Download - TEMPO PeristiwaMadiun

Transcript
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    1/38

    TEMPO: Peristiwa Madiun 1948

    Misteri Surat untuk Sukarno-Hattahttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page16.php

    "SAYA, sebagai perwira muda, saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam

    politik," kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan TindakanSaya. Ketika itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front

    Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan "sayap kiri" di Indonesia, semakin runcing sejak

    Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut buku tersebut-membaca

    situasi, mengamati setiap kubu, dan menganalisisnya dengan cermat.

    Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro

    dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di

    Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, PemimpinPartai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka.

    "Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa

    bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno

    dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.

    Panglima Jenderal Sudirman tidak menginginkan anggota pasukan di Jawa Timur

    terseret konflik politik ini. Soeharto, yang dianggap netral, diutus membujuk Letnan

    Kolonel Soeadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati, supaya tidak bergabung

    dengan PKI. Soeharto dan Soeadi bertemu di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeadi, yang

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page16.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page16.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page16.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    2/38

    memang condong ke PKI, malah mengajak Soeharto berkeliling meninjau kondisi Kota

    Madiun.

    "Saya ditelepon Soeharto dari Mantingan (kecamatan di perbatasan Jawa Tengah

    dengan Jawa Timur)," ujar Soemarsono, Gubernur Militer Madiun ketika itu. Setelahtiba di Madiun, Soemarsono mengajak Soeharto berkeliling kota untuk menunjukkan

    tidak ada pemberontakan di kota itu. "Menurut pidato Sukarno, bendera Merah Putih di

    Madiun sudah diganti bendera palu arit. Saya minta Soeharto melihat mana ada bendera

    merah, semuanya bendera merah putih."

    Di rumah Residen Madiun yang ditinggali Soemarsono, Soeharto berjumpa dengan

    Musso yang sudah satu setengah bulan tiba di Indonesia. Selama berpuluh tahun,

    setelah pemberontakan PKI pada 1926 gagal, Musso tinggal di luar negeri. Baru kaliitulah Soeharto bertemu Musso. Tokoh komunis itu mengenakan kemeja putih, celana

    panjang hitam, dan kopiah. Mereka kemudian berbincang-bincang. Soeharto menanyakan

    kepada Musso kenapa pemerintah dan Front Demokrasi royal malah ikut berseteru.

    + Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?

    - Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk

    mempertahankan kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada

    saya, mencurigai saya.

    + Kenapa tidak diadakan pembicaraan?

    - Baru saja bertemu, tapi tidak ada kesepakatan.

    + Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya

    Pak Musso masih menginginkan persatuan?

    - Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan,saya akan melawan.

    Menurut penuturan Soemarsono, yang kini tinggal di Sydney, Australia, seusai

    pertemuan tersebut, dia meminta Soeharto membuat surat pernyataan bahwa situasi

    Madiun aman dan tak ada sinyal-sinyal pemberontakan. "Mas saja yang buat, saya tidak

    terbiasa," kata Soemarsono mengutip jawaban Soeharto saat itu. Soemarsono meminta

    Soeharto menyampaikan surat itu ke Presiden Sukarno dan perdana menteri Hatta.

    Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin yang sudah bergabung dengan Partai

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    3/38

    Komunis Indonesia juga menitipkan sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata

    Soemarsono, mengirim surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun

    tangan mendamaikan kedua belah pihak.

    Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan menyampaikan semua pernyataan Mussokepada Panglima Sudirman yang ketika itu sudah sakit keras. "Pak Dirman yang

    menyampaikan hasil pertemuan dengan Musso ke Bung Karno dan Bung Hatta," kata

    Soeharto. Memang tak ada data sejarah menyatakan apakah pesan Musso itu sampai ke

    Sukarno dan Hatta. Yang pasti, perang saudara itu tak tercegah lagi. Dan Musso tewas

    di ujung senapan.

    Kembalinya Sang Komunis Tuahttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/index.php

    PESAWAT amfibi Catalina itu mendarat di rawa-rawa Kecamatan Campurdarat,

    Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, pada 10 Agustus 1948. Pada masa itu, rawa-rawa

    luas di dekat bendungan Niyama itu memang sering menjadi titik pendaratan pesawat

    yang membawa tamu-tamu rahasia untuk Republik.

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/index.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/index.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/index.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    4/38

    Dua pria beriringan keluar dari pesawat. Seorang pria belia berperawakan tinggi

    ramping ditemani seorang pria setengah baya bertubuh gempal dengan wajah keras.

    Yang lebih muda bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha,

    Cekoslovakia. Adapun pria di belakangnya mengaku bernama Soeparto, sekretaris

    pribadi Soeripno.

    Di tepi rawa-rawa, sebuah mobil menanti. Menurut sejarawan Belanda, Harry Poeze,

    mobil penjemput hari itu adalah milik pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi

    Partoredjo. Seperti dikutip dari buku Poeze, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de

    linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, mobil itu dipilih karena

    kondisi keempat bannya yang masih baik.

    Tak lama berbasa-basi, rombongan segera melaju pergi. Mereka mengarah ke Solo,Jawa Tengah. Di sana, Gubernur Militer Wikana-seorang tokoh Partai Komunis

    Indonesia terpandang-sudah bersiap menyambut dua tamu dari jauh itu.

    Tak banyak yang sadar bahwa kedatangan dua orang dari Praha ini akan membawa

    konsekuensi politik yang amat besar untuk perjalanan sejarah Republik Indonesia

    muda, beberapa pekan berikutnya.

    Pria setengah baya yang mengaku sebagai "sekretaris" itu sebenarnya adalah Musso,

    50 tahun, tokoh legendaris PKI yang ikut mencetuskan pemberontakan para buruh pada1926. Setelah lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia, pada medio 1948 itu dia

    memutuskan sudah saatnya kembali ke Indonesia.

    MOSKOW, Januari 1948, delapan bulan sebelum kepulangan Musso. Perjanjian Renville

    baru saja ditandatangani di Indonesia. Pemimpin Partai Komunis Uni Soviet bergegas

    meminta sebuah laporan dibuat mengenai kondisi terakhir gerakan komunis di

    Nusantara.

    Analisis itu dinilai penting karena, setahun sebelumnya, Moskow baru merilis garis

    perjuangan baru yang lazim dikenal sebagai doktrin Andrei Zhdanov. Berdasarkan teori

    ini, kaum komunis dianjurkan "mulai mengambil jarak dari kubu imperialis yang dimotori

    Amerika Serikat". Tindakan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin-pemimpin koalisi

    sayap kiri di kabinet Indonesia, yang menandatangani pakta Renville di atas kapal

    Amerika yang berlabuh di Tanjung Priok-menimbulkan tanda tanya di Moskow.

    Musso segera menyusun laporan. Namun minimnya informasi tangan pertama membuat

    analisisnya tidak akurat. Kepada pemimpin Partai Komunis Uni Soviet, Musso membela

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    5/38

    tindakan Amir dan kameradnya di Indonesia. Dia menyebutnya sebagai "taktik saja,

    untuk tidak menarik perhatian kaum antikomunis". Musso bahkan menjamin posisi

    kelompok kiri dalam militer Indonesia masih cukup kuat.

    Dalam hitungan hari, analisis Musso terbantah habis. Pada 23 Januari 1948, sepekan

    setelah Renville ditandatangani, Amir Sjarifoeddin dipaksa mundur dari kursi perdana

    menteri. Posisi politik dua rival blok kiri, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia, juga

    menguat.

    Kesalahan laporan Musso segera dikritik hebat. Sejarawan Rusia, Larissa Efimova,

    mengutip laporan dua analis Rusia, Kogan dan Luhlov, menuding Musso "berkhayal" dan

    "membenarkan sebuah strategi yang membawa malapetaka".

    Kembalinya Sang Komunis Tua (2)http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page02.php

    Kepala Divisi Asia Tenggara di Departemen Kebijakan Luar Negeri Komisi Sentral

    Partai Komunis di Uni Soviet, Plishevsky, mengirim surat ke Politbiro dan menegaskan

    bahwa "taktik keliru PKI telah menyebabkan berpindahnya kekuasaan di Indonesia

    kepada partai-partai kanan".

    Meski tak pernah ada dokumen yang menegaskan adanya tugas resmi dari Moskow

    kepada Musso, dalam bukunya, Dari Moskow ke Madiun?, Larissa menyebut Musso

    "merenungkan cukup lama kritik Partai Komunis Uni Soviet atas taktik lama PKI"

    sebelum akhirnya menetapkan diri untuk mengambil peran sentral meluruskan garis

    perjuangan partainya.

    Pada April 1948, Musso meninggalkan Moskow, menuju Praha, Cekoslovakia. Di sana, dia

    mengaku bernama Musin Makar Ivanovich, dan menyamar menjadi sekretaris pribadi

    Soeripno, pejabat Indonesia setingkat duta besar yang ditempatkan Menteri Luar

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page02.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page02.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page02.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    6/38

    Negeri Agus Salim di sana sejak medio 1947.

    Pada pekan ketiga Mei 1948, Soeripno berhasil membuka hubungan diplomatik dengan

    Uni Soviet. Keberhasilan Soeripno ini disambut pro-kontra-sebagian menilai hubungan

    diplomatik resmi dengan Soviet bisa mendorong Republik jauh ke kiri. Tak sampai

    sepekan kemudian, sebuah kawat resmi dikirim ke Praha: Soeripno dipanggil pulang ke

    Yogyakarta. Sekretaris pribadinya, Musin Ivanovich alias Musso, ikut pulang ke

    Indonesia.

    Selama enam minggu di perjalanan-dari Praha, lewat Kairo, New Delhi, berhenti

    sebentar di Bangkok lalu Bukittinggi-Musso terus merahasiakan identitasnya. Menurut

    catatan Harry Poeze, dia bahkan berkeras tidak mau difoto. "Setiap kali ada kamera

    mengarah kepadanya, Musso selalu memalingkan muka, atau menyembunyikan wajah dibalik koran atau buku."

    Namun di Solo, kedatangan tokoh sekaliber Musso tak bisa lagi disembunyikan.

    Sambutan Wikana yang demikian hangat kepada "Soeparto" membangkitkan

    kecurigaan.

    Pada 12 Agustus, dua hari setelah kedatangannya, berita pertama soal kepulangan

    Musso muncul di harian Merdeka, Solo. Pada berita berjudul "Soeparto al Musso"

    dijelaskan bahwa "ada kemungkinan, tokoh kawakan Musso yang sangat terkenal itutelah kembali".

    Berita kecil itu segera disusul kabar-kabar selanjutnya di media lain. Dua media

    prokomunis, Suara Ibukota dan majalah Revolusioner-keduanya terbit di

    Yogyakarta-bahkan mempublikasikan wawancara panjang dengan Musso, selama tiga

    hari berturut-turut. Salah satu redaktur koran Suara Ibukota adalah Wikana.

    Dalam artikel itu, Musso dengan panjang-lebar menjelaskan pentingnya pembentukan

    sebuah pemerintahan front nasional. "Tujuan tunggal dari mobilisasi seluruh potensi

    kekuatan kita dalam sebuah front nasional adalah memerangi pemerintah kolonial

    Belanda," kata Musso, seperti dikutip jurnalis harian Rakjat, Soerjono, dalam

    catatannya untuk sejarawan Amerika, Ben Anderson.

    Sehari kemudian, Musso menemui Presiden Sukarno di gedung Agung, Yogyakarta.

    Mereka berpelukan lama. "Lho, kok masih awet muda?" tanya Bung Karno sambil

    tersenyum lebar. Musso menjawab tangkas, "Oh ya, ini semangat Moskow. Semangat

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    7/38

    Moskow selamanya muda."

    Setelah bercakap-cakap panjang, di akhir pertemuan, Sukarno mengajak Musso

    membantu meredakan pertikaian antarkelompok dalam tubuh Republik. Seperti dicatat

    wartawan Revolusioner, Soepeno, Presiden berujar takzim, "Saya harap Pak Musso,

    setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en orde." Musso

    menjawab dalam bahasa Belanda, "Ik kom hier om orde te scheppen (Saya memang

    datang ke sini untuk menciptakan ketertiban)."

    Meniti Jalan Radikalhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page03.php

    DISKUSI tiga tokoh komunis itu berlangsung alot. Hari itu, pada suatu siang Maret

    1948, Paul de Groot, Musso, dan Soeripno bertemu di Praha, Cekoslovakia. De Groot

    merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda. Adapun dua nama terakhir

    tokoh komunis Indonesia.

    Pertemuan itu dilakukan untuk merumuskan strategi baru gerakan komunis Indonesia. De

    Groot, dalam pertemuan itu, menghendaki Indonesia tetap menganut garis front rakyat

    yang lebih kooperatif. Adapun lawan diskusinya tak sependapat. Musso ingin komunis

    Indonesia memakai garis perjuangan radikal. Ia menolak gagasan rekannya dari Belanda

    itu, yang dinilai terlalu "lembek".

    Diskusi juga melebar ke soal status hubungan Indonesia-Belanda. De Groot ingin

    hubungan dua negeri ini dalam kerangka persemakmuran, sedangkan Musso menginginkan

    kemerdekaan sepenuhnya. Jalan tengah akhirnya dicapai. Disepakati Belanda akan diberi

    keleluasaan di bidang ekonomi dan kebudayaan.

    Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar arah pergerakan kaum komunis

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page03.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page03.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page03.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    8/38

    Indonesia. Ditandatangani wakil Indonesia, Belanda, dan Cekoslovakia, dokumen itu

    lantas dikirim ke Moskow untuk mendapat persetujuan. Haluan baru inilah yang kemudian

    dibawa Musso dan Soeripno, yang saat itu menjabat Duta Besar RI di Cekoslovakia, ke

    Tanah Air pada Agustus 1948. Menurut Himawan Soetanto, mantan Kepala Staf Umum

    Angkatan Bersenjata RI, dalam bukunya Rebut Kembali Madiun, haluan ini dipengaruhi

    "garis Zhdanov".

    Musso menyempurnakan rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia, yang

    memakan waktu seminggu. Rumusan itu ia sebut "Jalan Baru untuk Republik Indonesia".

    Jalan Baru inilah yang kelak mengubah politik komunis di Indonesia. "Saya harap

    kawan-kawan di Indonesia akan mengerti dan bersedia mengikuti," demikian tulis Musso

    seperti dikutip sejarawan Belanda, Harry Poeze, dari tulisan Soeripno.

    Musso menyebut "Jalan Baru" karena gagasannya itu berbeda dengan haluan komunis

    sebelumnya. Sejak 1935, komunis Indonesia, kata Himawan, menganut garis Dimitrov.

    Georgi Dimitrov adalah Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dimitrov

    menganjurkan komunis bekerja sama dengan kaum liberal kapitalis demi menghadang

    ancaman fasisme dan Naziisme. Garis Dimitrov bersifat lunak dan kooperatif.

    Komunis Indonesia pun kemudian menempuh garis lunak: berunding dan berkompromi

    dengan Belanda, yang pemerintahannya dikuasai partai kiri. Demikian pula saat

    menghadapi penjajahan Jepang yang fasis. Meski bergerak di bawah tanah, kaumkomunis masih bekerja sama dengan Belanda.

    Namun, setelah Amerika mulai membendung laju komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni

    Soviet mengubah kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran

    Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan

    Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh Communist Information Bureau

    (Cominform) pada September 1947, dan tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi

    Pemuda se-Asia Tenggara di Calcutta, India.

    Haluan ini menegaskan, dunia telah terbelah dalam dua blok: kapitalis imperialis yang

    dimotori Amerika Serikat dan blok anti-imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti

    doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri

    Jalan, kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai

    komunis harus mengambil garis keras. Musso dalam rumusan "Jalan Baru untuk Republik

    Indonesia" menyatakan, "Karena perjuangan Indonesia anti-imperialis, Indonesia satu

    garis dengan Rusia."

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    9/38

    Meniti Jalan Radikal (2)http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page04.php

    Pulang ke Indonesia, Musso, yang saat itu memakai nama samaran Soeparto untuk

    mengelabui Belanda, menghubungi dua koleganya, Maroeto Daroesman dan Setiadjid,

    untuk bertukar pikiran. Saat itu dua tokoh komunis ini juga baru kembali dari Belandabersama rombongan Menteri Kehakiman Mr Soewandi, yang baru berunding dengan

    Belanda.

    Musso pertama kali menjabarkan gagasan Jalan Barunya pada pertemuan Politbiro,

    13-14 Agustus 1948, di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, Musso mengkritik sejumlah

    kelemahan dan kesalahan perjalanan organisasi komunis di Indonesia setelah

    kepergiannya ke Moskow. "Menurut Musso, revolusi di Indonesia bukan revolusi

    proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada front yang dipimpinorang-orang proletariat," ujar Hersri Setiawan, penulis Negara Madiun: Kesaksian

    Soemarsono Pelaku Perjuangan.

    Melalui surat kabar, Musso juga mengkritik keras kesalahan-kesalahan mendasar

    revolusi nasional yang digelorakan Sukarno. Ia mempersoalkan antara lain tidak adanya

    wakil kelas buruh dalam pemerintah, sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan politik

    revolusioner. Demikian juga kekuatan bersenjata. Menurut dia, angkatan bersenjata

    seharusnya adalah tentara rakyat yang benar-benar dibangun dari dan untuk rakyat.

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page04.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page04.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page04.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    10/38

    Menakhodai strategi Jalan Baru, langkah pertama yang dilakukan Musso adalah

    mengambil alih pimpinan Front Demokrasi Rakyat dan melebur Partai Komunis, Partai

    Buruh, dan Partai Sosialis serta Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi partai

    tunggal, Partai Komunis Indonesia. Semua pemimpin organisasi tersebut oleh Musso

    diminta bersumpah menentang politik pemerintah.

    Sesuai dengan doktrin organisasi, Musso meminta para pemimpin organisasi melakukan

    otokritik. Salah satu buah otokritik itu, belakangan, adalah terungkapnya pengakuan

    Amir Sjarifoeddin yang menerima 25 ribu gulden dari Van der Plas, petinggi Belanda

    yang juga Gubernur Jawa Timur di era Republik Indonesia Serikat. Musso juga

    mengkritik tindakan Amir yang membubarkan kabinetnya. Menurut Musso, melepaskan

    sebuah kekuasaan yang telah berada di tangan merupakan kesalahan besar.

    Kebijakan komunis yang juga dipersalahkan Musso adalah perkembangan partai komunis

    ilegal yang dibentuknya pada 1935 untuk melawan fasisme Jepang. Setelah Proklamasi,

    di mata Musso, partai ini tidak segera mengubah diri mengikuti perkembangan politik

    yang terjadi.

    Menurut Musso, adanya tiga partai yang sama-sama berorientasi pada buruh, yakni "PKI

    legal", Partai Buruh Indonesia (PBI), serta Partai Sosialis yang dikendalikan oleh PKI

    ilegal, dan sama-sama berdasarkan Leninisme dan Marxisme, telah membuat keruwetan

    organisasi. Ini justru menghalangi perkembangan organisasi kelas buruh. Lantaranbanyak kelemahan itulah Politbiro memutuskan melakukan perubahan radikal.

    Tujuannya: mengembalikan secepatnya PKI sebagai pelopor kelas buruh.

    Seakan untuk memamerkan pengaruhnya, pada 22 Agustus 1948 di Yogyakarta, Musso

    menggelar rapat raksasa. Dalam rapat yang dihadiri sekitar 50 ribu orang itu, dia

    meneriakkan pentingnya mengganti kabinet presidensial menjadi kabinet front nasional.

    Musso juga menyerukan perlunya menggalang kerja sama internasional untuk

    meratifikasi hubungan diplomatik secepat mungkin, terutama dengan Uni Soviet.Hubungan dengan negara itu, menurut dia, bisa mematahkan blokade Belanda.

    Untuk menyebarkan gagasan revolusi Jalan Barunya, bersama pimpinan PKI, pada

    September 1948, Musso melakukan safari ke sejumlah daerah, antara lain Solo, Madiun,

    Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.

    Di tengah safarinya itulah, pada 18 September, meletus peristiwa Madiun yang

    kemudian dikenal sebagai Madiun Affair. Dipimpin Soemarsono, pasukan Brigade 29,

    yang didominasi Pesindo, melakukan aksi sepihak. Mereka melucuti pasukan Brimob dan

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    11/38

    menyerang pasukan Divisi Siliwangi. Setelah menguasai Madiun, mereka

    mendeklarasikan pemerintahan Front Nasional sesuai dengan anjuran "Jalan Baru untuk

    Republik Indonesia" Musso.

    Sapu Bersih Pasca-Madiunhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page05.php

    KABAR itu tiba di Yogyakarta menjelang petang pada 18 September 1948. Isinya gawat:

    Partai Komunis Indonesia, dipimpin Musso, melancarkan aksi pemberontakan di Madiun,

    Jawa Timur. Menjelang magrib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo

    dan Residen Surakarta Sudiro menemui Kepala Staf Operatif Markas Besar Angkatan

    Perang Republik Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution di rumahnya. "Presiden

    memanggil saya," kata Nasution, seperti dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas.

    Nasution kemudian menemui Presiden Sukarno di Gedung Agung-sebutan Istana

    Kepresidenan Yogyakarta, yang terletak di pusat kota. Presiden didampingi Menteri

    Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika itu Panglima Besar

    Jenderal Sudirman masih berada di Magelang. Menurut Nasution, Presiden memintanya

    membuat konsep tindakan yang akan diberlakukan sebagai keputusan presiden.

    Kolonel Nasution kemudian menyodorkan rencana aksi militer kepada Sukarno.

    "Nasution menyatakan Peristiwa Madiun sebagai pemberontakan dan harus dilawan,"

    kata Harry A. Poeze, sejarawan asal Belanda, Rabu dua pekan lalu. Nasution sendiri

    dalam bukunya menyatakan, "Sebagai seorang yang telah berbulan-bulan langsung

    berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya dapat konsepsikan

    dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI."

    Isi rancangan keputusan presiden itu adalah perintah kepada Angkatan Perang Republik

    Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan

    menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page05.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page05.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page05.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    12/38

    atau simpatisannya. Nasution cemas, Front Demokrasi Rakyat, sayap oposisi kelompok

    kiri yang dipimpin Amir Sjarifoeddin dan Musso, melancarkan aksi serupa di Yogyakarta.

    Apalagi, satu hari sebelumnya, terjadi kontak senjata antara batalion Siliwangi dan

    pasukan Front Demokrasi di Solo.

    Sukarno menyetujui rencana aksi Nasution. Presiden kemudian memerintahkan Jaksa

    Agung Tirtawinata memperbaiki kalimat dari segi hukum. Tapi Nasution mesti menunggu

    persetujuan sidang kabinet, yang baru digelar menjelang tengah malam. Sebelum sidang

    dimulai, Panglima Besar Jenderal Sudirman datang. Nasution menceritakan dalam

    bukunya, Sekretaris Negara Pringgodigdo membacakan konsep keputusan presiden

    tersebut. Hanya Menteri Luar Negeri H Agus Salim yang berbicara. "Kalau sudah begini,

    tentulah jadi tugas tentara," tulis Nasution, mengutip Agus Salim.

    Menurut Poeze, semua yang hadir di sidang kabinet sepakat menyimpulkan Peristiwa

    Madiun sebagai pemberontakan. Tragedi Madiun tercuplik dalam buku Poeze berjudul

    Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie,

    1945-1949. Dalam bab De PKI in actie, opstand of affaire?, Poeze melukiskan, sidang

    kabinet cuma butuh beberapa menit buat merestui rencana Nasution. Sudirman

    mendapat wewenang melaksanakan keputusan tadi.

    Atas dukungan itu, Nasution melaporkan persiapan operasi kepada Sudirman. Panglima

    Besar menyetujuinya. Ia meminta Nasution dan Letnan Kolonel Soeharto, KomandanBrigade X, melaporkan perkembangan keesokan paginya. Lewat tengah malam, Nasution

    bergerak. Kekuatan bersenjata Front Demokrasi Rakyat di Yogyakarta dilucuti. Tokoh

    yang menghadiri konferensi Serikat Buruh Kereta Api ditahan. Hampir 200 simpatisan

    serta tokoh PKI ditangkap. Di antaranya Alimin, Djoko Sudjono, Abdoelmadjid, Tan Ling

    Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan.

    Semua pers yang berafiliasi ke Front Demokrasi Rakyat, seperti Buruh, Revolusioner,

    Suara Ibu Kota, Patriot, dan Bintang Merah, dilarang terbit. Percetakannya disegel.Wartawannya ditangkap. Poster dan spanduk Front Demokrasi dibersihkan. Sebagai

    gantinya, ditempel plakat yang berbunyi: "Kita hanya mengakui pemerintah

    Sukarno-Hatta." Menjelang fajar, operasi itu kelar.

    Nasution melaporkan hasilnya kepada Sudirman. Keesokan harinya digelar sidang Dewan

    Siasat Militer. Panglima Besar Sudirman lalu mengambil keputusan. Dia mengangkat

    Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II

    Siliwangi, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun.

    Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    13/38

    Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus. Malam harinya, keputusan itu disiarkan Sudirman

    lewat Radio Republik Indonesia di Yogyakarta.

    Di mata Poeze, penangkapan itu bukti bahwa gerakan di Madiun tidak dipersiapkan

    dengan matang. "Tidak ada petunjuk agar tokoh PKI di Yogyakarta pergi meninggalkankota itu," katanya. Para tokoh yang ditangkap itu juga mengaku tidak tahu-menahu ihwal

    aksi di Madiun. "Saya tidak tahu apa yang dituduhkan kepada kami," kata Gondopratomo,

    sekretaris pertama Serikat Buruh Kereta Api, seperti dikutip dalam makalahnya

    berjudul "Kejadian-kejadian Penting Menjelang Peristiwa Madiun dan Jatuhnya Republik

    Indonesia ke Dalam Jebakan Neokolim".

    Makalah tadi disampaikan Gondo dalam sarasehan Peristiwa Madiun 1948 di Amsterdam,

    Belanda, delapan tahun lalu. Gondo mengaku ditangkap pada 18 September pagi, sebelumsidang kabinet digelar. "Pukul dua pagi kami ditangkap, lalu dibawa ke Benteng

    Vredenburg," katanya. Paginya, ia dibawa ke gedung Normaal School. Dua hari kemudian,

    ia baru tahu bahwa ia dikenai tuduhan hendak mendirikan Negara Soviet di Madiun.

    Tuduhan itu dinilai Gondo tidak masuk akal. "Kalau akan diadakan pemberontakan,

    kenapa pengurus Serikat Buruh Kereta Api Madiun datang ke Yogyakarta?" katanya. Di

    kota itu, Serikat Buruh Kereta Api tengah menyelenggarakan konferensi membahas

    "Jalan Baru untuk Republik Indonesia". Delegasi Serikat Buruh dari berbagai daerah

    datang ke sana.

    Menurut Gondo, penangkapan itu cuma akal-akalan pemerintahan Hatta, yang ketika itu

    menempati posisi wakil presiden, perdana menteri, sekaligus menteri pertahanan.

    "Mereka sudah lama mempersiapkan penangkapan," katanya. Kelompok kiri menuduh

    penangkapan dilakukan buat merebut simpati Amerika Serikat, agar negara itu menekan

    Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

    Proklamasi Dini di Madiunhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page06.php

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page06.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page06.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page06.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    14/38

    Madiun sudah bangkit

    Revolusi sudah dikobarkan

    Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik

    Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk"

    MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia, pidato Ketua Badan

    Kongres Pemuda Republik Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota

    Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke

    sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor

    pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.

    Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap

    tokoh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun.

    "Apalagi ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak," katanya dalam

    perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.

    Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir

    Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat

    laporan itu, Musso dan Amir kompak menjawab, "Bertindak! Lucuti saja pasukan yang

    menculik itu."

    Menjelang siang, Madiun bergerak pulih. Seluruh kota telah berada dalam penguasaan

    pemuda PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di

    Yogyakarta. Namun tak satu pun pejabat Madiun yang berani melaporkan. Terjadi

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    15/38

    perdebatan sengit di antara petinggi militer PKI. "Semua saling lempar," kata

    Soemarsono. Samadikun, penguasa sipil tertinggi di Madiun, sedang ke luar kota dan

    wakilnya, Sidarto, terbaring sakit.

    Komandan Teritorial Madiun Letnan Kolonel Sumantri juga menolak. Dia malah memintaSoemarsono yang mengirimkan laporan ke Yogyakarta. "Saya bukan orang pemerintah,"

    Soemarsono menolak. Akhirnya diputuskan meminta Wali Kota Madiun, Purbo,

    mengirimkan laporan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta. Namun Purbo juga

    sedang terbaring sakit.

    Lalu muncullah Supardi, wakil wali kota yang baru saja diangkat. Dia mengatakan sanggup

    mengirimkan laporan itu. "Asalkan dengan persetujuan komandan teritorial," katanya,

    seperti diceritakan Soemarsono. Semua sepakat, termasuk para bupati yang telahmenyatakan mendukung PKI.

    Hari itu juga Supardi mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata

    batalion Siliwangi dan Mobrig oleh Brigade 29. Supardi juga menyampaikan keadaan

    Madiun aman terkendali. "Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan

    pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut." Demikian laporan

    Supardi, yang menyebut dirinya wakil Pemerintahan Republik Indonesia Daerah Madiun.

    Hingga menjelang petang, tak ada balasan dari Yogya. Esoknya, menjelang malam,"jawaban" itu akhirnya datang juga. Tidak lewat telegram, tapi melalui gelombang Radio

    Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan berapi-api Presiden Sukarno menyampaikan

    pidato menanggapi peristiwa di Madiun.

    Sukarno mengatakan telah terjadi upaya kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua

    pilihan kepada rakyat: ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. "Negara kita mau

    dihancurkan. Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu," Sukarno berseru.

    Hanya berselang tiga jam, melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidatoSukarno. Musso menyatakan Sukarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis

    Amerika. "Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan

    diri dari budak-budak imperialis itu," katanya.

    Musso bersama petinggi Front Demokrasi Rakyat mengumumkan terbentuknya Front

    Nasional Daerah Madiun. Para pejabat pemerintah, dari bupati sampai lurah yang

    propemerintah, digantikan kader PKI. Musso kemudian melantik Soemarsono sebagai

    gubernur militer dan Kolonel Djoko Soedjono menjadi komandan pasukan PKI. Alasannya,pemerintahan baru ini dibentuk untuk melawan kekuatan militer. Adapun Supardi, karena

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    16/38

    dinilai berani melapor ke pemerintah pusat, diangkat menjadi residen.

    FRONT Nasional Daerah Madiun menguasai lima kabupaten: Magetan, Madiun, Ponorogo,

    Ngawi, dan Pacitan. Hari itu bupati diganti dengan kader PKI. Wilayahnya semakin luas

    dengan bergabungnya Wonogiri dan Sukoharjo.

    Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Komite

    Nasional Indonesia Pusat pada 20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu

    sebagai upaya merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. "Kemudian

    mendirikan pemerintahan Soviet," katanya. Sejarawan Harry A. Poeze memberikan

    penilaian yang sama. "Itu upaya mereka menjadikan Musso sebagai presiden," katanya.

    Bertahun-tahun kemudian, para tokoh PKI berkukuh menolak dituding melakukan

    pemberontakan di Madiun. "Alangkah mencari-carinya orang yang menuduh PKI

    merobohkan Republik Indonesia," kata D.N. Aidit dalam pembelaannya berjudul

    Menggugat Peristiwa Madiun, yang dibacakan di Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 11

    Februari 1957. Bantahan serupa datang dari Soemarsono. Menurut dia, kalau

    memberontak, PKI pasti sudah melakukan penyerangan. "Ini tidak," katanya.

    SITUASI Madiun-Yogyakarta terus memanas. Pada akhir September 1948, lewat Radio

    Gelora Pemuda, PKI membantah tudingan Hatta. Lewat Supardi, PKI meminta upaya

    perdamaian dengan pemerintah Sukarno-Hatta. "Karena pemerintahan lokal di Madiunmerupakan bagian dari Republik Indonesia," kata Supardi, seperti dikutip dalam buku

    Himawan Soetanto yang berjudul Rebut Kembali Madiun.

    Abdoel Moetholib, yang belakangan menggantikan Supardi, melakukan langkah yang

    sama. Dia mengumumkan daerah-daerah yang sebelumnya diduduki PKI telah kembali

    dilepaskan. Agar lebih meyakinkan, Moetholib melakukan penggantian bupati di Madiun,

    Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan.

    Upaya itu sia-sia. Sukarno telanjur menunjuk Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk

    mengambil langkah tegas guna merebut kembali Madiun. Sepuluh batalion tentara

    pemerintah menyerbu Madiun. Kota yang dikelilingi pegunungan itu dikepung dari

    berbagai penjuru. Petinggi PKI terdesak. Pada 28 September, Musso, Amir Sjarifoeddin,

    dan Soemarsono hengkang meninggalkan Madiun. "Kami terjepit," kata Soemarsono.

    Sebulan Bersama Oude Heerhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page07.php

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page07.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page07.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page07.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    17/38

    RAPAT Politbiro Partai Komunis Indonesia, Agustus 1948, adalah panggung pertama bagi

    Musso setelah 21 tahun menghilang dari Republik. Pada 1927 ia kabur ke Moskow akibat

    terlibat pemberontakan PKI 1926 yang dapat dipadamkan Belanda. Pada 1935 ia pernah

    menyusup ke Surabaya untuk menghidupkan kembali PKI. Tapi ia tak berhasil.

    Sejak itu PKI menjadi partai bawah tanah yang melawan fasisme secara lunak. PKI tak

    menggalang massa buruh dan tani, tapi menyusup ke pemerintah dan organisasi lain.

    Musso menilai cara itu tak efektif.

    Dalam gagasan barunya, "Jalan Baru untuk Republik Indonesia", Musso menganggap PKI

    tidak mengakar kuat pada buruh, tani, pemuda, dan tentara. Kader PKI terpecah akibat

    disusupkan ke pemerintah atau partai lain. Sosialisasi ideologi partai lembek karena

    tidak dilakukan secara terbuka. Sebagai partai bawah tanah PKI ketika itu lebih banyak

    berlindung di balik Front Demokrasi Rakyat (FDR).

    Didirikan di Solo pada 26 Februari 1948 sebagai akibat jatuhnya kabinet Amir

    Sjarifoeddin, FDR menampung partai dan ormas sayap kiri. Selain PKI ilegal, anggota

    front itu adalah Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia

    (Pesindo), Barisan Tani Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Indonesia. Amir sendiri

    didapuk menjadi Ketua Front.

    Menurut sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, FDR dibentuk setelah Amir dan Sutan

    Sjahrir pecah kongsi dalam Partai Sosialis. Amir menghendaki partai memihak Soviet

    dan menentang kapitalisme pimpinan Amerika Serikat. Sjahrir berpendirian partai harus

    menempuh politik luar negeri bebas aktif.

    Jatuhnya kabinet Amir memperparah perseteruan itu. Sjahrir akhirnya keluar dari

    Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia. Adapun Partai Sosialis Amir

    melebur ke FDR.

    Dalam dokumen FDR, "Menginjak Tingkatan Perjuangan Militer Baru", disebutkan bahwaaliansi itu dibentuk untuk menggulingkan kabinet Hatta yang tengah berkuasa.

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    18/38

    Penggulingan itu akan dilakukan melalui parlemen, bahkan jika perlu membentuk

    pemerintahan baru melalui pemberontakan.

    Amir menyambut gagasan Musso. Dalam rapat Majelis Lengkap FDR, Agustus 1948, ia

    berujar, "Kedatangan Oude Heer (Pak Tua) Musso bisa mempercepat proses yang selamaini kita jalankan." Dalam bukunya, Madiun dalam Republik ke Republik (2006), mantan

    Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Himawan Soetanto

    menyatakan kembalinya Musso membawa haluan baru yang menekankan perlawanan

    terhadap fasisme secara radikal.

    Musso tidak mau menyia-nyiakan waktu. Di panggung rapat Politbiro PKI, ia meminta

    partai itu bersalin rupa. Menurut mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat DI

    Yogyakarta Hersri Setiawan, di mata Musso PKI ilegal melakukan beberapa kesalahan, diantaranya partai tidak berani melakukan perjuangan bersenjata dan lebih memilih politik

    kompromi. Partai juga dianggap tidak mengedepankan ideologi komunis. "Musso menuntut

    gerakan PKI direvisi," kata Hersri.

    Rapat itu akhirnya memutuskan hanya perlu satu partai kiri yang legal untuk menyatukan

    gerakan buruh dan kaum miskin. Pada rapat FDR, 21 Agustus 1948, Politbiro PKI

    mengusulkan agar ketiga partai di FDR melebur menjadi satu dan menyandang nama

    Partai Komunis Indonesia.

    Dalam korespondensinya dengan ahli politik Ben Anderson, mantan Ketua Bidang

    Pertahanan Pesindo Soerjono menyatakan usulan itu ditolak pemimpin Partai Buruh,

    seperti Asrarudin dan S.K. Trimurti. Mereka meminta Front menggelar kongres sebelum

    melebur menjadi PKI.

    Sejumlah kader partai di FDR memang meragukan kemampuan Musso, tokoh lama yang

    tiba-tiba ingin mengambil alih kepemimpinan partai kiri. Sejumlah kader Pesindo dan

    Barisan Tani Indonesia yang semula pro-Sjahrir memilih hengkang. "Kerikil ini

    menyebabkan PKI baru tidak solid," kata sejarawan Rushdy Hussein.

    Namun upaya penyatuan itu tak terhindarkan. Umumnya pemimpin partai kiri

    mempercayai Musso. Pada Kongres PKI, 27 Agustus 1948, penyatuan itu disahkan. Awal

    September dibentuklah kepengurusan PKI legal dengan Musso sebagai pemimpin.

    Kepengurusan itu menandai masuknya PKI ke kancah politik terbuka. Belum genap

    sebulan muncul ke permukaan, meletuslah pemberontakan Madiun yang dilakukan organ

    PKI pimpinan Musso. Setelah peristiwa itu, PKI kembali remuk redam.

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    19/38

    Suatu Malam di Proklamasi 56http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page08.php

    LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu haripada Januari 1948, sekitar pukul 19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia

    mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumahPresiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat.

    Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis

    kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol

    kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir

    Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa"

    meletakkan jabatan.

    "Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu.

    Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari

    jabatan perdana menteri. "Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy,"

    katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken

    Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala

    pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia

    setelah perundingan itu.

    Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947. Di ataskapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika

    Serikat di Komisi Tiga Negara. "Mereka rileks sambil masing-masing memegang

    Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat

    pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh

    di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

    Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

    pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang

    berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara agar

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page08.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page08.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page08.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    20/38

    menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah.

    Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian

    menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan

    Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia),dan Paul van Zeeland (Belgia).

    Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali

    Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada

    11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri

    untuk Masyumi.

    Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak

    usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal

    gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia

    yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis

    demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda

    menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang

    disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu.

    Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan

    kembali ke Yogyakarta. "Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanyakembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah

    Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali

    ke Yogyakarta.

    Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer.

    Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap

    ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham

    sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu

    Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia

    tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya

    mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal

    Renville, Amir meneken persetujuan itu.

    Para pemimpin Republik mendukung. Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian

    Renville seakan-akan merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang

    bisa diperoleh. "Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa harus perang,"

    katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak menjauhkan kita dari cita-cita. Panglima

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    21/38

    Besar Sudirman juga mengaku puas atas pencapaian itu.

    Di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville.

    Sehari setelah perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah

    menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. "Kabinet Amir Bubar. Kami menolakPerjanjian Renville," demikian kata salah satu dari mereka. Sumpah-serapah juga

    diarahkan ke Perdana Menteri, "Amir pengkhianat."

    Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka

    mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri

    para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. "Sebaiknya

    serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno.

    Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno

    kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk

    kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir,

    kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta.

    Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti

    terjebak dalam sebuah permainan politik. "Aduh, begini permainan komplotan ini,"

    katanya mengutip keluhan Amir.

    Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan,

    dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai

    perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri

    untuk mengadili Amir. "Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu

    saja," katanya.

    Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk

    Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis

    saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaannegara. "Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah,"

    katanya.

    Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh

    bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai

    larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah

    terakhir kali dia bersua dengan Amir. "Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke

    Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya. "Sampai akhirnya ditembak mati."

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    22/38

    Laga Pengalih Sebelum Madiunhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page09.php

    BAKDA isya, Kolonel Sutarto sampai di depan rumah ibunya di Kampung Timuran Solo.

    Malam itu, 2 Juli 1948, komandan Pasukan Panembahan Senopati (KPPS) ini bergegas

    pulang begitu menerima kabar ibunya sakit keras.

    Begitu paniknya, Sutarto jadi tak awas terhadap sekitarnya. Turun dari jip yang

    membawanya dari markas, bekas Shodancho Daidan Peta di Wonogiri itu disambut

    tembakan dari kegelapan. Dor... dor.... Sutarto ambruk. Dua peluru menembus belakang

    tubuhnya. Ia tewas bersimbah darah.

    Insiden itu memicu beragam kecurigaan. Selain pelakunya tak tertangkap, korbannya

    adalah panglima sebuah kesatuan tempur paling besar dan berpengaruh di wilayah

    Surakarta.

    Belakangan muncullah desas-desus. Di lingkungan prajurit Senopati beredar kabar,

    Sutarto ditembak anggota pasukan Siliwangi, anak buah Letnan Kolonel Sadikin.

    "Karenanya, anggota pasukan Senopati diperintah mencari tahu," kata Mayor Slamet

    Rijadi dalam buku biografinya, Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS.

    Muncul spekulasi baru. Sutarto sengaja ditembak karena dianggap melawan Program

    Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara yang digulirkan kabinet Hatta. Sutarto

    menganggap program ini tak transparan dan mengancam posisi pasukannya.

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page09.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page09.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page09.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    23/38

    Front Demokrasi Rakyat/PKI yakin pembunuhan Sutarto adalah teror politik gaya Hatta.

    "Ini rasionalisasi dalam bentuk lain. Kami yakin Hatta sendiri yang langsung turun tangan

    karena dia Menteri Pertahanan saat itu," kata Soemarsono, mantan Gubernur Militer

    Pemerintahan Front Nasional Daerah Madiun.

    Spekulasi ini menguat karena insiden penembakan Sutarto terjadi selang 40 hari setelah

    ia memimpin parade pasukan di Solo, 20 Mei 1948. Di depan Presiden Sukarno dan

    Panglima Besar Sudirman, Sutarto menggelar lima resimen tempurnya, termasuk enam

    resimen laskar rakyat, seperti pasukan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Tentara

    Laut Republik Indonesia, yang dikenal kiri.

    Belakangan, Divisi IV Panembahan Senopati batal dilikuidasi. Menanggapi aksi penolakan

    itu, Panglima Sudirman menjadikan pasukan Sutarto sebagai pasukan komando khusus.

    Program kabinet Hatta so-al Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara yang

    ditentang Sutarto menyorongkan konsep penataan postur angkatan perang yang lebih

    ramping dan efisien. Hatta beralasan, kocek negara yang mepet dan wilayah Indonesia

    yang kian menciut akibat Perjanjian Renville menjadi pertimbangan Re-Ra. Hatta, seperti

    dikutip dalam otobiografinya, merujuk setidaknya ada 350 ribu tentara plus 400 ribu

    anggota laskar yang kudu diciutkan menjadi 160 ribu hingga 57 ribu prajurit reguler.

    Perampingan itu dimulai dengan penataan struktur garis dan wilayah komando. Besarandivisi dan kesatuan komando teritori juga diciutkan. Jawa, misalnya, dari tujuh divisi

    menjadi empat divisi. "Semuanya disesuaikan dengan fungsi pertahanan menghadapi

    agresi Belanda," kata Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia.

    Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, Program

    Re-Ra justru bermasalah saat diberlakukan di lapangan. Misalnya friksi akibat audit

    personel sesuai dengan kepangkatan dan tingkat pendidikan antara perwira eks Peta dan

    eks KNIL. Eks Peta, misalnya, turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi

    pembantu letnan satu). Adapun perwira eks KNIL naik pangkat dua tingkat.

    Menurut Soemarsono, sejatinya FDR/PKI adalah kelompok yang paling dirugikan dengan

    Re-Ra. Barisan laskar yang dibangun FDR, seperti Pesindo, biro perjuangan, perwira

    politik, dan TNI Masyarakat, akan dilikuidasi karena dianggap bukan TNI. "Sebenarnya

    kamilah sasaran tembak utama kabinet Hatta," kata Soemarsono dalam bukunya,

    Revolusi Agustus.

    Soemarsono sendiri dipecat dari Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Pangkatterakhirnya mayor jenderal. Pada bulan yang sama, dipecat pula Wikana, eks Gubernur

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    24/38

    Militer Surakarta. Wikana adalah tokoh FDR dan Pesindo. Menyusul kemudian

    pembubaran TNI Masyarakat yang dirintis Joko Suyono dan Sakirman.

    Laga Pengalih Sebelum Madiun (2)http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page10.php

    Menurut Himawan, FDR berang karena penataan sistem komando TNI bisa

    menghancurkan upaya FDR membangun kekuatan sejak 1945. Setidaknya 35 persen dari

    TNI pada masa itu sudah dipengaruhi "kelompok kiri". Beberapa di antaranya bahkan

    panglima kesatuan tempur. "Wajar kalau penolakan para perwira terhadap Re-Ra

    kemudian dimanfaatkan tokoh-tokoh kiri," kata Himawan.

    Himawan merujuk sikap keras Divisi VI Narotama, Jawa Timur, dan Divisi IV

    Panembahan Senopati. Sutarto sendiri dicap "kiri " karena kedekatannya dengan

    tokoh-tokoh Front Demokrasi Rakyat/PKI.

    Menurut Himawan, sebenarnya ada faktor lain yang mendorong penolakan perwira daerah

    terhadap Re-Ra, yakni sentimen atas perlakuan istimewa Hatta terhadap kesatuan

    Siliwangi-setelah pasukan Siliwangi terpaksa hijrah ke Surakarta, pasca-Renville, dan

    Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sebagai

    wakil Panglima Sudirman. Sosok Nasution dianggap menjadi ancaman terhadap wibawaSudirman sebagai panutan mereka.

    Sebagai kota terbesar kedua di Republik setelah Yogyakarta, Solo pada 1948 sudah

    padat dengan aneka pendatang dan pengungsi, antara lain Brigade II Siliwangi pimpinan

    Sadikin. Buat pasukan setempat, kehadiran Siliwangi dianggap sebagai "intruders" atau

    orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga mereka.

    Kontak senjata terbuka antara KPPS dan Siliwangi bisa dicegah berkat langkah bijak

    Komandan Komando Militer Kota Solo Mayor Achmadi. Belakangan terbukti Sutarto

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page10.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page10.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page10.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    25/38

    dibunuh Pirono atas suruhan tokoh PKI, Alimin.

    Ketegangan makin memuncak ketika perwira ALRI-Gajah Mada yang juga tokoh FDR,

    Mayor Esmara Sugeng, dan enam perwira KPPS lainnya "dibawa" ke Siliwangi. Para

    perwira itu dikabarkan ditawan di asrama kompi Siliwangi yang dipimpin Kapten Oking diSrambatan, tak jauh dari Stasiun Balapan.

    Puncaknya pada 13 September 1948. Markas Siliwangi diserbu pasukan Senopati.

    Pertempuran berlangsung sengit dan jatuh korban. Letkol Soedi, Panglima KPPS,

    melaporkan insiden penculikan para perwiranya ke Panglima Sudirman. Ia juga

    mengultimatum agar perwira yang diculik dibebaskan sebelum pukul 12.00 WIB.

    Ketegangan itu membuat Sudirman turun tangan. Namun sejumlah perundingan yang

    digelar tak banyak menyelesaikan masalah. Letnan Kolonel Sadikin tetap emoh melepas

    para perwira KPPS dengan alasan tidak tahu ada penculikan-meski belakangan akhirnya

    enam perwira itu diketahui ditahan di penjara Wirogunan, Yogya.

    Gencatan senjata yang digariskan Sudirman dalam perundingan di Balai Kota Solo toh tak

    ditaati. Esok harinya, 16 September, giliran Markas Pesindo di Jalan Singosaren diserbu.

    Selain pasukan Siliwangi, ikut juga Barisan Banteng dan GRR. Ketegangan menjalar ke

    seluruh penjuru Solo.

    Sudirman akhirnya mengeluarkan keputusan harian yang intinya peristiwa di Surakarta

    menyinggung kedaulatan Angkatan Perang. Karena itu, komandan kesatuan diminta

    bertanggung jawab. Sudirman juga menyampaikan, pucuk pimpinan negara telah sepakat

    akan melakukan tindakan tegas di daerah mana pun yang terancam bahaya.

    Presiden Sukarno menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer. Keputusan

    itu, menurut Nasution, diambil bersama Sudirman. Mereka bertiga akhirnya bertemu

    dengan Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta sekitar pukul 23.00 WIB.

    Di Solo, 18 September 1948, Gubernur Militer Solo Gatot Subroto meminta aksi tembak

    dihentikan. Gatot juga menyatakan batalion Ahmad Jadau, Soejoto, dan Dahlan

    dinyatakan liar.

    Clash antarkesatuan di Solo ternyata dipantau penuh oleh Belanda. Pusat Dinas Intelijen

    Militer Belanda, Centrale Militaire Inlichtingen Dienst, pada 23 September 1948,

    seperti dikutip Himawan, menyebut Solo memang akan dijadikan "Wild West" oleh

    kelompok Musso sebagai pengalih perhatian dari gerakan yang terjadi di Madiun.

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    26/38

    Disebutkan pula, sesungguhnya pertikaian bersenjata itu adalah antara dua pasukan yang

    sama-sama berhaluan komunis, yaitu Divisi IV Panembahan Senopati-di bawah pengaruh

    Alimin, Musso, dan Amir Sjarifoeddin-dan Satuan Divisi Siliwangi di bawah pengaruh

    pemimpin komunis seperti Tan Malaka dan Dr Muwardi.

    Infiltrasi ke Siliwangi, kata dokumen itu, dilakukan sejak 1947 oleh satuan eks Brigade

    Tjitarum, pasukan Tan Malaka. "Mereka sama-sama mau merebut kekuasaan komunis,

    tapi beda kiblat," kata sejarawan Rushdy Hussein.

    Karena itu, menurut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman

    Adam, pertempuran ala "koboi" di Solo seperti lingkaran. "Hanya berputar-putar antara

    Musso dan Tan Malaka. Dua-duanya siap meledak."

    Mitos Amerika di Kaki Lawuhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page11.php

    DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan

    kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya.

    Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan

    panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa

    Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga

    puluh hektare ini.

    Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi,

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page11.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page11.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page11.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    27/38

    pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar

    bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini.

    Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan

    pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikutmempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun

    pada September 1948.

    Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri.

    Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara

    dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun:

    The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa

    Madiun oleh Amerika.

    Di hadapan parlemen Belanda, sebulan setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh

    Charlton Ogburn, penasihat politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk

    Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di

    Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan ini, Amerika

    menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika pemerintah Indonesia mau

    menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Menteri Penerangan

    Mohammad Natsir.

    Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga

    tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan

    pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini

    ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI.

    Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili

    Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad

    Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala

    Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat

    Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins.

    Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika

    memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan

    Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin

    Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan

    Peristiwa Madiun.

    Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun Soemarsono

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    28/38

    meyakini adanya Red Drive Proposal. Soemarsono mengaku mendengar dari mantan

    perdana menteri Amir Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan

    Renville-soal pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan

    siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta menyetujui

    tawaran Amerika. "Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan Roem," katanya.

    Mitos Amerika di Kaki Lawu (2)http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page12.php

    Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI

    memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia

    dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasiIndonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan

    Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan

    Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan

    Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi.

    Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan

    setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan

    dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui

    pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat

    Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno

    menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak

    pada Hatta," kata Soemarsono.

    Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan

    politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah

    mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen

    kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page12.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page12.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page12.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    29/38

    (proposal) itu mengada-ada," katanya.

    Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya,

    setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke

    Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakanbinaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya

    gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai

    mitos," ujar Rushdy.

    Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap

    pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia

    pada 9 Agustus 1948," tulis Swift.

    Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi

    komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar

    Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin

    menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet

    Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan

    dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak

    kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan.

    Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan

    kesepakatan dengan Belanda.

    Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk

    pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer

    kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata.

    Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari

    Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah

    menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan

    untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.

    Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab

    upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika

    kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan,

    saat berbicara dengan Cochran setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan

    membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan

    ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta.

    Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    30/38

    akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa

    Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis".

    Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada

    pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia sertawarga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan

    sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya,

    Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel

    Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno.

    Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk

    apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi

    Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red DriveProposal.

    Setelah Pistol Menyalak Tiga Kalihttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page13.php

    KENDATI sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda, Nugroho, 85 tahun, masih

    mengingat rumah besar yang berada paling dekat dengan jalan raya di kompleks Pabrik

    Gula Rejoagung di Madiun, Jawa Timur. Ia bercerita, 62 tahun lalu kompleks pabrik itu

    menjadi markas Badan Kongres Pemuda.

    Nugroho bekerja di bagian penerangan badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah

    kendali Soemarsono yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua

    Badan Kongres Pemuda Madiun.

    Rumah itu pula yang pada pekan ketiga September 1948 berkali-kali didatangi orang

    berseragam militer. Tamu yang datang itu adalah orang-orang bekas Laskar Pemuda

    Sosialis yang masuk jadi tentara di Brigade 29.

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page13.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page13.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page13.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    31/38

    Soemarsono memang sudah tak lagi bertugas di militer sejak dipecat Perdana Menteri

    Mohammad Hatta dari Pendidikan Politik Tentara. Oleh Hatta bintang dua di pundaknya

    juga dilucuti. Tapi ia masih punya pengaruh karena merupakan salah satu pentolan

    Pesindo.

    Saban kali bekas anak buahnya datang, yang dibawa adalah kabar-kabar buruk. "Mereka

    melaporkan ada pasukan dengan badge tengkorak berlatih menembak dekat markas

    mereka," kata Soemarsono.

    Lain waktu mereka melaporkan hilangnya tiga pemimpin pemogokan Serikat Buruh

    Daerah Autonom. Penculiknya ditengarai pasukan tengkorak tadi. Kelompok bersenjata

    yang sama juga dituding menembak anggota Serikat Buruh Kereta Api.

    Nugroho, tukang gambar poster Badan Kongres Pemuda, bercerita saat itu situasi

    Madiun memang panas. "Ada tentara, ada laskar macam-macam, dan mereka sering

    bentrok," ujarnya. Yang paling mencolok, kata dia, adalah kelompok bersenjata dengan

    logo tengkorak di seragamnya.

    Rentetan masalah itu mengingatkan Soemarsono akan cerita tiga perwira-Letnan Kolonel

    Suwardi, Komandan Angkatan Laut Solo Letnan Kolonel Achmad Jadau, dan Letnan

    Kolonel Slamet Rijadi yang datang dari Solo, Jawa Tengah. Ketiga perwira ini

    menceritakan soal penembakan dan penangkapan orang-orang kiri di daerah mereka.

    Soemarsono yakin hanya dalam hitungan hari masalah di Solo bakal sampai ke Madiun.

    Apalagi intelijennya di Polisi Militer dan Brigade Mobil bercerita ada instruksi dari

    pemerintah Mohammad Hatta untuk menangkap dirinya. Bahkan Brigade 29 juga akan

    dilucuti oleh Brigade Mobil Polisi.

    Ia makin yakin saat didatangi kawan lamanya, Kolonel Moestopo, yang menyampaikan

    kabar senada. Moestopo, yang saat itu sudah bergabung dengan p asukan Siliwangi,

    bahkan mengatakan ia diperintahkan untuk menangkap Soemarsono. "Tangkap saja. Tapiapa mungkin menangkap saya tanpa saya melawan!" Soemarsono balik menghardik.

    Pada 16 September, Soemarsono menerima telepon dari Kediri. Di ujung sambungan

    terdengar suara Panglima Divisi Brawijaya Kolonel Sungkono. Bekas tetangga

    Soemarsono saat tinggal di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, itu mengajak bicara tentang

    ulah pasukan Siliwangi.

    "Sudah, Cak, serang saja mereka. Masak sampean dari Surabaya bisa dihantam-hantam

    begitu?" kata Soemarsono menirukan ucapan Sungkono. "Hadapi saja Siliwangi itu, kami

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    32/38

    sepenuhnya di belakang Madiun."

    Digosok Sungkono, Soemarsono semakin panas. Menurut Himawan Soetanto dalam

    bukunya, Rebut Kembali Madiun, Brigade 29 memiliki kekuatan sekitar lima batalion.

    Mantan Panglima Daerah Militer Siliwangi ini menjelaskan, pasukan yang dipimpin KolonelDachlan tersebut sudah bersiaga di seputar Madiun, yakni di Ponorogo, Ngawi, Magetan,

    Pacitan, sampai ke lereng-lereng Gunung Wilis di Kediri.

    Setelah Pistol Menyalak Tiga Kali (2)

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page14.php

    Di lain pihak, pada awal September kelompok-kelompok di sekitar Madiun yang

    berpotensi menjadi lawan Soemarsono sudah diberangus. Itu yang dialami Pesantren

    Takeran di Magetan yang enggan mendukung gerakan kiri di sana. Satu per satu

    pemimpin pondok dijemput dan tak pernah kembali.

    Madiun sendiri jadi basis massa yang solid buat gerakan ini karena kota itu punya

    bengkel kereta api dan banyak pabrik gula. "Mereka dapat dukungan dari buruh pabrik

    dan serikat buruh kereta api," kata mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar di

    Madiun, Yusuf Musdi.

    Merasa di atas angin, Soemarsono pada 16 September berangkat meminta restu kepada

    Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri. Ia bercerita tentang kondisi Madiun dan

    kekhawatiran adanya penculikan terhadap komandan tentara yang berpihak ke Front

    Demokrasi Rakyat-organisasi yang menghimpun kelompok kiri, termasuk PKI.

    Kepada Soemarsono, Musso bertanya tentang perimbangan kekuatan. "Tidak usah

    khawatir, saya kenal pasukan saya," jawab Soemarsono. Kalau begitu bertindak saja,

    lucuti pasukan itu," kata Musso lagi. Amir menimpali, "Bertindak saja, sebelum mereka

    bertindak." Pertemuan larut malam itu berakhir. Soemarsono pamit dan Musso

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page14.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page14.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page14.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    33/38

    merangkulnya. "Saya bertindak itu atas perintah Musso," ujarnya belakangan.

    Namun peneliti sejarah dari Universitas Cornell, Ann Swift, meragukan klaim tersebut.

    Menurut dia, petinggi Front Demokrasi baru tahu setelah pelucutan selesai. Swift

    merujuk pada berita Madjallah Merdeka terbitan 30 September 1948, yang menyebutpara aktivis Front yang kemudian tertangkap mengaku tak tahu-menahu rencana

    Soemarsono yang disebut "agak terburu-buru" itu.

    Himawan Soetanto sependapat dengan Swift. Himawan melihat petinggi Front belum

    menghendaki gerakan bersenjata. Buktinya, kata dia, saat Peristiwa Madiun pecah,

    Musso dan Amir justru sedang bersafari di kota-kota lain buat menggalang dukungan.

    Himawan yang ikut operasi Siliwangi menyerang Madiun juga menilai perhitungan

    Soemarsono meleset. Pasukan-pasukan yang dianggap bakal memberikan dukungan malah

    berbalik menggempur Soemarsono, termasuk Kolonel Sungkono.

    Pada 17 September malam, suasana Pabrik Gula Rejoagung mencekam. Nugroho yang

    tinggal di Asrama Rejoagung diberi tahu malam itu akan terjadi sesuatu. "Kami diminta

    tenang dan jangan keluar," katanya.

    Lewat tengah malam terdengar letusan pistol. Tar, tar, tar! Tiga kali tembakan di pagi

    buta itu menandai bergeraknya serdadu Brigade 29.

    Soemarsono, yang mengendalikan pasukan dari Rejoagung, mengirim pasukan merangsek

    ke tiga titik di Madiun: markas Polisi Tentara Republik Indonesia, markas Brigade Mobil

    Polisi, dan basis "pasukan tengkorak" di Maospati, daerah perbatasan dengan Magetan.

    "Saya putuskan menyerang duluan," kata Soemarsono. "Bisa repot kalau saya harus

    menghadapi tiga pasukan itu sekaligus."

    Kalah dalam jumlah, lawan di markas Polisi Militer dan "pasukan tengkorak" dengan

    cepat ditekuk pasukan Soemarsono. Namun di markas polisi yang tak jauh dariRejoagung terjadi perlawanan sengit. Menurut Nugroho, kontak senjata di markas polisi

    itu terdengar sampai asramanya di Rejoagung. "Suara tembakan baru berhenti sekitar

    pukul empat pagi," ujarnya.

    Nugroho bercerita, semua aktivis Badan Kongres baru berani keluar asrama saat hari

    sudah terang dan melihat barisan panjang polisi digiring pasukan Soemarsono. "Panjang

    sekali, saya lihat ada yang belum berpakaian," ucapnya. "Semua digiring entah ke mana."

    Penyerangan rupanya meluas sampai ke tapal batas kota. Kantor polisi Gorang Gareng di

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    34/38

    perbatasan Madiun dan Magetan juga jadi sasaran. Sempat melawan, polisi akhirnya

    menyerah karena kehabisan peluru.

    Enam jam setelah pistol menyalak di Rejoagung, Brigade 29 sukses memukul

    lawan-lawannya. Madiun dan sekitarnya dikuasai penuh pasukan Front DemokrasiRakyat.

    Menurut Soemarsono, cuma dua anak buahnya yang tewas. Saat pemakaman mereka,

    Soemarsono berseru lantang, "Van Madiun begint de victorie!" Dari Madiun kemenangan

    dimulai.

    Soemarsono: Kami Tidak Memberontakhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page15.php

    KINI dia 89 tahun. Tapi ia bicara dengan tegas, jelas, sesekali meledak-ledak.

    Ingatannya terjaga baik, ia bercerita dengan runtut dan mendetail. Keriput di wajah,

    tubuhnya yang terlihat ringkih, tak kuasa menghalanginya bicara panjang lebar tentang

    sejarah pergerakan Indonesia. Ia menilai telah terjadi pemutarbalikan sejarah, dan itu

    tak adil baginya.

    Soemarsono, mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, juga bekas

    pemimpin Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), menganggap Peristiwa Madiun adalah

    bagian penting dari sejarah hidupnya.

    Dia berperan penting mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukanABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dalam

    http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page15.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page15.phphttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/musso/page15.php
  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    35/38

    beberapa jam, Soemarsono dan pasukannya melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan

    polisi militer di barak-barak mereka sendiri.

    Sebagian besar anggota Brigade 29 memang eks anggota Pesindo. Soemarsono bersama

    pasukan ini bertarung hidup-mati mempertahankan Surabaya dari serangan Inggris,pada 10 November 1945. "Meski bukan komandan di pasukan itu, pengaruh saya besar,"

    kata Marsono, begitu dia biasa disapa, sambil tertawa.

    Ditemui dua kali pada September lalu di rumah putrinya di Jakarta, Soemarsono, yang

    kini bermukim di Sydney, Australia, menceritakan kembali apa yang terjadi di Madiun

    dan sekitarnya pada akhir 1948. Ia tetap keras menolak peristiwa itu disebut sebagai

    pemberontakan.

    Banyak yang menyebut Peristiwa Madiun 1948 merupakan pemberontakan PKI.

    Saya menolak istilah pemberontakan untuk menyebut peristiwa yang terjadi di Madiun

    itu. Kami tidak berinisiatif untuk terlibat dalam bentrokan. Kami hanya membela diri.

    Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal

    September 1948. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan di kantor

    wali kota. Setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang, diculik tentara.

    Reaksi Anda?

    Saya tentu bertanya kepada komandan teritorial Tentara Nasional Indonesia di Madiun,

    Letkol Sumantri. Dia mengaku tidak tahu siapa yang menculik. Lho kok bisa, padahal

    kami mendapat informasi dari anak-anak Brigade 29 bahwa ketiga aktivis buruh itu

    ditahan di markas Siliwangi. Saya berkesimpulan, para penculik adalah tentara gelap

    yang tidak melapor saat masuk Madiun. Kami putuskan bergerak untuk membebaskan

    pemimpin buruh yang diculik.

    Apa yang kemudian terjadi?

    Saya akan ditangkap. Dokter Moestopo, kawan seperjuangan saya dari Surabaya, datang

    menemui saya di Pabrik Gula Rejoagung. Dia kolonel pasukan Siliwangi. Begitu bertemu,

    dia memeluk saya dan menangis. Saya bertanya, ada apa. Dia mengaku mendapat

    perintah untuk menangkap saya. Tentu saya marah. Saya berkata padanya, tangkap saja,

    tapi apa mungkin menangkap saya tanpa ada perlawanan.

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    36/38

    Lalu?

    Setelah itu, datanglah Kepala Korps Polisi Militer Madiun, Kapten Sunardi, ke tempat

    saya. Dia juga memberikan informasi bahwa saya akan ditangkap. Saya bertanya: soal

    apa. "Bung dianggap melawan pemerintah," kata Sunardi. Staf intelijen Pesindomenyampaikan kabar serupa. Sejak itu saya lebih berhati-hati.

    Anda merasa diteror?

    Suatu hari, seseorang menembak saya di pekarangan rumah. Tapi tembakannya meleset,

    dan peluru kena pohon. Sejak itu, saya bersiap-siap. Pasti ada yang menteror. Saya

    siapkan pistol di mobil, meskipun saya pergi ke mana saja tanpa sopir. Mobil saya waktu

    itu Chevrolet tahun 1942.

    Suasana Madiun saat itu?

    Banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo

    sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan

    melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam.

    Mengapa Anda merasa terdesak? Bukankah Madiun ketika itu basis PKI?

    Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Kabinet

    Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang

    kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Kami, yang tidak pernah

    bersekolah formal, tidak akan pernah menjadi perwira. Pendidikan tentara Divisi

    Senopati, misalnya, paling tinggi ongko loro (kelas dua SD). Kami semua akan diganti

    dengan tentara sekolahan. Siliwangi yang akan paling diuntungkan.

    Anda menuding Hatta ikut melakukan provokasi sampai terjadi Peristiwa Madiun?

    Hatta jelas melakukan provokasi. Dia yakin, jika masih ada orang PKI di aparatur

    pemerintah, Barat tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dia juga membebaskan

    Tan Malaka. Padahal semua orang tahu Tan Malaka musuh orang-orang PKI.

    Jadi, Anda yakin akan adanya Red Drive Proposal?

    Itu jelas. Proposal itu terkait dengan proses pengakuan de jure masyarakat

    internasional atas Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat meminta agar

    orang-orang kiri di pemerintahan disingkirkan dulu. Jika itu dilakukan, baru Indonesia

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    37/38

    akan mendapat pengakuan.

    Bagaimana Peristiwa Madiun bermula?

    Saya yang bertindak duluan, pada dinihari 18 September. Tepat pukul dua pagi, kamimelucuti pasukan Brimob, polisi militer, dan Siliwangi. Waktu itu jatuh korban tewas

    lima orang. Tiga orang dari mereka dan dua orang Brigade 29.

    Jadi tidak benar bahwa di Madiun ketika itu semua bendera Merah Putih diganti

    bendera merah palu-arit, dan ada ribuan muslim dimasukkan ke penjara. Setelah

    pelucutan pasukan, situasi Madiun biasa-biasa saja.

    Anda tidak berencana mengganti pemerintahan Sukarno-Hatta?

    Saya hanya mau melucuti lawan, supaya mereka tidak bisa menyerang kami lebih dulu.

    Kami hanya membela diri. Kami juga tidak punya rencana pemberontakan. Buktinya, pada

    pagi harinya kami kirim telegram ke Yogyakarta, melaporkan situasi di Madiun.

    Siapa yang mengirim telegram?

    Supardi, Wakil Wali Kota Madiun. Semula saya minta komandan teritorial, Letkol

    Sumantri, yang melapor. Dia tidak berani. Residen Madiun, Samadikun, tidak ada di

    tempat. Wali Kota Madiun juga tidak berani. Ya sudah, saya tunjuk Supardi. Saya bilang,

    kamu sebagai wakil wali kota lapor saja, minta instruksi dari pemerintah Hatta di Yogya,

    apa yang harus dilakukan.

    Di mana Musso saat itu?

    Ia sedang melakukan tur ke daerah-daerah. Sebelumnya, dia sempat mampir ke Madiun.

    Sebelum memutuskan bergerak, saya sudah menemui Musso dan Amir Sjarifoeddin di

    Kediri, di sebuah penginapan. Jadi saya bertindak atas perintah Musso.

    Kalau bukan pemberontakan, mengapa ada proklamasi pemerintahan Front Nasional?

    Itu bukan proklamasi pemerintahan baru. Kami hanya bersiap-siap, karena ada informasi

    bahwa kami akan diserang. Saat itu semua wakil partai juga diajak berembuk bersama di

    Balai Kota Madiun. Namun, setelah Sukarno berpidato di radio menuduh kami berontak,

    situasinya berubah. Pak Musso marah sekali. Pidato balasannya itu tanpa teks.

    (Rosihan Anwar dalam sebuah tulisan pernah menuliskan keadaan ini. "Malam tanggal 19September 1948 Presiden Sukarno bicara di depan RRI-Yogya dan meminta rakyat

  • 8/13/2019 TEMPO PeristiwaMadiun

    38/38

    memilih antara Muso-PKI dengan Sukarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di

    depan radio Madiun dan mengatakan 'rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa

    Sukarno-Hatta adalah budak-budak Jepang, dan Amerika dan kaum pengkhianat harus

    mati'." Red.)

    Apa yang Anda lakukan setelah Peristiwa Madiun?

    Saya disalahkan oleh pemimpin PKI yang baru di bawah D.N. Aidit. Saya di-black out

    oleh partai. Semua peran saya dihapus. Saya diminta tidak disiarkan sebagai orang yang

    terlibat peristiwa Surabaya 10 November, misalnya. Saya diminta menyingkir karena

    partai mau membangun kembali basisnya. Saya lalu pergi ke Pematang Siantar,

    Sumatera Utara, dan menjadi guru di sana. Tapi, begitu pecah peristiwa 1965, saya

    ditangkap lagi oleh Orde Baru.