BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Progresif dimulai dari suatu asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia,
bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta
final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.
Hukum Progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan menolak
berbagai paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence,
interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. Hukum progresif
merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta
ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum Progresif menolak
pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.
Tujuan dari hukum Progresif adalah untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal
hukum dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang
tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
Secara lebih spesifik hukum Progresif antara lain bisa disebut sebagai "hukum yang pro-
rakyat" dan "hukum yang pro-keadilan". Pernyataan dan pemastian tersebut berlanjut sampai
kepada penentuan tentang teorisasinya serta bagaimana hukum akan bekerja dan dijalankan.
Gagasan hukum Progresif muncul karena kepribadian terhadap keadaan hukum di
Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat internasional sudah mengutarakannya dalam
berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum di Indonesia termasuk yang terburuk di
dunia. Rakyat pun berpendapat demikian, namun mereka tidak mengutarakannya sebagai suatu
1
tuturan yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum sehari-hari,
seperti halnya kelemahan mereka berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang
cenderung lolos dari hukum.
Keadaan demikian lebih dalam perkembangannya lebih diperparah lagi dengan
kelemahan pada proses pembuatan hukum dan proses penegakan hukum di Indonesia. Secara
umum proses pembuatan hukum ke dalam bentuk tertulis (sebagai salah satu tuntutan hukum
modern untuk menjadi positif dan publik1).
Sementara itu kuatnya pengaruh paham positivisme secara umum menyebabkan proses
penegakan hukum yang cenderung legalistik, formalistik dan mekanistik. kondisi penegakan
hukum di Indonesia dari waktu ke waktu tampak tidak semakin baik. Hal tersebut dapat dilihat
dari beberapa indikator sebagai berikut:
1. Kebijakan yang bersifat partikularistik sehingga menyebabkan kesulitan dalam
mewujudkan sistem peradilan terpadu;
2. Kuatnya pengaruh kekuatan politik dan ekonomi yang membuat lembaga-lembaga
peradilan tidak independen;
3. Sistem rekrutmen dan pembinaan SDM (khususnya aparatur penegak hukum) yang belum
ideal;
4. Keterbatasan fasilitas pendukung proses penegakan hukum, termasuk system kontraprestasi
bagi aparatur penegak hukum dan akses peningkatan kapasitas diri;
5. Kurang berfungsinya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan peradilan.2
1Roberto Mangabeira Unger, 1976. Law in Modern Society: Toward a Critism of Social Theory, New York: TheFree Press, hlm, 238. 2 Abraham S. Blumberg, 1970. Criminal Justice System, Chicago: Quangdrale Books, hlm, 70.
2
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari pendahuluan diatas,dalam penulisan Paper kali ini Penulis mencoba untuk
menitik beratkan pembahasan mengenai Hukum Progresif. Dengan pembahasan seperti berikut :
1. Mengapa disebut hukum Progresif ?
2. Apa prinsip dasar Hukum Progresif ?
3. dan bagaimana strategi pengembangannya ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengapa disebut Hukum progresif ?
Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat pembagian bidang
hukum secara tradisional “hitam putih” (Perdata, Administrasi, Pidana dst.) menjadi gagap ketika
dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada “ranah abu-abu” (tidak tampak
jelas batas antara persoalan etika, privat atau publik).
Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait dengan berkembangnya
tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas daripada hal-hal yang bersifat metafisika
sebagai mana yang berkembang dalam era sebelumnya. Tradisi pemikiran ilmu pengetahuan
didominasi paradigma Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju pada era
masyarakat modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut adalah cara berpikir
yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah/memilah (atomizing), matematis, masinal,
deterministik dan linier.
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era “pencerahan” di dunia sains dan seni
secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial, politik,
ekonomi dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat
agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik tampak pada
terbentuknya negara modern dengan platform konstitusional dan demokrasinya. Di bidang
ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung
bersifat kapitalistik.
4
Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti
dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangannya tatanan hukum
modern atau lebih dikenal dengan sebutan hokum sistem hukum positif.
Pada awalnya sistem hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur
berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bias mencapai ketertiban
dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya,
sifat hukum positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing”
dari realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat.3
Surutnya kejayaan cara berpikir Cartesian/Baconian/Newtonian setelah munculnya teori-
teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas dan teori keos telah merubah cara pandang
terhadap kebenaran. Pada kenyataannya metode berpikir secara mekanistis, terukur, linier dst.
pada positivisme menyebabkan terjadinya pereduksian makna dan manipulasi fakta yang
menyebabkan kegagalan dalam memahami realita secara benar dan utuh. Hal demikian
tampaknya terjadi pula pada model hukum modern yang masih bertahan dengan dominasi
positivisme-nya yang semakin sulit menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang
berkembang pada masyarakat pascaindustri.
Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma pada masyarakat
pascaindustri atau yang disebut juga sebagai masyarakat informasi adalah perkembangan IPTEK
telah mencapai tahap yang sangat mutakhir. Salah satu produk IPTEK yang kini menjadi simbol
kemajuan adalah IT (Information Technology). Teknologi inilah yang secara revolusioner
merombak paradigma-paradigma yang ada sebelumnya. Sebut saja misalnya perubahan
paradigma itu terjadi pada system teknologi, yakni dari sistem manual menjadi sistem
3 Achmad Ali, 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Halaman 19.
5
digital/elektronik, yang mengakibatkan perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard
reality menjadi virtual reality atau hypperreality.
Perubahan-perubahan paradigma secara revolusioner tersebut yang dalam bahasanya
Thomas Khun disebut dengan istilah “lompatan paradigmatik”4 atau dalam bahasanya Fritjof
Capra disebut dengan istilah “ingsutan paradigma”, secara nyata telah menciptakan wajah baru
pada pola perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di berbagai belahan dunia, sehingga lalu muncul
“era” atau “aliran” posmodernisme yang mencoba merespon, mengoreksi, mengkritisi bahkan
mengecam berbagai kesalahan dalam modernisme.
Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan semangat
posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal Studies. Legal realism antara lain
mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan bisa dikesampingkan jika ternyata
keberadaannya menghalangi pencapaian keadilan. Critical Legal Studies bahkan sejak awal
bersikap bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari karena proses penyusunannya
sarat dengan muatan kepentingan yang timpang.
Penerapan legal realism dan critical legal studies dalam praktek penegakan hukum di
Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena keberadaan paradigm hukum positif masih
mendominasi dunia hukum di Indonesia. Disamping itu pada kenyataannya bagaimanapun
kritikan atau kecaman pascamodernisme terhadap modenisme toh terbukti belum mampu
menghadang derasnya arus liberalisme, kapitalisme dan positivisme.
Berkaitan dengan realitas-realitas tersebut maka konsep (penafsiran) hukum progresif
dianggap jalan tengah yang terbaik. “Ajaran” hukum progresif tidak “mengharamkan” hukum
positif namun tidak juga mendewakan ajaran hukum bebas. Progresivisme tetap berpijak pada
4 Thomas Khun, 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of Scientific Revolutions, diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV, hlm, 57-83.
6
aturan hukum positif, namun disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam. Keluasan dan
ketajaman pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang dikembangkan dalam
sociological jurisprudence, namun mencakup pula aspek psikologis dan filosofis.
B. Prinsip Dasar Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di
Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga
masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh dari harapan dan memerlukan
pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan”
hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi
dan pelanggaran hak asasi manusia.
Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: “Hukum adalah untuk
Manusia”, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum. Bahkan hukum
dibuat bukanuntuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum)5. Jadi manusialah yang merupakan
penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin
mengeser landasan teori dari factor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah
merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,
law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang
berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap
rakyat.
Oleh sebab itu hukum progresif tidak menempatkan aturan hukum positif sebagai sumber
hukum yang paripurna. Manusia harus mampu memberikan makna pada sebuah aturan hukum
5 Dalam tataran praksis hal ini tampak pada ungkapan-ungkapan: “demi hukum”, “berdasarkan peraturanperundang-undangan”, “sesuai dengan prosedur yang berlaku”, penggunaan prinsip “praduga tak bersalah”secara berlebihan.
7
melampaui teks yang tertulis guna mewujudkan keadilan yang substantif. Prinsip ini telah
mengispirasi praktek penegakan hukum secara progresif oleh para pekerja hukum6.
Dari sudut teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence
atau rechtsdogmatiek dan mengarah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya
konsep hukum progresif bersentuhan, dipengaruhi atau berbagai dengan beberapa teori hukum
yang telah mendahuluinya, antara lain: Konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu
dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri; Legal Realism;
Freirerechtslehre; Critical Legal Studies.7 Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran
hukum tersebut mengkritik doktrin hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak
antai terhadap keberadaan sistem hukum positif.
Konsep “progresivisme” bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga berupaya
merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral. Paradigma “hukum untuk
manusia” membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta
aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteran dan
kepedulian terhadap rakyat. Dengan kata lain hukum progresif bersifat membebaskan manusia
dari kelaziman baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan maupun prosedur serta
kebiasaan praktik hukum. Dalam sistem hukum yang progresif, ahli hukum tidak hanya berperan
sebagai penegak hukum dalam arti sempit (menemukan hukum dalam aturan formal dan
menerapkannya) namun lebih dari itu harus mampu sebagai “kreator hukum”.
Sebagai institusi yang bermoral maka hukum progresif bermodal nurani (empathy;
compassion; dedication; determination; sincerely; dare) dan dijalankan dengan SQ. Jadi
kebebasan dalam membuat terobosan hukum atau memaknai hokum melampaui bunyi teks, tidak
6 Al. Wisnubroto, ”Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, Dalam: Myrna A. Savitri, et.al. (ed.),2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma, hlm, 255.7 J. J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 55.
8
dapat artikan sebagai tindakan semaunya atau sewenangwenang karena semua tindakan hukum
yang bersifat progresif harus dilandasi dengan argumentasi yang dibangun dengan konstruksi
bernalar yang kritis dan bias dipertanggungjawabkan secara rasional dan moral.
Dengan demikian menjalankan hukum secara progresif tidak semata-mata berpijak pada
rule and logic namun juga rule and behavior. Hal ini mengingatkan pada penyataan Oliver
Wendell Holmes: “…The live of the law has not been logic. It has been experience”.
Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan logika peraturan namun juga harus
mempertimbangkan hukum yang bersumber dari pengalaman empiris misalnya kearifan lokal.
Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hokum progresif
tidak memposisikan hukum sebagai intuisi yang netral. Hukum Progresif merupakan hukum
yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang lemah, pro rakyat dan pro keadilan 8. Hukum
yang diposisikan sebagai sebagai intuisi yang netral merupakan pengaruh dari paham liberalisme
yang apabila diterapkan pada situasi yang timpang justru cenderung menguntungkan pihak yang
kuat.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam mewujudkan tujuannya hokum bukanlah
merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,
law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang
berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap
rakyat. Bahkan hukum progresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum
yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih
baik.
8 Sudijono Sastroadmodjo, “Konfigurasi Hukium Progresif” dalam: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8Nomor 2, September 2005, hlm, 187.
9
Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan “kacamata
kuda” (masinal, atomizing, mekanistik, linier) dan merubahnya menjadi pada cara pandang yang
utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekonstruksi fakta. Dengan demikian Dalam
menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja hukum harus menjalankan profesi atau
tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesu budi/doing to the utmost).
Akhirnya, masalah interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen dalam
pemberdayaan hukum progresif dalam rangka untuk mengatasi kemandegan dan keterpurukan
hukum. Interpretasi dalam hokum progresif tidak terbatas pada konvensikonvensi yang selama
ini diunggulkan seperti penafsiran gramatikal, sejarah, sistematik dan sebagainya, namun lebih
dari itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah
terobosan dan “lompatan” pemaknaan hokum menjadi sebuah konsep yang tepat dalam
menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan.
Dengan demikian sebenarnya penegakan hukum progresif tidak hanya terbatas dari sisi
penerapan hukum namun seyogyanya ditopang oleh sisi formulasi hukumnya. Jadi “PR” kita
untuk membumikan gagasan hukum progresif masih sangat panjang.
C. Strategi Pengembangan
Kehadiran gagasan Hukum Progresif merupakan harapan baru dalam memperbaiki
keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Gagasan hukum progresif bisa dipandang sebagai
sarana untuk mendayagunakan hukum dalam mewujudkan tujuan keadilan sosial dan
kesejahteraan masyarakat.
10
Disisi lain setelah berjalan lebih dari satu dekade sejak dicetuskan oleh penggagasnya
(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.), muncul pula kekhawatiran terhadap keberadaan hukum
progresif, terutama semenjak berpulangnya Sang Penggagas.
Kekaguman yang berlebihan pada Sang Begawan Ilmu Hukum selaku penggagas hokum
progresif, justru berdampak pada stagnasi pemikiran guna mengembangkan hukum progresif.
Konsep gagasan hukum progresif diposisikan seolah bagai “ayat-ayat suci” bagi kalangan
akademisi maupun praktisi yang menyebut dirinya, entah sebagai “cantriknya Prof. Tjip”, entah
sebagai “penganut mashab hokum progresif”. Bila hal ini terjadi maka sebenarnya perlakuan
terhadap hukum progresif justru bertentangan karakter hukum progresif sebagai “Law on going
process” atau “Law in the making” yang tidak pernah final dalam mencari bentuknya.
Sejumlah praktisi mulai banyak yang tertarik pada aliran hukum progresif. Mereka
mengatakan prinsip-prinsip hukum progresif lebih operasional dari pada aliran hukum yang lain
(misalnya aliran hukum kritis). Namun demikian mereka menghendaki terwujudnya “kisi-kisi
hukum progresif” sebagai “pedoman baku” dalam menjalankan profesinya. Bila hal ini terjadi
maka hukum progresif justru akan terbelenggu pada cara tradisi positivisme. Padahal doktrin
positivisme merupakan sesuatu yang dikritik keras dan hendak diperbaiki oleh hukum progresif.
Sementara para aktivis gerakan advokasi masyarakat memahami hokum progresif sebagai
sebuah gerakan dengan mengkaitkan dengan gerakan people power dan progressive lawyer yang
berideologi anti kemapanan dan “kekiri-kirian”. Hal tersebut patut direspons secara kritis karena
sekalipun ada beberapa spirit yang bersesuaian namun ada prinsip-prinsip dan tradisi yang
kurang pas.
Fenomena sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan tantangan pengembangan
hukum progresif yang bersifat eksternal. Disamping itu terdapat pula tantangan eksternal
11
terhadap pengembangan hukum progresif. Kalangan ahli hokum yang berbasis doktrin
positivisme seringkali memandang gagasan hukum progresif secara keliru. Gagasan hukum
progresif dipandang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Pemaknaan secara luas
dipandang kaum positivis sebagai ketidaktertiban atau kesewenangan. Bahkan aksi terobosan
hukum yang ditawarkan hukum progresif dianggap sebagai langkah yang ”membahayakan”
sistem hukum.
Terkait dengan tantangan-tantangan tersebut maka diperlukan strategi untuk
mengembangkan hukum progresif agar bisa diterima sebagai alternatif pembaharuan hukum di
Indonesia. Merubah tradisi hukum modern yang dibagun dengan doktrin positivisme bukan hal
yang mudah, bahkan bisa dikatakan tidak realistis. Terlebih lagi gagasan hukum progresif jauh
lebih muda bila bidandingkan dengan aliran hokum yang telah ada sebelumnya. Yang paling
mungkin dilakukan adalah dengan melakukan gerakan internalisasi spirit hukum progresif dalam
pengembangan hukum baik dalam tataran keilmuan maupun tataran praksis.
Penolakan atau pandangan keliru terhadap gagasan hukum progresif pada umumnya
disebabkan karena pemahaman yang tidak utuh terhadap konsep hokum progresif. Penjelasan
yang lengkap dan bernas mengenai apa dan bagaimana hokum progresif diharapkan bisa
merubah cara pandang dan perilaku dalam berhukum. Ini merupakan tantangan tersendiri sebab
tidak mudah menjelaskan konsep hokum progresif yang utuh dalam waktu yang singkat.
Dalam tataran keilmuan gagasan hukum progresif memang masih belum bias diakui
sebagai sebuah teori. Upaya kajian akademis secara serius harus terusmenerus dilakukan guna
menemukan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang mantab. Kajian-kajian yang
bersifat akademis tidak semata-mata menempatkan hukum progresif sebagai subjek namun juga
sebagai objek kajian. Dengan cara tersebut kajian terhadap hukum progresif bisa bersifat
12
konstruktif maupun secara kritis, sehingga bisa semakin memperkokoh landasan keilmuan
gagasan hukum progresif.
Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan hukum progresif dalam dunia praktek
hukum. Hal ini bisa dilakukan dengan upaya mendorong agar sikap, perilaku, cara bernalar serta
cara bertindak dalam penerapan hukum mengacu spirit dan prinsipprinsip hukum progresif.
Tantangan yang harus dihadapi tentu saja adalah system hukum Indonesia yang hingga kini
masih didominasi doktrin positivisme. Namun demikian secercah harapan muncul ketika
beberapa organisasi advokasi hukum dan lembaga peradilan mulai menggunakan spirit hukum
progresif.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penerapan prinsip-prinsip hukum progresif dalam dinamika advokasi hokum termasuk di
dunia peradilan, disatu sisi hukum progresif bisa bermanfaat dalam peningkatan kualitas
penegakan hukum dan keadilan, disis lain hukum progresif juga semakin teruji guna
penyempurnaan dirinya. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dalam arti
merobohkan tatanan hukum yang lama dan membangun kembali tatanan hukum yang lebih baik.
Akhir kata penulis berpendapat bahwa gagasan hukum progresif pada hakekatnya merupakan
pembaharuan tradisi berhukum. Oleh sebab itu pengembangan hukum progresif memerlukan
sebuah gerakan intelaktual untuk mewujudkan tradisi berhukum yang lebih baik.
14
Top Related