STUDI PATOMORFOLOGI: AKTIVITAS NEFROPROTEKSI
PEMBERIAN SARI BUAH NAGA MERAH (Hylocereus
polyrhizus) PADA NEFROPATI TIKUS YANG
DIINDUKSI DOKSORUBISIN
HANA SHABRINA
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SIKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Patomorfologi:
Aktivitas Nefroproteksi Pemberian Sari Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus) pada Nefropati Tikus yang Diinduksi Doksorubisin adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Hana Shabrina
NIM B04120167
ABSTRAK
HANA SHABRINA. Studi Patomorfologi: Aktivitas Nefroproteksi Pemberian
Sari Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) pada Nefropati Tikus yang
Diinduksi Doksorubisin. Dibimbing oleh BAYU FEBRAM PRASETYO dan
VETNIZAH JUNIANTITO.
Nefropati adalah efek samping yang umum pada penggunaan obat
antikanker, doksorubisin. Buah naga merah kaya akan antioksidan yang juga
bermanfaat untuk membantu regenerasi jaringan dan mengurangi efek samping
yang merugikan dari kemoterapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kemampuan atenuasi buah naga merah terhadap nefrotoksisitas yang diinduksi
doksorubisin (DOK), berdasarkan pengamatan histopatologi. Tikus jantan
Sprague-Dawley, sebanyak 18 ekor, dibagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok 1
diberikan NaCl dengan dosis 0.4 ml/ekor intraperitoneal (IP) setiap minggu
selama 4 minggu, kelompok 2 diberikan DOK dengan dosis 4 mg/kg berat badan
(BB) IP setiap minggu selama 4 minggu, dan kelompok 3 diberikan DOK dengan
dosis 4 mg/kg BB IP setiap minggu selama 4 minggu dan sari buah naga merah
dengan dosis 4 ml/kg BB secara peroral (PO) 3 kali sehari selama 4 minggu.
Nefrotoksisitas dinilai dengan menghitung jumlah endapan protein pada
glomerulus dan sel nekrotik pada tubulus. Pemberian sari buah naga merah (4
ml/kg) secara signifikan (p <0.05) menurunkan jumlah endapan pada glomerulus
dan sel nekrotik pada tubuli dibandingkan kelompok DOK. Hasil menunjukkan
bahwa sari buah naga merah memiliki potensi dalam mencegah nefrotoksisitas
yang diinduksi doksorubisin.
Kata kunci: doksorubisin, ginjal, histopatologi, Hylocereus polyrhizus,
nefrotoksisitas
ABSTRACT
HANA SHABRINA. Pathomorphological Assesments on Activities
Nephroprotection of Red Dragon Fruit Juice (Hylocereus polyrhizus) in Rats with
Doxorubicin Nephropathy. Supervised by BAYU FEBRAM PRASETYO and
VETNIZAH JUNIANTITO.
Nephropathy is a common side effects following treatment by an anti-
neoplastic drug, doxorubicin. Pitaya is rich in antioxidants which are also
beneficial for supporting effective tissue regeneration and reduce detrimental
sequelae of chemotherapy. The aim of this study was to determine attenuation
capacities of red pitaya fruit juice in doxorubicin (DOX)-induced renal damages,
based on histopathological findings. Male Sprague-Dawley rats, consist of 18 rats,
were divided into three groups. Group I was given NaCl (saline) at the dose of 0.4
ml/rat intraperitoneally (IP) weekly for 4 weeks, group II was given DOX to
induce nephropathy at the dose 4 mg/kg body weight (BW) IP weekly for 4
weeks, and group III was given DOX at the dose 4 mg/kg BW IP weekly for 4
weeks and red piyaya juice at the dose 4 ml/kg perorally (PO) three times daily for
4 weeks. Nephrotoxicity was assessed by counting total glomerular protein
deposition and tubular cells necrosis. Treatment with red pitaya juice in DOX-
treated rats significantly (p <0.05) decreased the numbers of glomerular protein
deposition and tubular necrotic cells as compared with DOX only-treated group.
These results suggest that red pitaya juice has the potential nephroprotective
activities in doxorubicin-induced nephropathy.
Keywords: doxorubicin, histophatology, Hylocereus polyrhizus, kidney,
nephrotoxicity
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
STUDI PATOMORFOLOGI: AKTIVITAS NEFROPROTEKSI
PEMBERIAN SARI BUAH NAGA MERAH (Hylocereus
polyrhizus) PADA NEFROPATI TIKUS YANG
DIINDUKSI DOKSORUBISIN
HANA SHABRINA
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini ialah
Studi Patomorfologi: Aktivitas Nefroproteksi Pemberian Sari Buah Naga Merah
(Hylocereus polyrhizus) pada Nefropati Tikus yang Diinduksi Doksorubisin.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bayu Febram Prasetyo, S.Si,
M.Si, Apt dan Bapak Drh Vetnizah Juniantito, Ph.D APVet selaku dosen
pembimbing, Prof Drh Tutik Wresdiyati Ph.D PAVet selaku dosen pembimbing
akademik, serta staf Laboratorium Patologi, Divisi Patologi, Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi FKH IPB dan Laboratorium Farmasi, Divisi Penyakit
Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH IPB yang telah banyak
membantu dalam proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga, dan teman-teman atas segala
doa, dukungan, juga kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016
Hana Shabrina
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Kerangka Pemikiran 2
Hipotesis Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) 2
Doksorubisin 3
Tikus Sprague-Dawley 4
METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Alat dan Bahan 4
Pembuatan Sari Buah Naga Merah 5
Perlakuan Hewan 5
Pembuatan Blok Parafin 6
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin 6
Pewarnaan Masson’s Trichrome 6
Parameter dalam Penelitian 6
Kriteria Skoring 7
Prosedur Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
SIMPULAN DAN SARAN 13
DAFTAR PUSTAKA 13
RIWAYAT HIDUP 16
DAFTAR TABEL
1 Kriteria skoring fibrosis ginjal dengan pewarnaan Masson’s Trichrome 7 2 Presentasi lesi endapan glomerulus dan sel nekrotik pada pemberian
sari buah naga merah dan DOK 8 3 Hasil penilaian skoring fibrosis pada ginjal 11 4 Hasil pengujian fitokimia sari buah naga merah 11
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan kelompok perlakuan penelitian 8 2 Gambaran histopatologi ginjal pewarnaan HE. 10 3 Gambaran histopatologi ginjal pewarnaan Masson’s Trichrome 12
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Doksorubisin (DOK) atau adriamisin, merupakan obat antikanker dari
golongan antrasiklin, umumnya digunakan untuk kasus kanker pada manusia.
Namun, adanya efek samping yang parah pada berbagai organ terutama jantung,
hati dan ginjal, membatasi penggunaan obat ini (Erdogan et al 2009). Stres
oksidatif dikaitkan dengan kerusakan ginjal yang diinduksi doksorubisin.
Mekanisme yang tepat dari nefrotoksisitas yang diinduksi doksorubisin masih
belum diketahui, tetapi kemungkinan melalui proses pembentukan radikal bebas,
besi bebas, dan kerusakan oksidatif dari makromolekul biologis (Mohan 2009).
Ginjal yang diberi doksorubisin menunjukan perubahan histologi berupa
kongesti pada pembuluh darah ginjal dan glomerulus, dengan area nekrosis
multifokal. Tubulus mengalami degenerasi hingga nekrosa. Jaringan interstisial
diinfiltrasi oleh sel radang, yang didominasi oleh makrofag dan limfosit (El-
Moselhy dan El-Sheikh 2013).
Buah naga atau dikenal dengan sebutan pitaya dalam bahasa Inggris,
merupakan buah tropis yang berasal dari famili kaktus Cactaceae. Salah satu
contoh buah naga yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah buah naga
berdaging merah (Hylocereus polyrhizus). Menurut penelitian Hylocereus
polyrhizus dapat bekerja sebagai anti-inflamasi (Macias-Ceja et al. 2016),
antimikroba (Tenore et al. 2012), antiproliferasi (Wu et al. 2006), dan dapat
menurunkan kadar gula darah dalam tubuh (Panjuantiningrum 2009). Buah naga
kaya akan antioksidan yang diperlukan dalam tubuh untuk melawan kerusakan
oleh radikal bebas. Kandungan senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan
dalam buah naga diyakini dapat membantu meregenerasi jaringan dan mengurangi
efek nefrotoksik akibat penggunaan doksorubisin.
Penggunaan doksorubisin berlebih akan menyebabkan akumulasi radikal
bebas yang mengakibatkan stres oksidatif, sehingga diperlukan antioksidan untuk
menangkal radikal bebas tersebut. Menurut Nurliyana (2010), daging buah naga
merah mengandung level antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan daging buah
naga putih. Berdasarkan pemaparan di atas, pemberian sari buah naga merah
diharapkan dapat mengurangi efek toksisistas pada penderita kanker yang
mengunakan doksorubisin.
Perumusan Masalah
Doksorubisin merupakan obat antikanker golongan antrasiklin, yang
umumnya digunakan untuk kemoterapi kasus kanker. Namun penggunaannya
terbatas akibat efek toksik yang ditimbulkan pada beberapa organ, terutama
jantung, hati, dan ginjal. Dibutuhkan terapi suportif yang dapat mengurangi efek
toksik doksorubisin terhadap kerusakan organ, khususnya ginjal. Cara yang dapat
dilakukan untuk mengurangi kerusakan ginjal akibat pemberian doksorubisin
adalah dengan pemberian doksorubisin bersamaan senyawa yang dapat
melindungi ginjal. Berdasarkan pemaparan di atas dibutuhkan penelitian untuk
mencari senyawa yang bersifat nefroprotektif.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui efek nefroprotektor oleh sari buah naga
merah terhadap ginjal tikus yang diinduksi doksorubisin.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan informasi mengenai sari
buah naga merah yang dapat mengurangi efek toksik terhadap ginjal yang telah
diinduksi oleh doksorubisin.
Kerangka Pemikiran
Pemberian doksorubisin menyebabkan nefrotoksisitas yang ditunjukkan
dengan perubahan histologi yaitu kongesti pembuluh darah ginjal dan glomerolus,
nekrosis, serta endapan protein pada tubulus dan ruang bowman. Salah satu cara
untuk mencegah dan mengurangi efek toksik tersebut yaitu dengan menggunakan
senyawa yang bersifat antiinflamasi dan antioksidan. Literatur menjukkan daging
buah naga merah memiliki level antioksidan yang tinggi. Berdasarkan pemaparan
di atas, pemberian sari buah naga merah diduga dapat mencegah proses
nefrotoksisitas pada ginjal akibat pemberian doksorubisin.
Hipotesis Penelitian
H0: Pemberian sari buah naga merah tidak dapat mencegah atau mengurangi efek
nefrotoksik akibat induksi doksorubisin pada tikus.
H1: Pemberian sari buah naga merah dapat mencegah atau mengurangi efek
nefrotoksik akibat induksi doksorubisin pada tikus.
TINJAUAN PUSTAKA
Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus)
Menurut Krisanto (2008), buah naga termasuk dalam kelompok tanaman
kaktus yang berasal dari famili Cactaceae dan subfamili Hylocereanea. Dalam
subfamili ini terdapat beberapa genus, sedangkan buah naga termasuk dalam
genus Hylocereus. Genus ini terdiri atas 16 spesies, adapun jenis buah naga yang
sering dibudidayakan yaitu buah naga berdaging putih (Hylocereus undatus), buah
naga berdaging merah (Hylocereus polyrhizus), buah naga berdaging super merah
(Hylocereus costaricensis), dan buah naga berkulit kuning berdaging putih
(Selenycereus megalanthus).
Buah naga berdaging merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki tampilan
fisik kulit berwarna merah, daging berwarna merah keunguan dengan biji
berwarna hitam. Pada kulit buah terdapat sisik atau jumbai berwarna hijau. Berat
buah rata-rata hanya sekitar 400 gram. Rasa buahnya lebih manis dibanding
Hylocereus undatus. Tanaman cenderung berbunga sepanjang tahun tetapi tingkat
3
keberhasilan bunga hanya 50% sehingga produktivitas buahnya cenderung rendah.
Buah akan dipanen ketika kulitnya 85% sudah berwarna merah. Batang
tanamannya berwarna hijau tua. Tanaman ini tumbuh ideal pada daerah dengan
ketinggian rendah sampai sedang, dan banyak dikembangkan di Cina dan
Australia. Buah naga dapat tumbuh dengan baik pada tempat dengan kondisi
kering, tropis, atau subtropis (Krisanto 2008).
Buah naga merah kaya akan nutrisi dan mineral seperti vitamin B1, vitamin
B2, vitamin B3, vitamin B6, vitamin B12, dan vitamin C, protein, lemak,
karbohidrat, glukosa, serat kasar, flavonoid, fenol, polifenol, karoten, fosofor, besi,
dan fitoalbumin (Bellec et al. 2006; Choo dan Young 2011) . Pigmen utama pada
buah naga merah adalah betalain seperti betasianin dan betaxantin. Senyawa
polifenol seperti flavonoid juga memiliki peran penting dalam aktivitas
antioksidan (Wu et al. 2006).
Doksorubisin
Doksorubisin (DOK) dikenal juga sebagai adriamisin, merupakan obat
antineoplasia dari golongan antrasiklin yang digunakan untuk mengobati berbagai
jenis neoplasia pada manusia (Kurmal et al. 2015). DOK digunakan dalam kasus
neoplasia termasuk leukemia, malignant limfoma, kanker payudara, karsinoma
pada paru-paru, endometrium, testis, prostat, dan serviks. DOK meningkatkan
pembentukan radikal oksigen bebas yang mengubah membran sel dan
menginduksi kerusakan DNA topoisomerase. Efek sitotoksik terjadi oleh
kombinasi interkalasi DNA, gangguan topoisomerase II, pembentukan radikal
bebas, kelasi logam dan kerusakan membran sel. Efek samping yang paling umum
terjadi terkait dengan terapi DOK yaitu myelosupresi, alopesia, mual, muntah,
mukositis dan kardiotoksik (Enna et al. 2008).
Menurut Simunek et al. (2009) doksorubisin pertama kali diisolasi tahun
1960 dari spesies aktinobakteria Streptomyces peucetius. Mekanisme
farmakodinamik dari doksorubisin melalui penargetan dan interkalasi DNA sel
tumor, mengakibatkan penghalangan siklus sel di fase G2, dan mengganggu kerja
enzim topoisomerase II sehingga terjadi penghambatan sintesa DNA dan RNA
(El-Moselhy dan El-Sheikh 2013).
Ginjal yang diberi DOK menunjukan perubahan histologi, terlihat adanya
kongesti pada pembuluh darah ginjal dan glomerulus, dengan area nekrosis
multifokal. Tubulus mengalami degenerasi hingga nekrosa. Jaringan interstisial
diinfiltrasi oleh sel radang, didominasi makrofag dan limfosit (El-Moselhy dan El-
Sheikh 2013). Menurut Yagmurca M (2004), ginjal yang diinduksi DOK
mengalami sklerosis glomerulus, epitel tubuli desquamasi, kehilangan brush
border, dan penebalan kapsula bowman.
Doksorubisin sebagai bahan nefrotoksik, bersifat destruktif terhadap sel-sel
ginjal. Efek samping tersebut disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS)
yang memiliki reaktifitas sangat tinggi. ROS akan merusak sel-sel tubulus
proksimal, endotel, membran basalis, maupun glomerolus. Sel-sel yang rusak
akan membentuk debris. Debris akan mengaktifkan makrofag, sehingga makrofag
mengekspresikan sitokin-sitokin yang menyebabkan interstitial fibrosis dan
glomerulosklerosis (Purwanto et al 2011).
4
Tikus Sprague-Dawley
Tikus yang digunakan pada penelitian adalah Rattus norvegicus galur
Sprague-Dawley. Rattus norvegicus merupakan tikus laboratorium yang umum
digunakan. Tikus ini termasuk dalam ordo Rodentia dan famili Muridae. Tikus ini
memiliki telinga yang kecil dan tebal, juga ekor yang panjangnya hampir 85%
dari panjang badannya. Berat badan tikus jantan dewasa berkisar antara 300
sampai 500 gram. Sprague-Dawley juga diketahui memiliki sifat yang lebih jinak
dibandingkan tikus lain sehingga memudahkan dalam penanganannya. Tikus ini
dapat dikandangkan sendiri atau berkelompok. Secara umum, tikus jantan
cenderung jarang berkelahi jika dikandangkan bersama, dibandingkan dengan
mencit (Fox et al. 2002).
Penggunaan tikus sebagai hewan coba telah lama digunakan dalam berbagai
eksperimen seperti penyakit kardiovaskular, gangguan metabolisme, gangguan
neurologis, penyakit autoimun, kanker dan penyakit ginjal (Suckow et al. 2006).
Tikus juga banyak digunakan sebagai hewan model untuk mengamati ginjal (Fox
et al. 2002). Ginjal tikus memiliki berat antara 0.7 sampai 2.0 gram. Tubulus
proksimal tikus memiliki karakteristik sel-sel tubulus yang luas dan cukup tinggi
dengan nukleus berbentuk bulat berada di tengah. Sitoplasmanya basofilik dan
terdapat granul atau mitokondria yang tidak teratur disekitar inti sel (Suckow et al.
2006).
Peternakan tikus Sprague-Dawley pertama didirikan sekitar tahun 1925 oleh
Robert Worthington Dawley, seorang ahli fisika kimia Universitas Wisconsin.
Robert menggabungkan nama gadis istri pertamanya (Sprague) dan namanya
sendiri (Dawley) menjadi Sprague-Dawley. Strain ini dikembangkan dari hibrida
tikus jantan setengah putih yang memiliki ukuran dan kekuatan luar biasa dengan
tikus putih betina strain Douredoure. Seleksi dilakukan untuk memperoleh
karakter laktasi tinggi, pertumbuhan yang cepat, tempramen yang baik, dan
resistensi terhadap arsenik trioksida (Suckow et al. 2006).
METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP)
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium
Histopatologi, Bagian Patologi FKH IPB. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari 2016 sampai Juni 2016.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan yaitu kandang, timbangan digital, syringe 1 ml
dan 3 ml, sonde lambung, alat nekropsi, botol spesimen, kertas label, mikroskop,
gelas objek, kaca penutup, tissue casette, tissue basket, automatic tissue processor,
paraffin embedding console, waterbath, dan mikrotom putar.
Bahan penelitian yang digunakan yaitu 18 ekor tikus jantan galur Sprague-
Dawley berumur 8-12 minggu dengan berat rata-rata 150 gram, obat-obatan pra-
5
perlakuan, obat antikanker doksorubisin, dan sari buah naga merah. Pembuatan
preparat histopatologi dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Masson’s
Trichrome (MT) digunakan bahan xilol, alkohol absolut, 95%, 85%, 70%, parafin,
Mayer’s Haematoxylin, Eosin, Carrazi’s Haematoxylin, orange G 0.75%, asam
asetat 1%, ponceau xylidine fuschin, asam fosfotungstat 2.5%, anilin blue, dan
akuades.
Metode
Pembuatan Sari Buah Naga Merah
Buah naga merah dikupas kulitnya kemudian diambil daging buahnya
sebanyak 100 gram, dan dipotong untuk mempermudah pemblenderan. Buah naga
merah diblender dengan ditambahkan air sebanyak 50 ml. Sari hasil pemblenderan
disaring dengan menggunakan saringan.
Perlakuan Hewan
Penelitian terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, perlakuan,
dan pengamatan histopatologi. Tahap persiapan, tikus diadaptasikan terlebih
dahulu dengan lingkungan kandang selama satu minggu dan dilanjutkan dengan
pemberian obat-obatan pra-perlakuan (berupa antelmintik pirantel pamoat 10
mg/kg BB, antibiotik amoksilin 20 mg/kg BB selama 5 hari, dan antiprotozoa
metronidazol 20 mg/kg BB selama 3 hari).
Tahap perlakuan berlangsung selama lima minggu. Pada penelitian ini
sebanyak 18 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok
berisi enam ekor tikus. Kelompok 1: tikus diinjeksi menggunakan NaCl fisiologis
secara intraperitoneal (IP) dengan dosis 0.4 ml/ekor setiap minggu selama 4
minggu. Kelompok 2: tikus diinjeksi menggunakan doksorubisin 4 mg/kg BB
secara IP setiap minggu selama 4 minggu. Kelompok 3: tikus diinjeksi
doksorubisin 4 mg/kg BB secara IP setiap minggu selama 4 minggu dan
dikombinasikan dengan pemberian sari buah naga merah dengan dosis 4 ml/kg
BB (PO) setiap hari, pemberian sari buah naga merah dimulai pada hari yang
sama dengan pemberian doksorubisin. Pada minggu ke 5, tikus dieutanasia.
Sampel organ ginjal kemudian dimasukkan ke dalam botol spesimen yang berisi
formalin dan diberikan keterangan.
Pembuatan Blok Parafin
Sampel organ ginjal dipotong (trimming) dengan menggunakan cutter dan
ditempatkan ke dalam tissue cassette dan dimasukkan dalam automatic tissue
processor untuk prosess dehidrasi, clearing, dan infiltrasi. Proses dehidrasi yaitu
jaringan direndam dalam larutan alkohol 70%, 80%, 90%, 95% I, 95% II, alkohol
absolut I, II, dan III. Proses clearing yaitu jaringan direndam pada larutan xilol I,
dan II. Proses infiltrasi yaitu jaringan direndam menggunakan parafin I dan II
pada suhu 58 ̊C. Proses pencetakan (embedding), yaitu jaringan dimasukkan
dalam alat pencetak paraffin embedding console yang terdapat parafin cair dan
didinginkan hingga mengeras dan terbentuk blok parafin. Setelah itu, dilakukan
pengirisan dengan ketebalan 3-5 μm menggunakan mikrotom putar. Hasil irisan
dimasukkan dalam waterbath yang berisi air hangat dengan suhu 45 C̊, kemudian
dimasukkan dalam inkubator bersuhu 60 ̊C selama 24 jam.
6
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin
Pewarnaan Hematokslin-Eosin (HE) diawali dengan deparafinisasi dan
rehidrasi. Proses deparafinisasi yaitu sediaan diinkubasi pada suhu 60 ̊C selama 2
jam dan direndam dalam larutan xylene I, II, dan III selama 2 menit. Proses
rehidrasi digunakan larutan alkohol absolut, 95% dan 80% selama 2 menit dan
dicuci menggunakan air mengalir. Gelas objek kemudian direndam dalam larutan
Mayer’s hematoxylin selama 8 menit dan dibilas menggunakan air mengalir.
Gelas objek kemudian direndam dalam larutan litium karbonat selama 15-30 detik
dan dibilas kembali dengan air mengalir. Gelas objek kemudian dicelup dalam
pewarna Eosin selama 3 menit kemudian dibilas menggunakan air mengalir.
Tahap selanjutnya yaitu dehidrasi, gelas objek dimasukkan ke dalam alkohol 95%,
alkohol absolut I, dan II selama 2 menit. Selanjutnya dilakukan clearing pada
xilol I dan II selama 2 menit, dan xylene I, II, dan III selama 2 menit. Terakhir
gelas objek ditetesi perekat dan ditutup menggunakan gelas penutup.
Pewarnaan Masson’s Trichrome
Pewarnaan Masson's Trichrome diawali dengan deparafinisasi dan
pembilasan menggunakan akuades. Gelas objek pertama-tama direndam dalam
larutan mordant, kemudian dilakukan perendaman dalam larutan Carrazi's
hematoxylin masing-masing selama 40 menit dan dibilas menggunakan akuades
setiap selesai perendaman. Gelas objek direndam dalam larutan Orange G 0.75%
selama 2 menit, dan dibilas menggunakan asam asetat 1% sebanyak dua kali.
Kemudian gelas objek direndam dalam larutan ponceau xylidine fuschin selama
15 menit, dan dibilas menggunakan asam asetat 1% sebanyak dua kali.
Selanjutnya gelas objek direndam kedalam larutan phosphotungstic acid 2.5%
selama 10 menit dan dibilas menggunakan asam asetat 1% sebanyak dua kali.
Gelas objek selanjutnya direndam dalam larutan anilin blue selama 15 menit dan
dibilas menggunakan asam asetat 1% sebanyak dua kali. Kemudian perendaman
dalam alkohol 95% selama 3 menit. Tahap selanjutnya dilakukan dehidrasi.
Setelah preparat selesai, gelas objek ditetesi perekat dan ditutup menggunakan
gelas penutup. Preparat diamati menggunakan mikroskop dengan hasil pewarnaan
inti sel berwarna biru tua, otot dan elastin berwarna merah, fibrin dan kalsium
berwarna ungu, hyalin berwarna biru muda, dan jaringan ikat kolagen serta mukus
berwarna biru kehijauan.
Parameter dalam Penelitian
1. Preparat pewarnaan Hematoksilin-Eosin dievaluasi lesio histopatologi organ
ginjal, endapan protein glomerulus dan jumlah sel nekrotik tubulus.
2. Preparat pewarnaan Masson’s Trichrome dievaluasi area deposisi kolagen
dalam bentuk persentase.
Kriteria Skoring
Metode skoring yang digunakan adalah tipe ordinal dan dilakukan dengan
cara blind scoring. Skoring dilakukan oleh patolog yang tidak mengetahui
identitas kelompok sampel untuk meminimalisir subjektivitas. Kriteria skoring
7
fibrosis ginjal dengan pewarnaan Masson’s Trichrome berasarkan Chen et al.
(2014) dan Gibson-Corley et al. (2013) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria skoring fibrosis ginjal dengan pewarnaan Masson’s Trichrome Nilai Keterangan
0 Tidak ditemukan atau sangat sedikit sekali (<5%) jaringan ikat di interstisial
korteks ginjal dan kapsula ginjal tidak menebal.
+1 Jaringan ikat pada interstisial korteks ginjal sedikit/mild (6-25%) disertai
penebalan kapsula ginjal.
+2 Jaringan ikat pada interstisial korteks ginjal tingkat sedang/moderate (26-50%)
disertai penebalan kapsula ginjal.
+3 Jaringan ikat pada interstisial korteks ginjal tebal/severe (>50%) disertai
penebalan kapsula ginjal, dan terkadang dapat ditemukan glomerulosklerosis.
Prosedur Analisis Data
Sediaan yang telah diwarnai dilihat dan diamati di bawah mikroskop. Sel
nekrotik dihitung menggunakan perangkat lunak ImageJ dengan luas lapang
pandang 0.05 mm2. Endapan pada glomerulus dihitung menggunakan perangkat
lunak ImageJ dengan luas lapang pandang 0.23 mm2. Seluruh data kuantitatif
dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS, metode analisis ragam ANOVA.
Selanjutnya digunakan uji Duncan untuk mengetahui adanya perbedaan yang
signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Data kualitatif dianalisis secara
deskriptif.
8
Gambar 1 Bagan kelompok perlakuan penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal yang diinduksi DOK
ditemukan adanya perubahan berupa endapan protein pada ruang bowman, serta
perubahan pada tubulus berupa endapan protein pada lumen, dan nekrosis epitel.
Hasil evaluasi histopatologi glomerulus dan tubulus proksimal disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Presentasi lesi endapan glomerulus dan sel nekrotik pada pemberian sari
buah naga merah dan DOK
Kelompok Endapan pada Glomerulus
(/10 glomerulus)
Sel nekrotik
(/ 0.23 mm2)
NaCl 1.61±0.76a
18.16±2.95a
DOK 4.30±1.82b 25.10±4.99
b
DOK + Sari buah naga
merah
2.48±1.07a 19.40±2.78
a
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05)
9
Data statistik lesi endapan protein glomerulus pada Tabel 2 memperlihatkan
kelompok perlakuan NaCl dan DOK + sari buah naga merah menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (p <0.05) dibandingkan dengan kelompok DOK. Pemberian
sari buah naga merah dapat menurunkan jumlah endapan protein glomerulus pada
kelompok DOK + sari buah naga merah. Parameter lainnya adalah kerusakan
tubulus yaitu sel nekrotik. Presentase keberadaan sel nekrotik kelompok NaCl dan
DOK + sari buah naga menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p <0.05)
dibandingkan dengan kelompok DOK. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian
sari buah naga merah dapat menghambat terjadinya nekrotik pada tubulus.
Kelompok NaCl memiliki nilai endapan glomerulus sebesar 1.61±0.76 / 10
glomerulus dan sel nekrotik sebesar 18.16±2.95 / 0.23 mm2. Kelompok NaCl
memiliki rata-rata endapan glomerulus dan sel nekrotik yang paling sedikit
dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini disebabkan karena kelompok NaCl
tidak menerima zat toksik berupa DOK. Endapan protein glomerulus dan sel
nekrotik yang ada pada kelompok ini dapat disebabkan oleh faktor luar yang tidak
dapat dikendalikan seperti keadaan awal ginjal tikus.
Menurut Cheville (2006), mekanisme terjadinya endapan protein pada
glomerulus disebabkan karena lolosnya albumin plasma dari kapiler glomerulus
yang mengalami kerusakan sehingga mengendap di ruang bowman juga lumen
tubulus. Menurut Cunningham (2007), endapan protein pada glomerulus terjadi
karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus terhadap plasma
protein, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi masa protein pada
mesangium hingga ke ruang Bowman. Hal ini sesuai dengan pendapat Carvalho
(2009), efek toksik pada pemberian DOK berupa peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus. Keberadaan protein menghasilkan gambaran histologi berupa
droplet hialin berwaran merah muda (Kumar et al. 2003).
Nekrosis meupakan kematian sel dan jaringan yang terjadi pada mahluk
hidup. Nekrosis ditandai dengan adanya sel yang mengalami piknosis dengan
gambaran histopatologi inti sel menciut, kromatin menggumpal dan bentukan
massa tidak bersturktur (Cheville 2006). Menurut Kumar et al. (2003) nekrosa
dapat terjadi akibat keadaan iskemia atau karena zat toksik. Zat kimia seperti agen
kemoterapeutik, antineoplastik, dan antibiotik dapat menginduksi kerusakan sel.
Doksorubisin diketahui memiliki efek samping yang dapat meningkatkan
produksi reactive oxygen species (ROS). Radikal ini akan bereaksi dengan
membran lipid, protein, dan karbohidrat sehingga menginduksi kerusakan sel
(Cheville 2006).
Menurut Siahaan (2007) ada dua mekanisme terbentuknya ROS akibat
induksi doksorubisin. Pertama doksorubisin membentuk chelate dengan besi yang
akan menimbulkan reaksi berantai pembentukan radikal bebas baru. Kedua cincin
C pada golongan antrasiklin berbentuk quinone, jika tereduksi akan membentuk
semiquinone yang merupakan bentuk radikal bebas dan memicu pembentukan
radikal bebas lainnya.
Doksorubisin diekskresikan melalui ginjal (Siahaan et al. 2007). Proses
ekskresi obat yang berlangsung di ginjal dapat menimbulkan dampak buruk bagi
ginjal. Menurut (Anggriani 2008) jika suatu zat kimia diekskresikan secara aktif
dari darah ke urin, zat kimia tersebut terlebih dahulu diakumulasikan dalam
tubulus proksimal dan menyebabkan kerusakan bagi ginjal. Sel epitel tubulus
mudah hancur karena kontak dengan bahan toksik yang diekskresi melalui ginjal.
10
Jika hal ini terus berlanjut maka akan terjadi kerusakan yang bersifat irreversible
yang ditandai dengan terjadinya nekrosis.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 2 Gambaran histopatologi ginjal (a) (b) kelompok NaCl ↑C sel nekrotik,
(c) (d) kelompok DOK ↑A endapan protein pada glomerulus ↑B
endapan protein pada tubulus, (e) (f) kelompok DOK + sari buah naga
merah. (a), (c), (e) perbesaran objektif 20x, (b), (d), (f) perbesaran
objektif 40x. Pewarnaan HE.
11
Penurunan jumlah endapan protein pada glomerulus dan sel nekrotik tubulus
pada kelompok yang diberi DOK dan sari buah naga merah dapat disebabkan oleh
kandungan senyawa yang terkandung dalam buah naga merah. Hasil uji fitokimia
pada Tabel 4 menunjukkan sari buah naga merah memiliki kandungan flavonoid,
saponin dan triterpenoid. Flavonoid berdasarkan fungsinya merupakan
antioksidan primer yang dapat menstabilkan radikal bebas. Mekanisme senyawa
ini sebagai antioksidan adalah dengan mendonorkan hidrogen dari gugus
hidroksilnya dan berdampak pada pembentukan produk yang lebih stabil dan
kurang reaktif (Oktaviani 2014). Triterpenoid merupakan senyawa yang
bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, dan anti-inflamasi (Ikeda et al. 2008).
Keberadaan triterpenoid dalam buah naga merah dapat mengurangi kerusakan
yang ditimbulkan oleh DOK. Dari hasil penelitian dapat dibuktikan bahwa sari
buah naga merah memiliki efek nefroprotektor terhadap induksi DOK.
Tabel 4 Hasil pengujian fitokimia sari buah naga merah Nama Sampel Parameter Hasil
Sari Buah Naga Merah
Fitokimia
Flavonoid +
Alkaloid
Wagner -
Mayer -
Dragendorf -
Tanin -
Saponin +
Quinon -
Steroid -
Triterpenoid +++
Sumber: Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, 2016
Pewarnaan Masson’s Trichrome digunakan untuk melihat jaringan ikat.
Jaringan ikat yang terlihat berwarna biru, parenkim berwarna merah dan nukleus
berwarna biru gelap. Banyaknya jaringan ikat dibagian interstisium menandakan
peradangan yang bersifat kronis, karena parenkim ginjal yang nekrosa digantikan
oleh jaringan ikat (Sholihah 2015). Hasil skoring penilaian fibrosis ginjal tikus
pada semua kelompok disajikan dalam Tabel 3. Tidak ada perbedaan nyata antara
ketiga kelompok perlakuan. Nilai skoring yang didapat adalah positif satu (+)
yang berarti jaringan ikat pada interstisial korteks ginjal sedikit/mild (6-25%)
disertai penebalan kapsula ginjal.
Tabel 3 Hasil penilaian skoring fibrosis pada ginjal Kelompok perlakuan Nilai skoring
NaCl +
DOK +
DOK + sari buah naga merah + + : Jaringan ikat pada interstisial korteks ginjal sedikit/mild (6-25%) disertai penebalan kapsula
ginjal.
Menurut Kisseleva dan Brenner (2008) fibrosis adalah respon patofisiologis
umum pada banyak jaringan yang mengalami kerusakan kronik. Sedangkan pada
penelitian ini DOK hanya diberikan selama 4 minggu dan belum menimbulkan
kerusakan kronik, sehingga hasil penilaian skoring tidak berbeda nyata antara
12
ketiga kelompok. Menurut penelitian Purwanto (2011), pemberian DOK tidak
menghasilkan perbedaan bermakna kolagen tipe-1 kelompok DOK dan kontrol
pada minggu ke 4. Kolagen tipe-1 merupakan hasil stimulasi TGF-β1 pada
reseptor membran sel fibroblast interstisial ginjal yang menyebabkan terjadinya
interstisial fibrosis.
DOK disebut sebagai bahan yang bersifat destruktif terhadap sel-sel ginjal
(nefrotoksik). Efek samping tersebut disebabkan oleh ROS sebagai hasil reaksi
DOK dalam terapi kanker. ROS merusak sel-sel ginjal yang akan mengaktifkan
makrofag. Makrofag mengekspresikan sitokin antara lain TGF-β1. TGF-β1 akan
menstimulasi kolagen tipe-1 dan tipe-IV yang menyebabkan interstisial fibrosis
dan glomerulosklerosis (Purwanto 2011). Sedangkan menurut Kisseleva dan
Brenner (2008) stres oksidatif, akibat peningkatan ROS, dikaitkan erat dengan
fibrosis. ROS terlibat dalam fibrogenesis di ginjal dan merupakan faktor kunci
dalam glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisial.
(a) (b)
Gambar 3 Gambaran histopatologi
ginjal (a) kelompok NaCl, (b)
kelompok DOK, (c) kelompok
DOK + sari buah naga merah.
Pewarnaan Masson’s Trichrome.
(c)
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian sari buah naga merah dapat mengurangi efek nefrotoksik akibat
induksi doksorubisin pada tikus berupa penurunan jumlah endapan protein
glomerulus dan jumlah sel nekrotik tubulus.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan menggunakan dosis bertingkat
serta sedian buah naga merah dalam bentuk ekstrak pada berbagai pelarut organik.
DAFTAR PUSTAKA
Anggriani YD. 2008. Pengaruh pemberian teh kombucha dosis bertingkat per oral
terhadap gambaran histologi ginjal mencit BALB/c [skripsi]. Semarang (ID):
Universitas Dipenogoro.
Bellec FL, Vaillant F, Imbert E. 2006. Pitahaya (Hylocereus spp.): a new fruit
crop, a market with a future. J Fruits. 61(4):237-250.
Carvalho C, Santos RX, Cardoso S, Correia S, Oliveira PJ, Santos MS, Moreira PI.
2009. Doxorubicin: The Good, the Bad and the Ugly Effect. Curr Med Chem.
16:3267-3285.
Chen G, Zhang L, Liao X, Yan R, Li Y, Sun H, Guo H, Liu Q. 2014. Augmenter
of liver regeneration ameliorates renal fibrosis in rats with obstructive
nephropathy. Biosci Rep. 34(5):513-521.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology 3th ed. Ames (US):
Blackwell Publishing.
Choo WS, Young WK. 2011. Antioxidant properties of two species of Hylocereus
fruits. Adv Appl Sci Res. 2(3):418-425.
Cunningham JG dan Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology 4th Ed.
China (CN): Elsevier Saunders.
El-Moselhy MA, El-Sheikh AAK. 2013. Protective mechanisms of atorvastatin
against doxorubicin-induced hepato-renal toxicity. Biomed & Pharmacother.
68(1):101-110.
Enna SJ, Bylund DB, Elsevier Sicience (firm). 2008. XPharm: The
Comprehensive Pharmacology Reference. Boston (US): Elsavier.
Erdogan HM, Atakisi E, Citil M, Tuzcu M, Gunes V, Uzlu E. 2009. The effect of
L-carnitine administration on doxorubicin induced hepatoxicity and
nephrotoxocoty in rabbits. Kafkas Univ Vet Fak Derg. 15(5):733-738.
Fox JG, Anderson LC, Loew FM, Quimby FW. 2002. Laboratory Animal
Medicine 2nd ed. London (UK): Academic Press.
Gibson-Corley K, Olivier AK, Meyerholz DK. 2013. Principles for Valid
Histopathologic Scoring in Research. Vet Pathol. 50(6):1007-1015.
Ikeda Y, Murakami A, Ohigashi H. 2008. Ursolic acid: An anti- and pro-
inflammatory triterpenoid. Mol Nutr Food Res. 52:26-42.
14
Kisseleva T dan Brenner DA. 2008. Mechanisms of fibrogenesis. Exp Biol Med.
233:109-122.
Kristanto D. 2008. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Surabaya
(ID): Penebar Swadaya.
Kurmal A, Giris M, Tekkesin MS, Olgac V, Abbasoglu SD, Turkoglu U, Uysal M.
2015. Effect of olive leaf extract treatment on doxorubicin-induced cardiac,
hepatic and renal toxicity in rats. Pathophysiol. 22:117–123.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2003. Robbins Basic Pathology 7th ed. New
York (US): Elsevier Inc.
Nazaruddin R, Norazelina SM, Norziah MH, Zainudin M. 2011. Pectins from
dragon fruit (Hylocereus polyrhizus) peel. Malays Appl Biol. 40(1):19-23.
Nurliyana R. Syed Zahir I. Mustapha SK. Aisyah MR. Kamarul RK. 2010.
Antioxidant study of pulps and peels of dragon fruits: a comparative study. Int
Food Res J. 17:367-375.
Macias-Ceja DC, Roger JC, Masia DO, Salvador P, Hernandez C, Calatayud S,
Esplugues JV, Barrachina MD. 2016. The flesh ethanolic extract of Hylocereus
polyrhizus exerts anti-inflamantory effects and prevents murine colitis. Clin
Nutr. 1-7.
Mohan M, Kamble S, Gadhi P, Kasture S. 2009. Protective effect of Solanum
torvum on doxorubicin-induced nephrotoxicity in rats. Food Chem Toxicol.
48:436-440.
Oktaviani EP. 2014. Kualitas dan aktivitas antioksidan minuman probiotik dengan
variasi konsentrasi ekstrak buah naga merah [skripsi]. Yogyakarta (ID):
Universitas Atmajaya.
Panjuantiningrum F. 2009. Pengaruh pemberian buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus) terhadap kadar glukosa darah tikus putih yang diinduksi aloksan
[skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.
Purwanto B, Hermawan AG, Yogyantoro RM, Alsagaff JH. 2011. Kajian ekspresi
TGF-1, MMP-9, kolagen tipe-I, kolagen tipe-IV, glomerulosklerosis,
interstisial fibrosis, albuminuri pada kejadian nefrotoksik doksorubisin dan
nefroprotektif pentoxifyllin dengan hewan coba mencit galur swiss jantan. J
Biosains Pascasarjana. 13(2):78-93.
Sholihah SS. 2015. Studi patomorfologi kasus urolithiasis dan sindrom uremia
pada kucing [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Siahaan IR, Tobing TC, Rosdiana N, Lubis B. 2007. Dampak kardiotoksik obat
kemoterapi golongan antrasiklin. Sari Pediatri. 9(2):151-156.
Simunek T, Sterba M, Popelova O, Adamcova M, Hrdina R, Gersl V. 2009.
Anthracycline-induced cardiotoxicity: Overview of studies examining the roles
of oxidative stress and free cellular iron. Pharmacol Rep. 61:154-171.
Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat 2nd ed.
London (UK): Academic Press.
Tenore GC, Novellino E, Basile A. 2012. Nutraceutical potential and antioxidant
benefits of red pitaya (Hylocereus polyrhizus) extracts. J Funct Foods. 4:129-
136.
Wu LC, Hsu HW, Chen YC, Chiu CC, Lin YI, Ho JA. 2006. Antioxidant and
antiproliferative activities of red pitaya. Food Chem. 95:319-327
15
Yagmurca M, Erdogan H, Iraz M, Songur A, Ucar M, Dadillioglu. 2004. Caffeic
acid phenethyl ester as a protective agent against doxorubicin nephrotoxicity in
rats. Clin Chim Acta. 348:27-34.
16
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta 18 Januari 1995 dari Bapak Sukim Supandi dan
Ibu Komariyah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis
menempuh pendidikan dasar di MI Al-Falah Jakarta, kemudian penulis
melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 27 Jakarta pada tahun
2006, kemudian penulis lulus di SMA Negeri 61 Jakarta pada tahun 2012. Penulis
masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) pada
tahun 2012 melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM).
Top Related