nominee dapat ditunjuk untuk
melakukan tindakan–tindakan hukum antara lain sebagai pemilik property
atau tanah, sebagai direktur, sebagai kuasa, sebagai pemegang saham dan
lain-lain.1
Realitas yang berbeda, justru muncul dari kepemilikan saham yang
keberadaan pemiliknya belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut UUPT, yaitu
sebagai pemilik manfaat atau Beneficial Ownership yang selanjutnya disebut
BO. Dimana keberadaanya sulit dilacak karena tersembunyi dalam struktur
1 Hendrik Tanjaya,Tinjauan Yuridis Terhadap Struktur Nominee Pemegang Saham
(Nominee Structure) Dalam Suatu Perseroan Terbatas, h.1, Diakses pada 19 Oktober 2018 dari
https:// medianeliti . com/media/publications/ 161127-ID -none.pdf
2
kepemilikan perseroan yang kompleks, sehingga tidak terditeksi secara
hukum. Hal seperti ini dapat menimbulkan kendala terutama kesulitan dalam
mengetahui pertanggungjawaban dalam penanganan tindak pidana pencucian
uang yang dilakukan oleh BO. Selain itu, keterbukaan BO dalam perseroan
sangat perlu dilakukan mengingat selama ini pengertian dari wakil perseroan
itu disamakan dengan definisi BO yang pada kenyataannya berbeda dalam
prakteknya.
Pasca lahirnya Perpres Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak
Pidana Terorisme, yang selanjutnya disebut Perpres Nomor 13 Tahun 2018,
di mana terdapat pendefinisian mengenai BO yaitu orang perseorangan yang
dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus,
pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk
mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari
korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik
sebenarnya dari dana atau saham Korporasi.
Keterbukaan informasi BO tidak terlepas atas kasus Panama Papers
yang kemudian menjadi salah satu latar belakang adanya upaya untuk
melakukan pengungkapan pemilik manfaat sebenarnya yang berlatar
belakang politisi, pengusaha dan pejabat negara.2 Laporan dari National
Risk Assessment pada tahun 2015 menjelaskan bahwa pasar modal melalui
kepemilikan saham memiliki resiko yang tertinggi untuk menjadi kendaraan
pelaku pencucian uang di Indonesia.3
Merujuk pada laporan dari Publish What You Pay (PWYP) yang
menjelaskan bahwa Indonesia dalam melakukan pelacakan dan
2
ICIJ Rilis Dokumen Panama Babak Dua
https://www.voaindonesia.com/a/icij-rilis-panama-papers-babak-dua/3322323.html, Diakses pada
1 Maret 2019
3 Inter-Agency Working Group NRA Indonesia, Indonesia Money Laundering Risk
Assessment 2015 (NRA on ML), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia,
h. 69.
3
pengungkapan BO dalam sebuah Perseroan Terbatas dengan melakukan
pelacakan pemilik manfaat yang sebenarnya melalui dokumen yang terekam
di sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan
HAM seringkali tak membuahkan hasil. Legal entity yang didapat dari AHU
itu belum memadai dan hanya dapat tertembus layer 3 dan ke-4, akan tetapi
tidak bisa mencari Perseroan Terbatas yang berkedudukan hukum di luar
Indonesia seperti negara tax haven.4
Dalam skala internasional Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) tahun 2001 mengeluarkan laporan berjudul “Behind
The Corporate Veil: Using Corporate Entities for Illicit Purposes” dimana
BO diartikan sebagai pihak penerima manfaat sebenarnya. Pada sektor
perpajakan kemudian perlu menilai siapa penerima manfaat sebenarnya,
misalnya dalam sebuah perusahaan pemilik diartikan sebagai pemegang
saham atau anggota tetapi dalam sebuah partnership, kepentingan tersebut
dipegang oleh pihak rekanan baik itu partner. Pengaturan lain ditemukan
dalam Financial Action Taks Force (FATF) yang memiliki peran dalam
dunia Internasional untuk mengatur standar yang diakui secara internasional
dalam memerangi pencucian uang. Hal tersebut, dilakukan melalui
Rekomendasi FATF pada tahun 2003 untuk pertama kali membahas masalah
kepemilikan manfaat dan khususnya perlu "otoritas yang berkompeten"
untuk memiliki akses ke BO informasi untuk keperluan penyelidikan dan
penuntutan.5
Pada tahun 2014 Guidance Transparancy and Beneficial Ownership
dimana mengatur mengenai BO berdasarkan fakta bahwa Corporate Vehicles
dalam bentuk perusahaan, trust, yayasan, kemitraan dan jenis-jenis orang dan
badan hukum yang melakukan berbagai usaha. FATF memberikan panduan
4 Pengungkapan Beneficial Owner „Pintu Masuk‟ Kejar Korporasi Penghindar Pajak
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59315073bc40e/pengungkapan-ibeneficial-owner-i-p
intu-masuk-kejar-korporasi-penghindar-pajak. Diakses pada 27 November 2018
5 John Hatchard, Money Laundring: “Public Beneficial Ownership Registers And The
British Overseas Territories: The Impact of Sanction And Money Laundring Act 2018 (UK)”,The
Denning Law Journal, 2018, Vol 30, h.188
4
dan standar bagaimana sebuah negara. Pengaturan dan penerapan
transparansi informasi beneficial owner, menyatakan bahwa kurang atau
rendahnya informasi beneficial owner yang memadai, akurat atau terjamin
kebenerannya, serta dapat diakses secara cepat, dimanfaatkan oleh pelaku
tindak pidana untuk menyembunyikan (1) identitas dari pelaku tindak pidana;
(2) tujuan sebenarnya dari pembukaan rekening atas nama korporasi yang
dijadikan kendaraan atau media pencucian uang; dan (3) sumber atau tujuan
penggunaan harta kekayaan dari korporasi yang diduga berasal dari tindak
pidana.6
Berdasarkan hal tersebut, adapun skema penggunaan BO yang
ditemukan di Indonesia, diantaranya kasus Muhammad Nazaruddin yang
bertindak sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR-RI) masa jabatan tahun 2009-2014 yang sekaligus BO yang
mengendalikan kelompok usaha Permai Group bersama dengan Neneng Sri
Wahyuni (istri), dimana PT. Anak Negeri adalah salah satu Perusahaan di
bawah Kelompok Usaha Permai Group namun tidak secara langsung tercatat
sebagai pimpinan atau pengurus perusahaan, namun dapat mengendikan
orang-orang di dalam perusahaan dan mendapatkan keuntungan paling besar.
Skema lainya yaitu adanya status BO oleh pejabat negara yaitu Setya
Novanto yang sekaligus berperan sebagai penyelenggra negara yaitu Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki saham di PT. Murakabi
Sejahtera, yaitu perseroan yang terafiliasi dengan istri, anak, keponakan dan
kerabatnya. Dalam hal ini, PT. Murakabi Sejahtera dimiliki oleh PT.
Mondialindo Graha Perdana yang mana keduanya berkantor di kantor milik
Setya Novanto. Dalam perinciannya, Setya Novanto menerima uang dari
Made Oka Masagung sejumlah US$7,3 juta yaitu keponakanya sendiri
sekaigus mantan Direktur PT. Murakabi Sejahtera yang merupakan salah
6 Diseminasi Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip
Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencuaian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
http://jdih.ppatk.go.id/wp-content/uploads/2018/03/Materi-Narsum_all-1.pdf Diakses pada 1
Desember 2018
5
satu peserta tender e-KTP. Kemudian Setnov menyalahgunakan
kewenanganya untuk memastikan usulan anggaran proyek penerapan KTP
elektronik yang bernilai Rp 5,9 triliun itu lolos di DPR.7
Praktik penggunaan status BO tersebut, dalam kenyataanya cenderung
melakukan pencucian uang melalui perseroan dengan menyembunyikan
statusnya melalui hubungan-hubungan tertentu, sedangkan dorongan untuk
transparansi BO ini sudah terjadi hampir di seluruh dunia terutama negara
dalam G-20, yang dimana Indonesia termasuk di dalamnya untuk melawan
praktik pencucian uang yang dilakukan di negara-negara suaka pajak.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti tertarik melakukan
sianalisis dalam bentuk sebuah skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis
Beneficial Ownership Pada Perseroan Terbatas Dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang di Indonesia.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan di atas terdapat berbagai masalah yang dapat di
identifikasi, yang pada gilirannya akan di teliti sesuai batasan
kemampuan dalam studi ini, masalah yang dapat di identifikasi, yaitu:
a. Kurangnya Penegakan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang melalui struktur kepemilikan perusahaan yang kompleks
melalui BO dalam Perseroan Terbatas.
b. Masih terdapat ketidak sesuaiian data di Ditjen AHU terkait dengan
BO dalam struktur kepemilikan saham dalam Perseroan Terbatas
yang berimplikasi pada lemahnya penerapan Good Corporate
Governance akibat tidak adanya transparansi dari Perseroan
Terbatas
c. Tidak diaturnya secara jelas kedudukan dan hak BO dalam
undang-undang Perseroan Terbatas.
7 Rizky Ananda Wulan Sapta Rini, “Pengungkapan Beneficial Ownership di Indonesia:
Menutup Celah (Korupsi) Untuk Perbaikan Tata Kelola”, Publish What You Pay, 2018, h.6
6
d. Adanya praktik nominee agreement mempersulit dalam
mengungkapkan status BO dalam Perseroan Terbatas.
e. Kurangnya peran aktif pemerintah dan masih terdapat kekosongan
hukum mengenai ketidakpatuhan pengungkapan keberadaan BO di
Indonesia.
f. Tidak adanya kepastian hukum terkait dengan pemilik saham yang
lahir akibat perjanjian nominee dalam aturan hukum di Indonesia.
g. Lemahnya penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil sebagai
bentuk akibat hukum kepada BO.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah peneliti identifikasi, karena begitu
luas cakupan penelitian ini, maka kajian ini hanya akan dibatasi pada
bagaimana kedudukan Beneficial Ownership pada Perseroan Terbatas
yang terafiliasi dan bentuk tanggung jawab Beneficial Ownership pasca
lahirnya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yaitu dalam kaitanya terhadap
tindak pidana pencucian uang melalui perseroan terbatas.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut,
maka peneliti rumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana pengaturan mengenai kedudukan Beneficial Ownership
dalam Perseroan Terbatas?
b. Bagaimanakah tanggung jawab Beneficial Ownership terhadap
tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui Perseroan
Terbatas?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
1. Tujuan penelitian
7
Tujuan dari penelitian ini secara umum sebagi berikut :
a. Untuk memahami kedudukan Beneficial Ownership dalam
Perseroan Terbatas berdasarkan hukum positif di Indonesia.
b. Untuk memahami bentuk tanggung jawab Beneficial Ownership
dalam melakukan tindak pidana pencucian uang.
2. Manfaat penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai diatas, ada beberapa hal yang
merupakan manfaat dari studi ini diantaranya:
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat menambah pengetahuan dan khazanah keilmuan tentang
status kepemilikan saham melalui Beneficial Ownership, tindak
pidana pencucian uang, praktik nominee kepemilikan saham
serta implikasi hukum yang ditimbulkanya.
2) Sebagai acuan untuk memperdalam penelitian berikutnya terkait
permasalahan kejahatan ekonomi melalui perseroan terbatas
khususnya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh
Beneficial Ownership dalam Perseroan Terbatas.
b. Manfaat Praktis
1) Menambah pengetahuan bagi masyarakat khususnya para
pelaku usaha, pemegang saham, dan korporasi terkait penerapan
prinsip mengenali Beneficial Ownership.
2) Menjadi bahan masukan bagi penegak hukum agar menerapkan
hukum yang berlaku demi kelancaran bisnis di Indonesia.
D. Metode penelitian
penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang di dasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
8
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan.8
1. Jenis penelitian
Untuk jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif
yuridis. Dimana penelitian ini mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam
mastarakat. Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang
menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang. Dalam hal ini yang menjadi
objek normatif yuridis yaitu menelaah, menginterpretasikan, serta
menganalisis kasus yang terjadi terkait tindak pidana pencucian uang
melalui pemilik manfaat pada perseroan terbatas.9
2. Pendekatan penelitian
peneliti dalam melakukan proses penelitian ini menggunakan
pendekatan ilmu perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu
hukum yang sedang diteliti serta pendekatan konsep (conceptual
approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada.10
Sedangkan objek penelitian ini merujuk problematika kedudukan
Beneficial Ownership pasca lahirnya Peraturan Presiden Nomor 13
Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari
Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
8 Soerjono soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986, Cet. Ketiga), h.43.
9 Zainuddin Ali, Metode penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Cet. Kedua),
h.105
10 Peter Mahmud Marzuki, penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2005), h.
178.
9
3. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan
informasi mengenai data. Dalam penelitian ini data yang digunakan
adalah data sekunder yang artinya data yang sebelumnya telah diolah
oleh orang lain. Data sekunder ini antara lain: dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian
dan lain-lain.11
Data sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum skunder, dan bahan hukum tersier:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan
antara lain:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
d. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal
e. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
g. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam
11 Soerjono soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986, Cet. Ketiga), h. 12.
10
Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Tindakan Pendanaan Terorisme
h. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia
i. Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor : Kep-
/BEI/ -2018 Tentang Peraturan Nomor I-V Tentang Ketentuan
Khusus Pencatatan Saham di Papan Akselerasi
j. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi
Keunagan Nomor: PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15 Tentang
Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak
Pidana Pencucian Uang
k. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat
kaitannya dangan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer.
Yang termasuk dalam bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Misalnya dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, seperti
skripsi, tesis dan disertasi hukum. Disamping itu juga, kamus-kamus
hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.12
4. Metode dan Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini
yaitu studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari
referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai
literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis
dan Undang-Undang di berbagai perpustakaan umum dan universitas.
12 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum ..., h.141-155
11
5. Teknik Pengolahan Data
Analisis data kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerjanya data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskanya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat di tuliskan dalam penelitia. Metode
penelitian kualitatif tidak membutuhkan populasi dan sampel karena
jenis penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman suatu norma
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan serta
norma-norma yang berkembang di masyarakat.
6. Analisis Data
penelitian kualitatif menggunakan lingkungan yang menjadi
penelitiannya sebagai sumber data. Maksudnya data dan informasi
lapangan dilakukan analisis sehingga memperoleh hasil penelitian yang
bersifat deskriptif analisis. Data yang diperoleh dalam penelitian ini
dianalisis secara deskriptif analitis yang bertujuan untuk memberikan
gambaran dan memaparkan objek penelitian berdasarkan kenyataan
secara sistematis.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Tahap ini merupakan tahap penarikan kesimpulan dari semua
data yang telah diperoleh sebagai hasil dari penelitian. Penarikan
kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pola
pikir deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan khusus dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi.
8. Teknik penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penelitian sesuai dengan sistematika penelitian yang ada pada Buku
Pedoman penelitian Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, Tahun 2017 berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik
penelitian yang sudah ditentukan oleh fakultas.
12
E. Sistematika penelitian
Untuk memudahkan pemahaman dan alur pemikiran yang logis
dalam penelitian ini, peneliti akan memberikan gambaran umum secara
sistematis tentang keseluruhan penelitian ini. Adapun sistematika penelitian
skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-masing terdiri dari sub bab
guna memperjelas cakupan permasalahan yang menjadi objek penelitian
yaitu sebagai berikut:
BAB I Merupakan pendahuluan, yang berisi Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian,
Metode penelitian serta Sistematika penelitian.
BAB II Merupakan terdiri dari pemaparan kerangka konsep yakni
tinjauan umum perseroan terbatas dan organ-organ
perseroan, hak-hak pemegang saham, kepemilikan saham
nominee, tinjauan umum Beneficial Ownership, struktur
kepemilikan afiliasi, tinjauan umum tindak pidana
pencucian uang, doktrin Pertanggungjawaban korporasi
prinsip piercing the corporate veil menurut Undang-undang
nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Teori
Kepastian Hukum, Prinsip Piercing The Corporate Veil dan
Prinsip Good Corporate Governance.
BAB III Pada bab ini peneliti melakukan kajian terkait sejarah
perkembangan Beneficial Ownership, regulasi
pengungkapan Beneficial Ownership dalam Perseroan
Terbatas di Indonesia, skema Beneficial Ownership dalam
penanganan kasus tindak pidana pencucian uang
BAB IV Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab
permasalahan pada penelitian ini diantaranya problematika
kedudukan Beneficial Ownership dalam hukum positif di
Indonesia dan Tanggung jawab Beneficial Ownership
13
terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikaitkan
dengan Prinsip Piercing The Corporate Veil dalam
Perseroan Terbatas. Selanjutnya, peneliti menganalisis
kelemahan Instrumen hukum yang berkaitan dengan
transparansi Beneficial Owner dalam Perseroan Terbatas
BAB V Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai
dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan
rekomendasi yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian
dan pengulasannya dalam skripsi.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMEGANG SAHAM DAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DALAM PERSEROAN TERBATAS
A. Tinjauan Umum Pemegang Saham Pada Perseroan Terbatas
1. Ruang Lingkup Perseroan Terbatas
Istilah Perseroan Terbatas (PT) yang selanjutnya disebut perseroan,
dahulu dalam bahasa Belanda dikenal dengan Naamloze Vennootschap
(NV).1 Definisi Perseroan Terbatas merujuk pada dua kata, yaitu
Perseroan dan Terbatas, yaitu Perseroan merujuk pada modal PT yang
terdiri atas saham-saham. Definisi saham merupakan suatu hak terhadap
harta kekayaan perseroan atau suatu hak atas bagian dari sesuatu
terhadap perseroan.2 Kata Terbatas merujuk kepada tanggung jawab
pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal saham
yang dimilikinya.3
Penjelasan mengenai PT sebelumnya tertuang dalam pasal 40 Ayat
(2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) mengatakan bahwa
persero-persero atau pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih
daripada jumlah penuh saham-saham tersebut.4
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas
(UUPT) dijelaskan pada pasal 7 Ayat (1) yaitu Perseroan didirikan oleh
dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia. Dimana setelah tidak diberlakukan lahirlah kemudian
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
selanjutnya disebut UUPT, menarik dari dasar pemikiran sebelumnya
1 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996), h.1
2 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika. 2013), h.197
3 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Peraturan
PerundangUndangan, dan Yurisprudensi, (Yogyakarta: Total Media, 2009, Cet. Kedua), h.1.
4 Nindyo Pramono, Hukum PT Go Public dan Pasar Modal, (Yogyakarta: Andi Offset,
2013), h.29
15
bahwa adanya modal PT yang terdiri atas saham-saham dapat kita lihat
pendefinisianya di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PT bahwa,
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.
Tidak semua setiap badan hukum merupakan perseroan akan tetapi
berdasarkan Pasal 1 angka (1) UUPT ditegaskan bahwa Perseroan
merupakan badan hukum sehingga dapat bertindak dalam lalu lintas
hukum sebagai subyek hukum dan memiliki kekayaan yang dipisahkan
dari kekayaan pribadi pengurusnya. Sehingga, Perseroan merupakan
subjek hukum, yaitu subjek hukum mandiri, mempunyai hak dan
kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti natuurlijke persoon.
dapat digugat maupun menggugat, dapat membuat keputusan, bisa
memiliki utangpiutang, dan mempunyai asset/kekayaan seperti halnya
manusiaPerseroan sebagai suatu badan (legal entity), yaitu badan hukum
yang mandiri (persona standi in judicio) memiliki sifat dan karakteristik
yang berbeda dari bentuk usaha yang lain yaitu sebagai berikut:5
1. Sebagai asosiasi modal;
2. Kekayaan dan utang PT adalah terpisah dari kekayaan dan utang
Pemegang Saham;
3. Pemegang Saham:
a. Bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan, atau
tanggung jawab terbatas (limited liability);
b. Tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan PT melebihi
nilai saham yang telah diambilnya;
c. Tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama perseroan.
5 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,...h.33-37
16
4. Adanya pemisahan fungsi antara Pemegang Saham dan Pengurus
atau Direksi;
5. Memiliki Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;
6. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi dan
Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang
undang ini dan/atau anggaran dasar.
Dalam menjalankan kegiatan usahanya perseroan memiliki organ
yang memiliki fungsinya masing-masing yaitu sebagai berikut:
1. Rapat Umum Pemegang Saham
Dalam Pasal 1 Ayat 3 UUPT disebutkan bahwa “Rapat Umum
Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ
perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan
dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada
direksi atau komisaris”. Adapun Kewenangan yang diberikan dalam
UUPT di dalam Pasal 75 yaitu :
1. RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
2. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh
keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi
dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan
mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Perseroan.
3. RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil
keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau
diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara
rapat.
4. Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus
disetujui dengan suara bulat
17
Adapun beberapa wewenang ekslusif RUPS antara lain :6
a. Penetapan perubahan anggaran dasar
b. Penetapan perubahan modal
c. Pemeriksaan, persetujuan dan pengesahan laporan tahunan
d. Penetapan penggunaan laba
e. Pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris
f. Penetapan mengenai penggabungan peleburan dan
pengambilalihan
g. Penetapan pembubaran perseroan
2. Direksi Perseroan
Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 5 UUPT menyebutkan bahwa
“Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”. Pasal 97
Ayat (2) UU PT menyebutkan bahwa pengurusan Perseroan oleh
Direksi wajib dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab. Menurut, M. Yahya Harahap dalam bukunya yaitu Hukum
Perseroan Terbatas memuat beberapa prinsip dalam pemberhentian
direksi yaitu :7
a. Pemberhentian direksi dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai
dengan keputusan RUPS
b. Pemberian kewenangan kepada RUPS memberhentikan anggota
direksi merupakan kekuasaan utama pemegang saham melalui
RUPS dalam mengontrol direksi
c. Pemberhentian anggota direksi harus berdasar alasan
6 Mulhadi, Hukum Perusahaan (Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia), (Jakarta: Ghalia
Indonesia,2010, Cet.Pertama), h.101
7 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,...h.416-418
18
Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 105 Ayat (1) UUPT bahwa
Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan
keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya dan sejalan
dengan Pasal 97 Ayat (1) bahwa yang mengangkat direksi ialah
RUPS.8
3. Komisaris
Komisaris menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (6) UUPT ialah
Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasihat kepada Direksi.bertanggung jawab mengawasi
Perseroan dan memberi nasihat kepada Direksi Perseroan.
2. Hak- Hak Pemagang Saham Dalam Perseroan Terbatas
Saham yang dimiliki oleh pemegang saham memberikan hak kepada
pemegang saham dalam perseroan yaitu dijelaskan pada Pasal 52 Ayat (1)
UUPT 2007 yang menyatakan bahwa saham memberikan hak kepada
pemiliknya untuk:9
1. Menghadiri dan mengeluarkan suara saham dalam RUPS
2. Menerima pembayaraan dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi
3. Menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang perseroan
Terbatas ini.
Berdasarkan hak tersebut, terdapat bentuk klasifikasi saham yang
dijadikan pembenda antara pemegang sham satu dengan lainya dalam
pemberian hak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 Ayat (2) UUPT
2007. Klasifikasi tersebut tercantum dalam Pasal 53 Ayat (4) UUPT 2007
yaitu:10
a. Saham biasa, apabila AD menetapkan lebih 1 klasifikasi saham harus
ditetapkan salah satunya sebagai saham biasa. Saham tersebut
8 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,...h.416-417
9 Gunawan widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Hak Individual & Kolektif Para
Pemegang Saham, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), h. 69
10 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,...h.264-267
19
merupakan saham yang memiliki hak suara untuk mengambil keputusan
dalam RUPS yang berkaitan dengan pengurusan, mempunyai hak untuk
menerima deviden yang dibagikan, mempunyai hak menerima sisa
kekayaan hasil likuidasi
b. Saham tanpa hak suara. Pada saham ini pemilik tidak memiliki suara
atau hak untuk mengikuti RUPS dalam mengambil keputusan pula
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 53 Ayat (4)
c. Saham dengan hak suara khusus atau saham prioritas, pemilik saham
ini memiliki hak bicara khusus yaitu sesuai Pasal 53 Ayat (4) Huruf b
pemilik saham diberi hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi
dan atau anggota dewan komisaris yang mana hak ini tidak diberikan
kepada klasifikasi lain.
d. Saham yang dapat ditarik kembali yaitu saham yang setelah jangka
tertentu dapat ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi lain
e. Saham yang memberikan hak deviden lebih dahulu atau saham utama.
Saham utama, yaitu menerima lebih dahulu pembagian sisa kekayaan
perseroan dalam likuidasi yang dapat diberikan kepada salah satu saja
atau lebih yang ditetapkan dalam AD terlebih dahulu
Berkaitan dengan hak pemegang saham terdapat pula hak-hak lain yang
tersebar di beberapa pasal dalam UUPT diantaranya yaitu:
1. Hak pemegang saham dalam menyelenggarakan RUPS juga dijelaskan
dalam pasal 79 Ayat (2) bahwa penyelenggaraan RUPS sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) (RUPS Tahunan ataupun RUPS lainya) dapat
dilakukan atas permintaan :
a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama
mewakili satu persepuluh atau lebih jumlah seluruh saham dengan
hak suara, kecuali dengan anggaran dasar menentukan suatu jumlah
yang lebih kecil; atau
b. Dewan komisaris.
2. Pemegang saham diberi hak untuk tidak membagi atas satu saham
dimana pada pasal 52 Ayat (4) penjelasan pasal ini mengatakan, berdasar
20
ketentuan ini, para pemegang saham tidak diperkenankan membagi-bagi
hak atas 1 (satu) saham menurut kehendaknnya sendiri. Hak yang
melekat pada tiap lembar saham adalah hak yang tidak dapat dibagi-bagi
lagi. Dengan demikian berarti jika terdapat 1 (satu) lembar saham yang
dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, maka hak yang ada pada dan lahir
dari kepemilikan saham tersebut hanya dapat dipergunakan satu kali oleh
satu subjek hukum. Dengan demikian berarti, jika 1 (satu) lembar saham
dimiliki lebih dari 1 (satu) subjek hukum/orang perorangan dan atau
badan hukum maka harus ditunjuk 1 (satu) orang atau badan hukum dari
sekian banyak pemilik saham tersebut sebagai wakil bersama.
3. Mengenai hak suara diatur dalam Pasal 84 dan Pasal, yang memuat
ketentuan prinsip umum hak suara pemegang saham antara lain satu
saham satu suara, prinsip ini ditegaskan pada pasal 84 Ayat (1) yang
mengatakan setiap saham yang dikeluarkan, mempunyai satu hak suara
kecuali anggaran dasar menentukan lain. Maksud dengan kecuali
anggaran dasar menentukan lain menurut penjelasan Pasal 84 Ayat (1),
apabila anggaran dasar mengeluarkan satu saham “tanpa hak suara”.
Jika anggaran dasar tidak menentukan hak yang seperti itu, berlaku
prinsip umum bahwa setiap saham yang dikeluarkan perseroan
mempunyai satu hak suara. Pasal 84 Ayat (2), kriteria saham yang tidak
mempunyai hak suara yaitu saham perseroan yang dikuasai sendiri oleh
perseroan. Menurut penjelasan pasal ini adalah dikuasai, baik karena
hubungan kepemilikan, pembelian kembali, maupun karena gadai.
Kemudian, Pasal 85 dimana pemegang saham, baik sendiri maupun
diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS dan
menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang
dimilikinya, hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang saham dari saham
tanpa hak suara. Pada saat pemungutan suara, suara yang dikeluarkan
oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya
dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari
seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya
21
dengan suara yang berbeda. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang bersangkutan
dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham.
4. Hak pada pemegang saham utama menerima lebih dahulu pembagian
sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi Menurut Pasal 53 Ayat (4)
Huruf e adalah saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain
atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;
5. Hak atas dividen Hak pemegang saham atas dividen diatur dalam Pasal
71 Ayat (2), bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan
untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 Ayat (1)
dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan
lain dalam RUPS.
6. Hak Perseorangan (Personal Rights). Hak ini telah diatur oleh Pasal 61
Ayat (1) yang antara lain menentukannya bahwa setiap pemegang saham
berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri
apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil
dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi,
dan/atau Dewan Komisaris. Hak Gugatan Derivatif (Derivative
Right). Hak ini diatur melalui Pasal 97 Ayat (6) untuk gugatan terhadap
Direksi dan Pasal 114 Ayat (6) gugatan terhadap Komisaris perseroan.
Melalui kedua ketentuan ini diatur bahwa pemegang untuk dan atas
nama perseroan (tidak untuk kepentingan diri pribadi) yang mewakili
paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah saham dengan hak
suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
terhadap anggota Direksi atau Komisaris dikarenakan kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian terhadap perseroan.
7. Hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi dan/atau anggota
komisaris. Pemilik saham jenis ini mempunyai “hak berbicara khusus”.
Dalam hal ini menurut Pasal 50 Ayat (4) Huruf b, kepada pemilik saham
diberi hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi dan/atau dewan
22
komisaris, dan hak ini tidak diberikan kepada pemilik klasifikasi saham
yang lain.
8. Hak untuk mendapatkan dividen lebih dahulu Saham klasifikasi ini,
disebut juga “saham utama” (preferent aandelen). Saham ini memberi
atau mempunyai hak lebih dahulu dari “saham biasa” dalam memperoleh
keuntungan dan/atau saldo.11
Hak pada pemegang saham utama
menerima lebih dahulu pembagian sisa kekayaan perseroan dalam
likuidasi Menurut pasal 53 Ayat (4) Huruf e adalah saham yang
memberikan kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari
pemegang saham
9. Hak Pemeriksaan (Enqueterecht). Hak ini telah diatur khusus Pasal 138
Ayat (3) yang menyatakan bahwa permohonan pemeriksaan perseroan
dapat diajukan a) 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang telah
mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara; b). pihak lain yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan, anggaran dasar perseroan atau perjanjian
dengan perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan
pemeriksaan; atau c). kejaksaan untuk kepentingan umum. Dengan dasar
ini pemegang saham diberikan hak untuk melakukan proses audit atau
pemeriksaan langsung terhadap perseroan dengan tujuan mendapatkan
keterangan dalam hal terjadinya dugaan bahwa perseroan, Direksi dan
Dewan Komisaris telah melakukan perbuatan melawan hukum yang
akan merugikan pemegang saham dan pihak ketiga. Untuk menjalankan
hak-hak itulah, maka pemegang saham dapat mengajukannya
permohonan secara tertulis, beserta dengan alasannya, kepada
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana
kedudukan perseroan berada.
Dalam UUPT tidak didefinisikan jelas mengenai jenis-jenis
pemegang saham. Namun, berkaitan dengan penjelasan mengenai
11 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,...h.266
23
Pemegang Saham Utama dapat ditemui dalam Penjelasan Pasal 1 Ayat
(1) Huruf f Undang-Undang Pasar Modal dan dalam definisi Nomor I.12.
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor : Kep- /BEI/ -2018
Tentang Peraturan Nomor I-V Tentang Ketentuan Khusus Pencatatan
Saham di Papan Akselerasi yaitu ialah pihak yang, baik secara langsung
maupun tidak langsung memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen)
hak suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang
dikeluarkan oleh suatu perusahaan atau jumlah yang lebih kecil dari itu
sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 Angka (15) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 53/POJK.04/2017 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Dan Penambahan Modal Dengan
Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Oleh Emiten Dengan
Aset Skala Kecil Atau Emiten Dengan Aset Skala Menengah.
Penjelasan mengenai Pengendali terdapat dalam definisi Nomor I.14.
Kep- /BEI/ -2018 yaitu Pengendali adalah pihak yang memiliki saham
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor
penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik
langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan
dan/atau kebijaksanaan Emiten Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka (7) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 53/POJK.04/2017 tentang Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Dan Penambahan Modal Dengan
Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Oleh Emiten Dengan
Aset Skala Kecil Atau Emiten Dengan Aset Skala Menengah.
3. Kepemilikan Saham Nominee
Konsep nominee pada awalnya hanya terdapat pada system hukum
common law.12
Indonesia baru mengenal konsep nominee dan sering
menggunakannya dalam beberapa transaksi hukum sejak derasnya
12 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta, Penerbit Ghalia
Indonesia, 2002), h..19
24
investasi asing. Nominee adalah seseorang yang telah ditunjuk atau
diajukan untuk suatu urusan yang dimaksudkan untuk bertindak
menggantikan seorang lainnya.13
Nominee dalam perseroan terbatas bukan hanya terdiri dari direktur
nominee namun adanya nominee lainnya yang berada dalam susunan
kepengurusan di perseroan terbatas. Nominee pemegang saham, nominee
direktur bahkan nominee komisaris, semua susunan perusahaan yang
tertera didalam Akta Pendirian perusahaan itu hanya fiktif. Selain dimiliki
langsung oleh pemegang saham, kepemilikan saham dalam perseroan
juga sering dilakukan dalam bentuk nominee (orang atau badan hukum
yang dipinjam dan dipakai namanya sebagai pemegang saham oleh
beneficiary), biasanya karena beneficiary mempunyai keinginan untuk
memperoleh saham melebihi pembatasan pemilikan saham di Indonesia.
14
Setiap pemegang saham nominee yang ditunjuk sebagai perwakilan
dan untuk atas nama pemilik asli dengan hak dan kewajiban yang sama
dengan pemegang saham umumnya yaitu diantaranya menghadiri RUPS
dan memiliki hak suara dalam RUPS berdasarkan arahan dan perintah
dari pemegang saham aslinya.15
Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
yang selanjutnya disebut KUHPerdata yaitu semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
13 David Kirupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, (Jakarta, Penerbit
Kencana Prenada Media Group, 2013). h.43
14 Nella Hasibuan, “Perjanjian Nominee Yang Dibuat Untuk Penguasaan Tanah Hak Milik
Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing” (Desertasi, Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012), h.. 68.
15 Kevin Pahlevi, “Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Saham Pinjam Nama (Nominee
Arrangement) Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan”, Diponegoro Law Journal, Vol. 6,
Nomor 1, Tahun 2017, h.5
25
dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila dalam prkatiknya ditemukan
pemegang saham nominee dalam suatu perseroan, secara hukum pihak
yang secara sah memiliki saham adalah pihak yang dipinjam
namanya/nominee.
Larangan perjanjian saham nominee terdapat dalam Pasal 33 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
yang selanjutnya disebut Undang-Undang Penanaman Modal, mengatur
bahwa baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing
dilarang membuat perjanjian dan atau pernyataan yang menegaskan
bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama
orang lain.
Adapun konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 33 Ayat (2)
Undang- Undang Penanaman Modal, dimana perjanjian atau pernyataan
tersebut dinyatakan batal demi hukum. Perjanjian nominee saham dalam
hukum perjanjian di Indonesia dikategorikan sebagai perjanjian
innominaat (perjanjian tidak bernama). Perjanjian ini belum diatur dalam
KUHPerdata namun dalam prakteknya tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.
Dalam perjanjian innominaat tetap tunduk terhadap Pasal 1320
KUHPer supaya terjadi persetujuan yang sah perlu dipenuhi syarat
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu dan suatu
sebab yang tidak terlarang.16
Secara implisit perjanjian nominee memiliki unsur-unsur yaitu:17
1. Adanya perjanjian pemberi kuasa antara dua pihak, yaitu BO
sebagai pemberi kuasa dan nominee sebagai penerima kuasa yang
berdasarkan atas kepercayaan.
16 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 4-5.
17 Natalia Christine Purba, “ Keabsahan Perjanjian Innominat Dalam Bentuk Nominee
Agreement (Analisis Kepemilikan Tanah oleh Warga Asing)”, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Depok, 2006), h.14
26
2. Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum
terbatas
3. Nominee bertindak sebagai perwalian dari BO di depan hukum.
B. Tinjauan Umum Beneficial Ownership
Konsep Beneficial Ownership (BO) dalam Sejarah Hukum Internasional
pertama kali digunakan pada tahun 1966 dalam protokol perjanjian
penghindaran pajak berganda (P3B) yaitu antara Inggris dan Amerika Serikat,
dimana diatur mengenai beneficial owner, agen, dan nominee dikenakan
ketentuan pajak di Inggris, namun untuk penerima manfaat selain agen dan
nominee dikenakan aturan tax treaty (perjanjian pajak). Istilah kepemilikan
yang menguntungkan pertama kali diperkenalkan di Inggris.18
Mengenai istilah BO berasal dari istilah dalam sistem hukum yaitu
common law, dimana dalam hal tersebut terdapat dua bentuk kepemilikan
atas properti, yaitu legal dan beneficial. Kepemilikan secara legal yaitu
ketika kepemilikan tersebut dapat dipindahkan, dicatat, didaftarkan atas
nama pihak tertentu. Penjelasan beneficial lebih menggambarkan jenis
kepemilikan dari suatu pihak yang berhak atas penggunaan dan manfaat dari
properti meskipun pihak tersebut tidak memiliki kepemilikan secara legal.
International Tax Glossary, nomineee dan agent diartikan sebagai pihak yang
menguasai harta untuk pihak lain yang merupakan beneficial owner dari
harta tersebut. Sedangkan conduit didefinisikan sebagai suatu badan yang
didirikan berkaitan dengan skema penghindaran pajak.19
Adapun pengertian menurut Vogel, sebagaimana dikutip oleh
Rachmanto Surahmat dalam bukunya Bunga Rampai Perpajakan Tahun
2007 dimana BO didefinisikan sebagai mereka yang mempunyai hak untuk
18 The World Bank – UNODC, “The Puppet Masters: How to Corrupt Use Legal Structures
to Hide Stolen Assets and What to Do About It”, The World Bank – UNODC, 2011, h.18
19 Anthony Tiono dan R. Arja Sadjiarto, “Penentuan Beneficial Owner Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda”, Tax and Accounting Review, Vol.3,
No.2, 2013, h.3-4
27
menentukan apakah suatu modal atau kekayaan harus dimanfaatkan bagi
orang lain, atau menentukan bagaimana hasil dari modal atau kekayaan itu
dimanfaatkan. Menurut Herman LJ merupakan kepemilikan yang tidak hanya
sebatas terdaftar secara hukum sebagai pemilik, melainkan memiliki hak
untuk mengambil keputusan yang akan dilakukan terhadap sesuatu yang
dikuasainya.20
Dapat disimpulkan bahwa BO merupakan pihak yang memiliki hak
untuk menikmati suatu kekayaan dan hasil yang timbul dari kekayaan itu,
dapat dengan dengan bebas menggunakan kekayaan yang dikuasainya,
memiliki kontrol, dan menanggung resiko atas kekayaan yang dikuasainya
tanpa perlu adanya pengakuan secara legal.21
Para investor memiliki cara
yang tak terhitung banyaknya untuk menyembunyikan identitas sebenarnya,
seperti halnya dalam tingkat pemegang saham langsung, penggunaan
pemegang saham nominee, perantara lain, dan rantai kendaraan perusahaan
atau derivatif ekuitas akan menutupi identitas investor.22
C. Struktur Kepemilikan Afiliasi
Afiliasi atau Pertalian/ Perhubungan. Penjelasan afiliasi terdapat pada
Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,
yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pasar Modal mendefinisikan
mengenai adanya keterkaitan Afiliasi yaitu adanya hubungan antara yaitu:
a. keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua
baik horizon maupun vertikal.
b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris
dari Pihak tersebut. Misalkan seseorang yang bekerja pada Pihak
20 Anthony Tiono dan R. Arja Sadjiarto, “Penentuan Beneficial Owner Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda”,... h.3
21 Anthony Tiono dan R. Arja Sadjiarto, “Penentuan Beneficial Owner Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda”,...h.3
22 Erik Vermeulen, “Beneficial Ownership and Control: A Comparative Study – Disclosure
Information and Enforcement, OECD Corporate Governance Working Papers”, No. 7, OECD
Publishing, 2013, h.11
28
lain, di mana pihak lain tersebut mempunyai kewenangan untuk
mengendalikan dan mengarahkan orang dimaksud untuk melakukan
pekerjaan dengan memperoleh upah atau gaji secara berkala.
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih
anggota direksi atau dewan komisaris yang sama,
d. hubungan antara perusahaan dengan pihak baik langsung maupun
tidak langsung mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan
tersebut dengan cara apa pun pengelolaan dan atau kebijaksanaan
perusahaan. Hal tersebut, dalam penjelasan Undang-Undang Pasar
Modal ini disebut juga sebagai pengendalian, yaitu suatu
kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apa pun pengelolaan dan atau kebijaksanaan
perusahaan.
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan baik
langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama yang
dimana "pemegang saham utama" merupakan Pihak yang baik
secara langsung maupun tidak langsung, memiliki
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) hak suara dari
seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh
suatu Perseroan atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana
ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
D. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pencucian Uang
1. Tindak Pidana Pencucian Uang
Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money
laundering. Money artinya uang dan laundering artinya pencucian.
Pengertian Money Laundering tersebut, Financial Action Task Force on
Maney Laudering (FATF) merumuskan bahwa money laundering adalah
proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil kejahatan.
Sehingga secara harfiah, money laundering berarti pencucian uang atau
29
pemutihan uang hasil kejahatan. Bentuk tindak pidana pencucian uang
yang selanjutnya disebut TPPU ini, ditandai sebagai kejahatan yang
bersifat Follow Up Crime (kejahatan lanjutan), sedangkan kejahatan
asalnya disebut sebagai Predicate Offense/Core Crime atau sebagai
unlawful activity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang
kemudian dilakukan proses pencucian.23
Hasil tindak pidana pencucian uang menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya disebut UUTTPU pada Pasal 2
Ayat (1) menyatakan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
yang menjadi asal dari harta kekayaan diantaranya ialah korupsi,
penyuapan, narkotika, penggelapan dan lain sebagainya.
Adapun unsur dari TPPU tersebut yang tertuang dalam Pasal 3
UUTPPU yaitu setiap orangyang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukar
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan. Dalam Pasal 4 UUTPPU yaitu setiap orang yang
menyembunyikan atau menyamarakan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas
harta kekayaan. Penjelasan kemudian terdapat pula Pasal 5 UUTPPU
yaitu setiap orang, menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran
atau menggunakan harta kekayaan.24
Sedangkan, tingkat risiko tersebut dapat dilihat dari:
1. Latar belakang atau profil seseorang yang secara politik menjadi
perhatian masyarakat (politically exposed person)
23 Joni Emirzon, “Bentul Praktik dan Modus Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK),2017
https://jurnal.kpk.go.id/Dokumen/SEMINAR_ROADSHOW/Bentuk-praktik-dan-modus-tppu-Jon
i-Emirzon.pdf Diakses 30 Desember 2018
24 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Kencana, 2016), h.98-99
30
2. Bidang usaha yang potensial digunakan sebagai saran pencucian
uang (high risk business)
3. Asal negara nasabah yang potensial digunakan sebagai sarana
pencucian uang (high risk countries).
Mengenai definisi Politically Exposed Person atau yang disebut
PEP terdapat dalam Pasal 1 Ayat (8) Peraturan Kepala Pusat Pelaporan
Dan Analisis Transaksi Keunagan Nomor: PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02
/ 15 Tentang Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan
Tindak Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya disebut Peraturan
Kepala PPATK Tentang Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi
Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor: PER- 02 / 1.02 /
PPATK / 02 / 15, yaitu PEP adalah orang yang merniliki atau pernah
memiliki kewenangan publik diantaranya adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penyelenggara negara, dan / atau orang yang tercatat
atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang
berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing.
Mengenai PEP kategori pejabat negara dalam Pasal 5 Huruf a
Angka (1) meliputi: a) presiden dan wakil presiden; b) menteri, wakil
menteri, dan jabatan yang setingkat menteri; c) anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang meliputi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; d) hakim agung pada
Mahkamah Agung serta hakim pada semua badan peradilan; e) Hakim
Konstitusi; f) anggota Komisi Yudisial; g) anggota Dewan Pertimbangan
Presiden; h) anggota Badan Pemeriksa Keuangan; i) anggota Dewan
Gubernur Bank Indonesia; j) anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan; k) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi; 1) kepala
perwakilan Republik Indonesia di luar negen yang berkedudukan sebagai
duta besar luar biasa dan berkuasa penuh; m) gubernur dan wakil
gubernur; n) bupati atau walikota; 0) wakil bupati atau wakil walikota; p)
31
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau lembaga sejenis di
daerah; dan q) pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh
undang-undang;
Dalam Pasal 5 Huruf b Peraturan Kepala PPATK Tentang Kategori
Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian
Uang Nomor: PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15 menjelaskan mengenai
pihak yang terkait dengan PEP meliputi keluarga inti PEP termasuk
anggota keluarga sampai dengan derajat kedua, perusahaan yang dimiliki,
dikelola, dan/ atau dikendalikan oleh PEP, dan pihak-pihak yang secara
umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP.
Adapun metodik dapat dikenal dalam pencucian uang yaitu:
1. Buy and sell conversion, metode ini dilakukan melalui transaksi
barang-barang dan jasa. Katakanlah suatu aset dapat dibeli dan
dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual
secara lebih mahal dari harga normal dengan mendapatkan fee atau
diskon. Selisih harga dibayar dengan uang ilegal dan kemudian
dicuci dengan cara transaksi bisnis. Barang dan jasa itu dapat diubah
seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau
perusahaan yang ada di suatu bank.
2. Offshore conversion yaitu dengan cara ini uang kotor di konversi ke
suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenakan
bagi penghindar pajak (tax heaven money laundering centres) untuk
kemudian didepositkan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di
negara-negara yang termasuk atau tax heaven demikian memang
terdapat sistem hukum perpajakan yang tidak ketat.Untuk
mendukung kegiatan demikian, para pelakunya memakai jasa-jasa
pengacara, akuntan, dan konsultan keuangan dan para pengelola
yang handal untuk memanfaatkan segala celah yang ada
3. Legitimate business conversions yaitu metode ini dilakukan melalui
kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan
dari suatu hasil uang kotor. Hasil uang kotor ini kemudian
32
dikonvensi dngan cara ditransfer, cek atau cara pembayaran lain
untuk disimpan direkening bank atau ditransfer kemudian
kerekening bank lainnya. Biasanya para pelaku bekerja sama dengan
suatu perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan untuk
menampung uang kotor tersebut.25
Secara teknis, tindak pidana pencucian uang, merupakan suatu
proses yang memiliki rangkaian 3 (tiga tahap), yaitu:26
1. Placement yaitu upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari
tindak pidana ke dalam system keuangan (financial system) atau
upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito
dan lain-lain) kembali ke dalam system keuangan, terutama
perbankan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
2. Layering yaitu suatu upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil
ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai
hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan
lain.
3. Integration Stage/ Tahap Pengumpulan. Dalam tahapan ini
merupakan upaya menggunakan harta hasil kejahatan yang tampak
sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam
kegiatan ekonomi yang sah misalnya dalam bentuk pembelian real
estate, aset-aset yang mewah, atau ditanamkan dalam kegiatan usaha
yang mengandung risiko. Mengintegrasikan uang tersebut dengan
cara legitimasi proses ekonomi yang normal dengan menyampaikan
laporan palsu terkait peminjaman uang.27
Dalam hal mengendalikan atau personil pengendali dalam korporasi
dijelaskan pula dalam Pasal 1 Ayat (14) UUTPPU yaitu personil
25 Siahaan, Money laundering dan kejahatan perbankan, (Jakarta: Jala,2008), h.26.
26 Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar
Modal, (Bogor: Ghalia Indonesia,2010), h.58
27 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008),
h.22
33
pengendali korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau
wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki
kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus
mendapat otorisasi dari atasannya. Berkaitan dengan TPPU yang
dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau
personil pengendali korporasi. Kemudian, dalam Pasal 6 Ayat (2)
UUTPPU dimana pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak
pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
2. Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai
“toereken-baarheid”, “criminal responsibility” atau “criminal liability”,
yaitu dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan atas pidananya atau tidak terhadap tindakan
yang dilakukan.28
Pengertian korporasi dalam hukum pidana menurut Sutan Remi
Sjahdeini dalam bukunya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”
yaitu korporasi yang meliputi baik badan hukum maupun bukan badan
hukum, bukan saja badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan,
koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum
yang digolongkan korporasi menurut hukum perdata yaitu badan usaha
yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Sedangkan
28 S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni
Ahaem-Pateheam, 1996, Cet. Keempat), h. 245.
34
menurut arti sempitnya yaitu korporasi sebagai badan hukum yang
eksistensi dan kewenanganya diakui oleh hukum perdata.29
Secara prinsipil setiap tindak pidana yang terjadi tentunya harus
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Namun, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diakui dan diatur secara
tegas mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal tersebut
dikarenakan KUHP saat ini masih menganut asas societas delinquere
non potes yaitu asas yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat
melakukan tindak pidana dan tidak dapat dimintakan pertanggungjwaban
secara pidana.30
Menurut Mardjono Reksodipuro, sehubungan dengan diterimanya
korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi
perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana
(dader) yang dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan
bertindak melalui manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain).31
Adapun sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum
pidana yaitu :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab
b. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab
29 Dwidja Prityatni dan Kristian, Kebijakan Formulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Dalam Peraturan Perundang-undangan Khusus di Luar KUHP di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2017), h.25
30 Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,
2010, Cetakan Kedua), h.54
31 Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan, Kumpulan
Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, 1994),
h.102
35
Berdasarkan hal tersebut adapun prinsip yang dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap korporasi yaitu:
a. Doktrin Identification
Menurut doktrin ini perbuatan atau sikap batin dari pejabat
senior korporasi yang memiliki “directing mind” dapat dianggap
sebagai sikap korporasi. Oleh karenanya, doktrin ini digunakan
untuk memberikan pembenaran atas pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, meskipun pada
kenyataannya korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri
dan tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki
kalbu.32
Sedangkan berdasarkan definisi pejabat senior (senior
officer) secara umum adalah orang yang mengendalikan perusahaan
baik sendiri maupun bersama-sama yang pada umumnya adalah
direktur dan manajer. Menurut Lord Diplock bahwa pejabat senior
adalah mereka yang berdasarkan memorandum dan
ketentuan-ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau
keputusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya untuk
melaksanakan kekuasaan perusahaan. Sehingga dari pendapat
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pejabat senior adalah
individu dengan jabatan tinggi dan memiliki kewenangan yang
besar.33
Sutan Remy S. memiliki pandangannya sendiri dalam
menentukan “directing mind” yaitu dengan melihatnya secara
formal yuridis, dimana salah satunya melalui anggaran dasar
korporasi tersebut atau surat-surat keputusan yang dikeluarkan
secara resmi oleh perusahaan. Selain itu perlu melihatnya secara
kenyataan dalam operasional kegiatan korporasi tersebut kasus demi
32 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,
2006), h.100
33 Institute for Criminal Justice Reform, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Rancangan
Kitab Undang-undang Pidana”, Desember 2015, h.13
36
kasus. Hal ini dikarenakan, pada beberapa kasus, ternyata individu
yang secara legal memiliki jabatan dengan kewenangan sebagai
“directing mind”, masih juga dapat dipengaruhi oleh
individu-individu lain dengan jabatan yang secara yuridis tidak
memiliki kewenangan, seperti pemegang saham mayoritas dengan
kedekatan tertentu. Sehingga menurut Sutan Remy S. “directing
mind” tidak terbatas pada jabatan-jabatan tertentu yang memiliki
kewenangan secara formal yuridis, melainkan juga jabatan lain yang
secara formal yuridis tidak memiliki kewenangan, akan tetapi secara
faktual berpengaruh.34
b. Doktrin Strict Liability
Prinsp ini pertama kali diungkapakan oleh W.H Winfield pada
tahun 1926 dalam artikel “The Myth of Absolute Liability” yang
merupakan prinsip tanggung jawab mutlak atau disebut absolut
liability yaitu prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan.35
Adapun alasan atau dasar
pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang
telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa
mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea)
atau tidak. Menurut Mochtar Kusumaatmadja mengenai prinsip
tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab yang
memandang “kesalahan” sebagai sesuatu yang tidak relevan mutlak
dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.36
Pada
prinsip ini pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan
34 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,...h.104-105
35 Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,
2010, Cetakan Kedua), h.111
36 Ansorie Sabuan, Syafruddin Pettanase dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana,
(Bandung: Angkasa, 1990), h. 64
37
kepada pelakunya.37
Adapun menurut L.B. Curson berpendapat
bahwa alasan-alasan berlakunya doktrin ini pertama, untuk
menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang
diperlukan untuk kesejahteraan sosial. Kedua, pembuktian adanya
mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran
yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu. Ketiga, tingginya
tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.38
c. Doktrin Vicarious Liability
Prinsip ini merupakan suatu alasan untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pengganti karena adanya suatu pendelegasian
wewenang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang
dimiliki. Doktrin ini sering diartikan sebagai pertanggungjawaban
pengganti atau pertanggungjawaban menurut hukum dimana
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Pada
prinsip ini pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung.
Dalam kritik lain, doktrin vicarious liability juga dianggap
underinclusive sekaligus overinclusive. 154 Sebagaimana
dikemukakan oleh Eric Colvin, dikatakan underinclusive
dikarenakan pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya melalui
pertanggungjawaban pidana dari pihak lain. 39
Adanya hubungan bersifat subordinasi antara pemberi kerja
dengan pekerja atau principle dengan agent menjadi syarat utama
dalam vicarious liability. Menurut Lord Russell tersebut, maka
terdapat batasan dalam hal penerapan doktrin vicarious liability,
bahwa seorang pemberi kerja hanya dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan yang dilakukan
37 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002, Cet. Kedua), h.40
38 Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,...h.112
39 Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,... h.113
38
pegawainya adalah dalam rangka tugas dalam ruang lingkup
pekerjaannya. Secara a contrario, maka doktrin ini tidak dapat
diterapkan apabila perbuatan yang dilakukan pekerja (employee) di
luar atau tidak ada hubungannya dengan tugasnya.40
Seperti doktrin identification yang lebih ditujukan pada
perbuatan yang dilakukan oleh pengurus atau high level manager,
maka berkaitan doktrin vicarious liability juga dapat dikenakan
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pegawai
dibawahnya. Luang lingkup doktrin ini dapat mencakup perbuatan
yang dilakukan oleh orang yang berada di luar organisasi korporasi,
selama terhadapnya diadakan suatu hubungan perkerjaan. Hal
tersebut dikarenakan luasnya ruang lingkup hubungan subordinasi
selama antara kedua belah pihak tersebut terdapat hubungan
pekerjaan dan terbatas pada atribusi tugas yang diberikan.41
3. Delik Penyertaan
Menurut Moeljatno menyatakan bahwa penyertaan adalah apabila
ada lebih dari satu orang yang tersangkut dari terjadinya suatu tindak
pidana, karena sejatinya tidak semua orang yang terlibat dapat dikatakan
peserta dalam pemaknaan Pasal 55-56 KUHP. Hal tersebut relevan
dengan pengkategorian yang dilakukan menurut Zevenbergen, Van
Hamel, Simons, dan Vos yang menyatakan ada dua kategori peserta
yaitu:42
a. Peserta yang berdiri sendiri (zelfstandige deelnemers)
b. Peserta yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelnemers)
Dalam penyertaan dikenal adanya empat macam pernyataan dilihat
dari pasal 55 KUHP yaitu bagi mereka yang:
40 Institute for Criminal Justice Reform, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Rancangan
Kitab Undang-undang Pidana”,...h.21
41 Cristina Maglie, “Models of Corporate Criminal Liability in Comparative
Law”,Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4: 547, (Januari 2005), h.556
42 Moeljatno, Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: PT Bina Aksara,
1985), hlm. 63.
39
1. Menyuruh melakukan
2. Turut melakukan
3. Menganjurkan untuk melakukan/menggerakan untuk melakukan
4. Turut membantu/membantu melakukan
Bagi pserta yang tidak berdiri sendiri penyertaan dalam perspektif
hukum pidana memiliki dua fungsi, yaitu:43
a. Difungsikan agar seseorang tidak lepas dari pertanggungjawaban pidana
hanya karena dia bukan peserta langsung yang melakukan tindak pidana
sebab adalah tidak adil jikalau dalam suatu tindak pidana terdapat
seorang yang mempunyai niat untuk mewujudkan suatu tindak pidana
dengan menyuruh atau membujuk orang lain untuk melakukannya dan
orang tersebut tidak dapat dijangkau oleh hukum pidana dan tidak dapat
dipidana karena si penyuruh atau si pembujuk (pelaku intelektual) tidak
melakukan perbuatan atau tidak menimbulkan suatu akibat sebagaimana
dilarang dalam rumusan delik.
b. Pengaturan penyertaan dalam ketentuan umum dimaksudkan untuk
merangkum unsur-unsur umum dari hampir setiap delik baik delik
umum yang terdapat dalam KUHP maupun delik khusus yang terdapat
di luar KUHP.
E. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Teori ini menjelaskan terkait kepastian adalah perihal keadaan yang
pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan
adilr. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum
dapat menjalankan fungsinya.44
43 Utrecht, Rangkaian Sari kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tirta Mas, 1986,
Cet. Ketiga) hlm 13.
44 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h.59
40
Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum di negara berkembang
ada dua pengertian tentang kepastian hukum yaitu kepastian oleh karena
hukum, dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian hukum dapat
dimaknakan bahwa adanya kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya
hukum didalam masyarakat dan juga berarti hal yang dapat ditentukan
oleh hukum dalam hal-hal yang konkret.45
Penjelasan lain dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa hukum
adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan
beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma
adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang
berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan
sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu:46
1) Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
2) Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.
Mahfud M.D dalam bukunya Kepastian Hukum Tabrak Keadilan
menjelaskan mengenai Prinsip kepastian hukum, yang dasarnya
menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara
formil, artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya,
menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar
45 Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan,dan Kemanfaatan Dalam
Kaitantya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.14,
No.02, Meii 2014, h.219
46 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h.158.
41
kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi
tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang
melarangnya.47
Secara normatif suatu kepastian hukum adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas disini berarti, tidak menimbulkan keraguraguan dan logis tidak
menimbulkan benturan dan kekaburan norma dalam sistem norma satu
dengan yang lainnya. Kekaburan norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan hukum, dapat terjadi multi tafsir terhadap sesuatu
dalam suatu aturan. Menurut Sudargo Gautama, dapat dilihat dari dua sisi
yaitu:
1. Dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan
kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran
terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila
diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum.
2. Dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan
hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih
dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara.48
Salah satu aspek dari asas kepastian hukum adalah penegakan hukum.
Peran yang komprehensif dari aparat penegak hukum tidak dapat di
biarkan begitu saja. Komponen yang terdiri Polisi, Jaksa, Advokat, dan
Hakim mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Perlu adanya
sinergi dalam meramu hukum saat diimplementasikan sehingga tidak
adanya ketimpangan-ketimpangan saat mempraktikkan hukum di dalam
pengadilan maupun di luar pengadilan. Pencapaian yang maksimal ketika
penanganan kasus seperti pengelolaan hutan oleh oknum yang tidak
memperhatikan kondisi sekitarnya dapat dijerat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Karenanya kepastian hukum berkaitan
47 Fajar Laksono, Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr.
Mahfud MD, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 91
48 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Yogayakarta: Liberty, 1973), h.9.
42
dengan efektivitas hukum, sehingga kepastian hukum hanya terjamin, bila
pemerintah negara mempunyai sarana yang cukup ntuk memastikan
peraturan yang ada.49
2. Prinsip Piercing The Corporate Veil Pada Perseroan Terbatas
Kata “Piercing” berarti mengoyak atau menembus, sementara kata
veil berararti kerudung atau cadar. Maka secara harafiah berarti cadar
badan hukum dikoyak atau ditembusi.50
Doktrin ini bertujuan untuk
menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan
dari tindakan sewenang-wenang yang menggunakan atas nama perseroan
baik terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga (adanya hubungan
kontraktual) ataupun dari perbuatan melawan hukum.51
Sebagai subjek hukum, perseroan bertindak selayaknya subjek
hukum lainnya yaitu manusia (recht person) pada umumnya karena
badan hukum mempunyai persoonlijkheid, yaitu suatu kemampuan
untuk menjadi subjek hukum dari hubungan hukum. Perseroan sebagai
badan hukum terpisah merupakan entitas terpisah (Separate Entity),
sebagai subjek hukum dalam kategori badan
hukum (rechtpersoon) Perseroan terbatas merupakan separate entity dari
pemegang saham.52
Prinsip inilah yang kemudian memberikan jalan pembuka bagi
setiap investor untuk menginvestasikan modalnya tanpa dibebani
ketakutan bahwa harta pribadi diluar saham yang telah diinvestasikannya
ke dalam perseroan turut menjadi jaminan atas segala utang perseroan
maupun ketakutan untuk turut serta dituntut maupun digugat oleh pihak
ketiga atas segala kegiatan baik kontrak maupun transaksi yang
dilakukan perseroan.
49 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cetakan ke 15 (Yogyakarta: Kanisius, 2010) h. 119.
50 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), h.11
51 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek,...h.12
52 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas,...h.70
43
Mengenai pertanggungjawaban terbatas atau Limited Liability
sebagaimana Pasal 3 Ayat (1) UUPT dimana pemegang saham Perseroan
tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas
nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan
melebihi saham yang dimiliki.
Apabila terdapat kemungkinan bagi pemegang saham untuk
bertanggung jawab secara pribadi dimana Pasal 3 Ayat (2) UUPT Tahun
1995 membuka ruang pertanggung jawaban pemegang saham melebihi
saham yang disetorkan:53
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belun dan tidak
terpenuhi
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memenfaatkan perseroan semata-mata
untuk kepentingan pribadi
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan
4. Pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang
mengakibatkan kekayaan perseroan tidak cukup melunasinya
Setelah keluarnya UUPT yang menggantikan UUPT Tahun 1995,
ternyata terdapat perluasan pengaturan doktrin Piecing The Corporate
Veil, yang selanjutnya disebut PCV, dengan membebankan tanggung
jawab tersebut kepada pihak-pihak:
a) Beban tanggung jawab dipindahkan kepada pemegang saham
b) Beban tanggung jawab dipindahkan kepada direksi dan komisaris
53 Hari Noor Yasin, “Eksistensi Doktrin Piercing The Corporate Veil di dalam
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Terhadap Tanggung Jawab
Direksi Atas Terjadinya Kepailtan Perseroan Terbatas”, Jurnal Reporterium, Vol. III, No.2,
(Juli-Desember 2016), Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, h.9-10
44
Adapaun kondisi pemegang saham bertanggung jawab secara
pribadi (tidak terbatas) bila memenuhi salah satu kondisi yaitu:54
1. Melakukan satu atau lebih hal yang mengakibatkan terjadinya
pengungkapan tabir perusahaan (piercing the corporate veil)
2. Menjadi penaggung pribadi (personal guatantor) berdasarkan
perjanjian penanggungan pribadi yang berkaitan dengan transaksi
pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada perusahaan yang
bersangkutan berdasarkan perjanjian kredit atau pinjaman tertentu.
Konsekuensi hukum atas penyingkapan tabir tersebut lazim disebut
sebagai Piercing The Corporate Veil atau disingkat (PCV) yaitu sebagai
berikut :
a. Hilang atau hapus perlindungan tanggung jawab terbatas pemegang
saham yang diamanatkan dalam Pasal 3 Ayat (1) UUPT
b. Pemegang saham kemudian dengan sendirinya ikut memikul resiko
bersama-sama dengan perseroan yaitu membayar utang perseroan
dari harta pribadi pemegang saham yang bersangkutan.
Doktrin PCV menunjukan bahwa suatu perseroan terbatas seringkali
tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari kehendak pihak-pihak yang
merupakan dan menjadi pemegang saham. Dalam konteks yang
demikian, konsep PCV atau alter ego atau more instrumentally yaitu
menyatakan bahwa jika keadaan terpisah perseroan dengan pemegang
sahamnya tidak ada, maka sudah selayaknya jika sifat
pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham juga dihapuskan.55
Menurut Ian M. Ramsay dan David B. Noakes terdapat lima faktor
lain yang dijadikan dasar prinsip PCV yaitu:
1. Agency, meletakan perseroan sebagai agen dari pemegang saham.
Hal ini menunjukan bahwa sebagai agen perseroan terbatas tidak
54 Juventia Yustica, “Tanggung jawab hukum pemegang saham portofolio investasi”, (Studi
Kasus Piercing The Corporate Veil), (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2015),
h.22
55 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Menjadi Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2008), h.25.
45
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan olehnya sesuai
dengan maksud dan tujuan dari pemegang saham. Jadi, demikian
tidak ada lagi tanggung jawab terbatas pemegang saham dalam
perseroan terbatas. Pemegang saham tersebutlah yang bertanggung
jawab atas tindakan hukum yang dialakukan atas nama perseroan
terbatas.56
Teori in juga digunakan untuk menyatakan bahwa
pemegang saham dari perusahaan (baik pemegang sahamnya berupa
perusahaan induk ataupun pemegang saham manusia) memiliki
suatu tingkat kontrol dimana perusahaan tersebut efektif telah
disandera untuk menjadi agen pemegang saham, sehingga tindakan
perusahaan dianggap sebagai tindakan pemegang saham. Dengan
posisi dominan pemegang saham, maka perseroan tidak lagi
memiliki status kemandirian, sehingga perseron tidak lain hanya
merupakan agent.57
2. Fraud, yaitu berkaitan dengan dugaan penggunaan korporasi oleh
pengendali untuk menghindari kewajiban hukumnya. Hal tersebut
terwujud dalam tindakan yang memanfaatkan perseroan
menghindari tanggung jawab pribadi. Misalkan, perlakuan
pemegang saham ketika harta kekayaan perseron adalah harta
kekayaan pribadi, sehingga yang bersangkutan mempergunakan
harta tersebut sebagai kepentingan pribadi yang tidak selayaknya58
3. Sham or facade, tujuan dari pemegang saham mendirikan perseroan
ialah menghindari tanggung jawab terbatas sedangkan apa yang
menjadi kewajibanya tidak terpenuhi, hal tersebut biasanya terjadi
pada pencampuran harta kekayaan perseroan dan kekayaan pribadi.
4. Group enterprises, penyebab terjadinya piercing the corporate veil
dalam lingkup direksi atau sebagai pengurus anak perusahaan tidak
56 Gunawan Widjaja, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT,... h.30
57 Ian Ramsey dan David B. Noakes, “Piercing The Corporate Veil in Australia”, 19
Company and Securities Law Journal 250-2, h.8
58 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Menjadi Direksi, Komisaris dan Pemilik PT,...h.31
46
lagi dapat bebas untuk dapat bertindak sesuai dan untuk kepentingan
perseroan semata, karena hanya bertindak untuk kepentingan induk
perusahaan yang merupakan pemegang sahamnya saja.59
5. Unfaimess/ justice, menjelaskan tentang terjadinya piercing the
corporate veil pada dasarnya dapat terjadi karena pemegang saham
secara dominan turut serta menentukan putusan dari perseroan,
yang karena tindakanya tersebut pihak yang berhubungan hukum
dengan perseroan menjadi dirugikan, sedangkan tuntutan langsung
kepada perseroan akan memperbesar kerugian perseroan. Maka, atas
hal tersebut, lebih adil tuntutan diajukan kepada pemegang saham
secara langsung.60
Berdasarkan hal-hak yang dikemukakan diatas menunjukan bahwa
PCV tidak hanya dapat dilakukan oleh pemegang saham perseroan,
melainkan dapat juga oleh setiap pihak (pengurus, direksi dan komisaris)
yang dalam kedudukanya memungkinkan terjadinya penyimpangan atau
dilakukanya hal-hal yang dapat atau yang dapat mencegah untuk tidak
melakukan hal-hal yang sepatutnya dilakukan yang bermuara terjadinya
kerugian yang dialami perseroan hingga perseroan tidak dapat atau
sanggup lagi memenuhi seluruh kewajibanya.61
3. Prinsip Good Corporate Governance (GCG)
Good corporate governance, yang selanjutnya disebut GCG secara
merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang
menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.
Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya hak
pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat
pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan
pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan
59 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Menjadi Direksi, Komisaris dan Pemilik PT,...h.31
60 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Menjadi Direksi, Komisaris dan Pemilik PT,...h.32
61 Freddy Haris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas (Kewajiban
Pemberitahuan oleh Direksi), (Bogor: Ghalia Indonesia,2010), h.63
47
terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan
stakeholder. Ada secara umum terdapat lima prinsip dasar dari GCG
yaitu:62
1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai
perusahaan.
2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur,
sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan)
di dalam pengelolaan perusa- haan terhadap prinsip korporasi yang
sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana
perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan
dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai
dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan
setara di dalam memenuhi hak- hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan
penelitian sehingga peneliti dapat memperkaya teori yang digunakan dalam
mengkaji penelitian yang dilakukan. Sehingga setelah peneliti melakukan
peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat beberapa kajian yang
berhubungan dengan penelitian ini yaitu:
62 Djokosantoso Moeljono,Good Corporate Culture sebagai Inti dari Good Corporate
Governance. (Jakarta: Elex Gramedia,2005), h.23
48
1. Pengaturan Karakteristik Beneficiary Owner di Indonesia.63
Jurnal yang
ditulis oleh Kusrini Purwijanti dan Imam Prihandono, Universitas
Airlangga, Jurnal Notarie, Vol.01, Juni 2018. Pada jurnal ini hanya
membahas terkait karakteristik dan kriteria beneficial ownership serta
pengaturan hukum baik secara Internasional maupun nasional.
Sedangkan perbedaan yang peneliti kaji dalam skripsi ini, yaitu
menganalisis terkait kedudukan beneficial ownership dalam suatu
perseroan terbatas terhadap tindak pidana pencucian uang dan tanggung
jawabnya sesuai dengan pengaturan hukum di Indonesia, serta
menganalisis terkait kekurangan dalam regulasi.
2. Penentuan Status Beneficial Owner Untuk Mencegah Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Tesis ini ditulis oleh Benny
Mangoting, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Ekonomi,
Universitas Indonesia, 2010.64
Tesis ini membahas penentuan status
Beneficial Owner dalam Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yaitu dalam meneliti bagaimana menerapan
peraturan pajak domestik Indonesia dan dan menganalisis mengenai
implementasi dalam P3B terkait penentuan status Beneficial Owner.
Sedangkan, peneliti dalam skripsi ini membahas kedudukan hukum
beneficial owner dalam hukum positif di Indonesia dan keterkaitanya
dengan tanggung jawab Beneficial Owner dalam dalam tindak pidana
pencucian uang
3. Aspek Hukum Penanamana Modal Asing Di Indonesia.65
Buku yang
ditulis oleh David Kairupan, S.H., LLM tahun 2013. Pada buku ini
membahas terkait teori umum, mekanisme penanaman modal asing
63 Kusrini Purwijanti dan Iman Prihandono, “Pengaturan Karakteristik Beneficiary Owner
di Indonesia”, Jurnal Notarie, Vol.01, (Juni 2018), Universitas Airlangga, h.52
64 Benny Mangoting, “Penentuan Status Beneficial Owner Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda”, (Tesis- Fakultas Hukum, Program
Studi Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia, 2010)
65 David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asng Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana,2013, Cet. Pertama), h.viii
49
melalui pembelian saham, pembatasan penanaman modal,
penyelenggaraaan penanaman modal asing dan praktik nominee di
Indonesia serta menjelaskan secara singkat perbedaan Beneficial Owner
dan Legal Owner. Perbedaanya dengan buku tersebut peneliti meneliti
lebih spesifik terkait menganalisa keterkaitan beneficial owner dalam
perseroan terbatas yang melakukan tindak pidana pencucian uang dan
meneliti regulasi penggunaan kerangaka beneficial owner dalam hukum
positif di Indonesia.
50
BAB III
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH BENEFICIAL
OWNERSHIP PADA PERSEROAN TERBATAS
A. Sejarah Perkembangan Beneficial Ownership
Pertama kali pada tahun 1977 BO diperkenalkan dari dalam sejarah
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model
Tax Convention pada paragraf (12) menjelaskan mengenai pengurangan tarif
pajak di negara sumber tidak dapat diberikan jika dalam transaksi
pembayaran penghasilan dividend, bunga dan royalti terdapat perantara
seperti agen dan nominee kecuali bila BO merupakan penduduk dari negara
lain dalam perjanjian1 Namun demikian, dalam paragraf 12 OECD MTC
1977 commentarries on Article 10 (dividend), diberikan penegasan bahwa
terminologi beneficial owner tidak meliputi Agen maupun Nominee. Secara
spesifik disebutkan bahwa fasilitas pengurangan tarif pajak di negara sumber
tidak dapat diberikan apabila dalam transaksi pembayaran penghasilan
dividend, bunga, royalti tersebut terdapat pihak perantara seperti Agen dan
Nominee, kecuali bila BO tersebut merupakan penduduk dari negara lain
dalam perjanjian. Pada tahun 1986 OECD kembali membahas mengenai BO
di dalam commite on Fiscal Affairs “Double Taxation Convensi dan the Use
of Conduit Companies”. OECD menegaskan bahwa Conduit Companies
dikecualikan dalam BO dengan alasan bahwa conduit companies berperan
sebagai perusahaan perantara yang digunakan untuk memengang aset atau
hak sebagian agen atau nominee,2 kemudian antara penerima dan pembayar
penghasilan membuka kemungkinan terciptanya kondisi diberikannya
fasilitas tax treaty kepada pihak yang seharusnya tidak menerima. Berkaitan
1 Yustinus Prastowo, Center for Indonesia Taxion Analysis, Seri Mengenal Panama Papers
(III): Beneficial Ownership, https://cita.or.id/opini/artikel/beneficial-ownership-bo/ Diakses pada
22 November 2018
2 Annet Wanyana Oguttu, “Curbing Treaty Shopping: The Beneficial Ownership Provision
Analysed From A South Africa Perspektive”, The Comparative and International Law Journal of
Southern Africa, Vol. 40, No. 2 (JULY 2007), h.239
51
dengan pemberian wewenang untuk membentuk perjanjian atau mengambil
alih suatu kewajiban yang dalam kenyataan sebenarnya tidak lebih dari
sekedar menjalankan fungsi administratif atau fidusiari dari perusahaan
induk sehingga dapat dikatakan bahwa pihak tersebut hanya mendapat
wewenang yang sangat terbatas dari pemilik sebenarnya. Perkembangan
selanjutnyan kemudian OECD MTC Tahun 2001 mengeluarkan laporan
berjudul “Behind The Corporate Veil: Using Corporate Entities for Illicit
Purposes” dimana BO diartikan sebagai pihak penerima manfaat
sebenarnya.3
Pada sektor perpajakan kemudian perlu menilai siapa penerima manfaat
sebenarnya, misalnya dalam sebuah perusahaan pemilik diartikan sebagai
pemegang saham atau anggota tetapi dalam sebuah partnership, kepentingan
tersebut dipegang oleh pihak rekanan baik itu partner. OECD MTC Tahun
2002 bahwa BO tidak boleh diartikan dalam perspektif teknis yang sempit,
melainkan harus disesuaikan dengan konteksnya dan dengan memperhatikan
tujuan pembentukan tax treaty dimaksud, termasuk dalam kaitannya dengan
upaya mencegah pemajakan berganda serta penghindaran dan penggelapan
pajak.
Pemahaman dalam OECD mengenai BO dengan membuat yang pada
Pasal 10 paragraf 12.4 menjelaskan bahwa nominee, agent atau conduit
company bukan merupakan BO sebab penerima penghasilan tidak
mempunyai keleluasaan untuk menggunakan atau memanfaatkan
penghasilan yang diterimanya. Selain itu,dijelaskan lebih rinci bahwa BO
adalah jika penerima penghasilan (dividen,bunga maupun royalti)
mempunyai keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan
penghasilan yang diterimanya sesuai dengan keputusannya sendiri yaitu,
tanpa kendala oleh adanya ikatan kontrak atau kewajiban secara hukum
untuk meneruskan penghasilan tersebut kepada pihak-pihak lain.
3 Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, “Beneficial Owner dalam OECD Model Tax
Convention (MTC): Sejarah dan Perkembangan
Terkini”http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/2012/kajian/pkpn/Beneficial%20Owne
rship%20-%20Aplikasi%20dalam%20tax%20treaty.pdf , h.1, Diakses pada 1 January 2019
52
Pembaharuan tersebut lalu terjadi kembali pada tahun 2014 dimana istilah
BO telah diterima oleh dewan OECD dengan mengusulkan adanya
pembaharuan atas Commentary dari Pasal 10, 11 dan 12 yaitu terdapatnya
limited rights dimana dalam tersebut tidak terdapatnya kewajiban secara
kontraktual, maka persyaratan BO dianggap telah dipenuhi.4
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Brisbane November 2014
negara yang tergabung dalam kelompok G20 mengadopsi High-Level
Principles on Beneficial Ownership Transparency menggambarkan
transparansi keuangan sebagai masalah “high priority", prinsip tersebut
dibangun berdasarkan the Financial Action Task Force (FATF)
recommendations yang menetapkan standar global saat ini untuk anti
pencucian uang. Sejak Tahun 2003 untuk pertama kalinya membahas
masalah kepemilikan manfaat dan khususnya perlu "otoritas yang
berkompeten" untuk memiliki akses ke BO informasi untuk keperluan
penyelidikan dan penuntutan.5
Sebagaimana yang di definisikan oleh FATF mengenai:6 “Beneficial
owner refers to the natural person(s) who ultimately owns or controls a
customer and/or the natural person on whose behalf a transaction is being
conducted. It also includes those persons who exercise ultimate effective
control over a legal person or arrangement” (Pemilik Beneficial mengacu
pada orang perseorangan yang pada akhirnya memiliki atau mengendalikan
seorang pelanggan dan / atau orang perseorangan atas nama siapa suatu
transaksi dilakukan. Ini juga termasuk orang-orang yang melakukan kontrol
efektif tertinggi atas badan hukum atau pengaturan).
4 Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, “Beneficial Owner dalam OECD Model Tax
Convention (MTC): Sejarah dan Perkembangan
Terkini”http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/2012/kajian/pkpn/Beneficial%20Owne
rship%20-%20Aplikasi%20dalam%20tax%20treaty.pdf , h.2-9, Diakses pada 1 January 2019
5 John Hatchard, Money Laundring: “Public Beneficial Ownership Registers And The
British Overseas Territories: The Impact of Sanction And Money Laundring Act 2018 (UK)”,The
Denning Law Journal, 2018, Vol 30, h.188
6 John Hatchard, Money Laundring: “Public Beneficial Ownership Registers And The
British Overseas Territories: The Impact of Sanction And Money Laundring Act 2018
(UK)”,...h.187
53
Terdapat sepuluh prinsip mencakup elemen-elemen berikut:7
1. Definisi pemilik manfaat
2. Penilaian risiko yang berkaitan dengan badan hukum dan pengaturan
3. Informasi kepemilikan yang menguntungkan dari badan hukum
4. Akses ke informasi Beneficial Ownership dari badan hukum
5. Informasi Beneficial Ownership dari trust
6. Akses ke informasi Beneficial Ownership tentang kepercayaan
7. Peran dan tanggung jawab lembaga keuangan, bisnis, dan profesi
8. Kerjasama domestik dan internasional
9. Informasi Beneficial Ownership dan penggelapan pajak
10. Pembawa saham dan nominasi
Kemudian pada tahun 2014 Guidance Transparancy and Beneficial
Ownership dimana mengatur mengenai BO berdasarkan fakta bahwa
Corporate Vehicles dalam bentuk perusahaan, trust, yayasan, kemitraan dan
jenis-jenis orang dan badan hukum yang melakukan berbagai usaha. FATF
memberikan panduan dan standar bagaimana sebuah negara mengatur
mengenai Legal Arrangement dan Beneficial Ownership. Namun, dalam
dunia perekonomian global tindakan ini sering disalahgunakan seperti
pencucian uang, korupsi, penggelapan pajak, insider transaction dan
pendanaan teroris.
Corporate Vehicles merupakan cara menarik untuk menyamarkan dan
mengubah hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan. Penyalahgunaan
Corporate Vehicles dapat dikurangi apabila informasi kedua pemilik sah dan
pemilik sebenarnya serta sumber aset Corporate Vehicles ini tersedia kepada
pihak berwenang. Informasi Legal Owner dan Beneficial Ownership
sejatinya membantu dalam penegakan hukum dan otoritas lainya, yaitu
dengan mengidentifikasi orang-orang yang memungkinkan memikul
7 Transparancy International “Reviewing G20 Promises on Beneficial Ownership” 2015, h.8
54
tanggungjawab untuk aktifitas yang terlarang atau sebagai pengungkap
informasi dalam kepentingan penyelidikan.8
Pada FATF membuat sebuah kajian yaitu menetapkan standar
transparansi untuk menangkal dan mencegah penyalahgunaan Corporate
Vehicles dan merekomendasikan negara-negara untuk memastikan bahwa
informas memadai, akurat dan tepat atas beneficial ownership dari Corporate
Vehicles dan dapat diakses oleh pihak yang berwenang secara tepat waktu
sebagaimana yang disebutkan dalam Dimana pada Rekomendasi 24 yang
dikeluarkanya menyebutkan “Countries should [must] ensure that there is
adequate, accurate and timely information on the beneficial ownership and
control of legal persons that can be obtained or accessed in a timely fashion
by competent authorities…”.9
Selaras dengan FATF, pada 2014 G-20 di Australia mengadakan
pertemuan yang membahas menganai High-Level Principles on Beneficial
Transparency Ownership yang memuat tentang Negara harus memiliki
definisi "Beneficial Ownership" dimana negara harus memastikan otoritas
yang kompeten menyediakan informasi yang akurat dan terkini mengenai
manfaat kepemilikan manfaat badan hukum dan pengaturan hukum.10
Pada FATF mendefinisikan kepemilikan manfaat dari perspektif yang
berbeda dari dua pendekatan yang berbeda, yaitu:
a. Legal Person
Definisi Beneficial Owner adalah "mengacu pada orang yang alami
(s) yang pada akhirnya memiliki atau mengendalikan pelanggan dan /
atau orang alami atas nama siapa transaksi sedang dilakukan. Ini juga
8 International Monetary Fund, “Panama: Detailed Assesment Report-FTAF
Recommendation for Anti Money Laundering and Combating The Financing Of Terorism”,
Wasington DC: IMF Publication, 2014, h.21
9 International Monetary Fund, “Panama: Detailed Assesment Report-FTAF
Recommendation for Anti Money Laundering and Combating The Financing Of Terorism”,
Wasington DC: IMF Publication, 2014, h.21
10 John Hatchard, Money Laundring: “Public Beneficial Ownership Registers And The
British Overseas Territories: The Impact of Sanction And Money Laundring Act 2018 (UK)”,The
Denning Law Journal, 2018 Vol 30 pp 185-202 h.190
55
termasuk orang-orang yang melakukan kontrol efektif”.11
Orang-orang
alamiah adalah orang yang benar-benar memiliki dan mendapatkan
keuntungan dari modal atau aset orang-orang hukum,orang-orang yang
berada di belakang perusahaan kedua atau perusahaan induk utama
dalam rantai kepemilikan dan yang mengendalikannya. Demikian juga,
orang-orang yang tercantum dalam informasi pendaftaran perusahaan
memegang posisi mengendalikan di dalam perusahaan, tetapi yang
sebenarnya bertindak atas nama orang lain, tidak dapat dianggap sebagai
pemilik manfaat karena mereka pada akhirnya digunakan oleh orang lain
untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap perusahaan.12
b. Legal Arrangement
Definisi FATF dari pengaturan hukum adalah "orang alami yang
pada akhirnya memiliki atau mengendalikan pengaturan hukum,
termasuk orang yang melakukan kontrol yang efektif atas pengaturan
hukum, dan / atau orang alami (s) atas nama siapa transaksi sedang
dilakukan. “Legal Arrangement mengacu pada (trust) kepercayaan yang
diungkap atau sebuah perwalian." Dalam suatu perwalian, kendali atas
suatu aset dipisahkan yang berarti bahwa orang yang berbeda mungkin
memiliki, mendapat manfaat dari, dan mengendalikan kepercayaan,
tergantung pada hukum perwalian yang berlaku dan ketentuan dokumen
yang menetapkan perwalian tersebut (misalnya, akta perwalian).13
Menurut laporan pedoman FATF 2018 informasi Beneficial Ownership
umumnya dikaburkan melalui penggunaan:14
11 Emile van Der Does de W, Emily M. Halter, Robert A. Harrison, Ji Won Park, J.C.
Sharman, “The Puppet Masters: How the Corrupt Use Legal Structures to Hide Stolen Assets and
What to do about It”, The World Bank and UNODC, 2011, h.21
12 FATF Guidance, “Guidance on Transparency and Beneficial Ownership”, (October 2014),
h.8
13 Emile van Der Does de W, Emily M. Halter, Robert A. Harrison, Ji Won Park, J.C.
Sharman, The Puppet Masters: How the Corrupt Use Legal Structures to Hide Stolen Assets and
What to do about It, The World Bank and UNODC, 2011, h.165
14 The Financial Action Task Force (FATF), “Concealment of Beneficial Ownership”, 2018,
h.25
56
1. perusahaan tempurung/ shell companies, di mana kepemilikan asing
tersebar di seluruh yurisdiksi dengan memiliki struktur perusahaan
yang kompleks yang melibatkan distribusi aset. Dengan pengertian
lain yaitu disebut conduit company yaitu perusahaan yang dibentuk
untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan, yang
didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax heaven country) yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, atau bentuk usaha tetap di Indonesia. D
2. struktur kepemilikan dan kontrol yang kompleks
3. bearer shares /saham pembawa, dimana saham perusahaan yang ada
dalam bentuk sertifikat dan dimiliki secara hukum oleh orang yang
memiliki kepemilikan fisik atas saham yang ditanggung sertifikat
pada waktu tertentu. Kepemilikan dan kendali atas saham yang
dibagikan dapat menjadi bertukar secara anonim antara pihak
dengan pertukaran fisik saja, karena tidak tercatat pertukaran perlu
didokumentasikan atau dilaporkan.
4. penggunaan badan hukum secara tidak terbatas sebagai direktur
5. calon pemegang saham formal dan direktur tempat identitas
nominator tidak diungkapkan
6. pemegang saham dan direktur nominasi informal, seperti rekanan
dekat dan keluarga
7. Trust/kepercayaan dan pengaturan hukum lainnya yang
memungkinkan pemisahan kepemilikan hukum dan kepemilikan
manfaat atas aset
8. Perantara dalam membentuk badan hukum.
Pengaturan mengenai karakteristik BO itu sendiri sejatinya telah
diterapkan di Inggris, yang dapat kita temui dalam Stationary Instrumen
United Kingdom (UK) Money Laundering Regulation 2007 atau Instrumen
57
Peraturan Pencucian Uang Inggris 2007 pada Bagian 2 Peraturan 6, definisi
pemilik manfaat adalah:15
1. Korporasi, setiap orang yang memiliki atau mengendalikan lebih dari
25% saham atau hak suara di perusahaan secara langsung atau tidak
langsung;
2. Kemitraan, setiap orang yang memiliki 25% saham atau lebih dari modal
atau laba secara langsung atau tidak langsung, atau lebih dari 5% dari
hak suara, atau menjalankan kontrol atas manajemen kemitraan;
3. Kepercayaan, setiap individu yang berhak atas kepentingan spesifik
setidaknya 25% dari modal properti trust, atau individu yang memiliki
kendali atas trust. Kepentingan khusus lebih lanjut didefinisikan untuk
mencakup kepentingan pribadi yang dimiliki atau dalam sisa atau
pengembalian. Pengendalian berarti kekuatan di bawah instrumen
perwalian untuk membuang, memajukan, meminjamkan, berinvestasi,
membayar atau menerapkan properti perwalian; variasikan kepercayaan,
tambahkan atau singkirkan seseorang sebagai penerima; menunjuk atau
menghapus wali; mengarahkan, atau menahan persetujuan atau memveto
pelaksanaan kekuasaan.
4. Dalam hal lainya, kepemilikan yang menguntungkan berarti seseorang
yang mengendalikan perusahaan atau transaksi pada akhirnya.
Namun, untuk sebutan BO di UK dikenal dengan People with Significant
Control (PSC) sebagai orang yang memiliki kontrol signifikan atas
perusahaan, dimana Perusahaan terbatas di Inggris, Wales, Skotlandia
dan Irlandia Utara dapat mencari perusahaan di situs Companies House,16
dimana tanggung jawab pendaftaran pada Companies House di bawah
Departemen Badan Usaha dan Reformasi Regulasi (Department for Business
15 Anissa Tri Nuruliza, “Disclosure Of Ultimate Beneficial Ownership in Indonesia”,
(Thesis- Tilburg University, International Businness Law Program, 2016), h.41
16 Fedorico Mor, “Registers of beneficial ownership”, House of Commons Library, no.8259,
2018, h.5
58
Enterprise and Regulatory Reform).17
Seperti halnya dalam terkandung
dalam paragraf 2-6 dari jadwal 1A dari Companies Act 2006 terdapat 5
kondisi status PSC yaitu:18
1. Secara langsung atau tidak langsung memiliki lebih dari 25% saham
2. Secara langsung atau tidak langsung memegang lebih dari 25% hak
suara
3. Secara langsung atau tidak langsung memiliki hak untuk menunjuk atau
mengeluarkan mayoritas direktur
4. Sebaliknya memiliki hak untuk mengendalikan, atau memberi pengaruh
signifikan atau suatu kontrol kegiatan perwalian atau perusahaan
5. wali amanat dari (trust) kepercayaan atau anggota perusahaan yang di
bawah hukum yang mengaturnya, bukan secara sah memenuhi
persyaratan yang ditentukan sehubungan dengan perusahaan dan
memiliki hak untuk berolahraga, atau benar-benar berolahraga, pengaruh
atau kontrol yang signifikan atas kegiatan trust atau perusahaan itu.
Berkaitan dengan jenis hukuman untuk ketidakpastian atau Informasi
palsu terkait BO, UK menerapkan beberapa ketentuan diantaranya :19
a. Apabila gagal mengambil langkah-langkah untuk menentukan apakah
orang tersebut tunduk pada persyaratan pendaftaran: denda dan / atau
penjara 12 (dua belas) bulan.
b. Apabila gagal memberikan informasi, atau memberikan informasi palsu,
untuk mendaftar dipenjara hingga 2 (dua) tahun.
c. Apabila gagal menyimpan dan memelihara register denda dan tambahan
hukuman per hari pelanggaran.
17 https://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_terbatas_(Britania_Raya_dan_Irlandia) Diakses
pada 10 Februari 2019
18 Beneficial Ownership Register Opens On 6 April 2016
https://www.bdo.co.uk/en-gb/insights/business-edge/business-edge-2016/beneficial-ownership-re
gister , Diakses pada 10 January 2019
19 The Law Library of Congress, “Disclosure of Beneficial Ownership in Selected
Countries”, Global Legal Institute Research Center, h.34-35
59
Pada Mutual Report FATF Desember 2018 sesuai dengan Rekomendasi
FATF 40 dan tingkat efektivitas sistem Anti Money Laundring di UK. Pada
Pengajuan informasi dasar atau PSC yang tidak akurat oleh badan hukum di
UK dapat dihukum oleh denda tak terbatas dan / atau penjara dua tahun.
Pengajuan akun yang terlambat adalah dapat dihukum dengan denda GBP 1
000 (mata uang Pound Sterling) atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp
18.472.286.99 yang mana hukuman tersebut berlaku untuk orang
perseorangan, termasuk pemegang sahan, direktur dan pengurus lainya.20
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah UK pada tahun 2016,
Inggris menandatangani “Exchanges of Notes with eight Crown
Dependencies and Overseas Territories” (Pertukaran Notes dengan delapan
Dependensi Crown dan Wilayah Luar Negeri) yang memiliki pusat keuangan
tempat informasi BO akan dibagikan dalam waktu 24 jam dan satu jam
dalam kasus mendesak.21
Hukuman dari ketidakpatuhan yang ada di Amerika menurut Corporate
Transparancy Act 2019 setiap orang yang melanggar akan bertanggung
jawab kepada pemerintah Amerika untuk hukuman perdata tidak lebih dari
$ 10.000 atau setara dengan Rp 142.020.000,00 (Mata Uang Rupiah
Indonesia), sedangkan pidana dan penjara selama tidak lebih dari 3 dan atau
16 tahun yang dimana hal tersebut berlaku bagi setiap orang yang secara
sadar memberikan, atau berupaya memberikan, informasi kepemilikan yang
salah atau curang, termasuk foto identitas palsu atau penipuan; dengan
sengaja tidak memberikan informasi kepemilikan manfaat lengkap atau yang
diperbarui sesuai dengan bagian ini.22
20 The Financial Action Task Force (FATF), “Anti-money laundering and counter-terrorist
financing measures United Kingdom Mutual Evaluation Report”, FATF France, 2018, h.157
21 The Financial Action Task Force (FATF), “Anti-money laundering and counter-terrorist
financing measures United Kingdom Mutual Evaluation Report”, FATF France, 2018, h.153
22 Ballard Sphar LLP, Corporate Transparency Act of 2019 Broadens Beneficial Ownership
Reporting
https://www.moneylaunderingnews.com/2019/03/corporate-transparency-act-of-2019-broadens-b
eneficial-ownership-reporting/ Diakses pada 15 April 2019
60
Berdasarkan Laporan The Financial Action Task Force (FATF),
“Anti-money laundering and counter-terrorist financing measures United
Kingdom Mutual Evaluation Report” UK telah berhasil melakukan sekitar
7.900 investigasi, 2.000 penuntutan dan 1.400 hukuman per tahunnya
mengenai kasus dalam menanggulangi penyalahgunaan tindak pidana
pencucian uang.23
Sejak adanya aturan mengenai pengungkapan BO di UK,
pada november 2016 menurut laporan Global Witness telah terdapat 1,3 juta
perusahaan telah melakukan pengiriman atau pendaftaran data kepemilikan
ke pusat pendaftaran perusahaan di Inggris yaitu melalui Companies House
yang termasuk ke dalam lembaga eksekutif yang berkedudukan di Britania
Raya dibawah Department for Business, Energy and Industrial Strategy atau
BSEI (Departeman Bisnis, Energi dan Strategi Industri).24
Sedangkan pada
tahun 2017 dimana UK telah berhasil mengungkapkan 87% dari perusahaan
untuk mengajukan setidaknya satu pemilik manfaat.
C. Pengaturan Indonesia Mengenai Prinsip Mengenali Beneficial
Ownership dalam Perseroan Terbatas
1. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, selanjutnya disebut Perpres Nomor
13 Tahun 2018, telah diterbitkan sebagai bentuk reformasi hukum dalam
23 The Financial Action Task Force (FATF), “Anti-money laundering and counter-terrorist
financing measures United Kingdom Mutual Evaluation Report”,... h.3
24 Companies House, https://en.wikipedia.org/wiki/Companies_House , Diakses pada 22
Januari 2019
61
menegakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dan tindak pidana pendanaan terorisme di Indonesia.
Peraturan ini juga disebutkan bahwa setiap korporasi wajib
menetapkan pemilik manfaat dari korporasi tersebut paling sedikit
merupakan satu personil yang masing-masing memiliki kriteria sesuai
dengan bentuk korporasi. Pada Pasal 1 Ayat (2) mendefinisikan bahwa
Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau
memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau
pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan
korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik
langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari
dana atau saham korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Presiden ini. Dalam peraturan ini yang
dimaksud dengan korporasi yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum yang meliputi perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan,
koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma dan bentuk
korporasi lainnya.
Setiap korporasi wajib menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi
paling sedikit merupakan 1 (satu) personil yang memiliki masing-masing
kriteria sesuai dengan bentuk Korporasi sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 3 Ayat (2). Adapun kriteria pemilik manfaat dalam
perseroan yang dikategorikan dalam Pasal 4 yaitu:
1) Pemilik Manfaat dari perseroan terbatas merupakan orang
perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki saham lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada
perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
b. memiliki hak suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada
perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
62
c. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima
persen) dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan
terbatas per tahun;
d. memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau
memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris;
e. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau
mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi
dari pihak manapun;
f. menerima manfaat dari perseroan terbatas; dan/atau
g. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham
perseroan terbatas.
2) Orang perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf g merupakan orang
perseorangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
Korporasi menetapkan pemilik manfaat dari korporasi yang
informasinya berdasarkan anggaran dasar dan/akta pendirian korporasi;
dokumen perikatan pendirian korporasi, dokumen keputusan RUPS,
dokumen keputusan rapat organ yayasan, dokumen keputusan rapat
pengurus atau dokumen keputusan rapat anggota; informasi instansi
berwenang. Prinsip mengenali pemilik manfaat oleh korporasi melalui
identifikasi pemilik manfaat dan verifikasi pemilik manfaat.
Pengumpulan informasinya berupa kelengkapan identitas, nomor
identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor; alamat di
negara asal dalam hal warga negara asing, nomor NPWP atau nomor
identitas perpajakan yang sejenis dan hubungan antara Korporasi dengan
Pemilik Manfaat. Dalam Pasal 18 Ayat (3) Perpres ini terdapat pihak
yang dapat menyampaikan informasi terkait pemilik manfaat dari
korporasi yaitu meliputi:
a. pendiri atau pengurus Korporasi;
b. notaris; atau
63
c. pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus korporasi
untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat dari korporasi.
Selain Pemilik Manfaat yang telah ditetapkan oleh korporasi,
Instansi Berwenang dapat menetapkan Pemilik Manfaat lain. Instansi
Berwenang adalah instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah
yang memiliki kewenangan pendaftaran, pengesahan, persetujuan,
pemberitahuan, perizinan usaha, atau pembubaran korporasi, atau
lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang
usaha Korporasi. Sebagaimana dalam Pasal 13 peraturan ini menjelaskan
Penetapan Pemilik Manfaat lain oleh Instansi Berwenang dilakukan atas
dasar penilaian Instansi Berwenang yang bersumber dari:
a. hasil audit terhadap korporasi yang dilakukan oleh Instansi
Berwenang berdasarkan Peraturan Presiden ini;
b. informasi instansi pemerintah atau lembaga swasta yang mengelola
data dan/ atau informasi Pemilik Manfaat, dan/atau menerima
laporan dari profesi tertentu yang memuat informasi Pemilik
Manfaat; dan/atau
c. informasi lain yang dapat dipertanggungiawabkan kebenarannya.
Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud meliputi:
1. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum untuk perseroan terbatas, yayasan, dan perkumpulan;
2. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah untuk koperasi;
3. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan untuk persekutuan komanditer, persekutuan
firma, dan bentuk korporasi lainnya; dan
4. Lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan
bidang usaha Korporasi.
Berkaitan dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum untuk perseroan terbatas dijelaskan
dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 Tentang
64
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut
Perpres Kemenkumham nomor 44 Tahun 2015 yaitu mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.Dimana salah satunya memiliki fungsi yang
dijelaskan dalam Pasal 3 Huruf a yaitu perumusan, penetapan, dan
pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan,
administrasi hukum umum, pemasyarakatan, keimigrasian, kekayaan
intelektual, dan hak asasi manusia;
Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi pada
saat permohonan pendirian, pendaftaran, pengesahan, persetujuan, atau
perizinan usaha Korporasi dilakukan melalui sebagaimana dalam Pasal
19 Ayat (1) peraturan ini melalui:
a. penyampaian informasi Pemilik Manfaat dalam hal Korporasi telah
menetapkan Pemilik Manfaat; atau
b. penyampaian surat pernyataan kesediaan Korporasi untuk
menyampaikan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang
dalam hal Korporasi belum menetapkan Pemilik Manfaat.
Bagi korporasi yang belum menyampaikan informasi Pemilik
Manfaat sebagaimana dimaksud wajib menetapkan dan menyampaikan
informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah Korporasi mendapat izin usaha/tanda terdaftar
dari instansi/lembaga berwenang. Korporasi menyampaikan informasi
atau surat pernyataan Pemilik Manfaat melalui Sistem Pelayanan
Administrasi Korporasi.
Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari korporasi pada
saat Korporasi menjalankan usaha atau kegiatannya sebagaimana dalam
Pasal 20 Ayat (1) dilakukan dengan cara korporasi menyampaikan setiap
perubahan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang
melalui Sistem Pelayanan Administrasi Korporasi. Penyampaian
perubahan informasi Pemilik Manfaat oleh Korporasi kepada Instansi
65
Berwenang wajib disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
terjadinya perubahan informasi Pemilik Manfaat.
Ketentuan dalam Pasal 21 menegaskan bahwa setiap korporasi
kemudian di wajibkan melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat
secara berkala setiap 1 (satu) tahun. Sedangkan, keterkaitanya korporasi,
notaris, atau pihak lain yang menerima kuasa dari Korporasi
sebagaimana dalam Pasal 22 Ayat (1) wajib menatausahakan dokumen
terkait Pemilik Manfaat dari korporasi dalam jangka waktu paling
singkat 5 (lima) tahun sejak tanggal pendirian atau pengesahan
Korporasi. Dalam hal korporasi bubar, likuidator wajib menatausahakan
dokumen terkait Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam jangka waktu
paling singkat 5 (lima) tahun sejak pembubaran Korporasi.
Prinsip mengenali Pemilik Manfaat oleh Korporasi yang dilakukan
pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, pengesahan, persetujuan,
atau perizinan usaha korporasi; dan/ atau korporasi menjalankan usaha
atau kegiatannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1)
meliput identifikasi Pemilik Manfaat dan verifikasi Pemilik Manfaat.
Namun, untuk pemberian sanksi kepada korporasi dalam peraturan ini
tidak membahasnya lebih detail hanya saja di dalam Pasal 24
menyebutkan bahwa untuk korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 14, dan pasal 18 sampai
dengan Pasal 22 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kegiatan kerjasama dan permintaan informasi pemilik manfaat
dapat dilakukan dalam lingkup nasional dan internasional. Pemberian
informasi Pemilik Manfaat secara elektronik oleh Instansi Berwenang
dilakukan melalui pemberian hak akses kepada instansi peminta yang
didasarkan pada kerja sama antara Instansi Berwenang dan instansi
peminta.yang dimaksud berupa permintaan atau pemberian informasi
pemilik manfaat secara elektronik maupun non elektronik. Lingkup
nasional akan berada dibawah naungan Peraturan Indonesia sedangkan
66
untuk Internasional sesuai dengan peraturan dibidang hubungan luar
negeri dan Perjanjian Internsional.
2. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor : PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15 Tentang
Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak
Pidana Pencucian Uang
Adapun BO dikategorikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) yaitu sebagai pengguna jasa yang
berpotensi melakukan tindak pidana pencucian. Adapun pendefinisian
BO dalam Pasal 1 Ayat (7) adalah setiap orang yang:
a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan pada
Pengguna Jasa Kaungan/PJK (ultimately own account);
b. mengendalikan Transaksi nasabah;
c. memberikan kuasa untuk melakukan Transaksi;
d. mengendalikan badan hukum; dan atau
e. merupakan pengendali akhir dari Transaksi yang dilakukan melalui
badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian
Dalam hal penetapan Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme pada Pasal 4
menjelaskan dilaksanakan me1alui penyusunan kategori Pengguna Jasa
yang berisiko tinggi, berdasarkan faktor: a. profil; b. negara; c. bisnis;
atau d. produk dan atau jasa.
Kategori pengguna jasa berdasarkan faktor profil termasuk yaitu
Politically Exposed Person (PEP) terdapat dalam Pasal 1 Ayat (8)
Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keunagan
Nomor: PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15 Tentang Kategori Pengguna
Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang
selanjutnya disebut Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER- 02 / 1.02 /
PPATK / 02 / 15 yaitu PEP adalah orang yang merniliki atau pernah
memiliki kewenangan publik diantaranya adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
67
mengatur tentang penyelenggara negara, dan / atau orang yang tercatat
atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang
berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing.
Mengenai PEP kategori pejabat negara dalam Pasal 5 Huruf A Ayat
(1) meliputi: a) presiden dan wakil presiden; b) menteri, wakil menteri,
dan jabatan yang setingkat menteri; c) anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang meliputi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah; d) hakim agung pada Mahkamah Agung
serta hakim pada semua badan peradilan; e) Hakim Konstitusi; f)
anggota Komisi Yudisial; g) anggota Dewan Pertimbangan Presiden; h)
anggota Badan Pemeriksa Keuangan; i) anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia; j) anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan; k)
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi; 1) kepala perwakilan
Republik Indonesia di luar negen yang berkedudukan sebagai duta besar
luar biasa dan berkuasa penuh; m) gubernur dan wakil gubernur; n)
bupati atau walikota; 0) wakil bupati atau wakil walikota; p) anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau lembaga sejenis di daerah; dan q)
pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang;
Sedangkan dalam Pasal 5 Huruf b menjelaskan mengenai pihak
yang terkait dengan PEP meliputi keluarga inti PEP termasuk anggota
keluarga sampai dengan derajat kedua, perusahaan yang dimiliki,
dikelola, dan/ atau dikendalikan oleh PEP, dan pihak-pihak yang secara
umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP.
Dalam hal calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/ atau BO
termasuk kedalam kategori profil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
maka calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/ at au BO langsung
diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi (high risk) serta dibuat dalam
daftar tersendiri serta dilakukan analisis terhadap tingkat risiko
terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme pada
Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Padal Pasal 12 menjelasakan bahwa
68
pemantauan terhadap Transaksi Pengguna Jasa dan BO dengan
klasifikasi berisiko tinggi (high risk) wajib dipantau paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
D. Skema Beneficial Ownership di Indonesia
Struktur BO ternyata telah ditemukan dalam penanganan kasus korupsi
di Indonesia, yaitu salah satunya kasus tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan oleh Muhammad Nazarudin selaku mantan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Nazarudin didakwa
melakukan pembelian saham di berbagai perusahaan dengan menggunakan
uang hasil korupsi yang dilakukan dengan menggunakan perusahaan yang
tergabung dalam Group Permai. Keterkaitanya dengan Beneficial Owner
yaitu ketika seseorang pemegang saham melalui nominee agreement dalam
perusahaan atau yang sering kita kenal sebagai pemilik sebenarnya dari suatu
perusahaan yang dapat mengendalikan atau korporasi yang sudah dikuasai
keluarganya. Keberadaan Beneficial Owner terbagi menjadi dua yaitu bisa
tercatat secara langsung di dalam strukrur organisasi, maupun tidak secara
langsung.
Skema penggunaan BO tersebut pernah terjadi di Indonesia salah
satunya terdapat dalam kronologis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel dengan adanya kasus berbasis
E-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto. Hasil dari penelusuran Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) posisi Setya Novanto ialah sebagai pemilik
manfaat atau beneficial owner dari PT. Murakabi Sejahtera memiliki confict
of interest dalam proyek E KTP tersebut, yang mana PT Murakabi Sejahtera
merupakan lead Konsorsium Murakabi yang merupakan salah satu
konsorsium peserta lelang E KTP.
Kepemilikan saham Deisti Astriani Tagor dan Reza Herwindo yang
merupakan istri dan anak Setya Novanto di PT. Mondialindo Graha Perdana
yaitu pemegang saham mayoritas perusahaan peserta proyek E-KTP
PT.Murakabi Sejahtera. Kepemilikan saham tersebut ialah 50 % (persen)
69
dipegang Deisti dan Reza memegang 30 % (persen) saham PT.Mondialindo
Graha Perdana yang diuangkap dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Tahun 2017 yaitu oleh Deniarto Mantan Direktur Utama
PT. Mondialindo Graha Perdana dan PT. Murakabi Sejahtera sebagai saksi
untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang
didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan Rp1 miliar dalam
proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-e) yang seluruhnya merugikan
keuangan negara senilai Rp2,3 triliun. Sedangkan Dwina Michaella yaitu
anak perempuan Setnov tercatat sebagai Komisaris PT Murakabi Sejahtera
yang dimana alamat kantor tersebut sama dengan PT. Mondialindo Graha
Perdana yaitu di Menara Imperium lantai 27, Jalan HR Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan. Sementara mayoritas saham PT. Murakabi
Sejahtera dimiliki oleh PT. Mondialindo Graha Perdana yang mana keduanya
berkantor di kantor milik Setya Novanto.
Pemberian fee seluruhnya berjumlah US$7,3 juta. Dalam perinciannya,
Setya Novanto menerima uang dari Made Oka Masagung (kerabat) dan
Irvanto Hendra Pambudi yaitu keponakanya sendiri sekaigus mantan
Direktur PT. Murakabi Sejahtera Perusahaan itu merupakan salah satu
peserta tender e-KTP. Selain itu terdakwa bersama-sama yang lain
melakukan tindak pidana korupsi yang menguntungkan diri sendiri. Setya
Novanto menyalahgunakan wewenang dan kedudukannya sebagai ketua
DPR dalam hal pengadaan barang dan jasa. Sebagai ketua DPR, Novanto
menggunakan wewenang untuk memastikan usulan anggaran proyek
penerapan KTP elektronik yang bernilai Rp 5,9 triliun itu lolos di DPR.
Novanto juga disebut meminta pengusaha yang mengerjakan proyek KTP
elektronik untuk memberikan komisi sebesar 5 persen untuk para anggota
DPR RI di Komisi II.25
25 Kasus E-KTP: Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara, Denda, dan Pencabutan Hak
Politik Lima Tahun https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43579739 Diakses pada 28
November 2018
70
Hal tersebut berimbas merugikan negara dalam jumlah yang besar yakni
2,3 triliun rupiah. Sejumlah uang yang didapatkan oleh para pejabat tersebut
berasal dari seorang Pengusaha, Andi Agustinus alias Andi Narogog.Dalam
proyek KTP Elektronik, Andi berperan penting dalam meloloskan anggaran
Rp 5,9 triliun. Andi membagikan uang kepada sejumlah pimpinan dan
anggota Komisi II DPR, serta Badan Anggaran, demi mendapat persetujuan
nilai anggaran. KPK menyebut bahwa Andi dan Novanto bersamasama
mengondisikan proyek, sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 2,3
triliun.26
Sementara itu transaksi yang digunakan Setnov adalah dengan
skema barter dollar melalui sesama money changer yang berasal dari
PT.Biomorf di negara Mauritus milik pengusaha Johannes Marliem yang
dikirim melalui Irvanto Hendra Pambudi sebesar 3,5 Juta dollar AS dan
Made Oka 1,8 juta dollar AS dan sebesar 2 Juta dollar AS. Uang itu
kemudian diberikan melalui keponakan Setnov, Irvanto Hendra Pambudi
Cahyo, dalam bentuk tunai. 27
26 Zihan Syahayani, “Polemik Kasasus Korupsi KTP Elektronik”, (Jakarta: The Indonesian
Institute, 2017), h.48
27 Zihan Syahayani, “Polemik Kasasus Korupsi KTP Elektronik”,...h.48
71
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAWAN BENEFICIAL OWNER
PADA PERSEROAN TERBATAS DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
A. Problematika Kedudukan Beneficial Owner Dalam Perseroan Terbatas
Terkuaknya kasus Panama Papers Tahun 2016, menjadi sejarah awal
pengungkapan praktik pencucian uang yg dilakukan oleh BO negara dunia.
Kasus Panama Papers tersebut membuka lebih dari 11,5 juta dokumen
rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan Mossack Fonseca.1
Dimana terlebih lagi terdapat 899 nama yang terkuak identitasnya yang
merupakan warga negara Indonesia. Klasifikasi tersebut terdiri dari 803
individu pemegang saham, 10 nama perusahaan, 28 perusahaan ciptaan, 58
pihak berkaitan yang menyembunyikan harta kekayaan di negara bebas
pajak.2
Laporan PPATK Tahun 2018, terdapat 156 kasus melalu korporasi
dalam rentang Tahun 2017 hingga 2018. Namun, terdapat hambatan terbesar
dalam perkembangan kasus TPPU yang bersifat lintas negara, sehingga yang
menyulitkan pengungkapan identitas BO dikarenakan terdapat perbedaan
yurisdiksi, khususnya terkait harta hasil kejahatan yang dilakukan di luar
negeri.3
Dalam OECD MTC 2014, penjelasan mengenai BO berhubungan erat
dengan perjanjian pajak, yaitu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B). Dalam hal ini, BO mengacu pada penerima penghasilan yang
1 Menguak Beneficial Ownership, Membongkar Kamuflase Ekonomi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160620145755-21-139526/menguak-benefici
al-ownership-membongkar-kamuflase-ekonomi, Diakses Pada 14 Mei 2019
2 ICIJ rilis nama-nama orang Indonesia dalam Panama Papers
https://www.rappler.com/indonesia/132525-icij-nama-orang-indonesia-panama-papers-perusahaa
n-offshore Diakses Pada 12 Februari 2019
3 Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), “Buletin Statistik Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme”, vol 105 - November 2018, h.1
72
mempunyai keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan
penghasilan yang diterima sesuai keputusannya sendiri, serta tanpa adanya
kendala akan adanya ikatan kontrak atau kewajiban secara hukum untuk
meneruskan penghasilan tersebut kepada pihak lain.
Konsep BO dalam P3B juga berkaitan erat dengan economic control atau
sering dianggap sebagai pihak yang memiliki keleluasaan dan pengendalian
atas pemanfaatan dan penggunaan penghasilan yang diterima. Penting untuk
diperhatikan bahwa BO dalam konsep P3B bertujuan untuk mencegah
adanya treaty abuse (penyalahgunaan P3B). Pada Guidance Transparancy
and Beneficial Ownership Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Financial
Action Taks Force (FATF), panduan ini berperan dalam terutama untuk
standar internasional dalam memerangi pencucian uang. Dalam Guidance
Transparancy and Beneficial Ownership tersebut, mengatur terkait
Corporate Vehicles, yang merupakan cara menarik untuk menyamarkan dan
mengubah hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan. dalam bentuk
perusahaan, trust, yayasan, kemitraan dan jenis-jenis orang dan badan hukum
yang melakukan berbagai usaha.
Adapun Rekomendasi 24 Paragraph 3 FATF 2014 yaitu Beneficial
owner refers to the natural person(s) who ultimately50 owns or controls a
customer51 and/or the natural person on whose behalf a transaction is being
conducted. It also includes those persons who exercise ultimate effective
control over a legal person or arrangement.4 (Pemilik Beneficial mengacu
pada orang perseorangan yang pada akhirnya memiliki atau mengendalikan
seorang pelanggan dan / atau orang perseorangan atas nama siapa suatu
transaksi dilakukan. Ini juga termasuk orang-orang yang melakukan kontrol
efektif tertinggi atas badan hukum atau pengaturan).
Dalam rezim positif di Indonesia, BO belum memiliki dasar hukum yang
menegaskan kehadiranya. Namun, pada Tahun 2018, Presiden Repubik
4 Financial Action Task Force (FATF), “ FATF Guidance: Transparancy and Beneficial
Ownership”, France 2014, h.8
73
Indonesia mengeluarkan regulasi yang menyinggung tentangnya, yakni
Perpres Nomor 13 Tahun 2018 yang memberikan pengidentifikasian
mengenai konsep BO. Hal terseut, tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) Perpres
Nomor 13 Tahun 2018) tentang definisi BO hanya menekankan pada syarat
utama orang perseorangan yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan
korporasi, pemilik sebenarnya atas dana atau saham korporasi sebagai akibat
dari kepemilikan tiga kewenangan yaitu dalam hal (i) menunjuk atau
memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau
pengawas pada korporasi, (ii) memiliki kemampuan untuk mengendalikan
korporasi, dan (iii) berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kategori BO yang
keberadaanya terdapat dalam Perseroan Terbatas (PT) memiliki klasifikasi
tersendiri yang dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (1) Perpres Nomor 13 Tahun
2018 bahwa Pemilik Manfaat dari perseroan terbatas merupakan orang
perseorangan yang memenuhi kriteria:
a. memiliki saham lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan
terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar
b. memiliki hak suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada
perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar
c. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen)
dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per Tahun;
d. memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau
memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris;
e. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau
mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari
pihak manapun;
f. menerima manfaat dari perseroan terbatas; dan/atau
g. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham
perseroan terbatas.
Pada Pasal 4 Ayat (2) Perpres Nomor 13 Tahun 2018 menjelaskan orang
perseorangan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
74
huruf e, huruf f, dan huruf g merupakan orang perseorangan yang tidak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d. Artinya seorang BO dapat secara langsung
berkedudukan di perseroan dan tercantum dalam anggran dasar dalam huruf
a, b, c dan d. Sedangkan dalam huruf e, f dan g seorang BO dapat
berkedudukan tidak langsung dalam BO yaitu dapat melalui adanya
hubungan atau afiliasi.
Berdasarkan hal tersebut peneliti berpendapat, terdapat kesamaan konsep
menurut peneliti antara FATF Recomendation dan Perpres 13 Tahun 2018
yaitu dalam pendefinisian BO yang merujuk pada orang perseorangan yang
secara ultimate (penerima akhir) memiliki atau mengendalikan pihak
lain (ultimate owns or controls), dan/atau orang perseorangan yang
kepentingannya dikendalikan oleh orang lain. Selain itu, BO juga merujuk
pada orang perseorangan yang melaksanakan kendali efektif secara
keseluruhan (ultimate effective control) terhadap pihak lain atau atas
pengaturan hukum. Kedua, istilah ultimate owns or controls dan ultimate
effective control menggarisbawahi pada suatu keadaan di mana pelaksanaan
kepemilikan atau pengendalian dilakukan baik melalui kendali langsung
maupun tidak langsung.
Pendefinisian tersebut menggambarkan, adanya kewenangan super
power dalam mengendalikan perseroan tanpa perlu berkedudukan langsung
maupun langsung dalam perseroan dengan memiliki kewenangan atau
kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas
tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun. Sebagaimana dapat
ditemui penjelasan pengendalian dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1995 Tentang Pasar Modal dalam Pasal 1 Angka (1) Huruf D berkaitan
dengan Afiliasi yaitu suatu pengendalian adalah adanya hubungan antara
perusahaan dengan pihak, baik langsung maupun tidak langsung,
mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan. Secara tidak langsung
pun pihak tersebut menerima manfaat dari perseroan terbatas dan merupakan
pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.
75
Penjelasan lain mengenai Pengendali dapat juga ditemui dalam
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor : Kep- /BEI/ -2018
Tentang Peraturan Nomor I-V Tentang Ketentuan Khusus Pencatatan Saham
di Papan Akselerasi dalam definisi Nomor I.14 yang mendefinisikan
mengenai Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50%
(lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau pihak yang
mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Emiten
Skala Kecil atau Emiten Skala Menengah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2017
tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Dan
Penambahan Modal Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu Oleh Emiten Dengan Aset Skala Kecil Atau Emiten Dengan Aset
Skala Menengah. Artinya secara seorang BO yang dapat menentukan, baik
langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau
kebijaksanaan perseroan dengan presentase saham lebih dari 50% yang
dimilikinya termasuk dalam Pengendali.
Selaras dengan hal tersebut, penggunaan status BO di Indonesia pernah
terjadi yakni pada kasus E-KTP oleh Setnov seperti dalam kronologis
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel yaitu kasus berbasis E-KTP yang dilakukan
oleh Setnov dan berdasrkan penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) posisi Setya Novanto ialah sebagai pemilik manfaat atau beneficial
owner dari PT. Murakabi. Sebagai ketua DPR, Novanto menggunakan
wewenang untuk memastikan usulan anggaran proyek penerapan E-KTP
elektronik yang bernilai Rp 5,9 triliun itu lolos di DPR bersama dengan Andi
Narogong. Diketahui Setnov memiliki saham pada PT. Murakabi Sejahtera
sebesar 50% yang dipegang oleh Deisti (istri) dan Reza (Anak) memegang
30% saham PT.Mondialindo Graha Perdana. Sedangkan Dwina Michaella
yaitu anak perempuan Setnov tercatat sebagai Komisaris PT Murakabi
Sejahtera yang dimana alamat kantor tersebut sama dengan PT. Mondialindo
76
Graha Perdana yaitu di Menara Imperium lantai 27, Jalan HR Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan. Sementara mayoritas saham PT. Murakabi
Sejahtera dimiliki oleh PT. Mondialindo Graha Perdana yang mana keduanya
berkantor di kantor milik Setya Novanto, sedangkan PT. Murakabi Sejahtera
memiliki confict of interest dalam proyek E KTP tersebut, yang mana PT
Murakabi Sejahtera merupakan lead Konsorsium pada peserta lelang E KTP.
Selain itu adanya keterlibatan Made Oka Masagung (kerabat Setnov) dan
Irvanto Hendra Pambudi (keponakanya Setnov sekaigus mantan Direktur PT.
Murakabi Sejahtera).
Dalam hal tersebut, Setnov dapat pula dikatakan sebagai pengendali dari
PT.Murakabi Sejahtera yang mengatasnamakan kepemilikan saham atas
nama istri dan anaknya, dengan kata lain adanya hubungan perkawinan dan
keturunan dalam perseroan tersebut, sebagimana yang dijelaskan dalam Pasal
1 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Pasar Modal. Serta adanya hubungan
antara perusahaan dan pemegang saham utama sebagaimana dalam Pasal 1
Ayat (1) Huruf f Undang-Undang Pasar Modal, yang dimana "pemegang
saham utama" merupakan Pihak yang baik secara langsung maupun tidak
langsung, memiliki sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) hak
suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh
suatu Perseroan atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Di sisi lain, Setnov yang berperan sebagai Ketua DPR dapat
menentukan kebijakan proyek pemerintah dan mengendalikan serta memberi
pengaruh kepada Irvanto untuk meloloskan PT. Murakabi Sejahtera dalam
proyek E-KTP, sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (1) Huruf d
Undang-Undang Pasar Modal yaitu adanya hubungan antara perusahaan
dengan (Pihak) baik langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau
dikendalikan oleh perusahaan tersebut dengan cara apa pun pengelolaan dan
atau kebijaksanaan perusahaan. Berdasarkan kasus tersebut yang dijadikan
peneliti sebagai acuan dalam mengungkap keberadaan BO dalam perseroan,
77
peneliti berpendapat disini terdapat kompleksitas dalam menentukan
keberadaan BO dalam struktur kepemilikan dalam perseroan.
Adapun skema lain, yang peneliti temukan dalam penggunaan BO dalam
pada perseroan terafiliasai yang dapat dijadikan perbandingan dalam
membuka jejaring skema BO di Indonesia. Laporan dari Koalisi Anti Mafia
Hutan Tahun 2018 dalam ”Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan
Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp dan Paper (APP) di Indonesia”5 pada
perusahaan APP tersebut terdapat 24 dari 27 pemasok kayu yang disebut
APP sebagai mitra “independen” terindikasi memiliki kaitan erat dengan
Sinar Mas Grup. Dari ke-24 perusahaan ini, sebagian besar termasuk dalam
perusahaan induk (holding company),6 antara perusahaan Hutan Tanaman
Industri atau HTI di Sumatera sebagai pemasok serat kayu dengan
perusahaan-perusahaan yang kepemilikan sahamnya terafiliasi dengan Sinar
Mas Grup, terdaftar berdomilisi di alamat yang sama dengan Kantor Pusat
Sinar Mas Grup (Plaza BII, Jl. Thamrin No. 51, Jakarta Pusat) atau di Wisma
Indah Kiat, di suatu pabrik kertas APP di Serpong (PT Indah Kiat Pulp &
Paper Tbk di Jl. Raya Serpong Km 8, Serpong Utara, Tangerang, Banten).
Kepemilikan saham mayoritas dan minoritas ke-24 perusahaan ini
mengalir melalui 22 perusahaan induk dan berujung pada delapan (8)
nama/orang, yang mana tujuh (7) diantaranya masih atau pernah menjabat
posisi tertentu pada perusahaan yang dikendalikan oleh Sinar Mas Grup.
Adapun ke-7 nama tersebut menjabat atau pernah menjabat berbagai posisi,
seperti bagian sumberdaya manusia PT Wirakarya Sakti, atau bagian
keuangan dan akuntansi PT Arara Abadi, yang mana kedua perusahaan ini
5 Koalisi Anti Mafia Hutan, ”Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan
Pemasok Kayu Asia Pulp dan Paper (APP) di Indonesia”, 2018, h.22-23
6 Holding company atau sering disebut perushaan induk ialah suatu perusahaan yang
bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain atau mengatur satu atau
lebih perusahaan lain tersebut dengan tujuan untuk menguasai sebagian besar saham dari badan
usaha yang akan dipengaruhinya. Lihat Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma
Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.84
78
memiliki konsesi.7 Terdapat juga, 16 komisaris dan direktur di perusahaan
pemasok “independen” dan perusahaan induknya, mereka terindikasi
sebagai pejabat atau pernah menjabat di perusahaan yang terafiliasi dengan
Sinar Mas Grup. Data publik yang tersedia di pemerintah menunjukan
terdapat lima (5) anggota Keluarga Widjaja (pemilik Sinar Mas Grup) yaitu
diantaranya (dua anak dan 1 cucu) Teguh Ganda Wijaya, Indra Widjaja,
Franky Oesman Widjaja, Muktar Widjaja, Linda Suryasari Wijaya Limantara,
Margaretha Natalia Widjaja, Fuganto Widjaja dan lebih dari 20 perusahaan
cangkang di negara surga pajak (offshore jurisdictions) yang terdaftar di
Singapura, Hong Kong, British Virgin Islands, Mauritius, Jepang, Malaysia
dan Belanda. merupakan pemilik manfaat (beneficial owners) perusahaan
pemasok “milik sendiri” dan pabrik APP di Indonesia. Dokumen profil
perusahan dari Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU),
kepemilikan APP terhadap perusahaan-perusahaan tersebut mengalir melalui
PT. Purinusa Ekapersada, sebuah perusahaan induk yang selain memiliki
merk APP juga perusahaan yang mengkonsolidasi banyak anak usaha pulp
and paper APP dan Sinar Mas Grup. Dimana secara bersama, lima (5)
anggota Keluarga Widjaja menjadi pemegang saham pengendali pada PT
Purinusa Ekapersada.8
Berdasarkan hal tersebut, hal ini menggambarkan sulitnya
pengungkapan keberadaan BO dalam perseroan akibat kompleksitasnya
struktur kepemilikan dalam perseroan dapat serta tidak adanya kejelasan
kedudukan BO dalam UUPT 2007. Maka, dalam mengidentifikasi
7 Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau
entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada pembukaan tambang dan penebangan hutan.
Model konsesi umum diterapkan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil.
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Konsesi, Diakses pada 15 Desember 2018
8 Data yang diolah dari Ditjen AHU, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusi oleh
Koalisi Anti Mafia Hutan Tahun 2018. Lihat Koalisi Anti Mafia Hutan, ”Analisis Struktur
Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp dan Paper (APP) di
Indonesia”, (Jakarta: Koalisi Anti Mafia Hutan. 2018), h.19
79
kedudukanya peneliti membandingkan dengan hak-hak dari pemegang
saham sesuai dengan UUPT 2007 dengan kriteria BO dalam perseroan
terbatas pada Pasal 4 Ayat (1) pada Perpres Nomor 13 Tahun 2018.
Berkaitan dengan kriteria BO pada Pasal 4 Ayat (1) Huruf a, b, dan c
dalam Perpres Nomor 13 Tahun 2018 menyatakan bahwa BO memiliki
saham, hak suara dan menerima keuntungan atau laba bersih lebih dari 25%
(dua puluh lima persen), dimana jika dikaitkan dengan prinsip umum saham,
bahwa saham yang dimiliki oleh pemegang saham akan memberikan hak
kepada pemegang saham dalam perseroan.9 Seperti halnya terdapat pada
Pasal 52 ayat (1) dalam UUPT yaitu :
1. Menghadiri dan mengeluarkan suara saham dalam RUPS
2. Menerima pembayaraan dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi
3. Menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT
Ketentuan umum mengenai hak suara pemegang saham dalam Pasal 84
Ayat (1) UUPT menyatakan bahwa setiap saham yang dikeluarkan,
mempunyai satu hak suara kecuali anggaran dasar menentukan lain.
Sedangkan, mengenai hak pemegang saham atas dividen diatur dalam pasal
71 ayat (2) UUPT, bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan
untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat (1) UUPT
dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen,
Dalam kriteria BO terdapat kriteria orang perseorangan yang dapat
memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau
memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris. Hal tersebut
jika merujuk pada klasifikasi saham dalam UUPT, adapun saham dengan hak
suara khusus atau saham prioritas dalam Pasal 53 Ayat (4) Huruf b UUPT
yaitu hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris. Adapun pengangkatan dan pemberhentian direksi dan
9 Gunawan widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Hak Individual & Kolektif Para
Pemegang Saham, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), h. 69
80
komisari merupakan kewenangan ekslusuf dari RUPS.10
Prinsip ini
ditegaskan dalam Pasal 105 Ayat (1) UUPT bahwa Anggota Direksi dapat
diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS. Hal tersebut
berlaku pula terhadap pengangkatan dewan komisaris dimana dalam Pasal
111 Ayat (1) UUPT yang berwenang dalam mengangkat dewan komisaris
ialah RUPS yang kemudian diatur secara detail melalui Anggaran dasar (AD)
mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota
Dewan Komisaris serta dapat juga mengatur tentang pencalonan anggota
Dewan Komisaris. Hal tersebut sejalan dengan M. Yahya Harahap dalam
bukunyan Hukum Perseroan Terbatas Pemberian kewenangan kepada RUPS
memberhentikan anggota direksi dan komisaris merupakan kekuasaan utama
inherent power / kekuatan yang melekat pada pemegang saham melalui
RUPS dalam mengontrol direksi.
Peneliti kemudian membandingkan dengan ketentuan mengenai
Pemegang Saham Utama dalam penjelasan dalam Penjelasan Pasal 1 Ayat
(1) Huruf f UU Pasar Modal bahwa pemegang saham utama adalah Pihak
yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) hak suara dari seluruh
saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu Perseroan
atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal. Sedangkan, dalam Kep- /BEI/ -2018 Tentang
Peraturan Nomor I-V Tentang Ketentuan Khusus Pencatatan Saham di Papan
Akselerasi yaitu ialah pihak yang, baik secara langsung maupun tidak
langsung memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) hak suara dari
seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu
perusahaan atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2017 tentang
10 Mulhadi, Hukum Perusahaan (Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia), (Jakarta:
Ghalia Indonesia,2010, Cet.Pertama), h.101
81
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Dan Penambahan
Modal Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Oleh
Emiten Dengan Aset Skala Kecil Atau Emiten Dengan Aset Skala
Menengah.
Berdasarkan perbandingan ketentuan Pemegang Saham Utama yang
dilakukan peneliti, artinya presentase kepemilikan saham, hak suara dan
penerimaan keuntungan atau laba lebih dari 25% dalam kriteria BO pada
Perpres Nomor 13 Tahun 2018 termasuk dalam kategori pemegang saham
utama. Dikarenakan yang dikatakan sebagai pemegang saham utama apabila
memiliki paling sedikit 20 % hak suara dari seluruh saham. Sehingga
menjadi konsekuensi logis, bahwa BO memiliki kedudukan yang saham
dengan pemegang saham utama berdasarkan dari hak yang dimilikinya.
Maka, menurut prinsip umum saham yaitu saham yang dimiliki oleh
pemegang saham akan memberikan hak kepada pemegang saham dalam
suatu perseroan terbatas.
B. Tanggung Jawab BO Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang
Kasus pencucian uang melalui entitas korporasi dengan tindak pidana
asal korupsi masih marak di Indonesia, terkait dengan putusan pengadilan,
berdasarkan hingga Oktober 2018 terdapat 156 putusan pengadilan terkait
TPPU. Jumlah putusan pengadilan TPPU berdasarkan tindak pidana asal
Korupsi menempati peringkat kedua (ke-2) setelah narkotika jika
diakumulasi sejak Tahun 2005 sampai oktober 2018. Sedangkan melalui
menurut PPATK pihak yang berhasil diaudit mengenai transaksi yang
mencurigakan terkait TPPU yaitu Bank terdapat 303, perusahaan properti
183, kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing terdapat 108. Korupsi masih
menjadi permasalahan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Indeks
82
Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2018 Indonesia menempati posisi ke-89 dari
180 negara.11
Skema pencucian uang melalui korporasi sebagaimana kasus yang
ditemukan oleh peneliti seperti halnya yang menjerat kasus Setnov dalam
kasus E-KTP yang ditetapkan sebagai BO dari PT. Murakabi Sejahtera yang
memiliki confict of interest dalam proyek E KTP tersebut, yang mana PT
Murakabi Sejahtera merupakan lead Konsorsium peserta lelang E KTP.
Diketahui bahwa Setnov memiliki saham pada PT. Murakabi Sejahtera
sebesar 50% yang dipegang oleh Deisti (istri) dan Reza (Anak) memegang
30% saham PT.Mondialindo Graha Perdana yang diuangkap dalam sidang di
pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tahun 2017 yaitu oleh Deniarto
Mantan Direktur Utama PT. Mondialindo Graha Perdana dan PT. Murakabi
Sejahtera. Sedangkan, Dwina Michaella yaitu anak perempuan Setnov
tercatat sebagai Komisaris PT Murakabi Sejahtera yang dimana alamat
kantor tersebut sama dengan PT. Mondialindo Graha Perdana yaitu di
Menara Imperium lantai 27, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta
Selatan.
Sebagai ketua DPR, Novanto menggunakan wewenang untuk
memastikan usulan anggaran proyek penerapan KTP elektronik yang bernilai
Rp 5,9 triliun itu lolos di DPR bersama dengan Andi Narogong. Kemudian
uang tersebut dibagikan kepada sejumlah pimpinan dan anggota Komisi II
DPR, serta Badan Anggaran. Selain itu adanya keterlibatan Made Oka
Masagung (kerabat Setnov) dan Irvanto Hendra Pambudi (keponakanya
Setnov sekaigus mantan Direktur PT. Murakabi Sejahtera dalam memberikan
fee sebesar US$7,3 juta. transaksi yang digunakan Setnov adalah dengan
skema barter dollar melalui sesama money changer yang berasal dari
PT.Biomorf di negara Mauritus milik pengusaha Johannes Marliem yang
dikirim melalui Irvanto Hendra Pambudi sebesar 3,5 Juta dollar AS dan
11 Refleksi Akhir Tahun 2017 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
http://www.ppatk.go.id/backend/assets/uploads/20171219165527.pdf, h.6. Diakses pada 12
Februari 2019
83
Made Oka 1,8 juta dollar AS dan sebesar 2 Juta dollar AS. Uang itu
kemudian diberikan melalui keponakan Setnov, Irvanto Hendra Pambudi
Cahyo, dalam bentuk tunai. Uang tersebut tidak serta merta ditransfer secara
langsung kepada Setnov melainkan diputar melalui money changer dengan
transaksi barter. Transaksi internasional itu kemudian ditampung oleh dua
pihak yakni Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (Direktur PT Murakabi
Sejahtera), peserta lelang, dan Made Oka Masagung sebagai pemilik PT
Delta Energy yaitu Melalui Made oka Masagung, seluruhnya berjumlah 3,8
juta dolar Amerika lewat rekening OCBC Center Branch atas nama OEM
Investment, PT, Ltd. Kemudian kembali ditransfer sejumlah 1,8 juta dolar
Amerika ke rekening Delta Energy, di Bank DBS Singapura, dan sejumlah 2
juta dolar Amerika. Sedangkan, melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo,
keponakan Novanto, tercatat transaksi 19 Januari - 19 Februari 2012
seluruhnya berjumlah 3,5 juta dolar Amerika. Sehingga, Setnov didakwa
memperkaya diri sendiri sebesar 7,3 juta dolar Amerika serta jam tangan
mewah merek Richard Mille seharga Rp 3,5 miliar dari Johannes Marliem
sebagai Direktur PT Biomor, vendor penyedia AFIS merek L1 pada proyek
e-KTP. Dimana hal tersebut terdapat tahapan Layering yaitu suatu upaya
untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidanayang telah
berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai
hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan lain. Juga
menggunakan Legitimate business conversions yaitu metode ini dilakukan
melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan
dari suatu hasil uang kotor. Hasil uang kotor ini kemudian dikonvensi dngan
cara ditransfer, cek atau cara pembayaran lain untuk disimpan direkening
bank atau ditransfer kemudian kerekening bank lainnya. Biasanya para
pelaku bekerja sama dengan suatu perusahaan yang rekeningnya dapat
dipergunakan untuk menampung uang kotor tersebut.
Berdasarkan skema tersebut adanya relevansi terkait dengan Politically
Exposed Person (PEP) Pasal 1 Ayat (8) Peraturan Kepala Pusat Pelaporan
Dan Analisis Transaksi Keunagan Nomor: PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15
84
Tentang Kategori Pengguna Jasa Yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana
Pencucian Uang yaitu PEP adalah orang yang merniliki atau pernah memiliki
kewenangan publik diantaranya adalah penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penyelenggara negara, dan / atau orang yang tercatat atau pernah tercatat
sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan
dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia
maupun yang berkewarganegaraan asing. Setnov termasuk dalam PEP
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasa1 5 A Ayat (1) pejabat negara yaitu
meliputi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang meliputi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan, pihak yang terkait dengan Setnov terdiri dari keluarga inti
termasuk anggota keluarga sampai dengan derajat kedua, perusahaan yang
dimiliki, dikelola, dan/ atau dikendalikan oleh PEP dan pihak-pihak yang
secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP
dimana dalam hal ini yaitu adanya keterlibatan istri, anak, keponakan dan
kerabat dekat atau dapat dikatakan perseroan tersebut merupakan perseoran
yang terafiliasi.
Sedangkan dalam tataran undang-undang kaitanya dengan afilasi dalam
perseroan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal mendefinisikan adanya
hubungan antara yaitu:
a. keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua baik
horizon maupun vertikal.
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari
Pihak tersebut. Misalkan seseorang yang bekerja pada Pihak lain, di
mana Pihak lain tersebut mempunyai kewenangan untuk mengendalikan
dan mengarahkan orang dimaksud untuk melakukan pekerjaan dengan
memperoleh upah atau gaji secara berkala.
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih
anggota direksi atau dewan komisaris yang sama
85
d. hubungan antara perusahaan dengan (Pihak) baik langsung maupun tidak
langsung mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut
dengan cara apa pun pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan baik langsung
maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama yang dimana
"pemegang saham utama" merupakan Pihak yang baik secara langsung
maupun tidak langsung, memiliki sekurang-kurangnya 20% (dua puluh
perseratus) hak suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara
yang dikeluarkan oleh suatu Perseroan atau jumlah yang lebih kecil dari
itu sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Berdasarkan hal tersebut kaitanya dengan Perpres Nomor 13 Tahun 2018
yaitu dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf e. memiliki kewenangan atau kekuasaan
untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus
mendapat otorisasi dari pihak manapun; f. menerima manfaat dari perseroan
terbatas; dan g. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan
saham perseroan terbatas dapat diperluas penafsiranya yaitu terhadap
keterkaitanya dengan perusahaan yang terafiliasi dan dapat pula timbul dari
adanya peran dari PEP itu sendiri. Adanya PEP dalam struktur kepemilikan
korporasi mengindikasikan potensi konflik kepentingan karena adanya
double power dimana pejabat memiliki kewenangan dalam ranah politik dan
ekonomi. Sehingga menurut peneliti pemerintah harus menerapkan kebijakan
pro-active disclosure terhadap pengungkapan data BO ini.
Dimana hal tersebut menurut peneliti diperlukan pengawasan yang
progresif dari pemerintah dalam hal pengungkapan pemilik manfaat yang
bertindak baik langsung maupun tidak langsung. Namun, jika kita melihat
struktur kepemilikan yang kompleks dari suatu perseroan terafiliasi sangat
berpotensi untuk menyembunyikan status BO yang bertindak secara tidak
langsung sebagaimana kategori Pasal 4 Huruf e, f dan g.
Sehingga dalam mengidentifikasi bentuk pertanggungjawaban yang
dikenakan kepada BO penting untuk mengidentifikasi sudut pandang
86
perbuatan yang menyebabkan kerugian khususnya TPPU, dimana bentuk
pertanggungjawaban ditentukan berdasarkan kebenaran materil. Berdasrkan
sudut pandang hukum pidana BO dapat dimintai pertanggungjawaban
dengan melakukan perluasan dari apa yang dilakukan dan yang menjadi
niatnya. Dalam hukum pidana Indonesia dikenal perluasan
pertanggungjawaban pidana atau disebut penyertaan (deelneming). Menurut
Moeljatno menyatakan bahwa penyertaan adalah apabila ada lebih dari satu
orang yang tersangkut dari terjadinya suatu tindak pidana, karena sejatinya
tidak semua orang yang terlibat dapat dikatakan peserta dalam pemaknaan
Pasal 55-56 KUHP. Hal tersebut relevan dengan pengkategorian yang
dilakukan menurut Zevenbergen, Van Hamel, Simons, dan Vos yang
menyatakan ada dua kategori peserta yaitu:12
a. Peserta yang berdiri sendiri (zelfstandige deelnemers)
b. Peserta yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelnemers)
Jika dilihat dari skema tersebut, BO yang memegang peran tertinggi
(ultimate/penerima akhir) dalam struktur kepemilikan yang kompleks dengan
peran dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris,
pengurus, pembina, atau pengawas Korporasi, memiliki kemampuan untuk
mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari
Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik
sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dapat dikategorikan termasuk
peserta yang tidak berdiri sendiri. Dalam penyertaan dikenal adanya empat
macam pernyataan dilihat dari pasal 55 KUHP yaitu bagi mereka yang:
1. Menyuruh melakukan
2. Turut melakukan
3. Menganjurkan untuk melakukan/menggerakan untuk melakuka
4. Turut membantu/membantu melakukan
Sedangkan, dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang TPPU, perluasan
pertanggungjawaban pidana tedapat dalam Pasal 10 UU TPPU yang
12 Moeljatno, Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: PT Bina Aksara,
1985), h. 63.
87
menyatakan: “Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan,
pembantuan, atau Permufa katan Jahat untuk melakukan tindak pidana
Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.”
Penjelasan mengenai Pemukatan Jahat terdapat pula dalam Pasal 1 Ayat
(15) yaitu perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Dengan demikian baik KUHP
maupun UU TPPU pada dasarnya dapat menjerat untuk setiap orang yang
menyalahgunakan status BO untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
Adapun perbandingan yang peneliti temukan dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yang terdapat pengaturan pula mengenai PCV yaitu
berkaitan dengan personil pengendali dalam korporasi Pasal 1 Ayat (14)
yaitu setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu
kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya. Sedangkan
alam Pasal 6 Ayat (2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak
pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Sedangkan dalam Pasal 9 Ayat (1) yaitu dalam hal korporasi tidak
mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat
(1) pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan
putusan pidana denda yang dijatuhkan. Sedangkan, dalam Ayat (2)
menjelaskan bahwa dalam hal penjualan harta kekakyaan milik Korporasi
yang dirampas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak mencukupi,
88
pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali
Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Sehingga, BO yang melakukan TPPU dapat dikenakan doktrin
pertanggungjawaban korporasi atau criminal liability yang dimaksudkan
untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan
atas pidananya atau tidak terhadap tindakan yang dilakukan salah satunya
menerapkan doktrin identification yaitu doktirn yang melihat dari sudut
pandang perbuatan atau sikap batin dari pejabat senior korporasi yang dapat
mempengaruhi perseroan berarti dapat dianggap sebagai sikap korporasi.
Sedangkan, menurut Lord Diplock bahwa pejabat senior adalah mereka yang
berdasarkan memorandum dan ketentuan-ketentuan yayasan atau hasil
keputusan para direktur atau keputusan rapat umum perusahaan, telah
dipercaya untuk melaksanakan kekuasaan perusahaan. Sehingga dari
pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pejabat senior adalah
individu dengan jabatan tinggi dan memiliki kewenangan yang besar.
Penerapan doktirn tersebut juga selaan dengan apap yang dikemukakan
Sutan Remy S. dalam menentukan “directing mind” atau kata lain sikap
mempengaruhi kebijakan perusahaan yaitu dengan melihatnya secara formal
yuridis, dimana salah satunya melalui anggaran dasar korporasi tersebut atau
surat-surat keputusan yang dikeluarkan secara resmi oleh perusahaan.13
Sehingga dallam menetapkan BO untuk dapat dijadikan subjek yang
bertanggung jawab penuh atas tidakanya perlu melihatnya secara kenyataan
dalam operasional kegiatan korporasi tersebut kasus demi kasus. Hal ini
dikarenakan, pada beberapa kasus dengan melibatkan BO, ternyata individu
yang secara legal memiliki jabatan dengan kewenangan sebagai “directing
mind”, masih juga dapat dipengaruhi oleh individu-individu lain dengan
jabatan yang secara yuridis tidak memiliki kewenangan, seperti pemegang
saham mayoritas dengan hubungan atau Afiliasi tertentu. Teori ini disebut
13 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti
Pers, 2006), h.104-105
89
juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” atau “teori organ” sebagaimana
dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yaitu pertanggungjawaban secara
pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap pejabat senior saja melainkan
juga dapat dibebani kepada mereka yang berada dibawahnya. Namun, dalam
pembuktian tersebut dikarenakan struktur kepemilikan saham semakin
kompleks diperlukan tindakan dari pemerintah yang progresif dlam
melakukan pelacakan keberadaan BO.
Pada kenyataan dalam mengungkap status kepemilikan ini menurut
laporan Publish What You Pay (PWYP) dalam pengungkapan BO dalam
sebuah Perseroan Terbatas yang sebenarnya melalui dokumen yang terekam
di sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia seringkali tak membuahkan hasil. Legal entity yang didapat
dari AHU itu belum memadai dan hanya dapat tertembus layer 3 dan ke-4
akan tetapi tidak bisa mencari Perseroan Terbatas yang berkedudukan hukum
di luar Indonesia seperti negara tax haven.14
Berdasarkan laporan Global Financial Integrity Tahun 2014, Indonesia
menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram (illicit
financial flow/IFF) terbesar di dunia. IFF di Indonesia Tahun 2003-2012
mencapai US$187.884 juta atau rata-rata Rp169 triliun per Tahun. Pada
Tahun 2014, IFF Indonesia diperkirakan mencapai Rp227,7 triliun atau
setara 11,7 persen APBN-P pada Tahun tersebut. Di sektor Pertambangan,
diperkirakan Rp23,89 triliun, sebesar Rp21,33 triliun berasal trade
miss-invoicing, dan Rp2,56 triliun dari aliran uang panas/hot money narrow.
Sedangkan, laporan yang dirilis ONE Tahun 2014 memerkirakan, negara
berkembang kehilangan sekitar US$1 triliun per Tahun atau sekitar Rp10
ribu triliun sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara.
14
Pengungkapan Beneficial Owner „Pintu Masuk‟ Kejar Korporasi Penghindar Pajak
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59315073bc40e/pengungkapan-ibeneficial-owner-i-p
intu-masuk-kejar-korporasi-penghindar-pajak. Diakses pada 27 November 2018
90
Beberapa di antaranya melibatkan perusahaan dengan kepemilikan yang
tidak jelas/unclear ownership.15
Keberadaan BO juga tidak terlepas dengan pihak ketiga. Jika kita
cermati secara implisit perjanjian nominee memiliki unsur-unsur yaitu:
1. Adanya perjanjian pemberi kuasa antara dua pihak, yaitu Beneficial
Owner sebagai pemberi kuasa dan Nominee sebagai penerima kuasa
yang berdasarkan atas kepercayaan.
2. Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum
terbatas
3. Nominee bertindak sebagai perwalian dari Beneficial Owner di depan
hukum
Ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Penanaman Modal
mengatur bahwa baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing dilarang membuat perjanjian dan atau pernyataan yang menegaskan
bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama
orang lain. Dalam hal ini, telah ditetapkan konsekuensi hukum yang diatur
dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Penanaman Modal dimana
perjanjian atau pernyataan tersebut dinyatakan batal demi hukum, sehingga
dalam hal ini menurut peneliti selain negara mewajibkan transparansi BO,
akan menjadi urgensi penting pula untuk turut serta mengungkap keberadaan
nama fiktif atau nominee kepemilikan saham tersebut dengan memasukannya
kedalam daftar merah yang dibuat oleh pemerintah dan diikutsertakan untuk
bertanggung jawab dalam hal pengungkapan tindak pidana pencucian uang.
Dalam Perpres Nomor 13 Tahun 2018, dalam hal ini masih adanyanya
celah ketidakpatuhan perseroan terhadap tersebut dikarenakan belum adanya
upaya yang progresif dari pemerintah baik pengungkapan nominee
kepemilikan saham maupun beneficial ownership di Indonesia. Sejalan
dengan pokok pemikiran Prof. Satjipto Raharjo dalam Teori Hukum
15 Menguak Beneficial Ownership, Membongkar Kamuflase Ekonomi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160620145755-21-139526/menguak-beneficial-owner
ship-membongkar-kamuflase-ekonomi, Diakses pada 14 Mei 2019
91
Progresif dimana hukum yang progresif dan futuristik harus mengatur
substansi hukum yang tidak haya bersifat represif semata tetapi harus
mengatur substansi hukum yang bersifat preventif sebagai pencegah hal-hal
yang telah terjadi maupun hal-hal yang berpotensi akan terjadi.16
Karena
pada dasarnya penemuan BO disuatu perseroan dengan ditutupi struktur
kepemilikan yang kompleks sebagaimana kasus E-KTP Setnov dan APP
dengan Sinar Mas Group, menurut peneliti sangat diperlukanya peraturan
yang bersifat teknis selanjutnya dalam menindaklanjuti pengawasan yang
lebih progresif terhadap setiap perseroan terbatas dari pihak pemerintah dan
penerapan sanksi administratif terhadap perseoran terbatas yang tidak patuh
terhadap peraturan.
Sanksi sejatinya ialah ancaman hukuman, merupakan satu alat pemaksa
guna ditaatinya suatu kaidah, Undang-undang, norma-norma hukum. Adapun
beberapa macam sanksi administratif, yaitu:17
a. Peringatan/teguran lisan;
b. Peringatan/teguran tertulis;
c. Tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/politie dwang)
d. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan
e. Denda administratif
f. Pengenaan uang paksa (dwangsom).
Berdasrkan hal tersebut, berkaca pada penerapan Prinsip Pemilik
Manfaat di UK dimana terdapat jenis hukuman untuk ketidakpastian atau
Informasi palsu terkait BO, UK menerapkan beberapa ketentuan
diantaranya :18
16 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif. (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2010), h.55
17 Wicipto Setiadi, “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Alat Instrumen Penegakan
Hukum”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.6, No.4, (14 Desember 2009), h.608
18 The Law Library of Congress, Global Legal Institute Research Center, “Dosclosure of
Beneficial Ownership in Selected Countries”,... h.34-35
92
a. Apabila gagal mengambil langkah-langkah untuk menentukan apakah
orang tersebut tunduk pada persyaratan pendaftaran: denda dan / atau
penjara 12 (dua belas) bulan.
b. Apabila gagal memberikan informasi, atau memberikan informasi palsu,
untuk mendaftar dipenjara hingga 2 (dua) Tahun.
c. Apabila gagal menyimpan dan memelihara register denda dan tambahan
hukuman per hari pelanggaran.
Pada Pengajuan informasi dasar atau PSC yang tidak akurat oleh badan
hukum di UK dapat dihukum oleh denda tak terbatas dan / atau penjara dua
Tahun. Pengajuan akun yang terlambat adalah dapat dihukum dengan denda
GBP 1 000 (mata uang Pound Sterling) atau setara dengan nilai rupiah
sebesar Rp 18.472.286.99 yang mana hukuman tersebut berlaku untuk orang
perseorangan, termasuk pemegang sahan, direktur dan pengurus lainya.19
Penegakan hukum terkait BO di UK tersebut membawa dampak positif,
dimana UK tidak termasuk daftar merah negara dengan tingkat resiko
pencucian uang tertinggi sebagaimaba menurut laporan Basel Institute on
Governance pada Tahun 2017 yang mengkaji indeks resiko negara dengan
pencucian uang, melansir negara United Kingdom (UK) menduduki
peringkat negara ke 118 dari 146 negara, sedangkan Indonesia menempati
peringkat 61 dari 146 negara (hitungan resiko tertinggi dimulai dari peringkat
pertama).20
Namun adapun kekurangan dan dapat dijadikan untuk
pemerintah Indonesia dalam membuat regulasi yaitu menurut Laporan
Global Witness terdapat 390 perusahaan memiliki BO yang merupakan
bagian dari politisi, baik di Inggris atau di negara lain. Kendala yang sering
ditemukan ialah perusahaan menyatakan mereka tidak memiliki BO
dikarenakan pengakuanya tidak ada individu yang memiliki lebih dari 25%
saham perusahaan. Kemudian terdapat 345 perusahaan memiliki BO yang
19 The Financial Action Task Force (FATF), “Anti-money laundering and counter-terrorist
financing measures United Kingdom Mutual Evaluation Report” (FATF France, 2018), h.157
20 Indeks Basel AML 2017 dan Peringkat (dari risiko tertinggi ke terendah)
https://www.finansialku.com/aksi-pencucian-uang/ Diakses pada 5 Februari 2019
93
merupakan direktur yang didiskualifikasi, perusahaan berbagi pemilik,
petugas, atau kode pos terdaftar yang menguntungkan dengan perusahaan
yang diduga terlibat dalam pencucian uang.21
Sehingga, sudah semestinya
Indonesia beberapa kekurangan yang ada di UK tersebut dapat dijadikan
tindakan preventif pemerintah dalam menerapkan regulasi khususnya
pengawasan dan sanksi.
Maka menurut peneliti pentingnya pembentukan regulasi yang
memasukan sanksi administratif didalam tataran aturan teknis lainya oleh
Instansi Berwenang seperti dalam Pasal 1 Ayat (3) Perpres Nomor 13 Tahun
2018 yaitu instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang
memiliki kewenangan pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan,
perizinan usaha, atau pembubaran Korporasi, atau lembaga yang memiliki
kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang usaha Korporasi. Kemudian
dalam melaksanakan tugas pengawasan Instansi Berwenang memiliki
kewenangan Pasal 23 Ayat (2) yaitu:
a. menetapkan regulasi atau pedoman sebagai pelaksanaan Peraturan
Presiden ini sesuai dengan kewenangannya
b. melakukan audit terhadap Korporasi; dan
c. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini
Dimana jika merujuk pada Dalam Pasal 13 Ayat 3 Perpres Nomor 13
Tahun 2018 dimana Instansi Berwenang sebagaimana dimaksud yaitu
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
untuk perseroan terbatas, yayasan, dan perkumpulan. Dalam hal ini
Kementrian Hukum dan HAM perlu membuat regulasi berupa peraturan
menteri mengenai sanksi adminitratif berkaitan dengan keterlambatan
pengungkapan BO, ketidakakuratan data dan pemalsuan data BO.
Diperlukanya hal tersebut, sejalan dengan teroi kepastian hukum yang
21 The Companies Keep “What the UK‟s open data register actualy tells us about company
owership
https://www.globalwitness.org/en/campaigns/corruption-and-money-laundering/anonymous-comp
any-owners/companies-we-keep/#chapter-0/section-0 Diakses pada 5 Januari 2019
94
dikemukakan oleh Gustav Radbruch dimana sebagai negara hukum
diperlukan adanya kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum
didalam masyarakat dan juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum
dalam hal-hal yang konkret, sehingga hukum yang dihadirkan tidak
menimbulkan keraguraguan dan logis tidak menimbulkan benturan dan
kekaburan norma dalam sistem norma satu dengan yang lainnya. Kekaburan
norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan hukum, dapat terjadi
multi tafsir terhadap sesuatu dalam suatu aturan.
Selain tanggung jawab dikenakan kepada BO, menurut peneliti wajib
untuk membuat pengenaan sanksi dipengaturan teknis berupa permen kepada
notaris sebagai pembuatn akta perusahaan berupa pencabutan izin
keprofesian dalam hal apabila dalam pembuatan akta tidak jujur dan
melakukan pemalsuan terkait dengan status keberadaan BO dalam sebuah
perseroan. Sebagaimana sesuai dengan amanah Pasal 2 Perpres Nomor 44
Tahun 2015 yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Dimana salah satu fungsinya Pasal 3 Huruf a Perpres
Nomor 44 Tahun 2015 yaitu membuat perumusan, penetapan, dan
pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan,
administrasi hukum umum, pemasyarakatan, keimigrasian, kekayaan
intelektual, dan hak asasi manusia.
Menurut Philipus M. Hadjon pada umumnya tidak ada gunanya
memasukkan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi para warga di
dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara, manakala
aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipatuhi. Sehingga tepat bahwa
hukum harus bisa dijadikan sarana dalam memecahkan problematika
dimasyarakat sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumatmaja dalam Karyanya Teori Hukum Pembangunan.22
22 Atip Lapulhayat, “Khazanah Mochtar Kusumatmaja”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 1 - No 3 - Tahun 2014, h.628-629
95
Atas dasar tersebutlah maka perlunya upaya yang progresif terkait
transparansi status kepemilikan saham oleh BO terkhusus mempermudah
mendeteksi risiko tindak pidana pencucian uang melalui perseroan. Hal
tersebut sejalan dengan prinsip Good corporate governance (GCG) yaitu
transaparansi dimana perseroan melakukan keterbukaan dalam
mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan,
pertanggungjawaban dalam hal ini kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban organ maupun BO sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif, kemandirian dimana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak lain
serta perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak- hak
stakeholder.
Keterbukaan informasi keberadaan BO tersebutlah, yang menjadi senjata
baru bagi pemerintah untuk memburu keberadaan BO dalam perseroan,
sekaligus menguntungkan negara dalam pencegahan tindak pidana pencucian
uang melalui korporasi dan melindungi dunia usaha. Hal tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Laode M. Syarif selaku Wakil Ketua
KPK bahwa transparansi BO dan pemindanaan korporasi justru
meningkatkan sistem transparansi keuangan di Indonesia untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.23
23 KPK: Beneficial Ownership Bukan untuk Menghukum Pelaku Usaha,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190703/9/1119535/kpk-beneficial-ownership-bukan-untuk-me
nghukum-pelaku-usaha, Diakses pada 5 Juli 2019
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan dari permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini,
yaitu sebagai berikut :
1. Tinjauan mengenai kedudukan BO dalam perseroan terbatas masih
belum spesifik diatur dalam kerangka hukum nasional. Lahirnya
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan
Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Tindakan Pendanaan Terorisme yang memuat definisi dan kriteria
BO yakni merujuk pada orang perseorangan yang secara ultimate
(penerima akhir) atau pemegang puncak kewenangan tertinggi yang
memiliki kontrol penuh atas perseroan. Kedudukan BO dalam
perseroan berdasarkan haknya yang tertera dalam Pasal 4 Ayat (1)
Perpres Nomor 13 Tahun 2018 yaitu setara dengan Pemegang
Saham Utama. BO memiliki saham, hak suara dan mendapatkan
laba lebih dari 25 % yang dimana telah melebihi batas kepemilikan
saham pemegang saham utama yaitu paling sedikit 20% di
perseroan. Namun, peneliti berpendapat masih terdapat kekosongan
hukum terkait kedudukan BO secara tegas dalam perseroan.
2. BO sebagai naturalijk persoon memiliki kewenangan pengendalian
tertinggi tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun,
termasuk sebagai pejabat senior dalam perseroan yang dapat
mempengaruhi kebijakan perseroan dapat dianggap sebagai sikap
korporasi. Dalam hal melakukan tindak pidana pencucian uang BO
dapat dikenakan sanksi sampai meliputi harta pribadinya.
Ketika BO memperalat perseroan baik langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam perbuatan melawan hukum untuk
kepentingan pribadi dengan membuka tabir tanggung jawab terbatas
97
atau PCV menurut Pasal 3 ayat (2) UUPT. Sedangkan dalam
UUTPPU terdapat pengaturan pula mengenai PCV pada Pasal 9
Ayat (1) yaitu dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) pidana denda
tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi dimana memiliki
kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi
tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasanya.
B. Rekomendasi
Berdasarkan pada permasalahan dalam bahan pada penelitian ini,
maka peneliti mencoba untuk memberikan rekomendasi agar nantinya
dalam penyusunan peraturan mengenai Beneficial Owner (BO) atu
Pemilik Manfaat dalam hukum positif di Indonesia dan praktik
penggunaan kerangka pemilik manfaat pada Perseroan Terbatas tidak
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga
berujung pada modus tindak pidana pencucian uang. Maka atas hal
tersebut peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Membentuk Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(HAM) mengenai tata cara pengungkapan beneficial ownership
pada Perseroan Terbatas beserta sanksi administratif terhadap
perseroan dan notaris sebagai acuan Kementrian Hukum dan HAM
dalam melakukan pengawasan. Melakukan revisi UU PT dengan
mereformulasi prinsip mengenali pemilik manfaat untuk dituangkan
secara eksplisit di dalam UU Perseron Terbatas beserta hak,
kewajiban dan sanksi pidana bagi organ perseroan yang melakukan
pelanggaran dan kejahatan. Serta diperlukan pengaturan mengenai
pertanggungjawaban secara tersendiri terhadap beneficial owner
yang melakukan TPPU di pasar modal untuk memberantas
permasalahan sampai kepada pelaku sesungguhnya.
98
2. Pemerintah melakukan pengharmonisasian peraturan perundang-
undangan dalam hal pengungkapan BO. Pemerintah memperketat
pengawasan dalam transparansi pemegang saham nominee.
Pemerintah mengambil pendekatan proaktif untuk menangani
pencucian uang dengan menganalisis informasi perusahaan yang
dimiliki nya, mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang
mencurigakan dan melakukan investigasi.
98
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ali,Achmad. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.
Jakarta : Gunung Agung. 2002
Ali,Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. cet.II. Jakarta: Sinar Grafika. 2010
Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 2002
____________. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 1999
Gautama, Sudargo. Pengertian tentang Negara Hukum. Yogayakarta: Liberty
1973
Harahap,M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2013
Haris, Freddy dan Teddy Anggoro. Hukum Perseroan Terbatas (Kewajiban
Pemberitahuan oleh Direksi). Bogor: Ghalia Indonesia. 2010
H. S,Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika. 2008
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, Cet XV. Yogyakarta: Kanisius. 2010
Kirupan,David. Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia. cet.I.
Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group. 2013
Khairandy, Ridwan. Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Peraturan
PerundangUndangan, dan Yurisprudensi. cet.II. Yogyakarta: Total Media.
2009
Laksono, Fajar. Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr.
Mahfud MD. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana. 2008
99
Mertoksumo,Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Penerbit Liberty. 2006
Moeljono, Djokosantoso. Good Corporate Culture sebagai Inti dari Good
Corporate Governance. Jakarta: Elex Gramedia. 2005
Moeljatno. Delik-delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan. Jakarta: PT Bina
Aksara. 1985
Muladi dan Dwija Priyanto. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. cet.II.
Jakarta: Kencana. 2010
Mulhadi. Hukum Perusahaan (Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia). cet.I.
Jakarta: Ghalia Indonesia. 2010
Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 1996
Pramono, Nindyo. Hukum PT Go Public dan Pasar Modal Yogyakarta: Andi
Offset. 2013
Prasetya, Rudhi. Perseroan Teori dan Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 2011
Raharjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara. 2010
Rato, Dominikus. Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo. 2010
Renggong,Ruslan. Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Kencana. 2016
Siahaan. Money laundering dan kejahatan perbankan, Jakarta: Jala. 2008
Sabuan, Ansorie, Syafruddin Pettanase, dkk. Hukum Acara Pidana. Bandung:
Angkasa. 1990
Soekanto,Soerjono. Pengantar Peneltian Hukum. cet.III. Jakarta : Universitas
Indonesia (UI-Press). 1986
Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti
Pers. 2006
100
Suherman, Ade Maman. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia. 2002
Sutedi, Adrian. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2008
Utrecht, Rangkaian Sari kuliah Hukum Pidana II. cet.III. Surabaya: Pustaka Tirta
Mas. 1986
Widjaja, Gunawan. Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT.
Jakarta: Forum Sahabat. 2008
________________. Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Hak Individual &
Kolektif Para Pemegang Saham. Jakarta : Forum Sahabat. 2008
Yustiavandana, Ivan, Arman Nefi, Adiwarman. Tindak Pidana Pencucian Uang
di Pasar Modal. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010
Jurnal
De W, Emile van Der Does, Emily M. Halter, Robert A. Harrison, Ji Won
Park, J.C. Sharman. “The Puppet Masters: How the Corrupt Use Legal
Structures to Hide Stolen Assets and What to do about It”. The World Bank
and UNODC. 2011
Eleanora, Fransiska Novita. “Tindak Pidana Pencucian Uang”. Jurnal Hukum.
Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular Jakarta. Vol XXVI, No. 2,
Agustus 2011
FATF Guidance. “Guidance on Transparency and Beneficial Ownership”.
October 2014
Febrina, Rezmia. “Proses Akuisisi Perusahaan Berdasarkan Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”. Jurnal Ilmu Hukum.
Pekanbaru.Vol.4, No.1
Financial Conduct Authority (FCA), “Financial crime: analysis of firms‟ data”.
2018
101
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). “Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Pidana” Desember 2015
Koalisi Anti Mafia Hutan, ”Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan
Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp dan Paper (APP) di Indonesia”,
Jakarta. 2018
Lapulhayat, Atip. “Khazanah Mochtar Kusumatmaja”, Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum.Vol. 1. No 3. 2014
Heru Setianto, Rahmat dan Putri Kartika Sari, “Perusahaan Keluarga dan
Kebijakan Dividen di Indonesia”, Jurnal Siasat Bisnis Fakultas Ekonomi,
Universitas Islam Indonesia. Vol.21. No.2. 2017
Haryono, Wenny Ayu. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham
Minoritas Dalam Peralihan Saham Dengan Akta Pengakuan Utang”. Jurnal
IUS. Vol.IV. 2016
Hatchard, John. Money Laundring: “Public Beneficial Ownership Registers And
The British Overseas Territories: The Impact of Sanction And Money
Laundring Act 2018 (UK)”. The Denning Law Journal. Vol 30. 2018
International Monetary Fund, “Panama: Detailed Assesment Report-FTAF
Recommendation for Anti Money Laundering and Combating The
Financing Of Terorism”. Wasington DC: IMF Publication. 2014
Oguttu. Annet Wanyana. “Curbing Treaty Shopping: The Beneficial Ownership
Provision Analysed From A South Africa Perspektive”. The Comparative
and International Law Journal of Southern Africa. Vol. 40. No. 2. July
2007
Pahlevi, Kevin. “Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Saham Pinjam Nama
(Nominee Arrangement) Ditinjau Dari Peraturan Perunfang- Undangan”.
Diponegoro Law Journal.Vol. 6. Nomor 1. 2017
Purwijanti, Kusrini dan Iman Prihandono, “Pengaturan Karakteristik Beneficiary
Owner di Indonesia”, Jurnal Notarie, Universitas Airlangga, Vol.01, Juni
2018
102
Rini, Rizky Ananda Wulan Sapta. “Pengungkapan Beneficial Ownership di
Indonesia: Menutup Celah (Korupsi) Untuk Perbaikan Tata Kelola”.
Publish What You Pay, 2018
Setiadi, Wicipto. “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Alat Instrumen
Penegakan Hukum”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.6. No.4. 14 Desember
2009
Sjawie, Hasbullah F. “Tanggungjawab Direksi Perseroan Terbatas Atas Tindakan
Ultra Vires”. Jurnal Hukum Prioris, Vol. 6 No. 1 Tahun 2017
Syahayani. Zihan. “Polemik Kasasus Korupsi KTP Elektronik”. The Indonesian
Institute. 2017
The Financial Action Task Force (FATF). “Anti-money laundering and
counter-terrorist financing measures United Kingdom Mutual Evaluation
Report”. FATF France. 2018
The Financial Action Task Force (FATF). “Concealment of Beneficial
Ownership”. 2018
The World Bank – UNODC, “The Puppet Masters: How to Corrupt Use Legal
Structures to Hide Stolen Assets and What to Do About It”. The World
Bank – UNODC. 2011
Thomson, Robert B. “Piercing The Corporate Veil : An Empirical Study”. Vol.76.
Article 2. 1991
Tiono, Anthony dan R. Arja Sadjiarto. “Penentuan Beneficial Owner Untuk
Mencegah Penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda”. Tax
and Accounting Review. Vol.3. No.2. 2013
Transparency International UK and Bellingcat. “Offshore in the UK: Analysing
the use of Scottish Limited Partnerships in corruption and money
laundering”. 2017
103
Vermeulen, Erik. “Beneficial Ownership and Control: A Comparative Study –
Disclosure Information and Enforcement, OECD Corporate Governance
Working Papers”. No. 7. OECD Publishing. 2013
Vermeulen, Erik P.M. “Beneficial Ownership and Control: A Comparative study,
Disclosure, Information and Enforcement”. 2012
Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan,dan Kemanfaatan Dalam
Kaitantya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika
Hukum. Vol.14. No.02. Mei 2014
Widiyono, Try. ”Perkembangan Teori Hukum dan Doktrin Hukum Piercing The
Corporate Veil Dalam UUPT dan Realitasnya Serta Prospektif Kedepanya”.
Lex Jurnalica. Vol. 10. No.1. April 2013
Yasin, Hari Noor. “Eksistensi Doktrin Piercing The Corporate Veil di dalam
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Terhadap Tanggung Jawab Direksi Atas Terjadinya Kepailtan Perseroan
Terbatas”. Jurnal Reporterium. Vol.III. No.2. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Juli-Desember 2016
Karya Ilmiah
Ballard Sphar LLP, Corporate Transparency Act of 2019 Broadens Beneficial
Ownership Reporting. Diakses pada 15 April 2019.
https://www.moneylaunderingnews.com/2019/03/corporate-transparency-a
ct-of-2019-broadens-beneficial-ownership-reporting/
Hasibuan, Nella. “Perjanjian Nominee Yang Dibuat Untuk Penguasaan Tanah
Hak Milik Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing”. Desertasi
S3 Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Malang. 2012
Mangoting, Benny. “Penentuan Status Beneficial Owner Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda”. Tesis S2
104
Fakultas Hukum. Program Studi Hukum Ekonomi. Universitas Indonesia.
2010
Nuruliza, Anissa Tri. “Disclosure Of Ultimate Beneficial Ownership in
Indonesia”. Thesis S2 Tilburg University, International Businness Law
Program. 2016
Purba, Natalia Christine. “Keabsahan Perjanjian Innominat Dalam Bentuk
Nominee Agreement (Analisis Kepemilikan Tanah oleh Warga Asing)”.
Skripsi S1 Fakultas Hukum. Universitas Indonesia. Depok. 2006
Syafi‟i, Muhammad. “Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company
Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan”. Tesis S2 Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2016
Yustica, Juventia. “Tanggung jawab hukum pemegang saham portofolio
investasi”. (Studi Kasus Piercing The Corporate Veil). Skripsi S1 Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia. 2015
Media Internet
Ballard Sphar LLP, Corporate Transparency Act of 2019 Broadens Beneficial
Ownership Reporting. Diakses pada 15 April 2019.
https://www.moneylaunderingnews.com/2019/03/corporate-transparency-a
ct-of-2019-broadens-beneficial-ownership-reporting/
Beneficial Ownership Register Opens On 6 April 2016. Diakses pada 10 Januari
2019.https://www.bdo.co.uk/en-gb/insights/business-edge/business-edge-2
016/beneficial-ownership-register
Companies House. Diakses pada 22 Januari 2019.
https://en.wikipedia.org/wiki/Companies_House
Diseminasi Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip
Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencuaian Uang Dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme. Diakses pada 1 Desember 2018
105
http://jdih.ppatk.go.id/wp-content/uploads/2018/03/Materi-Narsum_all-1.p
df
Emirzon, Joni. “Bentul Praktik dan Modus Tindak Pidana Pencucian Uang”,
Jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2017. Diakses 30 Desember
2018
https://jurnal.kpk.go.id/Dokumen/SEMINAR_ROADSHOW/Bentuk-prakti
k-dan-modus-tppu-Joni-Emirzon.pdf
ICIJ Rilis Dokumen Panama Babak Dua. Diakses pada 1 Maret 2019.
https://www.voaindonesia.com/a/icij-rilis-panama-papers-babak-dua/33223
23.html
Kasus E-KTP: Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara, Denda, dan Pencabutan
Hak Politik Lima Tahun. Diakses pada 28 November 2018.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43579739
Kemkumham Siap Ungkap Pengendali Utama Perusahaan. Diakses pada 20
Desember 2018
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160617130038-12-138910/kem
kumham-siap-ungkap-pengendali-utama-perusahaan
KPK: Beneficial Ownership Bukan untuk Menghukum Pelaku Usaha,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190703/9/1119535/kpk-beneficial-owne
rship-bukan-untuk-menghukum-pelaku-usaha, Diakses pada 5 Juli 2019
Mor, Fedorico. “Registers of beneficial ownership” (House of Commons Library,
no.8259, 2018,). Diakses pada 10 Februari 2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_terbatas_(Britania_Raya_dan_Irla
ndia)
Organ Perseroan Terbatas. Diakses pada 1 Januari 2018.
http://www.legalakses.com/download/hukum_perusahaan/Organ%20Perser
oan%20Terbatas.pdf
106
Pengungkapan Beneficial Owner „Pintu Masuk‟ Kejar Korporasi Penghindar
Pajak. Diakses pada 27 November 2018.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59315073bc40e/pengungkapa
n-ibeneficial-owner-i-pintu-masuk-kejar-korporasi-penghindar-pajak
Piercing the corporate veil. Diakses pada 2 Desember 2018
https://en.wikipedia.org/wiki/Piercing_the_corporate_veil
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. “Beneficial Owner dalam OECD Model
Tax Convention (MTC): Sejarah dan Perkembangan Terkini”. Diakses
pada 1 January 2019 .
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/2012/kajian/pkpn/Benefi
cial%20Ownership%20-%20Aplikasi%20dalam%20tax%20treaty.pdf
Prastowo, Yustinus. Center for Indonesia Taxion Analysis, Seri Mengenal
Panama Papers (III): Beneficial Ownership. Diakses pada 22 November
2018. https://cita.or.id/opini/artikel/beneficial-ownership-bo/
Refleksi Akhir Tahun 2017 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Diakses pada 12 Februari 2019.
http://www.ppatk.go.id/backend/assets/uploads/20171219165527.pdf
Sancaya, I Wayan Werasmana. “Kekuatan Mengikat Perjanjian Nominee Dalam
Penguasaan Hak Milik Atas Tanah”. Artikel diakses pada 18 Oktober 2018
dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127245&val=944
Siantar, Sangana Timor Lumban. “Peranan, Kewenangan dan Kedudukan Dewan
Komisaris Dalam Perseroan Terbatas”. Artikel Diakses pada 30 Desember
2018
https://media.neliti.com/media/publications/14182-ID-peranan-kewenanga
n-dan-kedudukan-dewan-komisaris-dalam-perseroan-terbatas.pdf.
Tanjaya. Hendrik. “Tinjauan Yuridis Terhadap Struktur Nominee Pemegang
Saham (Nominee Structure) Dalam Suatu Perseroan Terbatas”. Artikel
diakses pada 19 Oktober 2018 dari https:// medianeliti .
com/media/publications/ 161127-ID -none.pdf
107
The Companies Keep “What the UK‟s open data register actualy tells us about
company owership. Diakses pada 5 Januari 2019.
https://www.globalwitness.org/en/campaigns/corruption-and-money-laund
ering/anonymous-company-owners/companies-we-keep/#chapter-0/section
-0
The Law Library of Congress, Global Legal Research Center , “Disclosure of
Beneficial Ownership in Selected Countries”.Diakses pada 12 Maret 2019.
http://www.law.gov
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali
Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindakan Pendanaan Terorisme
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor : Kep- /BEI/ -2018 Tentang
Peraturan Nomor I-V Tentang Ketentuan Khusus Pencatatan Saham di Papan
Akselerasi
Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keunagan Nomor:
PER- 02 / 1.02 / PPATK / 02 / 15 Tentang Kategori Pengguna Jasa Yang
Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel
Top Related