Download - Sunda Wiwitan

Transcript

Sunda WiwitanDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasLangsung ke: navigasi, cari Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda: "Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda asli") adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monotheisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".Daftar isi1 Mitologi dan sistem kepercayaan2 Filosofi3 Tradisi4 Tempat suci5 Lihat juga6 ReferensiMitologi dan sistem kepercayaanKekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.[3]Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atasBuana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengahBuana Larang: neraka, letaknya paling bawahAntara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.FilosofiPaham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:Welas asih: cinta kasihUndak usuk: tatanan dalam kekeluargaanTata krama: tatanan perilakuBudi bahasa dan budayaWiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannyaKalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:RupaAdatBahasaAksaraBudayaKedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lainYang bisa membahayakan diri sendiriAkan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.TradisiDalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini. [4]Tempat suciTempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan Punden Berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi. Namun begitu Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.Lihat jugaAnimismeHindu DharmaKejawenPatuntungReferensi^ Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73^ Djajadiningrat, 1936: 11-12^ Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 73^ Rama Jatihttp://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan" http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_WiwitanAgama Djawa SundaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasLangsung ke: navigasi, cari Agama Sunda adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll. Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Agama Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda.Ajaran dan ritualMadrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.Selain itu karena non muslim Agama Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.Masa depanDi masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.Pranala luarPerjumpaan Islam dengan Tradisi SundaNegara, Agama dan KTPYang Menanti Sebuah PengakuanMereka Benar-benar Bersaudarahttp://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda" http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_SundaSunda Wiwitan Inti upacara dari semua upacara (juga di tiga Gunung tersebut) adalah berterimakasih, menerima semua kasih dengan menebarkan kasih diantara sesama ciptaanNya.Jumat, 19 Juni 2009Intinya Upacara Kuwera Bakti Darma Wisundarah Upacara Kuwera Bakti Darma Wisundarah ini untuk menjalankan pesan Kasepuhan (orangtua adat) dari Kanekes, yang menitipkan 3(tiga) Gunung, yaitu Pakualam yang harus diperhatikan sebagai tempat suci yang penting bagi warga adat yang mengakui dirinya urang Bandung. Gunung TangkubanParahu adalah yang ketiga setelah Gunung Wayang dan Gunung Gede. Menyiapkan amparan bagi kehidupan yang sangat baru, dari perubahan yang sangat besar di semesta ini, yang akan datang dengan waktu tak lama lagi. Mempererat persaudaraan sedunia dengan Sapajajaran, Silihwangian Sabuana.Inti upacara dari semua upacara (juga di tiga Gunung tersebut) adalah berterimakasih, menerima semua kasih dengan menebarkan kasih diantara sesama ciptaanNya. Bersama-sama (dengan menerima perbedaan bangsa serta budayanya, warna kulit, gender, atau apapun, sebagai anugerah alamiah, dengan penuh cinta kasih yang murni, ) kita pancarkan rasa terkasih kita dengan karya bakti keindahan, memuji dengan semua persembahan, tata ruang, musik, nyanyian dan tarian, serta seluruh kesungguhan darma menerima Cahaya Hyang Maha. Diposkan oleh SundaWiwitan di 10.10 Tidak ada komentar: Kamis, 18 Juni 2009Upacara Di Tangkuban Parahu tanggal Juli 26, 2009 yang di mintah oleh Ketua orang Bandui dalam .........Kuwera Bakti Darma Wisundarah........ Tangal: Juli 26, 2009. Tempat: Gunung Tankuban Parahu Rajah SabuanaUpacara akan dilaksanakan di puncak Gunung TangkubanParahu (berarti: Perahu Terbalik), merupakan salah satu gunung yang mengitari cekungan bandung, gunung berapi yang letaknya di utara Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Gunung TangkubanParahu adalah anak dari letusan Gunung Sunda Purba (Purwakancana), konon merupakan gunung tertinggi di dunia di jaman dahulu. Dua kata yang cukup penting, memberi isi pada upacara kita nanti, yaitu Parahu dan Gunung Sunda.Parahu pun dapat bermakna Para yang artinya bisa menunjukan jamak, atau juga bisa berarti yang diatas sebagaimana para adalah berarti ruang diatas atap penutup sebuah ruangan dalam sebuah bangunan, dan hu berarti Dia yang tertinggi. Jadi Parahu bisa berarti Mereka yang tertinggi, yang terdahulu, yang menjadi sumber hidup.Lamanya upacara digelar satu hari, di mulai sejak matahari terbit, hingga matahari hampir terbenam,.Upacara akan dibersihkan secara spiritual oleh Belasan orang Kasepuhan (tetua adat sunda), dengan bunyi-bunyian dari angklung buhun dan tarian adat, mereka datang berjalankaki sejauh lebih dari 300km selama berhari-hari menuju tempat upacara, dari kampungnya di Kanekes (Baduy dalam), Banten, Indonesia. Perjalanan kaki tersebut dilaksanakan sejak tanggal l4 Juli dari Kampung dan sampai di Jalan Dr. Curie no.1, Bandung tanggal 24 Juli. Kemudian besoknya tanggal 25 Juli berjalan kaki menuju Puncak Gunung Tangkuban Parahu. Mulai jam 8 pagi. (Orang Kanekes/Baduy dalam adalah warga adat sunda wiwitan yang menjalani hidup sangat sederhana dan bertapa (yoga), mereka menyadari tugasnya, yaitu Ngabaratapakeun telungpuluhtelu nagara (hidup bertapa untuk seluruh isi dunia), dan telah hidup seperti itu turun-temurun selama ratusan tahun atau mungkin lebih dari seribu tahun yang lalu)Setelah itu, dengan keadaan seluruh peserta upacara telah berkumpul dalam suasana cukup fokus, maka dilanjutkan Kuwera Bakti, di buka oleh rajah kacapi suling oleh jaro rajah, dilanjut oleh semua peserta upacara dari berbagai bangsa, berbagai kepercayaan, berbagai cara, untuk meditasi bersama, bermusik, , nyanyian adat, serta tarian . Berakhir dengan Rajah Pamunah dan Tarawangsa.Diposkan oleh SundaWiwitan di 23.18 Tidak ada komentar: Penyelenggara, peserta dan waktu Upacara diselenggarakan oleh warga adat sunda wiwitan di Kota Bandung, juga didukung oleh warga adat, serta beragam komunitas sosial yang ada di daerah Gunung TangkubanParahu dan sekitarnya. Bekerjasama dengan semua orang yang memiliki perhatian terhadap semua warisan sakral leluhurnya (adat). Peserta terbuka untuk seluruh orang yang tertarik mengikutinya, baik individu ataupun komunitas, terutama adalah yang bisa mewakili komunitas-komunitas warga adat di seluruh dunia yang masih memelihara adat dan ajaran dari leluhurnya. Keikutsertaan tidak selalu harus menghadirkan orang yang mewakili, tapi juga dapat digantikan oleh alat atau simbol, berupa persembahan yang biasa disertakan dalam sebuah upacara di tempatnya masing-masing. Akan tetapi kekuatan warna yang indah akan sangat diharapkan, apabila keikutsertaan juga menampilkan upacara dengan tatacara, mantera, nyanyian, musik atau tarian yang biasa digelar dalam sebuah upacara berterimakasih bagi Sang MahaPemberi, seperti di tempatnya masing-masing, di tanah leluhurnya. Kami yakin semuanya dapat menggelar bersama dengan mengalir secara harmonis.Waktu upacara, dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 26 juli 2009, atau dalam penanggalan Kalasunda: Wuku Sungsang, Radite-pahing, 11 Kresnapaksa, Yesta 1945 Candrakala, 5 Kawalu 1931 Suryakala, sejak matahari terbit hingga hampir terbenam. Dimana saat itu pun disebutkan sebagai hari yang baik untuk menebar benih.Penyelenggara mengharapkan segala bantuan yang tulus, baik itu dana, tenaga, atau pemikiran dari semua pihak. Diharapkan pula para individu atau komunitas yang tertarik untuk turut serta dalam upacara ini, mengkonfirmasikan semua bentuk dukungannya, lewat semua fasilitas komunikasi yang tersediaBandung, 7 Maret 2009(3 Suklapaksa 1945 Candrakala-Kalasunda)Jaro SalametanKanta PurwadinataKonfirmasi:Alamat Panitia : Jl. Dr.Curie no 1 Bandung IndonesiaKontak : 1. Gin-gin Akil +62 081572337200 (Bhs.Indonesia/Sunda)2. Wawan Sarbani Akil +62 081395382559 (Bhs.Indonesia/Sunda)3. Sri Gaby Rahayu +62 081236072633 (English/French)Bank : BCA 0080340249 a/n. Akil Afiat GinanjarEmail : [email protected] oleh SundaWiwitan di 23.13 Tidak ada komentar: Tumpekan Kegiatan tersebut adalah sebuah upacara dengan tata cara budaya sunda, yang dimaksudkan untuk berkumpul dan berterimakasih kepada semua yang menjadi asal (wiwitan) kehidupan yang kita rasakan ini, atau hakikatnya berterimakasih kepada Sang MahaKuasa.Rasa terimakasih tersebut dijewantahkan dengan melakukan ekspresi terbaik dan terindah dari laku budaya yang menjadi kepribadian sejati (Sunda wiwitan),. Tumpekan intinya berterimakasih atau syukuran (Nganuhunkeun), yaitu laku spiritual yang mengasah kaelingan (kesadaran sejati) sebagai manusia. Dengan cara upacara adat budaya sunda, dimana dengan cara ini, karena merupakan cahaya jembar (universal) sunda wiwitan, maka tidak dibatasi oleh perbedaan apapun yaitu misalnya agama, kesukuan atau ras, jenis kelamin dan lain sebagainya, terbuka untuk siapapun yang mau menerima cara tersebut dan yang ingin merasakannya.Rasa Naganuhunkeun yang terus diasah menguatkan rasa kemanusiaan, berbagi keindahan serta kebahagiaan yang dihidupkan dan semuanya mengerucut dalam perbuatan, sehingga getar kasih sayang memancar terhadap sesama, alam sekitar dan semesta ini.Seni yang di gelar dalam upacara, sesungguhnya adalah seni tuntunan, dimana seni bagian dari darma, yaitu asal muasal (buhun) dari tugas seni pada awalnya dalam bagian kebudayaan keseluruhan, yang dapat dimengerti melalui cara pandang budaya sunda. Rasa indah dan rasa bahagia yang ada dalam seni dapat mengantarkan kita pada kesadaran hidup, bila itu bagian dari pendalaman sejatinya hidup kita, dan itu mengharmonikan keberadaan kita dengan semesta ini.Ini adalah metode menuju puncak yang sangat efektif, sebagai warisan leluhur sunda yang sangat tua, dimana perangkat yang dipakai menyampaikan getar semesta yang terasa dari keindahan, kesuburan dan kesejahteraan alam parahiyangan. Diposkan oleh SundaWiwitan di 22.37 Tidak ada komentar: Musik traditional Foto ini menunjut salah satu alat musik traditional Sunda; Kecapi. Yang lain misalnya angklung, karinding, cilempung (yang di buat dari bambu), akan dilantunkan pada saat upacara di Tangkuban parahu.Diposkan oleh SundaWiwitan di 21.56 Tidak ada komentar: Sabtu, 13 Juni 2009Kata2 dari peserta Bandung ...Eling, eling mangka eling/ Eling kadiri sorangan/ Eling ka diri nu lian/ Urang jeung Alam taya antara3x/ Mun aya antarana Urang rek cicing dimana? iyeuh.../ Pun, Hirup ti pamedalan nepi Pangbalikan/ Neda Ampun Nya Paralun/ Neda Jembar Pangampura/ Hampura SapapanjangnaAhuuuuung...[Terjemah Bhs.Ind:...Sadar, sadar hingga sadar sesungguhnya/Sadar akan diri sendiri/Sadar kepada diri yang lain/Kita dengan Alam tiada berjarak 3x)/Bila berjarak Kita bertempat dimana?/ Hai..Pun (Kuserahkan), Hidup sejak lahir hingga kembali pulang/Mohon Ampun semua pengampunan/Mohon Keluasan Pengampunan/Pengampunan sepanjang-panjangnya/Ahuuuuung...(Engkau YangMaha)]Rumpaka Rajah PamunahLagu tradisi adat SundaRajah di Gunung TangkubanParahu, memberi ketegasan bahwa di setiap titik di bumi ini, alam telah memberi tempat dan tanggungjawab kepada setiap hidup yang terpilih untuk satu dengan lingkungan hidupnya, dan eksistensi itu tidak dapat diubah dengan apapun karena itu sudah terbentuk dan tumbuh secara alamiah ribuan tahun lalu atau lebih, jadi pasti di setiap tempat ada para pendahulu.Itulah sebabnya, Pancaran kasih para pendahulu harus dihidupkan, para pemelihara warisan leluhur sangat baik dipertemukan dalam satu perjamuan spiritual, yaitu salah satunya berkumpul melakuan ritual bersama di Perahu alam, Gunung TangkubanParahu, yaitu salah satu Gunung yang tersisa dari Gunung Sunda Purba (Purwakancana).Semoga kita semua, dapat melakukan darma dengan kebeningan rasa. Memancarkan Cinta kasih bagi semua yang telah lahir dan nyata, sebagai bagian dari Yang MahaHidup. Rahayu, Rahayu, rahayu.Diposkan oleh SundaWiwitan di 02.17 Tidak ada komentar: Label: upacara Kamis, 11 Juni 2009Sedang Menikmati Musik Tarawangsa. (Salah satu musik adat Sunda) Wileujeng Sumping (Selamat Datang) http://wiwitansunda.blogspot.com/" http://wiwitansunda.blogspot.com/TelisikMemahami Fenomena Sunda Wiwitan Masa Kini Oleh : Ira Indrawardana Dosen Antropologi FISIP UNPAD, warga AKUR (Adat Karuhun Urang Sunda) Cigugur Kuningan Jawa Barat.Secara antropologis, terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi mengalami perkembangan evolutif dari animisme, dinamisme, totemisme hingga monoteisme. Masyarakat awam cenderung memahami bahwa dimensi religius dalam konsep agama sebagai konsepsi puncak dan perkembangan sistem kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan manusia. Benarkah demikian? Pertanyaannya kemudian di manakah atau bagaimanakah posisi agama minoritas atau sistem kepercayaan lain yang seolah belum terakomodasi dalam ruang publik secara setara bahkan diperlakukan diskriminatif, seperti halnya para kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan kepercayaan atau agama adat. Sunda Wiwitan sebagai Agama Adat Sunda Wiwitan adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan masyarakat keturunan Sunda. Meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Masyarakat Kanekes, Kasepuhan Adat Banten Kidul (Ciptagelar dan kampung adat sekitarnya), Kampung Adat Cireundeu-Leuwi Gajah Cimahi, Kampung Susuru Ciamis, Kampung Pasir Garut dan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) di Cigugur Kuningan adalah beberapa komunitas di jawa Barat yang masih memegang teguh ajaran- ajaran Sunda Wiwitan ini. Secara administratif untuk membedakan seseorang atau warga komunitas yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini dengan lainnya biasanya dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit atau agama luar negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dsb). Biasanya kolom agama pada KTP para penganut Sunda Wiwitan dikosongkan atau terdapat tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan saja. Kondisi ini terjadi bagi mereka yang kukuh tidak mau dituliskan nama agama selain yang dianutnya (Sunda Wiwitan). Padahal pihak aparat pembuat KTP terkadang menyarankan (bahkan cenderung memaksa) untuk mengisi kolom agama dengan nama agama-agama yang (katanya) diakui pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu). Tidak jarang pula ada yang mengaku menganut Sunda Wiwitan sementara dalam kolom agama dalam KTP-nya masih ada ketikan nama agama luar. Keyakinan Sunda Wiwitan yang secara administratif tidak tertulis atau dikosongkan pada kolom agama di KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku agama-agama adat nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo dsb. Kondisi ciri administratif seperti ini karena negara masih pilih kasih atau diskriminatif dalam perlakuan administrasi kenegaraan dan pemerintahan. Padahal sebelum adanya agama-agama luar, keyakinan agama Sunda Wiwitan sudah ada. Bahkan sistem keyakinan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak/dilarang menyandang gelar atau titel agama karena konsep agama hanya berlaku bagi agama-agama luar (yang dianggap jelas memiliki kitab tertulis, Nabi, Tuhan, ritus dan sebagainya). Sementara itu Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai kepercayaan atau aliran kepercayaan, bahkan tidak jarang yang menilai sebagai aliran sesat oleh penganut agama luar. Kenyataan ini sudah sekian lama terjadi dan menjadi momok bagi warga adat ataupun non adat generasi Sunda yang mikukuh ajaran budaya spiritual leluhur Sunda ini sejak terjadinya akulturasi dan asimilasi dengan budaya spritual pendatang dari luar. Sampai saat ini kenyataan terjadinya diskriminasi horizontal atau diskriminasi sosial (pelecehan, penghinaan, pemfitnahan terhadap penganut Sunda Wiwitan) dan diskriminasi vertikal atau diskriminasi yang berupa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang diskriminatif terhadap kaum Sunda Wiwitan masih berlangsung. Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau syiar atau missionaris, karena memang bukan agama misi, bahkan sesungguhnya tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama ini banyak dianut dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan sistem serta bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Sunda maka Sunda Wiwitan sebagai sistem keyakinan atau agama hanya bagi mereka yang secara genealogis adalah Suku Sunda.Pertanyaannya kemudian, apakah orang suku Sunda boleh menganut keyakinan Sunda Wiwitan? Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang penduduk Kanekes yang berasal dari daerah Kaduketug (suatu nama daerah di wilayah Kanekes), mengatakan bahwa ieu mah agama kami batur mah meunang. Sababna teu meunang soteh pedah pedah kami ge can karuhan bisa ngalaksanakeun flu bener tina agama kami (baca; Sunda Wiwitan).Artinya dan hasil wawancara itu bahwa Sunda Wiwitan sebagai agama atau keyakinan masyarakat Kanekes adalah hanya diperuntukkan bagi kalangan mereka saja, dan orang lain selain yang berasal dari lingkungan mereka tidak boleh menganut Sunda Wiwitan. Adapun alasan tidak boleh menganut Agama Sunda Wiwitan dikatakan bahwa karena jangankan orang lain (selain orang Kanekes) boleh menganut keyakinan tersebut, orang Kanekes sendiri pun belum tentu bisa mengimplementasikan ajaran Sunda Wiwitan dengan benar.Di balik pernyataan itu tersirat bahwa orang Kanekes atau penganut Sunda Wiwitan tidak berniat untuk menyebarkan ajaran Agama Sunda Wiwitan, bahkan sampai mengajak orang lain menganut Sunda Wiwitan. Hal demikian karena Agama Sunda Wiwitan bukan agama misi atau syiar yang orang lain boleh sembarangan menganutnya. Kemudian dari pernyataan itu (dan hasil wawancara selanjutnya dengan orang Kanekes tersebut) bahwa mereka sesungguhnya sangat menghormati keyakinan atau Agama lain selain Sunda Wiwitan. Hal ini juga berkaitan pula dengan prinsip sikap orang Kanekes dalam kaitannya dengan budaya luar atau sistem (tidak akan menjajah keyakinan luar (selain Sunda Wiwitan) bahwa mereka embung dijajah jeung moal ngajajah pengaruhi dan tidak mau dijajah (dipengaruhi) karena sudah merupakan tugas mereka (orang Kanekes) untuk tetap mempertahankan tradisi leluhur apa adanya. Keteguhan orang Kanekes sebagai penganut Sunda Wiwitan dalam mempertahankan tradisi dan budaya spiritual leluhur mereka apa adanya itu sesuai dengan prinsip keteguhan mereka bahwa lojor tea meunang dipotong pondok tea meunang disambung (secara harfiah berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Penganut Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa agama Sunda Wiwitan sesungguhnya tidak bertujuan untuk disebarkan kepada orang lain. Hal ini mengacu pada dasar pemahaman bahwa Agama Sunda Wiwitan ada sejak adanya manusia Sunda diciptakan oleh Nu Ngersakeun atau Sang Hiyang Keresa atau Gusti Pangeran Sikang Sawiji wiji (istilah causa prima bagi penganut Sunda Wiwitan). Dengan demikian keberadaan Agama Sunda Wiwitan pada hakekatnya diperuntukkan bagi mereka yang merasa dan rumasa berkepribadian sebagai keturunan (genealogis) darah Sunda (meski hal ini pada kenyataannya tidak mengikat secara ketat). Pemahaman bahwa agama Sunda Wiwitan tersebut tidak untuk dipropagandakan, juga memiliki implikasi pemahaman bahwa dalam ajaran Sunda Wiwitan menghormati kebenaran ajaran agama dan kepercayaan lain dan memahami bahwa setiap umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing. Mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan kepikiran untuk mengajak orang lain menganut agama mereka (Sunda Wiwitan), karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan Sunda Wiwitan belum tentu sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut. Bagi penganut Sunda Wiwitan umumnya dan Orang Kanekes khususnya, dalam agama Sunda Wiwitan menitikberatkan kepada masalah tuah (amal, perbuatan). Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan kepada apa yang harus dilakukan sebagai manusia, cenderung lebih tertutup untuk mempermasalahkan atau memeperdebatkan pada apa yang mereka percayai. Hal ini karena bagi warga penganut Sunda Wiwitan bahwa Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk diperdebatkan, yang penting bagaimana melaksanakan pikukuh atau aturan kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat pada masing-masing wewengkonnya atau wilayahnya. Masyarakat Kenekes mendasarkan aturan pikukuh itu pada Tri Tangtu (tata wilayah aturan berdasarkan wilayah ke-Rama-an, ke-Resi-an, ke-Ratu-an), sedangkan pada masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) Sunda di Cigugur Kuningan, aturan pikukuh yang dimaksud dikenal dengan Pikukuh Tilu. Edisi 34 September - Oktober 2008 MaJEMUK. http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1058&Itemid=121" http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1058&Itemid=121Sanghyang Mughni PancanitiMencoba Memuhammad-kan DiriMengenal SundaWiwitanDalam proses penyebara agama Islam di tatar Sunda, tidak seluruh wilayah Tatar Sunda menerima sepenuhnya. Di beberapa tempat meski dalam lingkup kecil- terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya sepeti komunitas masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religious yang khas, terpisah dari Muslim-Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monotheis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan, yakni Sanghyang Keresa (Yang Mahakuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Ghaib) yang bersemayam di Buana Nyuncung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk mensejahterakan kehidupan diJagat Mahpar (dunia ramai). Dalam dimensi manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batar yang dikirimkan ke dunia melalui kabuyutan, titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.Dalam pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religious diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya mempunyai empat tujuan yaitu; 1. Menghormati para karuhun atau nenek moyang, 2. Mensucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya, 3. Menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi, dan 4. Melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan isi jagat. Dengan demikian mantera-mantera yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.Masuknya agama Islam ke Tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas pengaut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang kemudian menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Padjajaran. Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui bahwa perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam system religi, bukan etnis. Mereka menyebut orang Sunda yang di luar Kanekes dengan sebutan Sunda-Eslam (orang Sunda yang beragama Islam).Like this:13 Juni 2010 Sanghyang Mughni Pancaniti 20 tanggapan kepada Mengenal SundaWiwitan Ketut Kinog Juni 16th, 2011 pada 01:43 Saya ketut kinog dari Bali, ingin kontak dengan teman2 dari Sunda Wiwitan. Dulu saya tingal di Bandung 14 thn (1969-1983), tapi belum ada teman dari Sunda Wiwitan. Kalau ada yang baca ini tolong kontak saya: [email protected] September 17th, 2011 pada 20:52 coba anda mampir ke paguyuban pakuan pajajaran,,alamat: tepat di belakang hotel cleopatra pelabuhan ratu sukabumi:kita bisa berdialog disana mengenai sunda wiwitan dalam pandangan modern dan pelakunya.Daud Maret 20th, 2013 pada 13:26 Antara Sunda Wiwitan dan Bali mgkin ada benang merah yg bisa ditarik, bagaimana Sunda Wiwitan menyembah kepada Sang Hyang Kersa dan Orang Bali kepada Sang Hyang Widhi.. ini bkn kebetulan. Mungkin ???wayan tirta Mei 5th, 2013 pada 09:28 ini bukan kebetulantapi sebuah titik temuingat sunda kecil{ bali dan nusa tengara}dan sunda ..sang hyang berasal dari bahasa ibu sundaasep surachman Oktober 18th, 2011 pada 11:46 subtansi orang yang punya keyakinan dimanapun dan siapapun adalah mensejahterakan manusia di sekitarnya secara benarasep surachman Oktober 18th, 2011 pada 12:11 Upami penguasa RI teu tiasa melindungi tatar kanekes bakal rusak kang ? daya dukung alamna semakin mengurang ku aya na aktivitas ekonomi nu sarakah ( kapitalis ,dan birokrasi ala kolonial ) , bati sedih na ningali sababrah pengusaha kai kai leweung di nga geruus terus nu ngagunaken mesin . mugia pamarentah provinsi banten mampu melindungi aset urang sunda nu ngan hiji hji na deui nu masih asli , upami di emut mah urang kanekes urang jadiken bahan bacaan keur jati diri urang sunda sakumna. hilangken stigma ( cap goreng ) ka papada manusia , coba urang titennan deui wangsit prabu sliwangi dina wangsa kerta , walahu alam ari leres henteu na mah . ngan kudu ngajadiken sindiran keur urang sunda sadaya . ( kamari kaping 15 oktober 2011 abdi sareung bojo teu kahaja nyiimpang ka ciboleger leuwidamar ).Anwar November 1st, 2011 pada 00:25 hatur nuhun. .Kabayan Desember 15th, 2011 pada 13:11 Zaman kiwari geus loba jalma nu jati kasilih ku junti, nu enya dilain-lain, nulian dienya-enya. karungkup ku adat deungeun NYIRNAKEUN kasajatian diri ti Hyang Widi. Alam, Adat, Sifat, Tabeat geus robah alatan geus teu nyaho saha dirina. Peureum ku kasieun beunta ku olohok, teu nyaho make baju geus lain nu sorangan. Sumujud bari linglung rek balik era kulantaran geus poho ka PARAHIANGAN.sreno99 Januari 11th, 2012 pada 15:36 satuju ka kang kabayan,,ajaran sunda wiwitan dari nabi Adam tak ada yg beda antara islam dan sunda wiwitan,ibarat air dan salju beda pada nama kenyataannya satu..asep sambur Februari 17th, 2012 pada 23:25 anu benermah sok jarempling,anu benermah munculna sok terahir.keun wae nu teu ngalartieunmah.hiji mangsamah bakal ditembongkeun.ulah hariwang jeung ringrang.mega Oktober 31st, 2012 pada 09:03 membaca tulisan ini membuat saya rindu dengan masyarakat baduy.. ingin rasanya berkunjung lagi kesana balantrak November 14th, 2012 pada 21:14 nu penting tong waka nyebut goreng/sasar k batur mun can nyaho jeroanana, sanes kitu dulurbancang pakewuh Februari 21st, 2013 pada 01:36 sok komo bari can puguh dirina teh bener..geus wani nyalahkeun baturTami Koestomo Maret 12th, 2013 pada 10:28 Terimakasih banyak untuk Situs yang menyegarkan dan mencerahkan ini. Dalam zaman yang seperti ini, kita semua memerlukan Cahaya Cerah yang Murni. Abdi nu asli Bogor ngahaturkeun: Nuhun pisan!yan Mei 5th, 2013 pada 23:17 Aman kan, janag di rusak budaya dan agama WIWITAN URANG SUNDA BADUY KANEKESwayan tirta Mei 6th, 2013 pada 08:30 Stujukalau dibiarkan yang tersisa budaya padang pasir yang kering kasar dan anti budaya diluar merekayan Mei 6th, 2013 pada 21:08 Sangat prihatin yang anti budaya pada URANG BADUY KANEKES BANTEN JABAR padahal mereka peradaban ADI LUHUNG LOKAL GENIUS di Nusantara. Tidak bisa di hilangkan oleh yang anti budaya selain budaya yang anti.Rasjad Mei 30th, 2013 pada 09:52 Lestarilah budaya sahabat2ku orang BaduyDidi Juni 24th, 2013 pada 09:13 Hihi sombong sombongbisanya nyalahkeun kayakinan batur,ciri khas sunda wiwitan..nyalahkeun kayakinan batur meureunNarotama Agustus 20th, 2013 pada 21:09 Hendaknya kepercayaan/budaya nusantara yg adiluhung ini seperti : Sunda Wiwitan, agama Jawa/Kejawen, dll yang tersebar diseluruh nusantara ini dilestarikan dan diberikan hak hidup oleh Pemerintah dg mengakui keberadaannya secara formal yg dijamin oleh UUD 1945 pasal 29, janganlah terlalu berpihak pada kepercayaan impor. [...] http://menjawabdenganhati.wordpress.com/2010/06/13/mengenal-sunda-wiwitan-2/ [...]http://menjawabdenganhati.wordpress.com/2010/06/13/mengenal-sunda-wiwitan-2/" http://menjawabdenganhati.wordpress.com/2010/06/13/mengenal-sunda-wiwitan-2/Mengenal SundaWiwitanDalam proses penyebara agama Islam di tatar Sunda, tidak seluruh wilayah Tatar Sunda menerima sepenuhnya. Di beberapa tempat meski dalam lingkup kecil- terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya sepeti komunitas masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religious yang khas, terpisah dari Muslim-Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monotheis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan, yakni Sanghyang Keresa (Yang Mahakuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Ghaib) yang bersemayam di Buana Nyuncung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk mensejahterakan kehidupan diJagat Mahpar (dunia ramai). Dalam dimensi manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batar yang dikirimkan ke dunia melalui kabuyutan, titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.Dalam pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religious diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya mempunyai empat tujuan yaitu; 1. Menghormati para karuhun atau nenek moyang, 2. Mensucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya, 3. Menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi, dan 4. Melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan isi jagat. Dengan demikian mantera-mantera yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.Masuknya agama Islam ke Tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas pengaut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang kemudian menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Padjajaran. Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui bahwa perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam system religi, bukan etnis. Mereka menyebut orang Sunda yang di luar Kanekes dengan sebutan Sunda-Eslam (orang Sunda yang beragama Islam).http://menjawabdenganhati.wordpress.com/2010/06/13/mengenal-sunda-wiwitan-2/Carita Sunda: Babad LayungLalungsePosted on 23 Maret 2010 by warsa Geus jadi sabiwir hiji, kakoncara ka mana-mana, lamun baheulana nagara urang th boga julukan nagara maritim. Karajaan-karajaan anu aya di Nusantara, Boh anu aya di tatar Pasundan atawa di luar parahyangan loba kacaritakeun kahbatanna. Ieu disalunyuan ku para ahli sajarah dunia, saperti Sejarawan Jepang anu ngaranna Sakurata San, dina buku nu judulna; Hoena Kasikati Pesoku ( Sajarah Pasifik), nulis dina basa Jepang : akinasohak mitsubishi takunaiki, dakunaiki jugata majuwae. Makanaku lariazha anu pihartieunna kira-kira, kuring boga bukti-bukti lamun salah sahiji karajaan geus pernah meuntas nepika palabuan Seizu nu aya di Jepang.Sajarawan Sunda sorangan kurang soson-soson ngayakeun panalungtikan ngeunaan karajaan mana anu pernah ka palabuan Seizu anu aya di Jepang th? Anu manghrankeun, lolobana anu bener-bener konsern kana hal kieu th malah ahli-ahli mancanagara saperti; Ricardo Pendi Sumphena (Spanyol), Adulof Herrypuddiencth (Jerman), Phepen Omant (Vietnam), Kereshek Gumaransev (Russia), jeung Van Ghuoblogh (Walanda). Para ahli mancanagara th ngagabung dina hiji lembaga panalungtikan sajarah Sunda, SHOUN = sundanesse historical organization for united nation.Aya hiji sajarawan Sunda nu ulubiung dina ta lembaga nyata Profesor DR Encuy Samsiddin, guru besar sajarah ti Hesehitouth University , California.Hasil gempungan jeung gaw Nu rancag ti para ahli th nyata kapanggihna hiji naskah sunda kuno anu umurna th leuwih kolot dibandingkeun naskah Amanat Galunggung anu ditulis ku Prabu Guru Darmasiksa. Naskah anu ditulis dina kulit waru th jumlahna ngan dua kaca (halaman), tapi jadi bukti jeung pituduh ngeunaan karajaan Sunda Kuno. Kabh ahli geus nangtukeun lamun ta naskah ditulis ku hiji Raja jauh samemeh ayana karajaan-karajaan di Nusantara saperti Kutai jeung Tarumanagara.Aya dua pada anu jadi lulugu utama naskah ieu nyata:Sing sang aha akuNu neuleuman babad layung lalungsehDia ge nyaho yen nu huninga neratingaing sri peucang kadut raja diKartunamarangga, ge sebutna Raja Waluh.Hartina; saha-saha anu ngaguar ieu naskah nu judulna Layung Lalungs, bakal ngarti yn anu nulisna th Raden Peucang Kadut, hiji Raja Kartunamarangga anu disebut og karajaan Waluh.Pada anu ka-dua dina ta naskah nguningakeunDia sing waspada, sri peucang akuna garwa nyimas gelung, anu putrana raden menak remehanbaya wastana raden keuyeup apu, anak lan incuna ngaing daradi menak kabeh.Anu hartina ( manh kudu bener, Raden Peucang boga istri nyata nyimas Gelung, tuluy boga putra nyata Raden Menak Remehanbaya anu katelah Raden Keuyeup Apu. Anak jeung incuna bakal jareneng jadi raja.Panalungtikan teu cukup nepika dinya, da diteruskeun ku panalungtikan arkeologis. Para ahli ngagali, di beulah wtaneun wewengkon kampung Waluh Resmi, aya hiji candi leutik anu dibr ngaran Candi Waluh dan bentukna Buleud tur buleneng kawas waluh.Kabh satuju, lamun Raja Peucang pernah meuntas lautan , patepung jeung raja Seizu, Pangeran Huizampeunahawu. Buktina mangrupa ayana sababaraha barang anu sarua umur jeung Bentukna antara Karajaan Waluh jeung karajaan Seizu.Hasil panalungtikan ieu, mukakeun deui hiji misteri, lamun urang Sunda kuno th jalma-jalma lampar, tukang lumampah jauh. Para ahli nyimpulkeun panalungtikanna dina hiji jurnal anu dibr judul The Journal of Waluh and Raden Peucang.Balandongan, 2010Ieu ngan saukur carita, tong dikuat-kaitkeun jeung sajarah asli, huhuy..http://warsa.wordpress.com/2010/03/23/carita-sunda-babad-layung-lalungse/