STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT KI
HADJAR DEWANTARA DAN HAMKA SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Disusun Oleh:
Fatma Samal
NIM: 09470081
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
vii
MOTTO
قا إن من خياركم أحسنكم أخل
Artinya: Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian
ialah yang terbaik akhlak budi pekertinya. ( HR.
Bukhari & Muslim).1
1 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, (Al-Lu’lu’ wal
Marjan), (Surabaya: PT. Bina Ilmu),hlm.827.
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis Persembahkan Kepada:
Almamater Tercinta Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
ix
KATA PENGANTAR
انرحيى بسى الله انر ح
دك انههى ح ي د لله رة انعبن د انح د وصه وسهى عه سيدب يح ح ب أ ب أيرت ك
د. أيب بعد إن يىو نقبء انؤحد انص تبعهى بإحسب وعه انه وأصحببه وي
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadiran Allah SWT. yang
telah menganugerahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga sampai
saat ini penulis masih diberi kesempatan untuk senantiasa belajar dan menimba
ilmu pengetahuan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
jujungan kita yang paling mulia yaitu nabi Muhammad SAW. yang telah
membimbing umatnya dari masa kegelapan menuju masa yang terang-benderang.
Skripsi ini merupakan sebuah kajian singkat mengenai Studi Komparasi
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka Serta
Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini tentu terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Selain itu
skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, dorongan dan do‟a dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati pada kesempatan
kali ini penyusun menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Dr. Tasman, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah memberikan pengarahan yang berguna
selama saya menjadi mahasiswa.
2. Dr. Subiyantoro, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Kependidikan Islam yang telah
memberi motivasi dan arahan selama saya menempuh studi di jurusan ini.
3. Zainal Arifin, S.Pd.I. M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Kependidikan Islam
yang telah banyak memberikan pengalaman berharga kepada saya selama
menempuh pendidikan.
4. Drs. M Jamroh, M.Si., selaku Penasehat Akademik yang sejak awal kuliah
telah banyak memberikan bimbingan serta motivasi hingga saat ini.
5. Drs. Edy Yusuf Nur SS, M.Si, MM, selaku Pembimbing Skripsi yang telah
mencurahkan dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan, penyusunan dan penyelesaian skripi ini.
6. Dr. Ahmad Arifi, M.Ag., selaku penguji I yang telah memberikan masukan
maupun arahan dalam perbaikan skripsi.
7. Dra. Hj. Juwariyah,M.Ag., selaku penguji II yang telah memberikan arahan
maupun masukan terhadap skripsi saya.
8. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang telah banyak
memberikan pengetahuan, pengalaman berharga selama ini.
x
9. Bapak dan Ibu penulis (Abdullah Samal dan Sitti Hajar Payapo ) serta kedua
kakak dan adikku tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan do‟a.
Penyusun menyadari, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Saran serta
kritik sangat penyusun harapkan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya ini
dapat memberikan manfaat bagi segenap pihak, para pencinta ilmu dan pemerhati
pendidikan.
Yogyakarta, 8 Maret 2016
Penulis,
Fatma Samal
NIM. 09470081
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI Nomor 158/ 1987 dan No. 05436/U/1987.
Tertanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alîf tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
ba' b be ة
ta' t te ث
sa‟ ś es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kha kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra' r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ta‟ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
za‟ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ koma terbalik di atas„ ع
- gain g غ
- fa‟ f ف
- qaf q ق
- kaf k ك
- lam l ل
- mim m و
nun n -
- wawu w و
- ha h هـ
hamzah „ apostrof ء
ya‟ y -
xii
B. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis rangkap
ditulis muta„addidah يتعقدي
ditulis „iddah عدة
C. Ta‟ Marb t ah di Akhir Kata
1. Bila dimatikan ditulis h
ditulis Hikmah حكت
ditulis „illah عهت
(ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap
dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya).
2. Bila diikuti dengan kata sandang „al‟ serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis h.
‟ditulis karamah al-auliya كرايتالأونيبء
3. Bila ta‟ marb tah hidup atau dengan harakat, fath ah, kasrah dan ḍammah
ditulis t atau h.
ditulis zakât al-fiţri زكبةانفطر
D. Vokal pendek
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.
E. Vokal Panjang
a panjang ditulis dengan â, I panjang ditulis dengan î, dan u panjang ditulis û,
masing-masing dengan tanda hubung ( ) di atasnya.
F. Vokal rangkap
1 fathah dan ya‟ mati ditulis Ai
ditulis Bainakum بيكى
2 fathah dan wawu mati ditulis Au
ditulis Qaul قىل
G. Vokal-vokal yang berurutan dalam satu kata, dipisahkan dengan apostrof
(„)
ditulis a‟antum أأتى
ditulis u‟iddat أعدث
ditulis la‟in syakartum نئشكرتى
xiii
H. Kata sandang Alif dan Lam
1. Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf “l”.
ditulis Al-Qur‟an انقرآ
ditulis Al-Qiyas انقيبس
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el)
nya.
‟ditulis as-sama انسآء
ditulis Asy-syams انشس
I. Huruf Besar
Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD
J. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Dapat ditulis menurut penulisannya dan ditulis menurut bunyi pengucapannya
dalam rangkaian tersebut.
ditulis zaw al-fur d ذوي انفروض
انستأ هم ditulis ahl as-sunnah
Pengecualian
Sistem transliterasi ini tidak berlaku pada:
a. Kosa kata Arab yang lazim dalam Bahasa Indonesia dan terdapat dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, misalnya: Al-Qur‟an, Hadits, Mazhab,
Syariat, dan lafadz.
b. Judul buku yang menggunakan kata Arab, namun sudah dilatinkan oleh
penerbit, seperti judul buku Al-Hijab
c. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab, tapi berasal dari negara
yang menggunakan huruf latin, misalnya Quraish Shihab, Ahmad Syukri
Soleh.
d. Nama penerbit di Indonesia yang menggunakan kata Arab, misalnya toko
Hidayah, Mizan.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ......................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN BERJILBAB ..................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ............................................ iv
HALAMAN SURAT PERBAIKAN SKRIPSI ................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... vi
HALAMAN MOTTO .......................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
TRANSLITERASI ................................................................................ xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiv
ABSTRAK ............................................................................................. xvii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ . 9
C. Tujuan dan Kegunaa Penelitian ....................................... 10
D. Kajian Pustaka ................................................................... 11
E. Landasan Teori ........................................ .......................... 15
F. Metode Penelitian ........................................... ................... 30
G. Sistematika Pembahasan ................................................... 34
BAB II: BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA DAN HAMKA
A. Ki Hadjar Dewantara
1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara ........................... 36
2. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara ............................... 43
B. HAMKA
1. Riwayat Hidup Hamka .................................................. 44
2. Karya-Karya Hamka ..................................................... 48
xv
BAB III: PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka
1. Ki Hadjar Dewantara
a. Hakikat Pendidikan Budi Pekerti ........................... 52
b. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti ............................ 54
c. Materi Pendidikan Budi Pekerti ............................ 55
d. Metode Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti..... 60
e. Pendidik dan Peserta didik ..................................... 69
f. Pusat Pendidikan Budi Pekerti ............................... 74
g. Matrik Konsep Pendidikan Budi Pekerti ............... 75
2. Hamka
a. Hakikat Pendidikan Akhlak ...................................... 82
b. Tujuan Pendidikan Akhlak ....................................... 85
c. Materi Pendidikan Akhlak ........................................ 87
d. Metode Pengajaran Pendidikan Akhlak ................... 95
e. Pusat Pendidikan Akhlak .......................................... 97
f. Matrik Konsep Pendidikan Akhlak .......................... 108
B. Karakteristik Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka
1. Persaam Konsep Pendidikan akhlak menurut
Ki Hadjar Dewantara dan Hamka ................................. 115
2. Perbedaan Konsep Pendidikan Akhlak Menurut
Ki Hadjar Dewantara dan Hamka ................................. 116
C. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka Bagi Pendidikan di
Sekolah
1. Implikasi Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut
Ki Hadjar Dewantara Bagi Pendidikan di Sekolah ....... 119
2. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut
Hamka Bagi Pendidikan di Sekolah .............................. 119
xvi
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 123
B. Saran-Saran...................................................................... 130
C. Kata Penutup ................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 133
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
ABSTRAK
Fatma Samal. Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.
Skripsi. Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016.
Latar belakang dari penelitian ini adalah bahwa Ki Hadjar Dewantara
yang dikenal sebagai bapak pendidikan nasional beranggapan bahwa, pada masa
kolonial Belanda sistem pendidikan yang digunakan oleh pemerintah Belanda
terhadap rakyat jajahan, benar-benar sangat menyedihkan, pasalnya gaya
pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh orang-orang Barat itu cenderung
bersifat memberi perintah, memberi hukuman, dan menuntut anak didik untuk
menjalankan semua aturan-aturan yang dibuat oleh pihak sekolah dan pemerintah
secara tertib, sistem pendidikan seperti itu sama saja dengan sistem pemaksaan
dan pemerkosaan, terhadap kehidupan anak-anak secara lahir dan batin. Hal itulah
yang membuat anak-anak banyak yang rusak budi pekertinya, karena hidup
dibawah tekanan dan paksaan. Melihat hal tersebut, dimana sistem pendidikan
kolonial yang berdasarkan pada budaya barat, jelas-jelas tidak sesuai dengan
kodrat alam anak-anak Indonesia. Sedangkan Hamka yang merupakan tokoh
agama, dan bukan berasal dari tokoh pendidikan, namun pemikirannya telah
banyak memebrikan kontribusi bagi pendidikan sekarang ini beranggapan bahwa
timbulnya penyakit jiwa, hati atau batin itu berasal ketidakmampuan seseorang
dalam memerangi hawa nafsu tanpa mempergunakan akal sehatnya.
Adapun penelitian yang penulis lakukan ini termasuk dalam penelitian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan deskriptif
analitik. Agar hasil penelitian berjalan dengan baik, maka dalam pengumpulan
data, penulis menggunakan metode dokumentasi. Sedangkan untuk
menganalisisnya, penulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis).
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dapat disampaikan disini
bahwa konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka yaitu
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan akhlak merupakan bagian dari
pendidikan budi pekerti yaitu menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir
dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang
umum. Tujuan pendidikan budi pekerti yaitu agar karakter anak dapat terbentuk
dengan baik. sementara metode pendidikan yang dikembangakn oleh Ki Hadjar
Dewantara ialah dengan menggunakan sistem among, serta ngerti, ngrasa dan
nglakoni. Sumber budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara
berasal dari asas kemerdekaan, yang berlandaskan pada kebudayaan lokal
(kultural nasional). Sementara pusat pendidikan yang dibangun Ki Hadjar
Dewantara adalah dengan membangun Tamansiswa. Sedangkan Menurut Hamka
pendidikan akhlak merupakan sesuatu yang tertanam dalam jiwa manusia, atau
suatu kondisi jiwa seseorang yang dapat memunculkan suatu tingkah laku baik
atau buruk sesuai dengan kondisi jiwa tersebut, ia menggunakan istilah akhlak
dengan budi. Apabila sesuatu itu dapat menimbulkan akhlak yang mulia menurut
xviii
akal dan syara, itulah yang di namai dengan budi pekerti yang mulia, tetapi
apabila tumbuh akhlak yang tercela menurut akal dan syara, dinamai pula budi
pekerti yang jahat, adapun metode pendidikan akhlak yang digunakan oleh
Hamka yaitu melalui metode, alamiah, mujahadah (muraqabah), serta metode
keteladanan, sementara materi pendidikan akhlak menurut Hamka, meliputi
akhlak luar: lingkungan, akhlak dalam: akhlak kepada Allah (Khaliq) dan akhlak
kepada sesama (Makhluk). Sumber pendidikan akhlak menurut Hamka selain
berasal dari Al-Qur‟an dan Hadist, juga meliputi Iffah, Syaja‟ah, Hikmah, dan
ad’l. Sementara pusat kajian pendidikan akhlak yang dikembangkan oleh Hamka
ialah dengan membangun Madrasah aliyah.
Karakteristik konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara
dan Hamka yaitu mereka sama-sama menekankan pendidikan akhlak pada budi
pekerti atau jiwa. Sementara perbedaanya yaitu Ki Hadjar Dewantara merupakan
Bapak pendidikan nasional, dimana sumber budi pekerti berdasarkan budaya
lokal, adapun tujuan pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara
adalah untuk mewujudkan individualitet (Sifat manusia), yang mana apabila
individualitet itu terdidik menurut kodratnya, sehingga jiwa dan raga itu akan
merdeka. Sementara materi pendidikan akhlak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak mulai dari TK sampai pada masa dewasa, kemudia metode
pendidikan yang digunakannya adalah sistem among, serta, ngerti, ngrasa dan
nglakoni. Sedangkan Hamka merupakan tokoh agama yang mengakat akhlak
dalam lingkup agama yang bersumber selain dari Al-Qur‟an dan juga Sunnah juga
meliputi, iffah, syaja’ah, hikmah dan ad’l. Sementara menurut Hamka tujuan
akhir sebuah pendidikan akhlak adalah apabila manusia telah dapat mencapai
derajat I’tidal. Sementara materi pendidikan akhlaknya yaitu meliputi, aklhlak
luar dan akhlak dalam, berupa, lingkungan, akhlak kepada Allah dan Akhlak
kepada sesama manusia . sementara metode pendidikan akhlak yang
dikembangkan oleh Hamka ialah, metode alamiah, Mujahadah, Muraqabah, dan
metode teladan, adapun pusat pendidikan yang dibangun oleh Hamka ialah berupa
Madrasah.
Implikasi konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Hamka bagi pendidikan di sekolah yaitu, menurut Ki Hadjar Dewantara:
Terwudnya konsep kecerdasan emosional dan spritual yang harus dimiliki oleh
para pelajar. Seorang guru akan menghargai dan mengoreksi setiap masukan yang
disampaikan oleh setiap peserta didik dan seorang guru akan selalu menjaga
kebebasan dan kreatifitas peserta didik. Guru akan selalu menjembatani keraifitas
siswa dan menjadi sentral dari seluruh aktifitas pendidikan. Dalam pembelajaran
seorang guru akan selalu menyampaikan materi yang sesuai dengan kebutuhan
siswa. Dengan metode, ngerti, ngrasa, dan ngalakoni diharapkan seorang guru
dapat memberikan pengertian mengenai penanaman nilai-nilai budi pekerti yang
luhur agar peserta didik dapat mengembangkan nilai-nilai budi pekerti tersebut
selain itu melalui sistem among diharapkan seorang guru dapat menanamkan
nilai-nilai kasih sayang bagi peserta didik. Sedangakan Implikasi konsep
pendidikan akhlak menurut Hamka bagi pendidikan di sekolah yaitu Terciptanya
disiplin tubuh dan jiwa pada peserta didik yang selalu bersandar pada Al-Qur‟an
xix
dan Sunah. Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan bagi
terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan
dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-saadat), Terciptanya kondisi
jiwa yang selalu mengajak kepada kebaikan dan selalu menghindari keburukan,
Terwujudnya pemikiran peserta didik yang lebih rasional dalam menjalani
kehidupan yang lebih adil dan bijaksana dengan mengambil jalan tengah dalam
setiap menyelesaikan persoalan. Tertanamnya nilai akhlaqul kharimah pada diri
peserta didik.
Kata Kunci: Pendidikan Akhlak, Ki Hadjar Dewantara, Hamka, Karakteristik
Implikasi
xx
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran I : Surat Penunjukan Pembimbing
2. Lampiran II : Bukti Persetujuan Perubahan Judul
3. Lampiran III : Bukti Seminar Proposal
4. Lampiran IV : Bukti Acara Seminar
5. Lampiran V : Surat Ijin Penelitian
6. Lampiran VI : Kartu Bimbingan
7. Lampiran VII : Surat Keterangan Bebas Nilai C-
8. Lampiran VIII : Sertifikat PPL I
9. Lampiran IX : Sertifikat PPL-KKN Integratif
10. Lampiran X : Sertifikat ICT
11. Lampiran XI : Sertifikat IKLA
12. Lampiran XII : Seritifikat TOEC
13. Lampiran XIII : Sertifikat Sospem
14. Lampiran XIV : Sertifikat BTA
15. Lampiran XV : Foto Copy Ijazah MA
16. Lampiran XVI : Foto copy Sertifikat OPAK
17. Lampiran VII : Curriculum Vitae
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum pendidikan memegang peranan penting bagi
pembangunan suatu bangsa, serta dapat menjadikan individu maupun
kelompok masyarakat sebagai warga negara (member of the-state) yang
baik, sadar akan hak dan kewajibannya serta dapat mempersiapkan mereka
dalam memasuki dunia tenaga kerja.1
Disisi lain Undang - Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menjelaskan bahwa: “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”2 Selanjutnya dalam Bab II pasal 3
disebutkan bahwa: Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.3
1 Arif Rohman, Memahami Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: CV Aswaja
Pressindo,2013),hlm.4. 2 Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Bandung: Fokus Media, 2010), hlm. 38.
3 Ibid., hlm. 4.
2
Sementara kata akhlak berasal dari kata akhlāq yang merupakan
bentuk jamak dari khulūq yang berarti budi pekerti, adat kebiasaan (al-
adat), perangai, tabiat (al-sajiyyāt), watak (al-thāb), adat atau sopan santun
(al-muru‟at) dan agama (ad-din)..4 Jadi, pendidikan akhlak adalah
keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan oleh anak didik
dan dibiasakan sejak kecil hingga dewasa untuk menyongsong kehidupan.5
Adapun dasar permasalahan yang penulis angkat sebagai kajian studi
komparasi konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Hamka ini ialah:
Pertama, karena Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh pendidikan
nasional, sekaligus dikenal sebagai tokoh bumi putra, yang memiliki
dekadensi tinggi terhadap nasib bangsa Indonesia dengan membawa spirit
kerakyatan.6 Kedua, yaitu dilihat dari latar belakang pendidikan yang
dijalankan oleh Ki Hajdar Dewantara ini, dipengaruhi oleh metode Maria
Moentesssori dan Rhabinranath Tagore, sebab kedua tokoh tersebut
dianggap sebagai pembongkar dunia pendidikan lama, serta pembangunan
aliran baru yaitu suatu aliran yang sesuai dengan Ki Hadjar Dewantara yang
diambil dari adat pendidikan yang masih hidup dalam masyarakat
Indonesia, khusunya pada masyarakat jawa, dimana Ki Hadjar Dewantara
terlahir dari keluarga kraton yang begitu kental dengan budaya jawanya,
4 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar,2004),hlm.31. 5 Abdullah Nasikh Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Pemeliharaan Jiwa,
(Bandung: Rosda Karya,1990), hlm.169.
6 Haidar Musyafa , Sang Guru, Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara, Kehidupan,
Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (18889-1959), (Jakarta: Imania,2015),hlm.27.
3
serta masih nampak bekasnya yaitu aliran yang dipakai oleh Ki Hadjar
Dewantara yang disebut dengan kultural nasional (kebudayaan nasional).7
Adapun hakikat pendidikan yang dimaksud oleh Maria Moentessori
dan Rhabinranath Tagore, yaitu bahwasanya pendidikan dan pengajaran di
Eropa sangat menyeburkan intelektual dan sangat mematikan perasaan serta
mengembalikan jiwa manusia dari derajat budi, menjadi mesin belaka. Dari
hal tersebut, maka Maria Moentessori dan Rhabinranath Tagore,
menjadikan hakikat dari pada metode pendidikan yaitu untuk melepaskan
ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi manusia serta menurunkan
derajat kemanusiaan, agar dapat hidup merdeka lahir dan batin.8
Hal diatas sejalan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara. Dimana
pada masa pemerintahan Belanda, sistem pendidikan yang digunakan oleh
pemerintah Belanda terhadap rakyat jajahan, benar-benar sangat
menyedihkan, pasalnya gaya pendidikan dan pengajaran yang digunakan
oleh orang-orang Barat itu cenderung bersifat memberi perintah, memberi
hukuman, dan menuntut anak didik untuk menjalankan semua aturan-aturan
yang dibuat oleh pihak sekolah dan pemerintah secara tertib.9
Tentu saja sistem pendidikan seperti itu, sama saja dengan sistem
pemaksaan dan pemerkosaan, terhadap kehidupan anak-anak secara lahir
dan batin. Hal itulah yang membuat anak-anak banyak yang rusak budi
7 Abdurachman Surdjomiharjo, Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa Dalam Sejarah
Indonesia Moderen,(Jakarta: Sinar Harapan 1986),hlm.74 8 Ibid.,hlm.8.
9 Haidar Musyafa , Sang Guru, Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara, Kehidupan,
Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (18889-1959), (Jakarta: Imania,2015),hlm.282.
4
pekertinya, karena hidup dibawah tekanan dan paksaan, Membuat mereka
tidak dapat mengekspresikan dirinya sebagai anak-anak, serta membuat
mereka tidak dapat belajar dengan tenang. Melihat hal tersebut, dimana
sistem pendidikan kolonial yang berdasarkan pada budaya barat, jelas-jelas
tidak sesuai dengan kodrat alam anak-anak Indonesia, yang cenderung
memaksa dan memberikan ancaman hukuman harus diganti dengan jalan
memberikan kemerdekaan dan kebebasan berpikir yang seluas-luasnya
kepada peserta didik, dengan tetap memperhatikan damainya hidup
bermasyarakat.
Selanjutnya menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan merupakan
upaya untuk menumbuhkan kekuatan lahir dan batin , daya pikir dan
tumbuh kembang anak. Sehingga kedepannya anak memiliki pribadi yang
memiliki karakter yang dapat mencapai kesempurnaan hidup yang selaras
dengan zamannya. 10
Menyadari hal tersebut, maka Ki Hadjar Dewantara
berusaha menjadikan sekolah Tamansiswa sebagai wahana kebebasan bagi
anak-anak. Tujuannya agar anak-anak yang belajar di sekolah Tamansiswa
mendapatkan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan
kemampuannya masing-masing siswa.
Selain mengembangkan daya pikir dan nalar, di Sekolah Tamansiswa,
Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pendidikan budi pekerti. Dengan
10
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Bagian Pertama, Cetakan I, (Yogyakarta:
MLPTS,1997), hal. 14.
5
tujuan agar karakter anak dapat terbentuk dengan baik.11
Menurut Ki Hadjar
Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional, bahwa pengajaran budi
pekerti tidak lain adalah:
“Menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin, dari
sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang
umum. Pengajaran ini berlangsung sejak anak-anak hingga dewasa
dengan memperhatikan tingkatan perkembangan jiwanya.12
Berdasarkan permasalahan diatas, maka Ki Hadjar Dewantara sebagai
Bapak pendidikan nasional menjadikan pendidikan budi pekerti untuk
diterapkan dalam lembaga pendidikan . Jadi, pendidikan yang
dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara termasuk dalam pendidikan
Nasional yaitu pendidikan berdasarkan garis hidup bangsa Indonesia agar
setaraf dengan bangsa lain, untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh
dunia.13
Sementara yang melatarbelakangi konsep pendidikan akhlak menurut
Hamka ialah: Pertama, Hamka merupakan tokoh agama, dimana ia terlahir
dari kelurga muslim yang semenjak kecil ia memperoleh pendidikan agama
langsung dari ayahnya, yang merupakan ulama Islam terkenal bernama
Haji Abdul Karim Amarullah beliau dikenal sebagai pambawa faham-faham
pembaharuan Islam di Minangkabau Selain itu Hamka juga belajar agama
secara otodidak.14
11
Ibid.,hlm.290. 12
Ibid.,hlm,485. 13
Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982),hlm.86. 14
Hamka, Tasawuf Moderen Cetakan Pertama, (Jakarta: PT Pustaka
Panjima,1990),hlm.9.
6
Kedua, Hamka bukanlah tokoh pendidikan, namun pemikirannya
dalam bidang agama khususnya dibidang akhlak sudah banyak memberikan
kontribusi dalam bidang pendidikan akhlak itu sendiri. Dalam bukunya,
Lembaga Budi Hamka menyatakan bahwa, Inti dari pendidikan adalah
untuk membukakan mata seseorang agar senantiasa memiliki pandangan
yang jauh dan luas”.15
Ketiga, Akhlak yang dikembangkan oleh Hamka ini, beliau di
pengaruhi oleh pemikiran para filsuf terdahulu, seperti Socrates, Plato,
Aristoteles maupun Imam Al-Gazali. Dimana menurut Hamka Akhlak
adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa manusia, atau suatu kondisi jiwa
seseorang yang dapat memunculkan suatu tingkah laku baik atau buruk
sesuai dengan kondisi jiwa tersebut, ia menggunakan istilah akhlak dengan
budi.16
Apabila sesuatu itu dapat menimbulkan akhlak yang mulia menurut
akal dan syara, itulah yang di namai dengan budi pekerti yang mulia, tetapi
apabila tumbuh akhlak yang tercela menurut akal dan syara, dinamai pula
budi pekerti yang jahat.17
Menurut Hamka, budi pekerti yang baik adalah perangai dari para
Rasul dan orang terhormat, sifat orang yang muttaqien dan hasil dari
perjuangan orang yang „abid. Sedang budi pekerti yang jahat adalah
penyakit jiwa, atau disebut dengan penyakit batin ataupun penyakit hati.
Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Oleh sebab itu
15
Hamka, Lembaga Budi, Cet. VII ( Jakarta: Pustaka Panjimas,1987), hlm. 89 16
Hamka, Falsafah Hidup (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 94 17
Hamka, Aklaqul Kharimah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990),hlm.4.
7
hendaklah diutamakan menjaga penyakit yang akan menimpa jiwa serta
akan meninggalkan kebahagiaan yang kekal.18
Dari latarbelakang permesalahan yang dikembangkan oleh Hamka
diatas, maka diperlukan pendidikan yang selaras dengan kesucian lahir dan
batin, namun penekanannya lebih spesifik pada kesempurnaan budi.
Dalam buku Dr. Mangun Budiyanto yang mengutip pendapat Muh.
Athiyah Al-Abrasy yang mengatakan Bahwa pendidikan akhlak merupakan
ruh atau jiwa dari pendidikan Islam.19
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw
bersabda:
ن هكارم الأخلاق إنوا بعثت لأتو
Artinya: “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk
menyempurnakan kemuliaan budi pekerti.” (HR. Bukhari)
Hadist tersebut menunjukan betapa tingginya kedudukan akhlak
dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, akhlak memiliki kedudukan yang
sangat penting bagi kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu
maupun sebagai makhluk sosial. Begitu pentingnya pendidikan akhlak maka
dibutuhkan keseriusan untuk ditransformasikan dan dijadikan sebagai jati
diri bagi masyarakat maupun suatu bangsa, agar keseimbangan dan
keselarasan antara pendidikan umum dan pendidikan Islam dapat
18
Ibid.,hlm.1. 19
Drs.H. Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010),
hlm. 34.
8
memperoleh hasil yang baik tanpa mengorbankan nilai-nilai akhlaqul
kharimah.
Selanjutnya pendidikan akhlak yang dimaksud oleh Hamka sebagai
tokoh Agama adalah kesempurnaan budi atau jiwa yaitu suatu proses
pendidikan yang mengutamakan kesehatan jiwa atau kemurnian jiwa,
karena dengan jiwa yang sehat maka segala tingkah laku yang baik akan
muncul dari dalam diri. Sebagaimana ungkapan Hamka yang menyatakan
“perangai yang amat utama ialah yang timbul dari keteraturan jiwa”.20
Adapun upaya yang dilakukan Hamka dalam pendidikan akhlak ia
sebut dengan upaya untuk menuju kesempurnaan jiwa. Hamka memberikan
keterangan tentang kesempurnaan jiwa terdiri atas dua yaitu Keutamaan
Otak dan Keutamaan Budi. Keutamaan Otak ialah membedakan antara jalan
bahagia dengan jalan yang hina, yakin akan kebenaran barang dan
berpegang kepadanya, tahu akan kesalahan barang yang salah dan
menjauhinya. Adapun keutamaan Budi ialah menghilangkan segala perangai
yang buruk, adat istiadat yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan
mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti dipakai. Serta biasakan
perangai terpuji, yang mulia, berbekas didalam pergaulan setiap hari dan
merasa nikmat memegang adat mulia.21
Menurut konsepsi ilmu pendidikan Islam, manusia dengan aspek-
aspek kepribadiannya yang berkembang sejak dini dapat dipengaruhi oleh
20
Ibid.,hlm. 21
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hal. 117.
9
para pendidik baik (formal, non-formal maupun informal) dengan corak dan
bentuk idealitas yang diinginkan mereka dalam batas-batas fitrahnya.22
Berdasarkan latar belakang diatas, yakni begitu pentingnya fungsi
dan kedudukan akhlak atau budi pekerti sehingga peneliti ingin mengetahui
bagaimana konsep maupun karakteristik pendidikan akhlak yang
dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Hamka serta implikasinya
terhadap pendidikan Islam. maka dari itu, penulis tertarik untuk
mengangkatnya sebagai bahan penulisan skripsi yang berjudul “Studi
Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar Dewantara
Dan Hamka serta Implikasinta Terhadap Pendidikan Islam”
B. Rumusan Masalah
Setelah menguraikan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat
diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara
dan Hamka?
2. Bagaimana karakteristik konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka?
3. Bagaimana implikasinya konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka bagi pendidikan di Sekolah?
22
H. M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Cet. V (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 147
10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan
tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mendeskripsikan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Hamka
tentang konsep pendidikan akhlak.
b. Untuk mengetahui karakteristik konsep pendidikan akhlak menurut Ki
Hajdar Dewantara dan Hamka.
c. Untuk mengetahui implikasi konsep pendidikan akhlak menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka bagi pendidikan di Sekolah saat ini.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
1) Dapat mengkaji pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Hamka
tentang konsep pendidikan akhlak serta mengetahui letak
perbedaan dan persamaan konsep pendidikan akhlak menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka.
2) Dapat dijadikan sebagai bahan refrensi serta dapat diterapkan di
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat saat ini.
b. Secara Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
semua pihak terkait yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut
mengenai “Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka Serta Implikasinya Terhadap
11
Pendidikan Islam”. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
pengetahuan bagi masyarakat, akademis, serta dapat berguna bagi
pemerintah dalam menyusun dan mengembangkan kerangka
pendidikan yang menitikberatkan kepada pembangunan Indonesia
yang beradab dan bermartabat sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sendiri.
D. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan terhadap skripsi, buku-
buku, serta berbagai literature penelitian terdahulu terkait topik ini, maka
didapat beberapa pembahasan yang berkaitan dengan penelitian yang
penulis lakukan, diantaranya adalah:
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Nur Rohman, (Mahasiswa Jurusan
Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) berjudul “Studi Komparasi
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka dan Zakiah Daradjat”,
penelitian ini menggunakan jenis penelitian library reseach atau penelitian
kepustakaan, penelitian ini dilatarbelakangi oleh dampaknya pendidikan
nasional yang mulai meninggalkan nilai moral. Sehingga banyak dari
peserta didik yang dinilai tidak mempunyai kesantunan. Hasil dari
penelitian ini adalah (1) konsep pendidikan akhlak menurut Hamka ada
empat keutamaan diantaranya, (a) Syaja‟ah berarti berani karena benar dan
takut karena salah, (b) Iffah yang artinya kesanggupan menahan diri. (c)
Hikmat artinya bijaksana, (d) „Adl, keadilan artinya perangai mulia dari akal
12
budi, dari pada nafsu marah dan syahwat. (2) Konsep pendidikan akhlak
menurut Zakiah Daradjat terdiri dari empat faktor diantaranya (a) Perasaan
adalah tanggapan panca indra yang mempertimbangkan baik atau buruk,
salah atau benar, (b) Pikiran yaitu menggunakan pikiran untuk
mempertimbangkan dan memutuskan mana yang baik atau buruk, benar
atau salah. (c) Kelakuan adalah perbuatan, tingkah laku, perangai, perihal
tentang keadaan. (d) Sehat badan adalah baik seluruh badan serta bagian-
bagianya bebas dari sakit yang mendatangkan kebaikan. (3) Persamaan
Konsep pendidikan akhlak menurut Hamka dan Zakiah Daradjat adalah
keduanya sama-sama menekankan dasar pendidikan akhlak ajaran agama
Islam dan dengan akhlak dapat menjadikan hidup lebih menjadi baik dan
ketenangan dalam jiwa. (4) Perbedaan pertama dalam penentuan konsep
yang hampir sama kedua dalam cara menjaga kesehatan jiwa menurut
Hamka ini kesehatan mental Zakiah Daradjat lebih menekankan pada
pengendalian perasaan, pikiran dan sudut pandang yang direalisasikan.23
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Hendra Saputra (Mahasiswa Jurusan
Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) berjudul “Studi Komparasi
Pendidikan Akhlak Bagi Anak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Al-
Qabisi”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library reseach atau
penelitian kepustakaan, penelitian ini dilatarbelakangi oleh persoalan
degradasi akhlak yang rentan terjadi dalam pergaulan, jika anak dalam
23
Nur Rohman, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka dan Zakiah
Daradjat, Skripsi, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu tarbiyah Dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.hlm.x.
13
proses pendewasaan terbiasa dengan hal yang buruk maka sifat buruk
tersebut akan sulit dihilangkan sampai anak tersebut kelak menjadi orang
dewasa. Hasil dari penelitian ini antara lain, (1) Konsep pendidikan akhlak
yang dibangun Ibnu Qayyim bersumber pada Al-Qur‟an dan Sunnah.
Pendidik lebih aktif memberikan materi kepada anak didik dan metode
menghafal yang lebih dominan diterapkan dalam pembelajaran. Sementara
Al-Qabisi dalam membangun pendidikan akhlak selain bersumber pada Al-
Qur‟an dan Sunnah. Ia juga menggunakan literature fiqih, metode yang
dipakai adalah anak lebih aktif atau berpusat pada anak didik (student
centered). (2) Komparasi konsep pendidikan akhlak bagi anak adalah
pentingnya akhlak kepada Allah dan sesama manusia. Alam ranah
pembelajaran Ibnu Qayyim cenderung mengarahkan peserta didik dalam
pengetahuan berfikir yang bersikap, Al -Qabisi lebih pada pendidikan
akhlak yang terintegrasi pada kehidupan anak sehari-hari. (3) Penerapan
konsep pendidikan akhlak bagi anak dalam keluarga Islam meliputi
mendidik akhlak tauhid dan moral dengan metode keteladanan dan
pembiasaan. Metode hukuman diperlukan ketika anak melakukan perbuatan
maksiat dan dosa.24
Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Zuhriadi, (Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), berjudul Konsep Pendidikan
Akhlak Menurut Murtadha Muthahari. Penelitian ini menggunakan jenis
24
Hendra Saputra, Studi Komparasi Pendidikan Akhlak Bagi Anak Menurut Ibn Qayyim
Al-Jauziyyah Dan Al-Qabisi, Skripsi, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.hlm.xii.
14
penelitian (library research) atau penelitian keputakaan. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh pandangan Murtadha Muthahari yang mengatakan
bahwa pendidikan secara teoritik, praktis maupun filosofis tentunya dapat
mampu menjadi sebuah instrumen bagi upaya penegakan moralitas, namun
dalam kenyataannya perilaku yang tidak bermoral sering terjadi. Sedangkan
hasil dari penelitian ini adalah tujuan pendidikan akhlak menurut Murtadha
Muthhari yaitu tentang usaha menanamkan akhlak mulia kepada anak didik,
dan juga memaksimalkan potensi anak didik, yang berdasarkan pada tauhid
sehingga dapat menanamkan nilai-nilai ketauhidan dengan tujuan
memantapkan hati anak didik dengan keimanan serta berusaha
meningkatkan keimanan serta bertujuan agar tumbuh keyakinan akan
pengawasan Allah SWT.25
Berdasarkan penelitian diatas, penelitian yang akan peneliti angkat
ada sedikit persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian sudah ada.
Dari penelitian Nur Rohman mengangkat tentang studi komparasi
pendidikan akhlak menurut Hamka dan Zakia Daradjat, kemudian penelitian
yang dilakukan oleh Hendra Syaputra membahas tentang Studi Komparasi
Pendidikan Akhlak Bagi Anak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Dan Al-
Qabisi, Sementara penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Zaenudin
membahas tentang Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Pespektif KH.Hasyim
Asy‟ari.
25
Zuhriadi, (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), dengan judul Konsep
Pendidikan Akhlak Menurut Murtadha Muthahari.
15
Peneliti sendiri memfokuskan penelitian tentang Studi Komparasi
Pendidikan Akhlak Menurut Hamka Dan Ki Hadjar Dewantara Serta
Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam, Jadi penelitian tersebut ada
persamaan sedikit terkait dengan konsep pendidikan akhlak menurut Hamka
yang ditulis oleh peneliti terdahulu dan perbedaannya yaitu, belum ada yang
meneliti tentang komparasi pendidikan akhlak menurut Ki Hajar Dewantara
dan Hamka serta implikasinya terhadap pendidikan Islam.
E. Landasan Teori
1. Konsep Pendidikan Akhlak
a. Hakikat Pendidikan Akhlak
Secara harfiah konsep adalah hasil tangkapan pikiran terhadap
sesuatu atau gejala tertentu. Konsep juga disebut dengan ide umum,
gagasan maupun gambaran pikiran tentang sesuatu, sehingga dapat
dibedakan cirinya dari yang lain. Dalam konsep akan terwakili
tanda-tanda umum dari sesuatu hal.26
Sementara kata akhlak berasal dari kata akhlāq yang
merupakan bentuk jamak dari khulūq yang berarti adat kebiasaan (al-
adat), perangai, tabiat (al-sajiyyāt), watak (al-thāb), adat atau sopan
santun (al-muru‟at) dan agama (ad-din). Menurut ahli masa lalu (al-
qudūma) akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan sesuatu
perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering
26
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008),hlm.87.
16
pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas
dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.27
Pendidikan akhlak adalah keutamaan tingkah laku dan
naluri yang wajib dilakukan oleh anak didik, dilakukan dan
dibiasakan sejak kecil hingga dewasa untuk menyongsong
kehidupan.28
Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku atau perangai („ilm
al-sulūk). Sedangkan dalam bahasa indonesia, akhlāk disebut juga
dengan ākhlak, moral, budi pekerti, etika, tingkah laku, perangai, dan
kesusilaan. Kata etika berasal dari bahasa yunani kuno yang berarti
ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tingal
yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap dan cara berfikir.
Dalam bentuk jamak ( etika) adalah adat kebiasaan,
sekarang ini sekurang-kurangnya ada tiga pengertian tentang akhlak
(etika)
1) Nilai atau norma-norma mengenai benar dan salah yang dianut
satu golongan atau masyarakat. Contoh : Etika suku-suku
indian, etika protestan, dan lain-lain. Etika dalam pengertian ini
tidak berarti ilmu tetapi sistem nilai. Sistem nilai bisa berfungsi
dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
27
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar,2004),hlm.31. 28
Abdullah Nasikh Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Pemeliharaan Jiwa,
(Bandung: Rosda Karya,1990), hlm.169.
17
2) Kumpulan asas atau nilai moral yang berkenaan dengan akhlak.
Yang dimaksud disini adalah kode etik. Contoh etika
kedokteran, etika rumah sakit Indonesia dan lain-lain.
3) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajian moral (akhlak). Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima
dalam suatu masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika disini sama artinya dengan falsafat moral.
Pendidikan sebagai suatu usaha membina dan
mengembangkan aspek-aspek rohani dan jasmani juga harus
berlangsung secara bertahap. Akan tetapi, suatu proses yang
digunakan dalam usaha kependidikan adalah proses yang terarah dan
bertujuan untuk mengarahkan anak didik (manusia) kepada titik
optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai
adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai
manusia individual , sosial dan hamba Tuhan yang mengabdikan diri
kepada-Nya.29
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Mengenai tujuan pendidikan akhlak secara umum ada dua
pandangan secara teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-
29
Khoirun Rosyadi, Pendidikan Profektik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),hlm.135.
18
masing dengan tingkat keberagamannya tersendiri. Pandangan
teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan
yang mengganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam
menciptakan rakyat yang baik. Pandangan teoritis yang kedua, lebih
berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri kepada
kebutuhan, daya tampung dan minat belajar.30
Sedangankan menurut Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi
menjelaskan tujuan dari pendidikan akhlak adalah membentuk
orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara
dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana,
sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari
pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.31
Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan
pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau
teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan
mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan
menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah
kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak
agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil jika tidak
disertai oleh kesucian manusia.32
30
Wan Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat Islam dan Praktek Pendidikan Seyd M.
Naquib al-Attas cet.i, (Bandung: Mazan,2003)hlm.163. 31
Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung :
Pustaka Setia, 2003), hlm. 114. 32
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma‟ruf, (Jakarta : Bulan Bintang,
1975), hlm. 6-7.
19
Jadi pendidikan akhlak itu pendidikan yang diberikan
terhadap anak guna membentuk perilaku atau tingkah laku yang
baik. Berbicara tentang akhlak sama halnya kita berbicara tentang
tujuan pendidikan Islam. Pendidikan budi pekerti merupakan jiwa
dari pada pendidikan Islam. Islam telah memberikan kesimpulan
bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah ruh (jiwa) dari
pendidikan Islam dan mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah
tujuan sebenarnya dari pendidikan. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani atau akal dan
ilmu maupun segi-segi praktis lainnya itu. Anak-anak membutuhkan
kekuatan dalam jasmani, akal ilmu, dan juga membutuhkan
pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa dan
kepribadian.
Para pakar pendidikan Islam telah sepakat bahwa tujuan
dari pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak
didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui,
melainkan: Mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa
keutamaan, (fadhilah), Membiasakan mereka dengan kesopanan
yang Tinggi, dan mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan
yang suci. seluruh dengan penuh keikhlasan dan kejujuran.33
33
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang 2005),hlm.1.
20
Akhlak disini memeliki kedudukan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Dengan akhlak kedudukan manusia bisa
menjadi lebih tinggi dibanding dengan makhluk yang lainnya.
c. Materi Pendidikan Akhlak
Dalam proses belajar mengajar itu ada isi (materi) yang
relevan dengan tujuan pengajaran. Memang secara mudah dapat
dikatakan bahwa isi proses itu sesuai dengan tujuan yang hendak di
capai. Namun dalam operasinya tidak semudah itu diperlukan pakar
yang benar-benar ahli dalam merencanakan isi (materi) proses
tersebut.34
Oleh sebab itu pendidikan akhlak tidak dapat dijalankan
dengan hanya menghafalkannya saja tentang hal baik dan buruk,
akan tetapi bagaimana menjalankannya sesuai dengan nilai-nilainya.
Ada beberapa bagian dalam hal ini antara lain: pertama,
mengumpulkan mereka dalam satu kelompok yang berbeda karakter,
kedua, membantu mereka untuk menemukan jati dirinya dengan
memberikan pelatihan, ujian, dan tempaan, membentuk kepribadian
atau mendoktrin dengan selalu menjauhi hal-hal yang jelek dan
selalu berpegang teguh kepada kebaikan.
34
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung Ramaja Rosda
Karya,1992),hlm.54.
21
d. Metode Pendidikan Akhlak
Metode pendidikan yang digunakan dalam pendidikan
akhlak adalah sebagai berikut:
1) Metode Keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara
memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik
didalam ucapan maupun perbuatan.35
2) Metode Pembiasaan menurt M.D Dahlan seperti yang dikutip
Hery Noer Aly merupakan proses penamaan kebiasaan. Sedang
kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persisten,
uniform dan hampir otomatis (hampir tidak disadari oleh
pelakunya).36
3) Metode memberi nasehat menurut Abdurarrachman al-Nahlawi
sebagaimana yang dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah “penjelasan
kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan
orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukannya kejalan
yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat.37
4) Metode motivasi dan intimidasi, metode ini dalam bahasa arab
disebut uslub al-targhib wa al-tarhib atau metode targhib dan
tarhib. Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti
menyayangi, menyukai, dan mencintai. Kemudian kata itu
diubah menjadi kata benda tarhib yang mengandung makna
35
Syaihidin, Metode Pendidikan Qur‟ani, (Jakarta: CV Misaka Galiza,1999)hlm.135. 36
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999),hlm.178 37
Ibid., hlm.190.
22
suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, dan
kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul
harapan dan semangat untuk memperolehnya.38
Sedangkan
tarhib berasal dari rahhaba yang berarti menakut-nakuti, atau
mengancam. Menakut-nakuti dan mengancam sebagai akibat
melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah SWT
atau akibat yang dalam menjalankan kewajiban yang di
perintahkan oleh Allah.39
5) Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang
sesuatu ajaran dengan kekuatan akal. “Penggunaan metode
persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah
makhluk yang berakal artinya, Islam memerintahkan kepada
manusia untuk menggunakan akalnya dalam membedakan
antara yang benar dan yang salah atau yang baik dan buruk.”40
6) Metode kisah, metode ini merupakan salah satu upaya untuk
mendidik murid agar mengambil pelajaran dari kejadian masa
lampau. Apabila kejadian tersebut merupakan kejadian yang
baik, maka harus diikutinya, sebaliknya apabila kejadian
tersebut kejadian yang bertentangan dengan ajaran Islam maka
harus dihindari. Metode ini sangat digemari oleh anak kecil,
bahkan seringkali digunakan oleh seorang Ibu ketika anaknya
38
Syahidin, Metode Pendidikan,......,hlm.121. 39
Ibid.,hlm.121 40
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam......,hlm.197.
23
akan tidur. Apalagi kalau metode ini disampaikan oleh orang
yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri.
e. Evaluasi Pendidikan Akhlak
Sejak manusia melakukan usaha mendidik anak-anaknya
pastilah mereka telah pula melakukan usaha menilai hasil-hasil
mereka dalam mendidik anak-anak mereka itu. Kendatipun dalam
bentuk dan cara yang sangat sederhana. Memang tindakan tersebut
adalah wajar karena sebenarnya penilaian atau evaluasi hasil-hasil
pendidikan itu tidak dapat dipisah-pisahkan dari usaha pendidikan
itu sendiri, evaluasi merupakan salah satu aspek yang hakiki dari
usaha itu sendiri.
Dari uraian diatas, dapat diturunkan beberapa pengertian
evaluasi, yaitu:
1) sebagai suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai
segala sesuatu dalam dunia pendidikan atau segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan dunia pendidikan.
2) sebagai kegiatan menilai yang terjadi dalam kegiatan pendidikan
3) sebagai alat untuk mengukur sampai mana penguasaan anak
didik terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan.41
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau
teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan
standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-
41
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profektif, .......hlm.283-284.
24
aspek mental psikologis dan spritual religius, karena hasil
pendidikan Islam bukan saja menjadikan anak didik menjadi sosok
pribadi yang hanya bersikap religius melainkan juga berilmu dan
berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan
dan Masyarakat.42
f. Sarana Pendidikan Akhlak
Sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang
digunakan untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran.
Sedangkan media pendidikan (media pengajaran) itu sesuai yang
agak lain sifatnya dari alat pelajaran dan alat peraga. Dalam
pendidikan akhlak ini, kita bisa mengunakan metode-metode yang
telah kita uraikan diatas.
Selain itu lingkungan juga merupakan sarana untuk
memperoleh pendidikan akhlak. Lingkungan ialah sesuatu yang
berada diluar dari anak yang mempengaruhi perkembangannya.
Lingkungan sendiri dibagi menjadi tiga macam yang keseluruhan
mendukung terhadap proses implementasi pendidikan Islam
misalnya masyarakat, sekolah, dan keluarga. Dalam arti yang luas
lingkungan mencakup iklim, geografis, tempat tinggal, adat istiadat,
pengetauan, pendidikan dan alam. Oleh karena itu dengan kata lain
lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam
alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Jadi lingkungan
42
Ibid.,hlm.284
25
mempunyai andil yang sangat signifikan dalam pembentukan sikap
dan perilaku yang pada akhirnya akan membentuk sebuah
kepribadian yang sempurna.
g. Subyek Pendidikan akhlak
Dalam pembahasan mengenai pendidikan, manusia yang
bergantung disebut murid dan yang menjadi tempat bergantung
disebut guru atau pendidik, sehingga keduanya disebut sebagai
subyek didik. Al-Ghazali sangat mengagungkan posisi guru diatas
segalanya sebagaimana ungkapannya bahwa hak guru atas muridnya
lebih agung dibandingkan hak orang tua atas anaknya karena orang
tua hanya penyebab keberadaan anaknya di alam fana dan guru lah
penyebab hidupnya yang kekal. Ia juga menambahkan bahwa
makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia,
sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya, guru
atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan, dan
menyucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.
Istilah pendidik dalam bahasa Arab disebut “al murabbi”
atau sering disebut juga al-muaddib”. Sedangkan untuk istilah guru,
dalam bahasa Arab disebut dengan kata” “al-mu‟allim” dan juga al-
ustad.43
Secara sederhana dapatlah didefinisikan bahwa yang
dimaksud pendidik ialah setiap orang yang dengan sengaja
43
Dr. H. Mangun Budiyanto MSI, Ilmu Pendidikan Islam., hlm.61.
26
mempengaruhi orang lain (peserta didik). dari definisi tersebut maka
dapat dibedakan menjadi 2 macam pendidik diantara yaitu:
1) Pendidik kodrati, yaitu orag tua yang secara kodrat telah diberi
amanat oleh Allah untuk menjadikan pendidik bagi anak-
anaknya, dan kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban
atas amanat yang telah diberikannya itu. Itulah sebabnya orang
tua dianggap sebagai pendidik utama atau primer bagi anak-
anaknya.
2) Pendidik karena jabatan, yaitu seseorang yang karena jabatan
mengemban tugas, sebagai pendidik, baik sebagai guru, dosen,
tutor, pamong atau istilah lain.
Baik pendidik kodrati (orang tua) maupun pendidik jabatan
(guru, dosen, dan sebagainya), kedua-duanya memegang peranan
yang sangat penting dalam pendidikan
Adapun syarat-syarat menjadi pendidik (guru) adalah:
berjiwa rabbani yang benar dan ikhlas, tawadlu‟ (rendah hati),
khasyyah (takut kepada Allah), zuhud (tidak materialistis), sabar dan
tabah hati, menguasai bidang studinya, tetap terus belajar, segera
kembali kepada kebenaran, gemar bermusyawarah, mengedepankan
kejujuran, bisa diteladani, bersikap adil, penyantun dan pemaaf, serta
mengetahui dan memahami tabiat murid.
Sementara istilah peserta didik dalam bahasa Arab disebut
dengan “mutaāllim” ataupun “thālibu”, sedangkan dalam Bahasa
27
Indonesia istilah peserta didik dikenal dengan sebutan, si terdidik,
murid, siswa, pelajar, mahasiswa, warga pelajar dan sebagainya.
secara sederhana dapatlah didefinisiskan bahwa yang
dimaksud peserta didik ialah setiap orang atau sekelompok orang,
tanpa ada batasan usia tertentu yang menjadi sasaran pengaruh usia
pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dalam rangka tercapainya
tujuan pendidikan.
2. Studi Komparasi
Dalam kamus bahasa Indonesia untuk pelajar, studi adalah
suatu pendekatan untuk meneliti gejala sosial dengan menganalisis
sesuatu secara mendalam dan utuh.44
Sedangkan Mohammad Nazir mengemukakan bahwa studi
komparatif adalah jenis penelitian yang mencari jawaban secara
mendasar tentang sebab-akibat dengan menganalisa faktor sebab
terjadinya maupun munculnya suatu fenomena tertentu.45
3. Implikasi Pendidikan Islam
Istilah implikasi memang tidak terlalu banyak dibicarakan,
mungkin hanya terdapat dipercakapan mengenai penelitian atau hal-hal
yang berhubungan dengan telaah dan kajian.
Sementara Dalam Kamus Bahasa Indonesia untuk pelajar, kata
implikasi sendiri berarti, keterlibatan maupun yang termasuk atau
44
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dn Kebudayaan,
Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar ( Jakata: Katalog Dalam Terbitan,2011),hlm.509. 45
Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Galia Indonesia,2005)hlm.8.
28
tersimpul.46
Secara istilah kata implikasi memiliki makna sesuatu yang
dipengaruhi atau mempengaruhi yang berterkaitan dengan adanya
hubungan sebab-akibat.
Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata
“ta‟dib”. Kata “ta‟dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi
dan mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan („ilm), pengajaran
(ta‟lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam
perkembangan kata-kata “ta‟dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari
peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at-
tarbiyah yang sering disebut dengan kata tarbiyah. Sebenarnya asal kata
tarbiyah adalah dari “Rabba-Yurobba-Tarbiyatan” yang artinya
tumbuh dan berkembang.47
Berdasarkan pengertian al-tarbiyah, al-ta‟lim, dan al-ta‟dib di
atas penulis mencoba mendefinisikan pendidikan lslam sebagai berikut
diantaranya:
a. Dr. Muhammad S.A. Ibrahimy, yang dikutip oleh Arifin H.
Muzayyin. Pendidikan Islam adalah “ a system of education which
enebles a man to lead his life according to the Islamis ideology, so
that he may easly mould his life in according with tenes of Islam.48
sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat
mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga
46
Ibid., hlm.172 47
Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung : Ramadhani, 1993), hlm. 9.
48
Arifin H. Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam & Umum, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991),hlm.3-4.
29
dengan ia dengan mudah membentuk hidupnya sesuai dengan
ajaran Islam.
b. Prof . Dr. Omar Muhammad Al-Toumi Al-Syaibany Pendidikan
Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu, pada
kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara
pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai profesi diantara
profesi-profesi asasi dalam masyarakat.49
Pendidikan tersebut
memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya
pada pendidikan etika. Disamping itu pendidikan tersebut
menekankan aspek produktifitas dan kreatifitas manusia dalam
peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam
semesta.
c. Dr. Muhammad Fadlil Al-Jamaly Pendidikan Islam adalah upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju
dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang
mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang
berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.50
d. Kemudian dari hasil seminar Pendidikan Islam se-Indonesia Tahun
1960. Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan
jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi
49
Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Saibani, Al-Uhus al-Nafsiyah Wa al-Tabiryyat li
Riayat al-Syabab, (Kahirat: Dar al-Ma‟arif 1986,), hlm.399. 50
Muh. Fadlil al-Jamly, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur‟an (Surabaya: Bina Ilmu,
1986,)hlm.3.
30
berlakunya semua ajaran Islam.51
Pedididkan itu menaruh arti
bahwa dalam proses pendidikan Islam terdapat usaha
mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi
setingkat menuju tujuan yang ditetapkan yaitu menanamkan takwa
dan akhlak serta menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah
manusia yang berkepribadian dan berbudi luhur sesuai dengan
ajaran Islam.52
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan oleh para ahli diatas,
dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah proses transformasi
dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik
untuk menumbuhkan, dan mengembangkan potensi fitrahnya, sehingga
mencapai pribadi yang utama sesuai dengan ajaran Islam.
F. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa yunani yaitu Methodes, yang artinya cara
atau jalan. Metode merupakan cara untuk memahami obyek yang menjadi
sarana ilmu pengetahuan yang bersangkutan.53
Penelitian (Risearch)
merupakan kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan.
Fungsi penelitian yaitu mencari penjelasan dan jawaban terhadap
permasalahan serta memberikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat
digunakan untuk pemecahan masalah.54
51
Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),hlm. 13. 52
Ibid., hlm.14. 53
Kuncoro Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia,1989),
hlm.7. 54
Saiful Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 1.
31
Metode penelitian menggunakan sistem aturan atau tatanan dengan
tujuan agar tulisan menjadi rasional dan terarah untuk mencapai hasil yang
optimal.
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu variabel atau tema,
gejala atau keadaan yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya
pada saat penelitian dilakukan. 55
Metode ini memungkinkan untuk
memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data,
menyusun atau mengklasifikasikannya, menganalisis dan
menginterpretasikannya.56
Sedangkan metode yang digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian
ini adalah pendekatan Filosofis Pedagogis, pendekatan filosofis pedagogis
merupakan suatu analisis secara hati-hati mengenai penalaran-penalaran
mengenai suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan.57
2. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis ini termasuk dalam katagori
penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian yang teknik
pengempulan datanya dilakukan di lapangan atau (perpustakaan) dengan
55
Mukhtar Dan Erna Widodo, Konstruktif Kearah Penelitian Deskriptif, (Yogyakarta:
Auyrous, 2000),hlm.15. 56
Winarno Surakman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1984),hlm.147. 57
Lois O Katsoft, Pengantar Filsafat Penerjemah Soerjono Sumargono, (Yograkarta:
Tiara Wacana, 2003),hlm.4.
32
didasarkan atas pembacaan terhadap literature yang memiliki relevansi
dengan topik penelitian.58
Adapun literature penelitian berupa: buku, jurnal, hasil penelitian,
makalah, majalah ilmiah, surat kabar, hasil seminar dan lain sebagainya
yang memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis kaji, tentang
“studi komparasi konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara
dan Hamka serta implikasinya terhadap pendidikan Islam.”
3. Sumber Data
Sumber data merupakan komponen utama dalam penelitian, tanpa
sumber data penelitian tidak akan dapat berjalan. Dalam penelitian ini ada
dua sumber data yang digunakan yaitu sumber primer dan sekunder. Data
yang dikumpulkan sebagai sumber primer adalah keterangan atau tulisan
yang berasal langsung dari subyek yang diteliti yakni:
a. Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Bagian I Cetakan ke II, Yogyakarta
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,1922.
b. Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan Bagian II A , Yogyakarta Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa,1967.
c. Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
d. Hamka, Akhlaqul Kharimah, Jakarta: Pustaka Panjimas,1992
e. Hamka, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, 1952.
f. Hamka, Falsafah Hidup.
g. Hamka, Lembaga Budi
58
Sukardi, Metodelogi Penelitian Pendidikan: Komperensi Dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), hlm.34.
33
Sedangkan sumber data sekunder adalah karya atau karangan yang
berkaitan dengan Ki Hadjar Dewantara dan Hamka yang ditulis oleh orang
lain diantaranya:
a. Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara Dan Taman
siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan 1956
b. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
c. Haidar Musyafa, Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara; Kehidupan,
Pemikiran dan Perjuangan Pendiri Taman Siswa,Jakarta:
Imania,2015.
d. Samsul Nizar, Memperbicarakan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
Hamka Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
e. Abd. Haris, Etika Hamka Konstruksi Eika Berbasis Rasional-
Religius, thn.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan Data adalah cara-cara yang digunakan untuk
mendapatkan kebenaran yang terjadi atau terdapat pada subyek peneliti
atau sumber data. Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah metode untuk
34
memperoleh data-data yang dibutuhkan, yaitu berupa sumber-sumber data
dari beberapa literature yang erat kaitannya dengan tema yang dibahas.59
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif-analitik,
yaitu penyelidikan secara kritis terhadap obyek atau data untuk membuat
gambaran atau deskripsi secara sistematis, aktual, tentang fakta, sifat
serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.60
G. Sistematika Penulisan Skripi
Untuk mempermudah dalam memahami kerangka dan gambaran yang
jelas mengenai isi penelitin ini, penulis sajikan sistematika penulisan skripsi,
adapun rinciannya sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, meliputi: Latar belakang masalah , Rumusan
masalah, Tujuan dan Kegunaan penelitian, Kajian pustaka,
Landasan Teori, Metodologi penelitian, dan Sistematika penulisan
skripsi.
BAB I : Biografi Ki Hadjar Dewantara dan Hamka meliputi: Riwayat Hidup
dan Karya-karya.
BAB III : Pembahasan meliputi: Konsep Pendidikan akhlak menurut Ki
Hadjar Dewantara dan Hamka, Karakteristik pendidikan akhlak
menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka serta Implikasi
59
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1988),hlm.236. 60
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Galia Indonesia,1985), hlm.55.
35
pendidikan akhlak menurt Ki Hadjar Dewantar dan Hamka, bagi
pendidikan di sekolah.
BAB IV : Penutup: berisi tentang kesimpulan sebagai inti dari keseluruhan
pembahasan skripsi, saran dan kata penutup.
36
BAB II
BIOGRAFI
KI HADJAR DEWANTARA DAN HAMKA
A. Ki Hadjar Dewantara
1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara lahir pada tanggal 2 mei 1889 dengan nama
Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
Keraton, tepatnya Putra Pakualaman Yogyakarta, yang merupakan cucu
dari Sri Pakualam III. Raden Mas Suwardi adalah gelar bagi bangsawan
Jawa yang otomatis melekat pada seorang anak laki-laki keturunan
ningrat mulai dari keturunan kedua hingga ketujuh atau raja maupun
pemimpin yang terdekat yang pernah memegang pemerintahan. Gelar ini
biasanya dipakai oleh semua kerajaan di Jawa pewaris Mataram.
Sedangkan Ayahnya bernama K.P.H. Suryaningrat dan Ibunya bernama
Raden Ayu Sandiyah yang merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang
yaitu seorang keturunan dari Sunan Kalijaga.61
Pada masa kanak-kanak dan remaja, Ia banyak dipengaruhi oleh
sastra jawa, agama Islam dan ajaran-ajaran Hindu purba. Adapun
pahlawan yang dikaguminya dari Epik Mahabrata adalah Yudistira
(lambang perdamaian dan cinta) dan Kresna (inkarnasi Wisnu yang
penuh kebijaksanaan).62
61
Suparto Rahrjo, Ki Hadjar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959, ( Yogyakarta:
Garasi House Of Book, 2009), hlm.9. 62
Dwi Siswono dkk, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm.163.
37
Suwardi menempuh pendidikan agamanya di Pesantren Kalasan
dibawah asuhan K.H. Abdurahman. Sejak awal, K.H. Abdurahman telah
melihat adanya keistimewaan pada sosok Suwardi. Beliaupun menjuluki
Suwardi sebagai “Jemblung Trunogati” atau anak mungil berperut buncit,
tetapi mampu menghimpun pengetahuan yang luas.63
Sebagai seorang keluarga ningrat, Ia termasuk memperoleh
keuntungan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Pendidikan
Dasarnya Ia peroleh dari sekolah rendah Belanda (Europeesche Lagere
School, ELS), di Sekolah tersebut bahasa yang digunakan yaitu dengan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Awalnya
Sekolah Dasar ini hanya terbuka bagi Bangsa Belanda. Namun sejak
tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang
pribumi yang mampu dan warga Tionghoa.64
Suwardi kemudian melanjutkan pendidikanya ke Sekolah Kweek
(Kweek School) sebelum sempat menyelesaikannya Ia pindah ke STOVIA
(School Tot Opleiding Van Indishe Arten). Namun disekolah inipun Ia
tidak sempat menamatkan pendidikannya, dikarenakan ayahnya
mengalami kesulitan ekonomi. Sejak itulah Ia memilih terjun kedalam
bidang jurnalistik yaitu suatu bidang yang kelak mengantarkannya
kedunia pergerakan Politik Nasional.65
63
Suparto Raharjo, Ki Hadjar Dewantara Biografi, hlm.10. 64
Ibid., hlm.10. 65
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005),hlm.129.
38
Setelah keluar dari STOVIA Suwardi bekerja sebagai wartawan di
beberapa surat kabar, antara lain Tjahaya Timur, dan Poesara. Ia juga
menerbitkan Koran Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak. Selain aktif
sebagai seorang wartawan muda, Suwardi berkiprah dalam organisasi
sosial politik. Pada tahun 1908, Ia aktif diseksi propaganda Budi Utomo
untuk mensosialisakan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara pada waktu itu. Kemudian bersama Douwes Dekker, Dr.
Danurdirdja Setyabudi, dan Dr. Cipto Mangun Kusuma, Ia mendirikan
Indische Partij untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah
kolonial Belanda. Akan tetapi Gubernur Jenderal Alexander Willem
Frederik Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran tersebut pada tanggal 11 Maret 1913.
Menyusul ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische
Partij Suwardi ikut membentuk Budi Putera pada bulan November 1913.
Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan
Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Sehubungan dengan rencana pelayanan itu, Suwardi Mengkritik
lewat tulisannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Ook Allen Voor
Een (satu untuk semua tetapi semua untuk satu juga). Dalam Tulisannya
Ia mengungkapkan bahwa: “Seandainya Aku Seorang Belanda aku tidak
akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di Negeri yang kita
39
sendiri merampas kemerdekaannya, sejajar dengan jalan pikirannya itu,
bukan saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk kantungnya.
Ayo penghinaan dari batin itu kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan - kawan sebangku aku terutama
ialah pekerjaan yang Ia sendiri tidak ada kepentingnnya sedikitpun”.66
Akibat tulisan Als Ik Eens Nederlander Was, Suwardi dijatuhi
hukuman Intermering (hukuman Pengasingan) yaitu sebuah hukuman
dengan menunjuk tempat tinggal. Suwardi pun dibuang ke pulau Bangka.
Namun Suwardi menghendaki dibuang ke Negeri Belanda bersama
dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, yang ikut dihukum
karena mereka menerbitkan tulisan yang bernada Suwardi.
Pada saat keberangkatannya ke negeri Belanda pada tahun 1913,
ditinggalkanlah gelar bangsawan “Raden Mas” tersebut dengan
bersatunya Suwardi dengan rakyat yang di perjuangkannya. Karena
kegiatannya dikalangan politik yaitu bertujuan untuk memperjuangkan
nasib bangsanya itulah Suwardi harus memetik “buahnya” ialah
diasingkan ke negeri Belanda. Tanah pengasingan yang mestinya salah
satu wujud sistem hukuman agar manusia terhukum jera, ternyata
dimanfaatkan secara baik oleh Suwardi untuk menambah pengetahuan
dan pengalamannya seraya tetap berjuang guna kepentingan nusa dan
bangsanya. Kegiatannya dalam mendalami masalah pendidikan telah
memberi kesadaran betapa arti pentingnya pendidikan nasional Belanda
66
Ibid., hlm.14-15.
40
bagi pemuda Belanda. Tentu analog dengan hal tersebut bagi pemuda
Indonesia juga diperlukan pendidikan nasional Indonesia.67
Pada tahun 1919, Suwardi berhasil mengumpulkan uang untuk
kembali ke Indonesia bersama istri dan seorang puterinya yaitu Ni Asti.
Setibanya di Indonesia, Suwardi beserta rekan-rekan seperjuangannya
memberikan sumbangsih pemikiran mereka dalam bidang pendidikan
sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia bersama
rekan-rekan seperjuanganya lalu mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak Nasional, yaitu National Onderwicjs Institut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Taman Siswa) pada tanggal 3 Juli 1922.68
Enam tahun setelah berdirinya Tamansiswa, terbitlah Majalah
Wasita. Suwardi sebagai pengarang dan salah satu dewan redaksinya
dan diterbitkan oleh Tamansiswa. Melalui majalah ini, gagasan-
gagasannya tentang pendidikan dan pengajaran yang Ia coba terapkan di
Tamansiswa dan coba disebarkan pada khalayak umum, khususnya
masyarakat pribumi sebagai masyarakat pencerahan pikiran tampak
secara jelas. Ketika genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun
Caka, Suwardi berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Nama
Raden Mas Suwardi Suryaningrat ditinggal pada tanggal 23 Fabruari
1928. Nama Ki Hadjar Dewantara ditemukan dalam rangkaian-rangkaian
diskusi yang sering diikutinya. Suwardi diakui oleh teman-temannya
67
Ki Soeratman, Dasar-Dasar Konsepsi Ajaran Ki Hadjar Dewantara Dalam
Peringatan 70 Tahun Tamansiswa, (Yogyakarta: MLPTS, 1992),hlm.20-21. 68
Suparto Raharjo, Ki Hadjar Dewantara, hlm.20-21.
41
sebagai seorang yang paling mahir dalam tema pendidikan, keguruan,
dan pengajaran.69
Setelah Suwardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara, Ia lebih memilih lapangan kebudayaan ketimbang aktifis
politik. Dilapangan itulah, Ia menoleh kembali pada warisan kebudayaan
Jawa, meninggalkan garis radikal seperti yang Ia pergelarkan di masa
mudanya. Meninggalkan garis radikal sepertinya sebuah kepergian yang
tidak mungkin kembali. Pilihan untuk menggunakan nama Ki Hadjar
Dewantara ternyata menunjukan dengan amat benderang jalan hidup
Suwardi yang telah berjalin nama. Kemudian melihat berkembangnya
aspirasi rakyat terhadap Taman Siswa yang semakin luas dengan
membuka cabang-cabang Tamansiswa di Indonesia. Ki Hadjar
Dewantarapun mewafatkan seluruh perguruan Tamansiswa kepada
Persatuan Tamansiswa pada tanggal 7 Agustus 1930. Meskipun
demikian, masih banyak rintangan yang dihadapi Ki Hadjar Dewantara
namun, Ia masih beruntung karena Nyi Hadjar dan rekan-rekan
seperjuangannya selalu setia memberi dukungan kepada dirinya untuk
selalu menyalakan semangat juangnya.
Ki Hadjar Dewantara, menerima gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1957. oleh Rektor
Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. M. Sardjito selaku promotor dalam
pemberian gelar tersebut. Namun, pada tanggal 26 April 1959, Ki Hadjar
69
Ibid., hlm. 18-19.
42
Dewantara meninggal dunia. Dua bulan sebelum wafat Presiden Sukarno
menjenguknya. Sukarno sendiri pernah menjadi guru dicabang Bandung
dari anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.70
Pada saat pemakaman Ki Hadjar Dewantara, yang bertindak
sebagai Inspektur upacara adalah Panglima Tetorium 113 Letkol Suharto.
Bahkan Suharto melepas pemakaman Ki Hadjar Dewantara sampai ke
kompleks Wijayabrata. Ki Hadjar Dewantara kemudian diangkat sebagai
ketua (Anumetra) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengingat jasa-
jasanya di bidang Jurnalistik. Surat Keputusan Presiden RI No. 305
tanggal 28 November 1959 menetapkan Ki Hadjar Dewantara menjadi
Bapak Pendidikan Nasional dan Hari kelahirannya yaitu 2 Mei ditetapkan
sebagai hari Pendidikan Nasional.71
Pada tanggal 17 Agustus 1960. Ki Hadjar Dewantara dianugrahi
Bintang Mahapura I. Prestasi Ki Hadjar Dewantara lebih lengkap dengan
tanda kehormatan Satya Lancana Kemerdekaan pada tanggal 20 Mei
1961. Namanya juga diabadikan pada uang kertas pecahan Rp.20.000,00.
Sepeninggal Ki Hadjar Dewantara selanjutnya Nyi Hadjar Dewantara
diangkat sebagai pemimpin umum Perguruan Tamansiswa. Kemudian
pada tahun 1965 Ia dilantik sebagai rektor Universitas Sarjana Wiyata
Tamansiswa (UST). Dalam memperingati hari Pendidikan Nasional
tanggal 2 mei 1961, Nyi Hadjar Dewantara dalam pidatonya menyatakan
bahwa: “Ki Hadjar Dewantara telah meninggalkan kita semua, sebagai
70
Ibid.,hlm.22. 71
Ibid., hlm.23.
43
orang tua Ia tidak meninggalkan warisan harta. Ki Hadjar Dewantara
hanya meninggalkan pemikiran, gagasan, ide, cita-cita perjuangan
sebagai pedoman dan petunjuk. Semoga kita dapat meneruskan
perjuangannya.72
2. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara
a. Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Bagian Kesatu
b. Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan Bagian Kedua
c. Tahun 1912 mendirikan surat kabar harian “De Ekspres” (Bandung),
Harian Sedya Tema (Yogyakarta) Midden Java (Yogyakarta), Kaum
Muda (Bandung), Utusan Hindia (Surabaya), Cahaya Timur
(Malang).73
d. Monumen Nasional “Taman Siswa” yang didirikan pada tanggal 3
juli 1922
e. Pada tahun 1913 mendirikan Bumi Putra bersama Cipto Mangun
Kusumo, untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun
kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis yang akan
dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 secara besar-besaran
di Indonesia
f. Mendirikan IP (Indice Partij) tanggal 16 September 1912 bersama
Dauwes Dekker dan Sujipto Mangun Kusumo.74
g. Tahun 1918 mendirikan kantor berita Indonesische Persbureau di
Nederland
72
Ibid., hlm.23-24. 73
Ibid., 74
Bambang Sukowati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara.”hlm,76.
44
h. Tahun 1944 diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiom Yoku
Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan).
i. Pada tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan Pemerintah sebagai Perintis
Kemerdekaan Nasional Indonesia.
j. Pada tanggal 19 Desember 1956 mendapat gelar kehormatan
Honoris Kausa dalam Ilmu
k. kebudayaan dari Universitas Gajah Mada.
l. Pada tanggal 17 Agustus dianugrahi oleh presiden atau Panglima
tertinggi Angkatan Perang RI bintang Mahaputra tingkat 1.
m. Pada tanggal 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya
Lantjana Kemerdekaan.75
B. HAMKA
1. Riwayat Hidup Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih di kenal dengan
Hamka lahir pada tanggal 16 Februari 1908 M (13 Muharam 1326 H) di
Sungai Batang, Maninjau “Sumatera Barat”. Ia berasal dari keluarga
yang taat beragama. Tepatnya putra salah seorang ulama yang pernah
mendalami agama di Mekkah, yaitu Syekh Abdul Karim Amarullah
(1879-1945), sekaligus pelopor Tokoh Muhammadiyah di Minang
Kabau. Pada usia 6 tahun Hamka atau Haji Abdul Karim Abdullah
dibawah oleh ayahnya ke Padang Panjang, untuk mengembang
pendidikannya di sekolah desa. sebagaimana anak lainnya yang
75
Irna, H.N dan Hadi Soewito, Soewardi Sooeryaningrat dalam Pengasingan, (Jakarta:
Balai Pustaka), hlm.132.
45
menuntut ilmu dengan guru mereka. Sementara pada malam hari Hamka
belajar Al-Qur‟an yang dibimbing langsung oleh ayahnya hingga Hamka
khatam Al-Qur‟an dengan baik dan fasih.76
Pada tahun 1916 - 1923, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
biasa disapa dengan sebutan Hamka ini, mulai belajar ilmu agama di
lembaga pendidikan “Diniyah School” di Padang Panjang dan
“Sumatera Thawalib” di Parabek.77
Guru-gurunya pada waktu itu antara
lain: Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim,
Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay el-Yunusiy. 78
Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amarullah adalah sosok
ulama, aktivis, politisi, jurnalis, editor dan sastrawan. Ia juga seorang
pendidik yang otodidak. Ia belajar dan memperdalam sendiri berbagai
bidang ilmu pengetahuan, seperti sastra, budaya, filsafat, tasawuf,
sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun barat.
Dengan bekal dan modal ilmu pengetahuan yang didalami dan
dikuasainya, Hamka menjadi penulis produktif yang pernah dimiliki
Indoneisa. beliau telah menulis puluhan buku, baik novel, cerpen, artikel,
maupun tafsir Al-Qur‟an. Salah satu karya Monumentalnya adalah Tafsir
Al-Azhar, yang Ia tulis dan dipenjarakan oleh presiden Sukarno.
76
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.113-
115. 77
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1990), hlm.9. 78
Ibid.,hlm.2.
46
Pemikirannya dalam berbagai bidang dapat diketahui, dikaji dan
dipahami melalui berbagai karya yang di tulisnya.79
Pada usia 18 tahun, Haji Abdul Malik Karim Amrullah “Hamka”
mulai berangkat ke Yogyakarta, dengan tujuan mencari pengalaman
hidup, dimana pada waktu itu Yogyakarta sedang marak pergerakan
Islam. Di Yogyakarta Haji Abdul Karim Abdullah “Hamka” banyak
menimbang pengalaman dari pergerakan Islam dan mendapat
pengalaman berharga dari tokoh pembaharu seperti, H.O.S.
Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, H. M. Suryo Pranoto dan A.R. St.
Mansur.80
Pada tahun 1925 Haji Abdul Malik Karim Amrullah “Hamka”
kembali ke padang dan mengarang buku berjudul “Khotibul Ummah”,
tahun 1928 dan menerbitkan majalah “Kemajuan Zaman”, serta pada
tahun 1929 Hamka menerbitkan pula majalah al-mahdi.
Pada tahun 1933 Haji Abdul Malik Karim Amrullah “Hamka”
kembali ke Sumatera Barat, dan pada tahun 1936, Hamka pun
melanjutkan keberangkatannya ke Medan dengan tujuan mengeluarkan
Mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyurannya sebelum perang
yaitu “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini dipimpinya setelah setahun
dikeluarkannya, mulai tahun 1936-1943, yaitu ketika bala tentara jepang
79
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:2008),hlm.v. 80
Muhammad Damami, Tasawuf Positif Dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2000), hlm. 28-29.
47
masuk ke Indonesia.81
Ketika tahun-tahun itulah muncul buku dari
berbagai bidang diantaranya filsafat, tasawuf, roman, dan agama. Buku
yang telah diterbitkannya antara lain adalah Di Bawah Lindungan Kabah,
Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Keadilan Ilahi.
Dalam bidang agama dan filsafat antara lain Tasawuf Modern, Falsafah
Hidup, Lembaga Budi dan lain-lain.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah “Hamka” pindah ke Jakarta
pada tahun 1950 kemudian dikeluarkan buku-buku beliu diantaranya:
Ayahku, Kenang-kenangan Hidup, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke
abad dan lainnya. semakin lama semakin terlihat bakat sebagai
pengarang, pujangga, filusuf Islam oleh kawan dan lawannya. Dengan
keahliannya itu, pada tahun 1952 Hamka diangkat oleh pemerintah
Anggota Badan dan pertimbangan guru besar pada Perguruan Tinggi
Islam dan Universitas Islam di Makasar serta menjadi penasehat
Kementrian Agama.
Pada tahun 1962 Haji Abdul Malik Karim Amrullah “Hamka”
mulai menafsirkan Al-Qur‟an Nul-Karim yang diberi nama “Tafsir Al-
Azhar”. Tafsir ini, sebagian besar dapat terselesaikan selama beliau di
tahan di penjara 2 tahun 7 bulan. Tahun 1975-1981, beliau menjadi ketua
MUI (Majelis Ulama Islam), beliau terpilih berdasarkan Musyawarah,
baik oleh Ulama maupun Pejabat.82
81
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pusataka Panjimas,1990) hlm.10. 82
Hamka, Hamka Di Mata Hati Umat, ( Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm.55.
48
Seluruh kehidupannya, Hamka kemukakan melalui berbagai tulisan
yang di hasilkannya baik dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, ataupun
yang lainnya dengan tujuan untuk memajukan Islam dan memurnikannya
dari akses-akses non islami. Tepat pada pukul 10.40 WIB hari Jumat 24
Juli 1981, Hamka meninggalkan anak istrinya bertepatan pula pada
bulan Ramadhan dalam usia 73 tahun 5 bulan lebih 7 hari.83
2. Karya-karya Hamka
sebagai seseorang yang berfikiran maju yang tidak hanya
melakukan berbagai macam ceramah agama namun juga
direfleksikannya melalui berbagai macam karya dalam bentuk tulisan.
Orientasi pemikirannya luas meliputi berbagai macam disiplin ilmu.84
Sebagai salah satu seorang yang terkenal di Asia Tenggara yang
pernah lahir di Indonesia, lebih dari 100 buku maupun artikel yang
pernah ditulis oleh Hamka dengan berbagai macam kajian, dan beberapa
karya-karyanya yang terkenal adalah:
a. Filsafat dan Keagamaan
1) Falsafah Hidup. Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
2) Pelajaran Agama Islam. Bulan Bintang, 1952.
3) Pandangan Hidup Muslim. Bulan Bintang, 1962.
4) Lembaga Hidup. Pustaka Nasional, 1999.
5) Lembaga Hikmat. Bulan Bintang, 1966.
6) Lembaga Budi. Pustaka Panjimas, 1983.
83
Muhammadiyah Damami, Tasawuf Positif, hlm.94. 84
Ibid., hlm. 46
49
7) Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Yayasan Nurul Islam,
1980.
8) Filasafat Ketuhanan. Karunia, 1985.
9) Tafsir al –Azhar Juz I – XXX. Pustaka Panjimas, 1986.
10) Prinsi-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Pustaka
Panjimas, 1990.
b. Adat dan Kemasyarakatan
1) Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Tekad, 1963.
2) Islam dan Adat Minangkabau. Pustaka Panjimas, 1984.
c. Kisah Perjalanan
1) Mengembara di Lembah Nil. NV. Gapura, 1951.
2) Mandi Cahaya di Tanah Suci. Tintamas, 1953.
3) Meranatau ke Deli. Bulan Bintang, 1977
d. Novel dan Roman
1) Teroris. Firma Pustaka Antara, 1950.
2) Di Dalam Lembah Kehidupan. Balai Pustaka, 1958.
3) Di Bawah Lindungan Ka‟bah. Balai Pustaka, 1957.
4) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Bulan Bintang, 1979.
e. Sejarah Islam
1) Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional, 1950.
2) Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Bulan Bintang, 1974.
f. Artikel Lepas
1) Lembaga Fatwa. Majalah Panji Masyarakat, No.6, 1972.
50
2) Mensyukuri Tafsir al Azhar, Majalah Panji Masyarakat, No.317.
3) Muhammadiyah di Minangkabau, Makalah, Padang, 1975.85
Selain beberapa karya Hamka masih banyak lagi karya-karyanya
baik yang tidak diterbitkan maupun masih diterbitkan hingga sekarang.
Dan beberapa karya Hamka yang secara garis besar memuat tentang
akhlak ataupun pendidikan akhlak, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tasawuf Modern, karya Hamka ini adalah merupakan sebuah
kumpulan artikel yang pertama kali dimuat dalam Pedoman
Masyarakat sekitar tahun 1938- 1937 yang kemudian dibukukan.
Dalam karyanya ini HAMKA membahas tentang tasawuf, pendapat
ilmuan tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan
utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat
qana‟ah, kegahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha
dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada
Allah.
b. Falsafah Hidup, pertama kali pada tahun 1940 di Medan dan telah
dicetak ulang sebanyak 12 kali. Dalam buku ini dipaparkan
mengenai hidup dan makna kehidupan, ilmu dan akal dalam
berbagai aspek dan dimensinya, undang-undang alam (sunnatullah),
adap kesopanan baik secara vertikal maupun horizontal. Dijelaskan
pula tentang makna kesederhanaan dan bagaimana hidup sederhana,
85
Ibid., hlm. 252-256
51
keadilan, makna persahabatan, mencari dan membina persahabatan
dan diakhiri dengan membicarakan Islam sebagai pembentuk hidup.
c. Lembaga Budi, buku ini ditulis pada 1939 yang terdiri dari 9 bab
yang membahas tentang budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak,
penyakit budi, budi orang yang memegang pemerintahan, budi mulia
yang seharusnya dimiliki oleh seorang raja (penguasa), budi
pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi ilmuan, tinjauan budi,
dan percikan pengalaman.
d. Lembaga Hidup, Dalam bukunya ini Hamka membahas tentang
berbagai kewajiban manusia, asal-usul munculnya kewajiban,
kewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial,
hak atas benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim,
kewajiban dalam keluarga, kewajiban menuntut ilmu, kewajiban
bertanah air, Islam dan politik, Al Qur‟an untuk zaman modern, dan
tulisan ini ditutup dengan memaparkan Nabi Muhammad.
e. Pelajaran Agama Islam, buku tahun 1959 ini telah dicetak ulang
sebanyak 12 kali. Dalam hal ini pembahasannya meliputi manusia
dan agama, dari sudut mana mencari Tuhan, rukun iman (percaya
kepada Allah, hal yang gaib, kitab-kitab, para rasul, hari akhirat,
serta takdir, qadha, dan qadar), serta iman dan amal shaleh.
52
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Hamka
1. Ki Hadjar Dewantara
a. Hakikat Pendidikan Budi Pekerti
Menurut Ki Hadjar Dewantara kata akhlak memiliki
persamaan denga kata budi pekerti yang mana kata budi yang
berarti pikiran (cipta), perasaan (rasa), dan kemauan (karsa).
Sedangkan pekerti berarti tenaga. Budi pekerti itu sifatnya jiwa
manusia, mulai angan-angan sampai terjelma sebagai tenaga. 86
Jadi yang dimaksud budi pekerti (akhlak) adalah bersatunya
gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang
akhirnya menimbulkan tenaga.
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (Intelect) dan tubuh anak. Dalam
Tamansiswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu,
supaya kita dapat memajukan kesempatan hidup yakni
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras
dengan dunianya.87
86
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Bagian pertama (Yogyakrta: MLTM, 1962), hlm.25. 87
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Bagian pertama, Cetakan I, (Yogyakrta: MLPT,
1962),hlm.14-15.
53
Sementara dalam tulisan lain “Dasar-dasar Pendidikan”,
Ki Hadjar Dewantara menjelaskan tentang arti dan maksud
pendidikan.
“pendidikan merupakan tuntunan didalam hidup,
maksudnya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”.88
Pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara adalah
Segala usaha dari orang tua terhadap anak-anak dengan maksud
menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki
bertumbuhnya segala kekuatan rohani dan jasmani yang ada pada
anak-anak karena kodrat irodatnya sendiri.89
Hakikat dan tujuan pendidikan akhlak erat hubungannya
dengan tanggapan hidup, demikian juga cara-cara melakukan
pendidikan dalam praktik. Pendidikan dapat diwujudkan dalam
berbagai cara baik positif dan negatif.90
Pendidikan akhlak Islam diartikan sebagai latihan mental
dan fisik Pendidikan yang menghasilkan manusia berbudaya
tinggi untuk melaksanakan tugas kewajibannya dan
tanggungjawab dalam masyarakat selaku hamba Allah.
Pendidikan akhlak Islam berarti juga menumbuhkan personalitas
(kepribadian) dan menanamkan tanggng jawab.
88
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Bagian pertama, Cetakan I, (Yogyakrta: MLPT,
1962), hlm.20. 89
Ki Hajar Dewantara, Op. Cit., hlm.471 90
M.Yatimin Abdullah,M.A.,Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur‟an...hlm.21.
54
Jadi, Pendidikan akhlak Isalami merupakan suatu proses
mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan
mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir baik yang bersifat
formal maupun pendidikan Islam ini khusus memebrikan
pendidikan tentang akhlaqul karimah agar dapat mencerminkan
kepribadian seorang muslim.91
b. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling
berkaitan yang telah menarik perhatian para filsof dan pendidik
sejak dahulu. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai
tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya
tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berori
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan budi pekerti
bertujuan memberi macam-macam pendidikan (pengajaran), agar
seutuhnya jiwa anak terdidik, bersama-sama dengan pendidikan
jasmaninya. Jiwa dan raga dari setiap orang memiliki sifat
masing-masing yang khusus dan mewujudkan individualitet (sifat
satu-satunya manusia) yang sempurna.
Individualitet ini jika terdidik menurut kodratnya akan
menjadi kepribadian, yakni jiwa yang merdeka atau karakter
(jiwa). Jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan hidupnya itu
saling berpengaruh, sehingga mendidik raga itu sambil juga
91
Ibid.,
55
mendidik jiwa (hal itu minimal sudah dilakukan atau dimulai
pada Taman Indria/Taman Kanak-Kanak).92
c. Materi Pendidikan Budi Pekerti
Setelah dipaparkan tentang tujuan pendidikan budi
pekerti diatas, selanjutnya akan dibahas tentang materi
pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara. Dalam hal
ini, Ki Hadjar Dewantara berprinsip bahwa materi pendidikan
budi pekerti merupakan dasar utama pendidikan dan harus
diberikan lebih awal, materi tersebut adalah materi syari‟at Islam.
Sedangkan ilmu pengetahuan disampaikan sambil berjalan. Sebab
menurutnya, jika mengabaikan pendidikan budi pekerti dan lebih
mengutamakan ilmu pengetahuan maka yang akan terjadi adalah
materialisme, egoisme dan amoralisme akan merasuki pribadi
siswa.93
Selain itu, materi pendidikan budi pekerti harus
diberikan sesuai dengan perkembangan anak seperti yang telah
dijelaskan di atas mengenai masa-masa anak. Oleh karena itulah,
Ki Hadjar Dewantara dalam menjelaskan materi pendidikan budi
pekerti dijelaskan secara beriringan dengan umur atau
perkembangan anak, yaitu:94
1) Taman Indria (TK/RA), kira-kira umur 5-8 tahun
92
Ibid.,hlm.467. 93
Ibid.,hlm.477. 94
Ibid.,hlm.467-468, dan 487-490.
56
Materi berupa segala bentuk permainan yang dapat
mendidik tubuh serta panca-indera. Misalnya yang dapat
mendidik tubuh; gobak, geritan, trembung, obrok, raton, dll.
Sedangkan yang dapat mendidik panca-indera;
menyulam,menggambar, menyanyi, bercerita, dan lain-lain
yang dapat mendidik perasaan dan pikiran sambil bermain.
Selain itu, mendengarkan cerita yang berdasarkan
keindahan (puisi) dan menarik hati anak-anak. Kenyataan-
kenyataan jangan hanya diceritakan tetapi juga
diperlihatkan/dimodelkan oleh guru. Cerita diambil dari
daerah terdekat dan anak-anak tidak harus hafal pada
ceritanya, karena materi ini tidak mendidik
kognitif/pengetahuan siswa, tetapi menuntun dan mendidik
geraknya jiwa, yaitu asalkan anak-anak turut merasakan
sudah cukup. Demikian juga mendengarkan lagu-lagu yang
indah untuk membiasakan anak menerima keindahan dalam
sanubarinya.
Keterkaitan dengan penetapan materi pendidikan
akhlak pada masa ini, guru dalam memberikan materi
berupa pembiasaan yang bersifat global dan spontan, yakni
belum berupa teori yang terbagi-bagi menurut jenisnya
kebaikan atau keburukan dan belum terencana mengenai
waktu pemberian materinya (mengalir), yang terpenting
57
pembiasaan perilaku yang positif. Namun yang perlu
diperhatikan, pada masa ini perlu diberikan materi dengan
bentuk latihan wirama dan latihan panca-indera yakni
pembiasaan berbuat dan berperilaku secara tertib dan sesuai
aturan norma yang ada, untuk menyempurnakan
perkembangan jiwa dan raga anak-anak menuju kecerdasan
budi pekerti kelak.
2) Anak umur 9-12 tahun.
Pada periode ini pendidikan tubuh sudah mulai
support (mendukung) dan bersama-sama dengan materi-
materi lainnya untuk perkembangan jiwa peserta didik, yakni
terkait dengan; kecepatan berpikir, rajin, dan lemah lembut.
Materi cerita dan lagu pada periode ini diperluas. Pada masa
ini seyogyanya juga diberikan pendidikan akhlak dan adat
istiadat, supaya ketika terjun di masyarakat anak bisa
menjaga ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat.
Di samping itu, periode ini menurut Ki Hadjar
Dewantara juga disebut periode hakikat. Pada fase ini
seyogyanya anak-anak diberi pengertian tentang segala
tingkah laku yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun caranya masih occasional atau spontan, namun di
kelas yang tingkatnya lebih tinggi boleh disediakan jam
tertentu untuk menyampaikan materi pendidikan akhlak.
58
Materi budi pekerti (Akhlak) tidak cukup hanya
membiasakan apa yang diperintahkan atau hanya meng-
insyafi saja, tetapi anak-anak juga harus menyadarinya.
Jangan sampai mereka terikat oleh syariat yang
kosong, jelaskanlah sekedarnya mengenai maksud dan tujuan
pendidikan akhlak, yang intinya memelihara tata-tertib dalam
hidupnya untuk ketenangan hidupnya.
Materi pendidikan budi pekerti pada masa ini tidak
harus terbatas pada pembiasaan syariat, jika anak-anak sudah
bisa melampaui maka diperbolehkan melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang lebih sukar dan berat yang biasanya diberikan
terhadap periode tariqat .
3) Masa remaja yang berumur 13-16 tahun.
Pada periode ini seyogyanya diberikan pendidikan
kesehatan, kekuatan, life-skill, meneguhkan kemauan atau
kerajinan dalam mempelajari ilmu pengetahuan, agama dan
seni. Terkait dengan seni, materinya disesuaikan dengan asal
daerah peserta didik. Sedangkan, mengenai materi cerita pada
fase ini diperluas meliputi seluruh Indonesia, dengan
mengajarkan akhlak yang terkandung dalam cerita (ibroh ).
Agar hal itu bisa ditiru dan dibiasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Periode ini merupakan fase yang berbahaya,
karena masa pubertas (akil-balig).
59
Periode ini diberikan kelanjutan pendidikan
mengenai pembiasaan pikiran, kerajinan dan penyempurnaan.
Namun, yang perlu diperhatikan pada fase ini diberikan
kebebasan dan peraturan yang tegasoleh dirinya sendiri (self-
disiplin). Jadi pendidikannya harus bertahap dan
penyampaiannya secara halus. Oleh karena itu, pada periode
ini anak-anak dituntut untuk mulai berlatih diri terhadap
segala perilaku yang sukar dan berat dengan niat disengaja
dan sungguh-sungguh karena pada masa ini juga disebut
periode tarikat.
Pada fase ini, materi budi pekerti berupa atau
diwujudkan dengan bersemedi, berpuasa, berjalan kaki ke
tempat-temapat yang jauh. Ki Hadjar Dewantara
menambahkan bahwa segala perilaku yang disengaja dan
memerlukan kehendak dan semangat yang istimewa atau kuat
merupakan salah satu bentuk pendidikan akhlak.
4) Masa dewasa yang berumur 17-20 tahun.
Pada fase inilah ketentraman jiwa anak muncul
kembali. Oleh karena itu, kecerdasan jiwanya dituntun lebih
dalam lagi dengan cara mempelajari ilmu pengetahuan,
agama dan ilmu akhlak secara umum.
Pembiasaan/perenungan tentang ilmu-ilmu tersebut
mempengaruhi jiwa manusia dan pengetahuan tentang watak
60
baik/perilaku baik diberikan untuk penyokong pendidikan
akhlak. Masa ini juga disebut periode ma‟rifat.
Materi pendidikan budi pekerti (akhlak) yang
diberikan pada fase ini ialah berupa ilmu atau pengetahuan
yang dalam dan luas. Pada masa inilah anak-anak dapat
materi tentang apa yang disebut ethik yaitu hukum
kesusilaan. Jadi tidak hanya tentang berbagai bentuk-bentuk
atau adat kesusilaan saja, namun juga tentang dasar-dasarnya
yang berhubungan dengan hidup bernegara, perikemanusiaan,
keagamaan, filsafat, kebudayaan dan lain sebagainya. Pada
masa ini materi-materi pendidikan akhlak harus diberikan
waktu tersendiri atau diberikan secara dengan metode
ceramah.
d. Metode Pembelajaran Pendidikan budi pekerti
Dalam pendidikan telah dikenal beberapa aspek yang penting
yang berpengaruh terhadap kesuksesan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan, salah satunya adalah aspek metode pengajaran. Hal
ini dikarenakan metode pengajaran terkait dengan proses interaksi
dan komunikasi antara pendidik dengan peserta didik. Menurut Ki
Hadjar Dewantara secara umum metode pendidikan dan
pengajaran telah terangkum dalam satu sistem yang dikenal
dengan “among methode” atau sistem among. Among memilki
arti menjaga, membina, dan mendidik, anak dengan kasih
61
sayang.95
Hal ini dapat ditemukan dalam 7 azas taman siswa yang
digagas oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922. dan menurut
kondisi saat itu yang berisikan:
”sang anak harus tumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei)
itulah perlu sekali untuk segala kemadjuan (evolutie) dan
harus dimerdekakan seluas-luasnja. Pendidikan yang
beralaskan paksaan-hukuman-ketertiban (regeering-tuch en
orde) kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak.
Jang kita pakai sebagai alat pendidikan jaitu pemeliharaan
dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnja hidup
anak, lahir dan batin menurut kodratnja sendiri. Itulah yang
kita namakan ”among methode” Selandjutnja dalam butir
kedua berbunji ”peladjaran berarti mendidik anak-anak akan
mendjadi manusia jang merdeka batinnja, merdeka fikirannja
dan merdeka tenaganja.” 96
”Among methode” adalah Pemeliharaan dengan sebesar
perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin
menurut kodratnya sendiri.97
Sistem among mengemukkan dua
dasar98
:
1) Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan
menggerakkan kekuatan lahir dan batin, hingga dapat hidup
merdeka (dapat berdiri sendiri).
2) Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai
kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Dalam lingkup pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara
memilki metode pengajaran dan pendidikan tersendiri yang terdiri
95
Ki Priyo Dwiarso, sistem among mendidik sikap merdeka lahir dan
batin,www.tamansiswa.com, akses 7 juni 2008, jam 07.00 WIB 96
Ki Hajar Dewantara, Op. Cit., hlm. 48 97
Ki Hajar Dewantara, Log. Cit., hlm. 48 98
I. Djumhur dan H. Danasupatra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1976),
hlm. 174
62
atas tiga macam metode yang didasarkan pada urutan
pengambilan keputusan berbuat, yang artinya ketika kita
bertindak haruslah melihat dan mencermati urutan-urutan yang
benar sehingga tidak terdapat penyesalan di kemudian hari.
Metode tersebut antara lain adalah: ngerti (mengerti), ngrasa
(merasakan) dan ngelakoni (melaksanakan).99
Dari tiga macam metode pengajaran budi pekerti yang
dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a) Metode Ngerti
Metode Ngerti dalam pendidikan budi pekerti yang
dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mempunyai maksud
memberikan pengertian yang sebanyak-banyaknya kepada
anak. Didalam pendidikan budi pekerti anak diberikan
pengertian tentang baik dan buruk. Berkaitan dengan budi
pekerti ini seorang pamong (guru) ataupun orang tua harus
berusaha menanamkan pengetahuan tentang tingkah-laku yang
baik, sopan-santun dan tata krama yang baik kepada peserta
didiknya. Dengan harapan peserta didik akan mengetahui
tentang nilai-nilai kebaikan dan dapat memahami apa yang
dimaksud dengan tingkah- laku yang buruk yang dapat
merugikan mereka dan membawa penyesalan pada akhirnya.
99
Muhammad Tauchid, Perjuangan Hidup Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: MLPTS,
1963), hlm.57.
63
Selain itu pamong juga memiliki tugas untuk mengajarkan
tentang hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dsan
bernegara serta beragama. Dengan tujuan akhir peserta didik
dirahkan untuk mampu menjadi manusia yang merdeka dan
memahami pengetahuan tentang perilaku baik dan buruk serta
memliki budi pekerti (akhlak) yang luhur (mulia).
b) Metode Ngrasa
Metode yang kedua adalah metode Ngrasa yang
merupakan kelanjutan dari metode Ngerti, metode pendidikan
budi pekerti merupakan metode yang bertahap yang
merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya.yang dimaksud dengan metode
Ngrasa adalah berusaha semaksimal mungkin memahami dan
merasakan tentang pengetahuan yang diperolehnya. Dalam hal
ini peserta didik akan di didik untuk dapat memperhitungkan
dan membedakan antara yang benar dan yang salah.
c) Metode Nglakoni
Metode Nglakoni merupakan tahapan terakhir dalam
metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki
Hadjar Dewantara, yang dimaksud dengan metode Ngelakoni
adalah mengerjakan setiap tindakan, tanggung jawab telah
dipikirkan akibatnya berdasarkan pengetahuan yang telah
didapatnya. Jika tindakan telah dirasakan mempunyai
64
tanggungg jawab, tidak mengganggu hak orang lain, tidak
menyakiti orang lain maka dia harus melakukan tindakan
tersebut.
Dari metode pendidikan budi pekerti yang dikembangkan
oleh Ki Hadjar Dewantara tersebut diatas menurut penulis
merupakan metode pengajaran yang menekankan kepada
penyadaran diri dari masing-masing peserta didik. Hal ini dapat
dilihat dari tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Ki Hadjar
Dewantara yang melihatkan pentingnya sebuah tindakan.
Dari macam-macam metode diatas penulis akan
memaparkan beberapa pendapat tentang metode pendidikan budi
pekerti (akhlak). Dalam pendidikan akhlak terdapat metode-
metode spesifik untuk diterapkan. Dalam konteks ini alQur‟an
telah menegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 35, yang berbunyi
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-
Nya.
Menurut Athiyah al-Ibrasyi, metode yang praktis dan efektif
bagi pendidikan akhlak antara lain:
Pendidikan secara langsung, dengan cara memberi petunjuk
atau nasehat, menjelaskan manfaat dan bahaya, menuntun pada
amal-amal baik,
65
Mengambil manfaat dari kecenderungan dan pembawaan
anak didik dalam rangka mendidik akhlak, contohnya kesenangan
anak meniru sesuatu, maka guru seyogyanya menghias diri
dengan akhlak mulia.100
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi,
metode pendidikan meliputi: metode hiwar, metode kisah, metode
amtsal (perumpamaan), metode teladan, metode pembiasaan diri
dan pengalaman, metode pengambilan pelajaran dan peringatan,
metode targhib dan tarhid (janji dan ancaman).101
Sedangkan
Muhammad Quthb berpendapat bahwa metode yang digunakan
adalah metode teladan, metode nasehat, metode hukuman, metode
cerita, metode kebiasaan, metode penyaluran kekuatan, metode
mengisi kekosongan, dan metode hikmah suatu peristiwa.102
Proses pendidikan akan berhasil apabila metode dan materi
yang diberikan tepat dan sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan siswa. Metode pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara adalah pendidikan keagamaan Islam yakni syari‟at,
hakikat , thariqat dan ma‟rifat . Untuk penjelasannya sebagai
berikut:103
Pertama syari‟at, pendidikan syari‟at diberikan kepada anak
kecil dan harus kita artikan sebagai pembiasaan bertingkah-laku
serta berbuat menurut peraturan atau kebiasaan yang umum. Agar
100
M.Athiyah al-Ibrasyi, Op.Cit.,hlm.106-108 101
Djasuri,Pengajaran Akhlak, dalam Chabib Thoha,dkk.(eds), Metodologi Pengajaran
Agama, (Yogyakarta: IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar,1999),hlm.123-125 102
Ibid.,hlm.126 103
Ibid., hlm.485-487.
66
peserta didik mau melakukan apa-apa yang diinstruksikan oleh
guru, maka pendidik harus memberi contoh atau perintah yang
baik.
Menurut Ki Hadjar Dewantara pada fase ini, keterangan atau
penjelasan mengenai materi akhlak secara mendalam belum
waktunya diberikan, karena anak-anak belum mempunyai
kesanggupan untuk berpikir. Jika ada anak yang bertanya
mengenai materi-materi, maka guru disarankan untuk
menjawabnya secara singkat dan dapat dicerna dengan mudah
oleh peserta didik.
Terbiasa berperilaku yang baik merupakan keinginan bagi
pendidik ataupun orang tua kepada anak-anaknya, oleh karena
itulah, seyogyanya guru selalu menegur atau menasehati apabila
peserta didik berperilaku negatif atau senonoh. Tetapi seorang
guru tidak boleh melupakan hakikat-hakikat anak yang
perilakunya selalu spontan (perilaku yang dilakukan secara tiba-
tiba). Kendati tindakan yang spontan itu merupakan perbuatan
yang tidak bisa dibenarkan, namun anak-anak mungkin memiliki
alasan-alasan yang baik dan benar, bahkan alasan-alasan mulia
yang oleh pendidik tidak ketahui atau belum dilihat. Misalnya,
ada siswa yang keluar/lari dari ruangan kelas mungkin untuk
menolong seekor hewan yang sedang disakiti oleh hewan lainnya.
67
Untuk itulah, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa
perilaku spontanitas itu terjadi karena pada dasarnya ada
alasannya. Selain itu, beliau juga berpandangan supaya seorang
guru wajib memberi kebebasan sebanyak-banyaknya kepada
anak-anak selama tidak mengganggu ketertiban atau kedamaian,
serta selama tidak ada bahaya yang mengancam dan dapat merugikansi-
anak atau anak-anak lain.
Kedua menurut Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan atau
metode hakikat (tingkatan hakikat ) yang berarti kenyataan atau
kebenaran, bertujuan untuk memberi pengertian kepada anak,
agar mereka menjadi insyaf serta sadar tentang segala kebaikan
dan kejahatan. Pendidikan hakikat ini disampaikan kepada anak-
anak fase akil-baligh yaitu disaat berkembangnya akal atau
kematangan berpikir.
Pada waktu inilah kita memberi ke- insyafan dan kesadaran
tentang berbagai kebaikan dan kejahatan, namun harus
berdasarkan atas dasar pengetahuan, kenyataan atau kebenaran.
Jangan sampai peserta didik terikat dengan kebiasaan-kebiasaan
tanpa mengetahui akan maksud dan tujuan yang sebanarnya. Ki
Hadjar Dewantara berpesan dan berprinsip bahwa syari‟at tanpa
hakikat adalah kosong, sedangkan hakikat tanpa syariat ialah tidak
sah.
68
Ketiga ialah tarikat, yang lebih terkenal dengan sebutan tirakat .
Tarikat berarti perilaku, yakni perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja dengan tujuan supaya kita dapat melatih diri untuk
melaksanakan berbagai kebaikan, kendatipun sulit dan berat.
Metode ini merupakan latihan yang diberikan kepada anak-anak
yang beranjak dewasa untuk memaksa, menekan atau memerintah
dan menguasai diri sendiri.
Dalam lingkungan keagamaan atau kebatinan pada
umumnya, tarikat itu berupa berbagai macam kegiatan atau
perilaku, seperti berpuasa, berjalan kaki menuju tempat yang
jauh, mengurangi tidur dan makan dan menahan berbagi hawa
nafsu pada umumnya. Dan inilah sebenarnya pokok yang
terkandung didalam pendidikan akhlak. Dalam lingkungan
pendidikan modern latihan-latihan seperti itu tidak hanya untuk
kabatinan (spritual), namun dapat diwujudkan pula sebagai
kegiatan/latihan kesenian dan olahraga, kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan, dan kenegaraan, mulai dengan gerakan
kepanduan dan pemuda, gerakan sosial dan lain sebagainya yang
bertujuan melatih para pemuda untuk mengamalkan segala
tanggung jawabnya terhadap kepentingan umum.
Setelah kita berturut-turut membahas syariat, hakikat, hingga
tarikat. Selanjutnya Ki Hadjar Dewantar menambahkan metode
ma‟rifat yang digunakan dalam pendidikan akhlak bagi anak-anak
69
dewasa. Ma‟rifat berarti benar-benar mengerti/paham. Pada waktu
inilah seorang guru harus berusaha agar anak-anak yang sudah
dewasa tidak bersikap kosong dan ragu-ragu, atau mungkin
terombang-ambingkan oleh keadaan yang belum pernah mereka
alami. Mereka harus sudah mengerti akan adanya hubungan
antara tata tertib lahir dan ketenangan batin dan telah cukup
berlatih dan terbiasa menguasai dirinya sendiri,serta
menempatkan dirinya di dalam koredor atau garis-garis syariat,
hakikat dan tarikat . Jika mereka masih juga berbuat hal yang
negatif (salah pilih jalan), maka setidaknya mereka sudah dapat
berpikir, sehingga mereka tidak akan terombang-ambingkan oleh
pertentangan-pertentangan batin.
e. Pendidik dan peserta didik
Dalam sebuah kehidupan, manusia memiliki
ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya begitu pula
dalam proses pendidikan, manusia memiliki saling
ketergantungan antara yang satu dengan yang lain.
Menurut Ki Hadjar Dewantara yang dikutip oleh Haidar
Musyafa, menyatakan bahwa: sistem pendidikan yang cocok bagi
anak-anak adalah sistem pendidikan yang menekakan pada
kebudayaan dan karakter bangsa Indonesia yang tidak mengenal
paksaan. Sehingga Ki Hadjar Dewantara cenderung berpandangan
bahwa anak-anak akan mudah berkembang jika dididik dengan
70
nilai-nilai tradisional yang berangkat dari kehalusan rasa, penuh
kasih sayang, cinta damai, penuh kejujuran, dan berlaku sopan
santun dalam melakukan tindakan dan perkataan.104
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
disinilah peserta didik harus ditempatkan sebagai subyek bukan
obyek pendidikan yang bisa seenaknya dipaksa dengan aturan dan
perintah-perintah.
Adapun pendidikan yang terbaik untuk anak-anak adalah
memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada mereka untuk
meningkatkan potensi dirinya, kemudian mengekspresikan
dirinya dengan cara yang kreatif dan bertanggung jawab sesuai
dengan kemampuan masing-masing peserta didik. Untuk
menerapkan pendidikan seperti itu bagi anak-anak maka Ki
Hadjar Dewantara menerapkan tiga semboyan pendidikan di
sekolah Tamansiswa, dimana semboyan itu Ki Hadjar Dewantara
gali dari nilai-nilai khazanah Indonesiea yang halus dan berbudi
pekerti.
Ketiga semboyan pendidikan yang diterapkan di Sekolah
Tamansiswa yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara
diantara adalah:105
Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru
adalah pendidik yang harus memberi teladan yang baik kepada
104
Haidar Musyafa, Sang Guru Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara: Kehidupan,
Pemikiran dan Perjuan Pendiri Tamansiswa, (Jakarta: Imania, 2015),hlm. 287. 105
Ibid., hlm.288.
71
anak didiknya. Sebab seorang guru adalah figur anutan yang
harus digugu dan ditiru semua perkataan dan perbuatannya.
Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru
adalah pendidik yang selalu berada ditengah-tengah anak
muridnya, terus-menerus membangun dan menumbuhkan
semangat peserta didik untuk terus menorehkan karya. Seorang
guru juga berkewajiban mengajak anak didiknya untuk menggali
ide dan gagasan, sehingga mereka dapat berkembang menjadi
manusia yang cerdas, dan terwawas.
Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah
pendidik yang terus-menerus menuntun, memberikan dorongan,
semangat dan menunjukan arah yang benar untuk anak didiknya.
Seorang guru pendidikan akhlak sering kali diharuskan
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Kendatipun
guru sering diartikan sebagai orang yang harus diguguh dan
ditiru dalam hal ilmunya, menurut Ki Hadjar Dewantara, kriteria
itu salah dan tidak benar. Untuk itulah perlu direnungi dan
diresapi bahwa menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan akhlak
adalah “membantu perkembangan hidup peserta didik, lahir dan
batin, dari sifat kodratnya menuju ke arah peradaban dalam
sifatnya yang umum ”.106 Jadi, Makna pendidikan akhlak ini
mengajak kepada segenap guru atau pendidik agar pelaksanaan
106
Ibid.,hlm.485.
72
pendidikan akhlak dalam setiap saat di sekolah dan tidak harus
berpengetahuan luas.
Seperti perintah yang dicontohkan oleh Ki Hadjar
Dewantara, yakni, menganjurkan atau memerintahkan anak-anak
untuk:
1) Duduk yang baik.
2) Jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak-anak lain
3) Bersih badan dan pakaiannya.
4) Hormat terhadap ibu-bapak dan orang-orang tua lainnya.
5) Menolong teman-teman yang perlu ditolong, dan lain
sebagainya.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan
akhlak seharusnya diberikan kepada peserta didik dengan cara
bertahap sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Ki Hadjar
Dewantara perkembangan dan kecerdasan jiwa itu terbatas oleh
umur dan lingkungan masing-masing anak, yaitu:107
a) Alam atau windu pertama, yakni alamnya anak-anak
kecil, periode ini merupakan alam panca-indera dan
pertumbuhan jasmani; pada masa ini jiwa laki-laki dan
perempuan belum ada perbedaan, jiwa masih utuh,
belum ada differensiasi (total) sehingga pendidikannya
difokuskan pada mendidik tubuh dan panca-indera
107
Ibid.,hlm.467.
73
dengan alat atau metode permainan, menggambar, cerita,
menyanyi, pertunjukan dan lain sebagainya. Semua itu
aktif dan pasif.
b) Alam atau windu kedua: alam anak-anak muda (remaja).
Pada masa ini sudah ada perbedaan tabiat dan kebiasaan
antara laki-laki dan perempuan; alam ini merupakan fase
pertumbuhan atau bertumbuhnya pikiran, tetapi dalam
hal ini perasaan masih belum dominan. Anak pada
periode ini tertarik pada realita atau pengalaman
sehingga pendidikan yang tepat adalah pendidikan atau
pembiasaan akhlak yang meliputi; setia, berani, teguh,
lemah lembut, tidak lekas bosan, suka beramal dan
berbuat baik, serta ikhlas dalam pengabdian. Masa ini
juga baik diajarkan pendidikan seni.
c) Alam atau windu ketiga: fase manusia dewasa, alam
akil-baligh, periode bertingkah laku, serta alam
kemasyarakatan. Pada periode ini pendidikan harus
bersifat pendidikan watak dengan metode dan cara;
pengajaran ilmu untuk mendapatkan kebiasaan atau
pengetahuan, dalam hal ini tidak hanya sekedar paham
atau mengerti tetapi peserta didik dapat menggunakan
ilmu atau mempraktekkan akhlak yang baik. Pada masa
74
ini seyogyanya ditekankan pada pendidikan rasa, agama,
kesenian dan kehalusan budi (etika dan estetika).
f. Pusat Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan Akhlak berlangsung dalam tiga lingkungan
pendidikan, yaitu dalam keluarga, di sekolah, dan dalam
masyarakat, ada yang secara formal dan ada pula secara informal.
Ketiga lingkungan pendidikan itu oleh Ki Hadjar Dewantara
disebut tri pusat pendidikan. Karena dalam ketiga lingkungan itu
terjadi proses pembentukan dan pengembangan kepribadian
seseorang. Berikut ini Ki Hadjar Dewantara akan menjelaskan
mengenai tri pusat pendidikan akhlak:108
1) Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua,
bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai oleh
anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang
tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi,
dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan
baik. Pendidikan keluarga berfungsi: sebagai pengalaman
pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional
anak, menanamkan dasar pendidikan moral, memberikan
dasar pendidikan sosial. meletakkan dasar-dasar pendidikan
agama bagi anak-anak.
108
Darwis A.Soelaiman, Sekolah, Keluarga dan Masyarakat Sebagai Pusat Kebudayaan,
Makalah, hlm. 2-3.
75
2) Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh
orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu
pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh
karena itu dikirimkan anak ke sekolah. Sekolah
bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama
mereka diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai
sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan,
diantaranya sebagai berikut; sekolah membantu orang tua
mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta
menanamkan budipekerti yang baik.
Selain itu Ki Hadjar Dewantara menganggap sekolah
memberikan pendidikan untuk kehidupan didalam
masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah,
sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-
kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung,
menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan
kecerdasan dan pengetahuan, di Sekolah diberikan pelajaran
akhlak, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau
salah, dan sebagainya.
3) Masyarakat
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan
lingkungan-lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan
76
yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-
anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan
keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah.
Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut
tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang
dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang,
baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan
pengertian-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat,
maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
g. Matrik Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hadjar
Dewantara
Aspek-aspek
Pneidikan akhlak
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki
Hadjar Dewantara
Hakikat Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara kata
akhlak memiliki makna yang sama
dengan kata budi pekerti. yang mana budi
pekerti berasal dari kata budi yang berarti,
cipta (pengetahuan), rasa (jiwa), dan karsa
(Kemauan) Sedangkan pekerti berarti
tenaga. Jadi yang dimaksud budi pekerti
(akhlak) adalah bersatunya gerak pikiran,
perasaan dan kemauan yang akhirnya
menimbulkan tenaga.
Tujuan Pendidikan budi pekerti atau
77
Tujuan Pendidikan
akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara
adalah untuk memberikan pengajaran
terhadap jiwa dan raga anak, dalam rangka
mewujudkan individualitet (Sifat
manusia), yang mana apabila individualitet
itu terdidik menurut kodratnya, sehingga
jiwa dan raga itu akan merdeka. Sebab
jiwa dan raga (jasmani) itu merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara mendidik
jiwa sebaiknya minimal sudah diberikan
atau dimulai pada Taman Indria/Taman
Kanak-Kanak).
Materi Pendidikan
Menurut Ki Hadjar Dewantara materi
pendidikan akhlak sebaiknya diberikan
kepada anak didik sesuai dengan tingkat
perkembangannya. diantaranya yaitu:
1. Taman Indria (TK/RA), kira-kira
umur 5-8 tahun. Misalnya yang dapat
mendidik tubuh; gobak, geritan,
trembung, obrok, raton, dll.
2. Anak umur 9-12 tahun.
Pada periode ini pendidikan tubuh
sudah mulai support (mendukung) dan
bersama-sama dengan materi-materi
78
lainnya untuk perkembangan jiwa
peserta didik, yakni terkait dengan;
kecepatan berpikir, rajin, dan lemah
lembut. Materi cerita dan lagu pada
periode ini diperluas.
3. Masa remaja yang berumur 13-16
tahun. Pada periode ini seyogyanya
diberikan pendidikan kesehatan,
kekuatan, life-skill, meneguhkan
kemauan atau kerajinan dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, agama
dan seni.
4. Masa dewasa yang berumur 17-20
tahun. Pada fase inilah ketentraman
jiwa anak muncul kembali. Oleh
karena itu, kecerdasan jiwanya
dituntun lebih dalam lagi dengan cara
mempelajari ilmu pengetahuan, agama
dan ilmu akhlak secara umum.
Pembiasaan/perenungan tentang ilmu-
ilmu tersebut mempengaruhi jiwa
manusia dan pengetahuan tentang
watak baik/perilaku baik diberikan
79
untuk penyokong pendidikan akhlak.
Masa ini juga disebut periode
ma‟rifat.
Metode Pendidikan Dari tiga macam metode pengajaran budi
pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar
Dewantara dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Metode Ngerti
Metode Ngerti dalam pendidikan budi
pekerti yang dikembangkan oleh Ki
Hadjar Dewantara, mempunyai
maksud memberikan pengertian yang
sebanyak-banyaknya kepada anak.
Didalam pendidikan budi pekerti anak
diberikan pengertian tentang baik dan
buruk.
2. Metode Ngrasa
Metode yang kedua adalah metode
Ngrasa yang merupakan kelanjutan
dari metode Ngerti, metode
pendidikan budi pekerti merupakan
metode yang bertahap yang
merupakan satu-kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya.yang dimaksud dengan
metode Ngrasa adalah berusaha
semaksimal mungkin memahami dan
merasakan tentang pengetahuan yang
80
diperolehnya.
3. Metode Nglakoni
Metode Nglakoni merupakan tahapan
terakhir dalam metode pengajaran
budi pekerti yang dikembangkan oleh
Ki Hadjar Dewantara, yang dimaksud
dengan metode Ngelakoni adalah
mengerjakan setiap tindakan,
tanggung jawab telah dipikirkan
akibatnya berdasarkan pengetahuan
yang telah didapatnya.
Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga
menggunakan metode pendidikan Islam
yang meliputi:
Pertama metode syari‟at, pendidikan
syari‟at diberikan kepada anak kecil dan
harus kita artikan sebagai pembiasaan
bertingkah-laku serta berbuat menurut
peraturan atau kebiasaan yang umum. Agar
peserta didik mau melakukan apa-apa yang
diinstruksikan oleh gurunya, maka
pendidik harus memberi contoh atau
perintah yang baik.
Kedua menurut Ki Hajar Dewantara adalah
pendidikan atau metode hakikat (tingkatan
hakikat ) yang berarti kenyataan atau
kebenaran, bertujuan untuk memberi
pengertian kepada anak, agar mereka
menjadi insyaf serta sadar tentang segala
kebaikan dan kejahatan. Pendidikan
81
hakikat ini disampaikan kepada anak-anak
fase akil-baligh yaitu disaat
berkembangnya akal atau kematangan
berpikir.
Ketiga ialah tarikat, yang lebih terkenal
dengan sebutan tirakat. Tarikat berarti
perilaku, yakni perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja dengan tujuan supaya kita
dapat melatih diri untuk melaksanakan
berbagai kebaikan, kendatipun sulit dan
berat. Metode ini merupakan latihan yang
diberikan kepada anak-anak yang beranjak
dewasa untuk memaksa, menekan atau
memerintah dan menguasai diri sendiri.
Pusat Pendidikan Pusat Pendidikan Akhlak meliputi:
1. Keluarga berfungsi: sebagai
pengalaman pertama masa kanak-
kanak, menjamin kehidupan emosional
anak, menanamkan dasar pendidikan
moral, memberikan dasar pendidikan
sosial. meletakkan dasar-dasar
pendidikan agama bagi anak-anak.
2. Sekolah memberikan pendidikan untuk
kehidupan didalam masyarakat yang
sukar atau tidak dapat diberikan di
rumah, sekolah melatih anak-anak
memperoleh kecakapan-kecakapan
seperti membaca, menulis, berhitung,
menggambar serta ilmu-ilmu lain
sifatnya mengembangkan kecerdasan
dan pengetahuan, di Sekolah diberikan
82
pelajaran akhlak, keagamaan, estetika,
membenarkan benar atau salah, dan
sebagainya.
3. Masyarakat
Pendidikan yang dialami dalam
masyarakat ini, telah mulai ketika anak-
anak untuk beberapa waktu setelah
lepas dari asuhan keluarga dan berada
di luar dari pendidikan sekolah. Dengan
demikian, berarti pengaruh pendidikan
tersebut tampaknya lebih luas.
2. Hamka
a. Hakikat Pendidikan Akhlak
Hamka mengatakan akhlak merupakan sesuatu yang
tertanam dalam jiwa manusia, atau suatu kondisi jiwa
seseorang yang dapat memunculkan suatu tingkah laku baik
atau buruk sesuai dengan kondisi jiwa tersebut, Hamka juga
menyebutkan bahwa tingkah laku manusia berasal dari jiwanya
melalui sebuah proses perjuangan antar akal dan hawa nafsu
yang disebut dengan keutamaan. 109
Menurut Hamka keutamaan terjadi melalui sebuah proses
perjuangan batin, antara hawa nafsu dan akal. Dimana hawa
nafsu mengajak untuk mengerjakan sesuatu yang dapat
menimbulkan mudharat sedangkan akal mengajak untuk
109
Hamka, Falsafah Hidup (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 94.
83
melakukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat. Apabila
seseorang melakukan sesuatu berdasarkan akal maka jadilah
ia seorang yang utama.110 Sehingga dapat dikatakan bahwa,
akhlak bukanlah sebuah kebiasaan yang terjadi dengan
sendirinya, melainkan adanya keteraturan jiwa melalui sebuah
proses perjuangan batin antara hawa nafsu dan akal, yang
kemudian akan berubah menjadi sebuah kebiasaan.
Sementara makna pendidikan akhlak menurut Hamka pada
dasarnya dapat dilihat dari makna pendidikan Islam yaitu
untuk membentuk watak atau akhlak serta kepribadian peserta
didik secara paripurna. Pada dasarnya Hamka mengartikan
pendidikan sebagai suatu cara atau usaha dalam rangka
memberikan pengetahuan kepada seseorang untuk dapat
melihat dengan jelas segala sesuatu yang berada didalam
kehidupannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hamka
bahwa, Inti dari pendidikan adalah untuk membukakan mata
seseorang agar senantiasa memiliki pandangan yang jauh dan
luas”. 111
Pendidikan Islam menurut Hamka yang dirumuskan oleh
Samsul Nizar dalam bukunya bahwa:
“Pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang
dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak,
110
Ibid., hlm. 41 111
Hamka, Lembaga Budi, Cet. VII ( Jakarta: Pustaka Panjimas,1987), hlm. 89
84
budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia
tahu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk”.158
Hamka lebih menekankan pemikiran pendidikannya pada
aspek pendidikan jiwa (al qalb) atau akhlaq al karimah, dan
melihat bahwa pendidikan sebagai upaya penanaman nilai
yang ditekankan pada akhlaq al karimah.159
Jadi pendidikan akhlak yang dimaksud oleh Hamka adalah
pendidikan budi atau jiwa yaitu suatu proses pendidikan yang
mengutamakan kesehatan jiwa atau kemurnian jiwa, karena
dengan jiwa yang sehat maka segala tingkah laku yang baik
akan muncul dari dalam diri. Sebagaimana ungkapan Hamka
yang menyatakan “perangai yang amat utama, ialah yang
timbul dari keteraturan jiwa”.112 Hamka meletakkan kekuatan
akal sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan jiwa, potensi
akal digunakan sebagai perantara untuk mencapai
kesempurnaan jiwa.
Pendidikan akhlak Islam diartikan sebagai latihan mental
dan fisik Pendidikan yang menghasilkan manusia berbudaya
tinggi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam
masyarakat selaku hamba Allah. Pendidikan akhlak Islam
112
Hamka,Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1990), hlm.138.
85
berarti juga menumbuhkan personalitas (kepribadian) dan
menanamkan tanggung jawab.
Jadi, Pendidikan akhlak Islami merupakan proses
mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan
mengenai keteraturan jiwa melalui proses perjuangan batin,
antara akal dan nafsu, sehingga dapat mencerminkan
kepribadian seorang muslim agar menjadi manusia yang utama
.
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi
pembentukan akhlak peserta didik ataupun anak, akan tetapi
pendidikan tidak hanya ditujukan kepada anak-anak saja,
melainkan juga kepada para orang tua atau orang dewasa
sebagai cerminan diri dan upaya introspeksi diri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Hamka, bahwa:
“Anak sekolah masih dapat diajar oleh guru, anak muda
masih bisa disindir oleh ayah. Tetapi orang tua, siapakah
yang akan mengajarnya, siapakah yang akan berani kalau
bukan kitab? Tidaklah boleh dipandang pelajaran adab itu
golongan orang-orang yang muda saja, tetapi rata buat tiap-
tiap manusia, sekurang-kurangnya untuk menjadi cermin
diri, untuk mengetahui tentang dimana letak mereka”.113
Selanjutnya menurut Hamka kesempurnaan akhlak
tergantung pada keutamaan budi dan otak. Keutamaan otak ialah
dapat membedakan antara jalan bahagia dengan jalan yang
113
Hamka, Pelajaran Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), hlm. 363
86
hina, yakin akan kebenaran barang dan berpegang kepadanya,
tahu akan kesalahan barang yang salah dan menjauhinya.
Sedangkan keutamaan budi ialah menghilangkan segala
perangai yang buruk adat istiadat yang rendah, yang oleh agama
telah dinyatakan mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti
dipakai. Serta biasakan akhlak terpuji yang berbekas didalam
pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang adat mulia
itu.114
Jadi tujuan dari pendidikan akhlak yaitu agar dapat
membentuk kepribadian peserta didik sehingga ia mampu
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya serta mampu
mengendalikan hawa nafsunya agar mencapai kebahagiaan yang
hakiki.
Apabila manusia menghentikan larangan dan mengerjakan
suruhan, tetapi masih merasa bahwa dirinya melakukan hal
tersebut karena terpaksa, hal ini menunjukan bahwa ia belum
bisa mencapai keutamaan budi. Oleh sebab itu, manusia
diharapkan senantiasa berpegang teguh pada dirinya sendiri
sehingga dapat mencapai kebahagian yang utama.
Hamka mengemukakan bahwa tujuan pengajaran akhlak
merupakan bagian dari pendidikan yaitu “ingin mencapai
setinggi-tinggi budi pekerti atau akhlak”. Adapun ciri-ciri dari
114
Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pusaka Panjimas,1990),hlm.117.
87
pada ketinggian budi yang menjadi tujuan akhir sebuah
pendidikan akhlak adalah apabila manusia telah dapat mencapai
derajat I‟tidal yaitu adanya keseimbangan dalam jiwa manusia
yang merupakan pertengahan dari dua sifat yang berlawanan.115
Pendapat para ahli madzhab menyatakan bahwa bahagia
itu adalah kesenangan atau kenikmatan dan terhindar dari
sesuatu yang menyakitkan. Maka kesenangan itu menjadi asas
akhlak dan itulah porosnya segala amal. Amal itu menjadi baik
apabila dapat melahirkan kesenangan, dan amal itu mejadi buruk
bila melahirkan sakit dan kesakitan.116
Pendidikan akhlak Islam dalam gambaran yang sangat
praktis tetapi terarah, berpengaruh dan relevan dengan
kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan
maupun dalam bermasyarakat. Pendidikan Akhlak Islam adalah
ungkapan lain pendidikan yang ingin mewujudkan masyarakat
beriman yang konsisten dengan prinsip kebenaran, keadilan,
kebaikan sebagai upaya meraih kesempurnaan hidup.117
c. Materi Pendidikan Akhlak
Kajian Hamka mengenai muatan atau materi pendidikan
akhlak berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu
bersifat dualis, Ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi
115
Chabib Thoha, dkk, op. cit., hlm. 135 116
Ahmad Muhammad Al Hufy, Akhlak Nabi Muhammad Saw Keluhuran dan
Kemuliaannya, (Bandung: Gema Risalah Press,1195),hlm.19. 117
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit., hlm. 150-152
88
kebutuhannya dengan baik. Hamka mengklasifikasikan ilmu
menjadi dua yaitu fardu a‟in (Ilmu-ilmu agama), dan fardu
kifayah (ilmu rasional, estetika dan filosofis) dengan rincian
sebagai berikut:
1) Ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu,
shorof, mantiq, dan lain-lain. Materi ini dimaksudkan untuk
menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik.
2) Ilmu umum, seperti sejarah, filsafat, sastra, ilmu berhitung,
falak, dan sebagainya. Dengan ini akan membuka wawasan
keilmuan terhadap perkembangan zaman.
3) Keterampilan, seperti olahraga berguna untuk membuat
tubuhnya sehat dan kuat.
4) Kesenian, seperti musik, menggambar, menyanyi dan
sebagainya, dimaksudkan agar peserta didik akan memiliki
rasa keindahan dan akan memperhalus budi rasanya.118
Secara umum Hamka mengelompokan akhlak kedalam
dua bagian yaitu akhlak luar dan akhlak dalam. Pertama,
Akhlak luar yaitu akhlak yang akan berubah sesuai dengan
perubahan zaman dan juga hukum adat istiadat, akhlak luar
disebut juga dengan etiket yang mana tiap daerah atau
lingkungan tertentu akan memiliki akhlak luar masing-masing
118
Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005), hal.278-279.
89
sesuai dengan kemajuan batin yang mereka miliki. 119
Sedangkan kedua, Akhlak dalam (batin) yang terbagi dalam dua
bagian, meliputi akhlak kepada makhluk dan akhlak kepada
Khaliq diantaranya meliputi:
a) Akhlak kepada Sesama makhluk.
Akal sebagai pengatur segala bentuk perbuatan manusia,
dikarenakan hal tersebut maka, manusia dapat
mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, sehingga
kesempurnaan akal harus dibekali dengan ilmu. Sehingga
keindahan jasmani seseorang harus seimbang dengan
keindahan batin yang dimilikinya untuk mendapatkan
kesempurnaan akhlak. Beberapa contoh kesopanan dalam
Islam kepada sesama manusia sekaligus menjadi point
utama Menurut Hamka upaya untuk mendapatkan
keindahan batin adalah:
(1) Memelihara mata dan perhiasan. Dimaksud dalam poin
ini adalah menjaga pandangan dari segala sesuatu yang
buruk dan juga menjaga harga diri. Dalam hal ini
Hamka memberikan contoh dengan pola hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya
perempuan tidak diperkenankan untuk memperlihatkan
119
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1950), hlm. 98-99
90
perhiasan dirinya kecuali kepada suaminya.
Sebagaimana perkataan Hamka yang mengatakan:
“Jagalah matamu hai laki-laki, jagalah matamu hai laki-
laki, jagalah matamu hai perempuan, Pagarlah dirimu
masing-masing dengan sabar hai laki-laki, dan dengan
malu hai perempuan. Janganlah kamu bersolek dan
berhias dan berbedak supaya menarik mata laki-laki
agar ia tergila-gila kepadamu. Tetapi hiasilah dirimu
guna dilindungi.”120
(2) Jangan merusak hubungan. Dalam hal ini Hamka
merujuk pada (Q.S.Al Hujurat: 11-12)
ن م عسى أى يكا خيسا ه م هي ق ا لب يسخس ق ب ٱلريي ءاه ي أي
لب لب سبء هي سبء عسى أى يكي خيس ا أفسكن لب تلوص ي ا ه
هي لن يتت فأل ئك بثصا ثٱلألق ت ثئس ٱلٱسن ٱلفسق ثعد ٱلئيو ي ت
ن ٱلظ لوى
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain,
boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan
jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-
orang yang zalim.” (Al-Hujurat 49:11)
ا ٱجت ب ٱلريي ءاه لب ي أي جا كثيسا هي ٱلظي إى ثعض ٱلظي إثن
هيتب لب يغتت ثعضكن ثعضب أيحت أحدكن أى يأكل لحن أخي تجسسا
اة زحين ت إى ٱلل ٱتقا ٱلل تو فكس
120
Ibid., hlm. 108
91
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka
itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat 49:12)
Dengan beberapa point yang didalamnya mengandung
adab atau akhlak dalam bermasyarakat, diantaranya:
Pertama, Tidak saling mencela antara golongan yang satu
dengan yang lainya. Karena orang yang di cela bisa jadi lebih
baik dari yang mencela. Hal ini telah menajadi tabiat manusia
bahwa ia hanya akan mengingat kesalahan orang lain tidak
dengan kesalahannya sendiri.
Kedua, Jangan kamu memfitnahkan dirimu, yaitu dilarang
perbuatan saling menghasut dan memfitnah, menghina atau
merendahkan orang lain.
Ketiga, Jangan memilih gelar-gelar yang buruk, dalam hal
ini Hamka menyatakan bahwa ”sejahat-jahat gelar atau nama,
yang seburuk-buruk kelakuan pada pandangan kesopanan ialah
orang yang dahulu beriman, kemudian menjadi fasik”
Keempat, Hendaklah disingkirkan sangka-sangka buruk,
karena hanya akan mendakatkan diri dengan dosa. Jahat sangka
bertambah hebat kalau ada juru kabar yang mempunyai
dinamika, hal ini menunjukkan dilarangnya perbuatan yang
92
membuat seseorang mencampuri urusan orang lain, mencari
sesuatu dari kepentingan orang lain.
Kelima, Jangan suka membicarakan cela dan aib
saudaramu dibelakangmu, hal inilah yang telah menjadi
penyakit masyarakat pada umumnya yaitu sering mengumpat
dan menggunjing orang lain. Pada dasarnya perbuatan ini
merusak budi pekerti orang yang menggunjing tersebut.121
(3) Menghormati Orang tua. Menghormati dan mencintai kedua
orang tua termasuk dalam tiang-tiang masyarakat, kesopanan
kepada ibu menjadi hal yang terpenting dalam
bermasyarakat.122
(4) Memasuki rumah kawan. Aturan yang terindah dalam
masyarakat adalah ketika seseorang akan bertamu ketempat
sanak saudaranya maka janganlah masuk kedalam rumahnya
dengan leluasa, sebagai upaya menjaga pola hubungan yang
baik dan rasa saling menghormati dalam hidup
bermasyarakat. Hal ini merujuk pada (Q. S. An Nur: 27-28)
Allah berfirman:
ا لب تدخلا ثيتب غيس ثي ب ٱلريي ءاه تسلوا ي أي سا تكن حتى تستأ
ب ذ لكن خيس لكن لعلكن تركسى ل على أ
121
Ibid., hlm. 103-114 122
Ibid., hlm. 115-116
93
إى قيل لكن ب حتى يؤذى لكن ب أحدا فلب تدخل فئى لن تجدا في
أشك ثوب تعولى علينٱزجعا فٱزجعا ٱلل ى لكن
Artinya: “Wahai segenap orang beriman, janganlah kamu
masuk ke dalam segala rumah yang bukan rumahmu, sebelum
kamu menunjukkan muka jernih dan mengucapkan salam
kepada yang mempunyai rumah masih belum sanggup
menerima kedatangan kita, hendaklah pulang dengan hati yang
tiada sakit, untuk menjaga pola hubungan supaya seantiasa
baik. Tandanya kita menghormati hak sesama hidup kita di
dalam rumah tangganya.”
(5) Kesopanan duduk didalam satu majelis. Anjuran untuk
memberikan kesempatan untuk duduk kepada orang lain, duduk
dengan sopan dan teratur dalam suatu majelis, bertutur kata
dengan lemah lembut, menutup mulut ketika menguap.123
(6) Kesopanan kepada Rasulullah. Hamka memasukkan kategori
akhlak kepada makhluk dengan kesopanan kepada para
Rasulullah adalah karena diantara sekian banyak hubungan
makhluk dengan manusia adalah Nabi Muhammad saw yaitu
seseorang yang paling utama untuk dihormati dan dimuliakan.
Salah satu bentuk akhlak kepada nabi ialah dengan sopan
kepada perintahnya. Dalam hal ini mengikuti, patuh dan tunduk
pada semua ajaran dan perintah yang dibawa oleh Rasulullah.124
Dikarenakan hal tersebut, sehingga Rasulullah sendiri telah
123
Ibid., hlm. 125-128 124
Ibid., hlm. 129-132
94
mengakui bahwa kedatangannnya ke dunia yang terpenting
adalah untuk memperbaiki budi pekerti.125
b) Akhlak Kepada Khalik.
Allah yang telah menjadikan manusia dengan limpahan
rezeki yang menghidupkan manusia untuk menikmati keindahan
dan nikmat-Nya. Beberapa point kesopanan kepada Sang Khalik
yang dipaparkan oleh Hamka adalah:
(1) Niatan tulus untuk mencintai Allah.
(2) Raja yaitu pengharapan yang diikuti dengan suatu
perbuatan untuk mendapatkan ridha-Nya.
(3) Khauf, senantiasa takut akan azab, siksa dan kemurkaan
Allah.
(4) Muhasabah dan muraqabah, atas segala kekurangan, cela
dan aib pada diri sendiri.
(5) Syukur, senantiasa memuji dan berterima kasih atas nikmat
yang diberikan Allah Swt, baik lahir maupun batin.
(6) Tawakkal, mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh
dalam usaha dalam hidup, dan menyerahkan segala
keputusan kepada-Nya.
(7) Tafakkur, merenungkan kebesaran Allah dan kelemahan
yang dimiliki manusia. Hamka menyebutkan bahwa
125
Hamka, Sejarah Umat Islam I (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 190
95
tafakkur adalah dasar yang pada diri dalam hal akhlak dan
ilmu.126
d. Metode Pengajaran Pendidikan Akhlak
Pengajaran akhlak berarti pengajaran tentang bentuk batin
seseorang yang kelihatan pada tingkah lakunya. Dalam hal ini
mengutip tulisan Djasuri mengatakan bahwa menurut Hamka
ada beberapa metode yang dapat dipergunakan dalam
mengajarkan akhlak diantaranya adalah:
1) Metod alami
Metode alami ini adalah suatu metode untuk
mendapatkan akhlak yang diperoleh melalui insting atau
naluri yang dimiliki seseorang secara alami dan tidak
melalui pendidikan, pengalaman atau latihan. Karena pada
dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat
baik dan juga berakhlak baik karena kehendak jiwa yang
mengandung fitrah. Metode ini dianggap cukup efektif jika
dilakukan pemeliharaan dan penjagaan untuk menanamkan
kebaikan pada anak sesuai potensi yang dimilikinya untuk
senantiasa berbuat baik. Sebagaimana dalam Q. S. Ar Rum:
30 yang menyebutkan:
طرت الله التي فطر عليها ف
Artinya: “(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu”.
126
Hamka, Falsafah Hidup, hlm. 134-139
96
2) Metode Mujahadah dan Riadhah
Orang yang ingin menjadi penyantun, maka jalan yang
harus ditempuh adalah dengan membiasakan bersedekah,
sehingga menjadi tabiat yang mudah untuk mengerjakannya
dan tidak merasa berat lagi untuk melakukannya kembali.
Mujahadah atau perjuangan sangat tepat jika seorang guru
senatiasa memberikan bimbingan secara terus menerus
kepada siswanya untuk senantiasa membiasakan berbuat
kebaikan sehingga tertanam dalam kepribadian anak.
3) Metode Teladan
Adanya sebuah anjuran untuk bergaul dengan orang
yang berbudi tinggi adalah karena akhlak yang baik tidak
saja didapatkan hanya melalui mujahadah, latihan atau
riadhoh dan diperoleh secara alami berdasarkan fitroh.
Pergaulan sebagai salah satu bentuk komunikasi manusia
akan memberikan pengaruh dan memberikan pengalaman
yang bermacam-macam. Metode teladan akan memberikan
kesan dan pengaruh atas tingkah laku manusia.127
Sebagaimana dikatakan Hamka bahwa” Budi yang
nyata dapat dilihat orang, bukan pidato, bukan tulisan
melainkan pada budi pekerti yang luhur.”128
127
Chabib Thoha, dkk, op. cit., hlm. 127-30 128
Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, op. cit., hlm. 153
97
Dan hal tersebut memberikan penjelasan bahwa
sesungguhnya budi yang nyata atau akhlak yang baik
seseorang akan terlihat pada tingkah laku sehari-hari yang
baik dengan perbuatan yang terpuji sebagai perwujudan dari
budi atau akhlak yang baik.
Dengan beberapa metode diatas, kiranya masih terdapat
banyak cara yang dapat dipergunakan untuk memberikan
pengajaran akhlak kepada anak.
e. Pusat Pendidikan Akhlak
1) Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama
dan utama bagi seorang anak dalam rangka menumbuhkan
potensi akal, dan akhlaknya. Melalui sentuhan kasih sayang
keluarga dapat berpengaruh pada pertumbuhan dan
pembentukan jiwa (kepribadian) seorang anak.
Samsul Nizar yang mengutip pendapat Hamka bahwa
setidaknya ada dua bentuk kewajiban orang tua terhadap
anaknya, yaitu: Pertama, kewajiban memelihara lahiriah
yang meliputi kesehatan, makan dan minum yang halal al
thayibat, serta kebutuhan fisik lainnya. Kedua, kewajiban
memelihara batiniah yang meliputi kenyamann dan
ketrentaman, serta pendidikan sebagai persiapan untuk
hidupnya dibelakang hari. Hal yang pertama yang harus
98
ditanamkan pada anak adalah nilai-nilai Ilahiyah, Karena
dengan nilai-nilai tersebut menurut Hamka diharapkan jiwa
anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan
kepada Khaliknya.129
Dalam upaya menumbuhkan akhlaq al karimah pada
diri anak yang utama dilakukan oleh orang tua adalah
menanamkan nilai-nilai keagamaan yang harus dilakukan
sejak usia dini, Orang yang memiliki anak usia 7 tahun
hendaknya diajak untuk melaksankan shalat dan berhak
untuk memaksa dan memukulnya dengan penuh kasih
sayang bila sampai usia 10 tahun masih tidak mau
melaksanakan shalat,130
Dalam hal ini Hamka mengutip pandangan Umar Bin
Khattab, yaitu: Didiklah budi pekerti anak-anakmu itu
berlainan dengan keadaan kamu yang akhlak adalah
dengan mengajarkan nilai-nilai budi pekerti yang mulia
sejak usia anak masih kecil, Hamka mengutip perkataan
Hakim yang menyatakan bahwa, Ajarlah anak-anak beradab
semenjak kecil, laksana kayu, dapatlah ranting-rantingnya
itu diputar dan dibelokkan semasa kecil. Kalau besar tidak
129
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2008 hlm. 139-140 130
Ibid., hlm. 141
99
dapat diputar-putar dan dibelokkan lagi, tetapi dipotong
dengan kampak.131
Menurut Hamka dalam melaksanakan fungsinya
sebagai lembaga pendidikan yang pertama bagi anak
hendaknya orang tua bersifat arif dan bijaksana dalam
membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Tugas kedua
orang tua adalah mencontohkan perilaku dan sikap yang
baik, menasehati, membimbing, serta mengontrol bukan
membentuk kepribadian anak sehingga dinamika fitrah anak
berkembang secara maksimal yang sesuai dengan nilai
ajaran agamanya,132
dan sesuai dengan nilai-nilai akhlak
yang telah dipaparkan sebelumnya.
Berkaitan dengan mencontohkan perilaku dan sikap
yang baik Hamka mengungkapkan bahwa orang tua
memiliki kewajiban untuk berperilaku baik karena
bertangung jawab terhadap anaknya termasuk menjadi
tauladan yang baik, yang dinyatakan ”Supaya diri seseorang
mempunyai pengaruh, berwibawa, disegani, hendaklah
perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh
anak. Dapatlah hendaknya dia jadi kebanggaan dan
kemegahan bagi keluarganya”.133
131
Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Tasawuf Moderen 1990), hlm. 146 132
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, op. cit., hlm. 143 133
Hamka, Tafsir al Azhar Juz XXVIII (Surabaya: Yayasan Latimojong),hlm. 371- 372
100
Mengutip pendapat Al Hakim al–Musta‟shim, Hamka
memberikan rambu-rambu bagi kedua orang tua tentang
pelaksanaan pendidikan pada anak:
a) Membiasakan anak untuk bangun tidur lebih cepat
karena dengan banyak tidur akan membuat malas untuk
berfikir dan berkreatifitas.
b) Menanamkan pendidikan akhlak yang mulia dengan
ajaran tentang kesederhanaan.
c) Membiasakan anak untuk percaya pada diri sendiri dan
tidak menggantungkan pada orang lain, menanamkan
nilai-nilai tauhid dan nilai-nilai Ilahiyah.134
d) Keluarga dalam hal ini orang tua sebagai benteng
utama ditegakkannya anak-anak dengan nilai-nilai
pendidikan, keluarga memegang peranan yang penting
dalam melaksanakan pendidikan akhlak pada anak
sebagai institusi pertama tempat bernaungnya anak.
Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak
sebagaimana menurut Hamka hendaknya dilakukan
sedini mungkin.
Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan
kebiasaan hidup yang baik, sehingga dalam kehidupannya
134
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, op. cit., hlm. 144
101
mendatang seorang anak dapat hidup ditengah-tengah
masyarakat dengan baik.
Kaitannya dengan penanaman adab dan budi pekerti
anak yang seharusnya dilakukan sedini mungkin merujuk
pada ungkapan yang disampaikan Hamka bahwa mendidik
anak diwaktu kecil akan lebih mudah untuk dilakukan
daripada dimasa ia menjadi dewasa hal ini ia ibaratkan
dengan membengkokkan batang yang muda lebih muda jika
dibandingkan dengan kayu yang harus dipotong
menggunakan kampak.
Pendapat Hamka mengenai keluarga dan pendidikan
akhlak yang harus dilakukan oleh keluarga tidak berbeda
dengan pendapat Hasan Langgulung tentang kewajiban
keluarga dalam pendidikan akhlak, yaitu:
(1) Memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya
dalam berpegang teguh kepada akhlak mulia.
(2) Menyediakan peluang dan suasana praktis bagi anak
untuk dapat mempraktekkan akhlak yang diterima
dengan baik.
(3) Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi
mereka dengan sadar dan bijaksana.
102
(4) Menjaga anak dari lingkungan yang berbahaya untuk
perkembangan akhlaknya.135
Hal utama yang harus menjadi perhatian bagi orang tua
dalam hal ini adalah menyadari akan eksisitensinya sebagai
pemegang peran dan amanat utama untuk mempersiapkan
anak dengan perangkat dasar ilmu pengetahuan dan akhlak
sebelum mereka memasuki jenjang pendidikan formal.136
2) Sekolah
Menurut pendapat Hamka bahwa pendidikan yang
dikembangkan di Sekolah hendaknya dapat merangsang
dinamika akal dengan cara menambah ilmu pengetahuan
dan memperbanyak penyelidikan. Karena dengan melalui
proses berfikir yang demikian maka pencarian kebenaran
tidak akan pernah berhenti, dengan proses penyelidikan dan
berfikir secara terus menerus, maka akhirnya manusia akan
menemukan makna kebenaran yang hakiki.137
Agar tujuan diatas dapat terlaksana dengan baik maka,
menurut Hamka, seorang pendidik harus terlebih dahulu
mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
pendidik, yang berupaya membantu dan membimbing
peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas,
135
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986), hlm.
374-375 136
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, op. cit., hlm. 229
137
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, op. cit., hlm. 147
103
berakhlak mulia, dan menguasai ketrampilan yang
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya.
Untuk itu guru dituntut untuk memiliki wawasan keilmuan
yang luas dan memperhalus budi pekerti karena ia menjadi
teladan bagi para anak didiknya.
Samsul Nizar menyimpulkan beberapa pokok
pemikiran Hamka tentang kewajiban bagi seorang guru
adalah:
a) Berlaku adil dan objektif kepada semua siswanya.
b) Memelihara martabatnya dengan akhlaq al-karimah,
berpenampilan menarik, menjauhkan diri dari
perbuatan yang tercela.
c) Menghormati keberadaan peserta didik dengan
memberikan kebebasan berfikir, berkreasi,
berpendapat, dan menemukan berbagai kesimpulan
keilmuan lainnya.
d) Memberikan ilmu dan pengetahuan yang sesuai dengan
kemampuan intelektual dan perkembangan jiwanya.
e) Menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki.
f) Selain mentransfer ilmu (pengajaran), seorang pendidik
juga dituntut untuk memperbaiki akhlak peserta
didiknya (pendidikan) dengan bijaksana.
104
Seorang guru sebagai pengganti orang tua dalam
melaksanakan pendidikan disekolah, menurut Hamka selain
ia harus berbekal kepandaiannya ia juga harus senantiasa
menambah pengalaman serta bacaan. Membangun
hubungan yang harmonis dengan orang tua dan juga sesama
guru. Seorang guru tidak semata-mata mengajarkan ilmu
namun juga akhlak, persaudaraan, persatuan, kerukunan
daan kepercayaan pada diri sendiri.138
Pokok utama pengajaran anak di Sekolah yang
dilakukan oleh guru adalah menanamkan rasa cinta kepada
Tuhan.139 Namun tidak terlepas dengan beberapa materi
akhlak yang telah dipaparkan sebelumnya. Pengajaran
akhlak berarti pengajaran tentang bentuk batin seseorang
yang kelihatan pada tingkah lakunya.
Sebagaimana dikatakan Hamka bahwa” Budi yang
nyata dapat dilihat orang, bukan pidato, bukan tulisan
melainkan pada budi pekerti yang luhur.”140
Hal tersebut memberikan penjelasan bahwa
sesungguhnya budi yang nyata atau akhlak yang baik
seseorang akan terlihat pada tingkah laku sehari-hari yang
baik dengan perbuatan yang terpuji sebagai perwujudan dari
budi atau akhlak yang baik. Sebagai seseorang yang tidak
138
Hamka, Lembaga Budi, op. cit., hlm. 74-75 139
Ibid., hlm. 105 140
Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, op. cit., hlm. 153
105
banyak mengenyam pendidikan formal Hamka juga
menunjukkan kepedulian pada pendidikan tidak dapat
diremehkan, keterlibatan Hamka secara langsung dalam
institusi pendidikan merupakan sebuah wujud nyata praksis
Hamka dalam dunia pendidikan.
Bagi Hamka keberadaan lembaga pendidikan
merupakan sebuah sarana yang cukup strategis bagi
membangun pemikiran dinamis dan peradaban yang
modern.
Dalam konteks pendidikan saat ini sekolah sebagai
institusi kedua pengganti orang tua pada bidang yang tidak
dapat dilakukan oleh orang tua sendiri hendaknya dapat
memadukan atau menyisipkan nilai-nilai atau materi akhlak
dalam setiap disiplin ilmu dan tidak hanya disampaikan
melalui pendidikan agama.
Sekolah sebagai lembaga pembelajaran yang akan
menanamkan nilai-nilai akhlak yang mulia, serta
membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur lewat
pengajarannya, sehingga terwujudnya generasi muda yang
kokoh dan tangguh untuk mengahadapi kehidupannya,
sebagaimana ungkapan Hamka bahwa bekal generasi muda
untuk kehidupannya adalah ilmu dan akhlak.
3) Masyarakat
106
Secara umum pandangan Hamka terhadap masyarakat
adalah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sangat
luas dan memberikan pengaruh pada proses pembentukan
kepribadian seorang anak. Hal ini disebabkan karena
manusia memiliki dua bentuk tanggung jawab yaitu pada
dirinya sendiri dan tanggung jawab kepada masyarakat. Dan
untuk mendapatkan kehidupan bermasyarakat yang tentram
maka masyarakat harus dapat menegakkan nilai-nilai akhlak
dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut Hamka akhlak anak dapat dikatakan sebagai
cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada,
sehingga upaya untuk menciptakan generasi masa depan
yang berkualitas paripurna, sangat dipengaruhi peran
masyarakat dan kebijakan Negara (pemerintah). Kehidupan
setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sosial,
merupakan miniatur kebudayaan yang akan dilihat dan
dicontoh oleh setiap peserta didik.141
Eksistensi adat dalam sebuah komunitas sosial dan
kebijakan politik negara menurut Hamka cukup
memberikan pengaruh bagi proses perkembangan
kepribadian peserta didik pada masa selanjutnya, sehingga
sistem sosial di mana peserta didik itu berada hendaknya
141
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, ........,hlm. 156
107
bersifat kondusif dan proporsional bagi menopang
perkembangan dinamika fitrah yang dimiliki oleh setiap
anak. Masyarakat dituntut memiliki kepedulian sekaligus
pengontrol (social control) terhadap perkembangan
pendidikan anak, kepedulian tersebut bukan hanya bersifat
moril maupun materiil, akan tetapi wujud aksi nyata, seperti
mengembangkan mejelis-mejelis keilmuan dalam
komunitas.
Keikut sertaan seluruh anggota masyarakat akan
membantu upaya pendidikan, terutama dalam memperhalus
akhlak dan merespon dinamika fitrah anak.142
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak di
masyarakat Hamka menyatakan bahwa masyarakat sebagai
sosial kontrol atas semua tingkah laku seorang anggotanya.
Masyarakat sebagai lingkungan yang sangat berpengaruh
tehadap perkembangan akhlak anak, seperti yang
disampaikan Hamka dalam upaya mengobati kerusakan
akhlak dapat dilakukan dengan cara menjaga masyarakat
yaitu sebuah upaya memberantas segala bentuk perbuatan di
masyarakat yang dapat merusak akhlak. Menurut Hamka
akhlak seorang anak akan menjadi cerminan masyarakat,
oleh sebab itu masyarakat sebagai lembaga pendidikan
142
Ibid., hlm. 156-157 114
108
informal diharapkan mampu mengajarkan nilai-nilai akhlak
Islam kepada anak sehingga terwujudnya masyarakat yang
ideal.
Terlepas dari semua hal yang terkait dengan Hamka,
masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam
menciptakan sistem kontrol yang efektif. Seluruh komponen
masyarakat hendaknya memiliki kesatuan visi dan misaim
dalam memformulasi bentuk kehidupan sosial yang bersifat
edukatif, sehingga menunjang pencapaian tujuan
pendidikan yang dikembangkan oleh pendidikan keluarga
maupun lembaga pendidikan formal.
f. Matrik Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka
Aspek-Aspek
Pendidikan
Akhlak
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka
Hakikat
Pendidikan
Pendidikan akhlak yang dimaksud oleh
Hamka adalah pendidikan budi atau jiwa
yaitu suatu proses pendidikan yang
mengutamakan kesehatan jiwa atau
kemurnian jiwa melalui proses perjuangan
antara hawa nafsu dan akal untuk mencapai
keutamaan. karena dengan jiwa yang sehat
maka segala tingkah laku yang baik akan
109
muncul dari dalam diri. Sebagaimana
ungkapan Hamka yang menyatakan
“perangai yang amat utama, ialah yang
timbul dari keteraturan jiwa”.143
Hamka
meletakkan kekuatan akal sebagai alat untuk
mencapai kesempurnaan jiwa, potensi akal
digunakan sebagai perantara untuk mencapai
kesempurnaan jiwa.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan dari pendidikan akhlak yaitu agar
dapat membentuk kepribadian peserta didik
sehingga ia mampu mengembangkan potensi
yang ada dalam dirinya serta mampu
mengendalikan hawa nafsunya agar mencapai
kebahagiaan yang hakiki. Hamka
mengemukakan bahwa tujuan pengajaran
akhlak merupakan bagian dari pendidikan
yaitu “ingin mencapai setinggi-tinggi budi
pekerti atau akhlak”. Adapun ciri-ciri dari
pada ketinggian budi yang menjadi tujuan
akhir sebuah pendidikan akhlak adalah
apabila manusia telah dapat mencapai derajat
I‟tidal yaitu adanya keseimbangan dalam
143
Hamka,Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1990), hlm.138.
110
jiwa manusia yang merupakan pertengahan
dari dua sifat yang berlawanan.144
Materi
Pendidikan
Hamka mengklasifikasikan ilmu menjadi dua
yaitu fardu a‟in (Ilmu-ilmu agama), dan fardu
kifayah (ilmu rasional, estetika dan filosofis)
Sedangkan akhlak Hamka mengkelompokan
kedalam dua bagian yaitu akhlak luar dan
akhlak dalam. Akhlak luar yaitu akhlak yang
akan berubah sesuai dengan perubahan
zaman dan juga hukum adat istiadat, akhlak
luar disebut juga dengan etiket yang mana
tiap daerah atau lingkungan tertentu akan
memiliki akhlak luar masing-masing sesuai
dengan kemajuan batin yang mereka miliki.
145 Sedangkan Akhlak dalam meliputi akhlak
kepada Khaliq dan akhlak kepada mahluk.
144
Chabib Thoha, dkk, op. cit., hlm. 135 145
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1950), hlm. 98-99
111
Metode
Pengajaran
Pendidikan
1. Metode alami adalah suatu metode untuk
mendapatkan akhlak yang diperoleh melalui
insting atau naluri yang dimiliki seseorang
secara alami dan tidak melalui pendidikan,
pengalaman atau latihan
2. Metode Mujahadah dan Riadhah Orang yang
ingin menjadi penyantun, maka jalan yang
harus ditempuh adalah dengan membiasakan
bersedekah, sehingga menjadi tabiat yang
mudah untuk mengerjakannya dan tidak
merasa berat lagi untuk melakukannya
kembali. Mujahadah atau perjuangan sangat
tepat jika seorang guru senatiasa memberikan
bimbingan secara terus menerus kepada
siswanya untuk senantiasa membiasakan
berbuat kebaikan sehingga tertanam dalam
kepribadian anak.
3. Metode Teladan. Adanya sebuah anjuran
untuk bergaul dengan orang yang berbudi
tinggi adalah karena akhlak yang baik tidak
saja didapatkan hanya melalui mujahadah,
latihan atau riadhoh dan diperoleh secara
alami berdasarkan fitrah. Pergaulan sebagai
112
salah satu bentuk komunikasi manusia akan
memberikan pengaruh dan memberikan
pengalaman yang bermacam-macam. Metode
teladan akan memberikan kesan dan
pengaruh atas tingkah laku manusia.146
Hamka juga menggunakan sumber
pendidikan budi pekeri sebagai metode
pendidikan akhlak diantaranya yaitu:
Pertama, Syaja‟ah, berani pada kebenaran
dan takut pada kesalahan,147
yaitu sesuatu
yang digunakan untuk membangkitkan
keberanian menempuh sebuah kesulitan
untuk kemaslahatan hidup. Perilaku yang
timbul dari adanya sifat syaja‟ah Hamka
menyebutkan dengan teguh, tangkas, perwira,
kesatria, beranai melawan bahaya, dan teguh
dalam pendirian.148
Kedua, Iffah, pandai menjaga kehormatan
batin,149
yaitu mengatur dan menahan diri
sendiri untuk tidak terjerumus kepada sesuatu
yang yang mendatangkan bahaya, dan
146
Chabib Thoha, dkk, op. cit., hlm. 127-30 147
Hamka, Tasauf Moderen. Loc., Cit 148
Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 80 149
Hamka, tasauf moderen. Loc., cit
113
perilaku yang timbul dari sifat ini adalah
qana‟ah dan tawadhu‟.150
Ketiga, Hikmah, tahu rahasia dari
pengalaman kehidupan151
Kempat, Adil, adalah perangai mulia dari
akal budi yang mengendalikan diri seseorang
dari marah, syahwat, dan akal budi.152
Pusat
Pendidikan
1. Keluarga
Dalam upaya menumbuhkan akhlaq al
karimah pada diri anak yang utama dilakukan
oleh orang tua adalah menanamkan nilai-nilai
keagamaan yang harus dilakukan sejak usia
dini, Orang yang memiliki anak usia 7 tahun
hendaknya diajak untuk melaksankan shalat
dan berhak untuk memaksa dan memukulnya
dengan penuh kasih sayang bila sampai usia
10 tahun masih tidak mau melaksanakan
shalat.
2. Sekolah
Menurut pendapat Hamka bahwa pendidikan
yang dikembangkan di Sekolah hendaknya
150
hamka, falsafah hidup, loc., cit 151
Hamka, Tasauf Moderen. Loc., Cit 152
Ibid., hlm. 198
114
dapat merangsang dinamika akal dengan cara
menambah ilmu pengetahuan dan
memperbanyak penyelidikan. Karena dengan
melalui proses berfikir yang demikian maka
pencarian kebenaran tidak akan pernah
berhenti, dengan proses penyelidikan dan
berfikir secara terus menerus, maka akhirnya
manusia akan menemukan makna kebenaran
yang hakiki
3. Masyarakat
Menurut Hamka akhlak anak dapat dikatakan
sebagai cerminan dari bentuk akhlak
masyarakat di mana ia berada, sehingga
upaya untuk menciptakan generasi masa
depan yang berkualitas paripurna, sangat
dipengaruhi peran masyarakat dan kebijakan
Negara (pemerintah). Kehidupan setiap
anggota masyarakat dalam sebuah komunitas
sosial, merupakan miniatur kebudayaan yang
akan dilihat dan dicontoh oleh setiap peserta
didik
115
C. Karakteristik Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka
1. Persamaan Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Hamka
Dilihat dari hakikat pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka, mereka sama-sama menekankan konsep
pendidikan akhlak pada pendidikan budi pekerti.
Menurut Ki Hadjar Dewantara Pendidikan akhlak memiliki maksud
yang sama dengan pendidikan budi pekerti, yang mana, pendidikan budi
pekerti berasal dari kata budi, yang berarti akal pikiran (cipta),
perasaan(rasa), dan kemauan(karsa), sedangkan kata pekerti berarti
tenaga. Jadi budi pekerti dapat diartikan sebagai perpaduan antara,
pikiran, perasaan, dan kemauan, dan akan menimbulkan tenaga.
Sedangkan Haji Abdul Malik Karim Amarullah (Hamka)
berpendapat bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan budi atau jiwa
yaitu suatu proses pendidikan yang mengutamakan kesehatan jiwa atau
kemurnian jiwa, karena dengan jiwa yang sehat maka segala tingkah laku
yang baik akan muncul dari dalam diri. Hamka meletakkan kekuatan akal
sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan jiwa, potensi akal digunakan
sebagai perantara untuk mencapai kesempurnaan jiwa.
Dilihat dari tujuan pendidikan akhlak (budi pekerti) menurut Ki
Hadjar Dewantra dan Hamka.
116
Pandangan Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan akhlak
adalah untuk memberikan pengajaran terhadap jiwa dan raga anak,
dalam rangka mewujudkan individualitet (Sifat manusia), yang mana
apabila individualitet itu terdidik menurut kodratnya, sehingga jiwa dan
raga itu akan merdeka. Sebab jiwa dan raga (jasmani) itu merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sementara menurut Hamka mengemukakan bahwa tujuan
pengajaran akhlak merupakan bagian dari pendidikan yaitu “ingin
mencapai setinggi-tinggi budi pekerti atau akhlak”. Adapun ciri-ciri dari
pada ketinggian budi yang menjadi tujuan akhir sebuah pendidikan
akhlak adalah apabila manusia telah dapat mencapai derajat I‟tidal yaitu
adanya keseimbangan dalam jiwa manusia yang merupakan pertengahan
dari dua sifat yang berlawanan.
Dilihat dari pusat pendidikan atau sarana pendidikan akhlak
menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka ialah mereka sama-sama
menekankan pendidikan akhlak (budi pekerti) yang berorientasi pada
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2. Perbedaan Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka
Dilihat dari hakikat pendidikan akhlak atau budi pekerti Ki Hadjar
Dewantara lebih menekankan pada pendidikan nasional yang
berlandaskan pada asas kemerdekaan. Sedangkan Hamka lebih
menekankan pada kesempurnaanya jiwa, ataupun keteraturan jiwa.
117
Dilihat dari materi pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara lebih menekankan materi pendidikan (budi pekerti) atau
akhlak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak yaitu mulai dari,
taman indra atau TK, pada masa anak, masa remaja sampai pada mase
dewasa.
Sedangkan, materi pendidikan akhlak menurut Hamka yaitu tanpa
adanya batasan umur Hamka mengklasifikasikan materi pendidikan
akhlak menjadi dua yaitu: Terkait dengan, Ilmu-ilmu agama (seperti
tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof, mantiq) dan ilmu umum (Ilmu
umum, seperti sejarah, filsafat, sastra, ilmu berhitung, falak, dan
sebagainya., estetika (musik, menggambar, menyanyi dan sebagainya)
serta filosofis. Selain itu Hamka juga mengklasifikasikan akhlak menjadi
dua yaitu: akhlak luar, terkait dengan faktor lingkungan yang
berhubungan dengan etika, dan faktor dalam yang berhubungan dengan
akhlak kepada Allah (khaliq) dan akhlak kepada sesama manusia
(makhluk)
Dilihat dari metode pendidikan akhlak menurut Menurut Ki Hadjar
Dewantara secara umum metode pendidikan dan pengajaran telah
terangkum dalam satu sistem yang dikenal dengan “among methode” atau
sistem among. Among memiliki arti menjaga, membina, dan mendidik, anak
dengan kasih sayang.153
153
Ki Priyo Dwiarso, sistem among mendidik sikap merdeka lahir dan
batin,www.tamansiswa.com, akses 7 juni 2008, jam 07.00 WIB
118
Hal ini dapat ditemukan dalam 7 azas taman siswa yang digagas oleh
Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922. dan menurut kondisi saat itu yang
berisikan:”Among methode” adalah Pemeliharaan dengan sebesar perhatian
untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya
sendiri.154
Sistem among mengemukkan dua dasar155
:
1) Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan
kekuatan lahir dan batin, hingga dapat hidup merdeka (dapat berdiri
sendiri).
2) Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai
kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Dalam lingkup pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara memilki
metode ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan) dan ngelakoni
(melaksanakan). Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menggunakan
metode pendidikan Islam yang meliputi: Syariat, Hakikat, Tarikat.
Sedangkan Metode pendidikan akhlak menurut Hamka ialah metode
alamiah, mujahadah dan riadah, serta metode keteladanan.
Sedangkan pusat pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar
Dewantara ialah dengan membangun Sekolah Tamansiswa sebagai sarana
untuk mengembangkan potensi anak didik. Sedangkan pusat pendidikan
yang dikembangkan oleh Hamka ialah dengan membangun Madrasah untuk
dijadikan pusat pembelajaran di sekolah tersebut.
154
Ki Hajar Dewantara, Log. Cit., hlm. 48 155
I. Djumhur dan H. Danasupatra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1976),
hlm. 174
119
D. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar Dewantara
dan Hamka Bagi Pendidikan di Sekolah
1. Implikasi Konsep Pendidikan budi pekerti (akhlak) Menurut Ki Hadjar
Dewantara Terhadap Pendidikan di Sekolah.
a. Terwujudnya dalam konsep kecerdasan emosional dan spritual yang
harus dimiliki oleh para pelajar.
b. Seorang guru akan menghargai dan mengoreksi setiap masukan yang
disampaikan oleh setiap peserta didik dan seorang guru akan selalu
menjaga kebebasan dan kreatifitas peserta didik.
c. Guru akan selalu menjembatani keraifitas siswa dan menjadi sentral
dari seluruh aktifitas pendidikan.
d. Dalam pembelajaran seorang guru akan selalu menyampaikan materi
yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
e. Dengan, metode keteladanan, akan menambah wawasan dan
kesadaran peserta didik tentng akhlak yang baik
2. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka Terhadap
Pendidikan di Sekolah.
Konsep pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh Hamka,
sangat berpengaruh sekali terhadap pendidikan Islam, yang mana Hamka
menggunakan istilah akhlak dengan sebutan budi pekerti atau
120
keutamaan. Keutamaan disini yang dimaksud adalah keteraturan jiwa
atau suatu proses perjuangan batin antara hawa nafsu dan akal.156
Adapun metode pendidikan akhlak yang di kemukakan Hamka
agar hati itu selalu terjaga ialah:
a. Melalui proses mujahadah dan Riadhah yaitu orang yang ingin
menjadi penyantun, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan
membiasakan bersedekah, sehingga menjadi tabiat yang mudah
untuk mengerjakannya dan tidak merasa berat lagi untuk
melakukannya kembali. Mujahadah atau perjuangan sangat tepat jika
seorang guru senatiasa memberikan bimbingan secara terus menerus
kepada siswanya untuk senantiasa membiasakan berbuat kebaikan
sehingga tertanam dalam kepribadian anak.
b. Melalui metode Keteladan. Pergaulan sebagai salah satu bentuk
komunikasi manusia akan memberikan pengaruh dan memberikan
pengalaman yang bermacam-macam. Metode teladan akan
memberikan kesan dan pengaruh atas tingkah laku manusia.157
Selain Dari kedua metde tersebut, Hamka juga menggunakan
sumber budi pekerti diantaranya yaitu:
1) Syaja‟ah, berani pada kebenaran dan takut pada kesalahan,158
yaitu sesuatu yang digunakan untuk membangkitkan keberanian
menempuh sebuah kesulitan untuk kemaslahatan hidup. Perilaku
156
Dr.Adian Husaini, Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab,
(Jakarta: Cakrawala Publishig,2012),hlm.77. 157
Chabib Thoha, dkk, op. cit., hlm. 127-30 158
Hamka, Tasauf Moderen. Loc., Cit
121
yang timbul dari adanya sifat syaja‟ah Hamka menyebutkan
dengan teguh, tangkas, perwira, kesatria, beranai melawan
bahaya, dan teguh dalam pendirian.159
2) Iffah, pandai menjaga kehormatan batin,160
yaitu mengatur dan
menahan diri sendiri untuk tidak terjerumus kepada sesuatu
yang yang mendatangkan bahaya, dan perilaku yang timbul dari
sifat ini adalah qana‟ah dan tawadhu‟.161
3) Hikmah, tahu rahasia dari pengalaman kehidupan162
4) Adil, adalah perangai mulia dari akal budi yang mengendalikan
diri seseorang dari marah, syahwat, dan akal budi.163
Implikasi adalah sebuah keterlibatan atau keterkaitan antara dua
hal dimana terdapat hubungan diantara keduanya. Keterlibatan
atau keterkaitan konsep pendidikan akhlak menurut Hamka
terhadap pendidikan Islam. Secara umum dapat dikatakan
sebagai pegangan bagi seorang guru sebagai modal untuk
mengubah tingkah laku dan perilaku peserta didik dalam
pendidikan Islam.
Sementara pendidikan Islam merupakan salah satu aspek dari
ajaran Islam secara keseluruhan, karena tujuan pendidikan Islam
yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi sebagai hamba Allah
Swt, yang selalu bertakwa kepada-Nya serta untuk memperoleh
159
Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 80 160
Hamka, tasauf moderen. Loc., cit 161
hamka, falsafah hidup, loc., cit 162
Hamka, Tasauf Moderen. Loc., Cit 163
Ibid., hlm. 198
122
kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Inilah yang disebut tujuan
akhir pendidikan Islam.
Dari konsep pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh Hamka
tersebut hal ini berimplikasi terhadap pendidikan di sekolah
yaitu:
a) Terciptanya disiplin tubuh dan jiwa pada peserta didik yang
selalu bersandar pada Al-Qur‟an dan Sunah di setiap langkah
dan nafasnya.
b) Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara
spontan bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
yang sempurna (al-saadat).
c) Terciptanya kondisi jiwa yang selalu mengajak kepada kebaikan
dan selalu menghindari keburukan.
d) Terwujudnya pemikiran peserta didik yang lebih rasional dalam
menjalani kehidupan yang lebih adil dan bijaksana dengan
mengambil jalan tengah dalam setiap menyelesaikan persoalan.
e) Tertanamnya nilai akhlaqul kharimah pada diri peserta didik.
123
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Hamka
a. Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan akhlak merupakan
bagian dari pendidikan budi pekerti yaitu menyokong
perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin, dari sifat
kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang
umum. adapun pengajaran ini berlangsung sejak anak-anak
hingga dewasa dengan memperhatikan tingkatan perkembangan
jiwanya. Tujuan pendidikan budi pekerti yaitu agar karakter
anak dapat terbentuk dengan baik. sementara metode pendidikan
yang dikembangakn oleh Ki Hadjar Dewantara ialah dengan
menggunakan sistem among (among system). Pemeliharaan
dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup
anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Sumber budi
pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara berasal
dari asas kemerdekaan, yang deikembangkan Maria meotessori
dan Rhabinranath Tagore. Sementara pusata pendidikan yang
124
dibangun Ki Hadjar Dewantara adalah dengan membangun
Tmansiswa.
b. Menurut Hamka pendidikan akhlak merupakan sesuatu yang
tertanam dalam jiwa manusia, atau suatu kondisi jiwa seseorang
yang dapat memunculkan suatu tingkah laku baik atau buruk
sesuai dengan kondisi jiwa tersebut, ia menggunakan istilah
akhlak dengan budi. Apabila sesuatu itu dapat menimbulkan
akhlak yang mulia menurut akal dan syara, itulah yang di namai
dengan budi pekerti yang mulia, tetapi apabila tumbuh akhlak
yang tercela menurut akal dan syara, dinamai pula budi pekerti
yang jahat, adapun metode pendidikan akhlak yang digunakan
oleh Hamka yaitu melalui metode, alamiah, mujahadah
(muraqabah), serta metode keteladanan, sementara materi
pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara, meliputi
akhlak kepada Allah (Khaliq) dan akhlak kepada sesama
(Makhluk). Sementara sumber pendidikan akhlak menurut
Hamka berasal dari Al-Quran dan Hadist.Sementara pusat kajian
pendidikan akhlak ang dikembangkan oleh Hamka ialah dengan
maembangun Madrasah aliyah.
125
2. Karakteristik Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka.
a. Persamaan Konsep Penididikan Akhlak
Dilihat dari hakikat pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka, mereka sama-sama menekankan konsep
pendidikan akhlak pada budi pekerti. Menurut Ki Hadjar
Dewantara Pendidikan akhlak memiliki makna yang sama dengan
pendidikan budi pekerti yaitu menyokong perkembangan hidup
anak-anak lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah
peradaban dalam sifatnya yang umum. Selain itu Ki Hadjar
Dewantara juga menjelaskan bahwa budi pekerti diambil dari dua
suku kata yaitu kata budi, yang berarti akal pikiran (cipta),
perasaan(rasa), dan kemauan(karsa), sedangkan kata pekerti
berarti tenaga. Jadi budi pekerti dapat diartikan sebagai perpaduan
antara, pikiran, perasaan, dan kemauan, dan akan menimbulkan
tenaga.
Sedangkan Haji Abdul Malik Karim Amarullah (Hamka)
berpendapat bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan budi
atau jiwa yaitu suatu proses pendidikan yang mengutamakan
kesehatan jiwa atau kemurnian jiwa, karena dengan jiwa yang
sehat maka segala tingkah laku yang baik akan muncul dari dalam
diri. Hamka meletakkan kekuatan akal sebagai alat untuk
126
mencapai kesempurnaan jiwa, potensi akal digunakan sebagai
perantara untuk mencapai kesempurnaan jiwa.
Dilihat dari pusat pendidikan atau sarana pendidikan akhlak
menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka ialah mereka sama-
sama menekankan pendidikan akhlak (budi pekerti) yang
berorientasi pada keluarga, dan masyarakat.
b. Perbedaan Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka
Dilihat dari latar belakang pendidikan antara Ki Hadjar
Dewantara dan Hamka mereka memiliki perbedaan yang
signifikan, dimana Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh
pendidikan nasional, yang terlahir dari keluarga kraton, dengan
mengangkat pendidikan budi pekerti berdasarkan budaya lokal.
sementara Hamka merupakan tokoh agama yang terlahir dari
kelurga muslim dimana ayahnya merupakan seorang ulama
terkenal di Minangkabau bernama Haji Abdul Karim
Amarullah atau dikenal sebagai Haji Rasul. Dimana Hamka
mengakat akhlak dalam lingkup agama yang bersumber pada
keteraturan jiwa
Dilihat dari tujuan pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantra dan Hamka. Pandangan Ki Hadjar Dewantara
beranggapan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah
untuk memberikan pengajaran terhadap jiwa dan raga anak,
127
dalam rangka mewujudkan individualitet (Sifat manusia), yang
mana apabila individualitet itu terdidik menurut kodratnya,
sehingga jiwa dan raga itu akan merdeka. Sebab jiwa dan raga
(jasmani) itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sementara menurut Hamka tujuan pengajaran
akhlak merupakan bagian dari pendidikan yaitu “ingin
mencapai setinggi-tinggi budi pekerti atau akhlak”. Adapun
ciri-ciri dari pada ketinggian budi yang menjadi tujuan akhir
sebuah pendidikan akhlak adalah apabila manusia telah dapat
mencapai derajat I‟tidal yaitu adanya keseimbangan dalam
jiwa manusia yang merupakan pertengahan dari dua sifat yang
berlawanan antara nafsu dan akal.
Dilihat dari materi pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar
Dewantara lebih menekankan materi pendidikan (budi pekerti)
atau akhlak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak
yaitu mulai dari, taman indra atau TK, pada masa anak, masa
remaja sampai pada mase dewasa.
Sedangkan, materi pendidikan akhlak menurut Hamka yaitu
tanpa adanya batasan umur Hamka mengklasifikasikan materi
pendidikan akhlak menjadi dua yaitu: Terkait dengan, Ilmu-
ilmu agama (seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof,
mantiq) dan ilmu umum (Ilmu umum, seperti sejarah, filsafat,
sastra, ilmu berhitung, falak, dan sebagainya., estetika (musik,
128
menggambar, menyanyi dan sebagainya) serta filosofis. Selain
itu Hamka juga mengklasifikasikan akhlak menjadi dua yaitu:
akhlak luar, terkait dengan faktor lingkungan yang
berhubungan dengan etika, dan faktor dalam yang
berhubungan dengan akhlak kepada Allah (khaliq) dan akhlak
kepada sesama manusia (makhluk), secara umum metode
pendidikan dan pengajaran telah terangkum dalam satu sistem
yang dikenal dengan “among methode” atau sistem among.
Among memiliki arti menjaga, membina, dan mendidik, anak
dengan kasih sayang.164 Dalam lingkup pendidikan budi pekerti
Ki Hadjar Dewantara memilki metode ngerti (mengerti),
ngrasa (merasakan) dan ngelakoni (melaksanakan). Selain itu,
Ki Hadjar Dewantara juga menggunakan metode pendidikan
Islam yang meliputi: Syariat, Hakikat, Tarikat. Sedangkan
Metode pendidikan akhlak menurut Hamka ialah metode
alamiah, mujahadah dan riadah, serta metode keteladanan.
Sedangkan pusat pendidikan budi pekerti menurut Ki
Hadjar Dewantara ialah dengan membangun Sekolah
Tamansiswa sebagai sarana untuk mengembangkan potensi
anak didik. Sedangkan pusat pendidikan yang dikembangkan
oleh Hamka ialah dengan membangun Madrasah untuk
dijadikan pusat pembelajaran di sekolah tersebut.
164
Ki Priyo Dwiarso, sistem among mendidik sikap merdeka lahir dan
batin,www.tamansiswa.com, akses 7 juni 2008, jam 07.00 WIB
129
3. Implikasinya Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara Dan Hamka Bagi Pendidikan di Sekolah
a. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ki Hadjar
Dewantara Bagi Pendidikan di Sekolah
1) Terwudnya konsep kecerdasan emosional dan spritual yang
harus dimiliki oleh para pelajar.
2) Seorang guru akan menghargai dan mengoreksi setiap
masukan yang disampaikan oleh setiap peserta didik dan
seorang guru akan selalu menjaga kebebasan dan kreatifitas
peserta didik.
3) Guru akan selalu menjembatani keraifitas siswa dan menjadi
sentral dari seluruh aktifitas pendidikan.
4) Dalam pembelajaran seorang guru akan selalu menyampaikan
materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
5) Dengan metode, ngerti, ngrasa, dan ngalakoni diharapkan
seorang guru dapat memberikan pengertian mengenai
penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur agar peserta
didik dapat mengembangkan nilai-nilai budi pekrti tersebut.
6) Melalui sistem among diharapkan seorang guru dapat
menanamkan nilai-nilai kasih sayang bagi peserta didik.
b. Implikasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka Bagi
Pendidikan di Sekolah.
130
1) Terciptanya disiplin tubuh dan jiwa pada peserta didik yang
selalu bersandar pada Al-Qur‟an dan Sunah di setiap langkah
dan nafasnya.
2) Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara
spontan bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan yang sempurna (al-saadat).
3) Terciptanya kondisi jiwa yang selalu mengajak kepada
kebaikan dan selalu menghindari keburukan.
4) Terwujudnya pemikiran peserta didik yang lebih rasional
dalam menjalani kehidupan yang lebih adil dan bijaksana
dengan mengambil jalan tengah dalam setiap menyelesaikan
persoalan.
5) Tertanamnya nilai akhlaqul kharimah pada diri peserta didik.
B. Saran-Saran:
Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran
konstruktif bagi dunia pendidikan, baik bagi pendidik maupun instansi
yang menangani pendidikan.
1. Sebagai seorang pendidik atau guru hendaknya dapat menjadi teladan
yang baik bagi anak didiknya, sehingga seorang guru dapat “digugu
dan ditiru” oleh anak didiknya.
131
2. Diharapkan materi-materi akhlak yang diberikan kepada anak didik
tidak hanya bersifat teoritis namun juga diseimbangkan dan dibiasakan
dengan akhlak-akhlak mulia yang bersifat praktis
3. Perlunya sosialisasi terhadap para pendidik ataupun masyarakat luas
bahwa kekerasan, penindasan, serta penekanan-penekanan terhadap
4. peserta didik dalam proses belajar akan berimplikasi terhadap kondisi
perkembangan psikisnya dan hanya akan melahirkan pribadi-pribadi
yang tidak percaya diri, keras dan kasar, yang menyebabkan semakin
jauh dari nilai-nilai luhur agama (Islam) yang sangat mengagungkan
rasa cinta dan kasih sayang sebagai cerminan akhlak yang mulia.
5. Dalam hal ini lembaga pendidikan keluarga, lembaga pendidikan
formal (sekolah), dan juga lembaga pendidikan informal (masyarakat),
hendaknya menjalin kerjasama yang harmonis dalam rangka menjaga
dan bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan bagi anak,
sehingga terwujud semua harapan yang diharapkan semua pihak.
C. Penutup
Alhamdulillah penulis selalu mengucapkan syukur kepada Allah
SWT pencipta alam semesta, karena telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiahnya berupa skripsi
sebagai tugas akhir dari perkuliahan yang dijalaninya. Ucapan terima
kasih juga di persembahkan kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
132
Adapun hasil penulisan skripsi yang membahas tentang konsep
pendidikan akhlak menurut Ki Hadjar Dewantara dan Hamka serta
implikasinya terhadap pendidikan Islam, ini masih terlampau jauh dari
kata sempurna karena masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh
keterbatasan waktu, pengetahuan, referensi, ataupun kurang tajamnya
analisis. Sehingga diharapakan peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih
dalam sehingga menghasilkan hasil yang lebih bagus, amin
133
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nashih Ulwan, Moralitas Kaula Muda Islam Dititik Nadir, Yogyakarta:
Darussalam Offset, 2005.
Adian Husaini, Pendiidkan Islam “Membentuk Manusia Berkarakter dan
Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012.
Abdullah Nasikh Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Pemeliharaan Jiwa,
Bandung: Rosda Karya,1990.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung Ramaja Rosda
Karya,1992.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
, Akhlak Tasawuf , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma‟ruf, Jakarta : Bulan
Bintang, 1975.
Arifin, H. Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
, Kapita Selekta Pendidikan Islam & Umum, Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dn
Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar, Jakata: Katalog
Dalam Terbitan,2011.
Bambang Sukowati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahan.Dwi
Siswono, dkk, Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Darwis A.Soelaiman, Sekolah, Keluarga dan Masyarakat Sebagai Pusat
Kebudayaan, Makalah.
Drs.H. Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Griya Santri,
2010.
Edy Yusuf Nur SS, Mutiara Islamai, Yogyakarta: Suka-Press, 2013.
134
Menggali Tasawuf Yang Hakiki; Buku Pegangan Mata Kuliah
Tasawuf Untuk PTAI, Yogyakarta: Suka-Press, 2014.
Haidar Musyafa, Sang Guru Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara: Kehidupan,
Pemikiran dan Perjuan Pendiri Tamansiswa, Jakarta: Imania, 2015.
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas,1990.
, Hamka Di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
, Falsafah Hidup, Jakarta: Umminda, 1982.
, , Lembaga Budi. Pustaka Panjimas, 1983.
, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1956.
, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam.
Hamzah Yacob, Etika Islam, Jakarta: CV. Publicita, 1978.
H.M.Arifin, M.Ed, Ilmu Pendidikan Islam, Cet V (Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Wacana Ilmu, 1999.
Hendra Saputra, Studi Komparasi Pendidikan Akhlak Bagi Anak Menurut Ibn
Qayyim Al-Jauziyyah Dan Al-Qabisi, Skripsi, Jurusan Kependidikan
Islam Fakultas Ilmu tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Irna, H.N dan Hadi Soewito, Soewardi Sooeryaningrat dalam Pengasingan,
Jakarta: Balai Pustaka.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar, Jakarta:
KDT,2011.
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan Bagian I , Yogyakarta: MLPTS, 1922.
, Kebudayaan Bagian II, Yogyakara: MLPTS,1997.
Kuncoro Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT.
Gramedia,1989.
Khoirun Rosyadi, Pendidikan Profektik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ki Soeratman, Dasar-Dasar Konsepsi Ajaran Ki Hadjar Dewantara Dalam
Peringatan 70 Tahun Tamansiswa, Yogyakarta: MLPTS, 1992.
135
Lois O Katsoft, Pengantar Filsafat Penerjemah Soerjono Sumargono,
Yograkarta: Tiara Wacana, 2003.
M. Athiyah Al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Cet. V (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000.
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008.
Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral (Aspek Pendidikan Yang Terlupakan), terj.,
Tulus Mustofa, Jogjakarta: Talenta, 2003.
Mukhtar Dan Erna Widodo, Konstruktif Kearah Penelitian Deskriptif,
Yogyakarta: Auyrous, 2000.
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Galia Indonesia,1985.
, Metode Penelitian, Bogor: Galia Indonesia,2005.
Muhammad Damami, Tasawuf Positif Dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2009.
Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, Bandung :
Pustaka Setia, 2003.
Muh. Fadlil al-Jamly, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur‟an, Surabaya: Bina Ilmu,
1986.
Nur Rohman, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hamka dan
Zakiah Daradjat, Skripsi, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu
tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013.
Nurul Zuriah, Pendidkan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan
Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Saibani, Al-Uhus al-Nafsiyah Wa al-Tabiryyat
li Riayat al-Syabab, Kahirat: Dar al-Ma‟arif 1986.\Rahmat Djatnika,
Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Balai Pustaka, 1994.
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam, Jakarta:2008.Saiful Anwar, Metode
Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Syaihidin, Metode Pendidikan Qur‟ani, Jakarta: CV Misaka Galiza,1999.
Suparto Rahrjo, Ki Hadjar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959, Yogyakarta:
Garasi House Of Book, 2009.
136
Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Amanah, 1997.
Sukardi, Metodelogi Penelitian Pendidikan: Komperensi Dan Praktiknya, Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1988.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar,2004.
Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Bandung: Fokus Media,2010.
Winarno Surakman, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1984.
, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar dan Teknik Metode Belajar,
Bandung: Tarsito,1986.
Wan Mohammad Nor Wan Daud, Filsafat Islam dan Praktek Pendidikan Seyd M.
Naquib al-Attas cet.i, Bandung: Mazan,2003.
Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, Bandung : Ramadhani, 1993.
Zuhriadi, (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah
Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta),
dengan judul Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Murtadha Muthahari.
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang 2005.
http://tafsir.blogspot.com diakses pada tanggal 11 Februari 2009 pukul 22.00
WIB.\
http://dilihatya.com/2411/pengertian-implikasi-menurut-para-ahli, diposting pada
tanggal 2 Oktober 2014.
http://tanbihun.com/pendidikan/pendidik-dalam-pendidikan islam,dipostintanggal
8 februari 2012.
http://elearning.unesa.ac.id/tag/konsep-pendidik-dan-peserta-didik,diposting pada
tanggal 8 februari 2012.
Top Related