Tingkat Pencemaran di Pelabuhan Perikanan Pengambengan, Negara
dengan Parameter Dissolved Oxygen (DO), pH, Salinitas, Kekeruhan, BOD
(Biological Oxygen Demand), Total Suspended Solid (TSS) dan Total
Dissolved Solid (TDS)
Oleh :
Ni Luh Eta Yuspita
1314511019
Abstrak
Pelabuhan Pengambengan merupakan pelabuhan perikanan terbesar di Bali. Aktivitas perikanan seperti industri perikanan memeberikan beban pencemaran bagi perairan laut di sekitar pelabuhan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tingkat pencemaran di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan dengan menggunakan parameter fisika dan kimia kualitas air yakni dissolved oxygen (DO), salinitas, kekeruhan / turbidity, pH, biological oxygen demand (BOD), total suspended solids (TSS), serta total dissolved solids (TDS). Pengukuran kualitas air, menghitung TSS dan TDS dilakukan di laboratorium. Data DO insitu diperlukan untuk menghitung BOD. Hasil yang diperoleh diolah dalam bentuk grafik dan dibandingkan dengan baku mutu perairan menurut KEPMENLH No. 51 Tahun 2001. Hasil pengukuran dan analisa data menunjukkan adanya nilai parameter kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu kualitas air menurut KEPMENLH No. 51 Tahun 2004. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan di pelabuhan perikanan Pengambengan telah mengalami pencemaran.
Keyword : Pelabuhan Perikanan, Pencemaran, Dissolved Oxygen (DO), pH, Salinitas, Kekeruhan, BOD (Biological Oxygen Demand), Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan
merupakan pusat kegiatan perikanan rakyat terbesar di Bali dan
merupakan salah satu outerring fishing port yang tidak hanya
dimanfaatkan oleh nelayan asal Bali tetapi juga oleh nelayan asal
Jawa Timur. Diharapkan PPN Pengambengan dapat dimanfaatkan
juga oleh nelayan lain di Indonesia yang beroperasi di Selat Bali.
(Santara dkk, 2014)
1
PPN Pengambengan terletak di Desa Pengambengan, Kecamatan
Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. PPN Pengambengan
berjarak 9 km dari Kota Negara dan 105 km dari Kota Denpasar.
Waterfront PPN Pengambengan menghadap ke Wilayah Pengelolaan
Perikanan RI (WPP- RI) 573 Samudera Hindia dan Selat Bali dengan
posisi 08 o 23’ 46” Lintang Selatan dan 114o 34’ 47” Bujur Timur.
Nelayan PPN Pengambengan termasuk dalam nelayan tradisional
dengan hasil tangkapan utama berupa ikan lemuru yang
terkonsentrasi di Selat Bali. (Santara dkk, 2014)
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan didukung oleh
industri pengolahan ikan yang ada di komplek maupun yang ada di
luar komplek pelabuhan; yaitu industri pengalengan ikan dan
penepungan ikan berjumlah 14 unit (diluar komplek pelabuhan), serta
1 unit industri di dalam komplek pelabuhan yaitu PT. Cilacap
Samudra Fishing Industry yang kegiatannya berbentuk pengolahan
ikan, pabrik es, cold storage dan galangan kapal. (Murwati, 2010)
Pencemaran laut dapat didefinisikan sebagai dampak negative
(pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota,
sumberdaya, dan kenyamanan ekosistem laut serta kesehatan
manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan
secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-
bahan limpah (termasuk energy) ke dalam laut yang berasal dari
kegiatan manusia (Dahuri, 2004).
Pencemaran air terjadi bila beberapa bahan atau kondisi yang
dapat menyebabkan penurunan kualitas badan air sehingga tidak
memenuhi baku mutu atau tidak dapat digunakan untuk keperluan
tertentu (sesuai peruntukannya, misalnya sebagai bahan baku air
minum, keperluan perikanan, industri, dan lain-lain) (Sunu, 2001).
Limbah industri perikanan berpotensi menimbulkan pencemaran
karena mengandung protein dan lemak yang bersifat terlarut,
tersuspensi, dan mudah terurai. Sumber utama limbah cair adalah air
dari proses pencucian, sisa pemasakan dan pengepresan ikan yang
mengandung bahan organik terlarut, padatan tersuspensi dan
2
terlarut, nutrient, dan minyak (Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, 2009). Bentuk pencemaran yang timbul dan dikeluhkan
masyarakat akibat limbah industri perikanan adalah pencemaran air
tanah dan air permukaan, pencemaran udara berupa bau busuk dan
debu/partikel, perubahan peruntukan badan air, kematian masal biota
air dan bentuk pencemaran lainnya (Sahubawa, 2011).
Pencemaran air dapat menyebabkan pengaruh berbahaya bagi
organisme, populasi komunitas dan ekosistem. Indikator utama
kualitas air dalam ekosistem air permukaan adalah parameter kimia
dan fisika air seperti oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO),
biological oxygen demand (BOD), total suspended solid (TSS), total
disolved solid (TDS), derajat keasaman (pH), kekeruhan/turbidity, dan
salinitas.
Adanya aktivitas perikanan di PPN pengambengan seperti
pembuangan limbah yang berasal dari aktivitas pelabuhan perikanan
dan mengandung bahan-bahan organik tersebut secara kontinyu
akan menyebabkan penurunan kualitas perairan baik kimia maupun
mikrobiologi. Penurunan kualitas perairan tersebut mengindikasikan
bahwa kondisi perairan mengalami pencemaran. Oleh karena itu
indikator pencemaran air digunakan untuk menganalisis tingkat
pencemaran air di pelabuhan pengambengan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kualitas air :
kekeruhan / turbidity, salinitas, pH, dan DO (oksigen terlarut), BOD5
(biological oxygen demand), TSS (total suspended solid), dan TDS
(total dissolved solid) untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan
di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan.
3
2. METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 April 2015 di daerah
perairan pelabuhan Pengambengan di Desa Pengambengan,
Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Pengolahan data
dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan
Perikanan Universitas Udayana pada tanggal 15 Mei 2015.
Pengambilan sampel dilakukan di 10 titik pengamatan pada gambar
1.
Gambar 1. Lokasi pengamatan di Pelabuhan Perikanan
Pengambengan
Tabel 1. Koordinat stasiun penelitian
4
2.2 Alat dan Bahan
a. Alat pengukuran sampel di lapangan
No. Nama Alat Kegunaan
1. GPS Untuk Menentukan Posisi Koordinat
stasiun
2. Refraktometer Untuk mengukur salinitas
3. DO meter Untuk mengukur nilai DO
4. Turbidimeter Untuk mengukur turbidity
5. pH meter Untuk mengukur nilai pH
6. Alat tulis Untuk mencatat data yang telah
diukur
b. Alat pengulkulan sampel di laboratorium
No Nama Alat Kegunaan
1 Konduktivitymeter mengukur parameter salinitas
2 Turbidimeter mengukur parameter kekeruhan
3 pH meter mengukur pH
4 DO meter mengukur DO
5 Neraca Analitik menimbang gelas
6 Gelas Ukur mengukur volume air sampel
7 Corong Kaca tempat meletakkan kertas saring
8 Gelas wadah sampel air yang telah
disaring
9 Aluminium Foil membungkus gelas dan alas dalam
oven
10 Kertas Saring 0,45
µm
menyaring sampel air
11 Pipet Tetes memindahkan sampel
12 Oven mengeringkan sampel
13 Botol Gelap wadah sampel air sebelum disaring
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel air laut
yang diambil di lokasi penelitian.
5
2.3 Prosedur Kerja
a. Pengambilan Data di Lapangan
1) Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilakukan dengan cara melakukan
pengamatan langsung kondisi lapangan untuk menentukan
stasiun pengambilan sampel. Kegiatan ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran awal tentang kondisi lapangan.
2) Pengambilan Sampel
Pengambilan data lapangan dilakukan dengan pengukuran
secara langsung dan pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan botol gelap agar tidak terdapat pengaruh cahaya
yang masuk ke dalam botol.Pengukuran secara langsung
dilakukan dengan mekanisme berikut :
a. Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran sampel DO di lapangan dilakukan dengan cara :
1. Dibuka katup merah pada sensor DO meter.
2. Dihidupkan DO meter dengan mengarahkan ke tombol ON
3. Dimasukan sensor ke dalam perairan
4. Dilihat angka pada DO meter, jika sudah stabil maka
selanjutnya dicatat pada kertas yang telah ditentukan.
5. Dibersihkan sensor setelah dilakukan pengukuran dan
digunakan air bersih.
6. Diulangi langkah tersebut sampai 3 kali untuk setiap sampel.
b. Salinitas
1. Ditetesi refraktometer dengan aquades kemudian diusap
dengan tissue
2. Dibersihkan dengan kertas tisyu sisa aquadest yang tertinggal
3. Diteteskan air sampel yang ingin diketahui salinitasnya
4. Diarahkan ke arah cahaya matahari
5. Dilihat garis batas berwarna biru dan putih sebagai garis batas
salinitas
6. Dicatat angka yang ditunjukan oleh garis tersebut sebagai nilai
salinitas.
6
7. Dibilas kaca prisma dengan aquades, diusap dengan tissu dan
simpan refraktometer di tempat kering
8. Diulangi langkah tersebut sampai 3 kali.
c. pH
1. Dihidupkan pH meter dengan menekan tombol “power”
2. Dimasukan sensor ke dalam perairan, kemudian diamati
angka pada pH meter
3. Setelah angka pada pH meter sudah stabil, kemudian dicatat
angka pH dan Suhu pada pH meter tersebut.
4. Dibersihkan sensor dengan menggunakan air bersih
5. Diulangi langkah tersebut sampai 3 kali.
d. Turbidity (Kekeruhan)
1. Diambil sampel air dari perairan dan dimasukan ke dalam
botol sampel.
2. Dipindahkan sampel air dari botol sampel ke botol uji dengan
menggunakan pipet tetes sampai rata dengan tanda yang
telah ditentukan pada botol uji
3. Dikeringan botol menggunakan tissue
4. Diletakan botol uji ke dalam turbidimeter kemudian
disejajaarkan tanda putih pada botol dengan tanda pada
turbidimeter
5. Ditutup turbidimeter untuk memulai pengujian, kemudian
ditekan tombel power untuk menghidupkan lalu tombol “call”
untuk menghitung nilai kekeruhannya
6. Setelah hasil dari perhitungan turbidity keluar, maka kemudian
dicatat pada kertas yang telah ditentukan
7. Diulangi langkah tersebut sampai 3 kali pengulangan.
Prosedur pengambilan sampel untuk dibawa ke laboratorium
dilakukan dengan memasukan botol ke dalam perairan, kemudian
dibuka tutup botol di dalam perairan. Selanjutnya air akan masuk dan
botol digoyang-goyangkan dengan tujuan agar air dapat masuk
sepenuhnya ke dalam botol dan tidak ada gelembung yang masuk.
7
Kemudian setelah botol tersebut penuh maka botol ditutup di dalam
perairan lalu diangkat. Selanjutnya dilakukan preservasi sampel
dengan cara dimasukan ke dalam box pendingin untuk selanjutnya
dilakukan pengecekan di laboratorium.
3) Preservasi Sampel
Metode Preservasi (pengawetan) dilakukan dengan cara
pendinginan. Pendinginan dilakukan dengan menyimpan contoh
pada suhu kurang lebih 4oC dan lebih baik lagi ditempat
gelap.Perlakuan ini dimaksudkan untuk memperlambat aktifitas
biologi dan mengurangi kecepatan reaksi secara kimia dan
fisika.Keuntungan metode ini adalah tidak mengganggu unsur-unsur
yang ditetapkan.Bila pendinginan tidak mungkin dilakukan pada suhu
4oC maka botol contoh dapat disimpan dalam bongkahan-bongkahan
es (SNI 03-7016-2004).
b. Pengukuran Sampel di Laboratorium
1) Salinitas
Untuk mengukur parameter salinitas dengan menggunaan
handrefraktometer dilakukan dengan cara : pertama nyalakan
power pada alat, kemudian diukur sampel air yang dikocok
terlebih dahulu. Hasil yang ditunjukkan kemudian dicatat dan
pengulangan pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
2) pH
Untuk mengukur parameter pH dengan menggunaan pH
meter dilakukan dengan cara : pertama nyalakan power pada
alat, kemudian diukur sampel air yang dikocok terlebih dahulu.
Hasil yang ditunjukkan kemudian dicatat dan pengulangan
pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
3) Kekeruhan
Untuk mengukur parameter kekeruhan dengan
menggunaan turbidimeter dilakukan dengan cara : Botol yang
berisi air sampel diaduk dengan cara dibolak-balik agar tidak
8
terjadi endapan. Air sampel dipindahkan kedalam tabung
reaksi sebanyak 20-30 ml. Kemudian Tabung reaksi
dimasukkan kedalam turbidimeter kemudian hasilnya dicatat.
Hasil yang ditunjukkan kemudian dicatat dan pengulangan
pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
4) DO
Untuk mengukur parameter DO dengan menggunaan DO
meter dilakukan dengan cara : pertama nyalakan power pada
alat, kemudian diukur sampel air yang dikocok terlebih dahulu.
Hasil yang ditunjukkan kemudian dicatat dan pengulangan
pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
5) TSS
1. Ambil kertas saring sebanyak 10 dengan pinset, lalu
diberikan tanda 1-10 dengan menggunakan pensil
2. Kertas saring lalu dikeringkan selama 30 menit di
dalam oven pada suhu 1050C, dalam pengovenan
kertas saring dialasi dengan aluminium foil dan
penempatannya tidak boleh ditumpuk
3. Masing-masing kertas saring kemudian ditimbang
dengan neraca analitik , hasil kemudian dicatat
4. Masing-masing kertas saring kemudian dilipat
menggunakan pinset lalu diletakkan ke dalam corong
5. Masukkan air sampel ke dalam gelas ukur sebanyak
100 ml
6. Air sampel dalam gelas ukur lalu disaring dengan cara
memasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam kertas
saring
7. Langkah 5-6 dilakukan untuk sampel air semua titik
pengamatan
8. Masing-masing kertas saring kemudian dikeringkan
kembali ke dalam oven sampai kering
9
9. Kertas saring yang telah kering kemudian ditimbang
dengan timbangan dan hasilnya dicatat untuk masing-
masing titik pengamatan
6) TDS
1. Gelas sebanyak 10 buah disterilisari di dalam oven
selama 1 jam pada suhu 1050C
2. Kemudian gelas didinginkan dan ditimbang dengan
mengguanakan neraca analitik, hasilnya kemudian
ditimbang
3. Air sampel pada pengukuran TSS, setelah disaring
ditempatkan ke dalam gelas
4. Gelas yang berisi air saringan sampel kemudian
dikeringkan ke dalam oven pada suhu 1050C sampai
kering
5. Gelas yang telah kering lalu ditimbang kembali dan
dicatat hasilnya untuk masing-masing titik penelitian
10
2.4 Analisa Data
2.4.1 Mengukur DO,pH,Salinitas dan Turbidity
Untuk mengukur DO,pH,Salinitas dan Turbidity dilakukan 3
kali pengulangan untuk masing-masing sampel stasiun untuk
menjamin validitas data yang diperoleh. Dari hasil 3 kali
pengulangan tersebut kemudian dijumlahkan dan ditentukan
rata-ratanya. Rumus untuk menentukan DO,pH,Salinitas dan
Turbidity, yaitu :
Parameter = A+B+C3
Keterangan :
Parameter :DO,pH,Salinitas atau Turbidity
A : Pengulangan pertama
B : Pengulangan kedua
C : Pengulangan ketiga
2.4.2 Mengukur BOD (Biological Oxygen Demand)
Untuk menentukan nilai BOD dari masing-masing stasiun
pengamatan maka dihitung dengan mengurangkan DO hasil
pengukuran di lapangan dengan DO hasil pengukuran di
laboratorium dengan rumus :
BOD=DO lapangan−DOlaboratorium
2.4.3 Rumus untuk menghitung TSS dan TDS adalah sebagai
berikut :
TSS=(B−A )V
TDS=(D−C)V
Ket :
A : Berat kertas mula-mula (mg)
B : Berat kertas setelah penyaringan (mg)
C : Berat Gelas kaca mula-mula (mg)
D : Berat labu Erlenmeyer setelah penyaringan (mg)
V : Volume sampel (l)
11
12
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Kekeruhan /Turbidity
Mahida (1986) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas
kegelapan di dalam air. Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak
hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak
produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk
fotosintesa. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat
pencahayaan, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka
makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada
kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan
Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan Santika, 1987).
Grafik kekeruhan perairan di lokasi penelitian disajikan dalam
grafik 1 di bawah ini :
I II III IV V VI VII VIII IX X
Turbidity (NTU)
4 4.53 4.73 4.9 4.43 2.3 2.73 12.18
1.97 1.75
1
5
9
13
Turbidity di Pengambengan
Stasiun
Turb
idity
Grafik 1. Turbidity di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan
Grafik menunjukkan tingkat kekeruhan tertinggi terdapat pada
stasiun VIII yaitu 12,1 NTU, sehingga pada stasiun VIII tingkat
kedalaman pencahayaan matahari kecil karena badan air yang keruh
akan menghambat masuknya sinar matahari. Tingkat kekeruhan yang
tinggi di stasiun VIII dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang
menstransport bahan-bahan melayang yang umumnya disebabkan
oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme
lainnya. Sedangkan kekeruhan terendah terdapat di stasiun X yaitu
13
1,75 NTU. Turbidity / kekeruhan yang rendah disebabkan karena
kecilnya transport bahan-bahan tersuspensi ke dalam perairan.
Baku mutu kadarkekeruhan untuk kualitas air laut untuk biota laut
berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah < 5 NTU.
Stasiun VIII telah melewati ambang batas baku mutu. Kekeruhan
perairan di stasiun VIII tidak layak untuk tempat hidup biota laut.
Kajian kualitas perairan pesisir di Kota Tanjungpinang
menunjukkan hasil salinitas perairan pada tujuh stasiun penelitian
yakni stasiun 1 sebesar 30 ppt, stasiun 2 sebesar 30 ppt, stasiun 3
sebesar 31 ppt, stasiun 4 sebesar 32 ppt, stasiun 5 sebesar 32 ppt,
stasiun 6 sebesar 33,5 ppt, dan stasiun 7 sebesar 34 ppt. Baku mutu
kadar salinitas untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan
KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar salinitas alami yang
mampu mendukung perikehidupan organisme, yakni rata-rata 35 ppt.
Tidak ada salinitas yang melewati batas baku mutu pada tiap stasiun.
3.2 Derajat Keasaman (pH)
pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen
(H+) di dalam air, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang
masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa,
untuk pH = 7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto,
2005). Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat
asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan
pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
(Boyd, 1992).
Grafik pH perairan di lokasi penelitian disajikan dalam grafik 2 di
bawah ini :
14
I II III IV V VI VII VIII IX X
pH 7.98 8.01 7.98 7.89 7.93 7.83 7.97 7.91 8.02 8.01
7.7257.7757.8257.8757.9257.9758.025
pH di Pengambengan
Stasiun
pH
Grafik 2. pH di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan
Grafik 2 menujukkan tingkat derajat keasaman atau pH di perairan
pelabuhan Pengambengan. Jika dilihat perbandingan antar stasiun
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Nilai pH di
seluruh stasiun berkisar antara 7,83 – 8,02. Stasiun IX menunjukkan
pH tertinggi yaitu 8,02. pH sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CO2
di perairan. Apabila konsentrasinya tinggi maka nilai pH semakin
rendah, sebaliknya pH semakin tinggi apabila konsentrasi CO2 lebih
kecil. Pada stasiun IX dimana memiliki pH tertinggi dipengaruhi oleh
kondisi perairan seperti konsentrasi CO2 dan proses fotosintesa.
Fotosintesa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti nutrien dan
pencahayaan. pH terendah terdapat pada stasiun VI yaitu 7,83.
Perairan di stasiun VI lebih asam dari stasiun lainnya yang juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Baku mutu kadar pH untuk kualitas air laut untuk biota laut
berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah berkisar antara
7-8,5. Pada keseluruhan stasiun tidak terdapat nilai pH yang melewati
baku mutu. Sehingga pH perairan di pelabuhan perikanan
pengambengan masih sesuai dengan baku mutu dan layak untuk
kehidupan biota.
Kajian kualitas air di pelabuhan perikanan Samudera Kendari
Sulawesi Tenggara menunjukkan hasil penelitian pada dua stasiun
pengamatan yakni pada stasiun 1 dan stasiun 2. Rata-rata nilai pH
15
pada stasiun 1 didapatkan 7.83 dan stasiun 2 sebesar 8.41. Nilai pH
di stasiun 1 dan 2 masih sesuai dengan standar baku mutu menurut
KepMen LH No. 51 Tahun 2004 yakni 6.5 – 8.5.
3.3 Salinitas
Menurut Romimohtarto dan Thayib (1982) dalam Edward dan
Tarigan (2003), salinitas di perairan Indonesia umumnya berkisar
antara 30-35 ppt. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34
ppt, sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas berkisar antara
33-37 ppt dengan rata-rata 35 ppt. Salinitas ini juga masih baik untuk
kehidupan organisme laut, khususnya ikan.
Grafik pH perairan di lokasi penelitian disajikan dalam grafik 2 di
bawah ini :
I II III IV V VI VII VIII IX X
Salinitas (‰)
29.7 31.9 30.4 27.5 19.5 32 30.8 28.6 31.9 33.6
3132333
Salinitas di Pengambengan
Titik Pengamatan
Salin
itas
Grafik 3.Salinitas di perairan pelabuhan perikanan
Pengambengan
Salinitas pada keseluruhan stasiun berkisar antara 20 ‰ – 34 ‰.
Salinitas tertinggi terdapat pada stasiun X. Kondisi dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti topografi estuaria, musim, pasang surut dan
jumlah air tawar (Nybakken, 1992). Salinitas pada stasiun X yakni 34
‰ adalah yang tertinggi dan salinitas pada stasiun V yaitu 20 ‰
adalah yang terendah. Tingginya salinitas pada stasiun X dan
rendahnya salinitas pada stasiun V dibandingkan dengan stasiun
lainnya disebabkan oleh kondisi lingkungannya seperti suplay air
tawar, sirkulasi perairan yang tertutup, suhu, maupun faktor-faktor
16
lainnya. Suplay air tawar yang rendah, sirkulasi tertutup dan tingginya
penguapan akan meningkatkan salinitas perairan. Sebaliknya suplay
air tawar yang tinggi dari sungai akan menurunkan salinitas.
Sebagaimana salinitas air laut dapat berbeda secara geografis salah
satunya disebabkan oleh banyaknya air sungai yang masuk ke laut.
Baku mutu kadar salinitas untuk kualitas air laut untuk biota laut
berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah 33-34 ‰
Stasiun yang berada di bawah baku mutu adalah stasiun I, II, III, IV,
V, VI, VII, VIII, dan IX.
Kajian kualitas air di pelabuhan perikanan Samudera Kendari
Sulawesi Tenggara menunjukkan hasil penelitian pada dua stasiun
pengamatan yakni salinitas yang terukur di stasiun 1 lebih rendah
sebesar 24.0 ‰ dibandingkan stasiun 2 yakni sebesar 28.1 ‰.
3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terdapat di perairan
dalam bentuk molekul oksigen bukan dalam bentuk molekul
hidrogenoksida, biasanya dinyatakan dalam mg/L (ppm) (Darsono,
1992). Faktor lain yang mempengaruhi kelarutan oksigen adalah
pergolakan dan luas permukaan air terbuka bagi atmosfer (Mahida,
1986). Persentase oksigen di sekeliling perairan dipengaruhi oleh
suhu perairan, salinitas perairan, ketinggian tempat dan plankton yang
terdapat di perairan (di udara yang panas, oksigen terlarut akan
turun). Daya larut oksigen lebih rendah dalam air laut jika
dibandingkan dengan daya larutnya dalam air tawar. Ibrahim (1982)
menyatakan bahwa kelarutan oksigen di perairan bervariasi antara 7-
14 ppm.
Grafik DO perairan di lokasi penelitian disajikan dalam grafik 4 di
bawah ini :
17
I II III IV V VI VII VIII IX X
DO (mg/l) 4 4.53 4.73 4.9 4.43 4.63 4.47 4.7 4.67 4.5
0.51.52.53.54.55.5
DO di Pengambengan
Titik Pengamatan
DO
Grafik 3.DO di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan
DO tertinggi terdapat pada stasiun iV yakni sebesar 4,9.
Sedangkan DO terendah terdapat pada stasiun I yakni 4 mg/L. Tinggi
rendahnya DO dibandingkan dengan stasiun laiinya disebabkan oleh
beberapa faktor yang memengaruhi kondisi perairan, faktor-faktor
seperti tingginya suhu, sirkulasi perairan, maupun jumlah plankton
yang terdapat tempat ini.
Baku mutu kadar DO untuk kualitas air laut untuk biota laut
berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah KepMen LH No.
51 Tahun 2004, yakni > 3 mg/l. Semua kadar DO pada tiap stasiun
mendukung untuk perikehidupan biota di laut.
Kajian kualitas air di pelabuhan perikanan Samudera Kendari
Sulawesi Tenggara menunjukkan hasil penelitian pada dua stasiun
pengamatan yakni rata-rata di stasiun 1 lebih rendah yakni sebesar
0.12 mg/l dibandingkan stasiun 2 sebesar 1.60 mg/l. Nilai DO di
Stasiun 1 dan 2 termasuk berada dibawah standar baku mutu
menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004, yakni > 3 mg/l.
3.5 Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biological Oxygen Demand, BOD5)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh
organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan
buangan di dalam air. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan
18
mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD yang
menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui
dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan
sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan
yang dilihat berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 1).
Tabel 1. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5
Kisaran BOD5(mg/l) Kriteria Kualitas Perairan
≤ 2,9
3,0 – 5,0
5,1 – 14,9
≥15,0
Tidak tercemar
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat
Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).
Tabel 1 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan
berdasarkan nilai BOD, kriteria ini merupakan kriteria untuk biota-biota
laut.
Grafik BOD perairan di lokasi penelitian disajikan dalam grafik 5 di
bawah ini :
I II III IV V VI VII VIII IX X
BOD (mg/l) 1.6 0 5.77 2.5 0 4.17 1.43 2.4 2.03 2.5
0.51.52.53.54.55.56.5
BOD di Pengambengan
Titik Pengamatan
BOD
Grafik 5 .BOD di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan
Nilai BOD tertinggi di pelabuan Pengambengan terdapat pada
stasiun III yakni sebesar 5,77 mg/L. Terdapat dua stasiun yang
bernilai 0 mg/L. Sedangkan BOD terendah terdapat pada stasiun I
19
yakni sebesar 1,6 mg/L. Stasiun III menunjukkan kebutuhan
oksigennya lebih tinggi. Besarnya kebutuhan oksigen biologi akan
menunjukkan suatu perairan tercemar atau tidak. Pada stasiun III nilai
BOD tinggi mengindikasikan adanya pencemaran. Pencemaran dapat
sangat mungkin terjadi pada perairan pesisir terutama di daerah
pelabuhan perikanan. Stasiun I menunjukkan BOD yang rendah
sehingga dapat dikatakan tidak terdapat pencemaran yang berarti
pada stasiun ini. BOD bernilai 0 pada dua stasiun pengamatan yakni
stasiun II dan V dapat terjadi karena ketidakakuratan pengukuran.
Baku mutu kadar BOD untuk kualitas air laut untuk biota laut
berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 20
mg/L. Tidak ada BOD yang melewati batas baku mutu pada tiap
stasiun. Akan tetapi tiap stasiun mengindikasikan bahwa telah
terjadinya pencemaran di perairan pelabuhan Pengambengan
meskipun hanya berkisar antara pencemaran ringan dan pencemaran
sedang. Ditandai dengan kisaran BOD yang mencapai 5,77 mg/L
pada stasiun III.
Penelitian kualitas perairan pantai di kawasan industri perikanan,
desa Pengambengan, kecamatan Negara, kabupaten Jembrana
menunjukkan nilai BOD5 rata-rata pada 11 lokasi pengambilan
sampel, delapan diantaranya masih dibawah ambang batas standar
baku mutu air laut untuk biota laut menurutPeraturan Gubernur Bali
No. 8 Tahun 2007 adalah < 20 mg/L. Sedangkan tiga lokasi
pengambilan sampel, nilai BOD5 melebihi standar baku mutu yaitu
berkisar antara 22,45-33,45 mg/L.
3.6 TSS
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan
kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung
yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih
kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-
sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Hardjojo dan
Djokosetiyanto, 2005). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk
biota laut adalah 20 – 80 mg/l (KLH, 2004).
20
Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap
kehidupan dalam air. Padatan tersuspensi dalam jumlah yang
berlebih (diukur sebagai total suspended solids / TSS) memiliki
dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan dan bisa
mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan seperti abrasi
langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari
tumbuhan air dan penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan
lainnya.
Grafik TSS perairan di lokasi penelitian disajikan dalam grafik 6 di
bawah ini :
I II III IV V VI VII VIII IX X
TSS (mg/L)
8.15 7.69 6.71 4.84 6.66 7.94 6.59 7.65 6.6 6.47000000000001
0.52.54.56.58.5
TSS di Pengambengan
Stasiun
TSS
Grafik 6 .TSS di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan
Grafik 6 menunjukkan TSS di perairan pelabuhan Pengambengan.
TSS tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 8,15 mg/L.
Tingginya TSS dapat terjadi karena masukan padatan tersuspensi
yang bisa berasal dari daratan baik melalui trasport sungai,
pembuangan limbah akibat aktivitas pelabuhan dan sebagainya. TSS
terendah terdapat pada stasiun IV yakni sebesar 4,84 mg/L.
Baku mutu kadar TSS untuk kualitas air laut untuk biota laut
berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah 20 mg/L.TSS
pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada yang melewati baku
mutu perairan.
21
Kajian kualitas air di pelabuhan perikanan Samudera Kendari
Sulawesi Tenggara menunjukkan hasil nilai rata-rata TSS yang
diperoleh di stasiun 2 lebih tinggi yakni sebesar 0.72 mg/l
dibandingkan stasiun 1 sebesar 0.02 mg/l berada di bawah baku
mutu biota laut menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004.
3.7 TDS
Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air
yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran
pori 0,45 μm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan
organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Secara
langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti
ikan karena tersaring oleh insang. (Darsono, 1992).
Grafik TDS perairan di lokasi penelitian disajikan dalam grafik 7 di
bawah ini :
I II III IV V VI VII VIII IX X
TDS (mg/L)
0.34599999999999
9
0.40199999999999
9
0.29599999999999
9
0.30700000000000
2
0.30799999999999
9
0.35700000000000
2
0.35800000000000
1
0.41300000000000
1
0.50900000000000
2
0.40799999999999
9
0.050.150.250.350.450.55
TDS di Pengambengan
Axis Title
Grafik 7. TDS di perairan pelabuhan perikanan Pengambengan
Grafik 7 menunjukkan TDS di perairan pelabuhan
Pengambengan. TSS tertinggi terdapat pada stasiun IX yaitu sebesar
8,15 mg/L. Tingginya TDS dapat terjadi karena masukan padatan
terlarut yang bisa berasal dari daratan baik melalui trasport sungai,
pembuangan limbah akibat aktivitas pelabuhan dan sebagainya.
Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-
22
ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan
sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut
dalam air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri
pencucian. TDS terendah terdapat pada stasiun III yakni sebesar
0,30 mg/L.
4. Kesimpulan
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas perairan pelabuhan
perikanan Pengambengan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
perairan pelabuhan perikanan Pengambengan sudah terindikasi
sebagai perairan tercemar. Sumber pencemar yang mempengaruhi
kualitas air pada perairan ini adalah kegiatan perikanan, meliputi :
kegiatan industri perikanan, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan
transportasi. Meskipun telah tercemar, perairan ini masih tetap bisa
mendukung perikehidupan biota yang ada didalamnya.
4.2 Saran
Agar perairan di pelabuhan perikanan Pengambengan tetap dapat
mendukung perikehidupan biota di laut seharusnya dilakukan
pengawasan yang ketat terhadap aktivitas yang terjadi di wilayah
perairan tersebut, melakukan treatment pengolahan limbah buangan
agar tidak merubah kualitas perairan sangat diperlukan, kesadaran
dari pihak masyarakat juga sangat diharapkan agar limbah rumah
tangga tidak sembarang dibuang ke perairan laut.
23
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier
Scientific Publishing Company, Amsterdam, Oxford, New York.
Dahuri, R. 2004.Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu, Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta.
Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbit Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, hal : 66, 68.
Hardjojo, B., Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas
Air. Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka. Jakarta.
Ibrahim, S. 1982. Water Pollution Control. Pengawasan Kualitas dan
Pencemaran Air. Paket Ilmu Jurusan Farmasi, FMIPA, ITB, BPC,
I.S.F.I, Jawa Barat, hal : 12-19
Ira, 2014. Kajian Kualitas Perairan Berdasarkan Parameter Fisika Dan
Kimia Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Sulawesi
Tenggara. Aquasains
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Penetapan Baku
Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta.
Mahida, U.N. 1986. . Yogyakarta : Kanisius. Pencemaran Air dan
Pemanfaatan Limbah Industri. Minear, R.A., Keith, L.H. 1984.
Jakarta : C.V. Rajawali
Murwati, Tri. 2010. KAJIAN PENGARUH AKTIVITAS PELABUHAN
PERIKANAN TERHADAP ASPEK KUALITAS AIR SUNGAI
JUWANA DAN PERSEPSI MASYARAKAT (Studi Kasus di
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Bajomulyo, Kecamatan
24
Juwana, Kabupaten Pati). Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Poppo 2010. Studi Kualitas Perairan Pantai Di Kawasan Industri
Perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana. ECOTROPHIC 3 (2) : 98-103
Santara, Adi Guna., Fis Purwangka., Budhi Hascaryo Iskandar. 2014.
Peralatan Keselamatan Kerja Pada Perahu Slerek Di Ppn
Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali. Departemen PSP
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001.
PT. Grasindo. Jakarta
Tarigan M.S. 2003. Pengaruh Musim Terhadap Fluktuasi Kadar Fosfat
dan Nitrat di Laut Banda. Makara Sains. 7, (2), 82-89
25
Top Related