TEKNOLOGI CSRT (CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI)
UNTUK IDENTIFIKASI EKOSISTEM PESISIR BERBASIS OBJEK
BIDANG PENELITIAN
PUSAT PENELITIAN, PROMOSI DAN KERJA SAMA
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
2017
ii
TEKNOLOGI CSRT (CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI)
UNTUK IDENTIFIKASI EKOSISTEM PESISIR BERBASIS OBJEK
PENGARAH
1. Kepala Pusat Penelitian Promosi dan Kerja Sama
2. Kepala Bidang Penelitian
PENANGGUNG JAWAB KEGIATAN PENELITIAN
Lalitya Narieswari, S.Si., M.Sc.
ANGGOTA PENELITI
Prof. Dr. Ir. Dewayany Sutrisno, M.AppSc.
Drs. Jaka Suryanta, M.Sc.
Aninda Wisaksanti Rudiastuti, S.Pi.
Fahrul Hidayat, S.T.
Florence Elfriede Sinthauli Silalahi, S.T.
Maslahatun Nashiha, S.Si.
Munawaroh, S.Si.
Bidang Penelitian Pusat Penelitian Promosi dan Kerja Sama
Gedung S Lantai 1 Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta Bogor Km.46 Cibinong 16911
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya Laporan Teknologi CSRT
(Citra Satelit Resolusi Tinggi) untuk Identifikasi Ekosistem Pesisir Berbasis Objek ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mengaplikasikan klasifikasi berbasis objek untuk
pemetaan sumberdaya pesisir dengan menggunakan CSRT di wilayah pesisir Indonesia.
Ekosistem pesisir yang dimaksud adalah ekosistem lamun, terumbu karang dan mangrove.
Klasifikasi yang dilakukan menggunakan algoritma klasifikasi standar maupun berbasis rule
set.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung dapat bermanfaat khususnya bagi Pusat
Pemetaan dan Integrasi Tematik (PPIT) yang terkait dengan pemetaan tematik maupun
berbagai pihak yang terkait dengan pemetaan pesisir.
Semoga laporan ini dapat memberikan kontribusi untuk semakin meningkatkan pemanfaatan
data geospasial pada segala bidang.
Cibinong, Desember 2017
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama
Kepala,
Dr. Wiwin Ambarwulan
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. i
Daftar Isi ............................................................................................................................................... iv
Daftar Tabel & Gambar ........................................................................................................................ v
I. Laporan Pelaksanaan Kegiatan .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2
C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ............................................................................ 2
D. Waktu Pelaksanaan Kegiatan ............................................................................... 18
E. Personil ............................................................................................................. 19
F. Luaran (Output) ................................................................................................. 20
G. Dampak (Outcome) ............................................................................................ 20
II. Laporan Ilmiah Penelitian ........................................................................................................... 21
v
DAFTAR TABEL & GAMBAR
Tabel 1. Rincian pelaksanaan rapat, workshop dan konsinyasi. ................................................... 3
Tabel 2. Waktu pelaksanaan penelitian .......................................................................................... 19
Tabel 3. Personil kegiatan penelitian. .............................................................................................. 19
Gambar 1. Dokumentasi kegiatan FGD. ......................................................................... 7
Gambar 2. Perencanaan Track survei............................................................................. 8
Gambar 3. Perencanaan Track survei............................................................................. 8
Gambar 4. Plot pengukuran kerapatan tajuk mangrove ................................................... 9
Gambar 5. Peta Kerja dengan citra GeoEye; (a). Pulau Onrust, (b). Pulau Kayangan, (c).
Pulau Bidadari, (d). Pulau Kelor. .................................................................. 10
Gambar 6. Peta Kerja dengan citra SPOT scene 1 & 2 di Pulau Tidung (a dan b). ............. 10
Gambar 7. Peta Kerja dengan citra SPOT scene 3-10 di Pulau Tidung (c - j). ................... 11
Gambar 8. Dokumentasi kegiatan survei hari pertama (a-f). ........................................... 12
Gambar 9. Dokumentasi Tim 1 di Pulau Kayangan (a-d) dan Tim 2 di Pulau Kelor (e-h). ... 13
Gambar 10. Dokumentasi Tim 1 di Pulau Onrust (a-d) dan Tim 2 di Pulau Bidadari (e-h). .. 14
Gambar 11. Dokumentasi Tim 1 di Pulau Tidung (a-d). .................................................... 15
Gambar 12. Dokumentasi Tim 2 (a-d) dan Tim 3 (e-f) di Pulau Tidung. ............................. 16
Gambar 13. Dokumentasi survei hari kelima di Pulau Tidung. ........................................... 17
Gambar 14. Dokumentasi stop & go track sekitar tubir di Pulau Tidung (a-b) dan Proses back-
up sample objek (c-f). ................................................................................. 18
1
I. Laporan Pelaksanaan Kegiatan
A. Latar Belakang
Pesisir merupakan daerah yang sangat dinamis. Wilayah pesisir secara ekologis
merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut. Wilayah pesisir
merupakan daerah peralihan yang mendapat pengaruh dari darat maupun dari laut dan
berbagai kegiatan. Wilayah pesisir yang relatif sempit tetapi memiliki potensi sumber daya
alam hayati dan non-hayati; sumber daya buatan; serta jasa lingkungan yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat. Pesisir merupakan tempat berbagai kegiatan manusia
baik sebagai tempat bermukim maupun melakukan berbagai kegiatan ekonomi. Potensi-
potensi tersebut perlu dikelola secara terpadu agar dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Data dan informasi mengenai sumberdaya pesisir perlu disediakan secara
komprehensif sehingga bermanfaat sebagai input pengelolaan wilayah.
Daerah lahan basah relatif sulit untuk dipetakan karena perubahan dinamis terkait
pengaruh kondisi darat dan laut karena perbedaan musim. Citra penginderaan jauh saat ini
adalah alat yang memungkinkan untuk pemetaan ekosistem lahan basah pada skala besar
mengingat resolusi temporal yang mampu menjawab perubahan dinamis pesisir. Terlebih lagi
dengan teknologi citra satelit resolusi tinggi (CSRT) yang mempunyai resolusi spasial hingga
0,6 m seperti Quickbird, Worldview-2 dan Geo-eye yang mampu mengenali dan memetakan
hingga jenis vegetasi pesisir. Saat ini, kebutuhan akan peta skala besar sangat mendesak
terkait dengan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Teknologi penginderaan jauh mampu menyajikan gambaran permukaan bumi secara
sinoptik dengan tingkat akurasi yang tinggi seperti dengan menggunakan citra satelit resolusi
tinggi. Objek sumberdaya pesisir seperti lamun, mangrove dan terumbu karang dapat
diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi (CSRT) ini, bahkan hingga
tingkat individu tanaman mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan CSRT (Kamal,
et al., 2014). Resolusi spasial CSRT hingga sekitar 0,5 meter yang memungkinkan setiap objek
dapat diidentifikasi dengan mudah. Interpretasi citra secara visual merupakan cara yang
selama ini banyak diterapkan dan terbukti memberikan ketelitian yang baik, namun proses ini
membutuhkan waktu dan sumber daya manusia yang jumlahnya tidak sebanding dengan
jumlah CSRT serta kebutuhan penggunaan hasilnya.
Pada pekerjaan pemetaan yang mencakup suatu wilayah yang luas maupun untuk
keperluan monitoring yang memerlukan data series, perlu dikembangkan metode otomasi
klasifikasi CSRT sehingga pekerjaan akan dapat dilakukan dengan lebih cepat tanpa
mengurangi tingkat akurasinya.
2
Salah satu pendekatan klasifikasi CSRT adalah dengan melakukan klasifikasi berbasis
objek. Berbeda dengan analisis berbasis piksel yang beroperasi berdasarkan nilai piksel,
analisis berberbasis objek berdasar pada pengelompokan nilai piksel menjadi objek yang
dibentuk menggunakan informasi yang terkandung dalam piksel berupa respon spektral, serta
menambahkan peran fitur spasial, seperti atribut geometri dan kontekstual (Definins, 2007).
Proses klasifikasi berbasis objek terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yaitu segmentasi dan
klasifikasi. Proses segmentasi adalah tahapan untuk membentuk sebuah objek dari kumpulan
piksel data, sedangkan proses klasifikasi adalah tahapan pemberian label pada masing-masing
objek. Klasifikasi bisa dikelompokkan dalam 5 kategori yaitu berbasis statistik, berbasis jarak,
berbasis pohon keputusan, berbasis jaringan syaraf, dan berbasis aturan. Tiap kategori
klasifikasi memiliki banyak pilihan algoritma, beberapa algoritma yang sering digunakan
adalah algoritma naive bayes, nearest neighbour, dan decision tree. Pada klasifikasi. Pada
klasifikasi berbasis aturan, rule set yang digunakan sebagai aturan bisa dikembangkan untuk
bisa diterapkan pada data yang lain yang memungkinkan proses otomasi klasifikasi.
Pendekatan analisis berbasis objek mengurangi 50% waktu proses dan 72% total biaya
yang dibutuhkan pada pemetaan tematik dibandingkan dengan metode interpretasi visual
pada pekerjaan pembuatan satu layer peta tematik (Narieswari, 2009). Otomatisasi proses
klasifikasi CSRT menggunakan pendekatan berbasis objek merupakan salah satu langkah yang
dapat ditempuh untuk menjawab permasalahan tersebut.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, pertanyaan dan tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana analisis berbasis objek dapat menghasilkan pemetaan/klasifikasi wilayah pesisir
dengan cepat tanpa mengurangi tingkat akurasi menggunakan CSRT dibandingkan dengan
interpretasi manual maupun klasifikasi berbasis piksel.
2. Membandingkan hasil klasifikasi OBIA wilayah pesisir dengan klasifikasi berbasis piksel
maupun interpretasi visual
3. Bagaimana operasionalisasi metode OBIA untuk pemetaan wilayah pesisir.
C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Kajian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan kegiatan, antara lain menyiapkan dan
menyusun rencana kerja penelitian, menyusun dan mengembangkan metodologi,
melaksanakan survei/uji lapangan, melakukan pengolahan data dan analisa, melakukan
3
evaluasi dan menyusun laporan hasil penelitian. Pelaksanaan tahapan kegiatan tersebut
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan berikut.
1. Rapat Teknis, Workshop dan Konsinyasi
Rapat koordinasi pembahasan kegiatan kajian ini dilaksanakan sebanyak 10 kali.
Workshop dan konsinyasi masing-masing dilaksanakan sebanyak 2 kali. Waktu pelaksanaan,
agenda dan hasil serta dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rincian pelaksanaan rapat, workshop dan konsinyasi.
No. Tanggal Agenda dan Hasil Dokumentasi
1. 3 Maret 2017
- Menentukan batasan penelitian,
- Review KAK; Research question, Kedetilan klasifikasi pemetaan yg dihasilkan, Metode, Lokasi, Data
- Kegiatan ini pula bersinergi dengan kegiatan uji SNI liputan dasar laut
- Output Papers dengan tema akurasi segmentasi dan hasil klasifikasi.
2. 3 April 2017
- Progres report terkait penugasan pada rapat sebelumnya;
- Pengambilan data Training Area (TA) yang dititpkan pada tim GCP.
- Perkembangan permintaan data Tahun 2016 dari PPIT
- Literatur terkait Pesisir, OBIA dan OBIA Pesisir
- Software yang akan digunakan.
- Penentuan outline papers
- Literatur review ekosistem pesisir untuk penelitian ini dan perbandingan ruleset untuk pesisir.
4
No. Tanggal Agenda dan Hasil Dokumentasi
3. 10 Mei 2017
- Rapat Progres report: uji coba segmentasi citra P. Karimata
- Klasifikasi ekosistem pesisir
4. 29 Mei 2017
- Workshop pengolahan data dengan ecognition
5. 15 Juni 2017
- Rapat - Uji coba ESP - Review manbangun
rule set
6. 17 Juli 2017
- Persiapan survey lapangan
- Penentuan lokasi
7. 31 Juli 2017
- Pembahasan peta kerja dan pre prosesing citra
-
5
No. Tanggal Agenda dan Hasil Dokumentasi
8. 4, 8, 11 Agustus 2017
- Workshop Alat Dasar Selam (ADS)
- Pengenalan penggunaan ADS
9. 15 September 2017
- Tindak Lanjut survei lapangan
- Pengolahan data GPS dan prosesing citra
10. 28 September 2017
- Pengolahan data Diving
6
No. Tanggal Agenda dan Hasil Dokumentasi
11. 29 September 2017
- Pelaporan dan pembagian tema KTI
12. 20 November 2017
- Pembahasan draft laporan kegiatan penelitian
13. 25-26 September 2017
- Konsinyasi Pengolahan Data dan Analisis Data Survei Lapangan
14. 27-29 November 2017
- Konsinyasi penyusunan draft laporan akhir Kajian literatur ekosistem pesisir.
- Pengolahan data citra SPOT Pulau Tidung.
- Analisis segmentasi menggunakan algoritma ESP
- Penyusunan rule set untuk klasifikasi lamun.
7
2. Focus Group Discussion (FGD)
FGD dilakukan untuk mendapatkan informasi dari narasumber ahli dari Institut Pertanian
Bogor yaitu Dr. Vincentius Siregar dan Dr. Mujizat Kawaroe. Tujuan pelaksanaan FGD ini
adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik ekosistem pesisir (mangrove, makro alga, seagrass, terumbu
karang) dan bagaimana direpresentasikan dalam spectral image data.
2. Mengidentifikasi bagaimana membedakan ekosistem pesisir (makro alga, seagrass,
terumbu karang) berdasarkan kunci interpretasi citra, sebagai acuan penyusunan rule set.
3. Mengidentifikasi preprocessing citra, khususnya CSRT, yang diperlukan dalam identifikasi
ekosistem pesisir.
4. Mengidentifikasi metode identifikasi/ekstraksi ekosistem pesisir (mangrove, makro alga,
seagrass, terumbu karang) dalam konteks spasial
5. Mengidentifikasi karakteristik fisiologis sebagai ciri khusus setiap ekosistem perairan
dangkal
Gambar 1. Dokumentasi kegiatan FGD.
3. Pengambilan data lapangan/Survei Lapangan
Survei lapangan dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari yaitu pada tanggal 14-20 Agustus
2017, di Kepulauan Seribu (Pulau Bidadari, Pulau kelor, Pulau Onrust, Pulau Kayangan dan
Pulau Tidung), Provinsi DKI Jakarta. Tujuan pelaksanaan kegiatan survei antara lain adalah
untuk Groundtruthing hasil interpretasi citra untuk ekosistem pesisir khususnya Lamun,
8
Terumbu Karang, Mangrove, dan Makro Alga di lapangan serta pengumpulan deskripsi sosial-
ekonomi lokasi survei.
a. Metode Pelaksanaan Survei
✓ Stop & Go. Tujuannya adalah memindai/ scanning luasan ekosistem bawah air;
menentukan point PQ atau QT dalam survey yang lebih mendetil; marking posisi kondisi
homogen (dalam luasan besar) untuk parameter abiotik (pasir, rubble, rock, dll) &
dokumentasi. Track survey dibuat sejajar dan tegak lurus terhadap garis pantai.
Gambar 2. Perencanaan Track survei.
✓ Plot Quadrat. Tujuannya adalah mengidentifikasi habitat/komunitas biotik (lamun,
karang, makro alga) bawah air (lifeform, kondisi, genus jika memungkinkan);
memperkirakan persentase tutupan; marking posisi dan dokumentasi. Proses identifikasi
habitat dan pencatatan data dilakukan hanya pada titik tertentu yang ditentukan dari
hasil survey secara Stop & Go (atau sudah ditentukan dari hasil interpretasi citra).
Surveyor mengambil data foto tegak lurus per transect (1 m x 1 m) dengan underwater
kamera.
Gambar 3. Perencanaan Track survei.
Kelas habitat dasar laut
Coastline
9
✓ Quadrat Transect. Tujuannya adalah mengidentifikasi habitat/komunitas biotik
(lamun, karang, makro alga) bawah air (lifeform, kondisi, genus jika memungkinkan);
memperkirakan persentase tutupan; marking posisi dan dokumentasi.
✓ Inventarisasi Mangrove. Tujuannya adalah memperoleh kelas tutupan tajuk
mangrove; variasi tahapan vegetasi (pohon/pancang/semai); identifikasi genus dan atau
spesies; analisis vegetasi jika dibutuhkan
Gambar 4. Plot pengukuran kerapatan tajuk mangrove
b. Penyusunan Peta Kerja
Peta kerja disusun menggunakan citra GeoEye (untuk (Pulau Bidadari, Pulau kelor, Pulau
Onrust, Pulau Kayangan) dan citra SPOT untuk Pulau Tidung. Peta kerja tersebut dapat dilihat
melalui Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7.
A: pengamatan semai (1 X 1 m, diameter <2 cm);
B: pengamatan pancang (5 X 5 m, diameter 2-10 cm);
C: pengamatan pohon (10 X 10 m, diameter >10 cm
10
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Peta Kerja dengan citra GeoEye; (a). Pulau Onrust, (b). Pulau Kayangan, (c).
Pulau Bidadari, (d). Pulau Kelor.
(a)
(b)
Gambar 6. Peta Kerja dengan citra SPOT scene 1 & 2 di Pulau Tidung (a dan b).
11
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
Gambar 7. Peta Kerja dengan citra SPOT scene 3-10 di Pulau Tidung (c - j).
12
c. Pelaksanaan Lapangan
Survei lapangan dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari, 14–20 Agustus 2017, detil kegiatan
selama pengambilan data adalah sebagai berikut:
✓ Hari Pertama (14 Agustus 2017)
Perjalanan ke lokasi survei Pulau Bidadari. Hal yang dilakukan pertama kali adalah
melakukan pengenalan lokasi dan survei pendahuluan untuk uji coba di Pulau Bidadari
menggunakan kapal dengan area kerja bagian timur dan selatan pulau. Dokumentasi
kegiatan dapat dilihat pada Gambar 8.
(a) Persiapan pemasangan alat foto
(b) Uji coba pengambilan foto transek
(c) Persiapan penurunan alat transek
(d) Pengambilan foto transek
(e) Contoh foto transek dengan objek
lamun dan makroalga
(f) Pelampung bebek alat bantu tracking
untuk menempatkan GPS
Gambar 8. Dokumentasi kegiatan survei hari pertama (a-f).
13
(a) Foto transek di pinggir pantai
(b) Stop & go tegak lurus pantai
(c) Pengisian form wawancara
(d) Kapal yang digunakan untuk survei
(e) Pengambilan transek
(f) Transek objek DCA dan makro alga
(g) Kondisi pantai barat laut-utara yang
sangat rentan abrasi
(h) Marking foto transek di lapangan
Gambar 9. Dokumentasi Tim 1 di Pulau Kayangan (a-d) dan Tim 2 di Pulau Kelor (e-h).
✓ Hari Kedua (15 Agustus 2017)
Team survei dibagi menjadi 2 tim menggunakan kapal kayu terpisah dengan lokasi survei
di Pulau Kayangan dan Pulau Kelor. Tim 1 melakukan stop & go dan quadrat transek
terhadap track dan sample yang telah ditentukan pada peta kerja serta melakukan
14
wawancara sosial ekonomi di Pulau Kahyangan. Tim 2 melakukan stop & go dan quadrat
transek terhadap track dan sample yang telah ditentukan pada peta kerja serta melakukan
wawancar sosial ekonomi di Pulau Kelor. Dokumentasi kegiatan dapat dilihat melalui
Gambar 9.
(a) Stop & go survey di P. Onrust
(b) Groundtruthing sample mangrove
(c) Pengisian form wawancara
(d) Sample objek keramba
(e) Persiapan stop & go
(f) Transek 50x 50 cm objek lamun
(g) Bulu babi yang banyak ditemukan
(h) Objek makro alga (chaulerpa)
Gambar 10. Dokumentasi Tim 1 di Pulau Onrust (a-d) dan Tim 2 di Pulau Bidadari (e-h).
15
✓ Hari Ketiga (16 Agustus 2017)
Tim survey dibagi menjadi 2 tim menggunakan 2 kapal terpisah, melakukan survei selama
setengah hari. Tim 1 melakukan stop & go dan quadrat transek terhadap track dan sample
yang telah ditentukan pada peta kerja serta melakukan wawancara sosial ekonomi di Pulau
Onrust. Tim 2 meneruskan survey yang telah dilakukan pada hari pertama di Pulau
Bidadari, yaitu melakukan stop & go dan quadrat transek terhadap track dan sample yang
telah ditentukan pada peta kerja serta melakukan wawancara sosial ekonomi. Tim
melakukan moving ke Pulau Tidung di sore hari. Dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada
Gambar 10.
✓ Hari Keempat (17 Agustus 2017)
Tim survei dibagi menjadi 4 tim menggunakan kapal dan sepeda motor untuk
menyelesaikan peta kerja scene 1 dan 2. Tim 1 melakukan stop & go sekitar tubir dan
sejajar garis pantai dengan menyelam pada kedalaman 3 dan 10 m. Tim 2 melakukan stop
& go track tegak lurus garis pantai dan foto transek. Tim 3 melakukan foto transek pada
training area di sekitar pantai. Tim 4 melakukan survei terhadap ekosistem mangrove.
Dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.
(a) Pengisian form stop & go oleh Tim
Diving
(b) Transek 50x50 cm dengan objek rubble
dan pasir
(c) Pengambilan foto transek 50 x 50 cm
(d) Tim diving melakukan stop & go
Gambar 11. Dokumentasi Tim 1 di Pulau Tidung (a-d).
16
(a) Identifikasi objek mangrove
(b) Marking foto transek dan stop & go
track tegak lurus pantai
(c) Transek objek lamun dan pasir
(d) Transek objek rubble
(e) Objek buatan untuk menahan ombak di
pantai selatan Pulau Tidung
(f) Marking objek pada foto transek
Gambar 12. Dokumentasi Tim 2 (a-d) dan Tim 3 (e-f) di Pulau Tidung.
✓ Hari kelima (18 Agustus 2017)
Tim survei dibagi menjadi 4 tim, untuk menyelesaikan peta kerja scene 5, 6 dan 7 (setengah
hari). Tim 1 melakukan stop & go sejajar tubir dengan menyelam pada kedalaman 3 dan
10 m. Tim 2 melakukan stop & go tegak lurus pantai dan foto transek scene 6 dan 7. Tim
3: Melakukan stop & go tegak lurus pantai dan foto transek scene 5 dan 6. Tim 4
melaksanakan wawancara dan penyelesaian administrasi di Kantor Kelurahan Pulau Tidung.
Dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada Gambar 13.
17
(a) Pengisian form stop & go
(b) Objek KJA di sekitar Jembatan Cinta
(c) Stop & go sejajar garis pantai di sekitar
tubir
(d) Objek terumbu soft coral
(e) Stop & go tegak lurus pantai
(f) Penahan gelombang di Pantai selatan
Gambar 13. Dokumentasi survei hari kelima di Pulau Tidung.
✓ Hari Keenam (19 Agustus 2017)
Tim survei dibagi menjadi 3 menyelesaikan peta kerja scene 8, 9, 10. Tim 1 melakukan
stop & go track sekitar tubir dengan menyelam pada kedalaman 3 dan 10 m. Tim 2
melakukan stop & go dan foto transek tegak lurus pantai peta kerja scene 8 dan 9. Tim 3
melakukan stop & go dan foto transek tegak lurus pantai peta kerja scene 9 dan 10. Pada
hari terakhir survey ini dilakukan pula back up sample objek yang didapatkan selama
survey. Dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada Gambar 14.
18
(a) Stop & go objek terumbu karang
(b) Pencatatan foto transek objek terumbu
(c) Pengambilan sampel makro alga
(d) Pengambilan gambar sampel objek
(e) Foto sampel substrat lumpur yang
ditemui di P. kelor
(f) Foto sampel substrat rubble
Gambar 14. Dokumentasi stop & go track sekitar tubir di Pulau Tidung (a-b) dan Proses
back-up sample objek (c-f).
D. Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan pada periode Januari-Desember 2017. Secara garis besar kegiatan
yang tercakup dalam penelitian digambarkan pada Tabel 2.
19
Tabel 2. Waktu pelaksanaan penelitian
Tahapan penelitian Model pelaksanaan
Waktu Pelaksanaan (Bulan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persiapan dan Penyusunan Rencana Kerja Penelitian
- Literatur review
- Rapat
Penyusunan dan pengembangan metodologi
- Rapat - FGD
Pengambilan data lapangan
- Rapat - Workshop
persiapan - Survei
lapangan
Pengolahan dan analisis data
- Literatur - Rapat - Konsinyasi
Penyusunan laporan dan draft Karya Tulis Ilmiah
- Literatur - Rapat - Konsinyasi
E. Personil
Personil kegiatan Penelitian Teknologi CSRT untuk Identifikasi Ekosistem Pesisir berbasis
Objek ini terdiri atas peneliti utama, peneliti madya, peneliti muda dan peneliti pertama,
dimana pembagian tugas tersebut menyesuaikan ruang lingkup tugas pokok masing-masing
jenjang serta kepakaran. Dalam pelaksanaan pengambilan data lapangan, survei lapangan
dibantu personil diluar bidang penelitian terkait kompetensi dalam pengambilan data
perairan/laut. Rincian nama personil beserta perannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Personil kegiatan penelitian.
No. Peran Nama Personil Kepakaran
1. Penanggung Jawab Ibnu Sofian Geodesi
2. Ketua Lalitya Narieswari GIS
3. Anggota Prof. Dewayany GIS
4. Anggota Jaka Suryanta GIS
5. Anggota Aninda Wisaksanti Kelautan
6. Anggota Florence Elfriede SS Geodesi
7. Anggota Munawaroh Geografi
8. Anggota Fahrul Hidayat Geodesi
9. Anggota Maslahatun Nashiha Geografi
10. Personil Masduki Kelautan
11. Personil Taufik Hidayatullah Kelautan
12. Personil Nurrahman Andrianto Kelautan
20
F. Luaran (Output)
Luaran dari kegiatan ini adalah terlaksananya Penelitian Teknologi CSRT untuk Identifikasi
Ekosistem Pesisir berbasis Objek dan tersusunnya karya tulis ilmiah terkait aplikasi Citra Satelit
Resolusi Tinggi untuk identifikasi ekosistem pesisir berbasis objek. Penelitian ini memberikan
pembaharuan informasi dan data spasial ekosistem pesisir di Kepulauan Seribu, khususnya
pada P. Tidung, P. Bidadari, P. Kelor, P. Onrust, P. Kayangan. Adapun fokus objek penelitian
ini adalah ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan makro alga. Output penelitian ini
terbagi 3 (tiga) diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Peta Ekosistem Pesisir Pulau Tidung, Pulau Bidadari, Pulau Kayangan, Pulau Onrust, dan
Pulau Kelor berbasis OBIA (Object Base Image Analysis) dengan skala output 1:10.000 dan
pengolahan berbasis segmentasi serta klasifikasi berbasis aturan/ruleset, dan berbasis
jarak.
2. Klasifikasi ekosistem pesisir berdasarkan hasil segmentasi citra resolusi tinggi, yaitu (a)
karang, (b) tubir, (c) lamun, (d) mangrove, (e) vegetasi pantai lainnya, (d) mix class
(lamun, karang mati, alga) dan (e) substrat (pasir).
3. Secara khusus, kajian ini menjabarkan bahwa keunikan dan perbedaan karakteristik setiap
ekosistem penyusun pesisir akan membutuhkan penyusunan ruleset yang berbeda,
sehingga penyusunan satu ruleset belum dapat diimplementasikan secara general pada
seluruh ekosistem pesisir.
G. Dampak (Outcome)
Hasil penelitian ini merupakan informasi geospasial yang dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah daerah terutama dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terkait
pengelolaan lingkungan pesisir secara berkelanjutan. Dinas terkait yang dapat memanfaatkan
hasil penelitian antara lain Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kab. Kepulauan Seribu. Hasil penelitian akan menjadi sumbangan referensi bagi dunia
penelitian terkait pengkayaan hasil penggunaan metode analisis CSRT berbasis objek
khususnya untuk wilayah pesisir.
21
II. Laporan Ilmiah Penelitian
22
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 22
DAFTAR TABEL ................................................................................................... 23
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... 24
A. PENDAHULUAN ............................................................................................ 25
1. Latar belakang ............................................................................................. 25
2. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 26
3. Kajian Literatur ............................................................................................ 26
3.1. Ekosistem pesisir ................................................................................. 26
3.2. Pendekatan analisis citra berorientasi objek ........................................... 33
B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 37
1. Data ........................................................................................................... 37
2. Metode ....................................................................................................... 37
2.1. Analisa citra inderaja ............................................................................ 37
2.2. Survey Lapangan ................................................................................. 38
C. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 38
1. Persiapan data ............................................................................................. 38
2. Pengukuran Lapangan (Groundtruthing) dan Klasifikasi Visual (Re-interpretasi) . 40
3. Klasifikasi berbasis obyek .............................................................................. 42
3.1. Segmentasi ......................................................................................... 42
3.2. Klasifikasi dengan aturan/Rule based ..................................................... 46
3.3. Klasifikasi berdasar jarak (Algoritma Nearest Neighbor) ........................... 50
4. Validasi ....................................................................................................... 52
D. KESIMPULAN ............................................................................................... 54
E. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 55
F. PUBLIKASI HASIL PENELITIAN ...................................................................... 58
23
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rule set untuk identifikasi mangrove ........................................................... 35
Tabel 2. Rule set/object attribute yang digunakan untuk identifikasi lamun ................. 36
Tabel 3. Rule set membership rule yang digunakan untuk identifikasi terumbu karang . 36
Tabel 4. Perbedaan citra yang sebelum dan sesudah dikoreksi. .................................. 39
Tabel 5. Jumlah titik interpretasi citra di P. Bidadari dan sekitarnya ............................ 40
Tabel 6. Jumlah titik interpretasi citra di P. Tidung .................................................... 42
Tabel 7. Parameter untuk segmentasi ...................................................................... 42
Tabel 8. Hasil segmentasi Pulau Tidung ................................................................... 43
Tabel 9. Hasil segmentasi Pulau Bidadari dan sekitarnya. .......................................... 44
Tabel 10. Rule set yang digunakan untuk analisis P. Bidadari dan sekitarnya. .............. 47
Tabel 11. Rule set yang digunakan untuk analisis P. Tidung ........................................ 49
Tabel 12. Perbandingan segmentasi dengan citra SPOT 6 dan World View-2 untuk Pulau
Tidung ..................................................................................................... 50
Tabel 13. Matriks uji ketelitian hasil klasifikasi objek dengan aturan (rule based). .......... 53
Tabel 14. Matriks uji ketelitian hasil klasifikasi objek dengan algoritma Nearest Neighbor
(KNN). ...................................................................................................... 54
24
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ekosistem pesisir (Nybakken, 1992) ............................................................ 26
Gambar 2. Gambaran umum zonasi mangrove pada pesisir. Sumber gambar: (modifikasi)
Wetlands International-Indonesian Programme. ........................................... 28
Gambar 3. Mekanisme adaptasi mangrove terhadap lingkungannya berdasarkan sistem
perakaran. Sumber gambar: Mangrove Bali & Nusa Tenggara (Rudiastuti et al.,
2016) ....................................................................................................... 29
Gambar 4. Beberapa jenis lamun di Indonesia ............................................................. 29
Gambar 5. Evolusi tipe terumbu menurut teori Charles Darwin. ..................................... 32
Gambar 6. Konsep segmentasi multiresolusi (Definiens, 2007) ...................................... 34
Gambar 7. Lokasi Penelitian (a) P. Tidung (Citra Spot 6) dan (b) Pulau Bidadari dan
sekitarnya (Citra Geo Eye). ........................................................................ 37
Gambar 8. Overview metode penelitian ....................................................................... 38
Gambar 9. Sebaran titik sampel P. Bidadari, P. Kelor, P. Onrust dan P. Khayangan.......... 40
Gambar 10. Hasil re-interpretasi visual citra Pulau Bidadari. ............................................ 41
Gambar 11. Sebaran titik sampel P. Tidung ................................................................... 41
Gambar 12. Graph Visualization hasil segmentasi Pulau Tidung pada Uji 1 ....................... 46
Gambar 13. Graph Visualization hasil segmentasi Pulau Bidadari, Pulau Kelor, Pulau Onrust
dan Pulau Khayangan pada Uji 1 ................................................................ 46
Gambar 14. Hasil Klasifikasi dan rule set yang digunakan untuk identifikasi pesisir. ........... 47
Gambar 16. Citra Pulau Kelor dan hasil klasifikasi menggunakan rule set. ......................... 48
Gambar 16. Citra Pulau Khayangan dan Onrust serta hasil klasifikasi menggunakan rule set
............................................................................................................... 48
Gambar 17. Hasil klasifikasi dan rule set yang digunakan untuk identifikasi ekosistem pesisir
............................................................................................................... 49
Gambar18. Perbandingan citra asli dan hasil segmentasi dan klasifikasi berdasar jarak
(algoritma nearest neighbour). ................................................................... 51
Gambar 19. Perbandingan hasil re-interpretasi visual dengan pixel based (density slice). .. 52
Gambar 20. Perbandingan overlay grid yang digunakan dalam melakukan validasi/uji
ketelitian klasifikasi dengan citra (a) dan dengan hasil re-interpretasi visual. .. 53
25
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Pesisir merupakan daerah yang sangat unik dan dinamis dinamis. Wilayah pesisir secara
ekologis merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, atau
biasa disebut dengan wilayah ekoton. Wilayah pesisir yang relatif sempit memiliki potensi
produk dan jasa yang sangat besar, seperti sumber daya alam hayati dan non-hayati,
sumber daya buatan, serta jasa lingkungan lainnya yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat. Potensi-potensi tersebut perlu dikelola secara terpadu agar dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pesisir juga merupakan tempat berbagai kegiatan
manusia baik sebagai tempat bermukim maupun melakukan berbagai kegiatan ekonomi yang
memanfaatkan sumberdaya alam laut maupun wilayah pantainya. Oleh karena itu, data dan
informasi mengenai sumberdaya pesisir perlu disediakan secara komprehensif sehingga
bermanfaat sebagai input pengelolaan wilayah.
Daerah pesisir, terutama wilayah intertidal dan subtidal, relatif sulit untuk dipetakan karena
perubahan dinamis terkait pengaruh kondisi darat dan laut karena perbedaan musim. Citra
penginderaan jauh saat ini adalah alat yang memungkinkan untuk pemetaan ekosistem yang
terletak pada wilayah tersebut pada skala besar mengingat resolusi temporal yang mampu
menjawab perubahan dinamis pesisir. Terlebih lagi dengan teknologi citra satelit resolusi tinggi
(CSRT) yang mempunyai resolusi spasial hingga 0,6 m seperti Quickbird, Worldview-2 dan
Geo-eye yang mampu mengenali dan memetakan hingga jenis vegetasi. Objek sumberdaya
pesisir seperti lamun, mangrove dan terumbu karang dapat diidentifikasi dengan
menggunakan citra satelit resolusi tinggi (CSRT) ini, bahkan hingga tingkat individu tanaman
mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan CSRT (Kamal, et al., 2014). Resolusi
spasial CSRT hingga sekitar 0,5 meter yang memungkinkan setiap objek dapat diidentifikasi
dengan mudah.
Interpretasi citra secara visual merupakan cara yang selama ini banyak diterapkan dan
terbukti memberikan ketelitian yang baik, namun proses ini membutuhkan waktu dan sumber
daya manusia yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah CSRT serta kebutuhan
penggunaan hasilnya. Oleh karena itu, pada pekerjaan pemetaan yang mencakup suatu
wilayah yang luas maupun untuk keperluan monitoring yang memerlukan data series, perlu
dikembangkan metode otomasi klasifikasi CSRT sehingga pekerjaan akan dapat dilakukan
dengan lebih cepat tanpa mengurangi tingkat akurasinya.
Salah satu pendekatan klasifikasi CSRT adalah dengan melakukan klasifikasi berbasis objek.
Berbeda dengan analisis berbasis piksel yang beroperasi berdasarkan nilai piksel, analisis
berberbasis objek berdasar pada pengelompokan nilai piksel menjadi objek yang dibentuk
menggunakan informasi yang terkandung dalam piksel berupa respon spektral, serta
menambahkan peran fitur spasial, seperti atribut geometri dan kontekstual (Definins, 2007).
Proses klasifikasi berbasis objek terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yaitu segmentasi dan
klasifikasi. Proses segmentasi adalah tahapan untuk membentuk sebuah objek dari kumpulan
piksel data, sedangkan proses klasifikasi adalah tahapan pemberian label pada masing-masing
objek. Klasifikasi bisa dikelompokkan dalam 5 kategori yaitu berbasis statistik, berbasis jarak,
berbasis pohon keputusan, berbasis jaringan syaraf, dan berbasis aturan. Tiap kategori
klasifikasi memiliki banyak pilihan algoritma, beberapa algoritma yang sering digunakan
adalah algoritma naive bayes, nearest neighbour, dan decision tree. Pada klasifikasi berbasis
aturan, rule set yang digunakan sebagai aturan bisa dikembangkan untuk bisa diterapkan
pada data lain yang memungkinkan proses otomasi klasifikasi.
26
Pendekatan analisis berbasis objek mengurangi 50% waktu proses dan 72% total biaya yang
dibutuhkan pada pemetaan tematik dibandingkan dengan metode interpretasi visual pada
pekerjaan pembuatan satu layer peta tematik (Narieswari, 2009a). Otomatisasi proses
klasifikasi CSRT menggunakan pendekatan berbasis objek merupakan salah satu langkah yang
dapat ditempuh untuk menjawab permasalahan tersebut.
2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah:
a. Memetakan/mengklasifikasikan wilayah pesisir berbasis obyek dengan menggunakan
CSRT dan membandingkanya dengan interpretasi visual maupun pixel based.
b. Menyusun rule set yang operasional atau transferabel untuk bisa diterapkan untuk
klasifikasi.
c. Mengkaji operasionalisasi (transferability) dari rule set yang dikembangkan untuk bisa
diterapkan pada citra lain atau pada tipe ekosistem pesisir yang berbeda.
3. Kajian Literatur
3.1. Ekosistem pesisir
Pantai, atau secara umum disebut pesisir merupakan interface antara tiga system utama pada alam dipermukaan bumi yakni atmosfer, lautan, dan daratan. Proses diantara ketiganya menentukan bentuk dan tipe pesisir, sedangkan interaksi antara ketiganya membuat zona pesisir menjadi sangat dinamis. Wilayah pesisir pun merupakan zona transfer material dari daratan menuju lautan, dimana didalamnya terjadi proses pengkikisan sedimen, terpindahkan ke pantai, terendapkan di dasar laut, atau bahkan terakumulasi dipesisir membentuk daratan baru (Arnott, 2009).
Seperti halnya sebuah sistem, lingkungan pesisir memiliki kompleksitas yang tinggi. Dari sisi sosial budaya, sebagian besar populasi dunia diketahui berdiam diwilayah pesisir dan bergantung pada sumberdaya di laut dan pesisir sebagai mata pencahariannya. Dari sisi geografi, wilayah pesisir merupakan region yang vital bagi transportasi dan perdagangan. Dengan demikian, kualitas wilayah pesisir sebagian besar ditentukan oleh aktivitas manusia di daratan. Pencemaran dan polutan, sedimentasi, deforestasi, dan pengurangan debit air dari hulu, semuanya akan memiliki dampak terhadap pesisir (Wang, 2009).
Gambar 1. Ekosistem pesisir (Nybakken, 1992)
27
Melihat secara lebih spesifik pada sumberdaya hayati pesisir, maka terdapat tiga ekosistem utama pesisir yang mendominasi wilayah tropis, mangrove, lamun, dan terumbu karang. Berangsur-angsur peralihan dari darat yang dicirikan oleh lahan basah yang terendam pasang surut pada periode tertentu seperti mangrove dan lamun, hingga pada ekosistem bentik laut dangkal seperti terumbu karang. Ketiga ekosistem ini memiliki fungsi dan jasa lingkungan yang besar (Gambar 1). Fungsi ekologis, biologis, edukasi, dan ekonomi telah terbukti tersedia dengan baik oleh ketiga ekosistem pesisir tersebut. Fungsi ekologis sebagai sumber makanan bagi biota laut, tempat memijah, dan nursery ground. Fungsi ekonomi sebagai sumber mata pencaharian, dan jasa wisata bahari.
Beragam fungsi yang disediakan memastikan tingginya tingkat ketergantungan makhluk hidup terutama manusia terhadap pesisir dan memiliki dampak terhadap kualitas air, dinamika ekologi, kesehatan ekosistem, dan diversitas biologinya. Dengan demikian monitoring terhadap kondisi pesisir mutlak dibutuhkan.
Dalam ranah spasial dan temporal, seluruh skala penelitian bersifat relevan untuk ekosistem pesisir. Hal ini, disebabkan pola dan proses yang berpengaruh pada pesisir dapat berlaku pada skala local hingga luas. Sifat kompleks ekosistem pesisir menjadikan pentingnya memonitor perubahan dan fenomena pada ekosistem pesisir. Teknologi penginderaan jauh menjadi satu- satunya metode praktis untuk memetakan dan memonitor fenomena khususnya diwilayah pesisir, saat ini. Perubahan luas, pola pasang surut, indeks vegetasi, sedimentasi, serta perubahan garis pantai dapat ditelusuri secara efisien dan efektif dengan data penginderaan jauh. Dengan demikian, kemampuan untuk memproses dataset yang massif untuk memonitor ekosistem pesisir dalam skala luas tidak terelakkan lagi (Wang, 2009), dan data resolusi detil menjadi sebuah kebutuhan.
1. Pemetaan Habitat Bentik
Pemanfaatan data penginderaan jauh telah menunjukkan peluang pemetaan ekosistem pesisir selama lebih dari satu dekade. Pemetaan mangrove memanfaatkan kanal merah dan infra merah, sedangkan kanal biru sangat diperlukan dalam pemetaan terumbu karang dan lamun yang umumnya berada dibawah permukaan air. Citra multispektral telah banyak digunakan dalam pemetaan pesisir dan juga habitat bentik di perairan dangkal dengan tingkat akurasi yang relative baik (Andrefouet et al., 2003; Phinn et al., 2012; Roelfsema et al., 2014). Baik citra resolusi menengah seperti Landsat dan resolusi tinggi seperti Quickbird, Worldview, dan produk Digital Globe telah memberikan variasi hasil dalam pemetaan habitat bentik, khususnya dalam segi klasifikasi (Capolsini et al., 2003; El-Askary dkk. 2014; Phinn dkk., 2012). Meninjau kompleksnya kondisi ekosistem pesisir serta besarnya ancaman yang sewaktu-waktu dapat terjadi, maka manajemen spasial untuk kawasan pesisir sangat dibutuhkan. Perencanaan berbasis spasial tidak terlepas dari kebutuhan akan variasi resolusi spasial dari data dasar, salah satunya data penginderaan jauh. Lebih dari itu, pemilihan metode untuk menghasilkan peta habitat pun menunjang ketepatan, kecepatan waktu dan kedalaman informasi yang hendak dihasilkan. Namun demikian, tidak dapat dikesampingkan bahwa data multispektral pun masih memiliki keterbatasan terutama pada saat pemetaan habitat perairan dangkal. Hal ini disebabkan oleh adanya penetrasi panjang gelombang visual kedalam air yang berdampak pada tingginya noise (Eugenio et al., 2015). Citra multispektral pada umumnya hanya dapat dengan yakin memetakan habitat bentik pada tingkat paling umum yaitu terumbu karang, lamun, alga makro, dan pasir (Green et al., 2000 in Wicaksono, 2016).
2. Mangrove
Ekosistem mangrove, atau dalam bahasa yang umum sering disebut sebagai hutan bakau merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, yang tumbuh dan berkembang di
28
daerah pasang-surut, terutama di laguna, muara sungai, dan pantai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir. Beberapa peneliti mangrove menyebut sebagai mangal (FAO, 2007) yang merupakan perpaduan antara (bahasa Portugis) mangue dan (bahasa Inggris) grove (Kathiresan dan Bingham, 2001). Sementara itu, Mastaller (1997) menyebutkannya berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Mangrove merupakan bagian dari hutan pantai yang dapat ditemukan di sekitar muara sungai yang terlindung, di sepanjang tepi sungai, dan di laguna yang terdapat di wilayah-wilayah tropis dan atau subtropis.
Berdasarkan penelitiannya selama beberapa tahun, Tomlinson (1987) membagi spesies-spesies mangrove menjadi tiga kelompok besar, yaitu spesies mangrove mayor, spesies mangrove minor, dan asosiasinya (sering disebut sebagai mangrove ikutan atau mangrove pendamping). Spesies mangrove minor merupakan elemen-elemen vegetasi yang kurang mencolok, biasanya berada di tepian, dan jarang dapat membentuk tegakan-tegakan murni. Sementara itu, spesies mayor merupakan mangrove sejati dan dapat dikenali dengan ciri-cirinya seperti berikut (Kathiresan dan Bingham, 2001):
a. Didapati secara eksklusif di habitat mangrove itu sendiri. b. Memainkan peranan utama dalam struktur komunitas mangrove c. Memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan-tegakan murni. d. Memiliki morfologi khusus untuk beradaptasi dengan lingkungan pesisir (akar, kulit,
daun) e. Memiliki fungsi reproduksi untuk menghadirkan generasi berikutnya. f. Terisolasi secara taksonomi dari keluarga terestrialnya.
Gambar 2. Gambaran umum zonasi mangrove pada pesisir. Sumber gambar: (modifikasi) Wetlands International-Indonesian Programme.
Zonasi mangrove berdasarkan jenis mangrove yang tumbuh dari laut ke darat pada umumnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan Nypa (Gambar 2). Hal tersebut didasarkan pada kondisi adaptasi masing-masing jenis terhadap salinitas. Selain itu, para ahli juga membedakan zonasi mangrove berdasarkan perbedaan waktu penggenangan, menjadi zona mangrove pantai; zona mangrove muara (tengah); dan zona mangrove sungai (belakang). Sementara menurut geomorfologinya, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam zonasi berikut (Kathiresan dan Bingham, 2001): overwash mangrove forest; fringe mangrore forest; riverine mangrove forest; basin mangrove forest; hammock forest; dan scrub atau dwart forest.
Berdasarkan kenampakan fisik tumbuhan atau pohonnya, mangrove dapat dikelompokkan menjadi jenis: pohon, semak, merambat (liana), paku atau pakis, dan rumput (herba). Sedangkan berdasarkan bentuk akarnya, mangrove dapat dibedakan menjadi beberapa jenis (Gambar 3), antara lain: akar tunjang (still root), akar pensil (pneumatophora), akar lutut (knee root), akar papan (plank root), dan banir (butress).
Avicennia Rhizophora Bruguiera Nypa
29
Gambar 3. Mekanisme adaptasi mangrove terhadap lingkungannya berdasarkan sistem perakaran. Sumber gambar: Mangrove Bali & Nusa Tenggara (Rudiastuti et al., 2016)
FAO, 2007 menyatakan bahwa wilayah mangrove yang terluas terdapat di benua Asia, kemudian diikuti oleh Afrika, dan Amerika Utara dan Tengah. Sebagai ilustrasi, data yang berasal dari Kementerian Kehutanan Tahun 1982 menyebutkan bahwa luas total area lahan mangrove di wilayah Indonesia adalah 4,25 juta hektar, yang secara sektoral disebut sebagai kawasan hutan (state forest area), tetapi kemudian nilai ini merosot terus hingga menjadi 3,9 juta hektar saja pada tahun 2003 (Bakosurtanal, 2009). Berperan sebagai perisai pesisir dengan nilai ekonomi dan fungsi ekologis yang sangat besar, pengelolaan hutan bakau selalu menantang untuk dipelajari. Sebagai salah satu negara dengan kepulauan terbesar di dunia dengan habitat hutan mangrove terbesar di seluruh dunia, Indonesia membutuhkan data dasar hutan mangrove nasional dan pembaharuan pengelolaan pesisirnya (Rudiastuti et al., 2016). Dengan demikian, pemanfaatan data penginderaan jauh untuk inventarisasi data pesisir khususnya mangrove mutlak diperlukan.
3. Padang Lamun
Lamun (sea grass) merupakan tumbuhan sejati dari kelas Angiospermae yang telah beradaptasi dengan sempurna untuk hidup terbenam dalam laut. Lamun memiliki rhizoma, daun dan akar sejati, dan dijumpai baik di perairan pantai pulau-pulau utama maupun rataan terumbu dan gobah pulau-pulau karang. Dasar jenis substrat tempat hidup lamun adalah lumpur, pasir halus, pasir kasar, kerikil, puing karang mati atau campuran dari substrat tersebut (Kiswara, 1999). Padang lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan perairan sekitarnya menjadi lebih tenang, dengan demikian padang lamun bertindak sebagai perangkap sedimen dan pelindung pantai, pencegah erosi (Nontji, 1993).
Gambar 4. Beberapa jenis lamun di Indonesia
16 jenis dari 7 marga tumbuhan Lamun ditemukan di perairan Asia Tenggara, dimana jumlah jenis terbesar ditemukan di perairan Filipina (16 jenis) atau semua jenis yang ada di perairan Asia Tenggara ditemukan juga di Filipina. Padang lamun di Indonesia menyebar hampir di seluruh perairan terutama di perairan yang dangkal dan jernih, yang terdiri dari tujuh marga lamun (Gambar 4). Tiga genus dari suku Hydrocaritaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan
30
Halophila, sedang empat genus lainnya dari suku Pomagetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron (Nontji, 1993). Berdasarkan hasil penelitian di Kepulauan Seribu, jenis lamun yang ditemukan di kawasan Kepulauan Seribu terdiri dari tujuh jenis yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium (Feryatun dkk, 2007).
Karakteristik ekologis padang lamun antara lain adalah: a. Terdapat di perairan pantai yang landau, pada dataran pasang surut, di dataran
lumpur/pasir. b. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu
karang. c. Dapat hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung. d. Membutuhkan intensitas cahaya yang cukup dalam perairan. e. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya
terbenam air termasuk daur generative. f. Beradaptasi dengan baik dengan salinitas. g. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Azkab (1988), menyebutkan bahwa peranan ekosistem lamun bagi biota laut dan keberlangsungan ekosistem pesisir antara lain adalah:
a. Produsen primer, dimana tingkat produktifitas primer Lamun adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem laut dangkal lainnya seperti ekosistem terumbu karang;
b. Habitat, yakni sebagai penyedia tempat tinggal, memijah, nursery bagi banyak spesies ikan karang dan biota perairan lainnya. Habitat lamun dengan tutupan padang lamun yang luas umumnya memiliki kepadatan meiofauna tertinggi, sedangkan jumlah kepadatan meiofauna terendah berada pada lokasi yang tanpa tutupan lamun (Pujianti, 2008);
c. Sediment trap, hal ini disebabkan rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Lebih dari itu, lamun memiliki morfologi daun yang mampu mereduksi kecepatan arus dan ombak dipesisir sehingga perairan menjadi lebih tenang.
d. Pendaur ulang zat hara, dimana Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut.
4. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem tertua di dunia yang memiliki peran penting secara biologi dan ekonomi. Sebagai ekosistem khas perairan tropis, terumbu karang merupakan struktur dasar lautan yang terbentuk dari deposit kalsium karbonat (CaCO3) oleh avertebrata dari filum Coelenterata (hewan karang). Berdasarkan kemampuan memproduksi kapur, karang dikelompokkan menjadi dua yakni karang hermatipik (reef – building corals) dan karang ahermatipik (non reef–building corals) (Veron, 1995). Karang hematipik merupakan karang yang mampu menghasilkan terumbu, dan sebaliknya untuk karang ahermatipik. Kemampuan karang hermatipik dalam menghasilkan endapan kapur tidak terlepas dari simbiosis mutualismenya dengan zooxanthellae, sejenis dinoflagelata (Gymnodinium microadriatum) yang berdiam dalam polip hewan karang dan memiliki kemampuan berfotosintesis (Sorokin, 1995). Satu individu karang atau disebut polip karang mempunyai ukuran yang beranekaragam dimulai dari polip yang berukuran kecil (± 1 mm) sampai yang berukuran besar (>50 cm). Aktivitas hewan karang ini mampu membentuk suatu kerangka atau bangunan dari kalsium karbonat (CaCO3) sehingga mampu menahan gelombang laut yang kuat (Nybakken, 1992).
31
Terumbu karang memiliki beberapa faktor pembatas terkait lingkungan tempatnya untuk dapat tumbuh dan berkembang (Chappel, 1980; Nybakken, 1992), antara lain:
a. Perairan tropis dengan suhu perairan 18 - 30 °C, b. Kedalaman air kurangnya dari 50 meter, c. Salinitas air laut 30 – 36 per mil (‰), d. Laju sedimentasi relatif rendah dengan perairan yang relatif jernih, e. Pergerakan air/arus yang cukup, f. Perairan yang bebas dari pencemaran, dan g. Substrat yang keras.
Secara geomorfologi, pertumbuhan terumbu karang dapat dibagi menjadi beberapa tipe umum (Nybakken 1992; Kench dkk, 2014) yaitu: 1. Terumbu karang tepi (Fringing reef)
Umumnya berkembang disepanjang pantai, terletak di tepi lempengan benua dan di sekeliling pulau-pulau, mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter, yang jaraknya kurang dari 100 meter dari garis pantai ke arah laut. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar, terumbu karang batu cenderung memunyai pertumbuhan yang kurang baik bahkan banyak mati karena mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat, tipe terumbu karang seperti ini paling umum ditemukan di Indonesia.
2. Terumbu karang tipe penghalang (Barrier reef). Secara umum, terumbu karang penghalang atau barrier reefs menyerupai terumbu karang tepi, hanya saja jenis ini hidup lebih jauh dari pinggir pantai. Terumbu karang ini terletak sekitar 0.52 km ke arah laut lepas dengandibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putusterletak di tepi lempengan benua yang dipisahkan oleh goba/lagoon yang dalam dengan jarak yang cukup jauh dari daratan. Pada umumnya ekosistem karang batu dapat tumbuh pada tipe karang penghalang. Pada dasarnya tipe terumbu karang penghalang tumbuh memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Great Barrier Reef yang berderet di sebelah timur laut Australia dengan panjang 2000 km, sedangkan yang terbesar di Indonesia adalah terumbu Sunda Besar yang terdapat di Selat Makassar dengan panjang mencapai 600 km, Batuan Tengah (Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), dan Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).
3. Terumbu karang cincin (Atol). Adalah terumbu karang yang tumbuh mengitari suatu goba/lagoon dan biasanya terdapat di lepas pantai. Kedalaman goba di dalam atoll sekitar 45 meter namun jarang sekali ditemukan sampai 100 meter seperti terumbu karang penghalang. Di prediksi bahwa asal mula atol berasal dari terumbu karang tepi pada sebuah gunung berapi yang secara perlahan-lahan tenggelam disebabkan oleh adanya perubahan tinggi permukaan laut dan terjadi penumpukkan sedimen karang yang semakin berat. Contohnya atol di Pulau Taka Bona Rate di Laut Flores, Sulawesi Selatan dengan luas 2.960 km2 (Tomascik, 1997). Terumbu karang ini dalam proses pembentukannya memerlukan waktu beratusratus tahun. Terumbu karang cincin (atol) biasanya terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah jauh dari daratan Contoh terumbu karang ini adalah terdapat di Takabonerate Sulawesi Selatan.
4. Terumbu karang datar atau gosong terumbu (patch reefs). Terumbu karang yang terisolasi yang tumbuh dari dasar terbuka dari platform pulau atau landas kontinen. Terumbu tipe ini biasanya terjadi antara terumbu tepi dan terumbu
32
penghalang. Ukurannya sangat bervariasi, dan jarang sampai di permukaan air. Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh)
Gambar 5. Evolusi tipe terumbu menurut teori Charles Darwin.
Alevizon (2015) memaparkan terkait Evolusi tipe terumbu karang menurut teori Charles
Darwin (Gambar 5). Pada mulanya terumbu karang mulai tumbuh di dekat garis pantai pulau
baru karena kondisi ekologi menjadi ideal untuk pertumbuhan karang (fringing reef).
Selanjutnya, pada saat pulau mulai menjorok ke laut, gugusan karang tepi mampu
mengimbangi pertumbuhan dan tetap berada di permukaan laut, namun menjadi bertumbuh
lebih jauh dari pantai, dan menjadi karang penghalang (Barrier reef). Seiring berjalan waktu,
saat pulau (daratan) semakin tenggelam ke bawah permukaan laut, sehingga menyisakan
cincin karang yang mengelilingi laguna tengah; dan sebuah atol terbentuk.
Pada negara kepulauan terbesar di dunia seperti Indonesia, memiliki sumberdaya alam hayati
laut seperti terumbu karang adalah hal yang sangat potensial. Ekosistem dengan tingkat
keanekaragamannya dan produktifitas paling tinggi ini memiliki manfaat yang sangat besar
dan beragam, baik secara langsung, seperti pemanfaatan sumber daya ikan dan biota laut
lainnya, dan pariwisata, maupun manfaat tidak langsung, seperti konversi energy, pemecah
gelombang, sumber keanekaragaman hayati dan penyedia jasa ekologis (tempat mengasuh,
tempat mencari makan dan tempat pemijahan) bagi biota laut lainnya (PMO-COREMAP, 2001).
Keberadaan terumbu karang mendukung kondisi produktivitas suatu perairan laut. Meskipun
demikian, terumbu karang menghadapi sejumlah ancaman serius baik secara alami maupun
akibat aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang mengancam keberadaan ekosistem terumbu
karang antara lain pembangunan di kawasan kepesisiran, pencemaran oleh kegiatan
perkapalan, penangkapan ikan yang merusak, serta sedimentasi.
Terumbu karang di Teluk Jakarta terancam oleh berbagai aktivitas manusia tersebut, bahkan sejak tahun 1985 telah dilaporkan kemerosotan kondisi terumbu karang, dimana persentase tutupannya hanya tersisa 2% (LIPI, 2007).
Disebelah utara Teluk Jakarta, Perairan Kepulauan Seribu yang merupakan bagian dari Laut Jawa, memiliki ekosistem pesisir seperti terumbu karang, padang lamun, hutan bakau, dan
33
perairan lepas pantai. Perairan tersebut memiliki potensi beranekaragam ikan/biota dan beberapa jenis bernilai tinggi karena merupakan komoditas ekspor. Secara administratif kawasan Kepulauan Seribu merupakan kabupaten baru dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang juga merupakan salah satu perwakilan kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yakni sebagai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 162/Kpts-II/1995, tanggal 23 Maret 1995, luas Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah 107.489 hektare, terletak pada posisi geografis antara 106º 25’–106º 37’ BT dan 05º 23’–05º 40’ LS. Pulau Tidung menjadi salah satu anggota dari 106 pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Seribu. Perairan Utara Pulau Tidung Perairan Pulau Tidung mempunyai luasan rataan karang yang memanjang dari barat sampai ke timur. Kondisi terumbu karang masih bagus dan merupakan area perlindungan laut yang luasnya mencapai 10 ha dan berjarak kurang lebih 200 m dari pantai. Rataan karang berada pada kedalaman 1–5 meter kemudian mulai kedalaman 7 meter tingkat kemiringan topografi dasar perairan lebih dari 30°. Variasi karang acropora, non acropora, dead coral, algae, lamun, dan abiotic lainnya dapat dijumpai pada pesisir utara dan selatan P. Tidung.
Beragam kondisi ekosistem pesisir dan besarnya peluang ancaman, meningkatkan kebutuhan akan upaya pengelolaan lingkungan yang baik untuk menjaga dan melestarikannya. Analisis keruangan (spasial) dapat menyajikan gambaran wilayah secara menyeluruh (holistik), sehingga mampu digunakan dalam upaya pengelolaan lingkungan (Prayudha, 2013). Dalam dunia penginderaan jauh, Terumbu karang adalah struktur biogenik terbesar dan hanya struktur yang nampak dari ruang angkasa (Mumby dan Steneck, 2008). Pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit tidaklah tanpa keterbatasan. Berdasarkan teori radiative transfer, kemampuan penetrasi panjang gelombang tampak biru pada kedalaman 20 meter hanya sekitar 60% (Schmugge, 1992). Menurut Lyzenga (1978) pantulan dasar perairan tidak dapat diamati secara langsung dari citra satelit karena dipengaruhi oleh serapan dan hamburan pada lapisan permukaan air. Pengaruh ini dapat dihitung, jika pada setiap titik di suatu wilayah diketahui kedalaman dan karakteristik optis airnya. Prinsip ini sebagai dasar untuk mengembangkan teknik penggabungan informasi dari beberapa saluran spektral untuk menghasilkan indeks pemisah kedalaman (depth invariant index) dari material penutup dasar perairan. Parameter masukan dalam algoritma ini adalah perbandingan antara koefisien pelemahan air (water attenuation coefficient) pada beberapa saluran spektral. Algoritma ini menyadap informasi material penutup dasar perairan berdasarkan kenyataan bahwa sinyal pantulan dasar mendekati fungsi linier dari pantulan dasar perairan dan merupakan fungsi eksponensial dari kedalaman.
3.2. Pendekatan analisis citra berorientasi objek
Berbeda dengan analisis berbasis piksel, yang beroperasi secara langsung pada satu piksel,
analisis berorientasi objek didasarkan pada piksel yang dikelompokkan ke dalam objek gambar
bermakna yang dibuat dengan mempertimbangkan informasi tekstur, kontekstual dan
spektral dan menggunakan banyak skala dengan menghasilkan objek. dengan ukuran berbeda
(Definiens, 2007). Analisis berorientasi objek terdiri dari dua bagian. Yang pertama
menyiapkan objek gambar berdasarkan segmentasi dan yang kedua memungkinkan klasifikasi
mereka. Set aturan kemudian digunakan untuk mengklasifikasikan objek gambar berdasarkan
sifat spektral atau non spektralnya. Sifat spektral bisa menjadi pancaran rata-rata dari suatu
benda dan sifat non spektral dapat dikaitkan dengan ukuran atau bentuk objek. Selama proses
ini, dua pertanyaan penelitian dapat dijawab, yaitu bagaimana mengatur rule set yang dapat
dikembangkan dan jenis kelas apa yang dapat diambil dari foto udara digital.
34
Analisis berorientasi objek dalam penelitian ini dilakukan di Definiens Developer 7, sebelumnya
eCognition, perangkat lunak perintis untuk analisis citra berorientasi objek untuk bisnis
komersial (Benz et al., 2004).
1. Segmentasi gambar multi-resolusi.
Elemen dasar analisis berorientasi objek adalah objek gambar. Objek gambar ini dibuat dalam
sebuah langkah yang disebut segmentasi (Gambar 6), yaitu pembagian subyektif citra digital
menjadi segmen yang agak homogen di dalamnya dan memiliki bentuk dan ukuran tertentu.
Segmen ini digunakan untuk awalnya mengklasifikasikan objek gambar yang dihasilkan
dengan sifat fisiknya (warna, tekstur dan bentuknya). Mereka berfungsi sebagai blok
bangunan untuk diproses lebih lanjut. Objek gambar terkecil adalah satu piksel. Segmentasi
ini harus dilakukan untuk menghasilkan objek yang berarti yang berarti bahwa setiap objek
dunia nyata diwakili oleh objek gambar yang sesuai. Segmentasi gambar yang sesuai untuk
menghasilkan objek gambar adalah kunci untuk analisis berorientasi objek.
Gambar 6. Konsep segmentasi multiresolusi (Definiens, 2007)
Mendefinisikan ukuran dan bentuk objek primitif citra yang sesuai adalah langkah terpenting
untuk memiliki analisis citra yang berhasil. Yang harus diperhatikan adalah hasil segmentasi
citra sangat bergantung pada data citra dan tujuan penelitian. Tidak ada standar untuk
menentukan parameter segmentasi. Sebagai aturan praktis, primitif objek bagus berukuran
semaksimal mungkin, namun cukup kecil untuk dijadikan blok bangunan agar objek dapat
dideteksi pada gambar (Definiens, 2007).
Dalam perangkat lunak Definiens, generasi ukuran objek gambar dikendalikan oleh parameter
skala. Skala ini mengendalikan ukuran objek gambar rata-rata dengan menentukan batas atas
atau maksimal heterogenitas yang diperbolehkan selama proses segmentasi. Skala yang lebih
besar semakin banyak benda yang bisa disatukan dan semakin besar ukuran benda. Perangkat
lunak ini menggunakan segmentasi multi-resolusi yang pada dasarnya bekerja sebagai teknik
penggabungan ke bawah yang dimulai dengan objek satu piksel. Dalam banyak langkah
iteratif, objek gambar yang lebih kecil digabungkan menjadi yang lebih besar (Benz et al.,
2004). Proses berhenti ketika pertumbuhan terkecil dari suatu objek melebihi batas yang
35
ditentukan pengguna yang merupakan nilai sewenang-wenang (parameter skala). Selain
parameter skala, keputusan penggabungan dikendalikan oleh kriteria homogenitas. Parameter
segmentasi (skala, bentuk dan kekompakan) ditentukan oleh pendekatan uji coba/kesalahan
yang sistematis. Kualitas objek gambar divalidasi dengan inspeksi visual.
2. Klasifikasi berorientasi objek
Setelah melakukan segmentasi, langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi objek
gambar dengan menghasilkan hirarki kelas dengan menggunakan deskripsi kelas. Setiap kelas
dapat digambarkan baik oleh satu atau lebih fungsi keanggotaan atau classifier tetangga
terdekat atau dengan kombinasi keduanya.
Klasifikasi dengan fungsi keanggotaan didasarkan pada fungsi fitur objek yang ditentukan
pengguna. Fitur objek berisi informasi tentang objek gambar (spektral, bentuk, hierarki dan
sifat objek gambar lainnya). Ini mengevaluasi dan menentukan apakah objek gambar sesuai
dengan kondisi dan bisa menjadi anggota kelas.
Klasifikasi tetangga terdekat menggunakan satu set sampel representatif untuk kelas yang
berbeda untuk menetapkan nilai keanggotaan. Langkah-langkahnya adalah melatih sistem
dengan memberi objek gambar tertentu sebagai contoh dan mengklasifikasikan objek gambar
terdekat di ruang fitur ke kelas tertentu. Dibandingkan dengan pelatihan berbasis piksel,
pendekatan ini memerlukan lebih sedikit sampel karena satu objek sampel sudah mencakup
banyak sampel piksel biasa dan variasinya (Definiens, 2007).
Untuk ekstraksi informasi yang berhasil, alur kerja segmentasi iteratif berlanjut sampai objek
gambar yang diinginkan diisolasi. Setiap segmentasi harus dirancang untuk memudahkan
klasifikasi selanjutnya dan sebaliknya.
3. Pendekatan Rule base
Beberapa penelitian untuk identifikasi ekosistem pesisir berbasis objek yang telah dilakukan
menggunakan pendekatan rule base antara lain;
a. Mangrove
Objek mangrove dan non-mangrove dibedakan menggunakan nilai threshold band citra dari beberapa citra resolusi tinggi (Kamal, et al. 2015).
Tabel 1. Rule set untuk identifikasi mangrove
Landsat TM ALOS AVNIR-2 WorldView-2 WorldView-2 and LIDAR
Mean 4=1500 - 3500 Mean 3=300 - 550 (7-5)/(3-5) = 8 - 22
(7-5)/(3-5) = 8 - 22
Mean 5= 900 - 1450 Mean 4= 1000 - 3000
Mean 5< 720 Mean 5< 720
Mean DTM < 1.5
Sumber: Kamal, et al. 2015
b. Lamun
Lyons et.al, 2012 telah memetakan seagrass menggunakan citra resolusi menengah dengan analisa berbasis objek tanpa menggunakan data in situ atau data survei lapangan secara time series dari tahun 1972 hingga 2010.
36
Tabel 2. Rule set/object attribute yang digunakan untuk identifikasi lamun
3 Segmentation levels Colour/shape: 0.1, compactness 0.5
Initial SP 50 To identify exposed areas, deep water, sand and areas of sand/seagrass mixture
Threshold and membership function were manually checked and adjusted for each classification (based on spectral data)
SP 150 Identify all objects that possibly contain seagrass (manually)
SP 15 Only possible seagrass objects (to separate from any remaining sand and deep or turbid water)
Seagrass objects Chessboard segmentation, size 1 Low cover seagrass Assign class TM1+TM2 or TM2/TM 3 Moderate cover seagrass Classify
Fuzzy membership Mean brightness TM 1+ TM2
High Cover Classify Fuzzy membership Mean brightness TM 2/TM3 or TM 11
Sumber: Lyons et.al, 2012
Sementara Phinn et al., 2013 menggunakan ratio of band 1 to band 2 NIR citra untuk mengidentifikasi lamun menggunakan citra Quickbird-2, dan feature brightness smaller than.
c. Terumbu karang
Phinn et al., 2013, Roelfsema et al., 2013 menggunakan OBIA dengan pendekatan hierarki untuk memetakan terumbu karang pada skala individual maupun system terumbu karang (10-600 km2)
Tabel 3. Rule set membership rule yang digunakan untuk identifikasi terumbu
karang
Reef type Membership rule Keterangan
Land NDVI larger than Deep water Ratio of blue to red band Scale parameter,
shape, compactness are vary depend on the characteristic of the reefs and their zones Colour 0.2 – 0.8 Compactness 0.2 – 0.9 SC 5 -150
Shallow reef Neither land nor deep water Reef slope Neighbouring deep water Reef crest Neighbouring reef slope
Neighbouring breaking waves Ratio of blue to red band
Outer reef flat Segments not being assigned another class Inner reef flat Neighbouring land, standard deviation of
blue band to red band Barrier Relative border to deep water >0
Relative border to land = 0 deep pass Like barrier reef + blue band low Fringing Relative border to land >0
Relative border to deep water = 0 Fringing-barrier Relative border to land > 0
Relative border to deep water > 0 Lagoon Relative border to lagoon water > 0
Sumber: Phinn et al., 2013, Roelfsema et al., 2013
37
B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Data
Citra satelit resolusi tinggi SPOT diperoleh dari LAPAN, untuk Kepulauan Seribu tersedia data
citra SPOT 5, SPOT 6 dan SPOT 7. Untuk daerah penelitian (Gambar 7), kondisi citra yang
terbaik di wilayah Pulau Tidung adalah SPOT 6, perekaman tanggal 15 Mei 2017. Sementara
untuk daerah penelitian Pulau Bidadari dan sekitarnya, citra yang digunakan adalah citra
GeoEye 1, perekaman tanggal 17 Maret 2015.
(a)
(b)
Gambar 7. Lokasi Penelitian (a) P. Tidung (Citra Spot 6) dan (b) Pulau Bidadari dan sekitarnya (Citra Geo Eye).
2. Metode
2.1. Analisa citra inderaja
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap seperti berikut (Gambar 8):
a. Tahap 1 adalah persiapan data. Data citra yang akan digunakan adalah citra SPOT 6 Pulau Tidung, yang telah dilakukan pansharpening. Citra WordView-2/GEOEYE Pulau Bidadari, Kelor, Khayangan dan Onrust yang terdiri dari 4 band, yaitu biru, hijau, merah dan infra merah dekat. Citra ini mempunyai resolusi spasial 0,5 m untuk band pankromatik dan 1,8 m untuk band multispektral. Data diperoleh dari instansi Badan Informasi Geospasial. Persiapan data meliputi proses koreksi radiometrik dan atmosferik serta penajaman (pansharpening). Koreksi radiometrik dan atmosferik dimaksudkan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan nilai spektral yang sebenarnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama.
b. Tahap 2 adalah penentuan dan pengumpulan sampel (training area) serta penentuan kriteria (features) dan threshold.
c. Tahap ketiga adalah segmentasi dan aplikasi algoritma untuk klasifikasi menggunakan analisis berbasis objek. Segmentasi pada umumnya dilakukan dengan menerapkan scala parameter dari 5 hingga 100 untuk memisahkan kelas-kelas mangrove, padang lamun dan terumbu karang pada ekosistem pesisir. Pendekatan yang digunakan adalah dengan trial and error dan inspeksi visual terhadap image objek yang dibentuk hingga didapatkan image objek yang mewakili kelas-kelas tersebut. Segmentasi dibantu juga dengan menggunakan rule set yang dikembangkan oleh Dragut, et al (2010, 2012, 2014) yang membantu dalam mengestimasi scale parameter optimum yang bisa digunakan untuk segmentasi. Klasifikasi dilakukan
38
dengan menerapkan klasifikasi berbasis aturan dan berbasis jarak (algoritma Nearest neighbor).
d. Tahap keempat adalah validasi dan evaluasi. Validasi dilakukan terhadap hasil segmentasi dan klasifikasi. Validasi segmentasi dilakukan dengan membandingkan segmen dihasilkan oleh perangkat lunak dengan segmen yang dihasilkan dari interpretasi visual. Evaluasi ini akan melibatkan beberapa interpreter untuk menjamin akurasi dari visual interpretasi. Validasi terhadap hasil klasifikasi dilakukan dengan menggunakan confusion matrix untuk menghitung user, producer, overall accuracy dan KHAT. Hasil klasifikasi berbasis objek juga dibandingkan dengan klasifikasi berbasis piksel. Untuk klasifikasi visual dilaksanakan dengan metode intepretasi on screen berdasarkan pengalaman analis dengan menerapkan kunci kunci interpretasi. Delineasi disusun pada obyek obyek yang sudah memenuhi persyaratan kunci interpretasi untuk obyek tertentu yang sudah dikenali oleh analis. Sementara itu, untuk klasifikasi berbasis piksel dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode terselia dengan mengacu pada nilai piksel masing masing obyek yang akan dipetakan.
Gambar 8. Overview metode penelitian
2.2. Survey Lapangan
Survey lapangan dilaksanakan untuk ground thruthing hasil interpretasi visual dan tentative OBIA, menetapkan training area dan untuk mengenali nilai spetral setiap obyek mangrove, lamun dan makro alga, mengumpulan data (posisi dan atribut keterangan) objek di permukaan, kolom air, dan dasar laut serta mengumpulkan deskripsi sosial-ekonomi lokasi survey
Metode yang digunakan adalah stop n go dan quadrat transek terhadap track dan sample yang telah ditentukan pada peta kerja serta melakukan wawancar sosial ekonomi dengan penduduk setempat.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persiapan data
Citra yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini terdiri atas data Digital Globe (GeoEye-1 atau Worldview-2) dan SPOT 6. Kedua citra memiliki resolusi <10 m. Tahap prapemrosesan citra meliputi berbagai koreksi seperti koreksi geometric dan radiometric. Perlakuan koreksi radiometric berbeda untuk setiap citra, dimana hal ini tergantung pada kondisi citra yang digunakan. Koreksi radiometri dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra akibat gangguan di atmosfer, seperti hamburan awan (haze) atau hamburan objek lainnya. Koreksi radiometrik secara umum dilakukan dalam perangkat lunak ENVI. Selain itu, mengacu pada topic
Citra CSRT
Koreksi radiometrik
dan atmosferik
Penajaman citra
Penentuan,
pengumpulan
Training Area
Penentuan
kriteria & threshold
Analisis berbasis
objek
Validasi hasil
segmentasi
Validasi hasil
klasifikasi
Evaluasi
Segmentasi &
klasifikasi
TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3 TAHAP 4
39
penelitian yakni ekosistem pesisir, maka proses koreksi dilakukan pada kolom air yang dapat memberikan gangguan pada proses interpretasi citra. Penerapan koreksi kolom air mengacu pada metode koreksi Lyzenga06 yang melibatkan kanal Inframerah dekat dalam proses koreksinya. Metode koreksi ini digunakan karena atmospheric scattering tidak homogen pada area target.
𝑋(𝜆)𝑗 = log 𝐿𝜆𝑖 − 𝛼 𝜆 𝑖𝑁𝐼𝑅1. 𝐿𝑁𝐼𝑅1 − ⋯ − 𝛼𝜆 𝑖𝑁𝐼𝑅𝑛 . 𝐿𝑁𝐼𝑅𝑛
Dimana : LNIR = nilai reflectance pada kanal NIR α(λ) iNIRn = koefisien kanal visible dan NIR
Pada masing-masing citra diterapkan penajaman linear 2% guna memudahkan visual analisis. Tahapan akhir dalam pra pemrosesan citra adalah pansharpening, meskipun resolusi awal citra sudah termasuk pada resolusi tinggi. Proses pansharpening dilakukan dengan software image processing dengan hasil citra dengan resolusi spasial 0,5m (Digital Globe) dan 1,5m (SPOT 6), sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Perbedaan citra yang sebelum dan sesudah dikoreksi.
Jenis Citra
Pra Processing Post Processing (citra terkoreksi)
GeoEye-1
Worldview 2
SPOT 6
(Raw)
(Enhancement only)
Sumber: Hasil pengolahan, 2017.
40
2. Pengukuran Lapangan (Groundtruthing) dan Klasifikasi Visual (Re-
interpretasi)
Survei dilakukan di dua lokasi di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau Bidadari dan sekitarnya (P.
Kelor, P. Khayangan/Cipir, P. Onrust) dan P. Tidung.
a. Pulau Bidadari dan sekitarnya
Uji lapangan dilakukan dengan mengambil beberapa titik sampel obyek melalui interpretasi
visual pada citra GeoEye-1 (Gambar 9 dan Tabel 5). Hasil interpretasi visual disajikan dalam
peta kerja yang digunakan sebagai panduan pengambilan data di lapangan. Dari hasil
interpretasi visual, didapatkan 4 klasifikasi sumberdaya pesisir yaitu padang lamun/makroalga,
vegetasi pantai, terumbu karang, dan kawasan budidaya. Total jumlah titik sample adalah 82
titik.
Gambar 9. Sebaran titik sampel P. Bidadari, P. Kelor, P. Onrust dan P. Khayangan
Tabel 5. Jumlah titik interpretasi citra di P. Bidadari dan sekitarnya
No. Klasifikasi Identifikasi Citra Jumlah Titik
Total P. Bidadari P. Kelor P. Cipir P. Onrust
1. Karang 5 5 6 5 21 2. Lamun/Makroalga 14 3 8 9 34 3. Vegetasi Pantai 7 3 4 3 17 4. Budidaya 2 0 8 0 10
Jumlah 28 11 26 17 82
Secara umum hasil groundtruthing kondisi Pulau Bidadari dan sekitarnya adalah sebagai
berikut:
a. Kondisi perairan di keempat pulau tergolong keruh dikarenakan pengaruh yang kuat dari
teluk Jakarta.
b. Kerang hijau dan bulu babi sebagai indikator polutan banyak ditemukan di sekitar pulau.
c. Keramba Jaring Apung (KJA) yang diklasifikasikan sebagai kawasan budidaya merupakan
tempat kerang hijau dibudidayakan.
41
d. Campuran lamun dan makroalga mendominasi pesisir keempat pulau. Dominasi tutupan
lahan pesisir umumnya adalah patahan karang (rubble) dan karang mati yang tertutup alga
(dead coral with alga/DCA).
e. Vegetasi pantai yang ada adalah mangrove, dimana mangrove alami hanya ditemukan di
pulau Onrust dengan jumlah yang tidak banyak, sementara di Pulau Bidadari ditemukan
mangrove yang dibudidayakan.
Hasil pengamatan lapangan selanjutnya digunakan sebagai referensi dalam re-interpretasi
visual citra (Gambar 10). Hasil re-interpretasi akan digunakan sebagai peta referensi dalam
validasi hasil klasifikasi menggunakan analisis berbasis objek.
Gambar 10. Hasil re-interpretasi visual citra Pulau Bidadari.
b. Pulau Tidung
Uji lapangan dilakukan dengan mengambil beberapa titik sampel obyek melalui interpretasi
visual pada citra SPOT 6 (Gambar 11 dan Tabel 6). Hasil interpretasi visual disajikan dalam
peta kerja yang digunakan sebagai panduan pengambilan data di lapangan. Dari hasil
interpretasi visual, didapatkan 5 klasifikasi sumberdaya pesisir di Pulau Tidung yaitu padang
terumbu karang, lamun/makroalga, vegetasi pantai, kawasan budidaya dan mangrove. Total
jumlah titik sample adalah 66 titik.
Gambar 11. Sebaran titik sampel P. Tidung
42
Tabel 6. Jumlah titik interpretasi citra di P. Tidung
No. Klasifikasi Identifikasi Citra Jumlah Titik
1. Karang 16
2. Lamun/Makroalga 11 3. Vegetasi Pantai 2 4. Budidaya 1 5. Mangrove 15
Jumlah 66
Secara umum hasil groundtruthing kondisi Pulau Tidung adalah sebagai berikut:
a. Kondisi perairan di pulau Tidung masih tergolong baik, walaupun pulau ini tergolong padat
pemukiman, terutama di Pulau Tidung besar.
b. Keramba Jaring Apung (KJA) yang diklasifikasikan sebagai kawasan budidaya berada di
antara Pulau Tidung besar dan Pulau Tidung kecil.
c. Terumbu karang hidup masih banyak dijumpai di sekeliling pulau, terutama di dekat tubir
dengan kondisi yang masih sangat baik.
d. Vegetasi pantai yang ada adalah mangrove yang banyak terdapat di Pulau Tidung kecil.
3. Klasifikasi berbasis obyek
3.1. Segmentasi
Segmentasi merupakan langkah fundamental dalam analisis berbasis objek, namun belum
banyak dikembangkan alat yang membantu untuk menentukan scale parameter yang tepat.
Segmentasi sangat subyektif dan dipengaruhi kebutuhan interpreter. Dragut et al. (2010,
2012, 2014) mengembangkan tool yang mengestimasi scala parameter pada definiens
developer yang disebut ESP (estimation of scale parameter).
Tabel 7. Parameter untuk segmentasi
Algorithm parameters Value
Uji-1 Uji-2 Uji-3 Uji-4 Uji-5
Select map main main main main main
Use of Hierarchy (0=no; 1=yes)
1 1 1 1 1
Hierarchy: TopDown=0 or BottomUp=1
1 1 1 1 1
Starting scale_Level 1 1 1 1 1 1
Step size_Level 1 1 1 1 1 1
Starting scale_Level 2 1 1 1 1 1
Step size_Level 2 10 10 10 10 10
Starting scale_Level 3 1 1 1 1 1
Step size_Level 3 100 100 100 100 100
Shape (between 0.1 and 0.9)
0.1 0.9 0.5 0.5 0.5
Compactness (between 0.1 and 0.9)
0.5 0.5 0.5 0.1 0.9
Produce LV Graph (0=no; 1=yes)
1 1 1 1 1
Number of Loops 100 100 100 100 100
Sumber: Hasil pengolahan, 2017
43
Segmentasi merupakan langkah fundamental dalam analisis berbasis objek, namun belum
banyak dikembangkan alat yang membantu untuk menentukan scale parameter (parameter
skala) yang tepat. Segmentasi sangat subyektif dan dipengaruhi kebutuhan interpreter.
Dragut et al. (2010, 2012, 2014) mengembangkan tool yang mengestimasi scala parameter
pada definiens developer yang disebut ESP (estimation of scale parameter).
Dalam penentuan parameter skala, hanya dilakukan pengujian terhadap parameter shape dan
compactness menggunakan ESP (Tabel 7). Dari pengujian tersebut dihasilkan beberapa
segmentasi yang kemudian dipilih berdasarkan kebutuhan klasifikasi ekosistem pesisir. Tabel
8 menunjukkan hasil segmentasi untuk lokasi Pulau Tidung. Sedangkan Tabel 9 menunjukkan
hasil segmentasi untuk lokasi Pulau Bidadari, Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Khayangan.
Tabel 8. Hasil segmentasi Pulau Tidung
Uji Level 3 Level 2 Level 1
Uji 1
Scale Parameter: 304 Jumlah obyek: 199
Scale Parameter: 204 Jumlah obyek: 439
Scale Parameter: 94 Jumlah obyek: 1727
Uji 2
Scale Parameter: 768
Jumlah obyek: 15
Scale Parameter: 68 Jumlah obyek: 1534
Scale Parameter: 48 Jumlah obyek: 3022
Uji 3
Scale Parameter: 219 Jumlah obyek: 278
Scale Parameter: 219 Jumlah obyek: 278
Scale Parameter: 69 Jumlah obyek: 2432
44
Uji Level 3 Level 2 Level 1
Uji 4
Scale Parameter: 647
Jumlah obyek: 37
Scale Parameter: 147 Jumlah obyek: 555
Scale Parameter: 77 Jumlah obyek: 1871
Uji 5
Scale Parameter: 231 Jumlah obyek: 277
Scale Parameter: 131 Jumlah obyek: 837
Scale Parameter: 81 Jumlah obyek: 2061
Sumber: Hasil pengolahan, 2017
Tabel 9. Hasil segmentasi Pulau Bidadari dan sekitarnya.
Uji Level 3 Level 2 Level 1
Uji 1
Scale Parameter: 378 Jumlah obyek: 163
Scale Parameter: 178 Jumlah obyek: 599
Scale Parameter: 98 Jumlah obyek: 1731
Uji 2
Scale Parameter: 411 Jumlah obyek: 146
Scale Parameter: 111 Jumlah obyek: 1894
Scale Parameter: 61 Jumlah obyek: 5959
45
Uji Level 3 Level 2 Level 1
Uji 3
Scale Parameter: 314 Jumlah obyek: 248
Scale Parameter: 214 Jumlah obyek: 514
Scale Parameter: 44 Jumlah obyek: 9078
Uji 4
Scale Parameter: 386 Jumlah obyek: 152
Scale Parameter: 186 Jumlah obyek: 563
Scale Parameter: 86 Jumlah obyek: 2392
Uji 5
Scale Parameter: 394 Jumlah obyek: 188
Scale Parameter: 194 Jumlah obyek: 714
Scale Parameter: 84 Jumlah obyek: 3604
Sumber: Hasil pengolahan, 2017
Hasil segmentasi yang dipilih baik untuk lokasi Pulau Tidung dan Pulau Bidadari adalah hasil
yang berdasarkan uji 1 karena lebih merepresentasikan obyek yang akan dilakukan klasifikasi.
Namun, untuk menghasilkan akurasi segmentasi akan lebih baik jika menggunakan referensi
misalnya hasil interpretasi visual tervalidasi. Segmentasi untuk lokasi Pulau Tidung dan Pulau
Bidadari menggunakan ESP menghasilkan graph visualization. Contoh graph visualization
dapat dilihat secara berturut-turut pada Gambar 12 dan Gambar 13.
46
Gambar 12. Graph Visualization hasil segmentasi Pulau Tidung pada Uji 1
Gambar 13. Graph Visualization hasil segmentasi Pulau Bidadari, Pulau Kelor, Pulau Onrust
dan Pulau Khayangan pada Uji 1
3.2. Klasifikasi dengan aturan/Rule based
a. Pulau Bidadari dan sekitarnya
Analisis citra berbasis objek di Pulau Bidadari dan sekitarnya dilakukan dengan menggunakan
subset area Pulau Bidadari untuk memudahkan penyusunan rule set. Pulau Bidadari dipilih
sebagai subset area karena pertimbangan objek yang lebih variatif dibandingkan ketiga pulau
lainnya. Analisis dimaksudkan untuk bisa membedakan objek pasir, lamun, rubble, DCA dan
kelas campuran (Mixed class). Mixed class yang dimaksud adalah kelas campuran/kombinasi
antara pasir, rubble, DCA, lamun dan makro alga (Gambar 14).
47
Gambar 14. Hasil Klasifikasi dan rule set yang digunakan untuk identifikasi pesisir.
Tabel 10. Rule set yang digunakan untuk analisis P. Bidadari dan sekitarnya .
Objek Feature Keterangan
Lamun classify Not laut dalam Ratio Green 0.1-0.32
Segmentasi pada scale parameter 25, shape 0.1, compactness 0.5.
Mixed Class
classify Mean Red 107-251 Not lamun Not pasir
Pasir Assign class Standar Deviation Red 0.3-8.8
Rubble classify Max diff 0.2-0.4
DCA classify Standar Deviation green 10-13
Laut Dalam Assign class Max diff. 0.45 – 1.6
Darat Assign class Mean Blue 0-80.1
Sumber: Hasil Pengolahan, 2017.
Kelas lamun dan laut dalam merupakan kelas yang paling sulit untuk dibedakan karena
kemiripan rona dan teksturnya, semakin lebat lamun akan semakin menyerupai laut dalam.
Untuk objek pasir secara visual terlihat dari ronanya yang halus, namun semakin dalam,
ronanya akan mirip dengan objek lain sehingga sulit untuk dibedakan. Dari hasil klasifikasi
terlihat bahwa objek mixed class ini menempati porsi yang paling besar.
b. Transferability Rule Set Pulau Bidadari dan sekitarnya.
Rule set yang disusun menggunakan subset Pulau Bidadari diterapkan pada citra yang sama
subset Pulau Kelor dan subset Pulau Kayangan/Cipir dan P. Onrust. Hasil klasifikasi pada
subset Pulau Kelor (Gambar 15) menunjukkan bahwa klasifikasi menggunakan rule set yang
disusun secara umum memberikan hasil yang baik khususnya untuk objek pasir, rubble dan
mixed class. Untuk objek di daerah yang relatif dangkal masih bisa dibedakan dengan baik,
tetapi ke arah yang semakin dalam ‘’tercampur’’ dengan objek laut dalam. Diperlukan
modifikasi rule set agar memberikan hasil klasifikasi yang lebih baik.
48
Gambar 15. Citra Pulau Kelor dan hasil klasifikasi menggunakan rule set.
Gambar 16. Citra Pulau Khayangan dan Onrust serta hasil klasifikasi menggunakan rule set
Tidak jauh berbeda dengan hasil klasifikasi pada P. Kelor, pengaplikasian rule set pada P.
Khayangan dan Onrust juga memberikan hasil yang kurang baik (Gambar 16). Banyak segmen
yang tidak terklasifikasikan (unclassified), meskipun pada objek pasir, rubble, dan beberapa
segmen pada objek lamun hasilnya cukup konsisten. Objek laut dalam dan lamun terlihat
semakin sulit dibedakan. Rule set yang disusun digunakan pada scene citra yang sama masih
memerlukan modifikasi tidak bisa langsung dipergunakan sehingga transferabilitynya rendah.
Rule set ini belum diaplikasikan pada citra yang lain dengan kondisi yang berbeda, yang
tentunya memerlukan lebih banyak modifikasi feature dan thereshold.
c. Klasifikasi Pulau Tidung
Klasifikasi citra berbasis objek di Pulau Tidung dilakukan untuk mengidentifikasi ekosistem
pesisir yang terbagi menjadi kelas mangrove, lamun, karang, pasir dan kelas campuran (mix
class). Secara umum, obyek pesisir pada citra mempunyai kemiripan khususnya untuk kelas
terumbu dan mix class yang didalamnya terdapat patahan, makro alga, pasir, lamun dan
kombinasinya. Untuk objek lamun relatif mudah dibedakan dari ronanya yang lebih gelap dan
pola menggerombol yang spesifik. Namun lamun ini juga mempunyai warna yang sama pada
obyek lain yang berada di dekat slope.
49
Gambar 17. Hasil klasifikasi dan rule set yang digunakan untuk identifikasi ekosistem pesisir
Tabel 11. Rule set yang digunakan untuk analisis P. Tidung
Objek Feature Keterangan
Lamun Assign class
mean Blue 510-573
Segmentasi pada scale parameter 75, shape 0.5,
compactness 0.5 dan bobot 2 untuk band Blue.
mix class Assign class
Mean NIR 195-210
Pasir Assign class Mean Blue 709-799
Karang mean Blue 510-573
Distance to laut dalam <99pxl
Laut Dalam classify
Mean Brightness
Darat Assign class Mean NIR 372 - 1520
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2017.
Pengenalan terhadap objek yang akan diidentifikasi menjadi sangat penting karena analisis
berbasis objek akan sangat dipengengaruhi bagaimana analis bisa mendeskripsikan objek
berdasarkan karakteristik objeknya. Diperlukan informasi terkait bagaimana objek ekosistem
pesisir tersebut direpresentasikan dalam citra digital dan bagaimana objek dikenali
berdasarkan kunci interpretasi. Semakin detil identifikasi karakteristik objek yang akan
diwujudkan dalam bentuk rule set, akan semakin baik/tepat identifikasi dari citra (hasil
klasifikasinya).
Untuk Citra Pulau Tidung, rule set disusun dengan terlebih dahulu memisahkan daratan
dengan laut dalam (Tabel 11). Laut dalam yang dimaksud adalah obyek laut dengan rona
yang relatif sama (pada citra true color terlihat dengan warna biru gelap). Pemisahan daratan
dan laut ini membantu dalam identifikasi ekosistem lamun maupun terumbu terkait lokasi,
asosiasi dan pola hidupnya. Rule set yang disusun untuk mengidentifikasi ekosistem pesisir
ditunjukkan pada Gambar 17.
50
d. Transferability Rule Set Pulau Tidung
Rule set yang disusun menggunakan subset P. Tidung belum diterapkan pada scene maupun
citra yang lain.
3.3. Klasifikasi berdasar jarak (Algoritma Nearest Neighbor)
a. Hasil segmentasi
Tabel 12. Perbandingan segmentasi dengan citra SPOT 6 dan World View-2 untuk
Pulau Tidung dan Segmentasi citra GeoEye-1 untuk Pulau Bidadari dan
sekitarnya.
Citra SPOT 6
Scale Parameter 75
Shape 0.2
Compactness 0.9
Citra World View 2 – Water column
correction
Scale Parameter 50
Shape 0.1
Compactness 0.7
Citra GeoEye1 –
Water column correction
Scale Parameter 35
Shape 0.2
Compactness 0.6
Sumber: Hasil pengolahan, 2017.
Algoritma k-nearest neighbor (k-NN atau KNN) merupakan sebuah algoritma untuk
melakukan klasifikasi terhadap objek berdasarkan data yang jaraknya paling dekat dengan
objek tersebut. Hasil segmentasi dengan menggunakan algoritma nearest neighbour berbeda
dengan segmentasi yang menggunakan rule set, dengan algoritma ini segmentasi yang
digunakan merepresentasikan objek yang diinginkan. Untuk mendapatkan hasil segmentasi
dilakukan pengujian secara visual terhadap citra untuk scale parameter, shape dan
compactness dari masing-masing citra. Untuk lokasi sama, jika citra yang digunakan berbeda,
maka scale parameter, shape dan compactness nya pun akan berbeda. Segmentasi yang
dibuat tersebut tergantung pada kebutuhan. Setelah dilakukan pengujian, didapatkan
segmentasi yang paling cocok atau mendekati hasil yang diinginkan dari citra SPOT 6 dan
citra World View-2 untuk Pulau Tidung, dan citra GeoEye-1 untuk Pulau Bidadari dan
sekitarnya (Tabel 12). Citra World View-2 dan GeoEye-1 sebelumnya sudah dilakukan koreksi
kolom air (water column correction).
51
b. Hasil Klasifikasi
Uji coba segmentasi dan klasifikasi dengan menggunakan metode nearest neighbor pada Object Based Image Analysis, serta dibandingkan dengan hasil analisis visual dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19.
Citra Asli Keterangan
GeoEye1 – Water column correction
Akuisisi : 2015
Hasil Segmentasi dan Klasifikasi Keterangan
Process tree:
Kelas :
Kisaran Sampel: 3 – 30 sampel per kelas
Fitur klasifikasil NN (Nearest Neighbor):
- Mean Layer Values untuk Kanal Biru
Gambar18. Perbandingan citra asli dan hasil segmentasi dan klasifikasi berdasar jarak (algoritma nearest neighbour).
Sumber: Hasil pengolahan, 2017.
Masih terdapat perbedaan antara hasil klasifikasi berbasis objek dengan hasil interpretasi
visual maupun dengan hasil density slice. Kondisi citra, hasil segmentasi (yang berbeda
dengan deliniasi manual) menjadi faktor yang menyebabkan perbedaan. Kondisi piksel citra
(rona dan adanya gangguan yang tidak tereliminir setelah proses koreksi) dan penentuan
52
sampel menyebabkan adanya kemiripan antara kelas mixed dan kelas seagrass. Hal ini terlihat
dari hasil perbandingan perbandingan nilai piksel pada setiap kelas, dimana nilai piksel pada
sample kelas mixed dan kelas seagrass terdapat “overlap score” sebesar 0,22. Hal ini sesuai
dengan kondisi lapangan yang menunjukkan adanya campuran antara seagrass, rubble,
makroalga dan DCA dalam skala luas.
Hasil re-interpretasi (visual) Keterangan
Density Slice Keterangan
Terbagi kedalam 5 kelas, yakni:
No Range
Pixel
Kelas Warna
1 0 – 75 Lamun Merah
2 76 - 149 Mixed Abu- abu
3 150 – 191 Rubble Cyan
4 192 – 235 DCA Biru
5 236 - 255 Pasir Putih
Gambar 19. Perbandingan hasil re-interpretasi visual dengan pixel based (density slice).
Sumber: Hasil pengolahan, 2017.
4. Validasi
Validasi atau uji ketelitian sangat penting untuk dilaksanakan karena ketelitian data hasil
intepretasi sangat penting untuk diketahui sebelum melangkah lebih jauh dengan analisis
berdasarkan data tersebut. Ketelitian tersebut sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan
53
yang dapat diberikan terhadap data yang dihasilkan. Ada 2 macam tingkat kesalahan
dalam uji ketelitian, yakni omisi dan komisi. Omisi adalah tingkat perbedaan
klasifikasi hasil segmentasi menggunakan ruleset maupun berdasar jarak (analisis
nearest neighbor) pada lajur baris setiap klasifikasi hasil re interpretasi ,
sedangkan komisi mempunyai pengertian sebagai tingkat tingkat perbedaan
klasifikasi hasil segmentasi menggunakan ruleset maupun berdasar jarak (analisis
nearest neighbor) pada lajur kolom.
Referensi yang digunakan untuk melakukan validasi ini berdasarkan hasil
reinterpretasi visual setelah dilakukan groundtrouthing. Luas objek hasil re-
interpretasi adalah 234.947 m2, sehingga jika ukuran grid yang digunakan adalah
12,5m x 12,5m, dengan asumsi 150 m2 adalah luasan di lapangan maupun
interpretasi dalam citra yang masih dapat diinterpretasi secara visual. Sehingga,
maksimal terdapat 1.500 grid yang digunakan untuk melakukan validasi.
Validasi dilakukan terhadap hasil klasifikasi objek dengan aturan (rule based) dan
hasil klasifikasi objek dengan algoritma nearest neighbor di Pulau Bidadari.
Jumlah grid yang digunakan untuk uji ketelitian klasifikasi adalah 1.374 grid
(Gambar 20).
(a) (b)
Gambar 20. Perbandingan overlay grid yang digunakan dalam melakukan validasi/uji ketelitian klasifikasi dengan citra (a) dan dengan hasil re-interpretasi visual (b).
Tabel 13. Matrik uji ketelitian hasil klasifikasi objek dengan aturan (rule based).
Klasifikasi Obyek Rule Based
Jumlah
Omisi (%)
Komisi (%)
Ketelitian Klasifikasi DCA Lamun Pasir
Rubble
Mixed Class
Lain-Lain
Kla
sifikasi
Re I
nte
rpre
tasi
DCA 64
32 33
129 50% 39% 50%
Lamun
88
11 73 46 218 60% 30% 40%
Pasir 29 2 61 4 24
120 49% 29% 51%
Rubble
1 63 44 36 144 56% 69% 44%
Mixed Class 5 28 24 84 555
696 20% 24% 80%
Lain-Lain 7 7
10 2 41 67 39% 67% 61%
Jumlah 105 125 86 204 731 123 1374
63%
Sumber: Hasil pengolahan, 2017
54
Hasil validasi menunjukkan bahwa tingkat ketelitian secara keseluruhan hasil
klasifikasi objek dengan algoritma nearest neighbor lebih tinggi jika dibandingkan
dengan hasil klasifikasi objek dengan aturan. Ketelitian klasifikasi objek dengan
aturan adalah 63% (Tabel 13), dimana objek yang memiliki tingkat ketelitian
tertinggi adalah objek mixed class (campuran antara lamun/makro alga, pasir dan
rubble). Sementara objek yang memiliki tingkat ketelitian paling rendah adalah
lamun (40%). Terdapat objek yang tidak masuk ke dalam klasifikasi hasil re
intrepetasi yang menjadi referensi maupun hasil klasifikasi objek dengan aturan,
dikarenakan validasi yang dilakukan berdasarkan vector (vector based).
Sementara itu terdapat gap diantara polygon vector antara kedua klasifikasi.
Ketelitian klasifikasi objek dengan algoritma nearest neighbor adalah 67% (Tabel
14). Dengan mengeluarkan klas lain-lain, maka objek yang memiliki tingkat
ketelitian tertinggi adalah pasir (83%). Sementara objek yang memiliki tingkat
ketelitian paling rendah adalah lamun (46%).
Tabel 14. Matrik uji ketelitian hasil klasifikasi objek dengan algoritma Nearest
Neighbor (KNN).
Klasifikasi Objek K-NN Jumla
h Omisi (%)
Komisi (%)
Ketelitian Klasifikasi DCA Lamun
Pasir
Rubble
Mixed Class
Lain-Lain
Kla
sifikasi
Re I
nte
rpre
tasi
DCA 62 9 7 11 33
122 49% 7% 51%
Lamun 4 108 3 18 79
212 49% 59% 51%
Pasir 1
97 10 9
117 17% 42% 83%
Rubble
21 12 66 44
143 54% 47% 46%
Mixed Class
124 49 19 498
690 28% 25% 72%
Lain-Lain
1
89 90 1% 0% 99%
Jumlah 67 263 168 124 663 89 1374
67%
Sumber: Hasil pengolahan, 2017
D. KESIMPULAN
Klasifikasi wilayah pesisir berbasis obyek dengan menggunakan CSRT (Geo-Eye1)
berdasarkan aturan (rule based) dan berdasarkan jarak (nearest neighour) mampu
membedakan objek pasir, lamun, kelas campuran (mixed class), rubble dan death coral with
Algae (DCA). Hasil klasifikasi memberikan ketelitian sebesar 63% pada analisis berbasis
aturan, dan 67% berdasarkan jarak.
Rule set yang disusun secara teknis mudah untuk diterapkan pada citra/subset yang lain,
namun tidak bisa secara langsung digunakan untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang baik.
Masih diperlukan modifikasi pada feature dan threshold untuk tiap objek. Transferability rule
set sangat tergantung pada kondisi citra yang digunakan.
Untuk mendapatkan hasil klasifikasi berbasis objek menggunakan rule set, diperlukan
pengenalan karakteristik obyek yang baik terkait bagaimana objek tersebut dapat diidentifikasi
menggunakan kunci interpretasi
Analisis citra berbasis aturan (rule based) untuk ekosistem pesisir memiliki banyak kendala
untuk transferability, diantaranya, kondisi perairan yang sangat dinamis, dari sisi sedimentasi,
erosi, aktivitas organisme, terlebih Indonesia yang mempunyai tipologi pesisir yang beragam.
55
Dari sisi citra juga akan mempengaruhi, baik dari bit citra maupun variasi citra akibat
perbedaan cuaca atau waktu perekaman yang terkait posisi sensor.
E. DAFTAR PUSTAKA
Alevizon, W.S. & Porter, J.W. (2015). Environ Biol Fish. 98: 1035.
https://doi.org/10.1007/s10641-014-0337-5
Andréfouët, S., Kramer, P., Torres-Pulliza, D., Joyce, K. E., Hochberg, E. J., Garza-Pérez, R., … Muller-Karger, F. E. (2003). Multi-site evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef environments. Remote Sensing of Environment, 88(1), 128–143. http://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.rse.2003.04.005
Arnott, R. D. (2009). Introduction to Coastal Processes & Geomorphology. Cambridge University Press. http://doi.org/10.2112/1551-5036(2006)22[1589:BR]2.0.CO;2
Azkab, M.H. 1988. Pertunbuhan dan Produksi Lamun, Enhalus acoroides (L.f) Royle di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. In: M.K. Moosa, D.P. Praseno dan Soekarno (eds.). Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya, Oseanografi, Geologi, dan Kondisi Perairan. P2O-LIPI, Jakarta: hal 55 – 59.
Capolsini, P., Andréfouët, S., Rion, C., & Payri, C. (2003). A comparison of Landsat ETM+, SPOT HRV, Ikonos, ASTER, and airborne MASTER data for coral reef habitat mapping in South Pacific islands. Canadian Journal of Remote Sensing, 29(2), 187–200. http://doi.org/10.5589/m02-088
Chappell, J. (1980). Coral morphology, diversity and reef growth. Nature, 286, 249. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1038/286249a0
Daniel Rokitnicki-Wojcik, Anhua Wei, Patricia Chow-Fraser. 2011. Transferability of object-
based rule sets for mapping coastal high marsh habitat among different regions in
Georgian Bay, Canada. Wetlands Ecol Manage. DOI 10.1007/s11273-011-9213-7.
Definiens. 2007. Definiens Developer 7- User Guide. Definiens AG, Munchen, Germany. www.definiens.com
Draguţ, L. , Dirk Tiede & Shaun R. Levick. 2010. ESP: a tool to estimate scale parameter for multiresolution image segmentation of remotely sensed data. International Journal of Geographical Information Science. Vol. 24, No. 6, June 2010, 859–871.
Drăguţ, L., Clemens Eisank.2012. Automated object-based classification of topography from SRTM data. Geomorphology 141-142 (2012) 21–33.
Dragut, L., O. Csillik, C. Eisank, D. Tiede. 2014. Automated parameterisation for multi-scale image segmentation on multiple layers. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 88 (2014) 119–127.
El-Askary, H., Abd El-Mawla, S. H., Li, J., El-Hattab, M. M., & El-Raey, M. (2014). Change detection of coral reef habitat using Landsat-5 TM, Landsat 7 ETM+ and Landsat 8 OLI data in the Red Sea (Hurghada, Egypt). International Journal of Remote Sensing, 35(6), 2327–2346. http://doi.org/10.1080/01431161.2014.894656
Eugenio, F., Marcello, J., & Martin, J. (2015). High-Resolution Maps of Bathymetry and Benthic Habitats in Shallow-Water Environments Using Multispectral Remote Sensing Imagery. Geoscience and Remote Sensing, IEEE Transactions on, 53(7), 3539–3549. http://doi.org/10.1109/TGRS.2014.2377300
FAO. (2007). The world’s mangroves 1980-2005. FAO Forestry Paper, 153, 89. http://doi.org/978-92-5-105856-5
56
Feryatun, F., Hendrarto, B., & Widyorini, N. (2012). Kerapatan dan Distribusi Lamun (seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Management of Aquatic Resources, 1–7.
Hartini, S., Saputro, G. B., Yulianto, M., & Suprajaka. (2010). Assessing the used of remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. In 10th WSEAS/IASME International Conference on Electric Power Systems, High Voltages, Electric Machines, POWER’10, 6th WSEAS International Conference on Remote Sensing, REMOTE’10 (pp. 210–215). Retrieved from http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-79958711646&partnerID=40&md5=3c56519f416a5d74051ac82be6d5687d
Kamal, M., Phinn, S., Johansen, K. 2014. Characterizing the Spatial Structure of Mangrove Features for Optimizing Image-Based Mangrove Mapping. Remote Sensing. 2014, 6, 984-116. doi:10.3390/rs6020984
Kamal, M.,, Stuart Phinn and Kasper Johansen. 2015. Object-Based Approach for Multi-Scale Mangrove Composition Mapping Using Multi-Resolution Image Datasets, Remote Sens. 7, 4753-4783; doi:10.3390/rs70404753.
Kathiresan, K., & Bingham, B. L. (2001). Biology of mangroves and mangrove ecosystems. Advances in Marine Biology, 40, 81–251. http://doi.org/10.1016/S0065-2881(01)40003-4
Kench, P. S., Owen, S., & Ford, M. R. (2014). Evidence for coral island formation during rising sea level in the central Pacific Ocean. Geophysical Research Letters, 1–8. http://doi.org/10.1002/2013GL059000.Received
Kiswara, W.,Winardi (1999). Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan teluk Gerupuk, Lombok. Prosiding]. Pusat Penelitian. Oseanografi-LIPI, Jakarta.
LIPI. (2007). Matinya Terumbu Karang. Koran Tempo. [http://lipi.go.id/berita/matinya-
terumbu-karang/1338; diakses pada Desember 2017]
Lyons, MB., Stuart R. Phinn, Chris M. Roelfsema, Long term land cover and seagrass mapping using Landsat and object-based image analysis from 1972 to 2010 in the coastal environment of South East Queensland, Australia. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 71 (2012) 34–46.
Lyzenga, D. R. (1978). Passive remote sensing techniques for mapping water depth and bottom features. Applied Optics, 17(3), 379. http://doi.org/10.1364/AO.17.000379
Nariewari, L. 2009a. Object Oriented Analysis for Updating Vegetation Features using ALOS Imagery. Thesis. Wageningen University, The Netherland.
Nariewari, L. 2009b. Extracting Nature Areas Using Object Oriented Analysis. Thesis. Wageningen University, The Netherland.
Mastaller, M. 1997. Mangrove: The Forgotten Forest between Land and Sea. Kuala Lumpur, Malaysia.
Mumby, P. J., & Steneck, R. S. (2017). Coral reef management and conservation in light of rapidly evolving ecological paradigms. Trends in Ecology & Evolution, 23(10), 555–563. http://doi.org/10.1016/j.tree.2008.06.011
Nontji, Anugrah., 1993. Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta
Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Gramedia: Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah: H.Muhammad
Eidman. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.
57
Phinn, S. R., Roelfsema, C. M., & Mumby, P. J. (2012). Multi-scale, object-based image analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. International Journal of Remote Sensing, 33(12), 3768–3797. http://doi.org/10.1080/01431161.2011.633122
PMO-COREMAP. (2001). Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia.
Pujianti, S. (2008). Distribusi Vertikal Meiofauna Interstisiil pada Padang Lamun, di Pulau Kambing, Teluk Banten. IPB (Bogor Agricultural University).
Prayudha, B. (2013). KAJIAN SPASIAL KERUSAKAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI TELUK JAKARTA. Gadjah Mada University.
Roelfsema, C., Stuart Phinn, Stacy Jupiter, James Comley & Simon Albert. 2013. Mapping coral reefs at reef to reefsystem scales, 10s–1000s km2, using object-based image analysis. International Journal of Remote Sensing, http://dx.doi.org/10.1080/01431161.2013.800660
Roelfsema, C. M., Lyons, M., Kovacs, E. M., Maxwell, P., Saunders, M. I., Samper-Villarreal, J., & Phinn, S. R. (2014). Multi-temporal mapping of seagrass cover, species and biomass: A semi-automated object based image analysis approach. Remote Sensing of Environment, 150, 172–187. http://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.rse.2014.05.001
Rudiastuti, A. W., Yuwono, D. M., Niendyawati, Pramono, G. H., & Rahmanto, B. D. (2016). Overview of National Thematic Data Integration (An Experience on One Map Mangrove Sulawesi). IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 47(1), 12012. http://doi.org/10.1088/1755-1315/47/1/012012
Schmugge, T. (1992). Remote sensing in hydrology, E. T. Engman and R. J. Gurney, Chapman and Hall, London, 1991. No. of pages: 223. Price: £35.00. ISBN 0-412-24450-0. Earth Surface Processes and Landforms, 17(6), 637–637. http://doi.org/10.1002/esp.3290170615
Sorokin, Y. I. (1995). Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=6CbePgAACAAJ
Tomascik, T., Mah, A. J., Nontji, A., & Moosa, M. K. (1997). The ecology of Indonesia series volume III part one: the ecology of Indonesian Seas. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd.
Tomlinson, P. B. (1987). The Botany of Mangroves. Brittonia, 39(1), 10. http://doi.org/10.2307/2806964
Veron J. E. N., 1995. Corals in Space & Time. The Biogeography & Evolution of the Scleractinia.
xiii + 321 pp. Ithaca, London: Cornell University Press (Comstock).
Wang, Y. Q. (2009). Remote sensing of coastal environments. (Q. Weng, Ed.) (Taylor & F). Boca Raton: CRC Press.
Wicaksono, P. (2016). Improving the accuracy of multispectral-based benthic habitats mapping using image rotations: The application of principle component analysis and independent component analysis. European Journal of Remote Sensing, 49(December), 433–463. http://doi.org/10.5721/EuJRS20164924
58
F. PUBLIKASI HASIL PENELITIAN
Publikasi hasil penelitian berupa Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dipublikasikan melalui seminar
nasional dan seminar internasional maupun draft KTI yang akan dipublikasikan ke Jurnal
Nasional/Internasional.
KTI yang dipublikasikan adalah:
1. Judul: GEOBIA an (Geographic) Object-Based Image Analysis for Coastal Mapping in
Indonesia: A Review (Full Paper terlampir)
Authors: F Hidayat, A W Rudiastuti, and N Purwono
Dipresentasikan pada 1st International Conference on Maritime Science and
Advanced Technology, 3-5 Agustus 2017, Univ. Udayana, Bali.
Abstract. The traditionally human-visual or manual interpretation is generally chosen method
for spatial feature extraction on map producing process in Indonesia, although the pixel-based
feature extraction is used in particular step. The main problem of human-visual method is depend on operator capacity. Subjectivity may occur because each operator has different
characteristic. In early 20th century, the image segmentation method was still developing and now Geographic Object-based Image Analysis (GEOBIA) method is introduced to mapping
process. Researchers are still developing and applying GEOBIA for many mapping purposes.
The advantage of GEOBIA is object-based segmentation which contextually influenced by spatial feature characteristics. GEOBIA provides more meaningful information than traditional
pixel-based image analysis by allowing less well-defined edges or borders between different classes. On the resulting maps, there are divisions between different types of object
classification, for example where some species of mangroves meet are not generally represented by a single object. The developing of remotely sensed imagery data quality
requires the developing of extraction method as well. This article discusses the implementation
of GEOBIA for coastal mapping in Indonesia. Some research combined pixel-based and GEOBIA method, and some get the overall accuracy > 70% of GEOBIA method. By developing a new
segmentation accuracy measure, we evaluated that segmentation accuracies decrease with increasing segmentation scales and the negative impact of under-segmentation errors become
significantly rise at large scale. The use of GEOBIA for coastal mapping in Indonesia are still
lacking, locally applicable and still developing the transferability rule sets. The conclusion is that the innovation is needed to make GEOBIA method applicable for mass production of Indonesian
coastal map.
Keywords: object-based image analysis, coastal mapping, advantages
2. Judul: Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir Kawasan Taman Arkeologi Kab.
Kepulauan Seribu
Authors: Maslahatun Nashiha, Aninda Wisaksanti Rudiastuti, Lalitya Narieswari,
Fahrul Hidayat, Florence Elfriede SS, Intan Pujawati, Munawaroh.
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Geomatika 2017, 14 November 2017,
Badan Informasi Geospasial, Cibinong, Bogor.
Abstract:
Perda No.1 Tahun 2012 tentang RTRW Provinsi DKI Jakarta, mengkategorikan Pulau Bidadari,
Pulau Cipir, Pulau Onrust dan Pulau Kelor sebagai kawasan taman arkeologi yang memiliki fungsi sejalan dengan fungsi pariwisata. Oleh karena itu, diperlukan inventarisasi sumberdaya
alam pesisir untuk dapat mendukung fungsi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kondisi eksisting sumberdaya pesisir di kawasan taman arkeologi tersebut
dengan membandingkan objek pada Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) dengan kondisi di
lapangan. Citra yang digunakan adalah citra GeoEye. Metode yang digunakan adalah interpretasi visual dan survey lapangan. Dari hasil interpretasi visual, didapatkan 4 klasifikasi
59
sumberdaya pesisir yaitu padang lamun/makroalga, vegetasi pantai, terumbu karang, dan kawasan budidaya. Hasil survey lapangan menunjukan bahwa kondisi perairan di keempat
pulau tergolong keruh dikarenakan pengaruh yang kuat dari Teluk Jakarta. Kerang hijau dan bulu babi sebagai indikator polutan banyak ditemukan. Keramba Jaring Apung (KJA) yang
diklasifikasikan sebagai kawasan budidaya merupakan tempat kerang hijau dibudidayakan.
Campuran lamun dan makroalga mendominasi pesisir keempat pulau. Dominasi tutupan lahan pesisir umumnya adalah patahan karang (rubble) dan karang mati yang tertutup alga (Dead Coral with Alga/DCA). Vegetasi pantai yang ada adalah mangrove, dimana mangrove alami hanya ditemukan di Pulau Onrust dengan jumlah yang tidak banyak, sementara di Pulau
Bidadari ditemukan mangrove hasil penanaman/budidaya. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa hasil interpretasi visual pada citra dan hasil lapangan memiliki tingkat validitas yang
cukup tinggi. Kondisi ekosistem pesisir keempat pulau masih tergolong kurang baik, hal ini ditandai dengan belum adanya karang hidup yang tumbuh.
Kata kunci: sumberdaya, pesisir, interpretasi, citra.
3. Title: Coastal Management Strategy for Small Island: Ecotourism Potency Development at
Karimata Island, West Kalimantan
Authors: Aninda W. Rudiastuti1), Munawaroh2), Iwan E. Setyawan3), and Gatot H.
Pramono4)
Presented at: ICERM, 25 November 2017, Bali
Abstract. Sustainable coastal management is playing an important role of coastal resources
conservation, particularly on small islands. Karimata archipelago has a unique characteristics and great potential to be developed as a tourism object, one of which is Karimata Island as the
largest island and also reserve area. The concept of ecotourism focuses on the ecology
conservation, economic benefits, and social life. Ecotourism aims to build sustainable tourism that provides economically viable and social benefits to the community.This study aims to
develop coastal management strategy based on ecotourism at Karimata Island. Spatial approaching through coast type was done. Qualitative descriptive analysis and SWOT are used
to develop sustainable management strategies for the coast of Karimata Island, where the
opportunities and challenges to the development of coastal ecotourism Karimata Island also included. If this potential is optimally utilized, it can be relied as an economic opportunity for
local communities. Structurally shaped coast, marine depositional coast and coast build by organism are several of coastal types found at Karimata Island. Coastal ecosystems inhabited
Karimata Island are mangroves, coral reefs, and macro-algae. Karimata Island have not been optimally utilized for tourist destinations. The biggest obstacle encountered is the accessibility
from Kalimantan or other island at Karimata islands. Several problems related to the utilization
of coastal resources were found such as mangrove and coral reef damage, also regulation that less supportive. The results of this study are expected to provide an overview of solutions for
the development of coastal tourism potentials in Karimata Island.
Keywords: Karimata, Ecotourism, SWOT, Small Island, Coastal.
Top Related