ERNEST BORMANNProfessor of Speech Communication at the University of Minnesota
1
EDISI OKTOBER 2005 Pojok Teori SYMBOLIC CONVERGENCE THEORY(TEORI KONVERGENSI SIMBOLIK)
Oleh Antar Venus
Pernahkah anda terlibat pembicaraan dalam suatu kelompok yang anda merasa
canggung berada didalamnya? Atau anda merasa ‘tidak nyambung’ dengan apa yang
mereka perbincangkan? Atau kata-kata humor yang mereka percakapkan tidak terasa lucu
bagi anda, tapi membuat anggota lainnya tertawa terbahak-bahak? Kalau pernah, maka
beruntunglah anda karena mengalami apa yang disebut oleh ahli komunikasi kelompok
sebagai ougroup feeling. Perasaan yang menjadikan anda sebagai outsider atau orang
yang merasa berada diluar kelompok.
Menurut Teori Konvergensi Simbolik--yang nanti akan kita bahas, apa yang anda
rasakan itu normal adanya. Jadi sama sekali tidak ada yang salah dengan diri anda.
Persoalannya hanyalah terletak pada makna simbolik yang anda miliki berbeda dengan
makna kelompok. Karena masalah ini maka pembicaraan anda tidak mengalami
pemusatan makna dan akhirnya anda tidak memberikan reaksi yang sama sebagaimana
anggota lainnya.
Untuk memudahkan pemahaman anda tentang apa yang saya maksudkan diatas,
Sekarang cobalah anda maknai kata ”DITULIS TANGAN” yang sering digunakan dalam
kelompok diskusi saya. Adakah makna yang lain selain kegiatan menulis dengan tangan?
Kemungkinan besar tidak. Tapi kalau anda mengatakannya kepada anggota kelompok
diskusi saya, maka mereka akan tertawa keras atau setidaknya tersenyum-senyum.
Fenomena komunikasi yang dalam istilah Teori Konvergensi Simbolik disebut inside
joke ini, membantu kita menjelaskan mengapa proses pertukaran pesan antara anda dan
anggota kelompok diskusi tersebut tidak memunculkan reaksi dan perasaan yang sama.
Inilah yang dibicarakan dalam teori konvergensi simbolik dari Ernest G Bormann.
Menurut Bormann gagasan pokok teori ini adalah bahwa bertukar fantasi—lelucon,
cerita, analogi, ritual, atau sekadar permainan kata-kata-- akan membawa pada
pemusatan makna dan perasaan dari orang-orang yang terlibat. Jadi jika sebelumya
anda telah terlibat dengan tema-tema fantasi yang berkembang dalam kelompok tersebut,
niscaya anda akan memiliki perasan yang sama dan memberikan reaksi yang serupa
2
sebagaimana anggota kelompok lainnya. Bila mereka tertawa karena ada lontaran inside
joke, maka andapun akan begitu. Tapi ketawa anda bukan karena ikut-ikutan melainkan
karena gambaran atau makna tentang joke itu dalam kepala anda sama dengan yang ada
dalam benak anggota kelompok lainnya.
Bila anda belum puas dengan penjelasan diatas dan masih tertarik untuk
mengetahui teori ini lebih lanjut, Berikut adalah uraian yang relatif lengkap tentang teori
tersebut dengan cakupan bahasan meliputi riwayat kemunculan teori, pokok-pokok teori,
dan aplikasi serta evaluasinya.
LATAR BELAKANG TEORIKemunculan Symbolic Convegence Theory (selanjutnya disingkat SCT) atau
diIndonesiakan menjadi Teori Konvergensi Simbolik (TKS) diilhami dari hasil riset
Robet Bales mengenai komunikasi yang berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil.
Pada penelitian yang dilakukan tahun 1950-an tersebut Bales sebenarnya memfokuskan
penyelidikannya pada perilaku anggota kelompok yang terkait dengan cara mereka
mengakomodasi informasi yang diterima dan menggunakannya untuk membuat suatu
keputusan dalam kelompok . Namun dalam proses tersebut Bales menemukan kenyataan
lain yang juga menarik minatnya yakni adanya kecenderungaan anggota-anggota
kelompok menjadi dramatis dan kemudian berbagi cerita ketika kelompok mengalami
ketegangan. Menurut Bales (Kidd, 2004) Cerita-cerita tersebut—yang diantaranya
meliputi lelucon, kisah, ritual, perumpamaan atau permainan kata-kata-- ternyata
memiliki fungsi yang penting dalam mengurangi ketegangan kelompok (tension release)
bahkan mampu meningkatkan kesolidan kelompok. Bales menyebut fenomena ini
sebagai Fantasy theme. Ernest Bormann (Littlejohn, 1996) kemudian meminjam gagasan
tersebut untuk direplikasikan kedalam tindakan retoris masyarakat dalam skala yang
lebih luas dari sekadar proses komunikasi dalam kelompok kecil. Penelitian-penelitian
yang dilakukan Bormann secara intensif sepanjang tahun 1970-an tersebut kemudian
bermuara pada munculnya Teori Konvergensi Simbolik.
SCT untuk pertama kalinya diuraikan oleh Bormannn dalam tulisannya yang
bertajuk “Fantasies and Rhetorical Vision: The Rhetorical Criticism of Social Reality”
yang diterbitkan dalam quartely journal of Speech tahun 1972. Sejak itu Bormann
menulis puluhan artikel dan laporan penelitian yang menggunakan SCT sebagai landasan
3
teoritisnya dan Fantasy Theme Analysis (FTA) sebagai metodenya dengan fokus pada
kohesivitas dan budaya kelompok, pengambilan keputusan dalam kelompok,
penyanderaan, kartun politik hingga kampanye politik. Tulisan bormann lainnya yang
secara khusus dan lengkap berbicara tentang SCT adalah “Symbolic Convergence Theory
: A Communication Formulation” yang diterbitkan dalam Journal of Communication
edisi musim gugur tahun 1985.
Meski teori ini dapat diaplikasikan pada berbagai konteks komunikasi, namun
sebagai mana dikemukakan diatas penelitian-penelitian awal yang kemudian
memunculkan teori ini berlangsung dalam konteks komunikasi kelompok. Dengan
demikian tidak mengherankan bila kemudian para pakar komunikasi seperti Griffin
(2003:510), Salwen & Stacks (1996), Hirokawa & Poole, (1986) dan Miller (2002)
menempatkan teori ini dalam konteks komunikasi kelompok. Bahkan menurut Frey &
Poole (1999) teori ini merupakan teori yang paling komprehensif dan akurat dalam
menjelaskan hubungan antara komunikasi dan proses pengambilan keputusan dalam
kelompok.
POKOK-POKOK TEORI Bormann (1985) menyatakan bahwa teorinya dibangun dalam kerangka
paradigma Narratif yang meyakini bahwa manusia merupakan Homo Narrans yakni
makhluk yang saling bertukar cerita atau narasi untuk menggambarkan pengalaman dan
realitas sosialnya. Vasquez (Zeep, 2003) menjelaskan bahwa Homo Narrans merupakan
prinsip dasar bahwa manusia sebagai “social storytellers” yang berbagi fantasi dan
kemudian membangun kesadaran kelompok dan menciptakan realitas sosial. SCT
menegaskan bahwa solidaritas dan kohesivitas kelompok dapat dicapai melalui
kecakapan bersama dalam membaca dan menafsirkan tanda-tanda, kode-kode dan teks-
teks budaya. Hal ini membawa kepada terbentuknya realitas bersama (Shared reality).
Sebagai teori yang berparadigma narratif maka penelitian yang menerapkan
teori ini lebih mementingkan pengumpulan data interpretif ketimbang data kuantitatif
sebagaimana dikembangkan dalam teori berparadigma rasional. Karena sifatnya yang
demikian maka metode penelitian yang umumya digunakan dalam kerangka paradigrma
ini mencakup Studi kasus, analisis retoris atas catatan dan dokumen kelompok, serta
4
Analisis terhadap berbagai cerita yang berkembang didalam dan diantara anggota suatu
kelompok (Bormann, 1986).
Watson dan Hill (2000: 304-305) menjelaskan perbedaan paradigma rasional
dan naratif sebagai payung suatu teori komunikasi dengan membedakan pada keyakinan
tentang realitas. Menurut paradigma rasional realitas itu bersifat tunggal. Ada satu
kebenaran yang bersifat objektif yang dapat dijadikan pegangan untuk menilai atau
menguji satu argumentasi dan logika. Karena keyakinan yang seperti ini maka proponen
paradigma ini menganggap fantasi atau mitos sebagai sesuatu yang tidak benar, suatu
kebohongan belaka. Sebaliknya para pendukung paradigma naratif menganggap fantasi
adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh mereka fantasi tidak
diartikan sebagai kebohongan, melainkan sebagai tindakan sadar yang kreatif dan
imaginatif dalam memberikan makna terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Disini
fantasi memiliki nilai kebenarannya sendiri terggantung pada subyek yang
mempercayainya. Paradigma naratif berkeyakinan bahwa realitas itu bersifat majemuk
dan kebenaran dikonstruksi secara intersubjektif. Sampai disini kita akhiri saja
pembahasan tentang paradigma naratif yang menjadi payung teori ini. Sekarang marilah
kita membahas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan teori konvergensi simbolik itu.
Bormann menyatakan bahwa Teori Konvergensi Simbolik adalah teori umum
(general theory) yang mengupas tentang fenomena pertukaran pesan yang memunculkan
kesadaran kelompok yang beimplikasi pada hadirnya makna, motif dan perasaan
bersama (Hirokawa dan Poole, 1986; 219). Penjelasan Bormann di atas tampaknya masih
agak sukar dicerna, tapi maksudnya sederhana saja yakni teori ini berusaha menerangkan
bagaimana orang-orang secara kolektif membangun kesadaran simbolik bersama melalui
suatu proses pertukaran pesan. Kesadaran simbolik yang terbangun dalam proses tersebut
kemudian menyediakan semacam makna, emosi, dan motif untuk bertindak bagi orang-
orang atau kumpulan orang yang terlibat didalamnya. Sekumpulan individu ini dapat
berasal dari kelompok orang yang telah saling mengenal dan berinteraksi dalam waktu
yang relatif lama atau orang-orang yang tidak saling mengenal dan memiliki cara
berbeda dalam menafsirkan lambang yang digunakan tapi mereka kemudian saling
berkomunikasi sehingga terjadi konvergensi yang pada gilirannya menciptakan realitas
simbolik bersama . Dengan demikian proses konvergensi dapat muncul bukan hanya
5
dalam kelompok kecil yang relatif saling mengenal, tapi juga dapat terjadi dalam rapat
akbar, atau saat seseorang mendengarkan ceramah atau ketika kita menikmati film dan
iklan politik ditelevisi.
Dalam teori ini, Bormann (1990:106) mengartikan istilah konvergensi
(convergence) sebagai suatu cara dimana dunia simbolik pribadi dari dua atau lebih
individu menjadi saling bertemu, saling mendekati satu sama lain atau kemudian saling
berhimpitan ( the way in which the private symbolic worlds of two or more people begin
come together or overlap). Sedangkan istilah simbolik sendiri terkait dengan
kecenderungan manusia untuk memberikan penafsiran dan menanamkan makna kepada
berbagai lambang, tanda, kejadian yang tengah dialami, atau bahkan tindakan yang
dilakukan manusia (Bormann, 1986: 221). Dalam kaitan ini Bormann juga menyatakan
bahwa manusia adalah symbol-users dalam arti bahwa manusia menggunakan symbol
dalam komunikasi secara umum dan dalam storytelling (bercerita). Lewat simbol-simbol
inilah manusia saling mempertemukan pikiran mereka.
Ketika kelompok berbagi simbol bersama , komunikasi menjadi lebih mudah
dan efisien. Disini Para ahli TKS mengasumsikan hadirnya semacam “a meeting of mind’
atau perjumpaan pikiran (Infante.et.al., 1993:130). Ketika pikiran saling bertemu maka
orang mulai bergerak kearah penggunaan sistem simbol yang sama dan ini akan
meningkatkan saling pengertian diantara orang-orang yang terlibat. Saling pengertian
inilah yang kemudian menjadi dasar terciptanya kesadaran bersama serta kesamaan
pikiran dan perasaan tentang hal-hal yang diperbincangkan.
Dalam artikelnya berjudul “Symbolic Convergence Theory: A Communication
Formulation” (1985) Bormann menyebutkan tiga aspek atau struktur penting yang
membentuk bangunan teori ini yakni ; (1) Penemuan dan penataan bentuk dan pola
komunikasi yang berulang yang mengindikasikan hadirnya kesadaran bersama dalam
kelompok secara evolutif. (2) deskripsi tentang kecenderungan dinamis dalam sistem
komunikasi yang menerangkan mengapa kesadaran kelompok muncul, berlanjut,
menurun dan akhirnya menghilang, dan (3) faktor-faktor yang menerangkan mengapa
orang-orang terlibat dalam tindakan berbagi fantasi.
Disamping ketiga struktur pokok teori diatas, Bormann juga menyebutkan dua
asumsi pokok yang mendasari teori Konvergensi simbolik. Pertama, realitas diciptakan
6
melalui komunikasi. Dalam hal ini komunikasi menciptakan realitas melalui pengaitan
antara kata-kata yang digunakan dengan pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh.
Sedangkan asumsi kedua menyatakan bahwa Makna individual terhadap simbol dapat
mengalami konvergensi (penyatuan) sehingga menjadi realitas bersama. Realitas dalam
teori ini dipandang sebagai susunan narasi atau cerita-cerita yang menerangkan
bagaimana sesuatu harus dipercayai oleh orang – orang yang terlibat didalamnya. Cerita
tersebut semula dibincangkan dalam kelompok dan kemudian disebarkan kelingkungan
masyarakat yang lebih luas. Menyertai kedua asumsi pokok diatas Bormann (1986) juga
menyebutkan enam asumsi epistemologis teori ini yakni (1) Makna, emosi dan motif
bertindak ada pada isi pesan yang ternyatakan dengan jelas, (2) Realitas diciptakan secara
simbolik, (3) Rantai fantasi menciptakan konvergensi simbolik dalam bentuk dramatistik,
(4), analisis tema fantasi adalah metode pokok dalam menangkap relitas simbolik, (5)
tema fantasi dapat terjadi dalam berbagai wacana yang dikembangkan dan terakhir (6)
terdapat tiga Visi analog Master yakni ; Righteous, social dan pragmatic
Teori Konvegensi simbolik dibangun dengan melandaskan pada gagasan
bahwa anggota-anggota kelompok harus bertukar fantasi untuk dapat membentuk
kelompok yang kohesif. Dalam teori ini fantasi diartikan sebagai interpretasi yang kreatif
dan imajinatif terhadap berbagai peristiwa yang memenuhi kebutuhan psikologis dan
retoris (The creative and imaginative of narratives explaining how things are believed to
be) (Bormann, 1990). Jadi istilah fantasi tersebut bukan merujuk pada cerita fiksi, hal-hal
yang tidak nyata seprti dalam film kartun, atau kisah kisah tentang peri, atau juga
hasrat-hasrat yang bersifat erotik. Fantasi lebih diartikan sebagai cerita, satire,
perumpamaan, kenangan masa lalu, pengalaman, atau lelucon yang memiliki muatan
emosi. Fantasi mencakup persitiwa-peristiwa masa lalu anggota kelompok, atau kejadian
yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Fantasi-fantasi tersebut tidak
termasuk apa yang sedang tejadi dalam kelompok “saat ini dan disini”. Sebagai contoh
kalau anton anggota tim kreatif dalam biro iklan dan bercerita tentang gagasan yang
telah ia buat untuk diiklankan pada koran kompas edisi minggu. Disini Anton tidak
dianggap mengemukakan fantasi, karena ia hanya mendiskusikan pekerjaan yang tengah
dilakukan. Lain hanya kalau ia bercerita bahwa dua hari yang lalu ia membaca artikel
dimajalah usahawan yang menceritakan sepuluh iklan makanan yang paling populer di
7
Jepang yang menghsilkan bonus besar bagi para pembuatnya, disini anton telah
menyampaikan fantasi.
Sebulan yang lalu, Pak Udung, Venus, Pak Asep, Hasbi dan Pak Wito
berdiskusi rutin tentang teori-teori komunikasi dikediaman P.Udung di Margahayu Raya.
Dalam diskusi tersebut kami juga mengembangkan apa yang disebut Bormann sebagai
Tema fantasi. Setelah berdiskusi selama hampir dua jam, tiba giliranya saya menjelaskan
teori Anxiety/Uncertainty Management Theory. Saat saya menyingkat teori itu dengan
istilah AUM, kontan Pak udung nyeletuk “nama teorinya kayak anjing saya aja si-
Rottwieller yang bisa mengaum. Seketika itu juga Komentar P. Udung disambar P.Wito
dengan berkata “gimanaaa… kalau anjingnya dibawa ke kampus waktu kuliah bu
Ninaa…” Pak Asep langsung menimpali dengan gaya kebapakkannya ” Jangan bikin
masalah…gimana kalau nggigit mahasiswa” mendengar ucapan P. Asep tanpa sadar saya
langsung berkomentar “kalau ngegigit mahasiswa…bisa-bisa anjingnya digantung di
Pohon komunikasi. Kontan Tawa meledak diantara kami. Sebagai mahasiswa program
Doktor Komunikasi, kami semua akrab dengan Konsep POHON KOMUNIKASI yang
dikonstruksi oleh Prof. Nina Syam. Oleh karena itu mudah saja bagi konsep ini menjadi
tema fantasi diantara kami. Setelah Humor terjadi diantara kami terasa suasana segar
kemabli dan kami melanjutkan dengan lelucon dan cerita-cerita yang lain selama hampir
lima belas menit sebelum akhirnya kembali berdiskusi. Pengalaman tersebut Rasanya
tidak asing dalam kesehaian hidupkita, dan itulah arti penting TKS yakni memberikan
pemahamana bahwa obrolan, lelucon, atau gosip yang dilakakun dalam suatu klompok –
baru terbentuk atau sudah lama berdiri—mmiliki fungsi kohesivitas dan penguatan
kesadarn kelompok.
Karena konsep fantasi menjadi kata kunci dalam teori ini maka Boorman
kemudian menyabut metode untuk mngoperasionalkan teorinya dengan istilah Fantasi
Theme Analysis (FTA) atau analisis tema fantasi. Untuk memahami FTA maka langkah
pertama yang perlu ditempuh adalah mmahami terlebih dahulu istilah-istilah kunci dalam
FTA yakni; Fantasy theme, Fantasi chain, Fantasy type, dan Rhetoical visions
Fantasy theme/Tema fantasi :
Bormann mendefinisikan tema fantasi sebagai isi pesan yang didramatisasi yang
8
memicu rantai fantasi (the content of the dramatizing message that sparks the
fantasy chain).
Menurut Miller (2002:231) konsep pokok dalam KTI adalah Fantasy theme (tema
fantasi) yng diartikanya sebaga dramatisasi pesan—dapat berupa lelucon, analogi,
permainan kata, cerita dan sebagainya—yang memompa semangat berinteraksi.
Dramatisasi pesan tidak terjadi dalam konteks tugas atau pekerjaan yang tengah
dihadapi. Dramatisasi pesan juga tidak terjdi padaperistiw yang berorientasi pada
“saat ini dan disini”. Segala tindakan komuniksi yang membicrakan bebagi
tindakan atau kegiatan yang tejadi pada saat peristiwa tersebut berlangsung
tidkalah memiliki mutn imaginatif. Pembicaraan tersebut bersifat nyata karena
berkaitan dengan aspek “kekinian dan disini” dan semata-mata membicarakan
tugas atau kegiatan yang tengah dihadapi kelompok. Lain halnya bila anda
memperbicangkn peristiwa yang terjadi diluar kelompok, atau membicarakan
peristiwa serupa yng dialami anggota kelompok pada masa lalu, atau berbicara
tentang sesuatu yag terkait dengan masa depan, maka itu dapat dikategorikan
sebagai fantasi. Misalnya konflik yang muncul dalam pertemuan kelompok
mungkin dilihat sebagai peristiwa dramatis, namun ini bukanlah dramatisasi pesan
atau tema fantasi karena karena hal itu terjadi dalam konteks “saat ini dan disini”,
sementara bila dalam kaitan tersebut kita bercerita tentang konflik yang pernah
terjadi pada masa lalu, atau bercerita tentang konflik dalam film Braveheart,
maka ini dapat dikategorikan sebagai fantasy theme.
Fantasi chain :
Secara harfiah diartikan sebagai rantai Fantasi. Maksudnya ketika pesan yang
didramatisasi berhasil mendapat tanggapan dari partisipan komunikasi dan
akhirnya meningkatkan intensitas dan kegairahan partisipan dalam berbagi fantasi
yang bekembang maka terjadilah rantai fantasi. Ketika rantai fantasi tecipta
tempo percakapan menjadi meningkat, antusiasme partisipan muncul, dan terjadi
peningkatan rasa empati dan umpanbalik diantara partisipan komunikasi.
Bomann (1990: 101-120) sendiri menggambarkan rantai fantasi ‘…as a series of
ideas that members link together like a play”.
9
Rantai fantasi membawa partisipan yang saling berbagi cerita kedalam
konvergensi simbolik dan menciptakan landasan pengertian bersama dan
memampukan kelompok mencapai komunikasi yang empatik sekaligus terjadinya
a meeting of mind.
Fantasy type/Jenis fantasi:
Bormann mengartikan konsep ini sebagai tema-tema fantasi yang berulang dan
dibicarakan pada sisuasi lain, dengan karakter lain dan latar yang lain namun
dengan alur cerita yang sama. Jika kerangka narasi (the narrative frame)nya sama
namun tokohnya, karakternya atau settingnya berbeda maka itu dapat
dikelompokkn dalam satu jenis fantasi yang sama. Sementara bila terdapat
beberpa tema fantasi atau kerangaka narasi yang berbeda maka berarti terdapat
beberapa jenis fantasi.
Menurut Trenholm (1986) jenis fantasi adalah suatu kerangka narasi yang
bersifat umum yang terkait dengan pertanyaan atau masalah tertentu. Misalnya
pertanyaan; Anda tahu kan watak dekan kita? “Buat apa pake rapat segala toh
hasilnya kita udah tahu”
orang-orang yang telah berinteraksi dalam waktu yang cukup lama biasanya telah
mengembangkan semacam symbolic Cue atau petunjuk simbolis yang biasanya
telah dipahami bersama. Symbolic cue ini biasanya menjadi inside joke (lelucon
yang dipahami oleh orang –orang yang terlibat dalam percakapan sebelumnya.
Kalau anda pernah berkumpul dengan kawan-kawan anda, dan tiba-tiba seseorang
berkomentar dengan mengatakan ‘sesuatu’ lalu yang lainnya tertawa terpingkal-
pingkal maka mereka terlibat dalam penggunaan symbolic cue. Sementara anda
sendiri yang tidak tertawa merasa orang luar yang tidak memahami petunjuk
simbolik tersebut
Bormann (1990) juga membandingkan suatu tipe fantasi yang seringkali terulang
di dalam kultur sebuah kelompok. Partai politik di Amerika Serikat misalnya,
menjaga kesatuannya dengan suatu jenis fantasi yang sama. Anggota partai
Republik sering muncul dengan jenis impian dan pandangan yang sama mengenai
partai lawannya, yaitu suatu konsepsi bahwa partai Demokrat adalah partai yang
10
terlalu liberal, tidak bertanggungjawab secara fiskal, pencipta inflasi,
ketidakseimbangan anggaran serta kekacauan ekonomi. Partai Demokrat pada sisi
lain memandang partai Republik sebagai partai yang konservatif, digerakkan oleh
dan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar, serta tidak berpihak kepada
buruh dan rakyat miskin.
Rhetorical visions (Visi Retoris) :
Diartikan sebagai sharing a fantasy theme and types across a wider community.
Disini tema-tema fantasi telah berkembang dan melebar keluar dari kelompok
yang mengembangkan fantasi tersebut pada awalnya. Karena perkembangan
tersebut maka tema-tema fantasi itu menjadi fantasi masyarakat luas dan
membentuk semacam Rhetorical Community.
Dalam masa Orde Baru kita melihat betapa pemerintahan Soeharto secara efektif
dan sistematis berhasil menciptakan tema-tema fantasi yang kemudian menjadi
visi retoris pada masa itu sepeti “Suprsemar”, “Pancasila Sakti”, “Pembangunan”
atau visi retoris “Tinggal Landas” yag kemudian sing dipelesetkan menjadi
“Tinggal Kandas’ oleh kelompok masyarakat yang tidak tergabung dalam
Komunitas retoris ini.
Disamping keempat konsep kunci diatas, Bormann juga menjelaskan bahwa
dalam setiap analisis tema fantasi atau yang lebih luas lagi dalam visi retoris selalu
terdapat empat elemen pokok berikut; tokoh-tokoh yang terlibat (dramatis personae atau
character), alur cerita (plot line), latar (scene), dan agen penentu kebenaran cerita
(sanctioning agents). Tokoh pemeran dalam cerita tersebut dapat berupa pahlawan,
penjahat dan pemain pendukung lainnya. Sedangkan alur cerita merupakan rangkaian
cerita yang dikembangkan dan tindakan-tindakan apa yang dilakukan. Pada aspek Latar
tercakup didalamnya lokasi, berbagai peralatan atau perlengkapan yang terkait, serta
aspek sosio-kultural yang ada dalam latar terkait. Terakhir adalah sanctioning agents
yang berkitan dengan sumber-sumber yang akan melegitimasi kebenaran cerita. Sumber
tersebut dapat berupa tokoh agama yang membenarkan cerita itu secara keagamaan,
11
Seorang bapak Bangsa seperti Soekarno atau sumber-sumber nilai yang dapat dijadikan
patokan atau sandaran untuk membenarkan cerita yang dirangkai. Dalam kasus
kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU), kita sering melihat para pimpinan Tanfidziah
organisasi ini termasuk Gus Dur mencari legitimasi atas tema-tema fantasi yang
dikembangkannya dengan mengutip pendapat dan pesetujuan kelompok Kyai Langitan di
Tuban Jawa Timur
Keempat elemen pokok diatas yang dalam istilah Bormann (Morris & Buchanan,
2000) disebut dengan istilah Dramtistic Structural Elements memang terasa mirip dengan
elemen-elemen pokok dalam teori Dramatisme dari Kenneth Burke. Pada kenyataannya
memang demikian, Bahkan Morris dan Buchanan (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa
kajian-kajian komunikasi yang bersifat humanistik memang cenderung menggunakan
sudut pandang dramatistik. Empat tokoh terkemuka yang menerapkan sudut pandang ini
adalah Kenneth Burke, Erving Goffman, Walter Fisher dan Ernest Bormann. Keempat
tokoh ini, lanjut Morris dan Buchanan, menggunakan Dramatistic viewpoint dengan cara
berbeda. Burke misalnya memusatkan analisis dramatismenya pada elemen-elemen ; Act,
Agent, agency, Scene, dan purpose yang kesemuanya bermuara pada motif-motif yang
dilekatkan pada simbol-simbol yang digunakan. Fisher dalam narative paradigm
menekankan aspek koherensi naratif dan keakuratan naratif. Sedangkan Goffman
menekankan elemen-elemen ritual dalam interaksi sosial yang analisisnya meliputi aspek
Role enactment, places, scenes dan Facework. Bormann menggunakan sudut pandang
Dramatistik secara berbeda yakni dengan memusatkan perhatiannya kepada Pesan
sebagai unit analisisnya serta proses komunikasi diantara partisipan yang memunculkan
konvergensi fantasi, makna dan realitas simbolik diantara mereka. Jadi dalam perspektif
Bormann yang menjadi premis pokoknya adalah bagaimana orang –orang berbagi
realitas bersama.
BEBERAPA CONTOH PENERAPAN PRAKTIS DAN AKADEMIS SCT
Dilihat dari segi konteks komunikasi, SCT dianggap sebagai teori umum yang
dapat diterapkan dalam berbagai konteks komunikasi seperti Komunikasi antarpribadi,
kelompok, organisasi, publik, ataupun massa ( Salwen & Stack, 1996: 373, Wood, 2000,
Bormann, 1990). Sementara bila dilihat dari bidang spesialisasi komunikasi, Teori ini
12
dapat diterapkan dalam kegiatan komunikasi politik, keluarga, pendidikan, hingga
komunikasi pemasaran.
Dalam komunikasi politik biasanya SCT digunakan untuk menentukan strategi
politik seorang calon presiden atau satu partai politik. Salah satu contoh populer tentang
ini adalah kampanye Presiden George Bush (Senior) pada pemilihan presiden Amerika
serikat tahun 1988. Pada waktu itu tim kampanye Bush sengaja menciptakan Repsentasi
simbolik yang dimaksudkan mempengaruhi bagaimana seharusnya publik Amerika
memandang lawan politik Bush, Michael Dukakis . Untuk kepentingan tersebut tim
kampanye Bush sengaja melempar isu yang merugikan Michael Dukakis dengan
mengangkat ‘cerita’ bahwa pada saat Dukakis masih menjadi gubernur, ia pernah
memberikan cuti pada seorang penjahat kelas kakap bernama Willie Horton yang justru
melakukan kejahatan sadis dalam masa cuti yang diberikan. Dari cerita itu kemudian
ditonjolkan isu bahwa Dukakis adalah orang yag lunak dalam memerangi kejahatan.
Tema fantasi yang ditonjolkan tim kampanye Bush kemudian adalah “jika pada waktu
masih menjadi gubernur saja Mister Dukakis bisa membebaskan seorang pejahat kelas
kakap bisa-bisa kalau jadi presiden dia membebaskan seorang teroris”. Isu itu ternyata
ampuh dan berhasil membentuk rantai fantasi terutama dikalangan pendukung Bush
Sehingga tercipta realitas simbolik bahwa Dukakis adalah seorang “pembebas teroris”
dan ini kemudian terbukti semakin menyolidkan dukungan terhadap Bush.
Contoh lain penerapan SCT dibidang politik adalah analisis Lynda Kintz
tentang visi retoris yang dikembangkan Bush dalam meloloskan The USA Patriot Act
setelah terjadinya tragedi 11 september 2001. Dengan undang-undang itu maka
pemerintah Amerika memiliki wewenang dan peluang yang besar dalam melakukan
tindakan keras dan represif terhadap orang-orang atau lembaga yang diduga sebagai
pelaku terorisme. Kintz menilai Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan semangat
demokrasi, kebebasan dan penegakkan HAM di Amerika Serikat, namun kenapa publik
justru mendukung Undang-undang tersebut? Pertanyaan inilah yang menggelitik Kintz
untuk menelitinya. Dalam penelitian ini Kintz menganalisis tiga contoh pidato presiden
George W. Bush setelah terjadinya tragedi september tersebut untuk mengidentifikasi
muatan persuasif dalam pidato-pidato tersebut yang tampaknya membenarkan dan
menekankan perlunya The Patriot Act. Lewat analisis Tema Fantasi Kintz menemukan
13
bahwa dalam pidato-pidato tersebut terkandung Visi retoris yang bermuatan ketakutan
dan pengobaran semangat patriotisme yang ditujukan untuk mempersuasi masyarakat
agar menerima The Patriot Act sebagai undang-undang yang diperlukan dalam keadaan
darurat perang. Rasa tidak aman dan emosi ketakutan yang menyelimuti publik ditambah
dengan tema fantasi Patriotisme dalam pidato-pidato presiden , menurut Kintz ternyata,
memberikan kontribusi pada penerimaan publik atas The Patriot Act sebagai “hal buruk
yang diperlukan” guna mencegah serangan teroris pada masa mendatang.
Penelitian-penelitian lain yang mengaplikasikan FTA sebagai metodenya juga
dilakukan oleh Arsenault tahun 1997 dalam meneliti gerakan penduduk asli Hawai’i
untuk memperoleh kembali kontrol atas tanah mereka yang diintegrasskan sebagai negara
bagain AS ke 50. penelitian yag sangat menarik ini berjudul “The Poclamation of
Restoration of the Independent Nation of Hawai’i”. Tahun 1999 Melinda M Morris dan
Merry C. Buchanan dari universitas Oklahoma AS juga melakukan penelitian dengan
metode FTA dengan fokus masalah pada penggunaan komunikasi massa dan teknologi
komunikasi interaktif oleh organisasi-organisasi milisi di AS. Temuan penelitian ini
diantaranya menyatakan bahwa kelompok ini megembangkan tema fantasi seperti
Patriotisme dengan menyebut diri mereka sebagai “True Patriots” dan menjuluki
pemerintah sebagai “ Black helicopters” (karena menggunakan helikopter dlm memantau
kegiatan milisi) .Mereka juga mengembangkan Sage (kisah/peristiwa dramatis) tentang
Rendy Weaver anggota milisi yang ‘berperang sendirian’ melawan serbuan FBI
dirumahnya sendiri. Tema-tema fantasi ini dianggap berhasil menciptakan komunitas
retoris diberbagai penjuru Amerika karena disebarkan lewat teknologi komunikasi
interaktif seperti talk radio, buletin dan internet. Satu hal yang juga penting dari temuan
ini adalah konsde visi retoris mereka yng berpijak pda Righteous master analogue visions
(semacam landasan pokok bersama bagi suatu visis retoris) dengan menyatakan bahwa
keterampilan militer mereka hanya diigunakan untuk mempertahankan diri atau
mempertahankan masyarakat.
Contoh terakhir dari penelitian yang menerapkan metode FTA adalah
penelitian tentang pembentukan “Identitas Kelompok Pada Kelompok Kerja
Mahasiswa” yang dilakukan oleh Pamela Zepp tahun 2003. Disini Zeep mendapatkan
temuan diantaranya bahwa berbagi fantasi, misalnya, dalam bentuk berbagi pengalaman
14
dalam menangani masalah klien ternyata mampu mempercepat identifikasi anggota
terhadap kelompok dan menciptakan kesadaran akan identitas kelompok.
Secara Tradisional SCT sendiri lebih banyak digunakan untuk menganalisis
proses komunikasi dalam konteks kelompok seperti aktivitas pembuatan keputusan dalam
kelompok, budaya kelompok, identitas dan identifikasi kelompok hingga peneguhan
kohesivitas kelompok. ( Wilson & Hanna, 1993; Frey and Poole, 1999).
Dalam kaitannya dengan pembuatan keputusan dalam kelompok, Bormann
(Frey & Poole, 1999: 373) menyatakan bahwa pertukaran fantasi kelompok merupakan
bagian dari proses pembuatan keputusan. Lebih lanjut Bormann menegaskan bahwa
hanya setelah munculnya kesadaran bersama (khususnya untuk kelompok yang baru
terbentuk/zero-history group) mereka akan dapat memusatkan perhatian pada tugas yang
harus dilakukan dan tujuan yang akan dicapai. Pada proses pembuatan keputusan
kelompok SCT memusatkan perhatiannya pada tiga aspek penting yakni (1) pola-pola
komunikasi yang menunjukkan adanya kesadaran kelompok, (2) menggambarkan
bagaimana dan mengapa kesadaran kelompok tersebut berubah, dan (3) menjelaskan
mengapa orang berbagi fantasi.
Penilitian Bormann (1990) tentang budaya kelompok dengan menggunakan
Analisis Tema Fantasi menemukan fakta bahwa tema fantasi yang berkembang dalam
kelompok mampu menjadi landasan terbentuknya kesadaran kelompok, norma-norma
kelompok dan akhirnya membentuk budaya kelompok.
Analisis Tema Fantasi terhadap Film The Day After yang dilakukan oleh Karen
Fos dan Stephen W Littlejophn tahun 1983 (Littlejohn, 1996) juga merupkan contoh
bagaimana FTA dapat diterapkan dalam komunikasi bermedia. Dalam penelitian ini—
setelah menganalisis fIlm diatas dengan FTA—Fos dan Littlejohn kemudian menanyakan
dan meminta 80 orang responden untuk menggambarkan apa saja yang mereka
bayangkan bila perang nuklir benar-benar terjadi. Ketika hasilnya kemudian
dibandingkan dengan hasil analisis mereka, ternyata terdapat banyak kemiripan tentang
tema-tema fantasi yang muncul yakni mengedepankan tema-tema seperti kerusakan fisik,
kematian, kekacauan, perpisahan antar anggota keluarga, ketakutan dan sebagainya yang
kesemuanya terkait dengan dimensi actor thema dalam FTA. Sementara dalam konteks
Setting theme, digambarkan akan terjadi situasi yang kacau balau, radiasi dan terbatasnya
15
pelayanan dan penanganan terhadap korban perang tersebut. Disamping film diatas telah
pula dianalisis sekian banyak film lainnya dengan menggunakan FTA diantaranya ;
Film Braveheart dengan sutradara Mel Gibson, Film Apollo 13 yang disutradarai Ron
Howard, dan film Fahrehype 9/11 yang diuat dibawa arahan Michael Moore.
FTA juga dapat diaplikasikan pada berbagai kasus aktual di Indonesia. Misalnya
tentang kasus gempa dan badai Tsunami yang melanda Aceh tanggal 26 Desember 2004
lalu, dalam kasus ini kita melihat bagaimana tema-tema fantasi dikembangkan menjadi
rhetorical visions lewat media massa diantaranya MetroTV yang mengemas acara
Indonesia Menangis dan Badai Pasti Berlalu yang ‘bercerita’ tentang berbagai hal
terkait dengan bencana dahsyat tersebut. Lagu “Indonesia menangis” yang menyelipkan
pesan persatuan, Lagu Ebiet G. Ade yang berbicara tentang dosa dan hukuman Tuhan,
atau tema-tema persatuan yang terselip pada penyataan banyak tokoh masyarakat, cerita-
cerita orang yang selamat, pencarian keluarga yang selamat, rencana ibu Ani Yudhoyono
mengadopsi Dede Mirwanda, seorang anak korban tsunami, semuanya merupakan
rangkaian cerita yang berkaitan dengan tema-tema fantasi yang sengaja dikembangkan
agar ditafsirkan secara sama oleh masyarakat
Dengan melihat contoh-contoh penerapan tersebut , maka teori ini dengan
metode FTA-nya memiliki peluang terbuka untuk diaplikasikan pada kasus –kasus
komunikasi yang terjadi di Indonesia. Sejauh ini tampaknya belum ada penelitian yang
secara sistematik menerapkan FTA dalam meneliti fenomena komunikasi di Indonesia.
EVALUASI TEORIEvaluasi terhadap teori ini telah dilakukan oleh puluhan ahli komunikasi, mulai
dari Sarah Trenholm ( 1987), Littlejohn (1996), hingga Em Griffin (2003).
Dalam klasifikasi Griffin (2003: 510) teori ini diletakkan persis digaris tengah
dari kontinum Objektif dan interpretif yang dibuatnya. ini menunjukkan bahwa TKS
dapat diklasifikasikan sebagai objektivis teori dan interpretif teori sekaligus. Dalam
tataran objektivistik kriteria yang dapat digunakan untuk menilai suatu teori adalah;
Explanation of the data, prediction of future events,Relative simplicity, hyphotesis than
can be tested dan practicial utilyty.
Terkait dengan kriteria yang pertama, Griffin (39-47) menilai teori ini termasuk
koheren dalam menjelaskan berbagai proses yang terjadi dalam kelompok ketika tema
16
fantasi berkembang. Sedangkan dalam hal kemampuan mempradiksi peristiwa yang akan
datang, teori ini dinilai lamah. Bormann ujar, Griffin lebih lanjut, tidak dapat memastikan
apakah suatu tema fantasi dapat membentuk rantai fantasi atau tidak. Meski dijelaskan
bahwa orang yang memiliki rhetorical skill yg baik memiliki kesempatakan yang lebih
besar untuk menciptakan rantai fantasi namun Bomann juga tidak dapat secara pasti
memprediksi bahwa keterampilan seperti itu benar-benar berguna dalam memompa
patisipan lain terlibat dalam fantasi kelompok. Dalam hal kesederhanaan, Griffin sepakat
bahwa teori ini memenuhi syarat kesederhaaan sehingga mudah untuk dipahami oleh
mereka yang mndalamiya. Kriteria ketiga yang berkaitan dengan kemungkinn dapat
diujinya hipotesis dari suatu teori, Griffin berkomentar bahwa teori ini memiliki titik
lemah tebesar pada poin ini. Klaim Bormann bahwa “ aktivitas berbagi fantasi” akan
menimbulkan Kohesivitas kelompok menurut Griffin sukar dibuktikan karena sebagian
kelompok pada dasarnya telah memiliki sejarahnya sendiri sehinggga fenomena
kohesivitas yang muncul tidak dapat dijamin berasal dari tema fantasi yang berkembang
dalam kelompok. Kriteria objektivistik terakhir adalah Kegunaan praktis teori. Disini
Griffin menilai teori ini memiliki kegunaan praktis yang tinggi dan mudah dioperasional.
Dalam tataran humanistik kriteria penilaian yang digunakan adalah : New
undestanding of people, clarification of values, aesthetic appeal, a community agreement,
dan reform of society. Masih merujuk pada evaluasi yang dilakukan Griffin, Teori ini
dinilai memiliki kemampuan dalam memberikan pemahaman baru tentang manusia yang
berinteraksi dalam kelompok. Griffin juga menegaskan bahwa klarifikasi nilai merupakan
kekuatan yang paling menonjol dari teori ini. Lewat analisis FTA dengan mudah kita
dapat mengidentifikasi nilai apa yang memotivasi orang untuk bertindak. Kriteria ketiga
berkaitan dengan aspak estetik dari teori, dalam hal ini Griffin menilai teori ini gagal
dalam memberikan uraian yang menarik dan artistik. Dalam teori banyak uraian yang
disampaikan dengan kalimat yang panjang dan membosankan sehingga tidak menggugah
orang untuk mendalaminya. Dalam hal kriteria yang terkait dengan Community
agreement, Griffin menilai teori ini luar biasa behasilnya karena teori ini telah menyebar
keseluruh dunia, digunakan oleh banyak sarjana komunikasi dalam berbagai penelitian
yang dilakukan, dikutip dan dinyatakan dalam berbagai buku teori-teori komunikasi dan
terpenting para pendukung teori ini, teutama Bormannn sendiri sering memanfaatkan tiga
17
jurnal bergengsi yakni Quarterly journal of speech , communicatio theory dan Journal of
Communication untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Sehigga dengan cepat pikiran-
pikiran Borman yang terkait dengan teori tersebut menyebar ke negara-negara berbasa
Inggris pertamanya, lalu keseluruh dunia.
Evaluasi yang dilakukan Trenholm (1986) pada prinsipnya bersifat positif.
Namun Trenholm juga menegaskan bahwa teori ini belum menjelaskan bagaimana proses
konvergensi simbolik berlangsung, Misalnya kondisi apa saja yang dapat menciptakan
rantai fantasi, faktor-faktor apa saja yang menghambat pengembangan tema-tema fantasi?
Mengapa satu jenis fantasi tertentu begitu memikat? Atau mengapa beberapa tema-
fantasi (cerita) begitu populer sementara lainnya tidak mendapatkan tempat di
masyarakat? Menurut Trenholm Inilah beberapa pertanyaan yang perlu dijawab untuk
penyempurnaan teori ini.
Sedangkan Littlejohn (1996) mengatakan bahwa teori ini telah berhsil
menguraikan dan menjelaskan konsep-konsep yag terkait dengan analisis tema fantasi--
yang menjadi metode untuk mengoperasionalkan SCT—secara sederhana dan mudah
dipahami. Namun Littlejohn juga menyampaikan kritik G.P. Mohrmann yang meragukan
kemungkinan FTA diterapkan diluar konteks komunikasi kelompok sebagaimana
diklaim oleh Bormann.
Berbagai kritik yang disampaikan para ahli komunikasi diatas kemudian
ditanggapi Bormann dalam tulisan bertajuk: In Defense of symbolic Convergence Theory:
A Look at the Theory and its Criticisms After Two Decades” yang merupakan salah satu
chapter dalam Jurnal Communication Theory vol 4 hl 259-294 tahun 1994. Dalam tulisan
ini Bormann menganggap berbagai kritik atas tulisannya sebagaa kesempatan belajar
yang positif dalam mengeksplorasi lebih lanjut teori –teori komunikasi. Kritik-kritik
tersebut lanjut Bormann akan membawa pembaca bersikap kritis dan konstruktif dalam
mempelajari Analisis Tema Fantasi dan teori Konvergensi Simbolik. Disamping apresiasi
dan rasa terimakasih atas kitik yang bermunculan selama dua puluh tahun terakhir,
Bormann juga menyampaikan tanggapanya atas kitik-kritik tersebut. Berhubung sulitnya
mengakses tulisn itu dalam intenet, berikut penulis kutipankan salah satu tanggapan
Bormann atas keraguan G.P. Mohrmann dalam menerapkan FTA dalam konteks yang
lebih luas dari komunikasi kelompok sebagaimana dikutip Adam Schmitt (1999). Dalam
18
kutipan tersebut dinyatakan bahwa Bormann menanggapi kritik tersebut dengan
menyampaikan berbagai hasil-hasil penelitian yang dilakukan baik oleh dirinya maupun
oleh orang-orang lain yang isinya menegaskan bahwa Fantasi Theme Analysis dapat
diterapkan pada komunitas yang lebih luas dari pada sekadar komunikasi dalam
kelompok kecil. Namun disini Bormann tetap meyakini bahwa ‘ tema-tema fantasi’
termasuk yang lebih luas yaitu “visi retoris” pada awalnya senantiasa berkembang
dalam komunikasi kelompok kecil.
Sebagai penutup berikut saya sampaikan apresiasi dan evaluasi saya atas teori
SCT. Setelhmembca teori SCT dri bebagai sumber termasuk tulisan asli dari Bormann
yng dimuat dalam buku Hirokawa dan Poole (1993), saya sepenuhnya takjub dengan
kemampuan teori ini dalam menangkap fenomena komunikasi yang sangat khusus seperti
seperti berbagi cerita, lelucon, impian atau kenangan/pengalaman hidup dalam obrolan
kelompok disela-sela diskusi. Saya sering terlibat dalam aktivitas seperti ini tanpa
menyadari bahwa itu semua ternyata memiliki kontrobusi dalam membentuk dan
mengokohkan kesdaran dan identitas kelompok dan juga dalam memberikan semangat
baru bagi kelompok dalam meyelesaikan tugas yang tengah dihadapi. saya sering melihat
orang biasanya mengabaikan pentingnya aktivitas tersebut bahkan bersikap negatif
ketika melihat partisipan /orang melontarkan lelucon atau cerita yang tidak terkait secara
langsung dengan topik diskusi. Ternyata saya sadari reaksi semacam ini kurang poduktif.
Karena menurut teori ini ketika orang mengalami ketegangan pada saat memulai diskusi
(pertama kalinya) atau ketika suhu perdebatan meningkat, atau ketika orang mulai jenuh
dengan diskusi yng dilakukan, maka berbagi fantasi menjadi semacam “pelepas
ketegangan” yang akan membantu kelompok mengalami semacam recovery sesion. Jadi
hal semacam ini sepenuhnya bermanfaat dan dapat ditoleransi. Bahkan kalau perlu
Fantasi dapat sengaja diciptakan agar kelompok tetap solid dan memiliki energi untuk
melanjutkan tugas kelompok ditengah ketegangan dan kejenuhan yang dihadapi.
Dari segi paparan toritisnya saya merasa teori ini juga sangat praktis dan disajikan
dengan bahasa dan peristilahan yang jelas dan sistematis. Dengan menguasai konsep-
konsep kunci dalam metode FTA maka kita mulai dapat secara langsung mengamati
bagaimana bagaimana tema-tema fantasi diciptakan dalam berbagai kelompok dan
kemudian berkembang menjadi rhetorical visions yang kemudian membentuk Rhetorical
19
community. Saya juga berpendapat bahwa kemampuan teori ini dalam memberikan
penjelasan bagaimana barbagai peristiwa yang belangsung dapat dipahami dalan konteks
Naratif betul-betul memberikan cara pandang baru dalam melihat berbagai fenomena
komuniksai yang terjadi bukan hanya dalam konteks komunikasi kelompok tetapi juga
dalam berbagai konteks komunikasi lainnya. Lebih dari itu Saya juga mengidentifikasi
beberapa kelebihan lain dari teori ini diantaranya ; (1) kemampuan SCT dalam
menjelaskan bagaimana kualitas kelompok dapat ditingkatkan dengan berbagi cerita,
pengalaman, impian atau informasi lainnya satu sama lain, (2) alasan mengapa orang
bergabung dan terlibat dengan kelompok, (3) dan bagaimana kesadaran kelompok
tumbuh, berkembang dan kemudian memudar dalam proses komunikasi.
Dalam beberapa kasus diskusi yang saya amati, saya juga menemukan fakta
bahwa Fantasi Chain ternyata tidak hanya terjadi ketika Kelompok berbagi fantasi ketika
mengalami ketegangan atau kejenuhan saja, namun juga ketika kelompok mengalami
disorientasi tujuan diskusi atau ketika terjadi kemandegan gagasan para peserta diskusi.
kelompok juga tidak hanya berbagi cerita, analogi, pengalaman atau sekadar lelucon, tapi
juga ketika kelompok mendiskusikan konsep-konsep atau masalah yang sedang mereka
diskusikan. Jadi sebenarnya terbuka peluang untuk memperluas cakupan tema fatasi
dengan memasukkan hal-hal, konsep-konsep atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
konteks “ kekinian dan kedisinian” dengan catatan selama tem-tema tersebut dapat
membentuk rantai fantasi. Risiko dari perluasan ini adalah perlunya redifinisi ‘konteks
ruang dan waktu’ dari konsep tema fantasi yang selama telah digariskan oleh Bormann
sebagai penemu teori ini. @@
20
DAFTAR RUJUKANBoorman, Ernest. (1990). Small Group Communication: Theory and Practice. Harper and
Row publisher, USA.--------------------.(1986). Symbolic Convergence Theory and Group Decision-Making,
dalam Hirokawa & Poole. Commnication and Goup Dcision Making. Newbury Park USA: Sage publications.
-------------------.(1985). Symbolic Convergence Theory: A Communication Formulation. Journal of Communication ed 35. hal 128-138
Elis, D.G. & Fisher, A. (1994). Small Group Decision Making. Singapore: McGraw-Hill.
Gudykunst, W. B. & Bella Mody. (2002). Handbook of International and InterculturalCommunication. Thousands Oaks: SAGE Publications.
Griffin Emory A. (2003). A First Lookat Communication Theory. Singapore : McGraw-Hill.
Hirokawa, R.Y. & Poole, M.S. 1986. Communication and Group Decision Making. Newbury Park USA: Sage publications.
Kidd, Virginia. 2004. Fantasy Theme Analysis. Departement of Communication Studis- California state university , Sacramento, USA.
Lumsden, G & Lumsden, D. (1993). Communicating in Group and Team. Belmon CA-USA: Wasdworth.
Morris, M.M.,& BuchananM.C. 2000. Fighting The New World Order: An exmination of paramilitary Organization’ use of Mass Communication and Interactive technology. University of Oklahoma.
Salwen, Michael B., & Don W. Stacks. 1996. An Integrated Approach To CommunicationTheory and Research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Stone, G., Singletary, M. & Richmond V.P. 1999. Clarifying Communication theories.Ames, AS: Iowa State university Press.
Watson, James & Anne Hill. 2000. Dictionary of Media and Communication Studies 5 thed .London: Arnold.
Wilson, G.L. & Hanna M.S. 1993. Groups in Context. New York USA: McGraw-Hill
Wood, J.T. (2000). Communication Theories In Action. Belmont CA : Wadsworth PC.
Young, Denise.(1998). Bormann’s Symbolic Convergence Theory. Universityof Colorado
at Boulder USA.
Zepp, Pamela. (2003). Group Identity and Symbolic Convergence Theory. USA: Indiana university.
21
@@
SYMBOLIC CONVERGENCE THEORY : KONSEP, PENERAPAN DAN EVALUASINYA
TugasMatakuliah Perkembangan Teori Komunikasi
Dosen: Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A.
OlehAnter Venus
L3GO3O98
22
PROGRAM DOKTOR ILMU KOMUNIKASIPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG JANUARI 2005
23
Top Related