BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANGKonsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian,
karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan
ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab,
mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan
penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Dalam sistem
perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan
menggerakkan roda-roda perekonomian. Tujuan utama konsumsi seorang
muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Dalam
makalah ini kami akan memaparkan mengenai konsumsi berdasarkan Al-Quran.
B. RUMUSAN MASALAHAdapun rumusan maslah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana teori konsumsi dalam Islam?
2. Seperti apa tafsir Q.S Thaha ayat 81?
3. Seperti apa tafsir Q.S An-Nisa ayat 29?
4. Seperti apa tafsir Q.S Hijr ayat 19-20?
5. Seperti apa tafsir Q.S Al-Maidah: 87-88?
C. TUJUAN PENULISANTujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui teori konsumsi dalam Islam?
2. Mengetahui tafsir Q.S Thaha ayat 81?
3. Mengetahui tafsir Q.S An-Nisa ayat 29?
4. Mengetahui tafsir Q.S Hijr ayat 19-20?
5. Mengetahui tafsir Q.S Al-Maidah: 87-88?
I
BAB IIPEMBAHASAN
A. TEORI KONSUMSI MENURUT ISLAMKonsumsi berlebih – lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang
tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf
(pemborosan) atau tabzir (menghambur – hamburkan harta tanpa guna). Tabzir
berarti menggunakan barang dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju
tujuan – tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal – hal yang melanggar
hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan
harta secara berlebih – lebihan untuk hal – hal yang melanggar hokum dalam hal
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau bahkan sedekah. Ajaran – ajaran
Islam menganjurkan pada konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan
berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan.
Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap israf dan
tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya
mengubah nilai – nilai dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat tetapi juga
menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat
tujuan – tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga
memiliki daya aplikatif terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan
atau tabzir. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai
pembatasan – pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan
dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syari’ah dia
seharusnya diperlukan sebagai orang yang tidak mampu dan orang lain
seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan
distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk
kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang belum
dibelanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya
bertindak untuk jalannya di akhirat nanti.
1
B. TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMOMI MENGENAI KONSUMSI1. Q.S Thaha ayat 81
Artinya : “Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan
kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan
kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku,
maka sesungguhnya binasalah ia.”
a) Kata kunci :
“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan
kepadamu...”
b) Asbab an-Nuzul
-
c) Kandungan ayat
Pada ayat ini Allah menyuruh supaya mereka memakan di antara
rezeki yang baik, yang lezat cita rasanya dan yang telah Allah karuniakan
kepada mereka, jangan sekali-sekali mereka menyalahgunakannya,
seperti menafkahkannya dengan boros, tidak mensyukurinya,
mendermakan kepada kemaksiatan, dll. Karena kalau demikian berarti
mereka telah mengundang kemurkaan Allah yang akan menimpakan
siksa-Nya. Celaka dan binasalah orang-orang yang telah ditimpa
kemurkaan Allah.
2
2. Q.S An-Nisa ayat 29
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta
kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang
kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian,
sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.”
a) Kata Kunci
Yang diseru adalah orang-orang beriman karena yang mau sadar, mau
tunduk, mau berubah, mau ikut aturan itu adalah orang beriman. Kalau kita
mengaku beriman, tatapi kita masih ragu tentang kebenaran sistem
perekonomian Islam, seperti kita masih ragu keharamannya transaksi dengan
riba dan bank konvensional, maka keimanan kita perlu dipertanyakan. Karena
itulah Allah memanggil orang yang beriman secara tegas, agar mereka sadar
untuk mau tunduk.
Kita dilarang oleh Allah, padahal larangan itu menunjukkan haram
kecuali ada dalil, sedang untuk ayat ini tidak ada dalil lain. Jadi haram hukumnya
mendapatkan harta dengan cara yang tidak dibolehkan syara`.
(harta kalian). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya harta adalah
adalah milik umum, kemudian Allah memberikan hak legal kepada pribadi untuk
memiliki dan menguasainya, tetapi dalam satu waktu Islam menekannya
kewajiban membantu orang lain yang membutuhkan. Perlu diketahui, bahwa
kalaupun harta itu sudah menjadi milik pribadi tapi bukan berarti kita
3
diperbolehkan untuk menggunakannya kalau digunakan dalam hal yang tidak
dibenarkan syariat, maka harta itu juga tidak boleh digunakan. Apalagi kalau kita
mendapatkan harta tersebut dari orang lain dengan cara batil.
ini adalah dzikrul juz lilkul. Artinya menyebut sebagian untuk seluruhnya,
karena umumnya harta itu didapatkan dengan transaksi jual beli (perdagangan)
yang didalamnya terjadi transaksi timbal balik. Selama transaksi tersebut
dilakukan sesuai aturan syar`I, maka hukumnya halal. Tentu transaksi jual beli ini,
tidaklah satu-satu cara yang halal untuk mendapatkan harta, disana ada hibah,
warisan dll.
(kalian saling ridha): Jual beli itu harus dilandasi dengan keikhlasan dan
keridloan. Artinya tidak boleh ada kedhaliman, penipuan, pemaksaan dan hal-hal
lain yang merugikan kedua pihak. Oleh karena itu, pembeli berhak
mengembalikan barang yang dibeli ketika mendapati barangnya tidak sesuai
dengan yang diinginkan.
(jangan saling membunuh), apa hubungannya dengan bisnis? Sangat
berhubungan. Dalam bisnis sering terjadi permusuhan. Kata ulama makna ayat
ini adalah “jangan saling membunuh”. Adapun makna dhahirnya “jangan bunuh
diri”. Keduanya bisa diterima, karena bisa saja orang berbisnis, bangkrut, stress,
lalu bunuh diri.
(sesungguhnya Allah itu Maha Kasih sayang kepada kalian), di antaranya
dengan memberikan penjelasan kepada manusia tentang sistem transaksi harta,
agar manusia bisa hidup berdampingan, jauh dari permusuhan apalagi sampai
bunuh-bunuhan hanya karena persaingan dagang.
4
b) Asbabun-Nuzul
-
c) Kandungan Ayat
Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus
kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan
transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim,
mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman
untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi
lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan
oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan
jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini
Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling
membunuh. Dan Allah menerangkan semua ini, sebagai wujud dari kasih
sayang-Nya, karena Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kita.
3. Q.S Al-Hijr ayat 19-20
Artinya :
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-
gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.“ (Q.S Al-
Hijr ayat 19)
“Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup,
dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezeki kepadanya.” (Q.S Al-Hijr ayat 20)
5
a) Kata Kunci
“... Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.“ (Q.S Al-Hijr
ayat 19)
“Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan
hidup...“ (Q.S Al-Hijr ayat 20)
b) Asbabun-Nuzul
-
c) Kandungan ayat
Setelah Allah SWT menerangkan tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya
di langit dan di bumi, maka dalam ayat ini Allah menerangkan tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang dapat dilihat, diketahui, dirasakan dan dipikirkan oleh
manusia. Di antaranya ialah: Allah menciptakan bumi seakan-akan terhampar,
sehingga mudah didiami manusia, memungkinkan mereka bercocok tanam di
atasnya, mudah mereka bepergian ke segala penjuru dunia mencari rezeki yang
halal dan bersenang-senang. Diciptakan Nya pula atas bumi itu jurang-jurang
yang dalam, dialiri sungai-sungai yang kecil, kemudian bersatu menuju lautan
luas. Diciptakan Nya pula di atas bumi itu gunung-gunung yang menjulang ke
langit, dihiasi oleh aneka ragam tanaman dun tumbuh-tumbuhan yang
menghijau, yang menyenangkan hati orang-orang yang memandangnya.
Pada ayat 20 menerangkan anugerah Allah SWT yang tidak terhingga
kepada manusia, yaitu Dia telah menciptakan bermacam-macam keperluan
hidup bagi manusia. Dia telah menciptakan tanah yang subur yang dapat
ditanami dengan tanam-tanaman yang berguna dan merupakan kebutuhan
pokok baginya. Dia menciptakan air yang dapat diminum dan menghidupkan
tanam-tanaman, menciptakan burung yang beterbangan di angkasa yang dapat
ditangkap dan dijadikan makanan yang enak dan lezat. Diciptakan-Nya laut yang
di dalamnya hidup bermacam-macam jenis ikan yang dapat dimakan serta
mutiara dan barang tambang yang diperlukan oleh manusia dan menjadi sumber
6
mata pencaharian. Laut yang luas yang dapat dilayari manusia menuju segenap
penjuru dunia. Dan Dialah yang menciptakan segala macam sumber kesenangan
bagi manusia.
4. QS. Al-Maidah ayat 87-88
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (87).”
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya (88).” (Qs. Al-Maidah: 87-88).
a) Kata Kunci
“ ... janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu ... “ (Qs. Al-Maidah: 87)
“... makanlah makanan yang halal lagi baik ... “(Qs. Al-Maidah: 88)
b) Asbabun-Nuzul
Pada ayat Al-Maidah: 87, Imam Tirmizi dan lain-lainnya meriwayatkan
sebuah hadis dari Ibnu Abbas, "Ada seorang lelaki datang menghadap kepada
Nabi saw., lalu lelaki itu bertanya, 'Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ini
apabila memakan daging langsung naik syahwat terhadap wanita-wanita dan
syahwatku menguasai diriku, dari itu aku haramkan daging untuk diriku.
Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis dari jalur Aufi dari Ibnu
Abbas, bahwa ada beberapa orang lelaki dari kalangan para sahabat, di
7
antaranya ialah sahabat Usman bin Mazh`un, mereka bertekad mengharamkan
diri mereka dari wanita-wanita (istri-istri) dan daging. Kemudian mereka
mengambil pisau tajam untuk memotong buah pelir mereka (mengebiri diri
sendiri) agar mereka tidak terkena nafsu syahwat lagi, dengan demikian mereka
bisa mengkonsentrasikan diri untuk beribadah. Sebelum mereka melakukan niat
itu turunlah ayat-ayat ini. Diketengahkan pula hadis yang serupa secara mursal
oleh Ikrimah, Abu Qilabah, Mujahid, Abu Malik An-Nakha'i, Sadi dan lain-lainnya.
Di dalam riwayat Sadi disebutkan, bahwa mereka terdiri dari sepuluh orang
sahabat, yang di antaranya ialah Ibnu Mazh`un dan Ali bin Abu Thalib.1
Di dalam riwayat Ikrimah disebutkan bahwa di antara mereka adalah
Ibnu Mazh'un, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Masud, Miqdad bin Aswad dan Salim
budak yang telah dimerdekakan oleh Abu Huzaifah. Dan di dalam riwayat
Mujahid disebutkan, bahwa di antara mereka ialah Ibnu Mazh'un dan Abdullah
bin Umar. Ibnu Asakir mengetengahkan sebuah hadis di dalam kitab Tarikh dari
jalur Sadi Shaghir dari Kalbi dari Abu Saleh dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas
mengatakan, "Ayat ini diturunkan sehubungan dengan segolongan para sahabat
yang di antaranya ialah Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Masud, Usman bin Mazh'un,
Miqdad bin Aswad dan Salim bekas budak Abu Huzaifah. Mereka telah
bersepakat untuk mengebiri diri, menjauhi istri-istri mereka, tidak akan memakan
daging dan segala yang berlemak, tidak akan memakan makanan kecuali hanya
makanan pokok saja (mutih), memakai pakaian yang serba kasar dan mereka
bertekad akan hidup mengembara di muka bumi seperti halnya para rahib.
Sebelum mereka menunaikan niat, turunlah ayat ini." Ibnu Abu Hatim
mengetengahkan sebuah hadis dari Zaid bin Aslam, "Abdullah bin Rawahah
kedatangan seorang tamu dari familinya, sedangkan pada waktu itu ia sedang
berada di sisi Nabi saw. Pada waktu Abdullah kembali ke rumahnya, ia
menjumpai keluarganya tidak memberi makan tamunya itu karena menunggu
kedatangannya.
Melihat hal itu ia berkata kepada istrinya, 'Engkau telah menahan
tamuku (tidak memberinya makan); sungguh makanan itu haram bagiku.' Istrinya
menjawab, 'Sungguh makanan itu haram bagiku.' Sang tamu pun berkata,
'Sungguh makanan itu haram bagiku.' Setelah melihat keadaan demikian
Abdullah bin Rawahah meletakkan tangannya ke makanan itu seraya berkata,
1 K.H. Nurcholis MA, Asbabun Nuzul, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997).
8
'Makanlah kamu sekalian dengan menyebut nama Allah!' Seusai peristiwa itu
Abdullah bin Rawahah pergi menemui Nabi saw., lalu ia menceritakan kepada
beliau apa yang baru saja ia alami beserta keluarga dan tamunya. Kemudian
Allah menurunkan firman-Nya.
c) Kandungan Ayat
Pada ayat (87), ini Allah swt. menunjukkan firman-Nya kepada kaum
muslimin, yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang
baik yang telah dihalalkan-Nya seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan
dan lain-lainnya yang baik dan halal.
Akan tetapi, walaupun Allah swt. telah menyediakan dan menghalalkan
barang-barang yang baik bagi hamba-Nya, namun haruslah dilakukan menurut
cara yang telah ditentukan-Nya. Maka firman Allah dalam ayat ini melarang
hamba-Nya dari sikap dan perbuatan yang melampaui batas. Perbuatan yang
melampaui batas dalam soal makanan, misalnya, dapat diartikan dengan dua
macam pengertian.
Pertama seseorang tetap memakan makanan yang baik, yang halal,
akan tetapi ia berlebih-lebihan memakan makanan itu, atau terlalu banyak.
Padahal makan yang terlalu kenyang adalah merusak kesehatan, alat-alat
pencernaan dan mungkin merusak pikiran. Dana dan dayanya tertuju kepada
makanan dan minuman, sehingga kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai,
terutama ibadahnya. Pengertian yang kedua ialah bahwa seseorang telah
melampaui batas dalam hal macam makanan yang dimakannya, dan minuman
yang diminumnya; tidak lagi terbatas pada makanan yang baik dan halal, bahkan
telah melampauinya kepada yang merusak dan berbahaya, yang telah
diharamkan oleh agama. Kedua hal itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama
Islam.
Pada akhir ayat tersebut Allah SWT. memperingatkan kepada hamba-
Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini
berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-
batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan
haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan
perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan
mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam
9
Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia
bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya
adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih
besar daripada manfaatnya.2 Oleh sebab itu tidaklah boleh mengubah-ubah
sendiri hukum-hukum agama yang telah ditetapkan Allah swt. dan Rasul-Nya.
Allah swt. Maha Mengetahui apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi hamba-Nya
dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan Dia Maha Pengasih terhadap
mereka.
Pada ayat (88) ini Allah swt. memerintahkan kepada hamba-Nya agar
mereka memakan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan-Nya
kepada mereka. Prinsip "halal dan baik" ini hendaknya senantiasa menjadi
perhatian dalam menentukan makanan dan minuman yang akan dimakan untuk
diri sendiri dan untuk keluarga, karena makanan dan minuman itu tidak hanya
berpengaruh terhadap jasmani, melainkan juga terhadap rohani.
Tidak ada halangan bagi orang-orang mukmin yang mampu, untuk
menikmati makanan dan minuman yang enak, dan untuk mengadakan hubungan
dengan istri, akan tetapi haruslah menaati ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan syara’. Agama Islam sangat mengutamakan kesederhanaan. Ia tidak
membenarkan umatnya berlebih-lebihan dalam makan, minum, berpakaian dan
sebagainya, bahkan dalam beribadah. Sebaliknya, juga tidak dibenarkannya
seseorang terlalu menahan diri dari menikmati sesuatu, padahal ia mampu untuk
memperolehnya. Apalagi bila sifat menahan diri itu sampai mendorongnya untuk
mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan syara'.
Rasulullah SAW. telah memberikan suri teladan tentang
kesederhanaan ini. Dalam segala segi kehidupannya, beliau senantiasa bersifat
sederhana, padahal jika beliau mau niscaya beliau dapat saja menikmati segala
macam kenikmatan itu sepuas hati. Akan tetapi beliau tidak berbuat demikian,
karena sebagai seorang pemimpin, beliau memimpin umatnya kepada pola hidup
sederhana, akan tetapi tidak menyiksa diri.
C. MUNASABAH AYATPada Q.S Thaha ayat 8 Allah menyuruh agar manusia memakan rezeki
2 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)
10
yang baik, yang lezat cita rasanya dan yang telah Allah karuniakan kepada
mereka, tidak menyalahgunakannya, seperti menafkahkannya dengan boros,
tidak mensyukurinya, memanfaatkannya kepada kemaksiatan, dll. Jika mereka
demikian maka Allah akan menimpakan siksa kepada-Nya.
Selanjutnya pada Q.S An-Nisa ayat 29 Allah melarang mengambil harta
orang lain dengan jalan batil (tidak, benar), kecuali dengan perniagaan yang
berlaku atas dasar kerelaan bersama. Kemudaian dalam ayat ini Allah melarang
orang-orang yang beriman memakan harta dengan cara yang batil dan
membunuh orang lain, dan bunuh diri.
Q.S Al-Hijr ayat 19 menjelaskan bahwa Allah menerangkan tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang dapat dilihat, diketahui, dirasakan dan dipikirkan oleh
manusia. Dan pada ayat 20 ini merupakan peringatan bagi manusia bahwa anak-
anaknya, pembantu-pembantunya, binatang ternak kepunyaannya semua itu
Allah-lah yang menjamin rezekinya, bukan kepunyaan manusia.
Qs. Al-Maidah ayat 87 menunjukkan firman-Nya kepada kaum muslimin,
yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik yang
telah dihalalkan-Nya seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lain-
lainnya yang baik dan halal.
Qs. Al-Maidah ayat 88 ini Allah SWT. memerintahkan kepada hamba-Nya
agar mereka memakan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan-Nya
kepada mereka. Prinsip "halal dan baik" ini hendaknya senantiasa menjadi
perhatian dalam menentukan makanan dan minuman yang akan dimakan untuk
diri sendiri dan untuk keluarga, karena makanan dan minuman itu tidak hanya
berpengaruh terhadap jasmani, melainkan juga terhadap rohani.
11
BAB IIIKESIMPULAN
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip
keadilan distribusi.
Pada Q.S Thaha ayat 8 ini Allah menyuruh agar manusia memakan
rezeki yang baik.
Q.S An-Nisa ayat 29 Ayat ini melarang mengambil harta orang lain
dengan jalan batil (tidak, benar), kecuali dengan perniagaan yang berlaku
atas dasar kerelaan bersama.
Q.S Al-Hijr ayat 19-20 menjelaskan bahwa Allah menerangkan tanda-
tanda kekuasaan-Nya yang dapat dilihat, diketahui, dirasakan dan
dipikirkan oleh manusia, peringatan bagi manusia bahwa anak-anaknya,
pembantu-pembantunya, binatang ternak kepunyaannya semua itu Allah-
lah yang menjamin rezekinya.
Qs. Al-Maidah ayat 87-88 menunjukkan firman-Nya kepada kaum
muslimin, yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala
yang baik yang telah dihalalkan-Nya seperti makanan, minuman, pakaian,
pernikahan dan lain-lainnya yang baik dan halal. Juga memerintahkan
kepada hamba-Nya agar mereka memakan rezeki yang halal dan baik,
yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. Prinsip "halal dan baik" ini
hendaknya senantiasa menjadi perhatian dalam menentukan makanan
dan minuman yang akan dimakan untuk diri sendiri dan untuk keluarga,
karena makanan dan minuman itu tidak hanya berpengaruh terhadap
jasmani, melainkan juga terhadap rohani.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Munashabah, Jakarta: Lentera Hati.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir Al-Qur’anal
Majid An-Nur, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
K.H. Nurcholis MA, 1997, Asbabun Nuzul, Surabaya: Pustaka Anda.
Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati.
Top Related