STUDI MENGENAI PELAKSANAAN PEMBUKTIAN TERHADAP
KEALPAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG LAIN
DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
Penulisan Hukum
(skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh:
TIA DEWI NUGRAHENI
NIM E0003316
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2007
PERSETUJUAN
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Dosen Pembimbing Skripsi
Edy Herdyanto S.H M.H
NIP 131 472 195
PENGESAHAN
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan
Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 23 Januari 2007
Dewan Penguji :
(1)………………………………………. (Bambang Santoso S.H.,M.Hum)
(Ketua)
(2)………………………………………. (Kristiyadi S.H., M.Hum)
(Sekretaris)
(3)………………………………………..(Edy Herdyanto S.H., M.H)
(Anggota)
Mengetahui:
Dekan
(DR. Adi Sulistiyono,S.H. M.H)
NIP. 131 793 333
MOTTO :
- “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan
kepadaku.”
( Filipi 4:13)
PERSEMBAHAN :
- Tuhan Yesus Kristus
- Bapak, ibu dan adikku
- Saudara – saudara dan sahabatku
- Almamater.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas karunia
dan berkat yang tiada henti-hentinya dilimpahkan kepada Penulis sehingga
Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul :
‘ STUDI MENGENAI PELAKSANAAN PROSES PEMBUKTIAN
TERHADAP KEALPAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG
LAIN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA.”
Penulisan Hukum (Skripsi) ini membahas tentang pelaksanaan pembuktian
kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain, dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang di Pengadilan Negeri Surakarta dan
faktor kesulitan dalam pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya
orang lain
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak lain,
maka penulis tidak dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini, yang
merupakan syarat bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta dalam mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh karena itu pada
kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak DR. Adi Sulistiyono, SH, M.H selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Moh. Jamin, S.H, M.H Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Negeri Surakarta yang telah memberikan ijin kepada Penulis
untuk melakukan penelitian.
3. Bapak Edy Herdyanto S.H, M.H selaku pembimbing penulisan hukum
yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan kepada Penulis.
4. Bapak Sutapa M Widada S.H M.H selaku pembimbing akademis penulis
yang banyak memberi masukan kepada penulis
5. Seluruh staf dan pengajar yang telah mendidik dan mengajar Penulis dari
awal hingga akhir masa belajar di Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Roba’a, S.H selaku Ketua Pengadilan Negeri Surakarta
7. Bapak J.V Rahantoknam, SH selaku Hakim di Pengadilan Negeri
Surakarta atas waktu dan ilmu yang diberikan selama Penulis melakukan
penelitian.
8. Seluruh Staf dan karyawan bagian Hukum di Pengadilan Negeri Surakarta
atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama penulis melakukan
penelitian.
9. Bapak, Ibu, dan dik Bulan yang Penulis sayangi.
10. Sahabatku Ria, Nana, Mba’ Ulin, Dina, Susi buat kebersamaan kita di FH
selama ini.
11. Temen-temen angkatan 03 Johan, Handy, Rini, Sinta, Itok, Jekek, Risang,
Antok, Yunus, Notik, Ratna, Adi, Riska, Dian, Febrika, Aris, Bebek,
Dinar, Ndaru, Aris, Rio, Mila, Niken dll.
12. Sahabatku dari kecil Ayuk dan Gembong terimakasih atas persahabatan
dan dukungannnya.
13. Sepupuku Sukma terima kasih udah bantu aku cari bahan-bahan skripsi.
14. Sahabatku Enny kapan nyusul……..
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penyusunan Skripsi ini.
Surakarta, Januari 2007
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………….……………. i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………….………... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………….…... iv
KATA PENGANTAR…………………..…………………………………. v
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. vii
ABSTRAK…………………………………………………………………. ix
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah……………………………………………... 4
C. Tujuan Penelitian………………………………………………... 4
D. Manfaat Penelitian………………………………………………. 5
E. Metode Penelitian……………………………………………….. 5
F. Sistematika Skripsi………………………………………………. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………. 12
A. Kerangka Teori…………………………………………………. 12
1. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti dan Sistem Pembuktian.. 12
a. Pengertian Pembuktian…………………………………… 12
b. Sistem Pembuktian……………………………………….. 13
c. Macam-macam Alat bukti dan Kekuatan Pembuktiannya... 17
2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Kealpaan
yang menyebabkan matinya orang lain…………………….. 26
a. Pengertian Kealpaan………………………………………. 26
b. Unsur Kealpaan…………………………………………… 27
c. Macam Kealpaan………………………………………….. 28
d. Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain………... 29
B. Kerangka Pemikiran…………………………………………….. 31
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………. 33
A. Pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain………………………………. 33
B. Faktor kesulitan dalam pembuktian terhadap kealpaan
yang menyebabkan matinya orang lain………………………… 54
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………. 57
A. Kesimpulan……………………………………………………... 57
B. Saran-saran……………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
TIA DEWI NUGRAHENI. E0003316, STUDI MENGENAI PELAKSANAAN PROSES PEMBUKTIAN TERHADAP KEALPAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG LAIN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi).2006
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan proses pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain di Pengadilan Negeri Surakarta serta untuk mengetahui apa saja yang menjadi kesulitan dalam proses pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain di Pengadilan Negeri Surakarta.
Metode dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data penelitian ini dikumpulkan dengan wawancara dan studi kepustakaan yang berupa buku-buku, jurnal ilmiah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan sebagainya. Analisis data menggunakan Interactive of analisys.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pelaksanaan proses pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain di Pengadilan Negeri Surakarta berpegang pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP yaitu menggunakan alat-alat bukti menurut Undang-undang yaitu, Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa. Proses pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain dimulai dengan menghadirkan saksi-saksi untuk dimintai keterangannya, selajutnya alat bukti yang kedua yang dihadirkan dalam persidangan adalah keterangan ahli yang berupa Visum et Repertum dan alat bukti yang terakhir yang dihadirkan adalah keterangan terdakwa. Kesulitan yang ditemui dalam pelaksanaan pembuktian adalah apabila keterangan saksi yang diberikan dipersidangan antara yang satu dengan yang tidak bersesuaian serta apabila keterangan yang diberikan oleh saksi dengan keterangan yang diberikan oleh terdakwa tidak saling bersesuaian dan menentukan siapa yang benar-benar bersalah atau lalai dalam tindak pidana.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah pembuktian terhadap kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, implikasi praktisnya adalah penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang menyababkan matinya orang lain.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan merupakan fenomena kehidupan masyarakat, masyarakat
senantiasa berkembang sehingga kejahatanpun senantiasa ada seiring dengan
perubahan tersebut. Tidak ada satu negarapun yang sunyi dari kejahatan baik
itu negara maju maupun negara berkembang. Kejahatan adalah suatu gejala
normal di dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan
perkembangan sosial dan karena itu tidak mungkin dimusnahkan sampai tuntas
( Emile Durkheim dalam Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga,1987:2).
Kejahatan terjadi disetiap tempat waktu dan negara, bahkan sekarang ini dapat
kita rasakan semakin hari angka kejahatan semakin meningkat dan meluas
sehingga dapat membahayakan kehidupan masyarakat. Melihat kejahatan yang
menimbulkan kerugian dalam masyarakat, maka peranan hukum dalam
menegakkan keadilan sangat diperlukan. Bagaimanapun bentuk kejahatan yang
ada dalam masyarakat harus dilakukan usaha untuk dapat mencegah dan
mengurangi timbulnya kejahatan yang baru serta ditetapkan cara-cara yang
rasional dalam penanggulangan itu.
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta menjamin kedudukan yang sama dan sederajat bagi setiap warga
negara dalam hukum dan pemerintahan, sehingga sebagai negara hukum segala
tindakan pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga yang lain didasarkan
atas hukum yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
Sebagai negara hukum, maka seharusnya hukum dapat berperan disegala
bidang kehidupan baik dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan
manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan, pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum, dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Hukum
ditujukan kepada pelakunya yang konkrit, yaitu pelaku pelanggaran yang nyata-
nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan untuk
ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib agar jangan sampai jatuh korban
kejahatan, agar tidak terjadi kejahatan (Sudikno Mertokusumo,2003:12).
Disetiap negara hukum pelaku penyimpangan aturan-aturan hukum diharuskan
mempertanggungjawabkan perbuatannya, suatu perbuatan dapat dipidana
apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur kesalahan yang telah dirumuskan
dalam Undang-Undang, kesalahan tersebut dapat berupa dua macam yaitu:
Kesengajaan atau Opzet dan Kurang berhati-hati atau Culpa. Pada umumnya
bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap
sebagian daripadanya ditentukan bahwa disamping kesengajaan itu orang juga
sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan.
Kealpaan berasal dari kata culpa yaitu kesalahan pada umumnya. Dalam
ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti yaitu suatu macam kesalahan
sipelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Kurang hati-hati
sifatnya bertingkat-tingkat, ada orang yang dalam melakukan suatu pekerjaan
sangat berhati-hati, ada yang kurang lagi dan ada yang lebih kurang lagi.
Dilihat dari segi psikologis kesalahan itu harus dicari dalam batin
sipelaku yaitu hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan, sebab ia tidak
menyadari akibat dari perbuatannya itu. Dalam menilai ada tidaknya hubungan
batin antara seseorang yang melakukan kealpaan dengan akibat yang terlarang
tidaklah diambil pendirian seseorang pada umumnya, tetapi diperhatikan
keadaan seseorang itu persoonlijk. Seseorang dapat dikatakan mempunyai
culpa didalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan
perbuatan tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin
ia dapat berikan. Tidak semua alpa menjadi syarat suatu delik, hanya alpa yang
hebat atau culpa lata saja. Ada kalanya suatu akibat dari tindak pidana karena
kealpaan begitu berat merugikan kepentingan seseorang bahkan kadang-kadang
tidak kalah besarnya dibandingkan kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh
tindakan –tindakan yang berunsur opzet, bahkan dapat mengakibatkan
kematiaan seseorang sehingga apabila tidak dijatuhi hukuman dirasakan tidak
adil. Tindak pidana yang terjadi akibat dari kealpaan ini telah dirumuskan
dalam KUHP seperti dalam Pasal 359 KUHP yang merumuskan tentang dapat
dipidanya seseorang yang menyebabkan matinya oranglain karena kealpaannya.
Suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana diperlukan suatu
pembuktian disidang pengadilan, pembuktian merupakan masalah yang
memegang peranan yang penting dalam proses pemeriksaan disidang
pengadilan karena dalam pembuktian ditentukan nasip terdakwa. Apabila dari
alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang yang diajukan di persidangan,
kasalahan yang didakwakan kepada terdakwa dinyatakan terbukti maka Majelis
Hakim akan menjatuhkan pidana sesuai dengan Pasal yang diancamkan. Pelaku
kealpaan selalu boleh membuktikan bahwa dia tidak mungkin untuk menduga-
duga akan timbulnya akibat, sekalipun menggunakan kewaspadaan yang ada
padanya. Proses pembuktian di persidangan tidaklah berjalan lancar begitu saja,
tidak jarang dijumpai kesulitan-kesulitan dalam proses pembuktian, apalagi
sejak dahulu pembuktian mengenai kealpaan ini sangat sukar di lakukan. Dari
uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan selanjutnya menyusun
kedalam sebuah penulisan hukum dengan judul: STUDI MENGENAI
PELAKSANAAN PEMBUKTIAN TERHADAP KEALPAAN YANG
MENYEBABKAN MATINYA ORANG LAIN DI PENGADILAN NEGERI
SURAKARTA.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
penelitian, karena perumusan masalah dapat mempermudah dan memperjelas
pembahasan masalah yang akan dikaji oleh penulis. Adapun perumusan
masalah yang akan penulis rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1). Bagaimana pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan
matinya oranglain di Pengadilan Negeri Surakarta?
2). Apa faktor kesulitan dalam pembuktian terhadap kealpaan yang
menyebabkan matinya oranglain?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten (Soerjono Soekanto,1984:42). Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1). Tujuan Obyektif
(a) Untuk mengetahui pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang
menyebabkan matinya oranglain di Pengadilan Negeri Surakarta
(b) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kesulitan dalam proses
pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya
oranglain di Pengadilan Negeri Surakarta.
2). Tujuan Subyektif
(a). Untuk memperdalam pengetahuan penulis dalam bidang hukum
Acara Pidana, khususnya yang berkaitan dengan pembuktian
terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya oranglain.
(b) Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Univertitas sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Manfaat teoritis
(a). Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dibidang hukum Acara Pidana terutama
mengenai hal yang berkaitan dengan pembuktian terhadap
kealpaan yang menyebabkan matinya oranglain.
(b). Menambah literatur dibidang ilmu pengetahuan hukum
(c) Menjawab permasalahan yang disusun secara sistematis dalam
perumusan masalah
2).Manfaat Praktis
(a). Memberikan masukan ilmu untuk pembaca yang berminat
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian
terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya oranglain.
(b) Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan mengukur sejauh
mana kemampuan penulis dalam menggunakan ilmu yang
diperoleh selama bangku kuliah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian menurut Kartini Kartono dalam bukunya Hilman
hadikusuma adalah cara-cara berpikir dan berbuat yang dipersiapkan dengan
baik-baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan
penelitian (Kartini Kartono dalam Hilman Hadikusuma, 1995:58).
Dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan salah satu faktor
penting yang menunjang suatu proses penelitian yaitu berupa penyelesaian
suatu permasalahan yang akan dibahas dan merupakan alat yang digunakan
untuk mencari jawaban dari penelitian yang dilakukan.
Metode yang akan digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1). Jenis Penelitian
Penelitian hukum yang dilakukan oleh peneliti ini adalah termasuk
dalam penelitian hukum empiris karena dalam penelitian ini penulis
memperoleh data primer atau data yang pertama kali di dapatkan di lapangan
atau dalam masyarakat.
2). Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono
Soekanto,1984:10). Maksud penelitian ini terutama untuk mempertegas
hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori
lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru.
3). Pendekatan Penelitian
Pendekatan Penelitian dalam penulisan hukum ini menggunakan
pendekatan penelitian secara kualitatif. Disini memusatkan perhatiannya
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala
yang ada dalam kehidupan manusia, pola-pola yang dianalisis gejala-gejala
sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku
(Burhan Ashofa, 2004: 20-21)
4). Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Surakarta dengan
pertimbangan di Pengadilan Negeri Surakarta terdapat banyak kasus yang
melanggar Pasal 359 KUHP mengenai kealpaan yang mengakibatkan
matinya oranglain sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
mengenai proses pembuktiannya.
5). Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis
adalah sebagai berikut:
(a). Data Primer
Data primer ialah “data asli” yang diperoleh peneliti dari tangan
pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan
diuraikan orang lain(Hilman Hadikusuma,1995:65). Dalam hal ini data
atau keterangan diperoleh dari wawancara dengan hakim di Pengadilan
Negeri Surakarta.
(b). Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian
kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan
pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau
dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik
pribadi peneliti (Hilman Hadikusuma,1995:65)
6). Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data adalah tempat dimana data
diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
(a). Sumber Data Primer
Yaitu sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan, seperti
pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan obyek penelitian. Dalam
penelitian ini data yang digunakan adalah data hasil penelitian di lokasi
penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Surakarta.
(b). Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang digunakan sebagai bahan penunjang data primer,
data-data sekunder tersebut terdapat dalam buku-buku ilmu hukum yang
memuat teori-teori dan pandangan pendapat para ahli, atau dalam
dokumentasi resmi dari pemerintah yang memuat peraturan perundangan,
keputusan-keputusan pengadilan, akta-akta Notaris, laporan-laporan,
surat-surat dan masih banyak lagi.
a).Bahan Hukum Primer
1. KUHAP
2. KUHP
7). Instrumen Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
(a) Wawancara
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya
jawab dengan responden yaitu para pihak yang berkaitan dengan
penelitian yaitu Hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
(b) Studi Pustaka
Adalah pengumpulan data dengan mempelajari peraturan perundang-
undangan, buku, tulisan dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.
8). Analisa Data
Dalam penelitian, teknik analisis data merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang diteliti
berdasarkan data-data yang sudah dikumpulkan sehingga akan tercapai
sebuah kesimpulan.
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik analisis data
secara kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986: 250).
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah menggunakan teknik analisis kualitatif model interaktif (Interactive
model of analysis). Teknik analisis kualitatif model interaktif yaitu suatu
teknik analisa data dengan menggunakan tiga komponen dengan bagan
sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
(a). Reduksi data
Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis data yang
merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi
data dari fieldnote.
(b). Penyajian data
Penyajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi,
deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian
dapat dilakukan.
(c). Penarikan kesimpulan
Merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yang perlu
diverifikasi, berupa suatu penggulangan dari tahap pengumpulan data
yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji (HB
Sutopo,1993:91-93)
F). Sistematika Sripsi
Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam
penelitiannya membagi menjadi 4 (empat) bab, dan tiap-tiap bab dibagi dalam
sub-sub yang disesuaikan dengan lingkup pembahasannya.
Adapun sistematika penulisan hukum atau skripsi ini adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Skripsi.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini penulis membahas tentang Tinjauan Umun tentang Alat
Bukti dan Sistem Pembuktian, yang terdiri dari Pengertian
Pembuktian, Sistem Pembuktian, Macam-macam Alat Bukti dan
Kekuatan Pembuktiannya. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain yang terdiri dari
Pengertian Kealpaan, Unsur Kealpaan, Macam Kealpaan, Kealpaan
yang Menyebabkan Matinya Orang Lain.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai Pelaksanaan
Pembuktian terhadap Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang
Lain di Pengadilan Negeri Surakarta. Selain itu juga membahas
mengenai Faktor yang menjadi Kesulitan dalam Proses
Pembuktian terhadap Kealpaan yang Menyebabkan Matinya
Orang Lain di Pengadilan Negeri Surakarta.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang Kesimpulan yang diperoleh dari hasil
Penelitian dan Saran-saran dari penulis mengenai Pelaksanaan
Pembuktian terhadap Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang
Lain.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti dan Sistem Pembuktian
a) Pengertian Pembuktian
Ketentuan tentang pembuktian diatur didalam Kitap Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, tetapi didalam Kitap Undang-Undang
Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian mengenai
pembuktian sehingga pengertian mengenai pembuktian diberikan oleh
para ahli. Menurut M Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-
ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang yang boleh
dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan(M Yahya
Harahap,2000:273). Bambang Poernomo memberikan pengertian
mengenai hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau
peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu
kenyataan yang benar dari setiap kejadian masalalu yang relevan dengan
persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana
dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang
berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.(Bambang
Poernomo,1986:36). Pembuktian menurut Darwan Prinst adalah
pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya sehingga harus
mempertanggung jawabkannya(Darwan Prinst,1998:133)
b) Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara
meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.
Suatu pembuktian yang betul-betul sesuai dengan kebenaran tidak
mungkin dicapai, hukum pidana sebetulnya hanya menunjukan jalan
untuk berusaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan
kebenaran (Bambang Poernomo, 1986:40).
Terdapat beberapa teori sistem pembuktian, yaitu :
(1). Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata
(Conviction in Time)
Menurut teori ini untuk menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim
artinya jika dalam pertimbangan keputusan, hakim telah menganggap
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati
nurani atau sifat bijaksana seorang hakim, maka dapat dijatuhkan
putusan(Bambang Poernomo,1986:41). Keyakinan hakim dapat
diambil dan disimpulkan oleh hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan bisa juga hasil pemeriksaan
alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim dan hakim langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Kelemahan dari sistem ini adalah hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar
keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang cukup,
sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana
yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti
dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini keyakinan hakim yang dominan
atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa, seolah-
olah menyerahkan sepenuhnya nasip terdakwa kepada keyakinan
hakim semata-mata(M Yahya Harahap,2000:277)
(2). Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis.
(Conviction Raisonee)
Dalam sistem Conviction Raisonee ini keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya
terdakwa, akan tetapi dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan
hakim dibatasi. Keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-
alasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-
alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa(M
Yahya Harahap,2000:277). Jadi keyakinan hakim harus dilandasi
alasan-alasan dan alasan-alasan tersebut harus alasan yang dapat
diterima. Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat
bukti.
(3). Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif.
(Positief Wettelijk Bewijstheori)
Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif
merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan hakim. Pembuktian menurut Undang-
Undang secara positif artinya jika dalam pertimbangan keputusan
hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-
alat bukti yang disebutkan dalam Undang-Undang tanpa diperlukan
keyakinan hakim dapat menjatuhkan putusan (Bambang
Poernomo,1986:40). Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak berperan
menentukan salah atau tidaknya terdakwa, sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-
Umdang. Untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata
digantungkan pada alat-alat bukti yang sah, asal sudah dipenuhi syarat-
syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang, sudah
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan
keyakinan hakim. Dalam sistem ini hakim seolah-olah robot pelaksana
Undang-Undang yang tidak memiliki hati nurani, hati nurani tidak ikut
hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem
pembuktian ini mempunyai tujuan untuk berusaha menyingkirkan
segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif. Kebaikan dalam
sistem ini adalah sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib
mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa
sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang, dari sejak semula pemeriksaan
perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh
faktor keyakinan, tapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian
obyektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang, tidak perlu lagi menguji hasil pembuktian tersebut
dengan keyakinan hati nuraninya(M Yahya Harahap,2000:278). Selain
itu sistem pembuktian ini mempunyai keuntungan untuk mempercepat
penyelesaian perkara dan bagi perkara pidana yang ringan dapat
memudahkan hakim mengambil keputusan karena resiko kekeliruan
kemungkinannnya kecil sekali.
(4). Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-
alat bukti dalam Undang-Undang secara negatif. (Negatief Wettelijk
Bewijstheori)
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang
secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem
pembuktian ini menggabungkan sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim dengan sistem Undang-Undang secara positif, dari
penggabungan ini terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut
Undang-Undang secara negatif yang rumusannya berbunyi salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang(M Yahya Harahap,2000:278-279). Cara menilai atau
menggunakan alat bukti tersebutpun telah diatur Undang-Undang.
Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran” alat-alat
bukti atau atas kejadian. Untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa menurut Undang-Undang secara negatif terdapat dua
komponen:
- Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang
- Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang(M Yahya
Harahap,2000:279).
Unsur-unsur diatas tidak ada yang paling dominan, jika salah
satu dari kedua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung
keterbuktian kesalahan terdakwa.
Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia yaitu dalam
KUHAP adalah teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara
negatif, hal ini termuat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk
menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:
- Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah
- Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya(M Yahya Harahap,2000:280).
Dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara
sistem conviction in time dengan sistem pembuktian menurut Undang-
Undang secara positif.
c) Macam-macam alat bukti dan kekuatan pembuktiannya.
Alat-alat bukti yang sah, yang dapat digunakan dalam pembuktian
di sidang pengadilan adalah alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal
184 ayat 1 KUHAP antara lain :
(1). Keterangan Saksi
Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah
“salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai mengenai suatu suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:
- Saksi A Charge (Memberatkan Terdakwa)
Saksi A Dharge adalah saksi dalam perkara pidana yang
dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya
yang memberatkan terdakwa.
- Saksi A De Charge (Menguntungkan Terdakwa)
Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan
oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang
sifatnya meringankan terdakwa(Darwan Prinst,1998:139)
Keterangan saksi sebagai alat bukti tercantum dalam Pasal
185 ayat 1 KUHAP yaitu :
” apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara pidana. Agar keterangan saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus
dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
1). Harus mengucapkan sumpah atau janji
Diatur dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP yaitu :
“sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”
2). Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai
alat bukti, keterangan saksi yang mempunyai nilai adalah
keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27
KUHAP :
-Yang saksi lihat sendiri
- Saksi dengar sendiri
- Saksi alami sendiri
- Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi de auditu yaitu keterangan yang
didengar dari orang lain, bukanlah alat bukti sah karena keterangan
seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak
menjamin kebenarannya, hal ini tercantum dalam Pasal 185 ayat 5
KUHAP. Namun kesaksian de auditu perlu didengar oleh hakim
walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian , tetapi
dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari dua alat
bukti yang lain(Andi Hamzah,2000:261)
3). Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti,
keterangan itu harus dinyatakan disidang pengadilan. Jadi
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang
didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat
bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan disidang pengadilan.
Keterangan saksi yang dinyatakan diluar sidang pengadilan
bukanlah suatu alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa(M Yahya Harahap,2000:287-288)
4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Dalam Pasal 185 ayat 2 dinyatakan :
“ keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya”
ini berarti jika alat bukti yang diajukan oleh penuntut
umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain atau kesaksian
tunggal tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya.
5). Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Apabila keterangan saksi yang dihadirkan dalam
persidangan saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan
antara yang satu dengan yang lain, yang dapat mewujudkan suatu
kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu, maka hal itu
sangat tidak berguna dan merupakan pemborosan waktu(M Yahya
Haraha,2000:286-289).
Pasal 185 ayat 6 KUHAP memberikan pedoman kepada hakim untuk menilai keterangan saksi yang berbunyi
“Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberi keterangan yang tertentu d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya”
Keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian
- Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak
melekat sifat pembuktian yang sempurna dan tidak memiliki
kekuatan pembuktian yang menentukan.
- Nilai pembuktiannya bergantung pada penilaian hakim
Hakim bebas menilai kesempurnaan dan kebenaran dari
keterangan saksi, tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima
kebenaran setiap keterangan saksi, hakim bebas menilai kekuatan
atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat
menerima atau menyingkirkannya(M Yahya Harahap,2000:294-295)
(2). Keterangan Ahli
Keterangan ahli menurut Pasal 1 ayat 28 adalah
“keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan” dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa keterangan ahli ialah
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan
disidang pengadilan”.
Keterangan ahli yang sah dapat dilakukan melalui dua
prosedur yaitu diminta pada taraf pemeriksaan penyidikan dan
keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang. Keterangan ahli
yang diminta pada taraf pemeriksaan penyidikan biasanya berbentuk
laporan berupa surat keterangan atau biasa disebut Visum et repertum,
alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, sekaligus
menyentuh dua sisi alat bukti yang sah. Pada suatu segi alat bukti
keterangan ahli yang berbentuk laporan tetap dinilai sebagai alat bukti
keterangan ahli, pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang
berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat, alasannya dalam
Pasal 187 huruf c menentukan salah satu diantara alat bukti surat yakni
“ Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi kepadanya”
Pada dasarnya keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk
laporan adalah sama dengan surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai hal keadan yang
dimintakan kepadanya. Sehingga terserah kepada hakim untuk
mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan. Hal ini tidak
akan menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian
karena kedua alat bukti itu sama-sama mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang serupa yaitu bersifat kekuatan pembuktian yang
bebas.
Keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, disamping
orangnya memiliki keahlian khusus dalam bidangnya, juga keterangan
yang diberikan berbentuk keterangan menurut pengetahuannya, kalau
keterangan yang diberikan berbentuk pendengaran, penglihatan atau
pengalamannya sehubungan dengan peristiwa pidana yang terjadi,
keterangan seperti ini meskipun diberikan oleh para ahli, tidak bernilai
sebagai bukti keterangan ahli.
Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah mempunyai nilai
kekuatan pembuktian bebas, didalamnya tidak melekat nilai
pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hakim bebas menilai
dan tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran
keterangan ahli dimaksud(M Yahya Harahap,2000:304) Selain itu agar
keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa, harus disertai dengan alat bukti yang lain.
(3). Surat
Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP
yang berbunyi
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat 1 huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 187 diatas, surat yang dapat
dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ialah:
- Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.
- Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah
Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat,
dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan
beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.
- Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut
pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti sempurna, sebab
bentuk surat-surat yang disebutkan didalamnya dibuat secara resmi
menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan,
oleh karena itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian
formal yang sempurna.
- Ditinjau dari segi meteriil
Dilihat dari sudut meteriil, alat bukti surat yang disebutkan
dalam Pasal 187 bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat,
nilai pembuktian bersifat bebas, hakim bebas untuk menilai kekuatan
pembuktiannya(M Yahya Harahap,2000:309-310)
(4). Petunjuk
Alat bukti petunjuk dirumuskan dalam Pasal 188 KUHAP
yang isinya:
“1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari: a Keterangan Saksi b Surat c Keterangan Terdakwa
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Dari Pasal 188 ayat 2 menyatakan bahwa petunjuk hanya
dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Keterangan saksi yang dimaksud adalah keterangan dari saksi yang
memberikan keterangan tanpa disumpah. Demikian halnya dengan
surat, surat yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 KUHAP berbeda
dengan surat yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang
dimaksud adalah surat-surat yang bukan akta autentik atau yang
disebut dengan surat bawah tangan. Keterangan terdakwa yang
dianggap sebagai petunjuk bukan sebagai keterangan terdakwa yang
dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 (e), yang dimaksud dalam hal ini
adalah yang berkenaan dengan tanggapan terdakwa atas keterangan-
keterangan saksi yang tidak disumpah atau keterangan terdakwa
mengenai surat-surat dibawah tangan(Laden Marpaung,1992:40). Alat
bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti
yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan
terdakwa. Alat bukti petunjuk baru mungkin dicari dan ditemukan jika
telah ada alat bukti yang lain , sebab petunjuk sebagai alat bukti
bentuknya adalah asessoir (tergantung) pada alat bukti keterangan
saksi, surat dan keterangn terdakwa sebagai sumber yang
melahirkannya(M Yahya Harahap,2000:316-317)
Kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang
sah lainnya, kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Menurut Pasal 188
ayat 3 KUHAP, yang memberikan penilaian terhadap kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk adalah hakim.
(5). Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi :
“1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri
2. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yakni:
- apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan
- dan apa yang dinyatakan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa
lakukan atau yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa
yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang
diperiksa.
Dalam mencari alat bukti keterangan terdakwa harus benar-
benar tuntas artinya tidak cukup umpamanya pengakuan atas perbuatan
yang didakwakan melainkan segala keterangan mengenai perbuatan
yang dilakukannya dan cara-cara melakukannya(Laden
Marpaung,1992:42)
Kekuatan pembuktian dari keterangan terdakwa adalah bebas
sehingga tidak mengikat bagi hakim. Keterangan terdakwa tidak
berdiri sendiri, ia harus diperkuat dengan alat bukti yang sah lainnya,
sehingga meskipun terdakwa mengakui kesalahan, masih diperlukan
minimal satu alat bukti lagi, untuk mencapai minimum pembuktian.
Setelah adanya minimum dua alat bukti yang sah, masih diperlukan
lagi keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terbukti dan
terbukti pula bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
tersebut.
2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Kealpaan yang Menyebabkan
Matinya Orang lain
a) Pengertian Kealpaan
Kejahatan pada umumnya dilakukan dengan kesengajaan akan
tetapi dalam beberapa hal kejahatan dapat terjadi karena kealpaan.
Kealpaan merupakan terjemahan dari kata culpa yang merupakan salah
satu bentuk kesalahan disamping kesengajaan atau dolus. Culpa yang
dalam doktrin sering disebut sebagai een manco aan coorzienigheid atau
een manco aan voorzichtigheid yang berarti suatu kekurangan untuk
melihat jauh kedepan tentang kemungkinan timbulnya akibat-akibat atau
suatu kekurangan akan sikap berhati-hati (P.A.F.Lamintang,1997:337)
Dalam Mvt pengertian kealpaan dikatakan :
Pada umumnya bagi kejahatan Undang-Undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin begitu besar bahayanya terhadap keamanan umum, terhadap orang atau benda dan bila terjadi akan menimbulkan banyak kerugian-kerugian,sehingga Undang-Undang harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati (Roeslan Saleh dalam Martiman Prodjohamidjojo,1996:51)
Tidak berhati-hati dalam hal ini merupakan pengertian mengenai
perbuatan. Disini sikap batin dari orang yang menimbulkan keadaan yang
dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut, dia tidak
menghendaki ataupun menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi
karena faktor kesalahan atau kekeliruannya ada dalam batinya sewaktu ia
berbuat, maka berakibat menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan
semata-mata menentang larangan tersebut dengan melakukan yang
dilarang itu, tetapi dia juga tidak begitu mengindahkan larangan.
Noyon Langemeyer dalam bukunya Moeljatno mengatakan bahwa
kealpaan adalah suatu stuctuur yang sangat gecompliceerd. Dia
mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir dan
menunjuk kepada adanya keadaan batin yang tertentu dan dilain pihak
keadaan batinnya itu sendiri jadi culpa mencakup semua makna
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan (Noyon
Langemeyer dalam Moeljatno,1982:134). Dalam kesengajaan ada sifat
yang positif yaitu adanya kehendak dan persetujuan yang disadari
daripada bagian-bagian delik sedangkan dalam kealpaan adalah tidak
menghendaki.
Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang unsur
kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati dan tidak
karena kesengajaan(Adami Chazawi,2001:125). Berdasarkan beberapa
pendapat diatas dapat dikatakan bahwa culpa mencakup sikap kurang
hati-hati, kurang cermat(berpikir) kurang pengetahuan atau bertindak
kurang terarah.
b) Unsur Kealpaan
Kealpaan dianggap sebagai suatu kesalahan yang lebih ringan
dibandingkan karena sengaja. Manusia pada dasarnya cenderung kurang
berhati-hati, bahkan kadang-kadang terjadinya pelanggaran kealpaan
adalah suatu kebetulan. Seseorang dikatakan mempunyai culpa dalam
melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan
perbuatannya tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian sepenuhnya yang
mungkin ia dapat berikan, atau dengan kata lain orang tersebut memang
telah membayangkan kemungkinan timbulnya suatu akibat atau lain-lain
keadaan yang menyertai tindakannya akan tetapi ia tidak percaya bahwa
tindakan yang ingin ia lakukan itu akan dapat menimbulkan akibat atau
lain-lain keadaan seperti yang telah ia bayangkan itu walaupun
sebenarnya ia dapat dan harus menyadari bahwa ia tidak boleh berbuat
demikian.
VOS memberikan pendapatnya bahwa kealpaan mempunyai dua
unsur, yaitu :
- Mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi sipembuat
- Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat
atau tidak diperbuat(Vos dalam Bambang Poernomo,1983:173)
Menurut Van Hamel culpa mempunyai dua unsur yaitu:
- Kurangnya penduga-duga yang diperlukan
- Kurangnya penghati-hati yang diperlukan. (Van Hamel dalam
Bambang Poernomo,1983:173)
Sementara itu Simons berpendapat bahwa isi culpa adalah tidak adanya
penghati-hati disamping dapat diduga-duganya akan timbul akibat
(Simons dalam Moeljatno,1982:135)
Unsur-unsur kealpaan yang diuraikan diatas menunjukan bahwa
dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi
oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat, bahwa dia kurang
memperhatikan akan larangan-larngan yang berlaku dalam masyarakat.
c) Macam Kealpaan
Tidak semua alpa menjadi syarat suatu delik, culpa sebagai syarat
delik harus memenuhi rumusan, antara lain dengan :
- Tidak menduga-duga, yang diharuskan hukum
- Tidak mengindahkan larangan
- Kurang berhati-hati
- Kurang atau tidak mengambil tindakan pencegahan
- lalai melakukan perbuatan yang mengakibatkan hal-hal yang
dilarang (Martiman Prodjohamidjojo,1997:51-52).
Menurut P.A.F.Lamintang unsur-unsur dari rumusan delik yang
diliputi oleh culpa dapat meliputi:
- Tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan-tindakan untuk
melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu.
- Suatu akibat yang dilarang oleh Undang-Undang
- Unsur-unsur selebihnya dari delik(P.A.F.Lamintang,1996:342)
Dalam hukum pidana terdapat dua jenis alpa, yaitu:
- Culpa Lata
Culpa lata adalah alpa yang hebat, alpa berat. Istilah lain untuk
culpa lata ialah merkelijke schuld, grove schuld. Menurut pakar adanya
culpa lata dapat disimpulkan dalam rumusan kejahatan karena alpa,
misalnya Pasal 359 KUHP
- Culpa Levissima
Culpa Levissima atau lichte culpa adalah alpa ringan. Culpa
ringan itu adanya dalam pelanggaran, misalnya Pasal 490 sub (1) dan
(4)KUHP .
Alpa yang menjadi syarat suatu delik adalah culpa lata sedangkan
culpa levissima bukan merupakan syarat suatu delik (Martiman
Prodjohamidjojo,1997:53)
d) Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang lain
Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain dirumuskan
dalam Pasal 359 KUHP yaitu :
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun”
Dalam Pasal 359 KUHP tersebut ditegaskan bahwa kematian orang
lain adalah akibat dari kelalaian pembuat, yaitu dengan tidak
menyebutkan perbuatan pembuat tetapi kesalahannya (kealpaannya) dan
tidak menyebutkan kematian yang disebabkan oleh pembuat tetapi
kematian yang dapat dicelakan kepadanya (J. E. Sahetapy,1995:114).
Dalam perkara ini (Pasal 359 KUHP). Matinya orang disini tidak
dimaksud sama sekali oleh pelaku, akan tetapi hal itu terjadi akibat
adanya kurang hati-hati atau lalainya terdakwa, karena apabila matinya
orang tersebut dikehendaki oleh terdakwa, maka terdakwa akan
dikenakan Pasal tentang pembunuhan. Pasal 359 KUHP mengancam
dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun bagi siapa yang karena kesalahannya menyebabkan
matinya orang lain. Ancaman hukuman bagi pelaku kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain ini bukanlah ancaman pidana yang
ringan, sehingga hal ini menunjukan bahwa kasus-kasus yang dihadapi
dalam Pasal 359 KUHP bukanlah kasus yang sederhana ataupun ringan.
Mengenai kekuranghati-hatian yang bagaimana yang dikehendaki
oleh Undang-undang, pada umumnya guru besar berpendapat
kekuranghati-hatian yang ditafsirkan sebagai culpa lata yaitu kesalahan
yang bersifat berat.
B) Kerangka Pemikiran
Tindak pidana
Kesengajaan Kealpaan Kealpaan yang menyebabkan
Matinya orang lain
Menimbulkan Terdakwa tindak pidana kealpaan
Kerugian yang menyebabkan matinya
Orang lain
Sanksi pidana Membutuhkan
pembuktian
dipersidangan
Mengalami
hambatan
pembuktian
Putusan
Kejahatan semakin hari semakin meningkat, termasuk didalamnya
tindak pidana karena kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain.
Kejahatan seperti ini sering dijumpai dalam kasus kecelakaan, khususnya
kecelakaan dijalan raya, dimana terdapat ketidakhati-hatian dari pengguna
jalan yang menyebabkan petaka bagi pengguna jalan yang lain. Kejahatan
apapun penyebabnya baik karena sengaja ataupun kealpaan akan tetap
menimbulkan kerugian, dan kerugian tersebut bisa menyangkut nyawa
seseorang. Oleh karena itu pelaku tindak pidana harus mendapatkan sanksi
pidana yang sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan, termasuk bagi
pelaku tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain. Untuk
dapat menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana maka diperlukan proses
pembuktian. Pembuktian yang dilakukan dipengadilan dilakukan dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Pembuktian
disidang pengadilan tidak berjalan lancar begitu saja, tetapi banyak ditemui
kesulitan-kesulitan yang menghambat proses pembuktian tersebut. Setelah
dilakukan pembuktian disidang pengadilan maka Hakim dapat menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya
orang lain
Penulis telah melakukan penelitian mengenai proses pembuktian
kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain di Pengadilan Negeri
Surakarta. Penulis mengambil 2 (dua) kasus mengenai kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain yang diancam dengan Pasal 359 KUHP. Hasil
penelitian penulis adalah sebagai berikut:
Kasus Pertama :
1). Kasus Posisi
Bahwa ia terdakwa Budi Wijanarko, pada hari Kamis tanggal 26 Mei
2005 sekira pukul 07.45 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam
bulan Mei tahun 2005 bertempat di jalan umum Letjen Suprapto depan LPK
Mahardika Sumber Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang
masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, karena
kealpaannya atau kurang hati-hatinya pada waktu mengemudikan Kendaraan
bermotor amgkuta AD-1405-AA menyebabkan matinya orang lain yaitu Nn.
Risa Tri Wulandari, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut:
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas terdakwa
mengemudikan kendaraan bermotor angkuta AD-1405-AA dari Giriroto
Ngemplak Boyolali menuju ke Klewer Surakarta dan pada waktu tersebut
angkuta berisi 4(empat) orang penumpang, ketika sampai di Jl. Letjen
Suprapto, situasi jalan ramai, arus lalu lintas dua arah dan pada waktu
tersebut terdakwa berusaha mendahului beberapa kendaraan yang berada
didepannya hingga badan mobil melebihi ruas jalan, dengan kecepatan 60
Km/jam dan pada jarak +/- 10 meter didepan mobil terdakwa ada sepada
motor Honda AD-2981-GP dan sepeda motor Qingqi AD-6303-NA, pada
waktu tersebut sepeda motor Qingqi AD-6303-NA berjalan agak kekanan /
ketengah dan pengendara sepeda motor Honda AD-2981-GP langsung
mengerem.
Terdakwa kurang menjaga jarak, pada waktu mengemudikan
kendaraan bermotor angkot AD-1405-AA kecepatan 60 Km/jam, sehingga
akhirnya terdakwa menabrak sepeda motor Qingqi AD-6303-NA, Nn Risa
Tri Wulandari meninggal dunia sesuai dengan Visum Et Repertum yang
dibuat dan ditanda tangani oleh dr. C. Sri Gunawan M.Kes. dokter pada
Rumah Sakit Brayat Minulya Surakarta,. Sedangkan terdakwa seharusnya
tidak berhak mengemudikan kendaraan bermotor angkot AD-1405-AA
tersebut karena terdakwa belum memiliki SIM A umum
2). Identitas Terdakwa
Nama : Budi Wijanarko
Tempat lahir : Boyolali
Umur / Tanggal Lahir : 27 tahun / 09 September 1978
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Klelesan Rt 03 / 07 Giriroto Ngemplak Boyolali
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengemudi
3). Pelaksanaan Pembuktian di Persidangan
Pelaksanaan pembuktian mengenai kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain di persidangan dilakukan dengan mengajukan barang
bukti dan menggunakan alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat dan
keterangan terdakwa. Barang bukti yang diajukan tersebut berupa:
- KBM angkuta AD 1405 AA dan STNK
- SIM A atas nama Budi Wijanarko
Alat bukti keterangan saksi dilakukan dengan menghadirkan
beberapa orang saksi atas dasar sumpah / janji menurut agama masing-
masing, yang diambil keterangannya yaitu sebagai berikut:
1. Saksi Drs. Sri Budiyono
Menerangkan:
- Bahwa pada hari Kamis tanggal 26 Mei 2005 sekitar jam 07.45 WIB,
saksi berangkat kerja melewati Jl. Letjen Suprapto depan LPK
Mahardika Sumber Surakarta telah terjadi kecelakaan.
- Bahwa saat itu saksi naik sepeda motor merk Kharisma No.Pol. AD
2981 GP ditabrak oleh kendaraan bermotor (angkuta) yang
dikemudikan oleh terdakwa.
- Bahwa korban naik sepeda motor merk Qingqi ditabrak pula angkuta
yang dikemudikan terdakwa.
- Bahwa korban bernama Nn. Risa Tri Wulandari, setelah kejadian
dibawa ke rumah sakit Brayat Minulya Surakarta.
- Bahwa saat itu situasi jalan sangat ramai, saksi berjalan dari utara ke
selatan di Jl. Letjen Suprapto.
- Bahwa akibat ditabrak oleh terdakwa, saksi tidak sadarkan diri dan
setelah sadar sudah berada di tepi jalan.
- Bahwa setelah saksi sadar lalu mengetahui korban sepeda motor Qingqi
yang dikemudikan terdakwa jatuh dan korban mengalami luka di
belakang kepala, terdakwa menolong korban dibawa ke Rumah Sakit
Brayat Minulya Surakarta.
- Bahwa saksi melihat korban ke Rumah Sakit Brayat Minulya, dan saksi
mengetahui korban meninggal dunia.
2. Saksi H. Said Widodo
Menerangkan:
- Bahwa pada hari Kamis tanggal 26 Mei 2005 sekitar jam 08.00 WIB
saksi mendapat telepon yang mengatakan, keponakan saksi bernama
Nn. Risa Tri Wulandari mengalami kecelakaan dan dibawa ke Rumah
Sakit Brayat Minulya.
- Bahwa selanjutnya saksi ikut mengunjungi ke Rumah Sakit tersebut,
dan melihat keponakan saksi berada di ruang ICCU dalam keadaan
tidak sadar, mukanya sebelah kanan merah.
- Bahwa atas kejadian tersebut pada hari Jum’at tanggal 27 Mei 2005
sekitar jam 03.35 WIB, korban meninggal dunia.
- Bahwa saat pemakaman, keluarga terdakwa datang dan mohon maaf
kepada saksi.
3. Saksi Marimin
Menerangkan:
- Bahwa pada hari Kamis tanggal 26 Mei 2005 sekitar jam 08.00 WIB,
saksi sedang mangkal 40 meter dari tempat kejadian di Jl Letjen
Suprapto depan LPK Mahardika, saat itu kendaraan cukup ramai.
- Bahwa Jl. Letjen Suprapto ada 2 jalur, yang dari utara ke selatan sangat
ramai, sedang yang dari selatan ke utara sepi.
- Bahwa 2 jalur jalan tersebut diketahui oleh saksi putih terpotong-
potong, korban naik sepeda motor dari utara ke selatan beriringan
dengan angkuta yang dikemudikan oleh terdakwa.
- Bahwa kendaraan Qingqi yang dikemudikan oleh korban ditabrak oleh
angkuta yang dikemudikan oleh terdakwa dari arah belakang, sehingga
korban jatuh di garis putih melebihi ruas jalan.
- Bahwa disamping itu, pengendara sepeda motor Honda ditabrak
berhenti dulu, pengendaranya juga jatuh.
- Bahwa saksi mendengar pengendara sepeda motor Qingqi akhirnya
meninggal dunia.
4. Saksi Sumadi
Menerangkan:
- Bahwa pada hari Kamis, tanggal 26 Mei 2005 sekitar jam 07.45 WIB
ada terjadi kecelakaan di Jl. Letjn Suprapto depan LPK Mahardika
Sumber Surakarta.
- Bahwa saat itu saksi sedang menunggu becak, saksi mendengar suara
deru setelah saksi menoleh, sepeda motor yang dikemudikan korban
ditabrak oleh angkuta yang dikemudikan oleh terdakwa dari arah
belakang.
- Bahwa akibat tabrakan tersebut, sepeda motor yang dikemudikan
korban kena tepat, sedang angkuta tepat dibagian belakang.
- Bahwa korban jatuh disebelah barat ruas jalan dan korban tidak
sadarkan diri, dibawa ke rumah sakit oleh terdakwa.
Selanjutnya alat bukti yang di hadirkan dipersidangan adalah
keterangan terdakwa, terdakwa memberikan keterangannya yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut :
- Bahwa terdakwa telah membenarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
- Bahwa terdakwa adalah pengendara angkuta kota No. AD 1405 AA
yang menyebabkan matinya pengendara sepeda Motor Qingqi, seorang
perempuan bernama Nn. Risa Tri Wulandari.
- Bahwa kecelakaan lalu lintas terjadi pada hari Kamis tanggal 20 Mei
2005 sekitar pukul 07.45 WIB di Jl. Letjen Suprapto depan LPK
Mahardika Surakarta.
- Bahwa terdakwa mengemudikan kendaraan angkuta No. Pol. AD 1405
AA dari Giriroto Ngemplak Boyolali akan menuju Klewer.
- Bahwa saat itu terdakwa membawa 4 (empat) penumpang dan keadan
jalan ramai sekali, terdakwa mengendarai kendaraan dengan kecepatan
60 Km/jam, mendahului kendaraan Kharisma X dan sepeda motor
Qingqi.
- Bahwa akhirnya angkuta yang dikemudikan terdakwa menabrak sepeda
motor Kharisma dan sepeda motor Qingqi yang dikemudikan korban.
- Bahwa terdakwa tidak memiliki SIM A.
- Bahwa keluarga terdakwa saat melayat memberikan sumbangan Rp.
500.000,- diserahkan / disampaikan kepada keluarga korban, dan
keluarga korban tidak mau menerima.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dikaitkan dengan keterangan
terdakwa dan barang bukti dalam perkara ini, maka didapatkan fakta-fakta
sebagai berikut:
- Bahwa pada hari Kamis tanggal 26 Mei 2005 sekitar jam 07.45 WIB di
Jl. Letjen Suprapto, depan LPK Mahardika telah terjadi kecelakaan
lalu lintas, yaitu angkuta No. Pol. AD 1405 AA telah menabrak 2(dua)
sepeda motor No. Pol. AD 2981 GP dan No.Pol. AD 6303 AA yang
berjalan searah dengannya dari utara ke selatan.
- Bahwa pengendara sepeda motor No.Pol. AD 2981 GP bernama Sri
Budiyono, sedang pengendara sepeda motor No.Pol AD 6303 AA
meninggal dunia.
- Bahwa angkuta yang dikemudikan terdakwa ditempat yang ramai
dengan kecepatan 60 Km/Jam, menyalip para korban, dan tidak
mengurangi kecepatan, sehingga telah menabrak 2(dua) sepeda motor
yang berada di depannya.
- Bahwa sebagai akibat terdakwa tersebut, pengendara sepeda motor
No.Pol. AD 6303 AA meninggal dunia di rumah sakit Brayat Minulya.
Hal-hal yang memberatkan dan meringankan dalam penjatuhan
putusan oleh Majelis Hakim bagi terdakwa:
Hal yang memberatkan:
- Sebagai akibat perbuatan terdakwa, telah memakan korban yaitu
pengendara sepeda motor No.Pol AD 6303 NA bernama Risa Tri
Wulandari meninggal dunia.
Hal yang meringankan:
- Terdakwa mengakui perbuatannya secara terus terang.
Setelah melihat pembuktian dipersidangan kemudian Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Surakarta menjatuhkan putusan sebagai berikut:
MENGADILI
1. Menyatakan bahwa terdakwa tersebut diatas bernama : Budi
Wijanarko telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “ Karena kealpaannya menyebabkan orang
lain meninggal dunia”.
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Budi Wijanarko
dengan pidana penjara selama 11 bulan.
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Membebankan pula kepada terdakwa membayar ongkos perkara
sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).
6. Memerintahkan barang bukti berupa:
q Kbm Angkuta AD 1405 AA beserta STNK nya dikembalikan
kepada yang berhak.
q SIM A atas nama Budi Wijanarko dikembalikan kepada
terdakwa Budi Wijanarko.
Kasus kedua
1). Kasus Posisi
Bahwa terdakwa Hesti Purnamasari pada hari Sabtu tanggal 10
September 2005, sekira pukul 19.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu-
waktu lain pada bulan September tahun 2005 bertempat di jalan umum RE
Martadinata depan rumah nomor 245 Gandekan. Jebres, Surakarta atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk didaerah
hukum Pengadilan Negeri Surakarta, karena salahnya menyebabkan
matinya orang, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Terdakwa mengemudikan sepeda motor Yamaha No.Pol B 6538 NX
memboncengkan dua orang kawannya bernama Devi Ratnasari dan Dwi
Lestari berjalan dengan kecepatan 70 km per/jam melewati jalan RE
Martadinata Gandekan, Jebres, Surakarta dari arah timur ke barat, jalan
beraspal halus, lurus, agak menurun, cuaca cerah, malam hari arus lalu lintas
sedang, dua arah, terdakwa tidak memiliki SIM yang sah untuk sepeda
motor, setelah melewati tanggul jalan menurun, saat itu terdakwa
mengemudikan sepeda motornya sambil bercanda dengan kawannya yang
diboncengkan, terdakwa tidak memperhatikan lalu lintas di depannya,
pandangan terdakwa kearah kiri, sehingga ketika didepan rumah nomor 245
ada seorang laki-laki bernama Trimo Darsosuwito mengendarai sepeda
motor Honda No.Pol AD 4396 HB menyeberang jalan dari arah selatan ke
utara sudah sampai didekat ruas jalan, terdakwa tidak mengerem sepeda
motor yang dikemudikannya atau terdakwa tidak berusaha menghindari
sepeda motor Trimo Darsosuwito, lalu sepeda motor terdakwa menabrak
samping kanan sepeda motor yang dikemudikan Trimo Darsosuwito
sehingga Trimo Darsosuwito terpelanting jatuh dijalan aspal, lalu korban
diangkut kerumah sakit Kustati, ketika dilakukan pemeriksaan terdapat hal-
hal berikut:
- Penderita datang kerumah sakit dalam keadaan tidak sadar
- Contusio Cerebri ( memar otak )
Setelah dirawat selama 1 ( satu ) hari Trimo Darsosuwito meninggal dunia,
kelainan tersebut karena benturan benda keras, seperti tersebut dalam Visum
et Repertum No 03/RS/K-RM-KM/X/05 tanggal 10 Oktober 2005 ditanda
tangani oleh Dr Untung Alifianto Sp. Bs.
2). Identitas Terdakwa
Nama : Hesti Purnamasari
Tempat lahir : Surakarta
Umur/Tanggal lahir : 16 tahun/ 03 Februari 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Kampung Sewu Rt 03/Rw II, Jebres, Surakarta
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMEA Kelas 1
3). Pelaksanaan Pembuktian di Persidangan
Pelaksanaan Pembuktian kealpaan yang menyebabkan matinya orang
lain dalam kasus ini sama dengan pembuktian mengenai kasus kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain dalam kasus yang pertama, yaitu dengan
menghadirkan saksi – saksi untuk dimintai keterangannya, alat bukti surat
dan keterangan terdakwa. Keterangan Saksi diberikan dibawah sumpah
menurut agamanya, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Saksi Devi Ratnasari
Menerangkan:
- Bahwa hari Sabtu tanggal 10 September 2005, sekira pukul 18.30
WIB, saksi diboncengkan bertiga bersama Dwi Lestari oleh terdakwa
melintas di jalan umum RE Martadinata depan rumah nomor 245
Gandekan, Jebres, Surakarta menaiki sepeda motor terdakwa Yamaha
B 6538 NX +/- 50 km/jam.
- Bahwa setelah melewati tanggul jalan menurun, saat itu dalam jarak
6(enam) meter saksi melihat seorang laki-laki yang mengendarai
sepeda motor berusaha menyeberang jalan dari arah selatan menuju ke
utara karena jarak sudah dekat dan terdakwa tidak bisa menguasainya
kendaraannya maka terjadilah kecelakaan lalu lintas.
- Bahwa setelah terjadi kecelakaan tersebut saksi tidak ingat kejadian
selanjutnya karena saksi jatuh pingsan dan baru sadar setelah di
Rumah Sakit.
- Bahwa akibat kecelakaan tersebut saksi, saksi Dwi Lestari, Terdakwa
menderita luka-luka sedangkan pengendara sepeda motor Honda
meninggal dunia hal mana saksi ketahui sebulan kemudian.
- Bahwa keadaan jalan beraspal halus, lurus, agak menurun, cuaca cerah,
malam hari arus lalu lintas sedang, dua arah.
- Bahwa benar terdakwa belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi yang
sah.
- Bahwa benar antara keluarga korban dan keluarga terdakwa telah
berdamai dan keluarga terdakwa telah memberikan bantuan selamatan
pada keluarga korban.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diajukan ke muka
persidangan.
2 Saksi Vicky Seno Budiyono
Menerangkan:
- Bahwa hari Sabtu tanggal 10 September 2005, sekira pukul 18.30
WIB, saksi melihat terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan umum RE
Martadinata depan rumah nomor 245 Gandekan, Jebres, Surakarta
antara sepeda motor Yamaha B 6538 NX yang dikemudikan oleh
terdakwa dengan sepeda motor Honda AD 4396 HB.
- Bahwa pada saat itu terdakwa berboncengan bertiga dari arah timur
menuju ke barat sedangkan korban pengendara sepeda motor Honda
AD 4396 HB dari arah selatan menuju ke utara dengan maksud
menyeberang jalan.
- Bahwa akibat kecelakaan tersebut pengendara dan 2 ( dua) orang
pembonceng sepeda motor Yamaha jatuh terpelanting dan mengalami
luka-luka sedangkan pengendara sepeda motor Honda jatuh
terpelanting tidak sadarkan diri dan menderita luka-luka pada muka
dan kepalanya.
- Bahwa saksi ikut mengantarkan semua korban kecelakaan kerumah
sakit Kustati.
- Bahwa 2 ( dua ) hari kemudian saksi mendengar kabar kalau
pengendara Honda telah meninggal dunia.
- Bahwa jarak saksi dengan TKP sekitar 20 (dua puluh) meter.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diajukan dipersidangan.
3. Saksi Yoscika Nilasari
Menerangkan :
- Bahwa hari Sabtu tanggal 10 September 2005, sekira pukul 18.30
WIB, saksi melihat terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan umum RE
Martadinata depan rumah nomor 245 Gandekan, Jebres, Surakarta
antara sepeda motor Yamaha B 6538 NX yang dikemudikan oleh
terdakwa dengan sepeda motor Honda AD 4396 HB.
- Bahwa pada saat itu terdakwa berboncengan bertiga dari arah timur
menuju kebarat sedangkan korban pengendara sepeda motor Honda
AD 4396 HB dari arah selatan menuju keutara dengan maksud
menyeberang jalan.
- Bahwa akibat kecelakaan tersebut pengendara dan 2 (dua) orang
pembonceng sepeda motor Yamaha jatuh terpelanting dan mengalami
luka-luka sedangkan pengndara sepeda motor Honda jatuh terpelanting
tidak sadarkan diri dan menderita luka-luka pada muka dan kepalanya.
- Bahwa saksi ikut mengantarkan semua korban kecelakaan kerumah
sakit Kustati.
- Bahwa 2 (dua) hari kemudian saksi mendengar kabar kalau pengendara
Honda telah meninggal dunia.
- Bahwa jarak saksi dengan TKP sekitar 20 meter.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diajukan dipersidangan.
4. Saksi Sutarto
Menerangkan:
- Bahwa pada hari Sabtu tanggal 10 September 2005 saat saksi dirumah
tetangga datang teman saksi yang memberi kabar kalau ayah saksi
telah mengalami kecelakaan lalu lintas di Jl. RE Martadinata.
- Bahwa saksi kemudian menuju TKP dan benar ayah saksi mengalami
kecelakaan lalu lintas selanjutnya saksi membawa ayah saksi kerumah
sakit Kustati.
- Bahwa akibat kecelakaan tersebut ayah saksi ( korban) menderita luka
pada muka dan kepalanya mengeluarkan darah dan akhirnya 2 (dua)
hari kemudian meninggal dunia.
- Bahwa saat di TKP ayah saksi masih hidup.
- Bahwa benar keluarga terdakwa telah datang ke tempat saksi untuk
meminta maaf atas kejadian tersebut sekaligus memberi bantuan
selamatan untuk ayah saksi.
Dalam proses pembuktian dipersidangan juga telah dibacakan Visum
et Repetum No. 03/RS/K-RM-KM/X/05 atas nama Trimi Darsosuwito
tertanggal 10 Oktober 2005 yang dibuat oleh dr. Untung Alifianto Sp.Bs
dokter pada Rumah Sakit Kustati. Alat bukti selanjutnya yaitu mendengarkan
keterangan terdakwa, terdakwa memberikan keterangannya yang pada
pokoknya berisi:
- Bahwa hari Sabtu tanggal 10 September 2005, sekira pukul 18.30
WIB, terdakwa dari rumah teman terdakwa di Kampung Sewu
berboncengan bertiga dengan saksi Devi Ratnasari dan Saksi Dwi
Lestari melintas dijalan umum RE Martadinata depan rumah nomor
245 Gandekan, Jebres, Surakarta menaiki sepeda motor terdakwa
Yamaha B 6538 NX dengan kecepatan +/- 50 km/jam
- Bahwa setelah melewati tanggul jalan menurun, saat itu dalam jarak 6
(enam) meter terdakwa berusaha menyalip sebuah mobil namun tiba-
tiba dari arah depan terdakwa melihat seorang laki-laki yang
mengendarai sepeda motor berusaha menyeberang jalan dari arah
selatan menuju keutara karena jarak sudah dekat terdakwa tidak bisa
menguasai kendaraannya maka terjadilah kecelakaan lalu lintas.
- Bahwa setelah terjadi kecelakaan tersebut terdakwa jatuh bersama 2
(dua) orang teman terdakwa.
- Bahwa terdakwa tidak ingat kejadian selanjutnya karena terdakwa
jatuh pingsan dan baru sadar setelah di Rumah Sakit
- Bahwa akibat kecelakaan tersebut terdakwa, saksi Devi Ratnasari,
saksi Dwi Lestari menderita luka-luka sedangkan pengendara sepeda
motor Honda meninggal dunia.
- Bahwa keadaan jalan beraspal halus, lurus, agak menurun, cuaca cerah,
malam hari, arus lalu lintas sedang, dua arah.
- Bahwa benar terdakwa belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi yang
sah
- Bahwa kendaraan yang terdakwa kendarai adalah milik tetangga
terdakwa yang dititipkan dirumah terdakwa
- Bahwa benar antara keluarga korban dan keluarga terdakwa telah
berdamai dan keluarga terdakwa telah memberikan bantuan selamatan
pada keluarga korban.
- Bahwa terdakwa membenarkan bukti-bukti yang diajukan
dipersidangan dan gambar sket yang ada dalam berkas perkara ini
Hal-hal yang memberatkan dan meringankan dalam penjatuhan
putusan oleh Majelis Hakim bagi terdakwa
Hal yang memberatkan:
- Terdakwa belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi
- Terdakwa sangat sembrono dalam mengemudikan kendaraannya
Hal yang meringankan:
- Bahwa terdakwa mengakui secara terus terang akan perbuatannya dan
berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut.
- Terdakwa menyesali akan perbuatannya
- Terdakwa belum pernah dipidana
Setelah melakukan pembuktian dipersidangan, akhirnya Majelis
hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:
MENGADILI
1. Menyatakan bahwa terdakwa : Hesti Purnamasari telah terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa : Hesti
Purnamasari dengan hukuman penjara selama 7 (tujuh) bulan
3. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara
sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah)
4. Menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalani kecuali jikalau
kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena
terpidana dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak
mencukupi suatu syarat istimewa sebelum berakirnya masa percobaan
selam 10 (sepuluh) bulan
5. Memerintahkan barang bukti berupa : 1(satu) unit sepeda motor
Yamaha B 6538 NX beserta STNK nya atas nama Mulia Fitriadi
dikembalikan kepada terdakwa.
Pembahasan
Suatu tindak pidana dapat dijatuhi putusan harus melalui proses
pembuktian dipersidangan, pembuktian ini pada dasarnya merupakan
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara
yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-
alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang yang boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan (M Yahya Harahap,2000:273).
Seseorang tidak boleh dianggap bersalah sebelum dilakukan pembuktian
dipersidangan dan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dialah yang
bersalah melakukan tindak pidana. Pelaksanaan pembuktian kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain berpegang pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP.
Tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Budi Wijanarko dan
terdakwa Hesti Purnamasari yang kasusnya masing – masing telah diuraikan
diatas telah bertentangan dengan Pasal 359 KUHP yaitu:
“ Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun “
Tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing terdakwa tersebut telah
memenuhi unsur – unsur yang terdapat dalam Pasal 359 KUHP yaitu:
a. Barangsiapa
b. Karena kealpaanya
c. Menyebabkan orang lain meninggal dunia
Dalam kasus yang pertama dengan terdakwa Budi Wijanarko, unsur-unsur
Pasal 359 KUHP yang telah dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Barang siapa
Barangsiapa menunjuk pada subyek hukum atau orang yang
didakwa oleh Penuntut Umum karena melakukan suatu tindak pidana.
Pelaku dalam perkara ini adalah pengemudi angkuta No.Pol AD 1405
AA yaitu Budi Wijanarko.
b. Karena kealpaanya
Angkuta yang dikemudikan oleh terdakwa ketika melewati Jl.
Letjen Suprapto tepatnya di depan LPK Mahardika, kondisi jalan dalam
keadaan ramai telah menyalip sepeda motor yang dikemudikan Sri
Budiyono dan Risa Tri Wulandari, dengan kecepatan tinggi telah
menyalib sepeda motor – sepeda motor tersebut, sehingga berakibat
menabrak 2 (dua) sepeda motor tersebut, seharusnya angkuta yang
dikemudikan oleh terdakwa di jalan yang kondisinya ramai harus
mengurangi kecepatannya, namun hal itu tidak dilakukan sehingga
menabrak kendaraan yang ada didepannya.
c. Menyebabkan orang lain meninggal dunia
Bahwa sebagai akibat dari kecelakaan tersebut, pengendara
sepeda motor Qingqi AD 6303 NA yang bernama Risa Tri Wulandari
meninggal dunia.
Dalam kasus yang kedua dengan terdakwa Hesti Purnamasari, Unsur
- unsur dari Pasal 359 KUHP yang telah terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. Barangsiapa
Dalam perkara ini unsur barangsiapa adalah terdakwa tindak
pidana Hesti Purnamasari.
b. Karena kealpaanya
Sepeda motor Yamaha B 6538 NX yang dikemudikan terdakwa
berboncengan bertiga bersama saksi Devi Ratnasari dan saksi Dwi
Lestari melintas di jalan umum RE Martadinata depan rumah nomor 245
Gandekan, Jebres, Surakarta. Terdakwa tanpa memiliki SIM telah
memacu kendaraanya dari arah timur ke barat sambil bercanda dengan
temannya yang diboncengkan, terdakwa tidak memperhatikan lalu lintas
didepannya, pandangan terdakwa kearah kiri, terdakwa menyalib sebuah
mobil namun tiba-tiba dari arah depan dalam jarak 6 (enam) meter
terdakwa melihat sepeda motor Honda AD 4396 HB yang dikendarai
korban Trimo Darsosuwito yang akan menyeberang jalan dari selatan ke
utara akibatnya terdakwa menabrak sepeda motor Honda tersebut.
c. Menyebabkan orang lain meninggal dunia
Akibat kecelakaan tersebut, pengendara sepeda motor Honda AD
4396 HB yang bernama Trimo Darsosuwito meninggal dunia.
Proses pembuktian kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain
di Pengadilan Negeri Surakarta adalah menggunakan alat-alat bukti yang sah
menurut Undang-Undang. Dari kedua kasus diatas dengan masing-masing
terdakwa Budi Wijanarko dan terdakwa Hesti Purnamasari, pelaksanaan
pembuktiannya adalah sama yaitu menggunakan alat bukti yang sah antara lain
alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa.
Dalam kasus yang pertama dengan terdakwa Budi Wijanarko, proses
pembuktiannya diawali dengan menghadirkan alat bukti keterangan saksi.
Dalam perkara pidana alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti utama,
sehingga agar keterangan saksi memiliki kekuatan pembuktian, maka saksi –
saksi yang dihadirkan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti adalah yang saksi lihat
sendiri, saksi dengar sendiri, saksi alami sendiri serta menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang Pengadilan.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri sangat tidak berguna. (M
Yahya Harahap, 2000:286-289)
Saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan untuk dimintai keterangannya
sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Budi
Wijanarko dikaitkan dengan ketentuan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
1. Saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan untuk dimintai
keterangannya, sebelum memberikan keterangannya para saksi tersebut
masing-masing telah diambil sumpah/janji menurut agamanya
2. Keterangan saksi yang diberikan oleh masing-masing saksi adalah
merupakan keterangan yang berasal dari apa yang saksi lihat sendiri, yang
saksi dengar sendiri serta saksi-saksi tersebut menyebutkan alasan dari
pengetahuannya tersebut.
3. Para saksi yang dimintai keterangannya sehubungan dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa Budi Wijanarko, masing-masing
memberikan keterangannya disidang pengadilan.
4. Dalam proses pembuktian dipersidangan terhadap terdakwa Budi
Wijanarko telah dihadirkan 4 (empat) orang saksi yaitu: saksi Sri
Budiyono, saksi H Said Widodo. Saksi Marimin, dan Saksi Sumadi.
5. Dari keempat saksi yang dihadirkan dipersidangan untuk dimintai
keterangannya, keterangan yang diberikan para saksi tidak berdiri sendiri
atau saling bersesuaian.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa saksi-saksi yang dihadirkan
dalam persidangan sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa Budi Wijanarko telah memenuhi ketentuan-ketentuan sehingga alat
bukti keterangan saksi tersebut memiliki nilai kekuatan pembuktian.
Selanjutnya dipersidangan dihadirkan alat bukti surat yaitu berupa
Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. C Sri Gunawan
M.Kes dari Rumah Sakit Brayat Minulya Surakarta yang menyatakan bahwa
Risa Tri Wulandari telah meninggal dunia. Visum et Repertum merupakan alat
bukti surat sesuai dengan Pasal 187 huruf c yaitu
“surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya”
Alat bukti surat yang berupa Visum et Repertum ini telah memenuhi ketentuan
alat bukti surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu :
- Surat yang dibuat diatas sumpah jabatan
- atau surat yang dikuatkan dengan sumpah
Alat bukti terakhir yang dihadirkan dalam persidangan adalah
mendengarkan keterangan terdakwa, terdakwa Budi Wijanarko dihadirkan
dipersidangan untuk dimintai keterangannya mengenai uraian perbuatan yang
terdakwa lakukan atau yang terdakwa ketahui atau yang berhubungan dengan
apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.
Sesuai dengan Pasal 189 ayat 1 KUHAP yang berbunyi:
“ Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”
Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat adanya tiga alat bukti yang
dihadirkan dipersidangan yaitu yang pertama adalah alat bukti keterangan saksi,
alat bukti yang kedua adalah alat bukti surat yang berupa Visum et Repertum
dan alat bukti yang ketiga adalah keterangan terdakwa. Dengan telah memenuhi
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ternyata ada persesuaian
diantara alat bukti tersebut, menjadi dasar bagi hakim untuk menyatakan
terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana
kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain yaitu melanggar dan diancam
dengan Pasal 359 KUHP.
Dalam kasus yang kedua dengan terdakwa Hesti Purnamasari
pelaksanaan pembuktian yang dilakukan sama dengan kasus yang pertama,
yaitu diawali dengan mendengarkan keterangan saksi, saksi-saksi yang
dihadirkan dalam persidangan untuk dimintai keterangannya sehubungan
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Hesti Purnamasari juga
telah memenuhi ketentuan-ketentuan saksi yang memiliki kekuatan pembuktian
seperti yang diuraikan dalam kasus yang pertama yaitu sebagai berikut:
1. Saksi-saksi yang dimintai keterangannya sehubungan dengan tindak
pidana yang dilakukan Hesti Purnamasari sebelum memberikan
keterangannya telah mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
2. Keterangan yang diberikan oleh masing-masing saksi tersebut merupakan
keterangan dari apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan
menyebut alasan dari pengetahuannya.
3. Saksi-saksi yang dimintai keterangannya, masing-masing memberilan
keterangannya didepan sidang.
4. Para saksi yang dihadirkan dipersidangan untuk dimintai keterangannya
ada 4 (empat) orang saksi yaitu saksi Devi Ratnasari, saksi Vicky Seno
Budiyono, saksi Yoscika Nilasari dan saksi Sutarto.
5. Keterangan saksi yang dihadirkan persidangan saling bersesuaian satu
sama lain
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa saksi yang dihadirkan
dipersidangan telah memenuhi ketentuan-ketentuan syarat saksi yang memiliki
kekuatan pembuktian. Selanjutnya alat bukti yang dihadirkan dipersidangan
adalah alat bukti surat yang berupa Visum et Repertum No. 03/RS/K-RM-
KM/X/05 atas nama Trimo Darsosuwito tertanggal 10 Oktober 2005 yang
dibuat oleh dr. Untung Alifianto Sp.Bs dokter pada Rumah Sakit Kustati dan
alat bukti surat ini juga telah memenuhi ketentuan-ketentuan alat bukti surat
yang bernilai sebagai alat bukti. Alat bukti yang ketiga adalah keterangan
terdakwa, terdakwa memberikan keterangan mengenai perbuatan yang
terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan
dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang
diperiksa, yang disampaikan terdakwa dipersidangan. Sehingga ketentuan
keterangan terdakwa sebagai alat bukti juga telah terpenuhi.
Proses pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya
orang lain dengan terdakwa Hesti Purnamasari telah dihadirkan tiga alat bukti
dengan demikian telah memenuhi syarat minimum pembuktian yaitu sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah yang dihadirkan dalam
persidangan adalah alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat yang berupa
Visum et Repertum dan alat bukti keterangan terdakwa.
Dengan telah memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah dan ternyata ada persesuaian diantara alat bukti tersebut, menjadi dasar bagi
hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain yaitu
melanggar dan diancam Pasal 359 KUHP.
B. Faktor kesulitan dalam pembuktian terhadap kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain
Pelaksanaan pembuktian tindak pidana kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain dipersidangan dilakukan untuk membuktikan tindak pidana
kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain yang didakwakan kepada
terdakwa. Dalam kasus yang pertama pembuktian dilakukan untuk
membuktikan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain
yang didakwakan kepada terdakwa Budi Wijanarko. Terdakwa Budi Wijanarko
didakwa melakukan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan Risa Tri
Wulandari meninggal dunia, terdakwa mengemudikan kendaraan bermotor
angkuta dari Giriroto, Ngemplak, Boyolali menuju ke Klewer Surakarta, ketika
sampai di Jl Letjen Suprapto, situasi jalan ramai, arus lalu lintas dua arah dan
terdakwa berusaha mendahului beberapa kendaraan yang berada didepannya
hingga badan mobil melebihi ruas jalan, dengan kecepatan 60 km/jam dan pada
jarak +/- 10 Meter, didepan mobil terdakwa ada sepeda motor Honda AD 2981
GP dan sepeda motor Qingqi AD 6303 NA, karena kurang menjaga jarak
akhirnya terdakwa menabrak sepeda motor Qingqi AD 6303 NA yang
dikendarai oleh Risa Tri Wulandari.
Dalam kasus yang kedua, pembuktian dilakukan untuk membuktikan
tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain yang
didakwakan kepada terdakwa Hesti Purnamasari, terdakwa Hesti purnamasari
didakwa telah melanggar Pasal 359 KUHP, yang menyebabkan matinya Trimo
Darsosuwito. Terdakwa Hesti Purnamasari mengemudikan sepeda motor
Yamaha B 6538 NX memboncengkan dua orang kawannya bernama Devi
Ratnasari dan Dwi Lestari dengan kecepatan 70 km/jam melewati jalan RE
Martadinata Gandekan, Jebres, Surakarta dari arah timur ke barat, jalan
beraspal halus, lurus, agak menurun, cuaca cerah, malam hari arus lalu lintas
sedang, dua arah, setelah melewati tanggul jalan menurun, saat itu terdakwa
mengemudikan sepeda motornya sambil bercanda dengan kawannya yang
diboncengkan, terdakwa tidak memperhatikan lalu lintas didepannya,
pandangan terdakwa ke arah kiri sehingga ketika didepan rumah nomor 245 ada
seorang laki-laki bernama Trimo Darsosuwito mengendarai sepeda motor
Honda AD 4396 HB menyeberang jalan dari arah selatan ke utara sudah sampai
didekat ruas jalan, terdakwa tidak mengerem sepeda motornya atau tidak
berusaha menghindari sepeda motor Trimo Darsosuwito sehingga sepeda motor
terdakwa menabrak samping kanan sepeda motor yang dikemudikan Trimo
Darsosuwito.
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pembuktian
dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang dan adanya keyakinan
hakim. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus didukung oleh alat-alat
bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, yaitu:
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa.
Pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya
orang lain yang diancam Pasal 359 KUHP, bukanlah perkara yang mudah,
terdapat hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian yang
dapat menghambat jalannya proses persidangan. Menurut Bapak J.V
Rahantoknam, S.H selaku hakim di Pengadilan Negeri Surakarta Hambatan
yang biasa muncul dalam pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain adalah:
- Keterangan yang diberikan oleh para saksi, antara saksi yang satu dengan
saksi yang lain tidak saling bersesuaian.
- Keterangan saksi yang diberikan dipersidangan dengan keterangan
terdakwa tidak bersesuaian.
- Menentukan siapa yang benar-benar bersalah atau lalai dalam tindak
pidana, misalnya menentukan siapa yang paling bersalah dalam hal
kecelakaan antara motor dengan motor, motor dengan mobil dan dengan
pejalan kaki atau orang yang menyeberang.
Saksi dalam perkara pidana adalah alat bukti yang utama sehingga
keterangan yang diberikan oleh saksi sangat memiliki pengaruh yang besar
apabila keterangan yang diberikan oleh saksi – saksi saling tidak bersesuaian
maka tentu saja hal ini akan menghambat proses pembuktian. Keterangan saksi
yang tidak bersesuain dapat terjadi dikarenakan dalam persidangan dihadirkan
saksi dari terdakwa yang tentu saja akan menguntungkan terdakwa sebaliknya
saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum atau dari pihak korban akan
memberatkan terdakwa. Apabila keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi
dan keterangan yang diberikan oleh terdakwa tidak bersesuaian maka hal ini
juga akan memberikan kesulitan bagi hakim untuk memutus perkara. Selain itu
kesulitan juga dapat muncul ketika menentukan siapa yang lalai dalam suatu
tindak pidana karena dalam perkara tindak pidana kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain kelalaian tidak selalu ada pada terdakwanya Hal-hal seperti
inilah yang dapat menghambat proses pembuktian dipersidangan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya, baik
berdasarkan teori maupun berdasarkan data yang penulis dapatkan di
lapangan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan matinya
orang lain di Pengadilan Negeri Surakarta berpegang pada Pasal 184 ayat
1 KUHAP yaitu dengan menggunakan alat-alat bukti menurut Undang-
Undang. Pelaksanaan Pembuktian dimulai dengan menghadirkan saksi-
saksi untuk dimintai keterangannya, keterangan saksi merupakan alat bukti
utama dalam perkara pidana.
Selanjutnya dihadirkan alat bukti surat yang berupa Visum et repertum
dipersidangan. Dan alat bukti yang ketiga adalah keterangan terdakwa.
Alat-alat bukti yang digunakan dalam proses pembuktian terhadap
kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain di Pengadilan Negeri
Surakarta adalah menggunakan alat bukti Keterangan saksi, Alat bukti
Surat yang berupa Visum et Repertum dan Keterangan terdakwa. Setelah
dilakukan pembuktian dengan alat-alat bukti tersebut kemudian dicari
persesuaian antara alat-alat bukti yang dihadirkan tersebut. Pemeriksaan
terhadap alat bukti yang sah ini menjadi dasar bagi hakim untuk dapat
menyatakan terdakwa secara sah dan menyakinkan melakukan tindak
pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain
2. Faktor kesulitan dalam pembuktian terhadap kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain.
Hambatan yang dapat timbul dalam proses pembuktian terhadap kealpaan
yang menyebabkan matinya orang lain adalah :
- Apabila keterangan yang diberikan saksi – saksi dipersidangan antara
yang satu dengan yang lain tidak bersesuaian.
- Apabila keterangan yang diberikan saksi-saksi dipersidangan dengan
keterangan yang diberikan oleh terdakwa tidak bersesuaian.
- Menentukan siapa yang benar-benar bersalah atau lalai dalam tindak
pidana
Alat-alat bukti merupakan hal yang sangat penting dalam proses
pembuktian, sehingga apabila dari alat-alat bukti yang dihadirkan
dipersidangan tidak bersesuaian satu sama lain hal ini dapat menghambat
jalannya persidangan.
B. Saran-saran
1. Sistem peradilan di Indonesia menggunakan sistem pembuktian secara
negatif sehingga selain berdasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan
dipersidangan masih diperlukan keyakinan hakim. Dalam praktek
seringkali hakim hanya berpedoman pada alat bukti menurut undang-
undang dalam menjatuhkan putusan, sehingga alangkah lebih baiknya
disamping menilai berdasarkan alat bukti yang sah juga dipaparkan suatu
keyakinan hakim yang digunakan sebagai dasar bahwa pembuktian
berdasarkan alat bukti yang sah tersebut adalah benar sehingga dalam
menjatuhkan putusan dapat dilakukan dengan seadil-adilnya
2. Hambatan yang sering muncul dalam pembuktian adalah tidak adanya
kesesuaian antara keterangan saksi dengan saksi dan keterangan terdakwa
dengan keterangan saksi serta menentukan siapa yang benar-benar lalai
dalam suatu tindak pidana sehingga hakim harus benar-benar jeli dalam
dalam menilai alat-alat bukti yang dihadirkan.
3. Tingginya tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain
tersebut, hendaknya dapat dilakukan sosialisasi tentang bahaya yang
timbul dari ketidak hati-hatian sehingga dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk berhati-hati atau mematuhi peraturan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Chazawi.2001.Pelajaran Hukum Pidana.Jakarta:Persada
Andi Hamzah.1996.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta:Sinar Grafika
Bambang Poernomo.1983.Asas-asas Hukum Pidana. Yogjakarta:Ghalia
Indonesia
________________.1986.Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana
.Yogyakarta:Liberty
Burhan Ashshofa.2004.Metode Penelitian Hukum.Jakarta:Rineka Cipta
Darwan Prinst.1998.Hukum Acara Pidana dalam Praktik.Jakarta:Djambatan
H.B Sutopo.2002.Metode Penelitian Kualitatif.Surakarta:UNS Press
Hilman Hadikusuma.1995.Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum.Bandung:Mandar Maju
J. E. Sahetapy.1995.Hukum Pidana.Jakarta:Konsorium Ilmu Hukum Departemen
P dan K
Laden Marpaung.1992.Proses Penanganan Perkara Pidana.Jakarta:Sinar Grafika
Martiman Prodjohamidjojo.1997.Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia.Jakarta:Pradnya Paramita
Moeljatno.1982.Azas-azas Hukum Pidana.Jakarta:Bina Aksara
M. Yahya Harahap.2000.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP.Jakarta:Sinar Grafika
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga .1987.Perkembangan Kejahatan dan
Permasalahannya.Jakarta:Pradnya Paramita
P. A. F. Lamintang.1997.Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.Bandung:Citra
Aditya Bakti
Roeslan Saleh.1987.Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana.Jakarta:Aksara
Baru
Soerjono Soekanto.1986.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta:UI-Press
Sudikno Mertokusumo.2003. Mengenal Hukum. Yogyakarta:Liberty
Wirjono Prodjodikoro.1974.Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.Jakarta-
Bandung:Refika
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.2000.Departemen Kehakiman
Republik Indonesia
Moeljatno.1996.Kitap Undang-undang Hukum Pidana.Jakarta:Bumi Aksara
Top Related