Download - Teori Berkelanjutan

Transcript
  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Pembangunan Berkelanjutan

    Untuk kelancaran pembangunan berkelanjutan, perencanaan sektoral di

    tiap-tiap daerah tidak berlaku. Dalam hal penggunaan sumberdaya lahan, istilah

    berkelanjutan dapat berarti menempatkan bentuk penggunaan lahan tak-

    deterioratif yang kompatibel dalam jumlah maksimum, sehingga memperoleh

    nilai manfaat yang lebih baik dari bentuk penggunaan lahan yang diterapkan

    (Notohadiprawiro, 1987). Implikasi dari makna berkelanjutan tersebut ialah

    mengupayakan berlangsungnya interaksi bentuk dan intensitas kegiatan dengan

    kemampuan lahan yang ditempati kegiatan tersebut pada aras (level) optimum.

    Berkelanjutan selalu berkonotasi produktifitas, efisiensi, konservasi,

    berwawasan lingkungan dan masa depan, serta pemerataan hak dan

    kesempatan berkembang bagi semua pihak. Khusus untuk implementasi

    konotasi terakhir diperlukan kelembagaan yang tanggap dan efektif. Taylor

    (1980) melihat bahwa kelembagaan di negara-negara sedang berkembang

    seringkali menjadi kendala utama pembangunan, terutama dalam hal pertanian

    yang melibatkan banyak petani kecil.

    Keadaan dan pengelolaan sumberdaya lahan makin menjadi bahan

    kepedulian sehubungan dengan tekanan makin berat atas sumberdaya tanah,

    air, dan tanaman akibat dari pemekaran populasi dan pengembangan ekonomi.

    Meskipun masih ada ruang bagi perluasan lahan produktif di beberapa wilayah,

    namun di bagian terbesar dunia yang sedang berkembang kebutuhan akan

    peningkatan produksi terpaksa dipenuhi dari lahan yang sudah diusahakan

    dengan intensifikasi. Kenyataan ini memerlukan pemeliharaan potensi produktif

    sumberdaya-sumberdaya bersangkuktan selaku unsur-unsur mendasar dalam

    menggunakan lahan berkelanjutan (Pier et al. 1955).

    Untuk mengharkatkan lahan perlu difahami benar perbedaan pengertian

    ciri lahan dan mutu lahan. Ciri lahan (land characteristic) adalah tanda pengenal

    (attribute) atau tampakan (feature) lahan yang terukur atau dapat ditaksirkan,

    jadi merupakan penentu niliai kuantitatif. Mutu lahan adalah tanda pengenal atau

    tampakan lahan majemuk yang bertindak berbeda dengan tindakan tanda

    pengenal lahan majemuk yang lain dalam mempengaruhi kesesuaian lahan bagi

    macam penggunaan tertentu (FAO, 1977). Mutu lahan menunjuk pada keadaan

    kesehatan lahan dan khususnya kepada kapasitasnya bagi penggunaan lahan

  • 13

    dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Mutu lahan ditaksir dalam

    kaitannya dengan ragam khusus penggunaan lahan (Pieri, dkk., 1955). Mutu

    lahan adalah penentu nilai kualitatif karena tidak dapat diukur dan hanya dapat

    ditaksir. Tekanan atas mutu lahan dapat menjurus ke berbagai bentuk degradasi

    lahan.

    Menurut Michalic (2000), teori umum dalam kreasi, eliminasi dan prevensi

    kerusakan lingkungan seperti yang dikembangkan dalam teori kebijakan

    lingkungan (teori perilaku, pertumbuhan dan teori sistem) dapat diaplikasikan

    dalam bidang pariwisata dengan hanya sedikit modifikasi. Pasar, fiskal dan

    instrumen administrasi seperti yang diturunkan dari teori-teori di atas dapat

    diakomodasikan untuk digunakan dalam pariwisata dalam rangka untuk

    mencegah atau meminimalkan kerusakan lingkungan. Mereka biasanya

    mencegah dan menghilangkan kerusakan pada lingkungan alami, hanya sedikit

    yang cocok untuk melindungi sosial atau lingkungan budaya.

    Perdebatan mengenai ekonomi secara ekslusif jarang ditemukan dalam

    literatur mengenai ekologis, lingkungan atau pariwisata berkelanjutan.

    Kebanyakan pekerjaan yang ada mengenai isu ekologis utamanyan dari sudut

    pandang sosiologis. Walaupun begitu, instrumen ekonomi dari kebijakan

    lingkungan atau instrumen yang berorientasi pasar menpunyai kesempatan untuk

    mencegah atau meminimalkan kerusakan lingkungan pada pariwisata.

    2.1.1. Teori Sistem

    Teori pertama yang menjabarkan penyebab kerusakan lingkungan adalah

    Teori Sistem. Kerusakan lingkungan terjadi akibat alokasi sumber daya yang

    tidak efisien sebagai dampak dari: (i) kegagalan pasar dan/atau (ii) kesalahan

    negara/pemerintah. Efisiensi alokasi diartikan sebagai optimalitas Pareto, seperti

    situasi dimana mustahil mengalokasikan environmental goods (komoditi

    lingkungan) untuk membuat satu orang menjadi lebih baik secara ekonomi tanpa

    membuat satu orang lainnya menjadi lebih buruk secara ekonomi. Environmental

    goods (komoditi lingkungan) dapat dialokasikan secara optimal dengan

    memfungsikan pasar untuk environmental goods (komoditi lingkungan) dan/atau

    dengan campur tangan pemerintah.

    Teori-teori ini membedakan antara biaya atau ongkos pribadi dan sosial

    dengan keuntungan yang diperoleh. Jumlah total dari biaya atau ongkos pribadi

    dan keuntungan yang diperoleh tidak sama dengan jumlah biaya atau ongkos

  • 14

    sosial dan keuntungan yang didapat dikarenakan seringkali sebuah perusahaan

    tidak menyadari produk totalnya (efek eksternal positif) dan/atau tidak

    menghitung semua biaya atau ongkos sosial di dalam biaya produksinya (efek

    eksternal negatif). Ini berarti kehilangan optimalitas Pareto sebagai subyek

    ekonomi yang lebih baik atau lebih buruk pada pengeluaran atas biaya atau

    keuntungan atas yang lainnya. Sebuah contoh klasik dari eksternalitas negatif,

    sebuah perusahaan membuang sampah organik ke sungai, yang akan

    mengurangi kemungkinan produksi perusahaan lain sebagai tempat rekreasi

    berenang dan memancing yang berkualitas baik (Hjalte et al., 1977).

    Pigou (1920: in Leipert, 1980:7) menyatakan bahwa perbedaan antara

    dampak pribadi dengan sosial memerlukan campur tangan pemerintah untuk

    mencapai alokasi sumber daya yang optimal. Dia mengusulkan pajak dan

    subsidi. Subsidi mengacu pada efek positif eksternal dan pajak pada efek

    negative. Bila pajak lingkungan digunakan, biaya internal dari perusahaan akan

    meningkat dan perusahaan secara konsekuen akan mengurangi jumlah

    penggunaan lingkungannya: baik dengan mengurangi produksi atau

    menggunakan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu

    alokasi sumberdaya lingkungan yang lebih baik dicapai melalui dampak dari

    naiknya biaya perusahaan dan harga dari mekanisme pasar.

    Teori sistem menganjurkan beberapa instrumen berikut yang dapat

    digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan seperti : pajak, subsidi dan

    kompensasi, melalui harga dan biaya, dampak dengan lebih optimal alokasi

    sumber daya alam dan atau mengurangi utilisasi lingkungan melalui mekanisme

    pasar. Satu dari teori sistem, teori barang lokal, menganjurkan bahwa biaya

    untuk perlindungan lingkungan harus ditanggung oleh pihak ketiga (negara) dan

    tidak oleh industri (pariwisata)

    2.1.2. Teori Pertumbuhan

    Pertumbuhan ekonomi yang konstan dan pertumbuhan penduduk adalah

    merupakan alasan penyebab yang paling jelas bagi timbulnya konfik kepentingan

    atas perekonomian masyarakat dengan lingkungan sumberdaya alam dan

    merupakan penyebab tidak langsung atas memburuknya kondisi kehidupan di

    muka bumi (Michalic, 2000).

  • 15

    Dalam area pembangunan ekonomi, ide mengenai zero growth

    pertumbuhan ekonomi telah digantikan dengan ide mengenai kualitas dan/atau

    pertumbuhan ekonomi organik.

    Sedangkan dalam teori pertumbuhan penduduk menjelaskan bahwa

    sebuah pertumbuhan penduduk akan memberikan tekanan pada sumber daya

    alam. Pertumbuhan penduduk menyebabkan kerusakan lingkungan akibat

    penggunaan ruang yang berlebihan (over-utilization) oleh penduduk,

    pembangunan pada daerah pedesaan, yang menyebabkan hilangnya kawasan

    hijau, dan bahkan menyebabkan perubahan iklim.

    Instrumen yang dihasilkan dari teori pertumbuhan dapat memberikan

    dampak untuk mengurangi atau mengatur pertumbuhan. Pembatasan kualitas

    melalui berbagai jenis sertifikat merupakan hal yang sangat penting dan sertifikat

    berdasarkan pasar atau izin yang dapat diperdagangkan kepada pengembang

    yang berminat merupakan sebuah jaminan bahwa harga penggunaan lingkungan

    ditentukan dalam basis permintaan dan penawaran. Pada saat yang bersamaan,

    pertumbuhan dan konsentrasi dapat dibatasi dengan instrumen administrasi.

    Sebuah solusi dengan penggunaan sertifikat yang berdasarkan jumlah

    dan memberikan pemilik sertifikat sebuah hak untuk dapat melakukan polusi

    pada jumlah tertentu dan/atau penggunaan lingkungan hidup.

    2.1.3. Teori Perilaku

    Teori tidak hadirnya etika lingkungan mencoba untuk menjelaskan

    beberapa alasan kerusakan lingkungan dari sisi filosfosi. Dari sudut pandang

    sejarah, berasal dari filosofi Aristoteles (De Haas, 1989:266), yang menyatakan

    atas kesamaan pada tiga daerah yaitu: politik, ekonomi, dan etika. Ekonomi tidak

    memasukkan filosofi praktis, dan berdiri sebagai bidang keilmuan sendiri,

    mengembangkan cara berfikir berdasarkan rasionalitas dan hanya mengacu

    pada nilai ekonomi. Dengan alasan ini, permintaan akan etika dalam keadilan,

    kemanusiaan dan ekologi adalah irasional. Dengan dasar ini maka sebuah teori

    yang mengklaim bahwa ketidakhadiran etika social lingkungan telah

    menyebabkan attitude yang negative atas lingkungan alam (Frey, 1985: 38).

    Teori perilaku lingkungan menjelaskan keberadaan kerusakan

    lingkungan: 1) melalui ketidak-hadiran etika social lingkungan dan 2) sebagai

    sebuah produk dari ketidaktahuan manusia.

  • 16

    Ketidakhadiran etika sosial lingkungan merupakan alasan utama atas

    kerusakan dan degradasi lingkungan. Istilah ini mengacu pada standar dan

    prinsip yang mengatur perilaku dari individu atau kelompok-kelompok individu

    (Rue dan Byars, 1986:71) dalam hubungannya dengan lingkungan. Secara

    umum etika berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti mana yang

    benar dan mana yang salah, dan dengan kewajiban moral. Teorinya,

    diasumsikan bahwa sesorang memiliki kesadaran lingkungan dan etika

    lingkungan dan akan berreaksi secara ramah lingkungan apabila informasi dan

    pengetahuan praktis lingkungan tersedia. Menurut beberapa penulis, kesadaran

    lingkungan termasuk keinginan untuk melakukan tindakan secara ramah

    lingkungan (Muller and Flugel, 199:53). Muncul jarak karena keinginan tidak

    diteruskan menjadi perilaku sesungguhnya.

    Secara umum kita dapat menarik batas antara etika bisnis (sisi

    penawaran) dan etika konsumer (sisi permintaan). Perbedaan permintaan dan

    penawaran pada pariwisata dapat juga terjadi. Etika pariwisata pada sisi

    wisatawan menentukan prinsip lingkungan yang mengatur perilaku wisatawan,

    dilain pihak etika pada sisi penawaran mengatur sikap terhadap lingkungan dari

    sisi pemerintah, daerah tujuan, dan perusahaan wisata.

    Variasi kedua dari teori perilaku lingkungan melibatkan ketidaktahuan

    manusia dikarenakan kurangnya penelitian lingkungan, pendidikan dan informasi.

    Teori berkata bahwa bencana lingkungan berlangsung pada periode waktu yang

    lama. Hubungan langsung dengan aksi tertentu tidak tampak, maka dari itu

    kurangnya pengertian dan informasi merupak alasan utama mengana bencana

    terjadi. Bila umat manusia memiliki informasi yang memadai mengenai

    konsekuensi dari tindakannya, maka bencana dapat dihindari. Dalam rangka

    menghindari manipulasi oleh pihak berminat, penelitian dibidang harus

    ditingkatkan dan menghasilkan informasi yang dapat diperoleh dengan mudah

    oleh masyarakat.

    Tidak ada keraguan bahwa informasi yang cukup mengenai kerusakan

    lingkungan bersama dengan pengetahuan tentang perilaku lingkungan adalah

    perlu, tapi ini juga bukan hanya satu-satunya kondisi yang diperlukan untuk

    mencegah kerusakan lingkungan. Pencegahan juga tergantung pada faktor etika

    lingkungan yang dijelaskan sebelumnya.

    Kedua variasi teori perilaku yg dijelaskan sebelumnya, saling melengkapi

    (complement) satu dengan yang lain. Etika lingkungan hanya dapat dibangun

  • 17

    dengan asumsi bahwa alasan-alasan bagi kerusakan lingkungan dan metoda

    (know-how) bagi perbaikan dan menjaga lingkungan sudah diketahui.

    Sebaliknya, pengetahuan mengenai bencana lingkungan tidak menjamin bahwa

    perilaku terkait lingkungan akan lebih ramah.

    Instrumen yang diturunkan dari teori perilaku mengasumsikan bahwa

    konsumen sadar lingkungan dan lebih memilih produk yang ramah lingkungan.

    Sebagai respon dari meningkatnya permintaan akan produk yang ramah

    lingkungan maka akan mengurangi tekanan pada kerusan lingkungan. Sehingga

    melalui mekanisme pasar akan merubah struktur produksi and mengurang

    tekanan pada lingkungan.

    2.2. Penataan Ruang

    Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang

    lautan, dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan makhluk

    hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

    Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa

    penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang

    terencana melalui suatu proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan

    pengendalian pemanfaatan ruang yang satu dengan yang lainnya merupakan

    suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Penataan ruang berdasarkan : (a)

    Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan

    hasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; (b) Keterbukaan,

    persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.

    Penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang

    berwawasan lingkungan, terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang pada

    kawasan lindung dan budidaya sehingga terciptanya peraturan pemanfaatan

    ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk

    menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan sangat penting dalam

    kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi (Darwanto, 2000).

    Tata ruang merupakan suatu artian harfiah dari kata spatial yaitu segala

    sesuatu yang dipertimbangkan berdasarkan kaidah keruangan. Sejalan dengan

    anggapan yang diartikan oleh Chadwick (1980), sebagai "The arrangement of

    space or in space of all kinds". Tata ruang pada hakekatnya merupakan

    lingkungan fisik dimana terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam

    obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang tertentu (Rapoport, 1980). Hal ini

  • 18

    didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan

    dipengaruhi pula oleh faktor-faktor non-fisik seperti organisasi fungsional, pola

    budaya, dan nilai komunitas. (Porteous, 1981).

    Dalam wawasan kaitan antara aspek keruangan dan bukan keruangan

    inilah kemudian Foley mengemukakan bahwa penataan ruang akan dilandasi

    oleh suatu paradigma dimana terdapat kaitan antara tiga aspek yaitu (Foley,

    1964): (1) Aspek normatif yang bersifat aspasial seperti nilai sosial budaya,

    institusi, peraturan dan perundangan, teknologi dan spasial. distribusi tataruang

    dari pola budaya, nilai yang berkaitan dengan pola tata ruang aktivitas dan

    lingkungan fisik; (2) Aspek fungsional yang bersifat aspasial dan agihan fungsi,

    sistem aktivitas termasuk manusia dari kegiatan usaha di dalam peranan

    fungsionalnya dan spasial seperti distribusi tata ruang dan fungsi kaitan tata

    ruang, pola tata ruang kegiatan berdasarkan macam dan fungsi; dan (3) Aspek

    fisik yang bersifat aspasial seperti obyek fisik, lingkungan geofisik, lingkungan

    angkasa, kualitas lingkungan (permukaan, dalam bumi dan angkasa), manusia

    sebagai wujud fisiko kualitas sumber daya alam dan yang bersifat spasial seperti

    distribusi tata ruang bentuk fisik, lahan bangunan, jaringan jalan, jaringan utilitas,

    pola tata guna lahan sesuai dengan kualitas lahannya Dengan perkataan lain

    tinjauan pengertian struktur ruang harns mengacu pada suatu wawasan yang

    lebih luas sebagai bagian dari ruang yang disediakan untuk digunakan sebagai

    tempat benda-benda kegiatan dan perubahan.

    Kualitas tata ruang menurut Silalahi (1995) ditentukan oleh terwujudnya

    pemanfaatan ruang yang memperhatikan (1) daya dukung lingkungan, yaitu

    jumlah penduduk dalam suatu wilayah yang masih dapat didukung oleh

    ketersediaan sumberdaya alam, dan penggunaan lahan yang sesuai dengan

    karakteristik tanah, (2) fungsi lingkungan, yaitu tertatanya tata air, tata udara,

    suaka alam, suaka budaya, (3) estetika lingkungan, yaitu terpeliharanya bentang

    alam, (4) lokasi, yaitu pemanfaatan ruang yang serasi antara fungsi lingkungan

    dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya, (5) struktur, yaitu hirarki yang

    jelas dalam sistem perkotaan dan hubungan yang saling menunjang antar kota

    besar, kota menengah dan kota kecil.

    Sejalan dengan uraian tersebut Hardjowigeno (1999), mengemukakan

    bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang

    merupakan wadah kehidupan yang mencakup ruang daratan, ruang lautan,

    ruang udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya serta

  • 19

    daya, keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk

    hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelibara kelangsungan hidupnya.

    Karena itu tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, apabila tidak ditata

    secara baik dapat mendorong ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah

    dan ketidaklestarian lingkungan serta konflik pemanfaatan ruang.

    Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (5)

    disebutkan bahwa "Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan

    tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam

    penataan ruang harus berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan

    secara terpadu, efektivitas dan efisiensi, serasi, selaras, seimbang dan

    berkelanjutan. Selain itu harus berasaskan keterbukaan, persamaan. keadilan

    dan perlindungan hukum. Efektivitas dan efisiensi diartikan bahwa penataan

    ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan

    fungsi ruang. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan berfungsi secara

    efektif dan efisien bila didasarkan pada sistem pengendalian yang menyediakan

    informasi yang akurat tentang penyimpangan-penyimpangan terhadap

    pemanfaatan ruang yang telah terjadi dan ketegasan dalam memberikan

    tindakan yang tepat dalam menertibkan penyimpangan-pelanggaran tersebut.

    Oleh karena itu, perlu disiapkan mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang

    yang baik. Di Wilayah Kabupaten Kota, penyelenggaraan pengendalian

    pemanfaatan rnang dilaksanakan melalui mekanisme perizinan, selain melalui

    kegiatan pengawasan penertiban. Kegiatan pengendalian melalui mekanisme

    perizinan ini, meliputi: izin mendirikan bangunan, izin HGU, izin penggunaan

    bangunan, izin mengubah bangunan, izin merubuhkan bangunan dan lain-lain.

    Dasar hukum yang mengatur mengenai pengendalian pemanfaatan ruang

    tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 35 yaitu:

    Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi.

    perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Hal ini

    berarti pengendalian pemanfaatan ruang merupakan usaha untuk mengambil

    tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.

    Tindakan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui

    penetapan peraturan zonasi, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan

    sanksi. Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan

    terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang berupa

    keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang

  • 20

    dan urun saham; pembangunan serta pengadaan infrastruktur; kemudahan

    prosedur perizinan dan/atau; pemberian penghargaan kepada masyarakat,

    swasta dan/atau pemerintah daerah. Disinsentif merupakan perangkat untuk

    mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak

    sejalan dengan rencana tata ruang berupa pengenaan pajak yang tinggi yang

    disesuaikan dengan besamya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak

    yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau pembatasan penyediaan

    infrastruktur, pengenaan kompensasi dan penalti.

    Pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan zonasi dalam

    Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dipertegas dengan Pasal 36 yaitu: (1)

    Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai

    pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Peraturan zonasi disusun

    berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. (3)

    Peraturan zonasi ditetapkan dengan: Peraturan pemerintah untuk arahan

    peraturan zonasi system nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan

    peraturan zonasi sistem propinsi; peraturan daerah kabupaten/kota untuk

    peraturan zonasi.

    Rustiadi et al. (2005) menyatakan, penataan ruang pada dasarnya

    merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses

    pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih

    baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan.

    Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yakni: (a) optimalisasi pemanfaatan

    sumberdaya (prinsip produktivitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi

    sumberdaya (prinsip pemerataan, keseimbangan, dan keadilan), dan (c)

    berkelanjutan (prinsip sustainability).

    Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan

    lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata

    alam, pantai berhutan bakau, dan sebagainya serta kawasan budidaya seperti

    industri, pemukiman, pertanian, dan sebagainya, sedangkan berdasarkan aspek

    administratif, penataan ruang meliputi ruang nasional, wilayah propinsi, wilayah

    kabupaten/kota yang dalam penyusunannya melalui hirarki dari level yang paling

    atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara

    terpadu.

    Dalam kerangka penataan ruang secara nasional, ada beberapa

    permasalahan diantaranya adalah terjadinya tumpang tindih penanganan

  • 21

    pemanfaatan sumberdaya alam yang memicu terjadinya berbagai persoalan

    lainnya, tingginya alih fungsi (konversi) lahan pertanian produktif menjadi lahan

    non pertanian. Permasalahan tersebut timbul karena masih kurangnya perhatian

    atau program pembangunan yang mengarah pada pemanfaatan ruang secara

    benar dan konsisten serta sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat, potensi

    sumberdaya alam dan lingkungan.

    Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang secara

    optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.

    Perencanaan tata ruang wilayah mengarah dan mengatur alokasi pemanfaatan

    ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta

    indikasi program dan kegiatan pembangunan. Hasil perencanaan tata ruang

    yang disebut rencana tata ruang sesungguhnya adalah konsep, ide, dan

    merupakan instrumen pengendalian pembangunan suatu wilayah pemerintahan

    yang menjadi pegangan bersama segenap aktor pembangunan baik pemerintah,

    masyarakat maupun swasta.

    Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata

    ruang atau pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang

    terdiri atas mekanisme perijinan dan penertiban terhadap pelaksanaan

    pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW baik Nasional, Propinsi,

    Kabupaten, dan Kota. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga

    merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran

    pembangunan wilayah.

    Rencana pemanfaatan dan pengendalian ruang, merupakan suatu

    perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu dalam kurun

    waktu tertentu pula. Landasan hukum dalam pelaksanaan tata ruang adalah

    Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Rencana

    Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Tahun 2007 Sampai Tahun

    2027, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 32 Tahun

    2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1990 tentang

    Pertimbangan Keuangan antar Pusat dan Daerah, PP Nomor 32 Tahun 1990

    tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang

    Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta

    Masyarakat dalam Penataan Ruang.

    Pola Pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang

    menggambarkan ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia dan/atau

  • 22

    kegiatan alam. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi,

    sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola

    penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Pendekatan pembangunan melalui

    sistem ruang akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam usaha

    pemanfaatan dan penataan ruang suatu wilayah baik dalam skala nasional,

    propinsi, dan kabupaten/kota, karena dalam penyusunan program-program

    pembangunan secara konsisten terwujud jika konsep dan penataan ruang dapat

    diwujudkan dalam struktur yang menggambarkan ikatan pemanfaatan ruang

    yang terpadu dari berbagai sektor pembangunan .

    Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pembangunan daerah adalah

    sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah, merupakan pedoman

    untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang

    yang dituangkan dalam rencana tata ruang, dan sebagai alat untuk

    mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaatan ruang bagi

    kegiatan yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap

    program antar sektor yang terlibat.

    Pada tahap pemanfaatan ruang khususnya di tingkat propinsi masih

    menemui berbagai kendala yang diantaranya disebabkan oleh belum adanya

    persamaan persepsi dalam memahami kebijakan penataan ruang sehingga

    kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya dapat ditindaklanjuti dalam

    kebijaksanaan institusi masing-masing. Hal ini adalah ketidakpastian alokasi

    anggaran daerah dalam rangka mewujudkan apa yang telah direncanakan dari

    rencana tata ruang (Saromi, 2004).

    Rencana tata ruang wilayah merupakan arahan dalam pemanfaatan

    ruang bagi semua kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara

    bersama oleh pemerintah, masyarakat dan atau dunia usaha untuk mendapatkan

    struktur tata ruang wilayah dan pola pemanfaatan ruang yang optimal,

    berwawasan lingkungan dan lestari. Rustiadi (2000) mengatakan bahwa

    perencanaan tata ruang adalah upaya manipulasi struktur distribusi spasial

    fenomena fisik dan manusia (kondisi sosial ekonomi) agar lebih sesuai dengan

    tujuan yang diinginkan. Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya yang ditujukan

    untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang merupakan bagian dan tujuan

    pembangunan secara keseluruhan.

    Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

    menjelaskan bahwa penataan merupakan proses perencanaan tata ruang,

  • 23

    pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh

    pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat merupakan

    hal yang sangat penting karena pada akhirnya penataan ruang adalah untuk

    kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan

    ruang, yaitu terselenggaranya pemanfaatan lingkungan dan berkualitas.

    Saefulhakim (1996) menyatakan bahwa sistem penataan ruang terkait

    dengan (1).Setiap satuan spasial dari sumberdaya lahan memiliki daya dukung

    alamiah tertentu bagi keberlangsungan system kehidupan. Agar sitem kehidupan

    dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable), tipe penggunaan dari

    setiap satuan spasial ini harus sesuai dengan daya dukung alamiahnya. Kalau

    terpaksa harus harus mengembangkan tipe penggunaan lain yang melebihi daya

    dukung alamiahnya, perlu disertai dengan penerapan teknologi dan manajemen

    yang menjamin keberlanjutan fungsi ekonomi dan fungsi lingkungannya. (2) Tipe

    penggunaan/aktifitas pada satuan spasial tertentu dapat berpengaruh terhadap

    keragaan tipe penggunaan/aktifitas pada satuan spasial yang lain, baik pengaruh

    yang bersifat negatif (negative externalities: permasalahan lingkungan) maupun

    yang bersifat positif (positive externalities). Penataan ruang dari tipe-tipe

    penggunaan/aktifitas kehidupan bertujuan untuk memaksimumkan positive

    externalities yang sekaligus meminimumkan negative externalities.

    Sesuai dengan pendapat Rustiadi (2005) bahwa perencanaan

    pembangunan wilayah ditunjang oleh empat pilar pokok yaitu : (1) inventarisasi;

    klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya; (2) aspek ekonomi; (3) aspek

    kelembagaan, dan (4) aspek lokasi/spasial. Penelitian keterkaitan sektoral akan

    terlait dengan empat pilar tersebut, sumberdaya sebagai input produksi, aspek

    ekonomi meliputiproses produksi dimana didalamnya tercakup pengaturan agar

    penggunaan sumberdaya seefektif dan seefisien mungkin, kelembagaan sebagai

    rule of the game dan organisasi yang mengatur alokasi sumberdaya, spasial

    sebagai ruang dimana terjadinya perekonomian.

    Perubahan penggunaan lahan di wilayah KBU sebagai akibat adanya

    pemanfaatan lahan untuk pemukiman serta kegiatan perkotaan lainnya, secara

    jangka panjang dapat merubah lingkungan geografis. Hal ini, jika tidak

    dikendalikan dapat merusak lingkungan dan wilayah konservasi (Kozlowski,1997)

  • 24

    2.3. Penggunaan Lahan

    Barlowe (1986) menyatakan bahwa, pertambahan jumlah penduduk

    berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat

    dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian

    meningkat dengan adanya pertambahan penduduk, demikian juga permintaan

    terhadap hasil non-pertanian. Pertambahan penduduk dan peningkatan

    kebutuhan material, cenderung menyebabkan persaingan dan konflik diantara

    pengguna lahan. Adanya persaingan tidak jarang menimbulkan pelanggaran

    batas-batas penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian yang digunakan

    untuk usaha non-pertanian.

    2.3.1. Sumber Daya Lahan

    Menurut FAO (1977), lahan ialah suatu daerah permukaan bumi yang ciri-

    cirinya (characteristics) mencakup semua pengenal (attributes) yang bersifat

    cukup mantap atau yang dapat diduga bersifat mendaur dari biosfer, atmosfer,

    tanah, geologi, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan

    manusia pada masa lampau dan masa kini, sepanjang pengenal-pengenal tadi

    berpengaruh murad (significant) atas penggunaan lahan pada waktu sekarang

    dan pada waktu mendatang.

    Lahan merupakan persatuan sejumlah komponen yang berpotensi

    sumberdaya. Potensi lahan ditentukan oleh potensi sumberdaya masing-masing

    yang menjadi komponennya, baik potensi bawaan maupun potensi yang

    berkembang dari nasabah saling tindak (interactive relationship) dan nasabah

    kompensatif (compensatory relationship) antar sumberdaya. Menurut

    Soerianegara (1978), ada tiga kepentingan pokok sumberdaya lahan bagi

    kehidupan manusia, yaitu (1) lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal,

    tempat bercocok tanam, berternak, memelihara ikan, dan lainnya; (2) lahan

    mendukung berbagai jenis vegetasi dan satwa; dan (3) lahan mengandung

    bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Begitu juga dengan Sitorus

    (2004) menyebutkan sumberdaya lahan adalah bagian dari bentangan lahan

    (Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan termasuk iklim, topografi

    atau relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara

    potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Hal ini dapat

    menentukan tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan atau diusahakan

  • 25

    di suatu wilayah dilihat dari kualitas dan karakteristik lahan. Selanjutnya

    penggunaan sumberdaya lahan pada umumnya ditentukan oleh lokasi ekonomi

    yaitu jarak sumberdaya lahan dari pasar, misalnya untuk penggunaan daerah

    industri, pemukiman, perdagangan atau rekreasi.

    2.3.2. Perubahan Penggunaan Lahan

    Pengunaan dan pemanfaatan lahan yang optimal sesuai dengan daya

    dukungnya hanya dapat dilakukan apabila tersedia informasi sumberdaya lahan

    termasuk informasi kesesuaian lahan. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan

    dalam dua kelompok besar yaitu: penggunaan lahan pertanian dan bukan

    pertanian. (Sitorus, 2004). Untuk pemanfaatan lahan diperlukan ketersediaan

    data iklim, tanah, topografi dan fisik lingkungan lainnya serta persyaratan

    penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman.

    Barlowe (1986) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi

    penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi

    dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup

    kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan biologi, tanah, air, iklim, tumbuh-

    tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan

    oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh

    hukum pertanahan, keadaan politik dan keadaan sosial ekonomi.

    Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan

    dua istilah yang sering kali diberi pengertian sama, padahal keduanya

    mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (2000),

    penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan,

    sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang

    menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek

    tersebut. Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk investasi (campur

    tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,

    baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan kota dapat dikelompokkan ke

    dalam dua golongan besar yaitu: penggunaan lahan pertanian dan penggunaan

    lahan non-pertanian. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke

    dalam penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi,

    pertambangan, dan sebagainya. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam

    garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan

    air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan

  • 26

    tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet,

    padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan

    sebagainya (Arsyad,1989).

    Pertambahan penduduk yang pesat dan peningkatan kesejahteraan

    penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman,

    pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan

    penggunaan lahan yang sering kurang mengikuti kaidah konservasi alam

    (Mahmudi, 2002). Perubahan atau perkembangan pola penggunaan lahan

    dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor

    alami antara lain: tanah; air; iklim, pola musiman; dan landform, erosi dan

    miringan lereng. Faktor manusia berpengaruh lebih dominan dibandingkan faktor

    alami dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh dari luar,

    seperti kebijakan nasional dan internasional.

    Saefulhakim et al. (2000), mengemukakan bahwa pemahaman akan

    perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat didekati dari struktur utama

    yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Secara umum

    struktur yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan tersebut

    dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) struktur permintaan, (2) struktur penawaran,

    (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas

    sumberdaya lahan. Pemahaman ketiga struktur utama yang berkaitan langsung

    dengan perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan syarat yang

    diperlukan (necessary condition) untuk dapat memodelkan perubahan

    penggunaan lahan secara utuh. Permintaan akan lahan dalam aktivitas

    masyarakat antara lain untuk menunjang ketersediaan pangan, sandang, papan,

    amenity, dan fasilitas kehidupan dasar lain dalam kuantitas, kualitas dan tingkat

    keragaman tertentu. Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu

    oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan

    perekonomian sebagian konsekuensi logis dari hasil pembangunan permintaan

    terhadap sumberdaya lahan menjadi faktor pendorong proses perubahan

    penggunaan lahan, yang secara garis besar dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok

    utama yaitu: (1) deforestasi baik ke arah pertanian intensif maupun non-

    pertanian; (2) konversi lahan pertanian ke non-pertanian, dan (3) penelantaran

    lahan. Perubahan penggunaan lahan dapat mengacu pada 2 hal yang berbeda,

    yaitu: pada penggunaan lahan sebelumnya, atau rencana ruang yang ada.

  • 27

    Perubahan yang mengacu pada penggunaan sebelumnya adalah suatu

    penggunaan baru atas lahan yang berbeda dengan penggunaan lahan

    sebelumnya.

    Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan, antara lain

    adalah jenis tanah, topografi, ketinggian, aksesibilitas, dan tekanan penduduk

    (Soerianegara, 1978). Sejarah, kondisi fisik, tingkat perkembangan sosial budaya

    dan ekonomi akan berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan suatu wilayah

    (Satukan dengan Saefulhakim, 2000). Sedangkan perubahan yang mengacu

    pada rencana tata ruang adalah penggunaan baru atas tanah (lahan) yang tidak

    sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah

    disahkan (Permendagri No.4/1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan

    Lahan Kota).

    Menurut (Mather 1986 dalam Yunus, 2000), selain faktor ekonomi yang

    menjadi penentu penggunaan lahan, masih ada faktor-faktor lain yang juga

    mempengaruhi penggunaan lahan, seperti faktor sosial dan politik, tetapi faktor

    ekonomi masih merupakan faktor yang dominan dan tidak dapat diabaikan dalam

    setiap analisis penggunaan lahan. Lebih lanjut perkembangan penggunaan lahan

    dikendalikan oleh faktor-faktor kelembagaan seperti hukum pertanahan yang

    berlaku di masyarakat, keadaan sosial politik serta administrasi (Barlowe, 1986)

    Proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dipandang sebagai

    suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi

    perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang,

    Perkembangan yang dimaksud tercermin dengan adanya: (1) pertumbuhan

    aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan jumlah

    penduduk dan kebutuhan perkapita, dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor

    pembangunan dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke

    aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).

    Proses peralihan fungsi lahan dapat dipandang sebagai pergeseran-

    pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan-

    keseimbangan baru yang lebih optimal. Namun sering terjadi berbagai distorsi

    yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan berlangsung menjadi tidak

    efisien. Proses alih fungsi lahan pada umumnya didahului oleh adanya proses

    alih penguasaan lahan. Dalam kenyataannya, di balik proses alih fungsi lahan

    umumnya terdapat proses memburuknya struktur penguasaan sumberdaya

    lahan. Permasalahan di seputar proses alih guna lahan adalah, (1) proses

  • 28

    asimetrik antara pihak yang melepas hak dengan yang menerima hak

    penguasaan lahan; (2) kecenderungan semakin terkonsentrasinya struktur

    penguasaan lahan pada kelompok masyarakat tertentu, (distribusi penguasaan

    yang semakin memburuk), dan (3) bertambahnya kelompok masyarakat tanpa

    lahan.

    Selanjutnya dari sisi penawaran sumberdaya lahan, supply lahan dibatasi

    oleh baku permukaan yang bersifat tetap. Variasi dan persebaran spasial kualitas

    lahan alamiah cenderung tetap yang menyebabkan penawaran penggunaan

    lahan yang cenderung in-elastisitas terhadap besarnya permintaan akan lahan.

    Kustiwan (1997) menyebutkan bahwa fenomena konversi lahan pertanian ke

    penggunaan non pertanian dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan,

    dimana interaksi antara permintaan dan penawaran lahan akan mengarah pada

    aktifitas paling menguntungkan sehingga konversi lahan pertanian ke

    penggunaan non pertanian tidak dapat dihindari.

    Kelangkaan lahan ini memunculkan konflik penggunaan lahan yang

    semakin tajam dari waktu-kewaktu terutama karena aspek eksternalitas, secara

    nilai lahan yang bersifat sosial ekonomi dan politis (Saefulhakim, 1996).

    Penawaran sumberdaya lahan sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan saat

    ini (existing condition of land use). Penggunaan lahan saat ini berpengaruh

    terhadap elastisitas lahan untuk perubahan penggunaannya. Penggunaan lahan

    untuk pemukiman, industri, dan fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang

    rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian,

    kehutanan dan perkebunan memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah

    ke arah penggunaan lainnya. Struktur utama yang berpengaruh terhadap

    perubahan penggunaan lahan adalah struktur penguasaan teknologi yang

    implikasi langsungnya adalah terhadap produktivitas lahan. Produktivitas lahan

    mempunyai peran yang cukup besar dalam menurunkan ketergantungan

    terhadap ekstensifikasi usaha tani dalam upaya mencapai pertumbuhan produksi

    pertanian.

    Sementara itu, faktor yang mempengaruhi proses perubahan

    penggunaan lahan yaitu faktor yang berasal dari luar pertanian yang dapat

    berupa faktor kebijakan dan non-kebijakan. Faktor non-kebijakan yang dapat

    mempercepat proses perubahan penggunaan lahan antara lain struktur

    perekonomian wilayah dan proses perpindahan penduduk dari desa ke kota.

    Sedangkan faktor-faktor dari sektor pertanian yang mempengaruhi proses

  • 29

    perubahan penggunaan lahan antara lain rendahnya rasio sewa ekonomi lahan

    pertanian terhadap sewa ekonomi lahan untuk sektor non-pertanian, kondisi

    pemilikan lahan pertanian yang sempit dan terpencar, sehingga kurang

    memberikan insentif yang memadai untuk mempertahankan usaha taninya

    (Irawan, 1997).

    Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat

    dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan

    dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang

    berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya. (1)

    pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya

    permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak

    peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan perkapita, dan (2) adanya

    pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer

    khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke

    aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Dalam hukum

    ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent

    yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi;

    dimana land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas

    pemanfaatan lahan per satuan luas lahan dalam waktu tertentu. Namun di sisi

    lain alih fungsi lahan pada umumnya berlangsung dari aktivitas dengan

    environmental rent yang lebih tinggi ke aktivitas dengan environmental rent yang

    lebih rendah.

    Dengan demikian secara keseluruhan aktivitas kehidupan cenderung

    menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung

    yang semakin menurun, padahal di lain pihak permintaan akan sumberdaya terus

    meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi

    per kapita. Selain itu proses alih fungsi lahan pada umumnya bersifat irreversible,

    seperti lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat

    kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah.

    Demikian halnya dengan hutan-hutan yang mengalami degradasi memerlukan

    effort yang sangat besar untuk reboisasi.

    Perubahan penggunaan lahan juga berpengaruh juga terhadap jumlah

    dan komposisi penduduk secara berkala ataupun permanen. Pengaruh yang lain

    ialah terhadap ekonomi lahan seperti harga, sewa dan kegiatan jual beli lahan

    (Berns, 1977).Teori nilai lahan menjelaskan mengenai hubungan antara nilai

  • 30

    lahan dengan penggunaan lahan. Bila nilai lahan dihubungkan dengan pertanian,

    maka variasi nilai lahan akan banyak tergantung pada faktor kesuburan tanah,

    selain faktor lingkungan, irigasi, dan lokasi lahan tersebut. Lokasi lahan berkaitan

    dengan aksesibilitas. Lahan yang subur biasanya akan memberikan hasil yang

    lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tidak subur. Selain dari kesuburan

    tanah, harga lahan dapat ditentukan oleh faktor lokasi. Nilai lahan ditentukan oleh

    tingkat aksesibilitasnya, semakin tinggi tingkat aksesibilitas suatu lokasi akan

    semakin tinggi pula nilai lahannya, demikian juga sebaliknya. Nilai lahan itu

    sendiri mempunyai pengertian yaitu suatu penilaian atas lahan didasarkan pada

    kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan

    produktivitasnya. Sedangkan harga lahan mempunyai pengertian yaitu penilaian

    atas lahan yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang untuk

    satuan luas persil (Drabkin, 1977).

    2.3.3. Urban Sprawls

    Urban sprawl. Menurut Staley (1998) adalah proses perembetan

    kenampakan fisik perkotaan ke arah luar kota dalam hal ini adalah pinggiran kota

    (urban fringe area). Sedangkan Donochel dalam Yunus (2000), menyatakan

    bahwa urban sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah perkotaan

    yang menuju suatu proses tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam

    di daerah pinggiran kota. Selanjutnya Kelly (2001) berpendapat bahwa urban

    sprawl adalah suatu tipikal karakteristik yang ditunjukan oleh pemanfaatan lahan

    yang tidak perlu, pemecahan daerah terbuka (open space), adanya celah yang

    lebar antara pembangunan dan penampilan yang menyebar, pemisahan

    penggunaan wilayah, dan adanya kesenjangan antara public space dengan

    community center. Dengan terjadinya gejala urban sprawl menyebabkan adanya

    dinamika penggunaan lahan yang cukup tinggi dan cepat, baik volume maupun

    frekuensinya sehingga akan memberikan kondisi yang merugikan dan buruk di

    wilayah pinggiran kota tersebut.

    Proses gejala urban sprawl yang tidak terkontrol akan menimbulkan

    pengaruh negatif pada fungsi kota secara keseluruhan dan daerah-daerah

    sekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya pengaturan gejala urban sprawl sedini

    mungkin, bagi negara Amerika Serikat dan Kanada upaya tersebut telah

    dilaksanakan secara baik dengan menciptakan berbagai ragam teknik

    manajemen pertumbuhan lahan kekotaan di daerah pinggiran kota (Yunus,

  • 31

    2000). Secara garis besar ada tiga macam tipe urban sprawl yaitu: Perembetan

    konsentris (Concentric Development), Perembetan Memanjang (Ribbon

    Development), dan Perembetan Meloncat (Leap Frog Development).

    a. Perembetan konsentris (Concentric Development)

    Tipe ini merupakan jenis perembetan areal perkotaan yang paling lambat.

    Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar

    kenampakan fisik kota (Gambar 2). Karena sifat perembetannya yang merata di

    semua bagian luar kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan

    membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak. Peranan

    transportasi terhadap perembetan ini tidak begitu besar.

    Gambar 2. Urban Sprawl tipe Concentric Development

    b. Perembetan Memanjang (Ribbon Development)

    Tipe ini menunjukan ketidakmerataan perembetan areal kekotaan di

    semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling

    cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat

    menjari (radial) dari pusat kota (Gambar 3).

    Gambar 3. Urban Sprawl tipe Ribbon Development

  • 32

    c. Perembetan Meloncat (Leap Frog Development)

    Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap

    paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika

    dan tidak menarik. Perkembangan lahan perkotaannya terjadi berpencaran

    secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian (Gambar 4).

    Gambar 4. Urban Sprawl tipe Leap Frog Development

    2.3.4. Dinamika Lanskap

    Lahan merupakan sumberdaya, wadah dan faktor produksi strategis bagi

    pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua

    sektor pembangunan fisik kota membutuhkan lahan. Sejalan dengan

    meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan

    akan lahan meningkat, sementara ketersediaan dan luas lahan tetap. Walaupun

    kriteria lahan yang diperlukan untuk setiap sektor berbeda, namun pada

    kenyataannya masih sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan.

    Hal ini sesuai dengan uraian Arifin (1998) bahwa semakin tinggi tingkat

    urbanisasi suatu daerah, struktur daerah urban semakin kompleks. Penyebabnya

    adalah karena semakin beragamnya aktivitas dari masyarakat di daerah tersebut.

    Chapin dan Kaiser (1979) menyatakan bahwa struktur ruang kota sangat

    berkaitan dengan 3 sistem yaitu: (1) sistem kegiatan; (2) sistem pengembangan

    lahan, dan (3) sistem lingkungan. Sistem kegiatan berkaitan dengan cara

    manusia dan kelembagaannya mengatur urusannya sehari-hari untuk memenuhi

    kebutuhannya dan saling berinteraksi dalam waktu dan ruang. Sistem

    pengembangan lahan berfokus pada proses pengubahan ruang dan

    penyesuaiannya untuk kebutuhan manusia dalam menampung kegiatan yang

    ada dalam susunan sistem kegiatan, dan sistem lingkungan berkaitan dengan

  • 33

    kondisi biotik dan abiotik yang dibangkitkan oleh proses alamiah, yang berfokus

    pada kehidupan tumbuhan dan hewan serta proses-proses dasar yang berkaitan

    dengan air, udara, dan mineral. Ketiga sistem ini menjadi dasar penyusunan

    penggunaan lahan dan penjelasan terbentuknya pemanfaatan lahan.

    Perubahan penggunaan dan penutupan lahan merupakan gejala normal

    sesuai dengan proses perkembangan dan pengembangan kota. Terdapat dua

    tipe dasar pengembangan kota yaitu: pertumbuhan dan transformasi (Doxiadis,

    1988). Pertumbuhan mencakup semua jenis penggunaan lahan, termasuk di

    dalamnya jenis penggunaan yang sama sekali baru dan perluasan penggunaan

    lahan, sedangkan transformasi adalah perubahan menerus pada bagian-bagian

    pemanfaatan lahan di perkotaan dan perdesaan untuk meningkatkan nilai dan

    tingkat efisiensi bagi penggunanya (Doxiadis,1988). Transformasi adalah proses

    pengembangan yang lebih dominan dibandingkan dengan perluasan dimana

    perluasannya hanya terjadi satu kali, sementara transformasi dapat terjadi

    berulangkali.

    Daerah pinggiran kota (urban fringe area) merupakan suatu wilayah

    peluberan kegiatan perkembangan kota. Daerah ini merupakan daerah yang

    berada dalam proses transisi dari daerah pedesaan menjadi perkotaan (Johnson,

    1984). Menurut McGee dalam Koestoer (1997) daerah pinggiran kota memiliki

    karakteristik suatu daerah yang tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa,

    umumnya terletak disepanjang koridor antara pusat kota besar. Koridor tersebut

    berlokasi di sepanjang jalur-jalur transportasi utama. Bar-Gal dalam Yunus

    (2000) menyatakan bahwa daerah pinggiran kota (urban fringe area) adalah

    daerah yang mengalami pengaruh sangat kuat dari suatu kota yang ditandai

    dengan berbagai karakteristik seperti perubahan fisik penggunaan tanah,

    perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, perubahan pola orientasi dan

    aktivitas penduduk. Pembentukan dan perubahan lahan di kawasan pinggiran

    kota diakibatkan oleh adanya proses sub-urbanisasi dimana kecenderungannya

    menunjukan terjadinya pertumbuhan gejala urban sprawl . Sub-urbanisasi

    diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga

    kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai

    akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim

    untuk kegiatan industri (Rustiadi dan Panuju, 1999). Sub-urbanisasi juga

    merupakan suatu proses pertumbuhan daerah pinggiran yang secara sistematis

    lebih cepat dibandingkan dengan pusat kotanya, dan adanya gaya hidup yang

  • 34

    mempengaruhi sehari-hari sebagai commuter (penglaju) untuk bekerja di kota

    (Rustiadi dan Panuju, 2000).

    Berdasarkan jarak fisiknya dengan pusat kota induknya, dari penelitian

    Russwurn dalam Yunus (2000) dikatakan bahwa daerah yang termasuk dalam

    urban fringe area adalah daerah yang terletak sekitar radius 15 sampai 25

    kilometer pada suatu pusat kota. Sejalan dengan ini pendapat Pryor dalam

    Yunus (2000) telah menghitung persentase penggunaan lahan perkotaan,

    persentase penggunaan lahan kedesaan dan persentase jarak dari lahan

    perkotaan (built-up) ke lahan kedesaan, dimana ketiga komponen ini

    digabungkan di dalam segitiga penggunaan lahan desa-kota (urban-rural land

    use triangle). Terlihat bahwa urban fringe area adalah daerah yang sebagian

    besar penggunaan lahannya didominasi oleh bentuk-bentuk penggunaan lahan

    kekotaan sebesar 60% dan terentang dari titik perbatasan urban sampai jarak

    40% dari titik tersebut.

    Percentege Urban Land UsePe

    rcente

    ge U

    rban L

    and U

    se

    WhollyRural

    WhollyRural

    Rural-Urban Fringe

    Urban Fringe Rural Fringe

    0 25 50 75 100

    100

    75

    50

    25

    0

    Distance

    Gambar 5 Segitiga Pemanfaatan Lahan di Kawasan Rural Urban Fringe

    2.4. Keindahan Kawasan

    Kualitas diartikan sebagai derajat keunggulan. Penilaian kualitas lanskap

    meliputi semua aspek lingkungan dan pengalaman manusia terhadap

    lingkungan. Penilaian kualitas lansekap minimum dapat menentukan secara

  • 35

    visual lanskap mana yang lebih baik atau lebih unggul dibanding dengan yang

    lain (Daniel, 2001). Beberapa parameter digunakan untuk menentukan kualitas

    visual suatu lansekap yaitu kesatuan sumberdaya visual lansekap dalam

    membentuk suatu unit visual yang harmonis dan koheren, kesan hidup dari

    penggabungan elemen-elemen yang kontras, visual elemen-elemen pembentuk

    lansekap serta keutuhan kondisi lansekap alami dan bantuan (Iverson et al.,

    1993).

    Estetika lansekap dan evaluasi pemandangan merupakan bagian yang

    penting dalam memahami lansekap secara luas. Estetika secara umum

    didefinisikan sebagai suatu pengetahuan tentang keindahan atau pembelajaran

    keselarasan terhadap alam atau seni (Ewald, 2001). Sedangkan kualitas visual

    estetis merupakan hasil pertemuan antara fitur fisik dari lansekap dan proses

    psikologis (perseptual, kognitif, dan emosional) dari pengamat (Daniel, 2001).

    Estetika erat hubungannya dengan keindahan. Keindahan menurut

    Simonds (1983) merupakan hubungan yang harmonis dari semua elemen atau

    komponen yang dirasakan. Berhubungan dengan pengembangan kawasan

    rekreasi, estetika dalam suatu lanskap dapat berarti keindahan yang dapat

    mempengaruhi kualitas suatu lingkungan untuk tujuan pengembangan tersebut

    dan merupakan salah satu sumber daya alam sehingga perlu dilestarikan dan

    ditingkatkan kualitasnya.

    Estetika merupakan sesuatu yang bersifat subyektif berbeda menurut

    individu yang menilai. Estetika secara umum selalu berhubungan dengan

    bentukan dan kualitas suatu material. Bentuk material merupakan wujud fisik

    yang dapat ditangkap oleh mata dan berkaitan dengan warna serta tekstur dari

    material. Menurut Nohl (1988) selain dapat ditafsirkan melalui karakteristik

    formalnya yaitu bentuk, garis, warna, dan tekstur, kualitas estetika juga dapat

    dibentuk dari kombinasi kompleksitas, keserasian, dan kesatuan.

    Keindahan pemandangan (scenic beauty) merupakan hasil tanggapan

    atau respon seseorang terhadap lansekap di sekitarnya. Scenic beauty ini

    dipengaruhi oleh bentukan fisik (seperti topografi, pola vegetasi, kemiringan

    lahan, penutupan bangunan, rasio area berlantai) dan karakteristik pengamat

    (seperti pergerakan, latar belakang personal, lokasi dan sudut pandang).

    Bentukan fisik dapat dijadikan sebagai penduga keindahan jika keindahan

    tersebut secara konsisten dapat dihubungkan dengan bentukan fisik lansekap

    tersebut (Don-Gwong Sung et al., 2001), sedangkan Simond (1983) menyatakan

  • 36

    bahwa keindahan merupakan hubungan yang harmonis dari semua komponen

    yang dirasakan.

    Daniel dan Boster (1976) menyatakan pengertian keindahan

    pemandangan (scenic beauty) didasarkan pada premis bahwa keindahan

    merupakan suatu konsep yang interaktif. Keindahan pemandangan tidak hanya

    pada penglihatan mata saja tapi juga semata-mata sebagai bagian dari lansekap.

    Keindahan pemandangan sebagian besar tergantung pada penilaian manusia,

    meskipun secara obyektif sulit untuk diukur.

    Kualitas estetika mempunyai kontribusi dalam membentuk karakter dan

    identitas suatu tempat (Heat, 1988). Kombinasi yang dilakukan serta manipulasi

    dalam penggunaan material serta komposisi yang seimbang dapat menciptakan

    keindahan suatu lanskap tidak bisa terlepas pula dari prinsip disain yaitu

    kesatuan, harmoni, keseimbangan, irama, dan dominansi. Upaya menciptakan

    lanskap yang memiliki kualitas estetika yang baik ini terutama bertujuan untuk

    dapat memberi kepuasan kepada pengguna. Salah satu bentuk penilaian

    estetika suatu tempat adalah kualitas visualnya.

    Kawasan rekreasi dengan elemen lanskapnya selain memiliki wujud

    visual berdasarkan karakteristik yang dimilikinya juga dapat membentuk visual

    lanskap. Visual lanskap dapat ditampilkan secara indah dengan penataan setiap

    elemen secara proporsional, sesuai dan harmonis. Kehadiran elemen yang tidak

    sesuai dapat memperburuk penampilan suatu lanskap, dimana akan

    berpengaruh terhadap pemilihan lokasi yang digunakan untuk berekreasi

    (Kusumoarto, 2006).

    Salah satu metode yang digunakan dalam menduga keindahan

    pemandangan suatu kawasan adalah metode Scenic Beauty Estimation (SBE).

    Metode ini termasuk kategori penilaian melalui evaluasi berdasarkan preferensi

    publik dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur penilaian menurut rating

    yang ditetapkan berdasarkan kriteria pengamat. Metode ini merupakan

    pengukuran yang dianggap dapat dipercaya, efisien dan bersifat obyektif (Daniel

    dan Boster, 1976).

    2.5. Valuasi Ekonomi Total

    Menurut James (1990), nilai manfaat ekonomi dapat diklasifikasikan

    berdasarkan sumber atau proses manfaat tersebut diperoleh antara lain: nilai

    guna (uses value); yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dan penggunaan

  • 37

    kawasan konservasi seperti kayu bakar untuk bahan bakar memasak bagi

    masyarakat, produksi hasil hutan non kayu seperti rotan, tanaman obat, tanaman

    hias dan produksi air untuk pertanian, rumah tangga dan ekowisata. Nilai fungsi

    (functional value); yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari fungsi ekologis

    kawasan konservasi seperti pengendalian banjir, intrusi air laut dan habitat

    satwa. Nilai atribut (atributes value) yaitu seluruh nilai yang diperoleh bukan dari

    penggunaan materi (hasil produksi barang dan jasa), tetapi aspek kebutuhan

    psikologis manusia yaitu yang menyangkut budaya. Menurut Pearce (1992),

    dalam Munasinghe (1993), secara skematis diilustrasikan Nilai Total Ekonomi

    pada Gambar 6.

    Gambar 6. Klasifikasi nilai ekonomi (Pearce, 1992)

    Secara rinci mengenai klasifikasi nilai-nilai tersebut diatas dapat

    dijelaskan sebagai berikut yaitu pertama nilai penggunaan (use value) terdiri dari

    nilai penggunaan langsung (direct value), nilai penggunaan tidak langsung

    (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Kedua, nilai non-penggunaan

    (non-use value) terdiri dari 2 kategori yaitu kategori nilai warisan (bequest value)

    dan nilai keberadaan (exictence value).

    Nilai penggunaan langsung adalah nilai atau manfaat dari sumberdaya

    alam dan ekosistem yang diperoleh secara langsung melalui konsumsi atau

    produksinya. Nilai penggunaan tidak langsung adalah nilai / manfaat yang

    diperoleh secara tidak langsung dari sumberdaya kawasan. Nilai warisan adalah

    nilai yang didasarkan pada suatu keinginan individu atau masyarakat untuk

    mewariskan kawasan konservasi kepda generasi yang akan datang. Sedangkan

    NILAI EKONOMI TOTAL

    Nilai Penggunaan Nilai Non-Penggunaan

    Nilai Penggunaan Langsung

    Nilai Penggunaan Tidak Langsung

    Nilai Pilihan

    Nilai Keberadaan

    n

    Nilai Non Penggunaan Lainnya

  • 38

    Nilai keberadaan merupakan nilai yang bukan dihasilkan dari institusi pasar dan

    tidak ada kaitannya secara langsung maupun tidak langsung.

    Pada prinsinya metode penilaian sumberdaya hutan dapat dilakukan

    melalui dua pendekatan, yaitu bedasarkan harga pasar dan kesediaan untuk

    membayar (WTP) (Davis dan Johson, 1987). Kesediaan untuk membayar

    merupakan konsep yang mendasari berbagai alternatif teknik penilaian ekonomi

    (Pearce, 1993; Munasinghe, 1993; Hufschmidt et al. 1983). Dalam kondisi pasar

    tidak mengalami penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar. Namun

    pada saat mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna atau terjadi distorsi,

    maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai

    WTP.

    Saat ini telah dikembangkan berbagai teknik dan metode evaluasi serta

    perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pada saat pasar

    tidak sempurna. Pertama, teori penilaian yang didasarkan pada harga pasar atau

    produktivitas seperti perubaahan nilai produk dan hilangnya penghasilan. Kedua,

    teknik penilaian yang berdasaakan pada penggunaan sepertinya biaya

    penggantian, biaya produk bayangan analisis biaya pengeluaran dan biaya

    pencegahan. Ketiga, penilaian dengan pendekatan survey yaitu dengan

    menanyakan besarnya WTP konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan

    dengan menggunakan pasar hipotesis.

    Menurut Dixon dan Sherman (1990) menyatakan beberapa teknik atau

    metode penilaian ekonomi yang dapat diaplikasikan untuk menilai suatu kawasan

    konservasi yaitu berdasarkan pasar (market-based techniques), berdasarkan

    biaya (cost-based techniques), biaya perjalanan (travel cost) dan contingent

    valuation method.

    2.6. Analisis Kebijakan

    Kebijakan merupakan arah tindakan yang ditetapkan oleh seorang aktor

    atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah. Analisis kebijakan pada

    dasarnya mencakup tiga hal utama, yaitu bagaimana merumuskan kebijakan,

    implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan (Dwijowijoto, 2003). Setiap

    kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang

    berjalan untuk mencapai tujuan (visi dan misi) bersama yang telah disepakati.

    Dengan demikian, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk

  • 39

    dibuatnya sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali atau

    kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada.

    Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan,

    namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan. Pada implementasi

    kebijakan biasanya dilakukan evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan

    merupakan bagian dari analisis kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur

    dan manfaat dari kebijakan. Meski analisis kebijakan lebih fokus pada

    perumusan, pada prinsipnya setiap analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi

    kebijakan karena analisis kebijakan menjangkau sejak awal proses kebijakan,

    yaitu menemukan isu kebijakan, menganalisis faktor pendukung kebijakan,

    implementasi, evaluasi, dan kondisi lingkungan kebijakan.

    Metodologi analisis kebijakan merupakan perpaduan elemen-elemen dari

    berbagai disiplin seperti ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, ilmu terapan

    lain dan ilmu lingkungan. Analisis kebijakan bersifat deskriptif, valuatif dan dapat

    pula bersifat normatif (Dunn, 1999). Analisis kebijakan pada dasarnya adalah

    menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan

    skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1)

    kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari

    unsur sistem tanpa mengubah sistem; dan (2) kebijakan struktural, skenario

    dengan tindakan yang akan menghasilkan sistem yang berbeda (Muhammadi et

    al., 2001).

    Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif

    kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi

    penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi

    yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat

    sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu

    kebijakan. Oleh karena itu, analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai berikut:

    (1) harus tahu cara mengumpulkan, mengorganisasikan dan

    mengkomunikasikan informasi dalam situasi yang memiliki keterbatasan waktu

    dan akses; (2) membutuhkan perspektif untuk melihat masalah-masalah sosial

    yang dihadapi dalam konteksnya; (3) membutuhkan kemampuan teknik agar

    dapat memprediksi kebijakan yang diperlukan di masa yang akan datang dan

    mengevaluasi alternatif kebijakan dengan lebih baik; (4) mengerti institusi dan

    implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari

  • 40

    kebijakan yang dipilih, sehingga dapat menyusun fakta dan argumentasi secara

    lebih efektif; dan (5) harus mempunyai etika (Suharto, 2005).

    Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah

    pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya yang strategis dalam

    mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis

    untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi

    model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1)

    pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk

    menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka

    mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model

    maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya

    untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan

    perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan.

    Analytical Hierarchy Process (AHP) ditujukan untuk membuat suatu

    model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk

    memecahkan masalah-masalah yang terukur, masalah yang memerlukan

    pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak

    terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak

    sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi,

    pengalaman atau intuisi. AHP ini juga banyak digunakan pada pengambilan

    keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan

    penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi

    konflik (Saaty, 1993).

    AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan

    dengan pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami

    suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil

    keputusan (Saaty, 1993). Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah

    memilih suatu alternatif. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional

    dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah

    kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya,

    kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.

    Penggunaan AHP dimaksudkan untuk proses penelusuran permasalahan

    untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara:

    (1) mengamati dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara

    bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik, (2)

  • 41

    membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya/ekonomis, manfaat dan resiko

    dari tiap alternatif, (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan (4)

    membuat strategi secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan

    (Saaty, 1993).

    Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah: (1) struktur

    yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub-

    sub kriteria yang paling dalam, (2) memperhitungkan validitas sampai dengan

    batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para

    pengambil keputusan, dan (3) memperhitungkan daya tahan output analisis

    sensitivitas pengambilan keputusan. Selain itu, AHP mempunyai kemampuan

    untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang berdasar

    pada pertimbangan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model ini

    merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.

    Model ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk

    memberikan dukungan kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas

    dalam kebijakan publik. Untuk itu akan lebih optimal survei aspirasinya bila

    dilakukan pada para pakar, tokoh organisasi (LSM atau organisasi profesi) yang

    terkait dalam pengembangan kawasan dan lingkungan hidup (seperti Walhi, IAP,

    WWF) dan atau pejabat tertentu yang terkait dengan obyek penelitian (prominent

    person). Dalam konteks ini pemberian peran pada masyarakat (non-pemerintah)

    terkait untuk memberikan bobot pemilihan prioritas kebijakan dapat

    diakomodasikan.

    Dalam survei stakeholder tidaklah berarti dapat menampung seluruh

    komponen masyarakat. Karena sifatnya pemilihan kebijakan strategis maka

    hanya masyarakat terpilih yang mewakilinya (representatif). Oleh karena itu,

    kalau mungkin dikatakan kelemahannya adalah tidak bisa optimal digunakan

    untuk menjaring pendapat dari seluruh komponen masyarakat, karena akan

    terlalu bias terhadap variabel/kriteria yang telah diuji (diduga) sebelumnya.

    2.7. Hasil-hasil Penelitian Yang Relevan

    Penelitian Notohadiprawiro (1987) yang berjudul Kriteria Penataan

    Ruang dan Implementasinya Untuk Keterlanjutan Penggunaan Lahan

    Bermaslahat menyimpulkan bahwa : (1) ada dua kendala besar yang

    menghadang pelaksanaan penataan ruang secara baik dan benar di Indonesia.

    Kendala pertama ialah belum adanya perundangan tentang tataguna lahan yang

  • 42

    terinci dan operasional. Yang ada baru undang-undang induk berupa UUD 1945

    pasal 33 dan UUPA. Akibatnya, orang dapat membuat tafsiran macam-macam,

    dan untuk memperkuat tafsiran itu si pembuat tafsiran selalu berlindung di

    belakang dalih untuk kepentingan negara dan untuk kepentingan umum.

    Padahal makna kepentingan negara dan kepentingan umum belum pernah

    dijabarkan secara tajam dan rinci. Kendala kedua ialah kelembagaan masarakat

    yang masih lemah. Banyak keputusan ekonomi dan politik, mungkin secara tidak

    sadar, merujuk kepada kepentingan dan keinginan para pemodal besar.

    Pertumbuhan agregatif dijadikan unggulan untuk menaksir keberhasilan

    pembangunan. Padahal masih banyak pengukur-pengukur lain yang tidak kalah

    penting untuk menaksir keberhasilan pembangunan, seperti indeks

    pembangunan manusia (human development index) dan pemerataan hak serta

    kesempatan untuk bertumbuh; (2) Persoalan penataan ruang di Indonesia

    terutama bukan persoalan teknis, melainkan terutama persoalan kelembagaan.

    Sebelum kendala besar tersebut terdahulu dapat diselesaikan secara tuntas,

    penataan ruang tidak mungkin berhasil dengan memuaskan. Kita boleh

    mengadakan seminar berkali-kali, akan tetapi hasilnya akan tetap jauh dari

    harapan. Tindakan yang kita perlukan ialah pembenahan sikap politik seluruh

    jajaran eksekutif. Sikap politik yang kita perlukan untuk menangani

    pembangunan jangka panjang ialah yang benar-benar dilandasi penghayatan

    dan pengamalan tataguna lahan.

    Penelitian Rachmawati (2005) dengan judul Dampak Ekonomi Kegiatan

    Pariwisata Alam di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Terhadap

    Masyarakat Sekitar Kawasan, menyimpulkan bahwa : (1) Perubahan keadaan

    ekonomi masyarakat di suatu kawasan yang banyak pengunjungnya lebih nyata

    terlihat dan dapat dirasakan oleh masyarakat dibandingkan dengan di kawasan

    yang pengunjungnya sedikit, (2) Jumlah lapangan pekerjaan yang dapat tercipta

    di suatu kawasan wisata tergantung pada jenis dan jumlah kegiatan wisata yang

    dilaksanakan di kawasan tersebut.

    Selain itu, peneliti juga menyatakan bahwa wisatawan yang datang ke

    taman nasional umumnya bertujuan untuk melakukan penelitian, pendidikan,

    rekreasi, dan tujuan lainnya. Sedangkan kegiatan yang banyak dilakukan yaitu

    jalan-jalan (sight seeing), mendaki dan berkemah. Disampaikan pula,

    berdasarkan 100% responden mengatakan bahwa mata pencaharian

    masyarakat bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar pintu masuk Cibodas

  • 43

    mengalami perubahan antara lain banyak yang menjadi pedagang, baik menjual

    hasil pertanian, atau souvenir, buruh, penjaga villa. Sedangkan di Selabintana,

    75% responden mengatakan bahwa terjadi perubahan dalam mata pencaharian

    masyarakat di wilayahnya. Jenis pekerjaan baru yang terbuka bagi masyarakat

    adalah menjadi pedagang musiman dan pemandu wisata, itu pun jumlahnya

    sangat sedikit. Peneliti juga menyatakan selain dampak positif bagi masyarakat,

    kegiatan pariwisata alam juga menimbulkan beberapa permasalahan antara lain

    berupa timbulnya permasalahan kriminalitas, timbulnya tindakan-tindakan yang

    asusila, kemudian pengurangan debit air bersih, terjadinya pencemaran oleh

    sampah, dan adanya vandalisme.

    Penelitian lainnya oleh Libriani (2004) yang berjudul Dampak Guna

    Lahan Rencana Terhadap Limpasan Air Permukaan di Kota Margahayu

    Kabupaten Bandung menyatakan bahwa kota Margahayu yang terletak di

    daerah Cekungan Bandung, merupakan daerah yang rawan banjir baik karena

    kondisi topografinya maupun besarnya limpasan air permukaan. Peningkatan

    luas lahan terbangun, terutama perumahan/ pemukiman dan kawasan industri

    yang telah direncanakan dalam RTRW Kabupaten Bandung 2010 akan

    mengakibatkan semakin meluasnya penutupan lahan, sehingga mengubah

    karakteristik tanah dari yang mudah untuk menyerap air (permeable) menjadi

    sulit untuk menyerap air (impermeable). Selain itu menurunnya luas lahan non

    terbangun yang paling baik meresapkan air seperti RTH dan hutan menjadi

    hanya 3,2% dari total luas lahan di Kota Margahayu juga akan menyebabkan

    penurunan air hujan yang tertahan pada vegetasi, sehingga pada akhirnya

    semakin banyak air hujan yang akan manjadi limpasan air permukaan.

    Penelitian Putro (2005), yang berjudul Analisa Manfaat Biaya Dalam

    Penilaian Ekonomi Terhadap Erosi Waduk Saguling di Jawa Barat menyatakan

    bahwa adanya tekanan penduduk terhadap kebutuhan lahan baik untuk kegiatan

    pertanian, perumahan, industri, rekreasi, maupun kegiatan lain akan

    menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Perubahan lahan yang paling

    besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari

    kawasan hutan ke penggunaan lainnya seperti, pertanian, perumahan ataupun

    industri. Apabila kegiatan tersebut tidak segera dikelola dengan baik, maka akan

    menyebabkan kelebihan air (banjir) pada saat musim hujan dan kekeringan pada

    saat musim kemarau.

  • 44

    Penelitian lainnya oleh Situmorang, E.R. (2004), dengan judul Kajian

    Teknologi Pengembalian Fungsi Hidrologis Lahan Perumahan di Kawasan

    Konservasi Inti Bandung Raya Utara (Studi Kasus: Villa Istana Bunga)

    menyatakan bahwa: (1) Cekungan Bandung menghadapi masalah sumber

    penyediaan air bersih : penurunan air tanah sebesar 0.01-0.21 m/bulan,

    berkurangnya debit andalan air sungai Citarum Nanjung, serta banjir regional

    Sapan-Dayeuhkolot yang disebabkan oleh konsumsi air tanah secara berlebihan

    oleh industri dan kurangnya imbuhan kembali karena konservasi; (2) Terjadinya

    perubahan debit limpasan di kawasan Villa Istana Bunga setelah kawasan ini

    dibangun yaitu sebesar 2.103 m3/detik, yang seharusnya adalah hutan produksi

    dengan indeks konservasi 0.8 dan debit limpasan 4.206 m3/detik menjadi

    pemukiman dengan indeks konservasi 0.7 dan debit limpasan 6.309 m3/detik,

    karena itu diperlukan metode konservasi air limpasan yang dapat

    mengembalikan fungsi hidrologis lahan; (3) Alternatif teknologi resapan yang

    dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi hidrologis lahan adalah sumur

    imbuhan di tiap hunian, saluran resapan serta kolam imbuhan dengan besar

    konservasi 1.696 m3/hari dan sisanya 407 m3/hari diresapkan oleh kolam

    imbuhan dengan air dari sungai.

    Penelitian Prawira et al. (2005) dengan judul Analisis Spasial Lahan

    Kritis Di Kota Bandung Utara Menggunakan Open Source Grass, yang

    menyimpulkan bahwa : (1) Separuh wilayah Kota Bandung Bagian Utara yang di

    teliti (62,75%) merupakan lahan potensial kritis, sepertiganya (24.94%) adalah

    lahan agak kritis dan hanya sebagian kecil saja (4.7%) yang termasuk ke dalam

    lahan kritis (kritis & sangat kritis); (2) Sebagian besar lahan kritis yang berada di

    Kawasan Bandung Utara terletak di kawasan pertanian. Hal ini dapat terjadi

    karena rendahnya tutupan tajuk di kawasan tersebut; (3) Wilayah Kawasan

    Bandung Utara yang berpotensi menjadi lahan kritis didominasi oleh kawasan

    pertanian. Penyebab dari keadaan ini adalah bervariasinya kemiringan di daerah

    tersebut.

    Penelitian Narulita, I., et al. (2008) dengan judul Aplikasi Sistem

    Informasi Geografi untuk Menentukan Daerah Prioritas Rehabilitasi di Cekungan

    Bandung menyimpulkan bahwa : (1) Dengan memanfaatkan sistem informasi

    geografi (SIG) melalui analisis spasial tematik curah hujan, kemiringan lereng,

    permeabilitas tanah, penggunaan lahan dihasilkan peta tematik kekritisan

    resapan air yang tersimpan dalam basis data spasial. Dengan demikian akan

  • 45

    mempermudah dalam melakukan pemutahiran data (updating); (2) Hasil

    tumpangsusun peta kekritisan resapan air dengan pemodelan muka airtanah

    dapat ditentukan lokasi prioritas rehabilitasi untuk mengurangi degradasi

    hidrologi di cekungan Bandung; (3) Dengan memanfaatkan sistem informasi

    geografi melalui analisis spasial tematik curah hujan, kemiringan lereng,

    permeabilitas tanah, penggunaan lahan dan pemodelan muka airtanah dapat

    ditentukan lokasi prioritas rehabilitasi di cekungan Bandung dengan cepat dan

    mudah; (4) Enam lokasi prioritas yang harus direhabilitasi tersebut adalah: (a)

    Daerah hulu Majalaya, (b) Daerah gunung Malabar yang merupakan hulu daerah

    Soreang, (c) Daerah Lembang, (d) Daerah Tanjungsari, (e) Daerah Batujajar

    yang merupakan hulu Cimahi, (f) Daerah sekitar Gununghalu; (5) Rehabilitasi

    yang disarankan adalah perbaikkan tutupan lahan dan penataan di lokasi

    problematik.

    Pratiwi, et al. (2005), dengan judul Mekanisme Pasar Tanah dan Tata

    Ruang Permukiman di Kawasan Bandung Utara menyatakan bahwa : (1) pola

    ruang perumahan dan permukiman di daerah peri-urban sebagai implikasi hasil

    decission making process antara pelaku pasar dalam mekanisme pasar tanah.

    Pada kasus pembentukan permukiman di Kawasan Gunung Batu Dalam yang

    mekanisme pasar tanahnya banyak melibatkan developer sebagai sisi demand,

    menghasilkan pola ruang permukiman yang berbentuk cluster-cluster

    permukiman. Sementara pada kasus Kawasan Mekarwangi yang mekanisme

    pasar tanahnya melibatkan para pembeli tanah individual, cenderung

    menghasilkan pola ruang permukiman yang menyebar dan lebih amorf; (2) Untuk

    aspek teritori, permukiman formal yang muncul di Mekarwangi tidak memiliki

    batas yang jelas dengan kawasan permukiman non-formal penduduk. Untuk

    aspek subdivisi lahan, secara umum mengarah pada bentuk-bentuk yang tidak

    regular sebagai akibat proses subdivisi lahan di kawasan dalam kerangka

    informal. Hanya kompleks-kompleks perumahan yang proses pasar tanah dan

    tapak dalam kerangka formal saja yang kemudian menghasilkan bentuk-bentuk

    kapling yang cenderung teratur/ regular.