Download - Susunan saraf otonom

Transcript

Susunan saraf otonom

Susunan saraf otonom merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan dengan

persarafan struktur involunter seperti jantung, otot polos, dan kelenjar di seluruh tubuh, serta

tersebar di dalam susunan saraf pusat dan perifer. Susunan saraf otonom dapat dibagi dalam

dua bagian simpatis dan parasimpatis dan keduanya mempunyai serabut saraf aferen dan

eferen (Snell, 2006).

Kontrol yang dilakukan oleh sistem saraf otonom berlangsung sangat cepat dan

tersebar luas karena satu akson preganglionik dapat bersinaps dengan beberapa neuron

postganglionik. Kumpulan serabut-serabut aferen dan eferen dalam jumlah besar bersama

dengan ganglia yang sesuai membentuk plexus otonomik di toraks, abdomen dan pelvis

(Snell, 2007).

Bagian simpatis sistem otonom

Sistem simpatis adalah bagian terbesar dari kedua bagian sistem otonom yang

didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, yang kemudian mempersarafi jantung dan paru,

otot pada sebagian besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar keringat, serta

banyak organ visera abdominopelvik.

Fungsi sistem simpatis adalah menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Denyut

jantung meningkat, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi, dan arteriola pada otot-

otot rangka berdilatasi, serta tekanan darah meningkat.Selain itu, saraf simpatis membuat

pupil berdilatasi, menghambat otot polos bronkus, usus, dan dinding vesika urinaria, serta

menutup sphincter. Rambut berdiri dan kulit berkeringat (Snell, 2007).

a. Serabut saraf eferen

Substansia grisea medula spinalis dari segmen thoracal I sampai segmen lumbal

II, mempunyai cornu laterale atau columna intermedia, yang merupakan tempat badan

sel neuron penghubung simpatis. Akson sel-sel ini yang bermielin meninggalkan

medulla spinalis pada radix anterior dan kemudian berjalan melalui rami

communicates alba ke ganglia paravertebralis truncus sympathicus. Serabut sel-sel

penghubung disebut preganglionik karena serabut ini menuju ke ganglion perifer. Saat

serabut preganglionik mencapai ganglia pada truncus symphaticus, serabut tersebut

mungkin menempuh perjalanan sebagai berikut :

1. Serabut tersebut mungkin berhenti pada ganglion yang dimasukinya dan bersinaps

dengan sel-sel eksitator di dalam ganglion. Celah diantara kedua neuron tersebut

dijembatani oleh zat neurotransmiter yaitu acetycholine. Axon neuron eksitator

yang tidak bermielin meninggalkan ganglion. Serabut saraf postganglionik ini

kemudian menuju ke nervi thoracici sebagai rami communicantes grisea dan

tersebar dalam cabang-cabang saraf spinal untuk menyarafi otot polos di dalam

dinding pembuluh darah, kelenjar keringat, dan musculus arrector pili kulit.

2. Sebagian serabut-serabut yang masuk ke dalam ganglia truncus symphaticus di

daerah thorax bagian atas akan berjalan sepanjang truncus symphaticus menuju ke

ganglia di daerah leher, tempat serabut-serabut tersebut akan bersinap dengan sel-

sel eksitator. Di sini serabut saraf postganglionik meninggalkan truncus

symphaticus sebagai rami communicantes grisea dan sebagian besar akan

bergabung dengan nervi cervicales. Banyak serabut postganglionik yang masuk ke

dlaam bagian bawah truncus symphaticus dari segmen bawah thoracal dan dua

segmen lumbal bagian atas medulla spinalis akan turun ke ganglia pada regio

lumbalis dan sacralis, tempat serbaut-serabut tersebut bersinaps dengan sel

eksitator. Serabut postganglionik meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami

communicantes grisea yang bersatu dengan nervi lumbales, nervi sacrales, dan

nervus coccygeus.

3. Serabut preganglionik mungkin berjalan melalui ganglia pada bagian thoracal

truncus symphaticus tanpa bersinaps. Serabut-serabut bermielin ini membentuk

tiga buah nervi splanchnici. Nervus splanchnicus major berasal dari ganglia

thoracica ke lima sampai sembilan, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan

sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca. Nervus splanchnicus minor berasal dari

ganglia thoracica ke sepuluh dan sebelas, menembus diaphragma, dan bersinaps

dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca bagian bawah. Nervus

splanchnicus imus berasal dari ganglion thoracica kedua belas, menembus

diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator pada ganglia renalia. Oleh

karena itu nervi sphlanchnici terdiri atas serabut-serabut preganglionik. Serabut-

serabut postganglionik berasal dari sel-sel eksitator di dalam ganglia yang telah

disebutkan, dan tersebar ke otot-otot polos dan kelenjar pada visera. Beberapa

serabut preganglionik yang berjalan di dalam nervus splanchnicus major berakhir

langsung pada sel-sel di medulla suprarenalis. Sel-sel medula ini dapat dianggap

sebagai modifikasi sel-sel eksitator simpatis.

b. Serabut saraf aferen

Serabut aferen bermielin berjalan dari visera melalui ganglia simpatik tanpa

bersinaps. Serabut-serabut tersebut masuk ke saraf spinalis melalui rami

communicantes alba dan mencapai badan selnya dalam ganglion sensorium nervi

spinalis yang sesuai. Axon sentral kemudian masuk ke medulla spinalis dan mungkin

membentuk komponen aferen lengkung refleks lokal. Serabut yang lain berjalan ke

atas sampai ke pusat otonom yang lebih tinggi di dalam otak (Snell, 2006).

Bagian parasimpatis sistem otonom

Aktivitas bagian parasimpatsis sistem otonom bertujuan untuk menyimpan dan

memulihkan tenaga. Laju denyut jantung melambat, pupil berkonstriksi, gerakan peristaltik

dan aktivitas kelenjar keringat meningkat, otot-otot sphincter membuka, serta dinding

kandung kemih berkontraksi (Snell, 2007).

a. Serabut saraf eferen

Konektor pada bagian parasimatis susunan saraf otonom terletak di dalam

batang otak dan segmen sakralis medulla spinalis. Sel-sel penghubung di dalam

batang otak ini membentuk sebagian nuclei yang merupakan asal dari saraf otak III,

VII, IX, dan X, dan axonnya bagian-bagian otak yang mengandung saraf kranial yang

sesuai.

Sel-sel penghubung sacral didapatkan pada substansi grisea segmen sacralis

kedua, ketiga dan keempat medula spinalis. Sel-sel ini tidak cukup banyak untuk

membentuk cornu lateral substansia grisea seperti sel-sel penghubung pada daerah

thoracolumbal. Axon bermielin meninggalkan medulla spinalis di dalam radix

anterior saraf spinalis yang sesuai, kemudian meninggalkan nervus sacralis, dan

membentuk nervus splanchnicus pelvicus.

Semua serabut eferen yang telah dijelaskan adalah serabut preganglionik, yang

bersinaps dengan sel eksitator di dalam ganglia perifer, yang biasanya terletak dekat

dengan visera yang dipersarafi. Serabut preganglionik kranial bersinaps di ganglion

ciliare, pterygopalatinum, submandibulare, dan oticum. Serabut preganglionik di

dalam nervus splanchnicus pelvicus berhenti pada ganglia yang terdapat plexus

hypogastricus atau dinding visera. Yang khas, serabut postganglionik tidak bermielin

dan relatif pendek bila dibandingkan dengan serabut post ganglionik simpatis.

b. Serabut saraf aferen

Serabut –serabut aferen bermielin berjalan dari visera ke badan selnya yang

terletak didalam ganglion sensorium nervi cranialis atau ganglion sensorium nervi

sacrales. Axon sentralnya kemudian masuk ke susunan saraf pusat dan ikut berperan

dalam pembentukan lengkung refleks lokal atau berjalan ke pusat susunan saraf

otonom yang lebih tinggi.

Komponen aferen susunan saraf otonom identik dengan komponen aferen

susunan saraf somatik, dan membentuk sebagian segmen aferen umum di seluruh

sistem saraf. Ujung-ujung saraf komponen aferen otonom tidak dapat diaktifkan oleh

sensasi seperti panas atau raba, tetapi diaktifkan oleh regangan atau kekurangan

oksigen. Setelah serabut aferen masuk ke dalam medula spinalis atau otak, serabut-

serabut tersebut berjalan bersama-sama atau bercampur dengan serabut aferen

somatik (Snell, 2006).

Syok neurogenik

Definisi

Syok neurogenik dideskripsikan sebagai kehilangan mendadak dari tonus autonom

karena cedera dari medua spinalis. Gangguan jalur descendens simpatis mengakibatkan

hilangnya tonus vagal pada otot polos vaskular, yang menyebabkan penurunan resistensi

pembuluh darah sistemik dan vasodilatasi (Mack, 2013). Istilah syok spinal digambarkan

sebagai syok neurogenik yang terjadi pada orang dengan cedera medula spinalis.

Epidemiologi

Hilangnya tonus simpatis, sehingga shock neurogenik, yang paling umum ketika tingkat

cedera di atas T6. Selain itu, syok neurogenik dapat terjadi kapan saja setelah timbulnya

cedera atau sakit, mulai dari waktu pertama muncul sampai beberapa minggu setelah onset.

Tidak ada penelitian pada manusia mendokumentasikan perubahan hemodinamik yang terjadi

setelah SCI akut pada anak-anak, dan kejadian syok neurogenik pada anak dengan SCI tidak

diketahui. Namun, laporan menunjukkan di mana saja 50-90% orang dewasa dengan SCI

serviks memerlukan resusitasi cairan dan infus vasoaktif untuk mencapai parameter dewasa

yang direkomendasikan (MAP> 85-90 mm Hg selama 7 hari) oleh Kongres pedoman Ahli

Bedah Neurologi 'untuk pengelolaan SCI. Orang dewasa dengan SCI lebih tinggi (C1-C5)

mungkin lebih mungkin untuk memerlukan intervensi kardiovaskular, seperti agen vasoaktif

atau pacu jantung, daripada SCI rendah (C6-C7) (Mack, 2013).

Patofisiologi

Sistem saraf simpatis mengatur denyut jantung dan kontriksi pembuluh darah dengan

mensekresikan catecolamine (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam pembuluh darah.

Ketokolamin ini, dibawah kondisi normal, mempertahankan pembuluh darah berkontriksi

sebagian untuk perfusi yang adekuat. Ketika tekanan arteri rendah, baroreseptor yang terletak

di sinus carotis dan arkus aorta, mengirim pesan ke otak melalui sistem saraf. Otak kemudian

mengirim pesan melalui sistem saraf simpatis ke medula adrenal, menyebabkan peningkatan

produksi ketokolamin.

Pada syok neurogenik, fungsi normal sistem saraf simpatis terganggu, respon

kompensasi normal tubuh terhadap syok tidak terjadi. Cedera medula spinalis menyebabkan

dilatasi pembuluh darah yang disuplai oleh nervus spinalis distal dari cedera, menghasilkan

penurunan resistensi vaskular sistemik, hipotensi dan hilangnya kontrol suhu tubuh (Rahm,

2005).

Pada syok ini terjadi vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi

menyeluruh di regio splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal

umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok

neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya tonus simpatis, misalnya pada cedera tulang

belakang atau yang sangat jarang, cedera pada batang otak. Hipotensi pada pasien dengan

cedera tulang belakang disertai dengan pasokan oksigen yang cukup karena curah jantung

tinggi meskipun tekanan darahnya rendah (de Jong, 2014)

Syok neurogenik akibat dari cedera sumsum tulang belakang mengakibatkan

gangguan aliran otonom simpatik. Konsekuensi dari penurunan tonus adrenergik adalah

ketidakmampuan untuk meningkatkan kerja inotropik jantung dan konstriksi lemah dari

pembuluh darah perifer dalam menanggapi rangsangan excitational. Hilangnya tonus vagal

menghasilkan hipotensi dan bradikardi. Akibat dari vasodilatasi perifer kulit menjadi hangat.

Hipotermia dapat terjadi akibat tidak adanya regulasi otonom vasocontriction redistribusi

darah ke inti tubuh. Semakin tinggi tingkat cedera tulang, semakin berat shock neurogenik,

karena lebih banyak massa tubuh yang terputus dari pengaturan simpatik. Syok neurogenik

biasanya tidak terjadi jika cedera di bawah tingkat T6 (Greenberg, 2005).

Manifestasi klinik

Tidak ada tes diagnostik yang pasti, tetapi secara klasik pasien menunjukkan hipotensi

dan bradikardia relatif. Bradikardia sering diperburuk oleh suction, buang air besar, dan

hipoksia. Kulit sering hangat dan memerah pada awalnya. Hipotermia dapat berkembang

karena vasodilatasi mendalam dan kehilangan panas. Seringkali tekanan vena sentral rendah

karena penurunan resistensi vaskular sistemik (Mack, 2013).

Karena syok neurogenik memblok kerja dari sistem saraf simpatis, ketokolamin tidak

dibebaskan ke pembuluh darah. Sehingga tanda klasik dari syok (seperti takikardi, diaporesis)

muncul.

Vasodilatasi menyebabkan kulit menjadi merah, hangat dan kering pada tingkat

dibawah cedera spinal. Bagaimanapun, bagian proksimal dari cidera, serat saraf simpatis

didaerah tersebut tetap utuh.

Denyut jantung lemah dan menurun, disebabkan oleh menurunnya epinefrin

disirkulasi dan selanjutnya efek sistem parasimpatis. Pasien dengan syok neurogenik

mempunyai laju pernafasan yang meningkat, jika cedera pada kolumna spinalis terjadi pada

regio servikal, paralisis dari diafragma, musculus intercostal, mungkin terjadi (Rahm, 2005).

Tatalaksana

Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, menghasilkan suatu hipovolemia relatif

karena peningkatan kapasitas vena, dan pemberian cairan isotonik sering diperlukan. Namun,

hipotensi karena syok neurogenik sering refrakter terhadap resusitasi cairan. Namun

demikian, hipotensi pada pasien trauma tidak dapat diasumsikan karena syok neurogenik

awalnya, dan bisa menjadi tanda syok hemoragik. Dengan demikian, korban trauma dengan

hipotensi harus diperlakukan awalnya dengan cairan kristaloid (0,9% natrium klorida, laktat

ringer) atau koloid (albumin, produk darah) dan dievaluasi untuk setiap kehilangan darah

yang sedang berlangsung. Pasien harus diresusitasi memadai dari perspektif hemodinamik

sebelum menjalani operasi dekompresi tulang belakang.

Jika terdapat bradikardia, pasien mungkin berespon dengan atropin, glikopirolat, atau

infus vasoaktif dengan chronotropic, vasokonstriktor, dan inotropik lainnya seperti

dopamin atau norepinefrin. Isoproterenol juga dapat dipertimbangkan jika agen chronotropic

kuat diperlukan. Fenilefrin berpotensi menyebabkan refleks bradikardia, tidak adanya

aktivitas beta agonis, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan bradikardia

yang muncul sebagai bagian dari shock neurogenik.

Prognosis

Pasien dengan cedera medula spinalis servikal lebih cenderung untuk mengalami syok

neurogenik. Pasien dengan cedera medula spinalis torakolumbal umumnya tidak mengalami

syok neurogenik. Kehadiran syok neurogenik telah terbukti menyebabkan keterlambatan

dalam manajemen operasi, yang berpotensi memperburuk hasil juga. Meskipun dianjurkan

untuk menghindari dan mengobati hipotensi agresif, tidak diketahui apakah hipotensi

memperburuk hasil.

Syok neurogenik dapat bertahan selama 1-6 minggu setelah cedera. Dysreflexia

otonom, tekanan darah istirahat rendah, dan hipotensi ortostatik yang tidak biasa selama fase

kronis, sering muncul setelah syok neurogenik telah teratasi. Ketidakstabilan otonom sering

dimanifestasikan oleh hipertensi episodik, diaphoresis, dan takikardia.

Kesimpulannya, cedera tulang belakang terlepas dari mekanismenya dapat

menyebabkan syok neurogenik ditandai dengan kehilangan mendadak tonus otonom yang

mengakibatkan hipotensi dan bradikardia relatif. Lesi yang lebih tinggi dikaitkan dengan

defisit yang lebih parah. Vasokonstriktor perifer, chronotropik, dan inotropik mungkin

diperlukan dalam kasus-kasus syok neurogenik.

Hipotensi yang dihasilkan dari hilangnya tonus otonom dapat memicu cedera iskemik

sekunder lanjut ke sumsum tulang belakang, dan harus dikelola secara agresif. Dysautonomia

mungkin berkembang dan sering berlanjut beberapa minggu setelah cedera.

Setiap pasien yang datang dengan kemungkinan cedera medula spinalis seharusnya tulang

belakang mereka diimobilisasi untuk mencegah cedera lebih lanjut atau kompresi pada saraf

tulang belakang (Mack, 2013).

Daftar pustaka

De Jong dan Sjamsuhidajat. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Greenberg, M I et al. 2005. Greenberg Text Atlas of Emergency Medicine. USA. Lippincott

Williams & Wilkins

Mack, E H. 2013. Neurogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal, 7;16-18

Rahm, S J. 2005. Trauma Case Studies for the Paramedic. Jones and Bartlett Publishers, Inc

Snell, R S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC.

Snell, R S. 2007. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 5. Jakarta : EGC.