TEKNIK MODIFIKASI CUACA UNTUK MENEKAN CURAH HUJAN
PADA DAERAH RAWAN BANJIR
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Bahasa Indonesia Keilmuan
Yang dibina oleh Dr. Endah Tri Priyatni, M.Pd., dan Muyassaroh, S.S., S.Pd.
Oleh
Rina Sri Utami
120722403875
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
PROGRAM STUDI S1 GEOGRAFI
Mei 2013
2
TEKNIK MODIFIKASI CUACA UNTUK MENEKAN CURAH HUJAN
PADA DAERAH RAWAN BANJIR
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Disamping kaya akan sumber daya alam serta keindahan alamnya,
Indonesia merupakan daerah rawan akan terjadinya bencana alam. Jenis bencana
alam yang sangat umum terjadi di Indonesia adalah bencana alam geologis dan
bencana alam hidrometeorologis. Bencana alam geologis adalah bencana alam
yang disebabkan oleh faktor yang bersumber dari dalam bumi, seperti gempa
bumi dan tsunami. Teori tektonik lempeng telah mengajarkan bahwa bagian luar
bumi terdiri dari berbagai lempeng kerak benua dan samudera, yang saling
bergerak satu terhadap lainnya, dengan kecepatan hingga bisa mencapai
20 cm/tahun (Pusat Informasi Riset Bencana Alam, Kementrian Riset dan
Teknologi). Sedangkan bencana alam hidrometeorologis merupakan bencana alam
yang disebabkan oleh faktor angin dan curah hujan. Banjir merupakan contoh
bencana alam hidrometeorlogis.
Selama Januari 2013, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. Nugroho (2013)
menyatakan bahwa 96 % dari 119 kasus bencana alam yang terjadi selama Januari
2013 merupakan bencana alam hidrometeorologis dan 36 kasus diantaranya
merupakan bencana banjir (detik.com). Bencana banjir di Indonesia bukan hanya
terjadi pada akhir-akhir ini saja. Data yang dicatat oleh BNPN menyatakan bahwa
sejak tahun 1815 hingga tahun 2013 telah terjadi 4000 kasus banjir di Indonesia.
Angka tersebut menduduki angka tertinggi dari angka-angka bencana alam yang
terjadi di Indonesia. Hal tersebut belum kasus-kasus yang pada masa lalu yang
tidak dapat dihimpun oleh BNPB karena keterbatasan akses informasi.
Banjir terjadi karena adanya faktor alam dan faktor aktivitas manusia.
Faktor alam terjadi dengan sendirinya, tanpa ada bantuan dari manusia. Faktor
aktivitas manusia merupakan keberadaan manusia dengan segala aktivitasnya.
Kedua faktor tersebut bekerja secara sinergis dan saling melengkapi, sehingga
3
banjir dapat terjadi. Jika dilihat dari fenomena banjir yang akhir-akhir ini terjadi
kesinergisan antara faktor alam dan faktor manusia tersebut terlihat dari intensitas
curah hujan, sedangkan faktor dari aktivitas manusia berupa pendangkalan sungai.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pelaksana Harian Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana (Lakhar Bakornas PB: 2007), yang
mengatakan:
Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas
normal, sehingga sistim pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal
penampung bajir buatan yang ada tidak mampu menampung
akumulasi air hujan tersebut hingga meluap. Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran air dimaksud tidak selamanya sama, tetapi
berubah akibat adanya sedmentasi, penyempitan sungai akibat
fenomena alam dan ulah manusia, tersumbat sampah serta hambatan lainnya.
Perubahana penggunaan lahan pada daerah pegunungan dan hulu sungai
menjadi pemicu utama terjadinya pendangkalan sungai. Idealnya penggunaan
lahan di daerah pegunungan dan hulu sungai adalah hutan yang berfungsi sebagai
daerah resapan air hujan. Hujan yang jatuh menuju permukaan bumi tidak secara
langsung jatuh ke tanah. Air hujan tersebut jatuh pada batang-batang pohon dan
ditahan oleh dedaunan sebelum sampai ke permukaan bumi. Ketika sampai pada
permukaan bumi air hujan juga masih ditahan oleh daun-daun kering yang telah
gugur sehingga sedikit air hujan yang mengalir ke aliran sungai dan megurangi
terjadinya erosi.
Saat ini banyak daerah pegunungan yang beralihfungsi menjadi vila-vila,
permukiman penduduk dan tegalan. Jika air hujan jatuh pada daerah ini, maka
resapan (infiltrasi) tidak bisa berjalan secara optimal. Pada daerah dengan
penggunaan lahan sebagai tegalan, air hujan yang jatuh tidak mengalami
hambatan apapun. Air hujan langsung jatuh pada tanah serta mengalir dengan
leluasa. Tanah yang tidak memiliki guguran dedaunan mengurangi infiltrasi air.
Air menjadi leluasa mengalir dan dalam aliran tersebut air membawa material
tanah. Jika air sudah sampai pada daerah yang datar maka tanah tersebut akan
diendapkan. Hal tersebut menjadi penyebab timbulnya pendangkalan daerah aliran
sungai yang memicu terjadinya banjir. Banjir yang terjadi pada daerah hilir sulit
untuk diatasi. Hujan yang terus mengguyur sementara air tidak berkurang karena
4
air sungai mengalir dengan lambat. Pada kondisi seperti ini, perlu adanya
antisipasi modifikasi cuaca pada daerah rawan banjir untuk menekan curah hujan
sebagai upaya pencegahan terjadinya banjir.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor penyebab terjadinya banjir?
2. Cara apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi banjir?
3. Bagaimana teknik modifikasi cuaca dapat dilaksanakan untuk menekan
curah hujan pada daerah rawan banjir?
1.3. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan faktor yang menyebabkan terjadinya banjir.
2. Untuk mendeskripsikan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi banjir.
3. Untuk mendeskripsikan teknik modifikasi cuaca dapat dilaksanakan untuk
menekan curah hujan pada daerah rawan banjir.
2. Pembahasan
2.1. Faktor Penyebab Daerah Rawan Banjir
Daerah rawan banjir merupakan daerah yang potensial untuk dilanda
banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir (pernah atau
berulangkali), (Departemen Pekerjaan Umum). Banjir merupakan fenomena yang
sering terjadi pada berbagai wilayah di Indonesia. Menurut Bakornas PB (2007)
banjir dapat diartikan sebagai berikut:
a. Aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas
dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di sisi
sungai. Aliran limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir dan
melimpas muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air.
b. Gelombang banjir berjalan kearah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan
kenaikan muka air akibat badai.
Lee, (1990) mengatakan bahwa suatu banjir diberi batasan sebagai laju
aliran yang relatif tinggi yang menyebabkan suatu aliran sungai melebihi tepinya.
Sedangkan Richard (1995) dalam Martha (2011) mengartikan banjir dalam dua
5
pengertian, yaitu: 1) meluapnya air sungai yang disebabkan oleh debit air sungai
yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan tinggi, 2) genangan
pada daerah dataran rendah yang datar yang biasaya tidak tergenang.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa banjir
merupakan peristiwa yang terjadi karena meluapnya debit air sungai. Sungai
menerima limpasan air yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ketika sungai
tidak mampu menerima air yang tidak sesuai dengan kemampuannya maka debit
sungai akan meningkat dan tidak sesuai dengan volume yang seharusnya. Pada
kondisi yang demikian, sungai sudah tidak mampu menampung air, sehingga air
sungai yang meluap mengalir ke tempat disekitarnya. Air yang mengalir tersebut
menjadi genangan yang sering disebut dengan banjir.
Penyebab terjadinya banjir pada berbagai wilayah sangat bervariasi.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh karakteristik yang berbeda-beda pada
masing-masing wilayah. Secara garis besar banjir disebabkan oleh dua faktor
yaitu faktor alam dan faktor aktivitas manusia. Faktor alam dan faktor manusia
bekerja secara sinergis, sehingga keduanya mempunyai hubungan yang saling
mempengaruhi. Faktor alam merupakan faktor yang terjadi karena alam itu
sendiri, tanpa memperoleh bantuan dari manusia. Sedangkan faktor aktivitas
manusia merupakan keberadaan manusia dan segala aktivitasnya. Alam telah
mempunyai siklus sendiri, sehingga tanpa adanya manusiapun alam akan berjalan
sesuai dengan siklusnya. Hal ini berbanding terbalik dengan manusia, keberadaan
manusia tentu sangat membutuhkan alam sebagai tempat tinggal dan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melihat fenomena banjir yang terjadi pada akhir-akhir ini, banjir lebih
banyak disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan dan pendangkalan
sungai. Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
(Lakhar Bakornas PB: 2007) mengatakan bahwa pada umumnya banjir
disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal, sehingga sistim pengaliran
air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase
dan kanal penampung bajir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi
air hujan tersebut hingga meluap. Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran
air dimaksud tidak selamanya sama, tetapi berubah akibat adanya sedimentasi,
6
penyempitan sungai akibat fenomena alam dan ulah manusia, tersumbat sampah
serta hambatan lainnya.
Hujan merupakan fenomena hidrologis yang berlangsung di atmosfer.
Curah hujan yang jatuh ke bumi kadang-kadang sangat deras, deras, sedang, dan
sangat kecil (Utaya, 2012). Intensitas curah hujan merupakan faktor alami
(faktor alam) terjadinya banjir. Hujan merupakan input air yang ada pada aliran
sungai. Curah hujan yang di atas normal tentu sangat berpengaruh terhadap
peluang terjadinya banjir pada suatu wilayah. Biasanya curah hujan tertinggi di
Indonesia terjadi pada bulan Februari-Maret.
Jika dikaji secara mendalam, pendangkalan sungai lebih banyak
disebabkan oleh faktor aktivitas manusia. Peningkatan jumlah penduduk dari
tahun ketahun, diikuti oleh peningkatan jumlah kebutuhan hidup. Kebutuhan yang
paling pokok pada kehidupan manusia adalah kebutuhan sandang, pangan dan
papan. Perubahan penggunaan lahan terjadi seiring dengan tuntutan manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Utaya (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin
tinggi, menuntut tersedianya kebutuhan hidup yang lebih tinggi. Akibatnya
manusia melakukan eksploitasi terhadap alam. Dalam hal ini, di satu sisi alam
rusak akibat eksploitasi, disisi lain manusia membuang sampah atau limbah ke
alam sehingga mencemari alam.
Hal utama yang menyebabkan pendangkalan sungai pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) adalah perubahan penggunaan lahan. Lahan banyak beralihfungsi
menjadi permukiman, industri dan pariwisata. Perubahan peggunaan lahan ini
menyebabkan berkurangnya tutupan vegetasi penutup lahan. Padahal vegetasi
memiliki peranan yang penting dalam proses peresapan air hujan.
Sunaryo, Walujo dan Harnanto (2005), Yusuf (2005), Saida (2012)
mengungkapkan hal yang senada bahwa ketimpangan daerah tangkapan hujan
terutama disebabkan oleh ketimpangan dalam pemanfaatan lahan. Ketimpangan
tersebut disebabkan oleh perubahan perubahan (konversi) lahan yang tidak
terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi alami
berubah menjadi kawasan terbuka.
7
Pada saat hujan berlangsung, air tidak dapat tertahan secara memadai di
perrmukaan tanah sehingga proses peresapan kedalam tanah menjadi terhambat.
Hal ini mengakibatkan limpasan air mengalir tanpa hambatan di permukaan tanah.
Kondisi yang demikian dapat memicu terjadinya banjir secara mendadak.
Saat ini banyak wilayah, terutama pada daerah tangkapan hujan yang
mengalami alihfungsi lahan. Kawasan bervegetasi semakin mengalami penurunan
dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dari data diperoleh informasi yang
menunjukkan laju kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 1,6 juta hingga
dua juta hektar dalam lima tahun. Sedangkan hutan di Pulau Jawa diperkirakan
tinggal 3—5 % dari luas Pulau Jawa secara keseluruhan.
Akibat penurunan jumlah kawasan vegetasi, kemampuan DAS dalam
menahan air semakin menurun. Tanah yang terhempas oleh air hujan mudah
tererosi, yang mengakibatkan meningkatnya intensitas sedimentasi pada dasar
sungai. Sedimentasi yang terjadi berujung pada pendangkalan sungai.
2.2. Cara yang Bisa Dilakukan Untuk Mengatasi Banjir
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi banjir. Upaya tersebut
meliputi pembangunan tanggul, normalisasi sungai dan larangan membuang
sampah secara sembarangan. Upaya tersebut memang dapat menekan terjadinya
banjir. Namun disadari atau tidak, bahwa upaya-upaya tersebut mengarah pada
upaya pengendalian banjir yang bersifat secara struktur. Upaya yang seharusnya
dilakukan adalah upaya jangka panjang yang memperhatikan pola hidrologis atau
siklus air. Hal tersebut juga diungkapkan oleh pengamat banjir sekaligus mantan
Dirjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Siswoko (2013) yang
menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah banjir lebih
berorientasi pada pembangunan fisik dan bukan pengelolaan di jaringan sumber
air maupun pada lahan daerah tangkapan air. Upaya mengatasi masalah banjir
yang mengandalkan pembangunan struktur yang dilaksanakan pemerintah terbukti
tidak efektif untuk mengatasi atau mengurangi masalah banjir, sehingga
diperlukan model pengendalian banjir secara terpadu dan komprehensif dengan
mengacu pada upaya pembangunan non struktur yang melibatkan seluruh
stakeholder (ugm.ac.id).
8
Sebenarnya kegiatan nonstruktur lebih utama untuk dilakukan, karena hal
tersebut merupakan akar permasalahan penyebab banjir. Konservasi lahan di
hulu-hulu sungai dan daerah tangkapan hujan perlu dilakukan untuk menekan
besarnya aliran permukaan air. Selai itu dengan adanya konservasi dapat menekan
terjadinya erosi dan sedimentasi pada dasar sungai, sehingga dapat menekan
pendangkalan sungai. Hal ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Mengingat pohon yang ditanam memerlukan waktu puluhan tahun untuk tumbuh
menjadi besar. Bakornas PB dalam Susanto (2006) merekomendasikan perlunya
reboisasi dan pembangunan sistem peresapan air untuk mengatur kecepatan aliran
dan debit permukaan air dari daerah hulu sungai guna mengurangi banjir.
Saat ini banyak gerakan tanaman seribu pohon yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat. Pada peringatan hari bumi misalnya, terdapat berbagai
macam organisasi yang melakukan tanam seribu pohon. Hal ini merupakan bentuk
kepedulian terhadap lingkungan yang patut untuk diapresiasi, namun yang perlu
diingat adalah perawatan pohon-pohon tersebut yang perlu diperhatikan.
Perawatan pohon-pohon yang telah ditanam memang membutuhkan waktu, tenaga
dan biaya yang tidak sedikit. Ada baiknya hal tersebut dilaksanakan, jika
membawa pada kepentingan dan kebaikan bersama. Hal itu agar sesuai dengan
tujuan utama penanaman pohon-pohon tersebut, yaitu dapat tumbuh dan
manfaatnya benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat, terutama dalam menekan
terjadinya banjir.
Kondisi banjir yang akhir-akhir ini terjadi sulit untuk diatasi. Hal ini
disebabkan oleh permasalahan yang terlanjur kompleks. Akar dari permasalahan
banjir telah bercabang menjadi akar-akar yang baru. Ketika banjir sudah tidak
mampu diatasi dan air tetap menggenang pada daerah yang terkena banjir, maka
perlu dilakukan antisipasi berupa modifikasi cuaca untuk menekan terjadinya
penambahan volume genangan air.
2.3. Upaya Penekanan Curah Hujan Pada Daerah Rawan Banjir dengan
Teknik Modifikasi Cuaca
Teknik modifikasi cuaca merupakan metode modifikasi awan atas usaha
manusia. Pada awalnya modifikasi cuaca dilakukan untuk mendapatkan hujan
9
buatan, karena pada satu daerah terlanjur kering. Sebelum muncul teknik
modifikasi cuaca, manusia membuat hujan dengan melakukan berbagai ritual
kepada dewa. Manusia pada zaman itu melakukan tari-tarian, doa-doa, dan
membaca mantra untuk mendapatkan hujan. Pada zaman sekarang teknik
modifikasi cuaca bisa digunakan untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah
untuk mangatasi banjir. Teknik modifikasi cuaca terbukti efektif mengurangi
curah hujan pada area yang terkena banjir. Hal ini dilihat dengan penerapan
modifikasi cuaca pada acara Sea Games XXVI di Palembang, Sumatera Selatan
pada tahun 2011. Keberhasilah pada teknik modifikasi cuaca tersebut mencapai
80% dan hujan tidak turun di area Sea Games.
Teknik modifikasi cuaca dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Teknologi (BPPT) yang bekerjasama dengan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan TNI Angkatan Udara. Kerjasama yang
dilakukan oleh BPPT dengan TNI Angkatan Udara adalah untuk mendukung
kegiatan teknik modifikasi cuasa dengan menyediakan pesawat yang dimiliki oleh
TNI Angkatan Udara.
Sebagaimana teknik modifikasi cuaca yang telah dilakukan di Jakarta
untuk mengatasi banjir. Pelaksanaan teknik modfikasi cuaca bisa menggunakan
pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara dan pesawat Cassa milik BPPT.
Pesawat tersebut membawa material garam untuk menyemai awan yang
berpotensi hujan. Pesawat diberangkatkan dari Bandara Halim Perdanakusuma
dan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan (metrotvnews.com). Hal senada
juga diungkapkan oleh Humas BNPB yang menyatakan bahwa pelaksanaan teknik
modfikasi cuaca dilakukan dengan mengerahkan empat pesawat terbang yaitu satu
Hercules C-130 TNI AU dan tiga peswat CASA 212-200 untuk mempercepat
awan menjadi hujan (setkab.go.id).
Metode yang digunakan dalam penyemaian awan bisa dilakukan dengan
dua cara. Cara yang pertama yaitu dengan membuyarkan awan-awan cumulus
yang berpotensi menghasilkan hujan dengan intensitas tinggi. Sedangkan yang
kedua adalah dengan cara memepercepat turunnya hujan misalnya dengan
mengadakan penyemaian awan pada saat awan tersebut mulai tumbuh menjadi
awan potensial. Bahan semai yang digunakan untuk membuyarkan awan adalah
10
Kalsium Oksida (CaCO 3). Sedangkan untuk mempercepat turunnya hujan adalah
garam dapur (NaCl). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Lestari yang
menyatakan bahwa metode yang digunakan dalam teknik modifikasi cuaca adalah
dengan mengatur strategi penyemaian awan, dengan dua cara yaitu : 1)
Membuyarkan awan-awan cumulus yang berpotensi menghasilkan hujan dengan
intensitas tinggi dan cara, 2) Memepercepat turunnya hujan misalnya dengan
mengadakan penyemaian awan pada saat awan tersebut mulai tumbuh menjadi
awan potensial.
Teknik modifikasi cuaca dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya
banjir yang terlanjur parah pada suatu wilayah. Teknik modifikasi cuaca
yang sering dilakukan adalah dengan metode memepercepat turunnya hujan
sebelum mencapai tempat yang sedang terkena banjir. Untuk mempercepat
tumbuhnya awan dilakukan dengan penyemaian Natrium Klorida (NaCl) atau
garam dapur pada awan hangat. Garam merupakan bahan semai yang dapat
mematangkan awan. Secara higroskopis garam mampu melakukan tarikan pada
awan. Garam yang bertemu dengan aerosol mempercepat pembentukan inti
kondensasi. Inti kondensasi merupakan syarat yang harus dimiliki dalam proses
terjadinya hujan.
Tjasyono HK (2004) mengatakan bahwa garan dapur (NaCl) bertindak
sebagai inti kondensasi dan jika ditaburka didalam awan, ia bertindak sebagai
larutan yang dapat menggiatkan mekanisme benturan dan penggabungan. Jika
diameter butir garam 40 µm (atau jejarinya 20 µm) maka satu butir garam adalah
32x10-9
cm3.
Berikut adalah penjelasan kekuatan garam dalam menyemai awan :
V = 4/3πr2 = 4/3 x 3,14 x (2.10
-2)
3 mm
3
= 32 x 10-6
mm3 = 32 x 10
-9 cm
3
Jika massa jenis garam, ρ = 1,2 gram/cm3, maka satu butir garam :
m = V. Ρ = 32 x 10-9
cm3 x 1,2 gr/cm
3
= 38,4 x 10-9
gram
Jadi dalam satu kilogram terdapat = 1000 x 109 butir
38,4
= 26 x 109 butir
1000
38,4
11
Pesawat Dakota mampu mengangkat satu ton garam yang setara dengan
26 x 1012
butir garam, biasanya disebar dalam tempo, t = 45 menit = 45 x 60 detik
= 2.700 detik. Jadi setiap detik disebarkan = ( 26 x 1012
) 2700 = 1010
butir garam
NaCl. Hasil ini sesuai dengan hujan rangsanga di India, yaitu 1010
butir
garam tiap detik disebar dari bawah dengan memakai generator dan menambah
hujan 42% dengan asumsi semua butir garam masuk melalui dasar awan
(Tjasyono HK, 2004).
Sebelum melaksanakan modifikasi cuaca, hal yang harus diperhatikan
adalah kondisi cuaca. Kondisi cuaca merupakan salah satu penentu keberhasilan
dalam pelaksanaan kegiatan teknik modifikasi cuaca. Informasi kondisi cuaca
akan akan dikirim pada Pos Komando pada pukul 06.00 WIB. Informasi yang
disampaikan pada Pos Komando adalah laporan mengenai arah dan kecepatan
angin pada setiap ketinggian, suhu dan kelembapan udara, perawanan, jenis awan
dan lain-lainnya. Pada pukul 07.00 WIB disiapkan pesawat helikopter atau
pesawat Porter Pillatus. Setelah itu, dilakukan rapat singkat selama kurang lebih
30 menit untuk membuat perencanaan operasi seperti lokasi seperti lokasi
penyebaran penyebaran dan jenis serta banyaknya garam yang akan disebarkan.
Jika rapat telah selesai dilaksanakan, langkah selanjutnya adalah
pelaksanaan operasi pertama dengan menyebarkan garam pada lokasi yang
ditentukan. Pada pukul 08.00 WIB diluncurkan radiosonde untuk mengukur
tekanan (p), suhu (T), dan kelembapan nisbi (RH) pada setiap ketinggian. Awan
yang memasuki tingkat dewasa kemudian dirangsang menggunakan NaCl. Garam
disemai mengggunakan pesawat Porter Pillatus pada ketinggian 200 m diatas
dasar awan. Operasi akan selesai sekitar pukul 17.00 WIB. Setelah operasi selesai
akan dilakukan rapat evaluasi untuk mengukur keberhasilan operasi yang telah
dilaksanakan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Tjasjono (1995) yang
menyatakan bahwa setelah operasi selesai (jam 17.00 WIB) biasanya dilakukan
rapat kembali sebagai evaluasi keberhasilan operasi yang baru saja dilakukan.
12
3. Penutup
3.1. Simpulan
Dari pembahasan makalah teknik modifikasi cuaca ini, dapat disimpulkan
bahwa :
1. Banjir merupakan peristiwa meluapnya debit air sungai karena sungai
menerima aliran air yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Secara garis
besar banjir disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia yang bekerja
secara sinergis. Pada akhir-akhir ini, banjir lebih banyak disebabkan oleh
pendangkalan sungai sebagai faktor aktivitas manusia yang didukung oleh
tingginya intensitas curah hujan sebagai faktor alam. Penurunan jumlah
kawasan vegetasi, menyebabkan kemampuan DAS dalam menahan air
semakin menurun yang berujung pada pendangkalan sungai.
2. Hal yang harus diperhatikan dalam penanganan bajir adalah akar dari
permasalahan banjir itu sendiri. Selama ini, cara yang dilakukan untuk
megatasi banjir fokus pada kegiatan yang bersifat struktur. Kegiatan
nonstruktur sebenarnya lebih utama untuk dilakukan. Karena hal tersebut
merupakan penanganan secara langsung dari akar permasalahan penyebab
banjir. Konservasi lahan di hulu-hulu sungai dan daerah tangkapan hujan
perlu dilakukan untuk menekan besarnya aliran permukaan air. Selain itu
dengan adanya konservasi dapat menekan terjadinya erosi dan sedimentasi
pada dasar sungai, sehingga dapat menekan pendangkalan sungai.
3. Pada kawasan yang terlanjur banjir parah, diperlukan teknik modifikasi cuaca
sebagai cara yang efektif untuk menangani banjir. Teknik modifikasi cuaca
dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan membuyarkan awan-awan
dan mematangkan awan sehingga memepercepat turunnya hujan.
Pembuyaran awan dilakukan dengan menaburkan Kalsium Oksida (CaCO3)
pada awan. Sedangkan untuk mempercepat turunnya hujan sebelum mencapai
kawasan banjir diakukan dengan penyemaian garam dapur (NaCl) setinggi
200 m diatas dasar awan dengan menggunakan pesawat.
13
3.2. Saran
Dari pembahasan makalah modifikasi cuaca ini diharapkan kepada
pemerintah daerah untuk mempertimbangkan pelepasan hutan dan ruang terbuka
hijau guna kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini harus dilakukan karena
mengingat pentingnya hutan dan ruang terbuka hijau bagi kehidupan. Jika hal
tersebut tidak dilaksanakan, maka pertumbuhan lahan terbangun menjadi tidak
terkendali. Petumbuhan lahan terbangun yang tidak terkendali menyababkan
rendahnya infiltrasi sehingga banjir sulit untuk dikendalikan. Kepada masyarakat
juga diharapkan agar secara bersama-sama turut menjaga lingkungan. Masyarakat
diharapkan tidak membuang sampah sembarangan terutama di sungai. Hal ini
dilakukan mengingat pentingnya sungai bagi kehidupaan yaitu sebagai
penampung mengalirnya limpasan air ketika terjadi hujan. Jika hal tersebut tidak
dilaksanakan maka dimungkinkan banjir dan bencana yang lainnya akan tetap
menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai. Menjaga lingkungan tidak hanya
menjadi tanggungjawab pihak pemerintah atau instansi tertentu. Menjaga
lingkungan merupakan tanggungjawab bersama, karena lingkungan tidak hanya
menjadi tempat tinggal instansi tertentu. Lingkungan adalah tempat tinggal
bersama, yang harus dijaga secara bersama-sama.
14
DAFTAR RUJUKAN
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Data & Informasi Bencana Indonesia.
(Online),
(http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id&con
tinue=y&lang=ID), diakses 11 April 2013.
Departemen Pekerjaan Umum. Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Daerah
Rawan Bencana Banjir. (online),
(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd
=9&cad=rja&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fwww.penataanr
uang.net%2Ftaru%2Fupload%2Fnspk%2Fpedoman%2FPengendalian_
PR_Kaw_RBBanjir.pdf&ei=AFN1UfSCNsyXrgeFg4GIBw&usg=AFQ
jCNFVWJATGWOiRX06tRLPWUvxJPd2kA&sig2=EZZUl_QUCiMJ
WbqeHHU4rw&bvm=bv.45512109,d.bmk), diakses 22 April 2013.
Detik.com. 2013. Januari 2013, Indonesia Dirundung 119 Bencana. (online),
(http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-
2013-indonesia-dirundung-119-bencana), diakses 11 April 2013.
Lee, Richard. 1990. Hidrologi Hutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lestari, Sri. 2002. Efektifitas Teknologi Modifikasi Cuaca Dalam Pengendalian
Banjir di DKI Jakarta. (online),
(http://www.iptek.net.id/ind/?mnu=8&ch=jsti&id=292) diakses 15 Mei
2013.
Martha, A. 2011. Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir Menggunakan Sistem
Informasi Geografi. (online),
(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd
=1&cad=rja&ved=0CDEQFjAA&url=http%3A%2F%2Frepository.ipb.
ac.id%2Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F51807%2FA11ama1
_BAB%2520II%2520Tinjauan%2520Pustaka.pdf%3Fsequence%3D6&
ei=iWGOUaTGOZDLrQfaoYCoDg&usg=AFQjCNEdIgOINlMpX3x-
PmhSqbvbAjdNsA&sig2=oshEYK_yAaxC6tUcGEBggA&bvm=bv.46
340616,d.bmk) diakses 10 April 2013.
Metrotvnews. 2013. BPPT: Modifikasi Cuaca di Jakarta Selesai Hari Ini.
(online),
(http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/27/5/134388/B
PPT-Modifikasi-Cuaca-di-Jakarta-Selesai-Hari-ini), diakses 15 Mei
2013.
Pusat Informasi Riset Bencana Alam, Kementrian Riset dan Teknologi. Jenis
Bencana. (online,
http://www.pirba.ristek.go.id/index.php/module/Disaster), diakses 11
April 2013.
15
Saida, Baiti Nur. 2012. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Terhadap
Upaya Pengurangan Dampak Banjir di Desa Kadungrejo Kecamatan
Baureno Kabupaten Bojonegoro. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FIS
UM.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 2013. Atasi Banjir Jakarta,BNPB dan
BPPT Gelar Modifikasi Cuaca. (online),
(http://www.setkab.go.id/nusantara-7149-atasi-banjir-jakarta-bnpb-dan-
bppt-gelar-modifikasi-cuaca.html) diakses 15 Mei 2013.
Sunaryo, Trie M, Tjoek Walujo dan Aris Harnanto. 2005. Pengelolaan Sumber
Daya Air Konsep dan Penerapannya. Malang: Bayumedia Publishing.
Susanto, A.B. 2006. Disaster Management di Negeri Rawan Bencana. Jakarta:
The Jakarta Consulting Group.
Tjasjono, Bayong. 1995. Klimatologi Umum. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Tjasyono HK, Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung: Penerbit ITB.
Universitas Gajah Mada. 2013. Pakar UGM Beri Masukan Mengatasi Banjir
Jakarta. (online),
(http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5271) diakses 14
Mei 2013.
Utaya, Sugeng. 2012. Pengantar Hidrologi. Yogyakarta: Aditya Media
Publishing.
Yusuf, Yasin. 2005. Anatomi Banjir Kota Pantai Perspektif Geografi. Surakarta:
Pustaka Cakra Surakarta.
Top Related