10
TINJAUAN PUSTAKA
Temu mangga (Curcuma mangga)
Saat ini banyak dikembangkan produk obat herbal, yang secara alami
banyak tumbuh di Indonesia. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang
penting untuk digali. Kunyit /kurkuma merupakan kerabat kunyit yang sudah
sejak dulu ditanam sebagai bahan ramuan obat tradisional. Kunyit merupakan
jenis tanaman yang dikenal sebagai temu-temuan dan semakin memasyarakat
sebagai obat tradisional.
Ada banyak jenis Curcuma sp. yang dijumpai di alam (de Padue et al.
1999), seperti temu ireng (Curcuma aerogenosa Roxb), temu purot (Curcuma
aurantica v.Zijp), kunir kebo (Curcuma eurochroma Valeton), temu giring
(Curcuma heyneana Valeton & v. Zijp), kunyit (Curcuma longa L), temu mangga
(Curcuma mangga Valeton & v. Zijp), temu badur (Curcuma petiolata Roxb),
koneng pinggang (Curcuma purpurascens Blume), temu lawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dan temu putih (Curcuma zedoaria).
Temu mangga (Curcuma mangga) merupakan salah satu dari sekian jenis
kunir atau temu-temuan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-
obatan. Temu mangga sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat jawa,
Malaya dan Madagaskar, penyebarannya mencapai wilayah Asia tengah, Cina,
Taiwan. Menurut de Padue et al. 1999, taksonomi Curcuma mangga dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Divis Spermatophyta, sub divisi angiospermae,
kelas monokotiledon, bangsa zingiberales, suku zingiberaceae, marga curcuma
dan spesies curcuma sp. (Gambar 2).
Gambar 2 Temu mangga (Curcuma mangga)
11
Temu mangga dapat tumbuh mencapai 110 cm. Rimpang induk bulat telur,
permukaan luar bewarna kuning pucat dan bagian dalam kuning pucat atau kuning
belerang, berbau seperti wortel, rasanya seperti mangga, tunas muda berwarna
putih, rimpangnya bercabang ke segala arah. Daun terdiri atas 5-7 helai
berpelepah bewarna keunguan, helai daun berwarna hijau bagian ujung berekor
hingga 2,5 cm. Bunga terpisah dari batang yang berdaun, tangkai bunga berukuran
15 cm. Bunga bewarna putih separuh cuping bibir berwarna kuning.
Di Indonesia, kunyit/kurkuma termasuk dalam temu mangga. Ada 10 jenis
kunyit yang banyak dipakai sebagai obat tradisional. Potensi sebagai obat
dimungkinkan karena kunyit terbukti mempunyai daya antiradang, antikuman
(Tonnesen et al. 1987), antirematik (Deodhar et al. 1980) serta antihepatoksik
(Kiso et al. 1983), bahkan diduga mempunyai potensi antitumor serta antioksidan.
Disamping itu kunyit/kurkuma banyak dipakai sebagai bumbu masak, menambah
rasa, dan pewarna yang menarik pada berbagai bahan makanan. Ada 3 spesies
kurkuma yang mengandung kurkumin yang telah diteliti dari 9 spesies kurkuma.
Ketiga spesies tersebut adalah temu giring, temu lawak, dan kunir (Prana 1995),
sedangkan 6 kurkuma lainnya relatif sedikit mengandung kurkumin, tidak
berwarna tetapi mengandung flavonoid yang belum diidentifikasi lebih lanjut.
Kurkumin
Kurkumin adalah zat aktif yang terkandung di dalam tanaman jenis temu-
temuan. Secara kimia, kurkuminoid merupakan turunan diferoloilmetana terdiri
atas dimetoksi diferuloil-metan (kurkumin) dan monodesmetoksi diferuloil-metan
(desmetosi-kurkumin). Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 dengan
bobot molekul 368, berwarna kuning dan mudah berubah menjadi kecoklatan
karena sinar matahari (Quiles et al. 2002; Sreejayan et al. 1997). Kurkumin stabil
pada pH di bawah 6,5 dan akan berubah strukturnya bila diatas pH 6,5. Jenis lain
kurkumin adalah bisdemetoksi-kurkumin dan desmetosi-kurkumin (Gambar 3).
Bila di lihat dari struktur kurkuminoid, gugus metoksi yang terdapat pada
bis-desmetoksi-kurkumin digantikan dengan atom hidrogen. Gugus fenolik diduga
berfungsi sebagai antibakterial, dan gugus fenolik tersebut menjadi dasar bahwa
kurkumin juga mempunyai kemampuan dalam mengeliminasi turunan radikal
12
oksigen yang terdapat pada medium dan bertanggung jawab terhadap peroksidasi
lipid di dalam sel. Gugus fenolik ini adalah esensial untuk scavenger superoksid
dan keberadaan gugus orto metoksi pada molekul fenolik akan meningkatkan
aktivitas kurkumin (Rao 1995;Sreejayan et al. 1997).
Keterangan:
R1 R2 Kurkumin -OCH3 -OCH3
Demetoksi-kurkumin -OCH3 H
Bis-demetoksi-kurkumin H H
Gambar 3 Struktur kurkuminoid (Cikrikci et al. 2008).
Kurkumin merupakan skavenger kuat terhadap beberapa spesies oksigen
reaktif dan mempunyai kemampuan untuk melindungi lipid, hemoglobin dan
mencegah degradasi oksidatif DNA. Kurkumin dikenal sebagai agen antiradang
dan antikarsinogenik, menghambat phorbol 12-myriatate13-acetate (PMA),
Lipopolysaccharide (LPS), tumor necrosis factor- (TNF- ) dan mentraskripsi
gen tissue factor (TF) pada sel endotel manusia serta dapat berfungsi sebagai
antioksidan (Pendurthi et al. 1997; Rao 1995).
Kurkumin diketahui mempunyai kemampuan untuk mencegah terjadinya
peroksidasi lipid, kondisi ini merupakan awal kemajuan dari beberapa penyakit.
Dari hasil penelitian secara in vitro, kurkumin 2,4-9,6 umol/l dapat menghambat
oksidasi LDL manusia, menghambat peroksidasi lipid pada hemogenat hati dan
otak tikus yang mengalami udema, mencegah peroksidasi lipid plasmatik, lipid
plasmatik berperan penting dalam patogenesis penyakit (Quiles et al. 2002).
Kurkumin juga mempunyai kemampuan dalam mencegah perluasan penyakit,
seperti menurunkan kerentanan LDL terhadap oksidasi, mencegah proliferasi sel-
sel otot polos pembuluh darah, mempunyai efek antitrombotik, efek hipotensif
sementara dan mencegah agregasi platelet in vivo- ex vivo. Penggunaan 500 mg
kurkumin pada manusia yang diberikan selama 7 hari, dapat menurunkan
H
R1
HO OH
R2
O O
2’
3 3’
4’ 5’
4 5
6’ 6
7’
8’
9’
10’
7
8
9
10
1 2
13
peroksidasi lipid darah 35% (Sreejayan et al.1997). Kurkumin dapat
mengeliminasi radikal hidroksi, radikal superoksida, nitrogen dioksid, dan
nitrogen monooksida, serta mencegah turunan dari radikal superoksid (Rao 1995;
Ruby & Lokesh 1995; Sreejayan et al. 1997). Hasil penelitian yang dilakukan
Soesanto et al. (1992) bahwa Curcuma domestica val yang dicampur dalam
ransum makanan yang diberikan pada tikus, dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam serum darah tikus dan mencegah timbulnya aterosklerosis.
Metabolisme Kurkumin
Biosintesis. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
mengindikasikan ada dua kemungkinan jalur untuk pembentukan formasi molekul
kurkumin. Dari hasil penelitian tersebut, biosintesis kurkumin melibatkan dua unit
asam sinamat yang berpasangan dengan pusat atom karbon asam mevalonat, yang
dimulai dengan terbentunknya fenilalanin-sinamat. Hasil penelitian lainnya
berjalan secara asimetris yang diawali dengan dua bagian molekul C9 yang
berbeda, dalam hal ini melibatkan sinamat sebagai pemula yang menghasilkan
lima unit asam asetat (malonat). Siklasi terjadi pada pembentukan rantai kedua
cincin aromatik kemudian berlanjut dengan proses hidroksilasi (Tonnesen 1986).
Katabolisme. Katabolisme dan ekskresi kurkumin telah diteliti pada tikus.
Kurkumin yang diberikan secara oral, sebagian besar diekskresikan melalui tinja
sebagian lainnya melalui empedu dan dapat dimetabolisme secara cepat.
Kurkumin radioaktif dengan dosis 80 mg, 99% akan diekskresikan bersama tinja
yang terdiri dari 34% berupa kurkumin yang tidak berubah dan 65% berupa
metabolit kurkumin. Hal ini menandakan sebagian besar kurkumin diabsorpsi oleh
saluran pencernaan. Data tersebut membuktikan bahwa kurkumin yang diberikan
secara oral pada tikus akan diabsorbsi dan dimetabolisasi, dengan jalur eliminasi
utamanya melalui empedu. Metabolit utamanya adalah glukoronida tetrahidro-
kurkumin (THC), heksahidro-kurkumin, dan sebagian kecil berupa asam
dihidroferulat (Pan et al. 2000; Rao et al. 1995).
14
Metabolisme Lipoprotein
Lipoprotein utama yang berpotensi menyebabkan aterosklerosis adalah
Low Density lipoprotein (LDL). Senyawa LDL adalah kompleks makromolekul
yang intinya mengandung lipid non polar terutama ester kolesterol, lapisan
permukaan LDL terdiri atas kolesterol yang tidak teresterifikasikan, fosfolipid dan
apo B-100. Asam lemak yang terikat pada ester kolesterol sebagian merupakan
asam lemak tak jenuh berantai bamyak polyunsurated fat acid (PUFA). Asam
lemak inilah yang sangat peka terhadap oksidasi karena ikatan rangkapnya.
Kolesterol (C27H45OH) adalah lipid yang dapat dibedakan dari trigliserida
atau fosfolipidnya karena tidak mengandung gliserol, hanya terdiri atas inti steroid
yang mengandung gugus hidroksil. Sebagai komponen membran plasma,
kolesterol berperan penting dalam kehidupan sel (Brown & Goldstein, 1985).
Struktur kolesterol seperti Gambar 4. Kolesterol yang kadarnya berlebihan di
dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit aterosklerosis.
Gambar 4 Struktur kolesterol.
Pada manusia sekitar 90%, sintesis kolesterol berlangsung di dalam hati,
sedangkan sebagian kecil disintesis di usus. Hampir 75% kolesterol yang
terbentuk di dalam hati digunakan untuk membentuk empedu. Kecepatan sintesis
kolesterol oleh tubuh sendiri (hati dan usus) sangat dipengaruhi oleh banyaknya
kolesterol yang diabsorbsi dari makanan. Kolesterol yang disintesis oleh hati dan
usus dan akan distribusi ke seluruh sel yang diangkut oleh lipoprotein.
Inti lipoprotein terdiri atas lipid-lipid netral, termasuk triasilgliserol dan
ester kolesterol, yang dibungkus oleh fosfolipid dan apolipoprotein maupun
kolesterol yang tertanam. Struktur lipoprotein disajikan pada Gambar 5.
OH
CH3
H3C
CH3
CH3
H3C
15
Gambar 5 Struktur lipoprotein.
Berdasarkan densitasnya, lipoprotein dibedakan menjadi 5 kolompok
yaitu: chylomicron, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Intermediate Density
Lipoprotein (IDL), Low Density lipoprotein (LDL) dan High Density Lipoprotein
(HDL). Setiap partikel terdiri atas inti lipid yang hidrofobik dikelilingi oleh
lapisan lipid polar, fosfolipid dan kolesterol ester serta apoprotein. Ada 10
apoprotein yaitu A-I, A-II, A-III, B-48, B-100, C-I, CII, C-III, D dan E (Stryer
1995, Hortan et al. 1996). Jumlah dan komposisi lipoprotein dapat dilihat Tabel 1.
Tabel 1 Lipoprotein pada manusia (Horton et al. 1996)
Kilomikron VLDL IDL LDL HDL
Berat molekul x10-6
>400 10-80 5-10 2,3 0,18-0,36
Densitas <0,95 0,95-1,006
1,006-1,019
1,019-1,063
1,066- 1,210
Kompisisi kimia (%) Protein 2 10 18 25 33
Trigliserol 85 50 31 10 8
Kolesterol 4 22 29 45 30
Fosfolipid 9 18 22 20 29
Kilomikron disebut juga sebagai lipoprotein eksogen yang disintesis di
dalam sel mukosa usus halus dengan apoprotein utamanya apoB-48 dan waktu
tinggalnya tidak lama. Kilomikron memiliki ukuran terbesar dan bobot teringan
diantara lipoprotein. Molekul VLDL dikenal sebagai lipoprotein endogen
disintesis oleh hati dan usus, apoprotein utamanya apoB-100 dan ApoE.
Kilomikron dan VLDL konsentrasinya lebih tinggi di dalam lipid, tetapi rendah
untuk protein. Molekul IDL merupakan hasil katabolisme dari VLDL dengan
bantuan enzim lipoprotein lipase. Hasil katabolisme selanjutnya adalah LDL,
lipoprotein ini tidak mempunyai apoE-100 dan sering disebut sebagai kolesterol
yang jahat yang dapat menyebabkan kejadian penyakit aterosklerosis dan penyakit
16
jantung koroner. Molekul HDL adalah lipoprotein yang bertugas mengembalikan
kolesterol ke hati, dan dikenal sebagai kolesterol baik karena membantu
mencegah terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner (Strayer 1995).
Sistem transport lipoprotein di dalam tubuh dibagi atas 2, yaitu jalur
eksogen dan jalur endogen (Gambar 6). Jalur eksogen mengatur pengangkutan
lipid yang berasal dari makanan. Jalur endogen mengatur transportasi kolesterol
yang disintesis di hati.
Gambar 6 Metabolisme lipoprotein.
Jalur eksogen diawali dengan sekresi kilomikron yang banyak mengandung
trigliserida ke pembuluh getah bening dan aliran darah. Dalam perjalanannya
kilomikron akan menyusut karena trigliserida yang terdapat pada kilomikron
mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase menjadi asam lemak bebas.
Asam lemak bebas dan monogliserida pada kilomikron akan disimpan di dalam
jaringan adiposa. Kilomikron yang menyusut dikenal sebagai chylomicron
remnants (sisa-sisa kilomikron).
Jalur endogen diawali dengan sekresi partikel VLDL oleh hati ke sirkulasi
darah. Partikel VLDL akan berinteraksi dengan lipoprotein lipase pada pembuluh
kapiler. Trigliserida pada VLDL mengalami hidrolisis lipoprotein lipase, sehingga
membentuk partikel IDL. Kelebihan fosfolipid dan kolesterol pada IDL akan
ditranfer ke HDL. Partikel HDL akan berinteraksi dengan enzim lesitin kolesterol
asiltransferase (LCAT) yang akan mengesterifikasi kelebihan kolesterol pada
USUS
Kilomikron
Sisa-sisa
Kilomikron
Sisa-sisa
Reseptor
Reseptor LDL Jaringan
ekstra hepatik
Kapiler Kapiler
17
HDL selanjutnya dipindahkan kembali oleh enzim lipoprotein lipase membentuk
LDL. Dalam degradasi ini hampir semua trigliserida dibebaskan dan yang
tertinggal pada LDL adalah ester kolesterol dan apoB-100 pada permukaan.
Partikel LDL mengantarkan kolesterol ke sel-sel enterohepatik dan hati.
Partikel LDL berikatan dengan reseptor LDL pada membran plasma, kemudian
masuk ke lisosom dan dilisosom apo-B didegradasi menjadi asam amino.
Sedangkan ester kolesterol dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi kolesterol bebas
yang digunakan untuk kepentingan sel. Kelebihan kolesterol di dalam sel akan
disekresikan kembali ke plasma dan diserap oleh HDL, dengan bantuan enzim
LCAT kolesterol ester dipindahkan kembali ke LDL dan seterusnya. Kolesterol
yang diserap oleh hati akan dibawa ke empedu dan dimetabolisme oleh asam
empedu. Asam empedu dan sebagian kolesterol ini disekresikan oleh hati dan
diabsorpsi kembali oleh usus lalu diangkut kembali ke hati dan seterusnya
membentuk sirkulasi enterohepatik. Sebagian kecil kolestrol dibuang melalui tinja
(Horton et al. 1996).
Penyerapan sisa-sisa kilomikron oleh hati dilakukan secara endositosis
menggunakan reseptor khusus (receptor-mediated endocytosis). Partikel LDL
akan berikatan secara spesifik dengan reseptor yang ada di daerah membran
plasma yang disebut coated pits (lekuk bermantel) dan disini LDL akan
mengalami internalisasi membentuk coated vesicle. Pada pH 7,0, mantel terlepas
kemudian vesikel berdifusi dengan vesikel endosom (pH 5). Partikel LDL terpisah
dari reseptor dan bergabung dengan lisosom di sel hati menghasilkan lisosom
kedua. Sedangkan reseptor yang terpisah akan mengalami siklus ulang yang
selanjutnya menangkap LDL kembali (Cotran et al. 1989; Hortan et al. 1996;
Voet & Voet 1995). Setelah terjadi absorpsi, VLDL yang dihasilkan hati dari
asam lemak bebas, merupakan sumber utama trigliserida plasma. Molekul VLDL
masuk ke dalam sirkulasi darah lalu mengangkut kolesterol dan trigliserida ke
jaringan adiposa dan otot. Dalam sirkulasi, VLDL akan mengalami hidrolis
menjadi IDL dan LDL Kira-kira 50 % IDL akan ditangkap oleh hati, sisa IDL
kemudian diubah menjadi LDL oleh sel di dalam tubuh dan hepatosit seperti sel
adrenal, fibroblas, sel otot polos, sel limfoid, dan sel endotel melalui reseptor
secara endoditosis. Jadi LDL berfungsi mengangkut kolesterol endogen dan
18
eksogen ke jaringan, sedangkan HDL berfungsi mengangkut kolesterol dari
jaringan perifer ke hati. Di dalam hati kolesterol dapat diubah menjadi asam
empedu kemudian disekresikan ke dalam kantung empedu menuju usus halus dan
bekerja sebagai pengemulsi lemak serta vitamin larut lemak. Di dalam ilium,
selanjutnya kira-kira 2 % dari asam empedu yang dieksresikan dalam usus akan
dikeluarkan bersama-sama tinja dan sisanya direabsorpsi kembali melalui
sirkulasi enterohepatik (Hortan et al. 1996; Mayes 1984).
Lesi awal aterosklerosis pada pembuluh darah terjadi akibat infiltrasi
senyawa lemak pada sirkulasi darah. Dalam perjalanannya menembus dinding
pembuluh darah, kemudian berinfiltrasi yang menyebabkan peradangan dan
terjadi proliferasi serabut-serabut otot polos dinding pembuluh darah. Kondisi ini
juga didukung oleh adanya faktor pertumbuhan dan sel-sel busa. Sel otot polos
sendiri berperan penting dalam mensintesis matrik protein dan proteoglikan. Teori
ini didasarkan pada kenyataan adanya peningkatan kejadian penyakit pembuluh
darah pada individu yang memiliki kadar lemak dan kolesterol darah yang tinggi,
jika dibandingkan dengan yang normal (Getz 2005; Ross 1991).
Pada Macaca fascicularis, yang diberi pakan diet kolesterol tinggi, akan
terjadi hiperkolesterolemia moderat dengan gejala yang timbul sama seperti yang
terjadi pada hamster dan manusia, akan tetapi sangat berbeda dengan tikus.
Adanya diet kolesterol dan total kolesterol ester yang ada di hati, akan
menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap sintesis sterol hepatik, penurunan
aktivitas reseptor hepar dan meningkatnya produksi LDL. Tidak hanya terjadi
peningkatan konsentrasi LDL, tetapi ukuran partikel LDL juga meningkat yang
disebabkan oleh akumulasi molekul oleat kolesterol di dalam partikel inti akibat
kerja enzim hepatik acyl-coenzyme A Cholestrrol Acyltransferase (ACAT). Enzim
ini merespon esterifikasi kolesterol sebagai oleat Ko-A. Oleat kolesteril hepatik
juga berkorelasi dengan kolesterol oleat-LDL plasma, hal ini berhubungan erat
dengan kejadian aterosklerosis arteria koronaria. Partikel LDL yang kaya dengan
apoE bersifat aterogenik dan mungkin berkorelasi terhadap peningkatan
kemampuan partikel tersebut mengikat proteoglikan (PG) yang terdapat pada
dinding arteri, yang pada akhirnya akan dimetabolisme oleh makrofag (Sreejayan
& Rao. 1997).
19
Aterosklerosis
Istilah aterosklerosis digunakan untuk lesi aterosklerotik yang disertai oleh
perubahan degenerasi lemak. Arti kata aterosklerosis adalah pengerasan dinding
arteri sebagai akibat perubahan kronis yang terjadi pada arteri. Perubahan kronis
arteri disebabkan oleh hilangnya elastisitas arteri, menyempitnya lumen karena
perubahan proliferatif dan degeneratif pada tunika intima dan media, dan proses
radang.
Aterosklerosis merupakan kelainan degeneratif pada pembuluh darah besar
dan sedang yang dicirikan oleh penebalan pembuluh darah (Munro & Cotrans
1988). Penebalan pembuluh darah karena adanya akumulasi lipid dan elemen-
elemen fibrosa pada bagian ateri media maupun besar, sehingga pada akhirnya
dapat terjadi obstruksi pada lumen arteri. Aterosklerosis, pada umumnya dapat
menyerang arteri koronaria, aorta, iliaka, femoral dan arteri serebralis (Ross &
Glomset 1973). Penebalan pembuluh darah ini ditandai dengan adanya sel busa,
yaitu sel makrofag yang berisi kolesterol dan kolesterol ester. Adapun penyebab
terbentuknya sel busa antara lain disebabkan oleh makrofag yang secara
berlebihan mengambil LDL yang teroksidasi. Selain kolesterol atau kolesterol
ester, pada lesi aterosklerosis terdapat juga protein, karbohidrat, dan komponen
seluler termasuk sel otot polos, makrofag, dan limfosit (Kaplan & Aviram, 2001).
Menurut Hansson (2009), aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi, dan
proses aterosklerosis dimulai saat LDL terakumulasi di intima sehingga
mengaktifkan endotel, meningkatkan pengambilan monosit dan sel T. Monosit
berdeferensiasi membentuk makrofag, mengubah lipoprotein akhirnya manjdi sel
busa. Sedangkan sel T pada lesi akan mengenali antigen lokal yang berkontribusi
pada pebentukan plak.
Perubahan awal terjadinya aterosklerosis melibatkan bagian dalam
permbuluh darah dan kejadiannya dimulai sejak anak-anak yang ditandai dengan
perkembangan garit-garit lemak pada pembuluh darah (Rackley 2006). Garit
lemak bila berlanjut akan membentuk plak lemak yang dapat diperiksa secara
biokimiawi dan secara mikroskopis (Small 1988; Stary 1990). Garit lemak dapat
ditemukan pada pembuluh arteri manusia semenjak usia belasan tahun. Satu studi
autopsi terhadap 2.876 laki-laki dan perempuan yang berumur 15–34 tahun
20
mempunyai garit lemak pada aorta (Rackley 2007). Garit lemak merupakan
prekusor plak aterosklerosis tahapan lebih lanjut, dan ternyata faktor genetik
merupakan faktor utama yang mempengaruhi percepatan garit lemak menjadi plak
aterosklerosis (McGill 1968).
Patogenesis Aterosklerosis
Berdasarkan penelitian dan teori proses awal terjadinya aterosklerosis,
terdapat beberapa hipotesis yang mendasari aterosklerosis. Beberapa hipotesis
tersebut adalah hipotesis infiltrasi lipid (McGill 1968), hipotesis respon terhadap
kelukaan sel endotel (Ross 1991), hipotesis gabungan antara keduanya (Steinberg
1993), dan hipotesis respon imun (Hansson, 2009).
Hipotesis Infiltrasi Lipid. Konsentrasi LDL yang tinggi dalam plasma atau
hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko penyebab terjadinya aterosklerosis.
Hiperkolesterolemia kronis dapat menyebabkan lesi patologi awal yang ditandai
oleh adanya kristal kolesterol yang berbentuk tipis dan tajam dalam jaringan
(Fuller & Jialal 1994). Menurut teori yang dikemukakan oleh Ross (1991), lesi
awal pada dinding pembuluh darah akan terjadi akibat infiltrasi senyawa lemak
dari sirkulasi darah yang menembus dinding pembuluh darah. Hal akan
mengiritasi dan mengakibatkan peradangan serta proliferasi serabut-serabut otot
polos dinding pembuluh darah.
Kadar LDL yang tinggi memungkinkan LDL dapat menembus lumen pada
dinding pembuluh darah masuk ke bagian intima. Pada bagian intima ini LDL
akan mengalami oksidasi. LDL yang teroksidasi akan menyebabkan terjadinya
peningkatan adhesi monosit ke endotel, yang diikuti dengan kemotaksis ke dalam
jaringan subendotel (intima). Di intima, monosit akan berdeferensiasi menjadi
makrofag. Perubahan monosit ini dipicu oleh LDL teroksidasi. Reseptor LDL
tidak lagi dikenali oleh LDL teroksidasi tetapi akan dikenali oleh reseptor
skavenger dari makrofag yang menyebabkan terbentuknya sel-sel busa.
Kondisi ini akan merangsang terekspresinya sejumlah gen sitokin dan faktor
pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya proliferasi sel otot polos di bagian
intima. Akibatnya permukaan dinding pembuluh darah dibagian lumen akan
21
menggelembung akibat terjadinya penimbunan plak pada bagian media (Linder
1985; Stocker & Keaney 2004).
Peneningkatan konsentrasi kolesterol tidak selalu mengakibatkan terjadinya
aterosklerosis. Hal ini disebabkan dalam kondisi normal, 60-64% LDL
didegradasi melalui umpan balik reseptor afinitas tinggi yang diatur melalui
mekanisme umpan balik oleh peningkatan kolesterol. Sebanyak ± 35% sisanya
LDL akan didegradasi melalui jalur reseptor alternatif spesifik, yaitu afinitas
reseptor scavenger, reseptor tersebut hanya mampu mengenali LDL yang
mengalami perubahan secara kimiawi (Weisgraber et al.1992; Goldstein & Brown
1992; Keys 1996).
Hipotesis Terhadap Respon Kelukaan. Di dalam hipotesis ini,
aterosklerosis dimulai dengan kelukaan endotel dan disfungsi endotel yang
ditandai dengan peningkatan permebialitas endotel dan adaya kumpulan LDL
pada permukaan endotel (Gambar 7). Keadaan ini diikuti dengan penempelan
leukosit dan berpindah ke dalam sel endotel. Selanjutnya membentuk sel busa dan
merangsang limfosit-T teraktivasi, beragregasi dan perlekatan trombosit, leukosit
masuk ke dalam dinding pembuluh darah yang diikuti dengan migrasi sel otot
polos masuk ke intima (Gambar 7a & 7b). Proses berjalan terus-menerus sehingga
Gambar 7 Respon kelukaan pada proses aterosklerosis (Ross 1993).
makrofag terakumulasi dan terbentuknya tudung fibrosa sampai akhirnya terjadi
nekrosis di dalam inti sel dan sel pecah (Gambar 7c & 7d).
a
b
c
Akumulasi
makrofag Pembentukan
inti nekrosa
Pembentukan
tudung fibrosa
d
Plak
pecah
Penipisan
tudung fibrosa
Perdarahan plak
pembuluh darah kecil
22
Lesi yang merupakan cikal bakal pembentukan aterosklerosis diawali
dengan menurunnya fungsi sel endotel (disfungsi), atau bahkan terkelupasnya sel
endotel. Traub & Berk (1998) menyatakan disfungsi endotel dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti kecepatan aliran darah yang bertekanan tinggi,
kimiawi, imunologik maupun infeksi virus. Disfungsi endotel menyebabkan
perubahan permukaan membran sehingga terjadi perlekatan trombosit pada
membran. Perlekatan trombosit akan melepaskan platelet derived growth factor
(PDGF), yang merangsang sel-sel otot polos untuk bermigrasi dan berproliferasi
pada lapisan subendotel. Kolesterol yang teroksidasi bersifat sangat toksik bagi
sel otot polos (in vitro) dan merupakan agen aterogenik (in vivo) (Stocker &
Keaney 2004; Traub & Berk 1998).
Disfungsi endotel dan hilangnya sel endotel merupakan awal pembentukan
plak ateroma yang ditandai oleh meningkatnya perlekatan (adhesi) monosit pada
sel endotel arteri (Packard & Libby 2007). Adhesi leukosit pada sel dinding
endotel merupakan mekanisme utama yang merespon pembentukan radikal bebas
oksigen (ROS), yang akhirnya akan menghasilkan oksidan sitotoksik dan
mediator peradangan yang mengaktifkan sistem komplemen. Oksidan yang
dihasilkan akan menyebabkan kerusakan jaringan (Caterina et al. 2000; Hoorn et
al. 2003; Joris et al.1983)
Hipotesis Modifikasi Oksidatif (Gabungan). Menurut teori yang
dikemukan oleh Steinberg (1993), lesi aterosklerotik diawali oleh teroksidasinya
LDL sehingga mengakibatkan endotel mengekspresikan perlekatan monosit dan
menghasilkan monocyte chemotatic protein (MCP), macrophage colony
stimulating factor (M-CSF). Induksi tersebut mengakibatkan monosit berubah
menjadi makrofag dan menempel pada endotel. Selanjutnya makrofag akan
memfagositose LDL teroksidasi, kemudian terakumulasi pada dinding pembuluh
darah membentuk sel busa dan berakhir dengan terbentuknya lesi awal yang
dikenal sebagai lempeng kolesterol.
Kerusakan lapisan endotel menyebabkan timbulnya efek sitotoksik dari lipid
peroksida diakibatkan oleh reaksi oksidasi lipid, sehingga infiltrasi lipid menjadi
berlebihan. Proses oksidasi diduga dimulai ketika oksigen reaktif mengambil atom
hidrogen dari asam lemak tidak jenuh yang ada di dalam partikel LDL sehingga
23
terbentuk lipid peroksida dan radikal alkoksi yang selanjutnya akan menginisiasi
oksidasi asam lemak di sekitarnya. Dalam situasi jumlah antioksidan yang ada di
dalam partikel LDL tidak cukup untuk mengeliminasi lipid peroksida yang
terbentuk, maka akan terjadi propagasi lipid peroksida. Sehingga terbentuk
aldehid, keton dan produk lainnya yang reaktif, serta berikatan dengan residu lisin
dalam apolipoprotein B-100. Partikel LDL yang menempel pada permukaan
subendotel merupakan target sasaran terjadinya modifikasi oksidatif dengan
penumpukan sel otot polos, sel endotel dan makrofag pada pembuluh darah. Pada
Gambar 8, terlihat jelas bagaimana LDL dapat masuk menembus dinding
permukaan pembuluh darah.
Gambar 8 Patogenesis aterosklerosis (A, LDL teroksidasi menstimuli monosit; B,
mencegah agresi monosit; C, pembentuk sel busa; D, oksidasi LDL
menghasilkan disfungsi endotel dan perlukaan; E, sel-sel busa penyebab
sel menjadi nekrosa dan terakumulasinya LDL teroksidasi) (Stocker &
Keaney 2004).
Perubahan metabolit yang terbentuk akibat interaksi lipid-lisin akan
mengubah muatan listrik LDL sehingga mengakibatkan terbentuknya epitop baru
yang hanya dikenal oleh reseptor pemangsa (scavenger) pada makrofag. Semua
reaksi di atas mendorong terjadinya perubahan struktur LDL dan pembentukan
senyawa baru yang beberapa diantaranya cukup polar untuk lepas dari partikel
LDL dan memiliki pengaruh biologis yang negatif, termasuk diantaranya sifat
aterogenik (Steinberg 1993; Riemersma 1994; Schwenke 1998).
Hipotesis respon imun. Konsentrasi tinggi lipoprotein di dalam darah dapat
meningkatkan permebialitas endotel yang akan memicu proses radang.
24
Terbentuknya radang pada pembuluh darah, menyebabkan sel mengeluarkan
sitokina ke permukaan pembuluh darah sehingga menstimuli pembentukan
molekul adhesi, protease maupun mediator terlarut lainya yang dapat masuk ke
sirkulasi darah (Packard & Libby, 2008; Hansson 2009). Hansson (2009),
menyatakan partikel LDL teroksidasi dapat merangsang sel limfosit T pada
permukaan pembuluh darah. Peradangan akan mengakibatkan monosit masuk ke
intima pembuluh darah yang akhirnya berubah menjadi makrofag. Pada waktu
bersamaan sel limfost T masuk ke dalam pembuluh darah dan bergabung dengan
makrofag
Gambar 9 Keberadaan sel antigen pada plak aterosklerosis dan sel T pada
permukaan endotel menandakan dimulainya kejadian imunologik.
Sitokina, khemokina, faktor pertumbuhan dan enzim hidrolitik
disekresikan oleh sel sebagai respon reaksi radang. Plak akhirnya
berkembang menjadi radang, ruptur atau tetap stabil sebagai plak
(Robertson & Hansson, 2005).
Rangsangan awal pada pembentukan lesi aterosklerosis menyebabkan
perubahan dan intergritas fungsional endotel, sehingga memudahkan lipoprotein
plasma masuk ke subendotel. Hiperkolesterolemia merupakan salah satu agen
penyebab teraktivasinya sel endotel pembuluh darah. Terjadinya infiltrasi dan
retensi LDL di dalam intima akan menginisiasi respon radang terhadap dinding
pembuluh darah. Modifikasi LDL oleh oksidasi maupun reaksi enzimatis pada
intima pembuluh darah, akan melepaskan fosfolipid yang dapat mengaktifkan sel-
sel endotel dalam mengekspresikan molekul adhesi (Hansson 2005; Libby 2002).
Partikel LDL termodifikasi kemudian ditangkap reseptor makrofag scavenger
tanpa pengaturan, dan pada akhirnya terbentuklah sel-sel busa. Keadaan ini akan
Infritasi Sel
Monosit
Sel-T
Sel-T
Sel Busa
Makrofag, DC
Sel Adhesi Pengambilan LDL
Pembuluh Darah
Pertumbuhan Plak peradangan dan
Perlukaan
atau
Antigen
permukaan
Sel Endotel
Peradangan dan
reaktif imun
25
mensintesis faktor pertumbuhan dan sitokina sehingga terjadi proliferasi sel otot
polos, migrasi dan kematian sel (Caterina 2000; Siekmeier 2007; Hansson 2009).
Pada awal perkembangan aterotrombosis ketika terjadi radang, molekul
VCAM- 1 terekspresikan sehingga meningkatkan pengambilan monosit dan sel
limfosit T ke endotel yang mengalami luka Kondisi ini menyebab leukosit
melepaskan monocyte chemo-attractant protein-1(MCP-1) dan pengambilan
kembali leukosit. Leukosit di dalam media pembuluh darah teraktivasi sehingga
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel otot polos. Respon ini memberikan
tanda pada awal kejadian plak, adhesi monosit ke endotel lalu menembus lapisan
bawah membran sel sebagai akibat dari aktivitas enzim. Matrix metalopoteinase
(MMP) setempat pertama kali teraktivasi, lalu mendegradasi matrik jaringan
konektivus. Makrofag akan melepaskan sitokina dan bermigrasi ke permukaan
endotel pada bagian dalam media pembuluh darah. Proses ini selanjutnya akan
meningkatkan pelepasan monocyte stimulating factor (M-CSF) setempat dan
menyebabkan monosit berproliferasi (Crowther 2005). Pengaktifan monosit
setempat menyebabkan sitokina merangsang perkembangan aterosklerosis dan
oksidasi LDL (Hansson 2009; Libby 2002; Packard & Libby 2008).
Setiap kali terjadi inisiasi aterosklerosis, mediator-mediator radang
diekpresikan oleh sel-sel otot polos ke dalam plak aterosklerosis, yang meliputi
interleukin-1B (IL-B), tumor necrosis factor (TNFα-β), IL-6, M-CSF, MCP-1, IL-
18, dan CD-40L. Efek yang ditimbulkan oleh mediator dapat bermacam-macam,
seperti mitogenesis, proliferasi matrik intraseluler, angiogenesis dan
perkembangan sel busa. Molekul M-CSF merangsang reseptor scavenger pada
permukaan sel makrofag, sehingga pengambilan LDL teroksidasi meningkat, yang
pada akhirnya membentuk sel-sel busa busa (Crowther 2005; Linton & Fazio
2003).
Proses oksidasi lipoprotein merupakan suatu mekanisme pembentukan
abnormal dalam dinding pembuluh darah (Crowther 2005). Hal ini disebabkan
adanya proses oksidasi asam lemak jenuh majemuk dari lipoprotein dalam bentuk
LDL dan VLDL, yang melintasi sel endotel dan terperangkap dilingkungan
ekstraseluler intima. Telah diuraikan sebelumnya, bahwa partikel LDL teroksidasi
merupakan salah satu penyebab terbentuknya plak ateroma. Akibat proses
26
oksidasi yang terjadi di dalam tubuh, maka radikal bebas yang ada di dalam tubuh
(RO٭, ROO٭ dan OH٭) akan mengoksidasi lipid lebih lanjut menghasilkan
produk oksidasi lipid seperti malonaldehid.
Molekul LDL teroksidasi dapat dikenali oleh sistem imun tubuh sebagai
senyawa asing. Oleh sebab itu tubuh akan nerespon dengan cara: partikel LDL
bersama sama monosit berinfiltrasi ke intima, dan menghambat pergerakan
makrofag; makrofag mengambil LDL teroksidasi melalui reseptor scavenger yang
akhirnya membentuk sel-sel busa; LDL teroksidasi juga merusak endotel dan
meningkatkan proliferasi monosit, sel endotel dan otot polos (Steinberg et al.
1989; Steinberg et al. 1997). Respon ini makin lama makin meningkat dan
semangkin menebal hingga mempersempit arteri yang pada akhirnya
memperberat kondisi aterosklerosis (Stocker & Keaney 2004)
Sel imun limfosit T dapat menyesuaikan diri, berperan penting dalam
pengaturan aterogenesis termasuk lesi aterosklerosis dalam merespon monokina
yang diinduksi oleh interferon-γ (IFN-γ) dan IFN. Sub tipe CD4+
sel T, akan
mengenali antigen yang dibawa oleh Major histocompatibility complex clas II
(MHC-II) merupakan prediposisi terjadinya lesi (Packard & Libby 2008). Lesi
aterosklerosis yang berisi CD4+ sel T sebagai antigen reaktif dalam mengikat LDL
teroksidasi yang telah di klon dari lesi manusia. Pengaktifan CD8+
sel T pada
mencit yang apoE dihilangkan, ternyata dapat menimbulkan kematian dinding
arteri dan mempercepat aterosklerosis (Hansson 2009; Linton & Fazio 2003;
Packard & Libby 2008) Ada dua tipe sel Th yaitu Th1 dan Th2, tipe Th1
mengaktifkan respon makrofag dan menginisiasi hipersensitivitas terhadap
patogen intraseluler. Sedangkan tipe Th2 berespon pada alergi. Aterosklerosis
yang mengandung sitokin akan meningkatkan respon T helper-1 (Th1) sehingga
sel T teraktivasi untuk berdeferensiasi menjadi sel-sel Th1 efektor. Sel efektor
akan memproduksi macrophage activating colony interferon-γ. Interferon γ
meningkatkan efisiensi penyajian antigen dan sintesis sitokin peradangan TNF
dan IL-1 (Caterina et al, 2000; Hansson 2009; Linton & Fazio 2003; Packard &
Libby 2008).
Makrofag yang berinteraksi dengan limfosit sel T dapat langsng beradaptasi
(Gamabr 10), dan mensekresikan kemokin; sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6 dan
27
TNF-α); oksigen reaktif dan spesies nitrogen: penyebab LDL teroksidasi dan
kerusakan sel; ekspresi faktor jaringan (trombogenositas); menangkap LDL
teroksidasi (pembentuk sel busa); dan mensekresikan protease untuk degradasi sel
otot (Robetson & Hansson 2006; Hansson 2009). Aktivitas biologis dari TNF-α
akan menginduksi sel-sel endotel dari gen yang mengatur berinteraksinya sel
endotel dengan leukosit, seperti molekul adhesi vascular celuler adhesion
molecule-1 (VCAM-1), intercellular adhesion molecule -1 (ICAM-1, P-selektin,
faktor jaringan, sitokina peradangan dan kemokin (Inoue et al. 2006). Molekul
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dapat menarik netrofil dan limfosit.
Sedangkan endothelium leukocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) meningkatkan
interaksi antara monosit dan limfosit T dan vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) meningkatkan ikatan pada permukaan leukosit antara monosit dan
limfosit
Gambar 10 Kaskade kejadian aterogenesis diawali oleh makrofag yang
berinteraksi dengan limfosit sel T teraktivasi dan makrofag
(Robertson & Hansson, 2005).
Secara in vitro, proses oksidasi LDL dapat diinisiasi melalui inkubasi
dengan logam tembaga (Cu) dan atau besi (Fe) yang akan memecah lipid
hidroperoksida dan menginisiasi reaksi propagasi. Umumnya LDL yang
dioksidasi oleh ion logam merupakan zat kemotatik bagi monosit dan limfosit T.
Sedangkan cara LDL teroksidasi dapat terjadi in vivo sampai saat ini belum
diketahui secara pasti. Hal ini terjadi karena perubahan kimiawi ketika LDL
mengalami oksidasi kompleks dan prosesnya sebagian besar terjadi di daerah
Pengambilan LDL terosidaksi pembentukan sel busa
Ekspresi factor jaringan
Trombogenesitas
Sekresi oksigen reaktif dan spesies nitrogen :
LDL teroksidasi, kerusakan sel
Sekresi properadangan
Sitokina (IL-1, IL-6, TNF-(α)
Sekresi protease Degradasi ECM, pembentukan lesi
dan pecahnya plak
Aktivasi
Aktivasi
kemokin
Molekul Adhesi
Protease Reseptor skavenger
Sekresi kemokin
migrasi sel
Makrofag
28
subendotel pembuluh darah di luar sirkulasi sehingga evaluasi oksidasi LDL in
vivo masih perlu diteliti secara mendalam.
Faktor-faktor yang telah dilaporkan mempunyai kemampuan mempengaruhi
oksidasi LDL in vivo antara lain (1) adanya oksigen yang mendorong
terbentuknya radikal bebas seperti asap rokok, tekanan darah tinggi, senyawa
kimia dan obat-obat tertentu, (2) jumlah LDL yang memasuki jaringan subendotel
sangat tergantung pada konsentrasi plasma LDL dan derajat kerusakan jaringan
endotel, (3) faktor yang ada di dalam partikel LDL, seperti: kandungan asam
lemak tidak jenuh pada partikel LDL menjadi substrat dalam proses peroksidasi
lipid dan kandungan senyawa antioksidan endogen, dan (4) faktor yang ada di luar
partikel LDL, seperti aktivitas berbagai pro-oksidan selular, konsentrasi senyawa
pro-oksidan dan konsentrasi berbagai senyawa antioksidan di dalam plasma dan
cairan ekstraselular lainnya (Wuryastuti 2000; Morrow 1995; Reaven & Witztun
1998).
Protein yang terdapat di dalam daging bila dikonsumsi dengan tidak baik
dan hanya sedikit mikronutrien, dapat menimbulkan aterosklerosis karena terjadi
akumulasi homosistein. Homosistein merupakan racun yang sangat kuat bagi sel
otot polos dan sel endotel arteri. Homosistein adalah suatu asam amino yang
mengandung gugus sulhifdril, secara in vitro mempunyai kemampuan dalam
menghasilkan dan mengakumulasikan kolagen pada sel-sel otot polos pembuluh
darah, tetapi prosesnya belum diketahui dengan jelas (Leaf & Weber 1989).
Homosistein merupakan senyawa antara yang terbentuk pada system
metabolisme dan terdapat dalam beberapa bentuk di dalam plasma. Bebarapa hasil
penelitian terhadap peningkatan homosistein dalam darah (hiperhomosisteinemia),
menyatkan bahwa hiperhomosisteinemia merupakan salah satu faktor risiko
independen untuk terjadinya infak miokard, stroke dan penyakit pembuluh darah
perifer. Hiperhomosisteinemia moderat umumnya ditentukan oleh kadar
homosistein 15-16 umol/ml dan 40-50% merupakan penderita dengan komplikasi
vaskular (Verhoef et al. 2000). Kadar homosistein meningkat seiring dengan
menurunnya jumlah asam folat, vitamin B12 dan B6. Vitamin ini merupakan
substrat pada metabolism metionin dan homosistein.
29
Plak Ateroma
Ateroma adalah manifestasi aterosklerosis yang berarti pengerasan dinding
arteri. Sklerosis berasal dari kata Yunani yang berarti keras. Perkembangan
aterosklerosis diawali dengan perubahan di dalam endotel. Perubahan dimulai
dengan terbentuknya plak ateroma, yang dicirikan dengan adanya penimbunan
kolesterol dan asam lemak, kalsium, jaringan konektivus, sel-sel otot polos yang
berproliferasi dan matrik ekstraseluler (ME). Matrik ekstraseluler pada plak
ateroma tersebut berasal dari sel otot polos yang berproliferasi pada bagian intima.
Sel otot polos pembuluh darah bertanggung jawab dalam mensintesis komponen
matriks intraseluler termasuk proteoglikan. (Wagner 1985; Edwards dan Wagner
1988).
Kwak et al. (2001) menyatakan, bahwa ada 3 komponen utama untuk
terjadinya plak aterosklerosis yaitu: (1) sel endotel, sel otot polos, makrofag, dan
limfosit T, (2) matriks ekstraseluler jaringan pengikat, dan (3) akumulasi lipid
intraseluler dan ekstraseluler. Ketiga komponen tersebut dapat terjadi di dalam
berbagai proporsi pada plak yang berbeda dan menggambarkan peningkatan lesi.
Khususnya pada permukaan serabut penyusun sel otot polos yang menebal, dan
sedikit meradang.
Sel yang terlibat dalam aterosklerosis
Sel endotel merupakan lapisan pelindung utama dinding pembuluh darah
terhadap segala pengaruh buruk terutama berasal dari darah. Oleh karena itu jika
sel endotel mengalami kerusakan/luka, maka sel-sel otot polos dan monosit akan
masuk ke dalam sel intima endotel kemudian berproliferasi dan akhirnya akan
menumpuk menjadi sel busa. Akhinya terbentuklah plak pada bagian intima
dinding pembuluh darah.
Sel endotel merupakan suatu struktur pembuluh darah yang sangat krusial,
bukan hanya karena fungsinya, tetapi juga dapat menghasilkan mediator yang
mengatur pertumbuhan vaskular, fungsi trombosit dan koagulasi darah. Endotel
juga berfungsi dalam pengaturan tonus vasomotor dengan mensintesis dan
metabolisme endothelium derived hyperpolerising factor, prostacycline dan faktor
penting adalah endhotelium derived relaxing factor (EDGF), yang telah
30
diidentifikasi sebagai nitrit oxide (NO) atau suatu komponen terkait. NO dibentuk
dari L-arginin oleh kerja enzim NO-synthase (NOS), yang bekerja menghambat
agregasi dan perlekatan trombosit, modulasi proliferasi sel otot polos, menekan
pembentukan endotelin dan memodulasi perlekatan leukosit dan monosit ke
endotel (Bassenge & Busse 1988; Crowther 2005; Palmer et al. 1988; Wolin
2000).
Sel endotel berfungsi sebagai vasodilator, antitrombotik dan antiinflamasi.
Dalam kondisi normal, sel endotel mensintesis vasodilator yang berbeda seperti
NO, prostaglandin PG12 dan endothelium derived hyperpolarizing factor
(EDHF). Pada kondisi patologis, sel endotel mensintesis berbagai faktor
vasokontriksi seperti endothelium derived contriction factor (EDCF) termasuk
endotelin, superoksid dan prostaglandin (Shimokawa 2000). Sel endotel dan
trombosit menghasilkan granula protein membran 140 kD (GMP-140) yang dapat
berikatan dengan netrofil dan monosit, bila sel endotel teraktivasi dengan cepat
terjadi translokasi netrofil dan monosit ke dalam membran. Setelah monosit
menempel pada sel endotel, selanjutnya akan bermigrasi ke lapisan intima.
Migrasi ini terkait dengan kehadiran sitokina monocyte chemottractant protein-1
(MCP-1) yang dihasilkan dan disekresikan oleh sel endotel, sel otot polos dan
makrofag yang banyak dijumpai pada plak ateroma manusia maupun kelinci
(Carlos & Harlan 1990; Munro & Cotrans 1988; Steinberg 1993).
Peningkatan permebialitas sel endotel merupakan kelainan pertama akibat
terjadi jejas arteri dan merupakan suatu respon yang tidak spesifik disebabkan
oleh virus, toksin, kompleks imun, produk-produk yang dilepaskan oleh sel-sel
darah putih maupun platelet-platelet yang teraktivasi, serta stres fisik yang tidak
lazim (Hansson, 2009; McGill 1968). Hal ini dapat juga disebabkan adanya
peningkatan konsentrasi lipoprotein dalam darah. Kerusakan endotel akan
merangsang platelet-platelet terakumulasi, berdegranulasi dan menghasilkan
adenosine difosfat (ADP) serta tromboksan A2. Molekul ADP dan tromboksan
A2 merupakan penyebabkan penumpukan platelet. Platelet-platelet sel endotel,
makrofag, dan sel T limfosit menghasilkan cytokines like stimulating factors,
insulin like growth factor-1, TGF-B, interleukin-1, dan tumor necrosis factor.
Semua ini menghasilkan suatu faktor yang diketahui sebagai Platelet derivate
31
growth factors (PDGF), yang menyebabkan sel-sel otot polos dapat berproliferasi
masuk ke dalam intima dan mengambil lipoprotein untuk membentuk sel busa,
menghasilkan elastin, kolagen kemudian membentuk plak fibrosa. plak fibrosa
adalah lesi yang langsung berhubungan dengan penyakit terutama dalam kondisi
perubahan degeneratif (Argman et al. 2001; Hansson, 2009; Hoffman 1996;
Rackley 2006).
Sel-sel otot polos merupakan unsur paling penting dalam pembentukan
ateroma. Sel-sel ini berasal dari lapisan media dan berproliferasi ke dalam intima.
Sel otot polos mempunyai sifat mitogenik dan proliferatif. Sifat ini dipengaruhi
oleh rangsangan dari luar melalui reseptor khusus seperti LDL, faktor
pertumbuhan (PDGF), insulin (Hansson, 2005). Sel-sel otot polos pada arteri
terlibat di dalam kontraktil dan pengaturan intergritas struktur pembuluh darah,
serta metabolisme lipid. Sel otot polos merupakan faktor utama yang berperan
dalam perkembangan lesi aterosklerosis.
Hansson (2005) menyatakan bahwa sel otot polos mempunyai sifat
mitogenik dan proliferatif. Sifat ini dipengaruhi oleh adanya rangsangan dari luar
melalui reseptor khusus seperti LDL, platelet derived growth factor (PDGF) dan
insulin. Secara in vitro, sel otot polos yang dikultur dan diinkubasikan dengan
LDL teroksidasi dapat menimbulkan gangguan terhadap integritas struktural
matrik. Keadaan ini akan meningkatkan permebialitas terhadap lipoprotein plasma
dan menyebabkan gangguan ketahanan jaringan terhadap daya tekan.
Dalam media dari arteri normal mamalia, hanya sel otot polos ditemukan
Menurut St Clair et al. 1996, sel-sel otot polos dijumpai juga pada bagian intima
normal. Sedangkan Stary et al. (1992) menyatakan bahwa hasil uji mikroskop
elektron dan imunohistokimia, terdapat dua jenis selsel otot polos pada intima
arteri manusia yaitu sel otot polos yang banyak mengandung miofilamen atau
kontraktil dan yang banyak mengandung retikulum endoplasmik kasar (r-ER) atau
sintetik.
Menurut Stary et al. (1992) dan Stary et al. (1994), pada kultur sel, sel otot
polos yang banyak mengandung retikulum endoplasmik kasar dapat mensintesis
komponen matrik ekstraseluler. Menurut Anitshkow, sel-sel otot polos yang
terdapat pada lesi aterosklerosis mempunyai perbedaan morfologis dengan sel otot
32
polos yang terdapat pada media yaitu bersifat lebih basofilik. Hal ini disebabkan
sel otot polos banyak mengandung retikulo endoplasmik kasar dan (rER-smoot
muscle cells) atau sel otot polos yang termodifikasi (modified smooth muscel
cells). Proliferasi sel otot polos merupakan salah satu tanda adanya gangguan pada
pembuluh darah yang menyebabkan terbentuknya aterosklerosis.
Makrofag berperan penting dalam aterosklerosis dan metabolisme
lipoprotein. Makrofag berasal dari monosit dan peredaran darah yang menetap di
intima dan berkembang menjadi makrofag. Peran penting lainnya memediasi
respon peradangan dan antigen (antigen-independent/innate). Makrofag derivat
monosit adalah pemangsa dan penyaji antigen (antigen-presenting cells/APC)
terhadap respon peradangan yang menghasilkan sitokina, radikal oksigen bebas,
protease dan faktor komplemen. Pengambilan lipoprotein termodifikasi oleh
makrofag maka akan terjadi akumulasi kolesterol ester membentuk sel busa yang
dikenal sebagai garit lemak. Sel busa dapat pecah dan menghasilkan
metaloproteinase (Ross, 1999; Linton & Fazio, 2003; Hansson, 2005).
Makrofag memiliki reseptor yang dapat mengikat antibodi dan senjata yang
mampu mencari dan menghancurkan antigen yang khas terhadap antibodi itu.
Selama terjadi proses infeksi, sel limfosit-T yang terangsang menghasilkan
sejumlah limfokin yang akan menarik makrofag ke tempat yang dibutuhkannya
dan terus mengaktifkannya. Makrofag dapat juga berperan sebagai sel scavenger,
sel mediator sistem imun, sumber molekul kemotaksis dan sitokina (Efendi 2003;
Linton & Fazio 2003; Libby 2002).
Peranan Proteoglikan dalam Aterosklerosis
Proteoglikan (PG) merupakan makromolekul matrik ekstraseluler terdiri
atas protein rantai glikosaminoglikan (GAG), dihubungkan oleh oligosakarida
yang tersusun atas silosa-galaktosa-galaktosa . Sebagaimana dengan glikoprotein
maka PG mengandung rantai N-oligosakarida dan O-oligosakarida. Rantai
oligosakarida dari PG terdiri dari unit disakarida berulang yang mengandung 1)
Glukosamin atau galaktosamin, 2) Asam uronat kecuali untuk keratan sulfat, dan
3) Ikatan kovalen gugus sulfat baik sebagai ester-O atau sebagai sulfat-N, kecuali
33
untuk asam hialoronat (Poole 1986). Pada arteri normal, PG utama adalah
kondroitn 4-sufat (C4S), kondroitn 6-sufat (C6S), dan dermatan sulfat (DS),
sedangkan heparin sulfat (HS) dan heparin sulfat ditemukan dalam jumlah sedikit
(Edwards & Wagner 1988).
Kompleks proteoglikan dengan lipoprotein (PG-lipoprotein) terjadi pada sel
otot polos, hal ini merupakan bentuk terjadinya aterosklerosis. Kompleks PG-
lipoprotein dapat terbentuk karena kontak langsung dengan sel otot polos yang
disebabkan oleh adanya makrofag yang terstimulasi. Keadaan ini memicu
terjadinya akumulasi kolesterol ester sehingga menjadi sel-sel busa.
Komposisi asam amino dan berat molekul protein inti pada DS-PG dan CS-
PG aterosklerosis sama dengan normal, perbedaan ditemukan pada rantai GAG.
Molekul DS-PG aterosklerosis mempunyai berat molekul GAG lebih kecil (15
kD) dari normal (18 kD), sedangkan CS-PG sebagian besar rantai GAG berukuran
lebih panjang (2,0x104) dari normal (1,5x10
4) dan sebagian kecil berukuran lebih
pendek (1,2 x 10 4). Pada DS-PG aterosklerosis, substitusi residu serin terhadap
karbohidrat sangat tinggi (30–40%) dari normal (1-2%), monomernya berukuran
lebih besar, dan memiliki afinitas yang sangat besar terhadap LDL. Rantai GAG
CS-PG juga mengalami penurunan kandungan serin dan treonin yang mencapai
separuh dari normalnya. Kemampuan PG ini untuk berikatan dengan asan
hialoronat (HA) juga mengalami penurunan mencapai separuh PG normal. Selain
itu CS-PG yang ditemukan pada aterosklerosis adalah C6S, sedangkan pada
jaringan normal adalah C4S. Perbedaan-perbedaan tersebut diatas diduga terjadi
pada proses postranslasional PG dalam badan golgi (Rowe & Wagner 1985;
Wagner et al. 1986).
Poole (1988) menyatakan bahwa, PG dan glikoprotein merupakan
makromolekul dimana rantai oligosakarida atau polisakarida terikat secara
kovalen ke kerangka polipeptida. Rantai oligosakarida dari PG terdiri atas unit-
unit disakarida berulang mengandung: 1). Glukosamin atau galaktosamin, 2).
Asam uronat kecuali untuk keratan sulfat, dan 3). Ikatan kovalen gugus sulfat baik
sebagai ester-O atau sebagai sulfat-N, kecuali untuk asam hialoronat.
Proteoglikan merupakan matriks ekstraseluler pada permukaan sel yang
mengandung polisakarida linear dengan gugus sulfat, glikosaminoglikan (GAG)
34
berikatan kovalen ke protein inti. Makromolekul karbohidrat berperan penting
dalam memelihara intergritas struktural pada jaringan, karena berinteraksi dengan
makromolekul jaringan penghubung seperti kolagen dan elastin, proteoglikan
membentuk substansi dasar yang ada diantara sel. Proteoglikan juga memelihara
struktur dan intergritas fungsional dari endotel (Key et al. 1992; Rowe & Wagner
1985). Struktur dasar PG seperti Gambar 11.
Gambar 11 Struktur dasar proteoglikan
Berdasarkan struktur dan sifat komponen penyusunnya, PG mempunyai
peranan penting sebagai bagian matriks penyokong dari jaringan penghubung
yang terlibat langsung dalam interaksi antar sel-sel maupun antar sel-sel dengan
matriks (sel matriks). Molekul GAG bersifat hidrofilik, yang menyebabkan PG
mampu membentuk gel sehingga tahan terhadap tekanan. Cairan antar sel dalam
jalinan PG memungkinkan berlangsungnya difusi zat makanan dan metabolit, atau
dengan kata lain PG berperan dalam mengatur dan mengontrol distribusi garam
dan air. Hal ini penting untuk memelihara sel serta serabut ikat dengan baik
(Poole, 1988).
Identifikasi PG. Ioozo (1998) menyatakan bahwa berdasarkan struktur dan
fungsi yang sama terhadap tingkat genomik dan tingkat protein, proteoglikan
terdiri atas 4 macam gen yaitu, versican, aggregan, neurocan dan brevican.
Proteoglikan yang kaya akan leusin kecil disebut small leucin-rich proteoglikan
(SLRPs) berisi sedikitnya 9 produk yang dikode oleh gen terpisah dan
dikelompokkan menjadi 3 klas. Klas I, terdiri atas decorin dan biglycan; klas II,
35
terdiri atas fibromodulin, lumican, keratocan, PRELP, osteodorin; klas III, terdiri
atas epiphycan dan osteoglycan.
Kaplan & Aviram (2000) menyatakan bahwa heparan sufat (HS) dan GAG
berperan mengatur proses selular, termasuk mengatur berinteraksinya faktor
transkripsi (TF) di dalam inti. Hal ini dikarenakan HS dan GAG kaya akan leusin
seperti dekorin dan biglikan. Leusin dan biglikan terdapat pada jaringan arteri
normal maupun berlesi.
Proteoglikan yang terdapat pada dinding pembuluh darah terdiri atas:
perlecan, agrin dan bamacan. Perlecan mengkode gen HS-PG yang terletak pada
kromosom Ip-36 pter (manusia) dan kromosom 4-distal (tikus) dengan GAG
adalah heparan/ CS. Agrin mengkode gen AGRN terletak pada kromosom Ip-32
pter pada manusia dan kromosom 4-distal pada tikus dengan tipe GAG adalah HS,
sedangkan CS adalah bamacam tipe dari GAG (Ioozo 1998).
Menurut Wagner (1985) dan Edwards & Wagner (1988) menyatakan nahwa
proteoglikan utama pembuluh arteri normal adalah kondroitin 4 sulfat (C4S),
kondroitin 6 sulfat (C6S) dan dermatan sulfat (DS), sedangkan heparan sulfat (HS)
dan heparin dijumpai dalam jumlah sedikit.
Mekanisme Sintesis Tempat Intraseluler
Protein inti Retikulum endoplasmik
Intermediet dolikol Penambahan oligosakarida
difosfat manosa tinggi–N linked
Transferase glikosil glikosilasi
Transferase glikosil Penambahan rantai CS, KS,HS, &H Golgi
dengan UDP-glu & dan O- linked oligosakarida
UDP-N-asetilglukosamin
3’fosfoadenosin- Sulfasi secara bersama dgn GAG lalu
5’fosfosulfat (PAPS) terjadi epimerasi dari as glukoronik
untuk iduronik pada DS, HS & H
Perubahan OS manosa tinggi
ke asam sialik tipe OS
terjadi sekresi vakuola
Gambar 12 Biosintesis proteoglikan (poole 1988)
36
Biointesis proteoglikan berlangsung di dalam retikulum endoplasmik dan
disempurnakan di dalam golgi kemudian disekresikan melalui vakuola (Gambar
12). Pengaturan biosintesis melibatkan beberapa molekul penting seperti
hidrokortison, testosteron, follicle stimulation hormone (FSH) maupun growth
factor seperti PDGF, insulin-like growth factor II, pituitary-derived fibroblast
growth factor. Setiap jenis dari masing-masing sel mempunyai fungsi yang
berbeda (Poole 1988).
Fungsi lain PG dalam aterosklerosis adalah adanya hubungan tidak langsung
DS-PG dengan HS-PG. DS-PG dan heparin dapat mempercepat penghambatan
reaksi pembentukan trombin melalui stimulasi heparin cofactor II (HC-II).
Trombin merupakan serin proteinase yang berperan dalam hemostasis dan
trombosis melalui kemampuannya menghasilkan fibrin dan mengaktifkan platelet.
Molekul HC-II distimulasi oleh DS-PG-HA, selanjutnya akan diaktifkan oleh HS-
PG. Penurunan konsentrasi HS-PG pada penderita aterosklerosis menimbulkan
ganggguan terhadap pengaturan trombin, sehingga aktivitas trombin menjadi
berlebihan. Aktivitas trombin yang berlebihan ini selanjutnya akan menghambat
aktivitas DS-PG untuk menstimulasi dan melepaskan HC II (Cadroy et al. 1993;
Shirk et al. 1996).
Faktor Risiko
Faktor risiko merupakan penyebab yang dapat mendorong terbentuknya
aterosklerosis dan dapat menyebabkan PJK. Salah satu cara pencegahan PJK yaitu
menghindari berbagai faktor risiko. Faktor risiko tersebut antara lain: tingginya
kolesterol di dalam darah (hiperkolesterolemia), hipertensi, merokok, usia,
gender, estrogen, obesitas, etnis, diet, diabetes, gaya hidup, dan genetik. Saat ini
dikenal faktor risiko baru PJK seperti kadar homosistein, C-reactive Protein
(CRP) serta lipoprotein (a) (Libby 2000; Packard & Libby 2008).
Hiperkolesterolemia adalah kenaikan konsentrasi kolesterol dalam
peredaran dan darah tidak dapat disanggah lagi sebagai penyebab utama
aterosklerosis. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli dengan penurunan kolesterol
dalam darah menurunkan juga pembentukan aterosklerosis. Kolesterol sendiri
tidak dapat dipisahkan dengan lipoprotein dan lipid lainnya sebagai faktor
37
aterogenik. Kolesterol-HDL dapat memediasi hati untuk mengeluarkan kolesterol
melalui rivers transpotasi keperifer. Faktor genetik diketahui berkontribusi
terhadap rendahnya konsentrasi kolesterol HDL yang melibatkan perubahan
terhadap: gen untuk apolipoprotein A1-C11; lipoprotein lipase; protein transfer
ester kolesterol; lipase hepatik dan lesitin asiltransferase kolestrol.
Hipertensi dapat merangsang aterogenesis namun mekanisme kejadian
hipertensi tidak diketahui dengan pasti. Penurunan tekanan darah secara nyata
menurunkan resiko terjadinya stroke. Hipertensi diduga dapat menyebabkan
disfungsi endotel dengan menurunkan kadar Nitrit Oxide (NO), sehingga
vasodilatasi jadi berkurang dan resistensi pembuluh darah menjadi meningkat
(Panaza et al. 1993). Kondisi ini berkaitan erat dengan adanya peningkatan Ca2+
dan penuruan NO sintetase, atau sebagai efek radikal bebas derivat oksigen yang
menghambat produksi NO. Selain itu juga diduga beberapa jenis zat yang
dikeluarkan oleh tubuh seperti rennin, angiotensi dan lain lain dapat menginduksi
perubahan seluler yang menyebabkan aterogenesis.
Merokok, metabolit rokok adalah allylamine dengan produk akhir acreolin
dan spesies oksigen reaktif. Penurunan tekanan oksidatif pada level antioksidan
meneybabkan menurunnya kemampuan tehadap peroksidasi lipid, disfungsi
endotel dan pembengkakan mitokondria (Zimmerman & McGeaccliie 1987).
Merokok juga menyebabkan terjadi peningkatan agregasi dan fibrinogen plasma
yang berkontribusi terhadap gangguan di arteri (Badimon et al. 1999).
Diabetes berhubungan dengan aterosklerosis. Diabetes berperan dalam
penyakit vascular sebagai komplikasi jangka panjang seperti gangguan ginjal.
Pada diabetes terdapat peningkatan LDL yang mudah mengalami glikolasi dan
oksidasi, disamping itu VLDL dan HDL juga mengalami oksidasi dan glikolasi
(Bierman 1992). Hiperglikemia berkontribusi terhadap fungsi endotel yang
merespon produksi abnormal asetetilkolin, meningkatkan tromboksan dan
prostaglandin, meningkatkan Ca2+
intraselular. Semua molekul kimia ini
menyebabkan pelepasan agen vasokontriksi endotel seperti: asetilkolin1 dan
endotelin1. Hiperglikemia juga beraselerasi menghasilkan radikal bebas untuk
memediasi terjadinya LDL teroksidasi (Kawamura et al. 1994).
38
Fibrinogen merupakan prekursor dari fibrin dan berhubungan dengan
viskositas darah, aliran dan koagulasi darah. Peningkatan agregasi platelet, fibrin
dan pembentukan thrombin akan menstimuli proliferasi dan pembentukan plak.
Proses juga karena tingginya level faktor VII dan aktivator plasminogen yang
dapat sebagai prediksi dari aterosklerosis (Cartellaro et al. 1993).
Homosistein dilaporkan cukup signifikan sebagai faktor risiko untuk
penyakit pembuluh darah aterotrombotik. Mekanisme patogenik homosistein
diduga terkait dengan penyakit penyakit jantung termasuk efek dari fungsi
platelet, faktor pembekuan dan endotel yang menyebabkan migrasi dan proliferasi
sel (Mayer et al. 1996, Robinson, 2000). Level homosistein dapat dipengaruhi
oleh vitamin B12, B6 dan suplemen asam folat dalam pengaturan metabolisme
homosistein (Toole, et al. 2004).
Radikal Bebas dan Antioksidan
Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang
radikal bebas dan antioksidan. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit
diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Reaksi
oksidasi terjadi setiap saat, ketika kita bernafas reaksi oksidasi juga terjadi.
Reaksi oksidasi dapat menimbulkan radikal bebas yang sangat aktif dan dapat
merusak struktur dan fungsi sel. Tetapi reaktivitas radikal bebas dapat dihambat
oleh system anti oksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh (Winarsih,
2007).
Dalam kehidupan aerobik, oksigen mempunyai beberapa peranan penting
antara lain memproduksi energi, mensintesis berbagai senyawa esensial,
menurunkan aktivitas molekul yang tidak dikehendaki dan melawan
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dewasa, oksigen yang
dikonsumsi 90-95 % akan diubah oleh proses respirasi di dalam mitokondria
menjdi air (H2O). Sekitar 5-10% sisanya akan mengalami reduksi univalent atau
bivalent menghasilkan senyawa oksigen reaktif, yaitu: radikal superoksida,
hydrogen peroksida dan hidroksi radikal (Estaerbauer 1993; Wuryastuti 2000).
Untuk pertahanan diri terhadap senyawa kimia yang berbahaya dan
mikrobah patogen yang masuk ke dalam tubuh, terdapat suatu sistem detoksikasi
39
dan respon imunologik yang melibatkan berbagai organ tubuh. Mekanisme
detoksifikasi ditunjukan untuk menanggulangi senyawa-senyawa kimia asing
seperti logam berat, pestisida, insektisida dan lain-lain. Berbagai logam berat dan
logam transisi telah diketahui sebagai katalis radikal bebas (Halliwel et al.1992).
Mekanisme detoksifikasi dapat meliputi pembentukan senyawa radikal (elektrofil)
dan radikal bebas. Reaksi ini terjadi didalam hati melalui system enzim
monooksigenase sitokrom P-50 (Zakaria 1996). Jumlah P-450 dalam hati
tergantung ukuran tubuh dan jangka hidup serta berbanding terbalik dengan
kemampuan jaringan membentuk peroksida. Selain itu, sitokrom P-450
memproduksi sejumlah besar oksigen aktif, dan NADPH-sitokrom P-450
reduktase yang membantu dalam pembentukan oksigen radikal.
Radikal Bebas
Radikal bebas, yang sering disebut sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR)
adalah sebagai atom atau molekul yang mempunyai satu atom lebih yang tidak
berpasangan pada orbital luarnya (Halliwell et al. 1992). Ada dua cara untuk
terbentuknya radikal bebas yaitu: secara endogen, sebagai respon normal dari
rantai biokimia di dalam tubuh, sel (intrasel) maupun ekstrasel; secara eksogen
radikal bebas diperoleh dari polusi, makanan dan penyerapan kulit (Supari 1996).
Radikal bebas dan senyawa reaktif yang diproduksi dalam jumlah normal
sesungguhnya berperan penting dalam menjalankan fungsi biologik seperti sel
darah putih menghasilkan H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bekteri
(Wuryastuti 2000). Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat
reaktif dalam upaya mendapat pasangan elektronnya, dan dapat membentuk
radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk
berpasangan dengan radikal sebelumnya (Muhilal 1991).
Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan
elektron. Sebagai dampak kerja radikal bebas tersebut akan terbentuk radikal
bebas baru yang berasal dari atom atau molekul elektronnya untuk berpasangan
dengan radikal sebelumnya. Tetapi apabila dua senyawa radikal bertemu dengan
elektron-elektron yang tidak berpasangan, dan kedua senyawa tersebut akan
bergabung membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sedangkan bila radikal bebas
40
bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas akan berpasangan dengan jalan:1.
Radikal bebas memberikan elektronnya yang tidak berpasangan (reduktor) yang
bukan radikal: 2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa
bukan radikal bebas dan 3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan
radikal bebas (Winarsi 2007; Halliwell et al. 1992).
Menurut Sadikin (2001), serangan radikal bebas terhadap molekul
sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai, kemudian
menghasilkan senyawa radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas
dapat bermacam-macam dimulai dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit
autoimun, penyakit degeneratif hingga kanker. Radikal bebas dapat menyebabkan
kerusakan di berbagai bagian sel, karena sangat reaktif dalam gerakan yang tidak
beraturan (Halliwell et al. 1992; Muhilal 1991). Kerusakan dapat terjadi pada
komponen penyusun membran sel seperti asam lemak tak jenuh yang merupakan
bagian dari fosfolipid, kerusaakan lebih lanjut terjadi pada organel sel sampai
pada kerusakan DNA di dalam inti (Halliwel 2005).
Pembentukan radikal bebas pada awalnya diketahui terjadi di netrofil dan
makrofag yang terinfeksi mikroorganisme (Jenssen et al. 1993). Radikal anion
superoksida (O2٭-) dapat dibentuk dari oksigen tereduksi menjadi air dengan
penambahan 4 elektron selama proses fosforilasi oksidatif. Radikal anion
kemudian akan dubah menjadi peroksida (H2O2) oleh enzim superoksid
dismutase. Oksigen yang teraktivasi dapat terjadi dalam brbagai sel, termasuk
mitokondra, glioksosom, perioksisom dan sitosol (Elastner,1991). Ion superoksida
terbentuk dalam kloroplas, mitokondria dan peroksisom merupakan senyawa
oksigen yang sangat reaktif (Fridovich 1986). Molekul H2O2 dapat tereduksi
membentuk radikal hidroksil (OH٭) yang sangat aktif dengan adanya ion logam
melalui reaksi feton (Breen & Murphy 1995). Radikal hidroksil dapat juga
terbentuk akibat reaksi non enzimatis selama pemaparan radiasi ion (Clark et al.
1987).
Peroksidasi lipid dapat mempegaruhi struktur dan fungsi membran seperti:
penurunan kandungan relatif asam eikosapentaenoat (C20:5) dan asam
dokosaheksaenoat (C22:6), pembentukan lipid hidroksi peroksida yang dapat
merangsang atau menghambat enzim spesifik yang berhubungan dengan
41
biomembran. Selain itu terjadinya oksidasi tiol grup dapat mempengaruhi
aktivitas enzim di dalam membran, konformasi protein yang berhubungan dengan
lipoprotein, penurunan fluiditas lipid biomembran. Terbebasnya produk pecahan
dari peroksidasi lipid akan menghasilkan efek-efek kerusakan sel (Donelly &
Robinson 1990). Bahan aditif pangan seperti asam karmiat dapat membentuk
radikal bebas yang berperan sebagai inisiator dalam proses peroksidasi lipid
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan (Zakaria 1996).
Penelitian terhadap radikal bebas dan antioksidan sampai saat ini cukup
menarik. Telah diketahui bahwa berbagai pengaruh radikal bebas dapat
menyebabkan kanker, penyakit jantung koroner, rematik, gangguan respiratorik,
hepar, diabetes melitus dan proses penuaan. Akibat kerusakan sel ini dapat
mengakibatkan terjadinnya berbagai penyakit degenertif. Berbagai hasil
penelitian telah membuktikan bahwa reaksi senyawa elektrofil dapat diredam oleh
antioksidan (Esterbeurer 1991; Thies & Siege 1989). Radikal bebas di dalam
tubuh dapat dicegah pembentukannya dengan menghindari sinar matahari,
langsung, asap rokok, polusi udara, serta meningkatkan asupan makanan yang
kaya akan senyawa antioksidan seperti sayuran, buah-buahan , biji-bijian serta
kacang-kacangan.
Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa/ zat yang dalam konsentrasi kecil dapat
mencegah reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang
sangat reaktif. Secara biologis, antioksidan adalah senyawa yang mampu
meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara
mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga
senyawa oksidan tersebut dapat dihambat reaksinya (Winarsi 2007). Selanjutnya
dikatakan bahwa, konsumsi antioksidan dapat menurunkan kejadian penyakit
degeneratif seperti: penyakit jantung koroner, kenker, aterosklerosis dan
osteoporosis. Antioksidan dapat meningkatkan status imunologis dan
menghambat timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan.
Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan
dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh. Kondisi ini untuk menjaga intergrites
42
dan fungsinya lipid, protein sel, asam nukleat dan mengontrol tranduksi sinal yang
diekspresikan gen dalam imun. Komponen terbesar penyusun membrane sel
adalah senyawa asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh sangat sensitif
terhadap perubahan keseimbangan oksidan-antioksidan. Membran merupakan
barier penting agar sel dapat berfungsi normal, demikian juga dengan sistem
membran sel imun terhadap serangan berbagai benda asing (antigen). Sehingga
sel imun membutuhkan antioksidan dalam jumlah besar dibandingkan sel-sel
lainnya (Meydani et al. 1995; Winarsi 2007). Pada kondisi patologis,
keseimbangan normal antara produksi senyawa oksigen reaktif dengan
kemampuan pertahanan antioksidan akan mengalami gangguan. Efek semua ini
dapat menggoyahkan rantai oksidasi-reduksi normal sehingga terjadi kerusakan
oksidatf jaringan yang disebut sebagai stress oksidatif (Halliwell & Chirico 1993).
Antioksidan dapat dikatagorikan menjadi dua golongan yaitu, 1) golongan
zat gizi seperti vitamin A dan karotenoit, vitamin E, C dan B2, Zn, Cu, Se dan
protein; 2) zat non gizi seperti biogenik amin, senyawa fenol (tirosol, vanillin,
asam vanilat, karpakrol, gingerol, zingiron), senyawa polifenol (flavonoid, flavon,
flavonol, heterosida flavonoat, kalkon auron, biflavonoid), tanin (asam galat, asam
elegat, proantosianidin) dan komponen tetrapirolik (klorofil dan feofitin)
(Belleville-Nabet 1996).
Menurut Krinsky (1992), antioksidan biologi dapat dibagi berdasarkan
proses enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik adalah superoksida
dismustase (SOD), katalase dan selenium glutation peroksidase. Antioksidan non-
enzimatik adalah antioksidan larut lemak (tokoferol, karotenoid, flavonoid,
kuinon dan bilirubin); antioksidan larut air (asam askorbat, asam urat, protein
pengikat logam, dan protein pengikat heme). Antioksidan enzimatik dan non
enzimatik saling bekerja sama dalam memerangi senyawa oksidan di dalam
tubuh. Stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dan
antioksidan non enzimatik.
Berabagai antioksidan telah banyak diteliti dan diketahui fungsinya.
Antioksida non enzimatis banyak dijumpai dalam sayuran dan buah-buahan.
Kahkonten et al. (1999) menyatakan bahwa komponen antioksidan yang terdapat
dalam sayuran dan buhan-buahan berupa vitamin C, E, β karoten, flavonoid,
43
isoflavon, flavon, antisianin, katekin dan isokatekin. Senyawa-senyawa fitokimia
ini membantu melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh
radikal bebas.
Komponen sayuran, buah-buahan dan komponen penyusunnya telah
banyak dibuktikan oleh beberapa peneliti terhadap efek hiperkolesterolemia.
Stasse-Wolthuis (1980) menyatakan bahwa konsumsi sayuran 570 g/hari dan apel
segar 600 g/hari mampu menurunkan kolesterol sebesar 4%. Menurut Sable-
Amplis et al. (1983) konsumsi apel 350 - 400 g/hari dapat menurunkan kolesterol
sebanyak 8-11%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson at al.
(1976), dengan mengkonsumsi wortel sebanyak 200 g/hari ternyata dapat
menurunkan konsentrasi kolesterol sebesar 11%.
Vitamin C atau biasa dikenal sebagai L-asam askorbat merupakan
antioksidan yang larut dalam air, mempunyai kemampuan sebagai scavenger
radikal bebas di sitoplasma. Vitamin C tidak berfungsi sebagai scavenger radikal
lipid di dalam reaksi propagasi, tetapi mempunyai kemampuan dalam
menurunkan oksidasi vitamin E (Siekmeier et al. 2007). Zakaria et al. (1996)
menyatakan, senyawa tersebut merupakan bagian dari sistem tubuh terhadap
senyawa oksiogen reaktif dalam plasma dan sel. Bentuk Isomer-L vitamin C
mempunyai aktivitas lebih besar dibaningkan dengan isomer-D.
Menurut Levine et al. (1995), sebagai antioksidan vitamin C bekerja
sebagai donor elektron, dengan cara: memindahkan satu elektron ke ion Cu2+
;
memberikan elektronnya ke dalam reaksi biokimia intraselular dan ekstraselular;
menghilangkan oksigen reaktif di dalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan
retina; diluar sel mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif dan mencegah
terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke dalam tokoferol teroksidasi
dan mengabsorpsi logam di dalam saluran pencernaan.
Vitamin E yang disebut α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut di
dalam lemak, dan banyak terdapat di dalam eritrosit maupun lipoprotein plasma.
Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang
mampu mengubah radikal peroksil (hasil oksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol
yang kurang reaktif, sehingga mampu mencegah kerusakkan rantai asam lemak.
Menurut Siekmeier et al. (2007), menyatakan bahwa vitamin E mampu
44
menghambat pembentukkan oksidasi LDL dari trombin yang dilakukan secara in
vitro. Secara alami vitamin E mempunyai 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4
tokoferol (α, β, γ,δ) dan 4 tokotrienol (α, β, γ,δ) yang homolog. Vitamin E ini
telah diketahui dan dipercaya dapat berfungsi sebagai antioksidan potensial.
Asupan vitamin E mampu menrurunkan penyakit aterosklerosis dengan cara
melindungi LDL dari oksidasi. Antioksidan vitamin E mampu bereaksi dengan
radikal bebas pada mebran lipid membentuk radikal vitamin E yang sedikit
reaktif.
Menurut Halliwell et al. (1992), radikal vitamin E dapat mengalami
regenerasi dengan adanya glutation atau asam askorbat melelui mekanisme
sebagai berikut: 1. Tokoferol memindahkan atom hidrogen yang mempunyai
elektron tunggal sehingga dapat menhilangkan radikal bebas peroksil lebih cepat
dibandingkan dengan rantai radikal. 2. Radikal tokoferol yang tidak reaktif akan
dieliminasi oleh asam askorbat. 3. Radikal tokoferol akan bereaksi dengan
ubikuinon di dalam mitikondria kemudian dioksidasi lebih lanjut menjadi kuinon
yang dapat diekskresikan melalui urin.
Penelitian tentang mekanisme penghambatan awal aterosklerosis ditingkat
seluler masih perlu dilakukan. Aterosklerosis, dapat menyebabkan infraksi sel-sel
otot jantung, stroke iskhemik yang merupakan penyakit radang (Hanson 2009).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, LDL yang teroksidasi merupakan salah satu
penyebab terjadinya plak ateroma. Proses oksidasi LDL merupakan suatu
mekanisme pembentukan LDL abnormal pada dinding arteri. Dengan mengkaji
dan mengetahu efek kurkuminoid ekstrak temu mangga, back to nature
merupakan alternatif terbaik bagi masyarakat dalam pencegahan dini terhadap
kejadian PJK. Hal ini ditunjang dengan studi epidemiologi yang telah banyak
dilakukan bahwa, PJK merupakan salah satu penyebab utama kematian yang
melebihi angka kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi.
Top Related