Nikmat Allah Syukurilah dan Ujian-Nya
Sabarilah
Nikmat Allah Syukurilah dan Ujian-Nya Sabarilah
penulis Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
Syariah Akhlak 21 - Juni - 2007 19:01:11
Demikian banyak ni‟mat Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Tidak ada satupun manusia yg bisa
menghitung meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita berpikir utk apa
Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberikan demikian banyak ni‟mat kepada para hamba-Nya?
Untuk sekedar menghabiskan ni‟mat-ni‟mat tersebut atau ada tujuan lain?
Luas Pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala
Sungguh betapa besar dan banyak ni‟mat yg telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta‟ala
kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu ni‟mat kemudian beralih kepada
ni‟mat yg lain. Di mana kita terkadang tdk membayangkan sebelum akan terjadi dan
mendapatkannya. Sangat besar dan banyak krn tdk bisa utk dibatasi atau dihitung dgn alat
secanggih apapun di masa kini.
Semua ini tentu mengundang kita utk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang
Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada hamba-hamba-Nya. dlm realita kehidupan kita
menemukan keadaan yg memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dlm keingkaran dan
kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncak adl menyamakan pemberi ni‟mat dgn makhluk yg
keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Tentu hal ini
termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu
wa Ta‟ala di dlm firman-Nya:
“Sesungguh kesyirikan itu adl kedzaliman yg paling besar.”
Kendati demikian Allah Subhanahu wa Ta‟ala tetap memberikan kepada mereka sebagian
karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi
mereka pintu utk bertaubat. Oleh sebab itu tdk ada alasan bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala serta menyamakan Allah Subhanahu
wa Ta‟ala dgn makhluk-Nya yg sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dgn tdk mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu
wa Ta‟ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tdk mau menerima kebenaran dan
mengentengkan orang lain.
- Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Allah Subhanahu wa Ta‟ala
berfirman:
“Dan ni‟mat apapun yg kalian dapatkan adl datang dari Allah.”
“Dan jika kalian menghitung ni‟mat Allah niscaya kalian tdk akan sanggup.”
Pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala utk Satu Tujuan yg Mulia
Dari sekian ni‟mat yg telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada kita mari
kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dlm kalkulasi kita ni‟mat yg telah kita
syukuri dan dari sekian ni‟mat yg telah kita pergunakan utk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita
menemukan kalkulasi yg baik mk pujilah Allah Subhanahu wa Ta‟ala krn Dia telah
memberimu kesempatan yg baik. Jika kita menemukan sebalik mk janganlah engkau mencela
melainkan dirimu sendiri.1
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yg ada di dunia ini merupakan pemberian Allah
Subhanahu wa Ta‟ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa
Ta‟ala tersebut?
Ketahuilah bahwa keni‟matan yg berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakan manusia dan
bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada manusia tersebut. Allah
Subhanahu wa Ta‟ala menciptakan manusia utk sebuah kemuliaan bagi dan menjadikan
segala ni‟mat itu sebagai perantara utk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu
adl utk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala saja sebagaimana hal ini disebutkan
dlm firman-Nya:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah
kepada-Ku.”
Bagi orang yg berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu
wa Ta‟ala yg berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawaban yaitu utk beribadah
kepada-Nya saja mk dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu ada kematian setelah hidup ini dan ada kehidupan setelah kematian
diiringi dgn persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah l. Itulah kehidupan yg
hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:
1. Dunia bukan tujuan hidup.
2. Keni‟matan yg ada pada bukan tujuan diciptakan manusia akan tetapi sebagai perantara utk
suatu tujuan yg mulia.
3. Semangat beramal utk tujuan hidup yg hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa ni‟mat itu ada dua bentuk
ni‟mat yg menjadi tujuan dan ni‟mat yg menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yg
merupakan tujuan adl kebahagiaan akhirat dan nilai akan kembali kepada empat perkara.
Pertama: Kekekalan dan tdk ada kebinasaan setelah
Kedua: Kebahagian yg tdk ada duka setelahnya
Ketiga: Ilmu yg tdk ada kejahilan setelahnya
Keempat: Kaya yg tdk ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yg hakiki. Adapun bagian yg kedua adl sebagai perantara
menuju kebahagiaan yg disebutkan dan ini ada empat perkara:
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yg baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yg terkait dgn badan seperti harta kedudukan dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yg menghimpun ni‟mat-ni‟mat tersebut dgn segala keutamaan seperti
hidayah bimbingan kebaikan pertolongan dan semua ni‟mat ini adl besar.”
Untaian Indah dari Ibnu Qudamah
“Ketahuilah bahwa segala yg dicari oleh tiap orang adl ni‟mat. Akan tetapi keni‟matan yg
hakiki adl kebahagiaan di akhirat kelak dan segala ni‟mat selain akan lenyap. Semua perkara
yg disandarkan kepada kita ada empat macam:
Pertama: Sesuatu yg bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yg baik.
Inilah keni‟matan yg hakiki.
Kedua: Sesuatu yg memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala‟ yg hakiki.
Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan
mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguh bala bagi orang yg berakal sekalipun orang jahil
menganggap ni‟mat. Seperti seseorang yg sedang lapar lalu menemukan madu yg bercampur
racun. Bila tdk mengetahui dia menganggap sebuah ni‟mat dan jika mengetahui dia
menganggap sebagai malapetaka.
Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai ni‟mat bagi
orang yg berakal. Contoh obat bila dirasakan sangat pahit dan pada akhir akan
menyembuhkan .
Seorang anak bila dipaksa utk meminum dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yg
berakal akan menganggap sebagai ni‟mat. Demikian juga bila seorang anak butuh utk
dibekam sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anak utk melakukannya.
Namun sang anak tdk bisa melihat akibat di belakang yg akan muncul berupa kesembuhan.
sang ibu akan berusaha mencegah krn cinta yg tinggi kepada anak tersebut krn sang ibu tdk
tahu tentang maslahat yg akan muncul dari pengobatan tersebut.
Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan sehingga ia lbh
menuruti ibu daripada bapaknya. Bersamaan dgn itu sang anak menganggap bapak sebagai
musuh. Jika sang anak berakal niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan
musuh sesungguh dlm wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu utk berbekam akan
menggiring kepada penyakit yg lbh besar dibandingkan sakit krn berbekam.
Karena itu teman yg jahil lbh berbahaya dari seorang musuh yg berakal. Dan tiap orang
menjadi teman diri sendiri akan tetapi nafsu merupakan teman yg jahil. Nafsu akan berbuat
pada diri apa yg tdk diperbuat oleh musuh.”
Syukur dlm Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adl nampak bekas makan pada badan binatang dgn jelas. Binatang yg
syakur artinya: Apabila nampak pada kegemukan krn makan melebihi takarannya.
Adapun dlm tinjauan agama syukur adalah: Nampak pengaruh ni‟mat Allah Subhanahu wa
Ta‟ala atas seorang hamba melalui lisan dgn cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dgn
cara meyakini dan cinta; serta melalui anggota badan dgn penuh ketundukan dan ketaatan.
Ada juga yg mendefinisikan syukur dgn makna lain seperti:
1. Mengakui ni‟mat yg diberikan dgn penuh ketundukan.
2. Memuji yg memberi ni‟mat atas ni‟mat yg diberikannya.
3. Cinta hati kepada yg memberi ni‟mat dan anggota badan dgn ketaatan serta lisan dgn cara
memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan keni‟matan dan menjaga keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan ni‟mat tersebut kepada pemberi dgn ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yg tdk pantas utk mendapatkan ni‟mat.
8. Mengikat ni‟mat yg ada dan mencari ni‟mat yg tdk ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur akan tetapi semua kembali kepada
penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas syukur adl sebuah istilah yg digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah
ni‟mat. Karena mengetahui ni‟mat merupakan jalan utk mengetahui Dzat yg memberi ni‟mat.
Oleh krn itu Allah Subhanahu wa Ta‟ala menamakan Islam dan iman di dlm Al-Qur`an dgn
syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah ni‟mat merupakan rukun dari rukun-
rukun syukur.
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah ni‟mat mk dia akan mengetahui yg memberi
ni‟mat. Ketika seseorang mengetahui yg memberi ni‟mat tentu dia akan mencintai-Nya dan
terdorong utk bersungguh-sungguh mensyukuri ni‟mat-Nya.
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dgn Mengetahui Apa yg Dicintai Allah l
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tdk kufur tdk
akan sempurna melainkan dgn mengetahui segala apa yg dicintai oleh Allah l. Sebab makna
syukur adl mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada apa yg
dicintai-Nya dan kufur ni‟mat adl sebaliknya. Bisa juga dgn tdk memanfaatkan ni‟mat
tersebut atau mempergunakan pada apa yg dimurkai-Nya.”
Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna.
Pertama: Mengetahui adl sebuah ni‟mat. Arti dia menghadirkan dlm benak mempersaksikan
dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dlm benak sebagaimana terwujud dlm
kenyataan. Sebab banyak orang yg jika engkau berbuat baik kepada namun dia tdk
mengetahui . Gambaran ini bukan termasuk dari syukur.
Kedua: Menerima ni‟mat tersebut dgn menampakkan butuh kepadanya. Dan bahwa sampai
ni‟mat tersebut kepada bukan sebagai satu keharusan hak bagi dari Allah Subhanahu wa
Ta‟ala dan tanpa membeli dgn harga. Bahkan dia melihat diri di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta‟ala seperti seorang tamu yg tdk diundang.
Ketiga: Memuji yg memberi ni‟mat. dlm hal ini ada dua bentuk yaitu umum dan khusus.
Pujian yg bersifat umum adl menyifati pemberi ni‟mat dgn sifat dermawan kebaikan luas
pemberian dan sebagainya. Pujian yg bersifat khusus adl menceritakan ni‟mat tersebut dan
memberitahukan bahwa ni‟mat tersebut sampai kepada dia krn sebab Sang Pemberi tersebut.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:
“Dan adapun tentang ni‟mat Rabbmu mk ceritakanlah.” (Madarijus Salikin 2/247-248)
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah ni‟mat yg dia dapatkan kepada orang lain termasuk dlm kategori
syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yg diberikan kebaikan kepada hendaklah dia membalas dan jika dia tdk
mendapatkan sesuatu utk membalas hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memuji
sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikan sungguh dia telah kufur.
Dan barangsiapa yg berhias dgn sesuatu yg dia tdk diberi sama hal dgn orang yg memakai
dua baju kedustaan.”
Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
“Dan adapun tentang ni‟mat Rabbmu mk ceritakanlah.”
Menceritakan ni‟mat yg diperintahkan di dlm ayat ini ada dua pendapat di kalangan para
ulama.
Pertama: Menceritakan ni‟mat tersebut dan memberitahukan kepada orang lain seperti dgn
ucapan: “Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberiku ni‟mat demikian dan demikian.”
Kedua: Menceritakan ni‟mat yg dimaksud di dlm ayat ini adl berdakwah di jalan Allah
Subhanahu wa Ta‟ala menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut Ibnul Qayyim rahimahullahu dlm Madarijus Salikin mentarjih
dgn perkataan beliau: “Yang benar ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-
masing adl ni‟mat yg kita diperintahkan utk mensyukuri menceritakan dan menampakkan
sebagai wujud kesyukuran.”
Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yg lain dan marfu‟ disebutkan:
“Barangsiapa tdk mensyukuri yg sedikit mk dia tdk akan mensyukuri atas yg banyak dan
barangsiapa yg tdk berterima kasih kepada manusia mk dia tdk bersyukur kepada Allah.
Menceritakan sebuah ni‟mat kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkan adl
kufur bersatu adl rahmat dan bercerai berai adl azab.” (Madarijus Salikin 2/248)
Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur bisa dilakukan dgn hati lisan dan
anggota badan. Adapun dgn hati adl berniat utk melakukan kebaikan dan menyembunyikan
pada khayalak ramai. Adapun dgn lisan adl menampakkan kesyukuran itu dgn memuji Allah
Subhanahu wa Ta‟ala. Arti menampakkan keridhaan kepada Allah k. Dan hal ini sangat
dituntut sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam:
„Menceritakan ni‟mat itu adl wujud kesyukuran dan meninggalkan adl wujud kekufuran.‟
Adapun dgn anggota badan adl mempergunakan ni‟mat-ni‟mat Allah Subhanahu wa Ta‟ala
tersebut dlm ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk
kesyukuran terhadap ni‟mat kedua mata adl dgn cara menutup tiap aib yg dilihat pada
seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas ni‟mat kedua telinga adl menutup tiap aib yg
didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dgn tunduk
dan kepasrahan oleh lisan dgn mengakui ni‟mat tersebut dan oleh anggota badan dgn ketaatan
dan penerimaan.”
Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur krn mendapatkan apa yg disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam seperti Yahudi dan Nasrani
bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui
hakikat syukur dan di antara hakikat syukur adl menjadikan ni‟mat tersebut membantu dlm
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan mencari ridha-Nya niscaya engkau akan
mengetahui bahwa kaum musliminlah yg pantas menyandang derajat syukur ini.
„Aisyah radhiyallahu „anha telah menulis surat kepada Mu‟awiyah radhiyallahu „anhu:
„Sesungguh tingkatan kewajiban yg paling kecil atas orang yg diberi ni‟mat adl tdk
menjadikan ni‟mat tersebut sebagai jembatan utk bermaksiat kepada-Nya‟.”
Kedua: Mensyukuri sesuatu yg tdk disukai. Orang yg melakukan jenis syukur ini adl orang
yg sikap sama dlm semua keadaan sebagai bukti keridhaannya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Bersyukur atas sesuatu yg tdk disukai lbh berat
dan lbh sulit dibandingkan mensyukuri yg disenangi. Oleh sebab itulah syukur yg kedua ini
di atas jenis syukur yg pertama. Syukur jenis kedua ini tdk dilakukan kecuali oleh salah satu
dari dua jenis orang:
Seseorang yg semua keadaan sama. Arti sikap sama terhadap yg disukai dan tdk disukai
dan dia bersyukur atas semua sebagai bukti keridhaan diri terhadap apa yg terjadi. Ini
merupakan kedudukan ridha.
Seseorang yg bisa membedakan keadaannya. Dia tdk menyukai sesuatu yg tdk
menyenangkan dan tdk ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yg tdk menyenangkan
menimpa dia tetap mensyukurinya. Kesyukuran sebagai pemadam kemarahan sebagai
penutup dari berkeluh kesah dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena
sesungguh adab dan ilmu akan membimbing seseorang utk bersyukur di waktu senang
maupun susah.
Tentu yg pertama lbh tinggi dari yg kedua.
Ketiga: Seseorang seolah-olah tdk menyaksikan kecuali Yang memberi keni‟matan. Arti bila
dia melihat yg memberi keni‟matan dlm rangka ibadah dia akan menganggap besar ni‟mat
tersebut. Dan bila dia menyaksikan yg memberi keni‟matan krn rasa cinta niscaya semua yg
berat akan terasa manis baginya.
Manusia dan Syukur
Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yg terpuji dan sifat yg
dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Akan tetapi tdk semua orang bisa mendapatkannya.
Arti ada yg diberi oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan ada pula yg tidak.
Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Orang yg mensyukuri ni‟mat yg diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala.
Kedua: Orang yg menentang ni‟mat yg diberikan alias kufur ni‟mat.
Ketiga: Orang yg berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yg bersyukur. Orang yg
seperti ini dimisalkan dgn orang yg berhias dgn sesuatu yg tdk dia tdk miliki.
Dalil-dalil tentang Syukur
“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.”
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah
kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur.”
“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan.”
“Dan Allah akan membalas orang2 yg bersyukur.”
“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan
menambah dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”
Dari „Aisyah radhiyallahu „anha ia berkata:
:
:
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki
beliau lalu „Aisyah berkata: „Ya Rasulullah kenapa engkau melakukan yg demikian padahal
Allah telah mengampuni dosamu yg telah lewat dan akan datang?‟ Beliau menjawab:
„Apakah aku tdk suka menjadi hamba yg bersyukur?‟”
Masih banyak dalil lain yg menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah
Subhanahu wa Ta‟ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yg dibawakan di sini mewakili yg tdk
disebutkan.
Ancaman bagi orang2 yg Tidak Bersyukur
Yang tdk bersyukur lbh banyak dari yg bersyukur. Hal ini tdk bisa dipungkiri oleh orang yg
berakal bersih. Sebagaimana orang yg ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala lbh banyak
dari yg beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa Ta‟ala di dlm firman-Nya:
“Dan sedikit dari hamba-hambaKu yg bersyukur.”
Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yg beriman. Di mana Allah Subhanahu
wa Ta‟ala telah memperingatkan dari kufur ni‟mat setelah memerintahkan utk bersyukur dan
menjelaskan keutamaan yg akan di dapati sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa‟di
rahimahullahu dlm tafsir beliau: “Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa
Ta‟ala akan mengabadikan ni‟mat yg dia berada pada dan menambah dgn ni‟mat yg lain.”
Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
“Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah
dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika kalian mengkufuri ni‟mat menutup-
nutupi dan menentang mk yaitu dgn dicabut ni‟mat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa
Ta‟ala menimpa dgn sebab kekufurannya. Dan disebutkan dlm sebuah hadits: „Sesungguh
seseorang diharamkan utk mendapatkan rizki krn dosa yg diperbuatnya‟.”
Syukur dan Sabar
Kita akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukuri mk tentu
pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat ridha terhadap musibah yg menimpa
dirimu. Dan kita mengetahui bahwa ridha merupakan bagian dari kesabaran. Sementara
syukur merupakan buah dari sifat ridha.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yg paling tinggi dan
lbh tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di mana sifat ridha masuk
dlm syukur krn mustahil syukur ada tanpa ridha.”
Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tdk mau mensyukuri ni‟mat krn
pada ada dua yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka utk
mengetahui ni‟mat. Karena tdk tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa
mengetahui ni‟mat . Jika pun mereka mengetahui ni‟mat mereka menyangka bahwa
bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dgn lisan. Mereka
tdk mengetahui bahwa makna syukur adl mempergunakan ni‟mat pada jalan ketaatan kepada
Allah l.”
Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adl bahwa manusia banyak tdk bersyukur
krn ada dua perkara yg melandasi yaitu kejahilan dan kelalaian.
Mengobati Kelalaian dari Bersyukur
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yg hidup akan menggali segala macam
ni‟mat diberikan. Adapun hati yg jahil tdk akan menganggap sebuah ni‟mat sebagai ni‟mat
kecuali setelah bala‟ menimpanya. Cara hendaklah dia terus memandang kepada yg lbh
rendah dari dan berusaha berbuat apa yg telah dilakukan oleh orang2 terdahulu. Mendatangi
tempat orang yg sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yg sedang menimpa mereka
kemudian berpikir tentang ni‟mat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yg
terbunuh dipotong tangan mereka kaki-kaki mereka dan diazab lalu dia bersyukur atas
keselamatan diri dari berbagai azab.”
Wallahu a‟lam.
1 Demikianlah makna yg telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dlm
hadits yg diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu „anhu.
Sumber: www.asysyariah.com
Mengingkari Nikmat Allah
Memang benar jika dikatakan bahwa sebagian besar manusia itu adalah orang yang tidak mau
bersyukur atau tidak pandai berterima kasih. Bagaimana tidak, ketika Alloh Ta‟ala telah
begitu banyak memberinya nikmat, baik yang sifatnya dzohir maupun batin, hal itu tidak
membuat mereka sadar dan tergerak untuk semakin menambah ibadah mereka kepada Alloh.
Meskipun bukan berarti Alloh butuh terhadap ibadah tersebut sebagai balasan atas nikmat
yang telah Alloh berikan. Bahkan sebaliknya, kenikmatan itu justru membuat mereka
semakin jauh dari ibadah kepada Alloh Ta‟ala. Lalu bagaimana sikap yang benar yang harus
dilakukan oleh seorang hamba?
Kewajiban Seorang Hamba Adalah Bersyukur Serta Tidak Kufur
Banyak sekali dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah yang
memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Alloh „Azza wa Jalla dan melarang
kita untuk kufur terhadap nikmat-Nya.
Alloh Ta‟ala berfirman yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku
ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur terhadap
(nikmat)-Ku.” (QS. 2: 152)
Syaikh Abdurrahman Naashir As-Sa‟di rohimahulloh berkata, “Yakni bersyukurlah kalian
terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada kalian dan juga terhadap tercegahnya adzab
dari kalian. Di dalam syukur harus terkandung pengakuan dan kesadaran bahwa nikmat itu
semata-mata dari Alloh semata, dzikir dan pujian yang diucapkan melalaui lisannya serta
ketaatan anggota badannya untuk semakin tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Beliau menambahkan, “Dan karena
lawan dari syukur adalah kufur, maka Alloh Ta‟ala telah melarang darinya: „Dan janganlah
kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku‟. Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah sesuatu yang
menjadi lawan dari syukur, yakni kufur terhadap nikmat-Nya. Namun terkandung juga di
dalamnya, makna kufur yang sifatnya umum, yang paling besar adalah kufur kepada Alloh,
kemudian berbagai macam dan jenis maksiat.” (Taisir Karimir Rohman)
Di tempat lain Alloh juga berfirman yang artinya, “Mereka mengetahui nikmat-nikmat Alloh,
(tetapi) kemudian mereka meningkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
kafir.” (QS. 16: 83)
Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang,
„Ini adalah harta kekayaan yang diwariskan oleh nenek moyangku‟. Aun bin Abdulloh
mengatakan, “Yakni kata mereka, „Kalau bukan karena fulan tentu tidak akan menjadi
begini‟.” Dan menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, “Mereka mengatakan, „Ini berkat syafaat
sesembahan-sesembahan kita‟.” (Kitaabut Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimy)
Segala Nikmat yang Kita Terima adalah Murni Datangnya dari Alloh
Alloh berfirman yang artinya, “Dan tidak ada kenikmatan yang ada pada kalian kecuali
datangnya dari Alloh.” (QS. 16: 3). Syaikh Sholih Alusy-Syaikh hafidzohulloh berkata, “Ini
adalah dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan bahwa nikmat apa saja itu adalah dari
Alloh, karena lafadz „nikmat‟ dalam ayat ini datang dalam bentuk „nakiroh‟ dan dalam
konteks penafian. Sehingga ketika lafadz „nikmat‟ dalam ayat ini menunjukkan sesuatu yang
umum (maksudnya nikmat apa saja -ed), maka tidak bisa dikecualikan darinya suatu macam
nikmat tertentu itu datangnya selain dari Alloh. Maka nikmat apa saja, baik yang besar
maupun yang kecil, yang banyak maupun yang sedikit, itu semua datangnya dari Alloh
semata.
Adapun hamba hanyalah merupakan sebab sampainya nikmat tersebut ke tangan mereka atau
kepadamu. Apabila ada hamba yang menjadi sebab terselamatkannya dirimu dari kesusahan
atau menjadi sebab dalam keberhasilanmu, maka tidaklah menunjukkan bahwa hamba
tersebut adalah waliyyun ni‟mah (yang memberikan nikmat), kerena sesungguhnya waliyyun
ni‟mah hanyalah Alloh Azza wa Jalla. Keyakinan seperti ini termasuk kesempurnaan tauhid
seorang hamba, karena seorang muwahhid (orang yang sempurna tauhidnya) akan meyakini
dengan seyakin-yakinnya di dalam hatinya bahwa di sana tidak ada yang dapat memberikan
manfaat dan mudhorot kecuali hanyalah Alloh Robbul „alamin.” (At Tamhid Lii Syarhi
Kitabit Tauhid).
Menjadi Hamba yang Bersyukur
Syukur merupakan salah satu maqom (derajat) yang tinggi dari seorang hamba. Rasa syukur
itulah yang dapat membuat seorang hamba menjadi sadar dan termotivasi untuk terus
beribadah kepada Alloh. Seperti yang diceritakan dari Nabi bahwasanya beliau sholat malam
sampai bengkak kakinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan ini
wahai Rosululloh, padahal sungguh Alloh telah mengampuni seluruh dosa-dosamu baik yang
telah lewat ataupun yang akan datang?” Maka Rosululloh menjawab, “Tidakkah aku ingin
menjadi hamba-Nya yang bersyukur?” (HR. Bukhori dan Muslim)
Sehingga ketika mengetahui ini, Iblis la‟natulloh alaih, sebelum dia terusir ke dunia, berjanji
kepada Alloh „Azza wa Jalla untuk menggelincirkan manusia dan akan menghalangi mereka
untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur.
Alloh menceritakan perkataan Iblis ini, “Kemudian sungguh akan kami datangi mereka (bani
Adam) dari arah depan, arah belakang, samping kanan dan samping kiri mereka, sehingga
tidak akan Kau dapati kebanyakan di antara mereka yang bersyukur.” (QS. 7: 17)
Dan terbuktilah apa yang dikatakan oleh iblis, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh
yang artinya, “Dan sedikit sekali golongan hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. 34: 13)
Termasuk bersyukur adalah kita menerima apa pun yang ada pada kita saat ini, baik yang
sedikit maupun yang banyak. Karena pada hakekatnya kenikmatan yang kita terima itu tiada
terkira banyaknya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat
Alloh, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. 16: 18)
Rosululloh shollallohu „alaihi wa sallam pun bersabda, “Lihatlah orang yang yang ada di
bawahmu dan janganlah kamu melihat orang yang ada di atasmu. Hal itu akan lebih baik
bagimu agar kamu tidak meremehkan nikmat Alloh yang yang diberikan kepadamu.” (HR.
Bukhori Muslim)
Bagaimana Menjadi Hamba-Nya yang Bersyukur
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Syukur itu menurut asalnya adalah adanya
pengakuan akan nikmat yang telah Alloh berikan dengan cara tunduk kepada-Nya, merasa
hina di hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Maka barangsiapa yang tidak merasakan bahwa itu
adalah suatu kenikmatan maka dia tidak akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui
itu adalah nikmat namun dia tidak mengetahui dari mana nikmat itu berasal, dia juga tidak
akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan mengetahui
pula dari mana nikmat itu berasal, namun dia mengingkarinya sebagaimana orang yang
mengingkari Alloh yang memberi nikmat, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang
mengetahui itu adalah suatu nikmat dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya dan tidak
mengingkarinya, akan tetapi ia tidak tunduk kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya atau ridho
kepada-Nya, maka ia tidak mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat
dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya, tunduk kepada yang memberi nikmat,
mencintai-Nya dan meridhoi-Nya, dan menggunakan dalam kecintaan dan ketaatan kepada-
Nya, maka inilah baru disebut sebagai orang yang bersyukur.”
Ancaman dan Bahaya Untuk Orang yang Kufur Nikmat
Alloh berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah juga) ketika Robb kalian mengatakan,
„Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah sesungguhnya adzab-Ku sangat
pedih‟.” (QS. 14: 7). Dalam ayat yang mulia ini, Alloh Azza wa Jalla memberikan janji
kepada para hamba-Nya yang mau bersyukur, sekaligus memberikan ancaman yang keras
bagi mereka yang berani untuk kufur kepada-Nya.
Bukti dari ancaman Alloh ini dapat kita lihat dari kisah-kisah orang di sekitar kita, atau dari
apa yang Alloh ceritakan langsung dalam ayat-Nya tentang kisah Qorun. Alloh berfirman
yang artinya, “Qorun berkata, „Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang
ada padaku‟. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasannya Alloh sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu,
tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya.
Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, „Semoga kiranya kita
mempunyai seperti apa yang telah diberikan Qorun, sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar. Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke
dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab
Alloh dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS 28: 78-
79 & 81). Wal iyyadzu billah… semoga Alloh menjadikan kita termasuk ke dalam golongan
hamba-Nya yang bersyukur. Amiin.
***
Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Dari artikel Mengingkari Nikmat Allah — Muslim.Or.Id by null
Tampakkanlah Nikmat Allah
Kategori: Tafsir
1 Komentar // 27 Oktober 2011
Bagian syukur dari nikmat adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah.
Bukan malah kita menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah
beri kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita.
Allah Ta‟ala berfirman,
“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11).
Berikut beberapa pendapat ulama mengenai ayat di atas.
Dari Abu Nadhroh, ia berkata,
كان المسلمىن يرون أن مه شكر النعم أن يحّدث بها.
“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan
seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari
dalam kitab tafsirnya, Jaami‟ Al Bayaan „an Ta‟wili Ayyil Qur‟an (24: 491).
Al Hasan bin „Ali berkata mengenai ayat di atas,
“Kebaikan apa saja yang kalian perbuat, maka siarkanlah pada saudara kalian.” Disebutkan
oleh Ibnu Katsir, dari Laits, dari seseorang, dari Al Hasan bin „Ali (Tafsir Al Qur‟an Al
„Azhim, 14: 387).
Tentu saja nikmat atau kebaikan disampaikan pada orang lain jika mengandung maslahat,
bukan dalam rangka menyombongkan diri dan pamer atau ingin cari muka (cari pujian, alias
“riya‟ “). Lihat perkataan Syaikh „Abdurrahman bin Nashir As Sa‟di dalam kitab tafsirnya,
“Yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup nikmat din (akhirat) maupun nikmat dunia.
Adapun “fahaddits” bermakna “pujilah Allah atas nikmat tersebut”. Bentuk syukur di sini
adalah dengan lisan dan disebut khusus dalam ayat, dibolehkan jika memang mengandung
maslahat. Namun boleh juga penampakkan nikmat ini secara umum (tidak hanya dengan
lisan). Karena menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda seseorang bersyukur. Perbuatan
semacam ini membuat hati seseorang semakin cinta pada pemberi nikmat (yaitu Allah
Ta‟ala). Itulah tabiat hati yang selalu mencintai orang yang berbuat baik padanya.” (Taisir Al
Karimir Rahman, 928)
Ulama besar dari negeri „Unaizah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al „Utsaimin dalam tafsir
Juz „Amma menjelaskan, “Tahadduts ni‟mah (menyebut-nyebut nikmat Allah) adalah dengan
ditampakkan yaitu dilakukan dalam rangka syukur kepada pemberi nikmat (yaitu Allah
Ta‟ala), bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain. Karena jika hal itu
dilakukan karena sombong, maka itu jadi tercela.”
Syaikh „Abdul „Aziz bin „Abdillah bin Baz rahimahullah memberikan penjelasan menarik
tentang ayat di atas. Beliau rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kepada Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam untuk menyebut-nyebut nikmat yang Allah berikan. Nikmat itu
disyukuri dengan ucapan dan juga ditampakkan dengan amalan. Tahadduts ni‟mah
(menyiarkan nikmat) dalam ayat tersebut berarti seperti seorang muslim mengatakan,
“Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik. Saya memiliki kebaikan yang banyak. Allah
memberi saya nikmat yang banyak. Aku bersyukur pada Allah atas nikmat tersebut.”
Tidak baik seseorang mengatakan dirinya itu miskin (fakir), tidak memiliki apa-apa.
Seharusnya ia bersyukur pada Allah dan tahadduts ni‟mah (siarkan nikmat tersebut).
Hendaklah ia yakin bahwa kebaikan tersebut Allah-lah yang memberi. Jangan ia malah
menyebut-nyebut dirinya itu tidak memiliki harta dan pakaian. Janganlah mengatakan seperti
itu. Namun hendaklah ia menyiarkan nikmat yang ada, lalu ia bersyukur pada Allah Ta‟ala.
Jika Allah memberi pada seseorang nikmat, hendaklah ia menampakkan nikmat tersebut
dalam pakaian, makanan dan minumnya. Itulah yang Allah suka. Jangan menampakkan diri
seperti orang miskin (kere). Padahal Allah telah memberi dan melapangkan harta. Jangan
pula ia berpakaian atau mengonsumsi makanan seperti orang kere (padahal keadaan dirinya
mampu, pen). Yang seharusnya dilakukan adalah menampakkan nikmat Allah dalam
makanan, minuman dan pakaiannya. Namun hal ini jangan dipahami bahwa kita
diperintahkan untuk berlebih-lebihan, melampaui batas dan boros.” [Majmu‟ Fatawa wa
Maqolaat Mutanawwi‟ah, juz ke-4, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/32]
Semoga kita diberi taufik untuk merealisasikan syukur kepada Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.
Mensyukuri Nikmat
Sewaktu mengikuti pengajian tingkat RT, sang ustadz menceritakan sebuah kisah yang
nampaknya diambil dari sebuah Hadits. Berikut ini kisahnya yang ditulis ulang sedekat
mungkin dengan inti kisahnya.
Diceritakan tentang seorang ahli ibadah, yang demi menjaga ibadahnya dia mengasingkan
diri ke sebuah bukit, sepi, sendiri. Di sana dia khususkan hidupnya hanya untuk beribadah
selama 500 tahun.
Saat perhitungan amal di yaumul hisab, dia dengan bangga dan yakin bahwa dia akan masuk
surga karena amalannya yang sangat wah. Dia berkata, "Ya Alloh, masukkan aku ke surga
karena aku telah beribadah kepadamu selama 500 tahun"
Alloh berfirman kepada malaikat: "Wahai malaikat, masukkan orang ini ke neraka"
Si ahli ibadah terkejut, dan memprotes: "Bagaimana mungkin ya Alloh, aku telah
mengkhususkan hidupku untuk beribadah, tidak pernah sekalipun aku berbuat maksiat, tidak
sekalipun aku memakan makanan haram selain buah-buahan yang tersedia di bukit, tetapi
kenapa Engkau masukkan aku ke dalam neraka?"
"Wahai malaikat, ambil satu biji mata orang itu", perintah Alloh, "dan timbanglah dengan
amalan 500 tahunnya. Manakah yang lebih berat antara pahala ibadahnya dibandingkan
dengan nikmat mata yang Aku berikan?"
Dan ternyata lebih berat nikmat satu biji mata.
Ahli ibadah bisa menjalankan ibadahnya di puncak bukit itu karena mendapat nikmat mata.
Belum lagi nikmat pendengaran, nikmat pernafasan, nikmat jantung, dan banyak lagi yang
takkan mungkin terhitung.
Kita takkan bisa hidup tanpa bernafas beberapa menit saja. Namun seberapa sering kita
mensyukuri nikmat itu?
Apakah sebanding segala nikmat itu dengan amal ibadah yang kita lakukan?
Apalagi jika kita jarang beribadah.
Syukur Bertambah, Nikmat Melimpah Selasa, 19 Juli 2011 22:56 Abu Umar Abdillah, Lc
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa suatu kali hujan turun di zaman
Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu Nabi bersabda, ”Pagi ini, di
antara manusia ada yang bersyukur, namun ada juga sebagian yang
kufur. Mereka (yang bersyukur) berkata, ”Hujan ini adalah rahmat
dari Allah.” Namun sebagian lagi (yang kufur) berkata, ”Memang
benar (hujan turun karena) bintang ini dan bintang itu.” (HR
Muslim)
Ada yang Syukur dan Ada yang Kufur
Meski kasus di atas terkait dengan hujan, namun kaidah ini berlaku
untuk segela jenis nikmat yang Allah turunkan. Untuk setiap karunia
yang Allah berikan, selalu menjadi ujian untuk memisahkan dua
golongan, golongan orang yang bersyukur, dan golongan orang yang
kufur.
Dikatakan kufur atas nikmat Allah, karena mereka mengalamatkan asal nikmat dan rejeki yang disandangnya kepada selain
Allah. Bahwa rejeki datang karena kerja kerasnya, harta berlimpah karena kepiawaian dalam bisnisnya, atau karena semata-
mata kondisi ekonomi sedang bagus-bagusnya. Apalagi jika mengalamatkan rejeki diperoleh berkat jimat, pertolongan
leluhur, mendatangi dukun atau sesaji yang dilakukannya.
Sebagian lagi yang kurang, atau bahkan tidak bersyukur, mereka tidak peka atas nikmat yang tertuju kepadanya. Mereka
tidak menyadari tiap nikmat yang melekat pada dirinya. Karena fokus pikirannya hanya tertuju pada apa-apa yang belum
dimiliki.
Mereka baru sadar, ketika nikmat itu dicabut atau hilang dari genggaman. Inilah karakter kebanyakan manusia sebagaimana
yang difirmankan Allah,
”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya” (QS al-‟Adiyaat 6)
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah menyebutkan bahwa maksud ‟lakanuud‟ (sangat ingkar) adalah yang suka mengingat
musibah, namun melupakan nikmat.” Saat musibah datang, atau ada sesuatu yang hilang darinya, maka seakan ia tak pernah
memiliki apa-apa selain yang hilang itu. Maka bagaimana Allah akan memberikan nikmat tambahan jika mereka hanya
memandang nikmat dengan sebelah mata? Bagaimana pula mereka akan bahagia jika mereka tak mampu mendeteksi segala
nikmat yang disandangya? Begitulah siksa bagi orang yang kufur atas nikmat Allah di dunia, sebelum nantinya merasakan
pedihnya siksa di akhirat.
Ikat Nikmat dengan Syukur
Berbanding terbalik dengan kufur nikmat. Begitu indahnya nikmat saat direspon dengan syukur. Sungguh kesyukuran itu
bahkan lebih berharga nilainya dari nikmat yang disyukuri. Karena ia akan melahirkan banyak sekali buah dan faedah yang
akan dirasakan nikmatnya dalam segala sisi, baik di dunia maupun di akhirat. Tidaklah mengherankan, jika target setan
menggoda manusia dari segala arah adalah untuk menjauhkan manusia dari kesyukuran, Iblis berjanji,
”Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS al-A‟raf 17)
Setan tidak ingin manusia mendapatkan faedah melimpah karena bersyukur. Karena orang yang bersyukur tak hanya
terhindar dari siksa akhirat, tapi juga bisa mengenyam selaksa kebahagiaan di dunia.
Kebahagiaan akan terpancar di hati orang yang bersyukur. Tiada orang yang lebih berbahagia dan lebih optimis dari orang
yang bersyukur. Syeikh Abdurrahman as-Sa‟di menggambarkan kondisi hati orang yang bersyukur, “Orang yang bersyukur
adalah orang yang paling bersih jiwanya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Karena hati dipenuhi oleh
pujian terhadap-Nya, merasakan hadirnya setiap nikmat-nikmat dari-Nya, dia pun bahagia lantaran bisa menikmati karunia
dari-Nya. Lisannya senantiasa basah dengan ungkapan syukur dan dzikir kepada-Nya. Dan semua ini merupakan pondasi
terwujudnya kehidupan yang baik, inti dari kenikmatan jiwa, dan rahasia diperolehnya segala kelezatan dan kegembiraan.
Ketika hati menyadari dan mendeteksi hadirnya tambahan nikmat, maka harapan terhadap karunia Allah pun semakin
bertambah dan menguat.”
Tatkala seorang hamba merasa senang, mengakui nikmat dari Allah dan mensyukurinya, maka Allah tak ingin mencabut
nikmat itu darinya. Benarlah ungkapan para ulama bahwa asy-syukru qayyidun ni‟am, syukur adalah pengikat nikmat.
Dengannya, nikmat-nikmat yang tersandang menjadi langgeng dan lestari. Dan tak ada cara yang paling kuat untuk
mempertahankan nikmat selain dari syukur.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menurunkan nikmat atas hamba-Nya sesuai kehendak-Nya.
Jika ia tidak mensyukurinya, maka nikmat akan diganti dengan musibah. Karena itulah, syukur juga disebut dengan al-
haafizh (penjaga), karena ia bisa menjaga nikmat yang telah ada. Syukur disebut juga dengan al-jaalib (yang
mendatangkan), karena ia bisa mendatangkan nikmat yang belum di depan mata.”
Syukur bertambah, Nikmat Melimpah
Nikmat itu hadir karena syukur. Lalu syukur itu akan mengundang hadirnya tambahan nikmat. Tambahan nikmat akan terus
diturunkan kepada seorang hamba, dan tidak akan berhenti hingga hamba itu sendiri yang menghentikan syukurnya kepada
Allah. Begitulah kesimpulan cerdas dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu „anhu.
Sesuai dengan kadar syukur seseorang, sebanyak itu pula tambahan nikmat akan tercurah kepadanya. Tatkala menafsirkan
firman Allah,
“dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran 145)
Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Kami akan menurunkan karunia dan rahmat Kami di dunia dan di
akhirat sesuai dengan kadar syukur dan amal perbuatannya.” Mereka akan mendapatkan karunia tersebut, dan tak akan
terkurangi sedikitpun. Ketika seorang mukmin bersyukur dengan menjalankan ketaatan, maka Allah akan memberikan
balasan kepadanya sesuai dengan kadar syukurnya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi atas satu kebaikan seorang mukmin, Allah akan memberikan imbalan di dunia,
dan memberinya pahala di akhirat.” (HR Muslim)
Namun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang diberi kemudahan dalam memperoleh harta, atau rejeki datang silih
berganti itu selalu diartikan sebagai tambahan karunia. Ada kalanya kemudahan melimpah itu sebagai istidraj, Allah hendak
membiarkan mereka bersenang-senang sementara hingga nantinya akan disiksa secara tiba-tiba. Maka hendaknya seorang
mukmin segera mawas diri, apakah dia sedang berada dalam taat, ataukah maksiat, sehingga bisa dibedakan, apakah
kenikmatan itu berupa karunia atukah istidraj. Nabi saw bersabda,
”Jika kamu mendapatkan Allah memberikan kemudahan dunia kepada seorang hamba sementara ia bergelimang dengan
maksiat sesukanya, maka itu hanyalah istidraj.” (HR Ahmad)
Untuk merealisasikan syukur yang dengannya akan mengundang tambahan karunia, hendaknya kita senantiasa mengingat,
merenungi dan mencari-cari kenikmatan yang sudah kita miliki. Dengan cara seperti itu, kita pun akan merasakan nikmatnya
karunia, untuk kemudian bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan karunia.
Inilah yang sering dilakukan oleh para ulama. Seperti Fudhail bin Iyadh dan Sufyan bin Uyainah, keduanya duduk bersama
di malam hari untuk saling mengingatkan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada keduanya. Sufyan mengatakan,
”Allah telah menganugerahkan kepada kita ini dan itu, Dia telah menolong kita tatkala ini dan itu..” Begitupun halnya
dengan Fudhail.
Maka barangsiapa yang ingin diberi tamhahan nikmat, baik dalam hal ilmu, harta, keharmonisan rumah tangga dan segala
kemaslahatan yang lain, maka hendaknya mengingat nikmat, lalu mensyukuri dengan lisan dan menggunakan nikmat untuk
ketaatan. Karena Allah tidak pernah ingkar janji dengan firman-Nya,
Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema‟lumkan:”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu.” (QS al-Maidah 7)
Sebagaimana Allah juga tidak akan mengingkari janji-Nya,
147(
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (QS an-Nisa‟ 147)
Qatadah mengatakan, “yakni Allah tidak akan menyiksa orang yang bersyukur dan beriman.” Allahumma a‟inna „alaa
dzikri-Ka wa syukri-Ka wa husni „ibaadati-Ka, ya Allah bantulah kami untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, bersyukur
kepada-Mu dan memperbagus ibadahku kepada-Mu. Amiin. (Abu Umar Abdillah)
Top Related