perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DALAM UPAYA
MEWUJUDKAN IDENTITAS SOLO SEBAGAI KOTA BUDAYA
(Studi Kasus Sekaten di Keraton Surakarta )
Skripsi
Oleh:
Yoyok Adi Hermawan
K 8408066
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juni 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Yoyok Adi Hermawan
NIM : K8408066
Jurusan/Program Studi : P.IPS/Pendidikan Sosiologi Antropologi
Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “STRATEGI
PENGEMBANGAN PARIWISATA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN
IDENTITAS SOLO SEBAGAI KOTA BUDAYA (Studi Kasus Sekaten di
Keraton Surakarta)” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain
itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan
Yoyok Adi Hermawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DALAM UPAYA
MEWUJUDKAN IDENTITAS SOLO SEBAGAI KOTA BUDAYA
(Studi Kasus Sekaten di Keraton Surakarta)
Oleh:
Yoyok Adi Hermawan
NIM. K8408066
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juni 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, Juni 2012
Pembimbing I
DR. H. Zaini Rohmad, M.Pd
NIP. 19581117 198601 1001
Pembimbing II
Dra. Hj. Siti Chotidjah, M.Pd
NIP. 19481214 198003 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. H. MH Sukarno, M.Pd ………………
Sekertaris : Dra. Hj. Siti Rochani Ch, M.Pd ………………
Anggota I : DR. H. Zaini Rohmad, M.Pd ........................
Anggota II : Dra. Hj. Siti Chotidjah, M.Pd ………………
Disahkan Oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
a.n Dekan
Pembantu Dekan I
Prof. Dr. rer.nat. Sajidan, M.Si
NIP. 19660415 199103 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Yoyok Adi Hermawan. STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA
DALAM UPAYA MEWUJUDKAN SOLO SEBAGAI KOTA BUDAYA
(Studi Kasus Sekaten di Keraton Surakarta). Skripsi, Surakarta: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juni. 2012.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui strategi pengembangan
pariwisata sekaten keraton Surakarta ,(2) Mengetahui faktor penghambat dan
pendorong pengembangan pariwisata sekaten keraton Surakarta, (3) Untuk
mengetahui identitas yang dibangun pemerintahan kota Surakarta dalam
mewujudkan Solo kota budaya lewat sekaten.
Penelitian ini menggunakan metode deskiptif kualitatif dengan strategi
penelitian berupa studi kasus tunggal terpancang. Teknik sampling yang
digunakan yaitu teknik purposive sampling dan snowball sampling. Sedangkan
teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara mendalam, observasi
langsung, dan pengumpulan dokumen. Untuk meningkatkan kesahihan data,
peneliti menggunakan teknik triangulasi data yaitu triangulasi sumber dan metode.
Tahapan analisis interaktif penelitian ini yaitu pengumpulan data, reduksi data,
intepretasi data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) pengembangan sekaten sebagai
tujuan wisata di kota Solo dikemas menjadi tiga daya tarik wisata yakni wisata
religi, wisata budaya dan wisata ekonomi pada umumnya serta wisata belanja
pada khususnya, (2) faktor-faktor yang mendorong pengembangan wisata sekaten
adalah adanya potensi keraton yang menjadi pemangku adat atau yang punya
upacara itu sendiri, peran serta masyarakat baik dalam sekaten, barang-barang
yang memilki folosofi di sekaten masih banyak ditemukan di sekaten Surakarta
seperti gerabah dan sebagainya, peluang ke depannya yang bisa menempatkan
sekaten menajdi salah satu destinasi wisata internasional, sekaten juga bisa
menggerakan perekoomian masyarakat menengah kebawah, sebagai pelestarian
tradisi. Faktor–faktor penghambat pengembangan sekaten yakni; masalah
pendanaan yang masih kurang maksimal, karena sekaten membutuhkan biaya
yang cukup besar, pengelolaan yang dikelola oleh keraton sendiri, belum ada
regulasi kebijakan mengenai pengembangan sekaten sendiri. (3) Solo sebagai kota
budaya belum sepenuhnya terwujud, banyak berbagai aspek yang belum digarap
oleh pihak yang berwewenang dalam mengaktualisasikan nilai-nilai serta norma-
norma yang terkandung dalam kota budaya, baik yang berupa benda maupun yang
berupa non-benda,
Simpulan penelitian ini adalah strategi pengembangan sekaten kearah
pariwisata dikemas menjadi 3 daya tarik wisata yakni wisata religi, wisata budaya
dan wisata ekonomi. Solo kota budaya belum sepenuhnya terwujudkan.
Kata kunci : pariwisata, strategi pengembangan, kota budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT
Yoyok Adi Hermawan. TOURISM DEVELOPMENT STRATEGY ON THE
EFFORT TO MAKE SOLO AS A CITY OF HERITAGE (Case Study On
Sekaten At Keraton Surakarta) thesis, Surakarta Faculty of teacher training and
education Universitas Sebelas Maret Surakarta, June 2012
The Purpose of this research is to (1) To know tourism development
strategy on Keraton Surakarta sekaten (2) to know the incentive and barrier factor
in advancing Keraton Surakarta Sekaten Tourism (3) to know what kind identity
that government of Surakarta want to make in the effort to realize Solo as a city of
heritage by Sekaten
This research use exploration descriptive methodology, with a single case
study analytical. sampling technics that used in this research is purposive
sampling technics and snowball sampling technics. while the gathering of data
technics that used is in depth interview, observation, and document aggregation.
To increase the validity of data, researcher use triangulasi data technics that is
resource and methode triangulasi. analytical stape of this research is data
gathering, data reduction, data interpretation, and conclusion.
The result of this research show that (1) the development of sekaten as a
tourism destination in Solo in general is packed in three tourism appeals which is
religious tourism, cultural tourism, and economical tourism also shopping tourism
in particular, (2) the factor that stimulate the development of sekaten tourism
which is keraton itself who held the festival, the participation of the society,
paraphernalia which has a philosophy meaning behind sekaten which like pottery
and so on are still easy to find, in the future sekaten can become international
tourism destination, the last is sekaten can become low-mid society economical
move, as a preservation of culture. The obstacle in developing sekaten which is :
lack of fund because sekaten festival need a lot fund to held, the festival which
still manage by the keraton itself, and there is still no regulation about the
development on the sekaten. (3) Solo as city of heritage has not wholly
materialized yet, there still a lot aspect that has not done by the authorized to
actualized the values and also norms that suppose contains in the city of heritage,
which is abstract or absolute thing
The conclusion of this research is sekaten developing strategy tourism, as
a tourism destination, packed into three tourism appeling which is religi tourism,
cultural tourism, and economic tourism. Solo, as a city of heritage, has not fully
realized yet.
Keywords : tourism, developing strategy, city of heritage
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
MOTTO
Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin sungguh dia beruntung,
Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin sungguh dia merugi, dan
Barang siapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin sungguh dia celaka
(Al Hadits)
Solo masa depan adalah Solo masa lalu
(Jokowi)
Tak ada yang tak mungkin, lakukanlah!
(peneliti)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya skripsi ini kepada :
1. Ibu dan Bapak, Kakung dan Yayi, serta keluarga
tercinta yang tiada lelah mencurahkan kasih,
sayang, serta doa disetiap hembusan nafas.
Semoga Allah SWT, melindungi dan
menyayangi mereka.
2. Kepada adikku tercinta Andika Dwi
Cahyaningrum yang telah berbagi rahim
denganku.
3. Ika Novitasari, terimakasih karena senantiasa
mendorong langkahku dengan perhatian dan
semangat .
4. Seluruh teman-temanku yang selalu
menghadirkan keceriaan dan warna dalam
hidupku.
5. Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang
memberikan ilmu, inspirasi dan kemuliyaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “STRATEGI PENGEMBANGAN
PARIWISATA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN IDENTITAS SOLO
SEBAGAI KOTA BUDAYA (Studi Kasus Sekaten di Keraton Surakarta)”
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana dalam Program Studi Pendidikan Sosiologi-
Antropologi, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa
terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan
pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Prof.Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sebalas Maret Surakarta.
2. Drs. H. Saiful Bachri, M.Pd Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebalas Maret Surakarta.
3. Drs. H. M.H. Sukarno, M.Pd Ketua Program Pendidikan Sosiologi
Antropologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
4. DR. H. Zaini Rohmad, M.Pd sebagai Pembimbing I yang telah memberikan
motivasi, masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dra. Hj. Siti Chotidjah, M.Pd sebagai Pembimbing II dan Pembimbing
Akademik yang telah memberikan ide, masukan, dan motivasi dalam
penyusunan skripsi.
6. Seluruh Dewan Dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS.
7. Keraton Surakarta Hadiningrat serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta
8. Teman-teman Prodi Sosiologi Antropologi angkatan 2008 yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Surakarta, Juni 2012
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL…………………………………………….................................. i
PERNYATAAN ………………………………....................................... ii
PENGAJUAN........................................................................................... iii
PERSETUJUAN……………………………………............................... iv
PENGESAHAN………………………………………………………… v
ABSTRAK……………………………………………………………… vi
MOTTO…………………………………………………………………. viii
PERSEMBAHAN…...................……………………………………….. ix
KATA PENGANTAR………………………………………………….. x
DAFTAR ISI………………………………………………………........ xii
DAFTAR TABEL………………………………………………………. xv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xvi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xvii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian……………………………………………. 6
D. Manfaat Penelitian………………………………………….. 6
BAB II. KAJIAN TEORI..........……………………………………….. 8
A. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 8
1. Tinjauan tentang Kebudayaan....……………………........ 8
a. Pengertian Kebudayaan…..…………………………… 8
b. Unsur-unsur Kebudayaan............................................... 9
c. Wujud Kebudayaan....................……………………… 11
2. Tinjauan tentang Pariwisata dan Wisatawan…….....……. 18
a. Tinjauan Tentang Pariwisata............………………….. 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
b. Bentuk-Bentuk Pariwisata...…………………………... 24
c. Jenis Pariwisata............................................................... 26
d. Pengertian Wisatawan..................................................... 30
3. Tinjauan tentang Strategi Pengembangan Pariwisata…….. 32
a. Pengertian Strategi.........……………………………….. 32
b. Pengembangan Pariwisata……………………………… 33
4. Tinjauan tentang Kota Budaya…………………………… 41
B. Penelitian Yang Relevan………………………………………….. 47
C. Kerangka Pemikiran………………………………………………. 48
BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………… 50
A. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................... 50
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian……….....………………………. 52
C. Data dan Sumber Data………....…………………………………. 54
D. Tehnik Sampling ( Cuplikan ).......................................................... 56
E. Teknik Pengumpulan Data……………………………………….. 57
F. Uji Validitas Data………………………………………………… 59
G. Analisis Data……………………………………………………… 61
H. Prosedur Penelitian……………………………………………….. 63
BAB IV. HASIL PENELITIAN………………………………………… 65
A. Deskripsi Lokasi Penelitian……………………………………….. 65
1. Gambaran Umum Kota Surakarta……………………………… 65
a. Tinjauan Historis Kota Surakarta......................................... 65
b. Keadaan Wilayah Kota Surakarta........................................ 66
c. Kondisi Sosial-Budaya Kota Surakarta............................... 67
2. Keraton Surakarta Hadingrat..........................………………… 69
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Surakarta..................... 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian………………………………... 74
1. Strategi Pengembangan Pariwisata Sekaten.....………………… 74
a. Sekaten sebagai Pariwisata.................................................... 75
b. Pengembangan Sekaten sebagai Pariwisata Religi,
Budaya dan Belanja............................................................... 79
2. Faktor Pendorong dan Penghambat dalam Pengembangan
Wisata Sekaten…...................................…................................. 86
a. Faktor Pendorong.................................................................. 86
b. Faktor Penghambat............................................................... 89
3. Perwujudan Solo sebagai Kota Budaya…….............................. 90
a. Arah Perwujudan Solo sebagai Kota Budaya...................... 90
b. Sekaten sebagai Aktualisasi Kota Budaya........................... 94
c. Promosi Solo sebagai Kota Budaya..................................... 96
4. Temuan Hasil dari Lapangan....................................................... 99
C. PEMBAHASAN ………………………………………………… 102
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN…………………….. 123
1. Simpulan…………………………………………………………. 123
2. Implikasi…………………………………………………………. 125
3. Saran…………………………………………………………….. 127
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 129
LAMPIRAN……………………………………………………………… 130
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu Penelitian................................................................. 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir..................................................................... 49
Gambar 2. Komponen- komponen Analisis Model Interaktif.......................... 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Fieldnote....................................................................................... 130
Lampiran 2. Perijinan Penyusunan Skripsi....................................................... 161
Lampiran 3. Perijinan Melaksanakan Penelitian.............................................. 163
Lampiran 4. Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian................................ 167
Lampiran 5. Foto............................................................................................. 169
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pariwisata telah lama diakui sebagai sektor andalan perolehan devisa
non–migas dalam pembangunan nasional. Pariwisata juga telah diakui oleh para
pelaku wisata, pemerintah daerah dan masyarakat setempat sebagai dunia bisnis
yang menggiurkan, menantang sekaligus beresiko tinggi. Meskipun pariwisata
sangat menjanjikan, namun bagi daerah yang baru mulai mengolah potensi
wisatanya, pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalik telapak
tangan. Banyak langkah yang harus ditempuh, mulai dari inventarisasi potensi
wisata, pembangunan sarana dan prasarana, pemberdayaan masyarakat sampai
kepada sosialisasinya kepada masyarakat luas.
Di era otonomi daerah ini, setiap kabupaten atau kota mempunyai
kebebasan untuk menggali potensi daerahnya masing–masing untuk
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan UU
no.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terkandung prinsip–prinsip
demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah. Setiap daerah diberi
kesempatan yang seluas–luasnya untuk mengelola rumah tangganya sendiri,
sehingga potensi alamnya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk
perkembangan daerah tersebut, yang dapat digunakan untuk menambahkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Didalam UU no.32 tahun 2004 terkandung dasar
pertimbangan terbentuknya daerah otonom diantaranya : Kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta
pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Setiap
daerah baik itu yang berpotensi tinggi, maupun rendah, sama–sama dituntut untuk
tetap bisa memaksimalkan potensi daerah tersebut, dengan dibantu oleh
pemerintah pusat.
Dengan demikian, peraturan daerah yang mengatur tentang dunia
kepariwisataan di daerah tidak lagi berorientasi pada pemikiran bagaimana
memberikan pelayanan kepada dunia usaha (pengusaha) dengan pemberian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
perizinan dan administratif dari kegiatan pariwisata yang dilakukan pengusaha
wisata. Pemerintah kota memiliki peran dan tugas yang cukup besar dalam
pembangunan kepariwisataan. Berdasarkan UU No.10 tahun 2009 Pembangunan
Pariwisata meliputi:
1. Industri Pariwisata,
2. Destinasi Pariwisata,
3. Pemasaran, dan
4. Kelembagaan kepariwisataan.
Surakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki potensi
dan merencanakan untuk melakukan pembangunan dibidang pariwisata.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah, dimana
setiap daerah mempunyai wewenang untuk mengelola dan memberdayakan
potensi daerah yang ada, mendorong setiap kota di Indonesia untuk meninjau
ulang pendekatan dan cara pandang suatu daerah dalam mengelola potensi daerah
yang dimiliki. Di tengah era otonomi daerah seperti ini, Indonesia dihadapkan
pada persaingan global yang mana antara daerah satu dengan yang lain
bersaing dalam usaha memanfaatkan potensi daerah yang dimiliki untuk
membentuk identitas daerah/kota tersebut.
Dengan visi pembangunan Kota Solo adalah kota budaya yang
berorientasi pada nilai masa lalu. Dan konsep masa lalu ini sebagai konsep yang
mengarah pada “budaya”. Konsep ini perlu mendapat perhatian, karena “budaya”
tak melulu menyangkut masa lalu, namun yang utama adalah menyangkut “masa
depan”. Jika visi ke depan pembangunan Kota Solo adalah masa lalu, yang jadi
pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana menggabungkan visi “masa depan”
budaya dengan kondisi “masa lalu” Solo.
Selain itu kota Solo merupakan kota yang memiliki kesejarahan yang
besar dalam membangun peradaban Solo sekarang ini. Keberadaan keraton
ditengah jangkar kota menjadi sebuah potensi yang besar dalam pengembangan
kota. Keraton memiliki begitu banyak wujud kebudayaan yang menjadi kekuatan
membangun pariwisata khususnya pariwisata budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Salah satunya adalah Sekaten. Sekaten merupakan salah satu dari sekian
banyak acara upacara yang dilakukan keraton Surakarta. Sekaten merupakan
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi) yang dikemas dalam
rangkaian upacara tradisi Garebeg Mulud yang menjadi salah satu agenda acara
dan upacara adat yang paling semarak di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Hingga sekarang, acara adat dan budaya ini masih rutin diselenggarakan setiap
tahun di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama
tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini
sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut
cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati,
Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan
Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas
bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada
hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain
upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai
sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya. Acara
sekaten menjadi salah satu pagelaran budaya yang besar di kota Surakarta.
Dengan adanya sekaten yang telah menjadi bagian dari kota Solo ini, sekarang
menjelma menjadi karakteristik kota yang bernuannsa budaya. Dengan adanya
sekaten ini menjadi suatu pembentuk identitas atau citra kota Solo sebagai kota
budaya bagi wisatawan yang datang ke kota Solo. Serta menjadi perwujudan
menjadi kota budaya,yang mengidentifikasi suatu bentuk kota yang memunculkan
identitas budayanya.
Setiap wilayah / daerah selalu memiliki konstruksi identitas tertentu yang
pada akhirnya akan memberi citra terhadap daerah itu sendiri, misalnya citra
perkotaan yang ditandai dengan kemegahan bangunan-bangunannya, banyaknya
jalan-jalan tol, pusat-pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Sebaliknya adalah situasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
yang sepi, daerah yang dikelilingi persawahan menjadi citra identitas dari daerah
pedesaan. Apalagi ditunjang oleh keadaan yang masih asri dan jauh dari polusi.
Identitas suatu daerah tidak semata-mata hadir begitu saja akan tetapi
melalui sebuah konstruksi baik sosial budaya, etnis, agama menjadi faktor yang
membuat suatu daerah memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi daya tarik oleh
masyarakat yang lainnya. Seperti halnya pulau Bali yang dicitrakan sebagai pulau
surganya para turis baik domestik maupun turis asing yang tertarik untuk
berkunjung di pulau dewata menikmati keindahan panorama alamnya.
Identitas kota Solo tidak terlepas dari keberadaan dua lembaga adat
budaya Jawa yang hingga kini masih bertahan, yakni Keraton Kasunanan
Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Dalam hal keterikatan budaya, Solo masih
sedikit tertinggal dibanding tetangganya, Yogyakarta. Ciri budaya yang hendak
ditampilkan Solo harus menjadi ikon kota dan mendapat positioning yang spesifik
ditengah jangkar kepariwisataan.
Perkembangan pelestarian kebudayaan di kota Solo semakin meningkat.
Hal ini juga tidak lain merupakan nilai tambah bagi Pemerintah kota dalam
menerapkan realisasi dari visi dan misi kota Solo dengan menerapkan berbagai
slogan sebagai ajang promosi kota Solo, antara lain; Solo ke depan adalah Solo
tempo dulu; Solo Kotaku, Jawa Budayaku; Solo The Spirit Of Java. Disini, secara
tidak sengaja nama Solo lebih famous dan marketable di Dunia.
Tak hanya berhenti sampai pada bangkitnya citra kota budaya, justru
kedepan diharapkan citra yang sudah terbangun ini kelak akan dapat memberikan
multiplier effect (efek ganda terhadap bidang ekonomi, sosial dan budaya),
termasuk di antaranya dalam menambah Pemasukan Asli Daerah (PAD). Peranan
pariwisata dalam membangun ekonomi nasional cukup tinggi, maka dari itu
pemerintah hendaknya mengalokasikan dana yang lebih besar untuk menggenjot
promosi pariwisata. Pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang
merupakan unsur pelaksana pemerintah dibidang kepariwisataan. Menurut Yoeti
pemerintah mempunyai tugas antara lain:
1. Merumuskan kebijakan teknis dibidang pariwisata dan kebudayaan yang
menjadi kewenangan Otonomi Daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Memberian perizinan dan Melaksanaan pelayanan umum bidang Pariwisata dan
Kebudayaan;
3. Pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan;
4. Mengelola urusan ketatausahaan;
5. Membina dan mengembangkan industri dibidang kepariwisataan;
6. Menyelenggaraan pemasaran, promosi, dan publikasi media kepariwisataan;
7. Membina hubungan kerjasama yang baik antar lembaga pariwisata baik
regional maupun internasional;
8. Mengelola fasilitas pelayanan pariwisata;
9. Mengembangkan teknologi informasi kepariwisataan dan lain – lain, (1996)
Mewujudkan sebuah kota yang berbasis budaya memang bukan semudah
membalikan telapak tangan. Meskipun secara sejarah kota Surakarta merupakan
kota yang memiliki warisan budaya yang begitu besarnya. Untuk mewujudkan hal
tersebut pasti membutuhkan strategi-strategi yang harus di lakukan pemeritah
daerah Surakarta. Ditunjang dengan semakin banyaknya pengunjung yang
mendatangi kota Solo.
Besarnya potensi yang dimiliki kota Solo ini menjadi tombak untuk
mewujudkan Kota Budaya. Sebagai kota yang sarat dengan nilai budaya, Solo
menjadi tempat yang menarik dikunjungi wisatawan. Melalui pengembangan
wisata yang kreatif akan sangat diperlukan untuk kemajuan pariwisata di Solo.
Wisata kreatif merupakan wisata yang mengandalkan pengembangan aset budaya.
Solo memiliki aset wisata kreatif yang menarik, seperti wisata kerajinan, wisata
pertunjukan budaya hingga wisata kuliner. Di Solo sudah ada semua, tergantung
bagaimana srategi pengemasan pariwisata agar menjadi ikon atau identitas Solo.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti mengadakan penelitian dengan judul :
Stategi Pengembangan Pariwisata dalam Upaya Mewujudkan Identitas Solo
sebagai Kota Budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
mengenai keberadaan Sekaten Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu:
1. Bagaimana strategi pengembangan pariwisata sekaten Keraton Surakarta?
2. Apa yang menjadi faktor pendorong dan penghambat pengembangan pariwisata
sekaten Keraton Surakarta dalam upaya mewujudkan identitas Solo sebagai
kota budaya?
3. Bagaimana pemerintah kota mewujudkan Solo sebagai kota budaya lewat
sekaten Keraton Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui strategi pengembangan pariwisata sekaten Keraton Surakarta.
2. Mengetahui faktor penghambat dan pendorong pengembangan pariwisata
sekaten Keraton Surakarta dalam upaya mewujudkan identitas Solo
sebagai kota budaya.
3. Untuk mengetahui identitas yang di bangun pemerintahan kota Surakarta
dalam mewujudkan Solo kota budaya lewat sekaten Keraton Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Penelitian ini bermanfaat bagi para ilmuwan sebagai pijakan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah
Dapat dimanfaatkan sebagai salah satu referensi Pemerintah Kota
Surakarta dalam upayanya meningkatkan pengembangan pariwisata
Kirab Budaya Kraton Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Bagi Masyarakat
Memberi informasi dan pemahaman kepada masyarakat berkaitan
dengan keuntungan adanya pengembangan pariwisata di Surakarta.
c. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan informasi bagi peneliti lain mengenai
seluk beluk kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Surakarta
terkait pengembangan pariwisata Kirab Budaya Kraton Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Tinjauan Tentang Konsep Kebudayaan
a. Pengertian Kebudayaan
Hakikat kebudayaan mengandung pengertian yang sangat luas dan
universal, terlebih apabila hal ini dikaitkan dengan apa yang peneliti lakukan
yang bersifat menyeluruh dan secara substansi berkaitan dengan banyak segi
keilmuan, terutama budaya, antropologi, sejarah, dan sosiologi. Untuk
mengetahui secara mendalam definisi mengenai kebudayaan, peneliti akan
menguraikan beberapa pendapat mengenai definisi kebudayaan dari para ahli
yang berkompeten mengenai hal ini.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa “kebudayaan adalah
Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”
(2009:144). Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar yakni hanya beberapa
tindakan naluri, refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologis, atau
kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan
kemampuan naluri yang terbawa kedalam gen bersama kelahirannya seperti;
makan ,minum, atau berjalan.
Senada dengan pernyataan di atas, Ihromi mengatakan bahwa
“Kebudayaan merupakan cara berperilaku yang dipelajari; kebudayaan tidak
tergantung pada transmisi biologis atau pewarisan melalui genetis” (2006:18).
Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakan oleh insting
dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun
mempengaruhi kebudayaannya. Hal ini senada dengan Kontjaraningrat yang
mendefinisikan kebudayaan merupakan hasil dari belajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Senada dengan pernyataan di atas C.Kluckhohn juga menyatakan
bahwa “ kebudayaan merupakan tindakan hidup yang tercipta dalam sejarah
yang explisit, implisit, rasional, irrasional yang terdapat pada setiap waktu
sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia (Koentjaraningrat
2009:145)”.
Jadi, kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Hal ini
meliputi karya, cipta, karsa, cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan,
sikap-sikap dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu yang diperoleh lewat belajar.
Karena setiap manusia dilahirkan kedalam sebuah kebudayaan yang bersifat
kompleks dan kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup
serta cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup manusia.
Dalam hal tersebut penelitian ini mengkaji mengenai strategi
pengembangan sebuah pariwisata yang berbasiskan kebudayaan, khususnya
kebudayaan zaman dahulu. Sekaten merupakan kebudayaan yang besar di
keraton Surakarta. Pagelaran sekatenan dilandasi akan suatu bentuk karya
manusia yang menjadi tindakan yang dilakukan manusia dikehidupannya.
Secara teoritik, sekaten merupakan suatu bentuk tindakan manusia untuk
menciptakan nilai-nilai dasar yang akan dianut oleh manusia itu sendiri. Maka
dari itu, sekaten menjadi salah satu sistem budaya pada diri masyarakat
Surakarta yang menjadi patokan untuk bertindak dan berbudaya. Sehingga dari
sini peneliti bisa menyajikan seluk beluk kebudayan tersebut.
b. Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan di dunia ini juga memiliki unsur dari pembentuk
kebudayaan manusia. Di atas telah diulas mengenai arti kebudayaan manusia
yang merupakan keseluruhan dari tindakan manusia yang berkisar pranata-
pranata tertentu. Sebenarnya suatu masyarakat yang luas dapat diperinci
kedalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu kebudayaan yang luas
dapat pula kita perinci kedalam unsur-unsur yang khusus. Peneliti menanggapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
suatu kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang terintergrasi, ketika
hendak menganalisis membaginya ke dalam unsur-unsur besar yang disebut
dengan unsur-unsur kebudayaan universal atau culture universal .
Banyak yang memperdebatkan unsur kebudayaan ini, akan tetapi
menurut C.Kluckhohn berpendapat bahwa unsur kebudayaan itu ada 7 unsur
yakni
1).Bahasa,
2). Sistem pengetahuan,
3). Organisasi sosial,
4). Sistem Tehnologi,
5). Sistem mata pencaharian,
6).Sistem religi,
7). Kesenian.
(Koentjaraningrat 2009:165)
Dari ke tujuh unsur kebudayaan itu dapat diuraikan dari unsur satu
dan unsur lainnya, yang pertama bahasa, terdiri dari bahasa lisan, bahasa
tertulis dan naskah kuno. Suatu kenyataan yang tidak luput dari setiap orang
adalah pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun
bentuknya, selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. Hal ini
mengandung implikasi yang hebat dalam pewarisan kebudayaan. Hal ini juga
berarti jika manusia tidak memiliki bahasa yang simbolis kita tidak bisa
meneruskan atau menerima pewarisan kebudayaan yang demikian kaya dan
beraneka ragamnya.
Unsur yang kedua merupakan sistem pengetahuan manusia yang
meliputi teknologi dan kepandaian dalam hal tertentu, misalnya pada
masyarakat petani ada pengetahuan masa tanam, alat pertanian yang sesuai
lahan, pengetahuan yang menentukan proses pengolahan lahan. Kemudian
yang ketiga adalah organisasi sosial, yaitu cara-cara perilaku manusia yang
terorganisir secara sosial meliputi sistem kekerabatan, sistem komunitas, sistem
pelapisan sosial, sistem politik serta kelompok sosial mengorganisasikan diri.
Unsur yang keempat sistem peralatan hidup dan teknologi, yaitu alat-
alat produksi, senjata, peralatan distribusi dan transportasi, peralatan
komunikasi, peralatan konsumsi, pakaian dan perlengkapannya, makanan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
minuman, peralatan perlindungan atau istirahat. Unsur yang kelima sistem
mata pencaharian hidup, yaitu sistem dari nomaden yang menganut
foodgathering, semi producing, food producing hingga industri. Misalnya
perburuan, perladangan, perkebunan, pertanian, peternakan, perdagangan dan
industri. Unsur yang ke enam sistem religi, yaitu sistem keyakinan dan gagasan
tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, neraka dan surga.
Unsur yang terakhir kesenian, yaitu tentang gagasan-gagasan, ciptaan,
pikiran, dongeng atau syair. Semua unsur-unsur kebudayaan diatas mencakup
segala kebutuhan manusia dalam berkehidupannya, sehingga secara teoritis
peneliti mendefinisikan bahwa kebudayan merupakan segala sesuatu untuk
kebutuhan hidup manusia.
Tiap unsur-unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma
kedalam 3 wujud kebudayaan diatas tadi yaitu wujudnya berupa sistem budaya,
berupa sistem sosial, dan berupa unsur kebendaan fisik. Dengan demikian
sistem ekonomi misalnya memiliki wujud sebagai konsep, rencana,
kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga
mempunyai wujud sebagai tindakan dan interaksi sosial berpola antara
produsen, tengkulak, pedagang, serta ke konsumen, selain itu ekonomi juga
memiliki unsur-unsur yang berupa benda peralatan yang mendukung sistem
ekonomi.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa unsur-
unsur kebudayaan adalah pembagian sesuatu keseluruhan yang terintegrasi ke
dalam bentuk pranata-pranata atau bagian-bagian kecil dari kebudayaan.
Sehingga peneliti dapat memilah sesuai dengan kebutuhan penelitian mengenai
kebudayaan.
c. Wujud Kebudayaan
Pada dasarnya peneliti untuk mengkaji mengenai kebudayaan
berangkat dari unsur kebudayaan universal kemudian mengarah kedalam
wujud kenbudayaan yang lebih rinci dan detail. Secara umum wujud
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kebudayaan menurut Parson adalah ”wujud kebudayaan merupakan suatu
sistem ide dan konsep dari serangkaian tindakan dan aktifitas manusia”
(Koentjaraningrat 2009:150). Sedangkan Honigmann (1959) menenyatakan
bahwa “membedakan wujud kebudayaan menjadi 3 yakni ide, aktivitas,
artefak” (Koentjaraningrat 2009:150).
Senada dengan itu Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan
itu ada 3 wujudnya yakni;
1.) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan.
2.) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia di masyarakat
3.) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
(2009:150)
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam pikiran manusia dimana
kebudayaan itu hidup. Kalau seseorang menuangkan gagasan mereka dalam
bentuk tulisan maka lokasi dari kebudayaan berada dalam buku karangan atau
buku-buku hasil peneulis yang bersangkutan. Ide dan gagasan manusia banyak
yang hidup bersama dalam suatu masyarakat memberi jiwa pada suatu
masyarakat itu. Gagasan itu menjadi satu dengan yang lain saling berkaitan
menjadi suatu sistem. Hal inilah yang biasa disebut sebagai culture value
system.
Wujud kedua dari kebudayaan adalah sistem sosial atau social system
mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul satu
sama lain dari waktu ke waktu, selalu menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu
masyarakat. Sistem sosial itu bersifat kongrit, terjadi disekeliling kita sehari-
hari, diobservasi, difoto dan didokumentasikan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa
seluruh benda fisik, aktifitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat. Sifatnya paling kongrit dan berupa benda-benda atau hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dapat diraba, dilihat dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti
rumah, candi, bangunan sejarah, dan yang lainya. Baik yang tidak bisa
bergerak ataupun benda yang dapat bergerak seperti motor, kapal dan lain-lain.
Ketiga wujud kebudayaan diatas tadi, dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan
dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-
pikiran atau ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan
benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia
dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi juga pola perbuatannya
bahkan cara pikirnya juga. Sesungguhnya ketiga wujud kebudayaan ini
berkaitan satu dengan lainnya. Tetapi untuk keperluan analisis diadakan
pemisahan tiap wujud-wujudnya.
Peneliti memberi contoh Keraton. Keraton khususnya di Surakarta
merupakan tempat awal munculnya dari sebuah kebudayaan masyarakat
Surakarta. Keraton merupakan sebuah peradaban yang membangun
tatakelakuan manusia sekarang yang didasarkan atas sistem nilai yang diyakini,
dijunjung dan dihormati. Hal inilah yang melatar belakangi tindakan
masyarakatnya sampai saat ini. Keraton merupakan sebuah wujud kebudayaan
yang nyata dapat kita anut, lihat, diamati, maupun kita rasakan tata kelakuan
serta tindakan yang secara inderawi dapat kita tangkap. Namun sebanarnya
bukan hanya itu saja, keraton juga memiliki sistem gagasan yang diwujudkan
dalam sebuah sistem nilai. Dimana ada perihal yang harus di hormati
didalamnya, ada yang dianggap sakral, ada yang dianggap bisa membawa
masyarakatnya menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Dalam kehidupan
bermasyarakat, pasti kita dapat melihat, adanya perbedaan yang mendasar
antara tata kelakuan masayarakat dalam keraton dengan masyarakat biasa.
Maka dari itu, peneliti menanggapi suatu kebudayaan itu kedalam keseluruhan
yang terintergrasi, sehingga peneliti dapat mengklasifikasikan ke dalam unsur
dan wujud guna kebutuhan analisa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Berkaitan dengan sistem gagasan atau ide yang lokasinya berada
didalam pikiran manusia. Sebuah ide atau sistem gagasan yang ada pada
pikiran manusia, pasti akan memunculkan tatakelakuan yang dianut oleh
manusia itu sendiri guna berhubungan dengan masyarakat diluar dirinya.
Seiring dengan itulah terbentuknya sistem nilai pada diri manusia yang
dianggap baik, luhur serta mampu memenuhi kebutuhan manusia.
Menurut Koentjaraningrat mengatakan bahwa “sistem nilai budaya
adalah tingkat yang paling abstrak dari adat yang terdiri dari konsepsi-
konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup”
(2002:25). Suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi
kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatannya
lebih kongret seperti aturan- aturan khusus, hukum dan norma-norma,
semuanya juga berpedoman pada sistem nilai budaya.
Sistem nilai budaya merupakan bagian dari adat istiadat dan wujud
ideal dari kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada diluar dan di atas
diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para
individu ini sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi yang sejak lama telah
berakar dalam diri mereka. Karena bagian dari adat, suatu sistem nilai budaya
biasanya dianut oleh sebagaian besar dari suatu masyarakat.
Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Koentjaraningrat
menyatakan bahwa “Secara lengkap wujud kebudayaan dapat disebut sebagai
adat tata-kelakuan, karena adat sebagai pengatur tata kelakuan” (2002:11).
Sehingga segala yang dilakukan oleh manusia telah diatur dalam sebuah tata-
kelakuan dari kebudayaan manusia itu sendiri.
Menurut Koentjaraningrat adat dapat dibagi lebih khusus ke dalam
empat tingkat yakni
1) Tingkat nilai budaya
2) Tingkat norma
3) Tingkat hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
4) Tingkat aturan khusus; (2002:11)
Tingkat pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang
lingkupnya. Tingkat yang ini adalah mencakup ide-ide yang mengkonsepsikan
hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi- konsepsi
serupa biasanya luas dan kabur; tetapi walaupun demikian, justru karena kabur
dan tidak rasional biasanya dapat berakar dalam bagian emosional dari alam
jiwa manusia. Tingkat ini dapat disebut sebagai sistem nilai budaya.
Tingkat adat yang ke dua dan lebih konkret adalah sistem norma.
Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan pranata-
pranata tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peran manusia dalam
kehidupannya adalah banyak; dan manusia selalu berupah perannanya dari saat
ke saat. Tiap peranan yang dibawa oleh manusia selalu di sertai dengan
sejumlah norma bagi dirinya yang menjadi pedoman bagi kelakukan atau
tindakannya dalam memainkan perannya.
Tingkat yang ketiga adalah sistem hukum; baik hukum adat maupun
hukum tertulis dan pada tingkatan ini adat bersifat lebih konkret lagi di
bandingkan dengan norma. Hukum sudah jelas mengenai bermacam-macam
sektor kehidupan yang jelas batas ruang lingkupnya. Jumlah undang-undang
hukum dalam sebuah masyarakat sudah jauh lebih banyak di bandingkan
dengan norma yang menjadi pedoman dalam mengontrol tata kelakuan
masyarakatnya.
Tingkat yang ke empat dari adat adalah aturan-aturan khusus yang
mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam
kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret
sifatnya dan banyak diantaranya terkait dengan sistem hukum.
Seperti halnya keraton, merupakan bagian dari suatu masyarakat yang
memiliki sistem nilai budaya tersendiri yang dianut oleh sebagian besar warga
masyarakat keraton, bahkan dengan sistem nilai budaya keraton dapat
menyebar pula ke luar masyarakat keraton karena adanya nilai budaya yang
dianggap baik atau bernilai. Sehingga, kedudukan keraton menjadi pembentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
sistem nilai budaya pada masyarakat juga tinggi. Keraton juga merupakan
pembentuk adat istiadat yang berupa tata kelakuan bagi masyarakat luas.
Dimana semua nilai yang dianggap baik tadi merupakan bentukan dari tata
kelakuan dalam keraton, sehingga masyarakatpun menjadi ikut meresapi hal
tersebut dengan diwujudkan dalam tindakan penghormatan terhadap adat-
istiadat keraton.
Sekarang ini banyak orang yang bertanya mengenai sistem nilai
budaya dalam suatu kebudayaan itu mengenai masalah apa saja. Menurut
C.Kluckhon dalam semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di
dunia, sebenarnya mengenai lima masalah pokok yakni;
1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (disingkat MH)
2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia ( disingkat MK)
3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang
waktu ( disingkat MW)
4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya (disingkat MA)
5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan
sesamanya (disingkat MM). (Koentjaraningrat 2002:28)
Cara berbagai kebudayaan didunia untuk mengkonsepsikan masalah-
masalah universal tersebut di atas bisa saja berbeda-beda, walaupun
kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya. Misalnya saja mengenai
masalah hidup (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu
pada hakekatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan dan karena itu harus
dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh agama budha misalnya;
mengkonsepsikan hidup sebagai hal yang buruk. Pola-pola kelakuan manusia
akan mementingkan segala usaha untuk menuju kearah tujuan untuk bisa
memadamkan hidup itu, (nirvana:meniup habis), dan meremehkan segala
kelakuan yang mengekalkan rangkaian kelahiran kembali. Adapun
kebudayaan-kebudayaan lain memandang hidup manusia itu buruk, tetapi
manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup suatu hal yang baik dan
menggembirakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Mengenai masalah yang ke dua yakni karya manusia, ada
kebudayaan-kebudayaan manusia yang memandang bahwa karya manusia itu
pada hakekatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, kebudayaan lain
ada yang menganggap hakekat dari karya manusia itu memberikannya suatu
kedudukan yang penuh kehormatan dalam masyarakat, sedangkan ada juga
kebudayaan yang memandang hakekat karya manusia itu sebagai gerak hidup
yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Kemudian mengenai masalah yang ke ketiga (MW), ada kebudayan-
kebudayaan yang memandang penting dalam hidup itu masa lampau. Pada
kebudayaan yang serupa ini, orang akan lebih sering mengambil pedoman
dalam kelakuannya kejadian-kejadian dalam masa yang lampau. Sebaliknya,
banyak juga kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang
sempit. Warga dari suatu kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri
dengan memikirkan zaman yang lampau maupun masa yang akan datang. Ada
juga kebudayaan-kebudayaan yang memandang jauh ke masa depa hidup ini.
Dalam hal ini perencanaan hidup sangat penting bagi kebudayaan yang ini.
Selanjutnya mengenai masalah yang ke empat yakni (MA), dalam
dunia ini ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal
yang dahsyat, sehingga manusia pada hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah
saja tanpa banyak yang dilakukan atau diusahakan. Sebaliknya, ada banyak
pula kebudayaan-kebudayaan lain yang memandang alam itu sebagai suatu hal
yang bisa dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu
berusaha menaklukan alam. Ada juga kebudayaan lain yang memandang
bahwa antar manusia dan alam itu diwajibkan hidup selaras.
Akhirnya mengenai masalah yang kelima yakni (MM). Hubungan
antara manusia dan manusia itu menempatkan manusia pada hubungan yang
vertikal. Ada yang di atas dan ada yang dibawah, ada suatu yang dihormati
dengan nilai yang lebih dimasyarakat. Dalam pola kelakuannya, manusia yang
hidup dalam suatu kebudayaan akan berpedoman kepada pimpinan, orang yang
senior, atau atasan. Ada juga suatu kebudayaan yang memandang dalam hidup
lebih mementingkan hubungan yang horisontal antara sesama manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Disinilah yang akan memunculka manusia sebagai makluk sosial, dimana
manusia satu dengan manusia lain dalam sebuah kebudayaan akan amat merasa
tergantung kepada sesamanya, dan mengupayakan usaha untuk memelihara
hubungan ini dengan baik merupakan hal yang amat penting.
Berdasarkan uaraian diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa wujud
kebudayaan secara universal dapat dibagi menjadi tiga yakni: wujud ide,
perialaku, serta artefak atau karya berupa benda. Pada hakikatnya dalam
kehidupan berkebudayaan sebuah ide merupakan sistem gagasan yang dianut
oleh manusia, yang berupa tatakelakuan, adat-istiadat serta sistem nilai yang
berguna mengarahkan manusia didalam kehidupan bermasyarakat dan
berbudaya.
Kerangka mengenai kebudayaan inilah yang menjadi dasar penelitian
untuk menemukan serangkaian perwujudan kebudayaan sekarang ini. Baik
dalam bentuk pelestarian budaya atau mencapai komoditi industri yang
berbasis budaya. Sistem nilai keraton merupakan sebuah sistem dalam hidup
manusia, dimana di dalamnya mencakup kelima masalah pokok dalam sistem
nilai budaya. Maka dari itu sangatlah dekat sekali hubungan antar keraton
dengan segala hal yang ada d sekelilingnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada bagian terakhir peneliti
menyimpulkan bahwa sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling
abstrak dari adat yang terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan
manusia lain yang tingkatannya lebih kongret seperti aturan- aturan khusus,
hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman pada sistem nilai
budaya.
2. Tinjauan Tentang Pariwisata dan Wiastawan
a. Tinjauan Tentang Pariwisata
Istilah pariwisata berasal dari dua suku kata, yaitu pari dan wisata. Pari
berarti banyak, berkali-kali atau berputar-putar. Wisata berarti perjalanan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
bepergian. Jadi pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau
berputar-putar dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan Murphy
menjelaskan bahwa “pariwisata adalah keseluruhan dari element-element yang
terkait (wisatawan , daerah tujuan wisata, perjalanan, industri dan lain-lain) yang
merupakan akibat dari perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata sepanjang
perjalanan tersebut tidak permanen”. (Pitana, 2005:45)
Sedangkan Guye-Freuler menyatakan bahwa;
Pariwisata adalah gejala yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan
dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuh terhadap
keindahan alam, kesenangan,kenikmatan alam semesta, dan pada khususnya
disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam
masyarakat sebagai hasil perkembangan perniagaan dan perdagangan serta
penyempurnaan alat-alat pengangkutan. (Pendit; 2002:34)
Menurut Pendit menyatakan bahwa:
pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dala jangka waktu
pendek ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan tempat bekerja
seharihari, serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat
tujuan tersebut; ini mencakup kepergian untuk berbagai maksud, termasuk
kunjungan sehari atau darma wisata. (2002:33)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa pariwisata adalah aktivitas bepergian orang-orang dalam jangka waktu
yang pendek, ke tempat-tempat di luar daerahnya yang mencakup menikmati
tempat yang dikunjungi dan tidak tinggal permanen. Pariwisata juga
merupakan fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat,
kelompok, organisasi, kebudayaan dan sebagainya yang merupakan kajian objek
sosiologi. Bidang kepariwisataan memang menjadi salah satu kajian dari ilmu
sosiologi, dimana pariwisata pada umumnya menyangkut adanya hubungan antar
manusia serta lebih luasnya antar budaya.
Kegiatan pariwisata merupakan gejala lintas sektoral, karena hakekatnya
pariwisata sebagai kegiatan yang diakibatkan oleh perjalanan manusia dengan
berbagai maksud, kecuali untuk menetap dan mencari nafkah. Sebagai suatu
kegiatan utuh, pariwisata meliputi kegiatan-kegiatan yang terjadi sebelum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
perjalanan dilakukan dan selama perjalanan itu berlangsung, atau kegiatan-
kegiatan yang mempunyai keterkaitan dari hulu sampai ke hilir beserta
penggunaan sarana dan prasarana yang diperlukan.
Pariwisata merupakan produk industri yang majemuk, yang mana
merupakan mata rantai yang kuat dalam berbagai social ekonomi (Yoeti; 1997).
Kekuatan mata rantai ini menetapkan nilai output, pemasukan dan kesepakatan
dalam usaha penggalian pekerjaan dengan mempertimbangkannya dari
pembelanjaan turis-turis. Berdasarkan pengertian pariwisata tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
maupun kelompok dari daerah asalnya ke daerah tempat tujuan wisata dalam
jangka waktu tertentu hanya termotivasi untuk mengagumi dan menikmati objek
wisata yang dikunjungi.
Banyak peneliti mendefinisikan bahwa kepariwisataan dalam bentuk
industri tidak mengambil alih industri lainnya didalam suatu negara, melainkan ia
merupakan suatu industri yang berdiri sendiri yang pada hakikatnya membantu
serta melengkapi percepatan pertumbuhan industri-industri lainnya. Sebagai
industri, pariwisata tidak menggali atau menghisap bahan baku kekayaan alam
suatu negara, melainkan memberi serta menambah lapangan pekerjaan bagi
anggota-anggota masyarakat dalam lingkungan dimana industri itu berada, seperti
dalam usaha akomodasi (hotel, motel, cottege, dan sebagainya), restoran, jasa
pengemudi kendaraan, pramuwisata, penerjemah, seniman, pengrajin, serta biro
perjalanan dan berpuluh-puluh bidang kerja lainnya.
Seperti halnya kota Surakarta. Kota Surakarta merupakan kota yang
baru berkembang, khususnya dalam mengembangan sektor pariwisata.
Keberadaan Solo yang dilihat dari segi sejarahnya merupakan kota yang
memiliki peninggalan sejarah budaya yang besar. Adanya keraton Surakarta
hadiningrat; menjadi potensi dalam mengembangkan sektor pariwisata berbasis
budaya di kota Surakarta ini. Pengembangan pariwisata disekor budaya ini
bukan hanya menambah PAD/ pendapatan asli daerah namun juga
memunculkan citra bahwa kota Surakarta adalah kota Budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Selanjutnya, sebagai sektor yang kompleks, pariwisata juga
merealisasikan industri-industri klasik seperti industri kerajinan tangan dan
cinderamata. Penginapan dan transportasi secara ekonomis juga dipandang sebagai
industri (Pendit; 2002). Kepariwisataan juga dapat memberikan dorongan
kemajuan pembangunan infrastruktur seperti, jalan raya, pilot project sasana
budaya dan kelestarian lingkungan, yang kesemuanya dapat memberikan
keuntungan yang bersangkutan maupun bagi wisatawan yang mengunjungi tempat
itu.
Meskipun ada variasi batasan mengenai pariwisata, ada beberapa
komponen pokok yang secara umum disepakati didalam WTO (World Tourism
Organization), memberikan batasan mengenai komponen pokok pariwisata
yakni:
1.) Traveler; yakni orang yang melakukan perjalanan antara dua atau
lebih lokalitas
2.) Visitor; yakni orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang
bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan dan tujuan
perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari
nafkah, pendataan, atau penghidupan di tempat tujuan.
3.) Tourist, yakitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling
tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi. (Pitana;
2005:46)
Selanjutnya Mathienson dan Wall mengatakan bahwa pariwisata
mencakup elemen utama yakni ;
1.) A dynamic element, yaitu travel ke suatu destinasi wisata
2.) A static element, yaitu singgah di daerah tujuan
3.) A consequential element, yaitu akibat dari 2 hal di atas ( khususnya
pada masyarakat lokal), yang meliputi dampak ekonomi, sosial dan
fisik dari adanya kontak dengan wisatwan. (Pitana; 2005:46)
Sedangkan secara sosiologis, John Urry menyebutkan bahwa
pariwisata memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.) Pariwisata adalah sebuah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu
luang. Perjalanan wisata bukanlah suatu kewajiban dan umumnya
dilakukan pada saat seseorang bebas dari pekerjaan yang wajib
dilakukan yaitu pada saat mereka cutu atau libur. Dalam
perkembangan selanjutnya berwisata dapat di identikan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
berlibur kedaerah lain, atau memanfaatkan waktu luang dengan
melakukan perjalanan wisata.
2.) Hubungan-hubungan pariwisata terjadi karena adanya pergerakan
manusia. Pergerakan ini terkait dengan dimensi ruang dan waktu.
Gerakan dan kunjungan yang bersifat sementara mempunyai sifat
yang berbeda dengan perpindahan penduduk secara permanen.
3.) Dilihat dari sisi wisatawan; pariwisata adalah aktivitas yang
dilakukan pada tempat dan waktu yang tidak normal. Tetapi
ketidaknormalan ini sifatnya sementara dan pelaku mempunyai
keinginan yang pasti untuk kembali kesituasi normal atau ke habitat
asalnya.
4.) Tempat dan atraksi yang dinikmati oleh wisatawan adalah tempat
atau peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan
atau penghidupan wisatawan.
5.) Cukup banyak dari proporsi dari penduduk masyarakat modern
terlibat dalam kegiatan pariwisata , sehingga pariwisata menjadi
wahana sosilaisasi baru.
6.) Destinasi wisata yang di kunjungi acapkali dipilih bedasarkan
khayalan atau fantasi atau karena citra destinasi yang bersangkutan.
Fantasi dan citra ini terbentuk dan terpelihara bukan saja melalui
aktivitas kepariwisataan (promosi), melainkan yang tidak kalah
pentingnya adalah melalui kegiatan non pariwisata.
7.) Perjalanan wisata adalah sesuatu yang bersifat tidak biasa .
Pengalaman yang diharapkan adalah pengalaman yang lain dari
biasanya atau sesuatu yang baru.
8.) Peranan simbol dan penanda sangat besar didalam keberhasilan
sebuah destinasi wisata. Simbol dan penanda ini sangat erkait
dengan citra.
9.) Setiap destinasi wisata selalu mengalami pembaharuan dan
penambahan produk-produk baru yang umumnya dilakukan oleh
para pelaku pariwisata. (Pitana 2005:46)
Selain itu dalam mengkaji pariwisata dalam segi sosiologis, ada
beberapa pendekatan yang diajukan oleh Erik Cohen mengemukakan bahwa
pariwisata dapat dipandang dari salah satu atau beberapa pendekatan dibawah
ini
1.) Tourism as a commercialised hospitality
2.) Tourism as a democratised travel
3.) Tourism as a modern leisure activity
4.) Tourism as a moder variety of a traditional pilgrimage
5.) Tourism as a expression of basic cultural themes
6.) Tourism as a acculturation process
7.) Tourism as a type of ethnic relation
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
8.) Tourism as a form of neo colonialism”. (Pitana 2005:48)
Pendkatan-pendekatan di atas dapat diuraikan satu persatu, yakni yang
pertama; dalam pendekatan ini pariwisata adalah proses komersialisasi dan
hubungan tamu dengan tuan rumah. Tamu atau orang asing diberikan status
dan peranan sementara di masyarakat yang dikunjungi dan kemudian
diperhitungkan secara komersial. Pendekatan ini sesuai untuk mengalasis
perkembangan dan dinamika hubungan host-guest, termasuk berbagai konflik
yang muncul serta berbagai institus yang menanganinya.
Pendekatan yang kedua memandang pariwisata sebagai perilaku
perjalanan wisata dengan berbagai karakteristiknya. Pariwisata dipandang
sebagai demokratisasi dari perjalanan , yang dulu hanya dimonopoli oleh kaum
aristokrat, tetapi sekarang sudah dapat dilakukan siapa saja. Pendekatan yang
ketiga memandang bahwa fokus utamanya adalah pariwisata itu orang yang
santai,yang melakukan perjalanan, bebas dari berbagai kewajiban. Pariwisata
dipandang sebagi suatu institusi yang memiliki fungsi tertentu dalam
masyarakat modern yakni mengembalikan masyarakat kepada situasi harmoni
dan seimbang.
Pendekatan yang ke empat memandang pariwisata berasosiasi dengan
ziarah keagamaan yang bisa dilakukan masyarakat tradisional. Pendekatan ini
menganalisis makna struktural yang lebih dalam dari perjalanan wisata. Dalam
kaitanya ini Graburn dalam memandang pariwista identik dengan ziarah.
Dengan cara pandang ini, Graburn melihat pariwisata mempunyai fungsi
memelihara atau meningkatkan kesadaran kolektif (Pitana, 2005:49). Senada
dengan itu McCannel lebih mempertegas lagi bahwa “atraksi wisata yang
dinikmati wisatawan sekarang adalah persamaan dari simbol-simbol
keagamaan pada masyarakat primitif” (Pitana, 2005:49). Lebih jauh lagi,
pariwisata bahkan di pandang sebagai agama baru bagi orang modern (2005).
Pendekatan yang kelima memandang pariwisata dengan melihat
pemaknaan perjalanan dari pihak pelaku perjalanan tersebut. Dengan
pendekatan ini akan dapat ditemukan berbagai klasifikasi perjalanan dari pihak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
pelaku perjalanan. Pendekatan yang ke enam memfokuskan analisis pada
proses alkulturasi sebagai akibat dari interaksi host-guest yang memiliki latar
belakang yang berbeda. Pendekatan yang ke tujuh, menaruh perhatian pada
hubungan host-guest serta mengaitkannya dengan teori-teori etnisitas dan
hubungan antar etnis ataupun dampak-dampak yang terkait dengan identitas
etnis.
Pendekatan yang ke delapan, memfokuskan pada dependensi
(ketergantungan). Pariwisata dipandang sangat berperan didalam mempertajam
hubungan metropolis – periferi, karena negara-negara penghasil wisatawan
akan menjadi dominan, sedangkan negara penerima akan menjadi setellite dan
hubungan seperti ini merupakan pengulangan kolonialisme yang pada
muaranya akan terbentuk satu dominasi dan keterbelakangn struktural. Adanya
kebocoran ekonomi yang begitu besar ke negara-negara maju menyebabkan
pariwisata sesungguhnya merupakan wahana baru bagi munculnya
neokolonialisme.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menarik kesimpulan bahwa
pariwisata merupakan sektor yang sangat potensial, selain merupakan sebagai
upaya pengembangan daerah, sektor pariwisata bisa menjadi salah satu jenis
industri yang menjanjikan. Sehingga dewasa ini tiap daerah berusaha untuk
mengembangkan daerahnya masing masing disektor pariwisata.
Selain definisi, konsep pariwisata mengarah pada hal yang lebih
kompleks, yakni mengenai bentuk dan jenisnya. Hal ini berguna dalam
mengkaji pariwisata itu sendiri, dengan adanya klasifikasi seperti berikut
peneliti di permudah dalam penelitiannya.
b. Bentuk-Bentuk Pariwisata
Setalah di atas dikemukakan dasar pemikiran tentang konsep dan
definisi pariwisata, maka perlu juga dibicarakan tentang bentuk-bentuk wisata
itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas menganai sektor pariwisata
ini. Menurut Pendit menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
bentuk pariwisata dapat di bagi menurut kategori sebagai berikut:
1.) Menurut asal wisatawan
2.) Menurut akibat terhadap neraca pembayaran
3.) Menurut jangka waktu
4.) Menurut jumlah wisatawan
5.) Menurut alat angkut yang digunakan. (2002:37)
Bentuk pariwisatawan di atas dapat kita lihat sehari-hari, di daerah
pariwisata pasti kita dapat menemukan seperti yang diterangkan di atas. Bentuk
yang pertama perlu diketahui bahwa apakan wisatawan itu berasal dari dalam
atau dari luar negeri. Kalau asalnya dari dalam negeri berarti sang wisatawan
hanya pindah tempat sementara didalam lingkungan wilayah negaranya sendiri
dan selama ini mengadakan perjalanan, maka disebut pariwisata domestik,
sedangkan kalau ia datang dari luar negeri disebut pariwisata internasional.
Bentuk yang kedua kedatangan wisatawan dari luar negeri adalah
membawa mata uang asing. Pemasukan valuta asing ini berarti memberi
dampak positif terhadap neraca pembayaran luar negeri suatu negara yang
dikunjunginya, yang ini disebut pariwisata aktif (Pendit 2002). Sedangkan
kepergian seorang warga keluar negeri memberikan dampak negatif terhadap
neraca pembayaran luar negerinya, disebut pariwisata pasif. Bentuk yang
ketiga menurut jangka waktu; kedatangan wistawan disuatu tempat atau negara
diperhitungkan pula menurut lamanya waktu dia ditempat atau negara yang
dikunjunginya. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka pendek
dan jangka panjang, yang mana tergantung pada ketentuan-ketentuan yang di
berlakukan oleh suatu negara untuk mengukur pendek atau panjangnya waktu
yang dimaksudkan (2002).
Bentuk yang ke empat; menurut jumlah wisatawan; perbedaan ini di
perhitungkan atas jumlah wisatawan yang datang, apakah sang wisatawan
datang sendiri atau rombongan . Maka timbul istilah pariwisata tunggal dan
pariwisata rombongan. Yang kelima menurut alat angkut yang digunakan;
dilihat dari sisi alat angkut yang digunakan oleh sang wisatawan, maka
kategori ini dapat dibagi menjadi pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata
kereta api, tergantung pada sang wistawan tiba menggunakan alat angkut apa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Misalnya saja kota Solo yang menjadi salah satu jantung pariwisata di
area Joglosemar (Jogja, Solo dan Semarang) dengan banyaknya alternatif
wisata di Solo, serta ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang
perjalanan wisata di Solo menjadi tujuan wisatawan baik manca ataupun
domestik.
c. Jenis Pariwisata
Disamping bentuknya , jenis pariwisata juga harus dibicarakan untuk
menyusun data-data mengenai penelitian dan peninjauan yang lebih akurat
dalam bidang ini. Setiap orang telah memaklumi bahwa pembangunan
ekonomi modern tanpa penelitian dan peninjauan yang sistematik akan
menemui kegagalan dan berakibat kerugian serta pemborosan yang tidak
sedikit. Jenis-jenis pariwisata harus kita ketahui dan diperhitungkan supaya
dapat memberikan pengertian dan tempat yang wajar dalam pembangunan
industri pariwisata. Menurut Pendit jenis-jenis pariwisata antara lain:
1.) Wisata Budaya
2.) Wisata kesehatan
3.) Wisata olahraga
4.) Wisata komersial
5.) Wisata industri
6.) Wisata politik
7.) Wisata konvensi
8.) Wisata sosial
9.) Wisata pertanian
10.) Wisata maritim atau bahari
11.) Wisata cagar alam
12.) Wisata baru
13.) Wisata pilgrim
14.) Wisata bulan madu
15.) Wisata petualangan. (2002:38)
Wisata yang pertama dimaksudkan agar perjalanan yang dilakukan
atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan
jalan mengadakan kunjungan ketempat-tempat lain ke luar negeri, mempelajari
keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya
dan seni mereka. Seringnya perjalanan serupa ini disatukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya,
seperti eksposisi seni atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya.
Jenis wisata budaya ini adalah jenis yang paling populer di tanah air kita,
seperti halnya keraton Surakarta Hadingrat. Jenis wisata inilah yang paling
utama bagi wisatawan luar negeri yang datang ke negara ini dimana mereka
ingin mengetahui kebudayaan kita, kesenian kita, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan adat istiadat dan kehidupan seni budaya yang kita miliki.
Wisata yang ke dua di maksudkan adalah perjalanan seseorang
wistawan dengan tujuan untuk menukar keadaan dan lingkungan tempat sehari-
hari dimana wisatawan itu tinggal demi kepentingan beristirahat bagi
wisatawan tersebut. Baik dalam segi jasmani ataupun rohaninya, dengan
mengunjungi tempat peristirahatan seperti mata air panas yang mengandung
mineral yang dapat menyembuhkan tempat yang memiliki iklim udara yang
menyehatkan atau tempat lainnya yang menyediakan fasilitas kesehatan
lainnya.
Wisata olahraga dimaksudkan bahwa wistawan-wisatawan yang
melakukan perjalanan dengan tujuan berolahraga dan memang sengaja
bermaksud mengambil bagian aktif dalam pesta olahraga di suatu tempat atau
negara. Macam cabang olahraga yang termasuk dalam jenis wisata olah raga
yang bukan tergolong dalam pesta olahraga atau games, misalnya berburu,
memancing, berenang, dan berbagai cabang olah raga dalam air atau diatas
pegunungan.
Wisata komersial termasuk perjalanan untuk mengunjungi pameran-
pameran dan pekan raya yang bersifat komersial, seperti pameran industri,
pameran dagang, dan lain sebagainya. Pada mulanya banyak orang yang
berpendapat bahwa hal ini tidaklah dapat digolongkan ke dalam dunia
pariwisata, dengan alasan bahwa perjalanan serupa ini hanya dilakukan untuk
urusan bisnis. Tetapi kenyataan dewasa ini , dimana pameran atau pekan raya
diadakan, banyak sekali yang mengnjungi dengan tujuan ingin melihat –lihat
fasilitas sarana serta sewa akomodasi dengan reduksi khusus yang menarik.
Dan tidak jarang pameran atau pekan raya ini dimeriahkan dengan berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
macam atraksi dan pertunjukan kesenian. Karenanya wisata komersial ini
menjadi kenyataan yang sangat menarik dan menyebabkan kaum pengusaha
angkutan dan akomodasi membuat rencana-rencana istimewa untuk keperluan
tersebut.
Kemudian wisata industri yang erat kaitannya dengan wisata
komersial. Yakni; perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau
mahasiswa atau orang-orang awam kesuatu kompleks atau daerah perindustrian
dimana terdapat pabrik-pabrik atau bengkel-bengkel besar dengan maksud dan
tujuan untuk mengadakan peninjauan atau penelitian termasuk dalam golongan
wisata industri ini. Hal ini banyak dilakukan di negara-negara yang telah maju
perindustriannya dimana masyarakat berkesempatan mengadakan kunjungan
kedaerah-daerah atau kompleks-kompleks pabrik industri.
Beda lagi dengan wisata politik, dimana jenis wisata ini meliputi
perjalanan yang dilakukan untuk mengunjungi atau mengambil bagian secara
aktif dalam peristiwa kegiatan politik seperti misal peringatan ulang tahun
suatu negara , 17 Agustus di Jakarta, 10 Oktober di Moskow, atau penobatan
Ratu Inggris di London dan sebagainya, dimana fasilitas akomodasi, sarana
angkutan, dan atraksi aneka warna diadakan secara megah dan meriah bagi
para pengunjung baik dari dalam ataupun dari luar negeri.
Wisata yang dekat dengan wisata politik adalah wisata konvensi;
dimana berbagai negara dewasa ini membangun wisata konvensi, dengan
menyediakan fasilitas bangunan serta ruangan –ruangan tempat bersidang bagi
peserta suatu konferensi yang sifatnya nasional maupun internasional. Jerman
Barat misalnya memiliki pusat kongres internasional di Berlin, Filipina
mempunyai PICC di Manila dan Indonesia mempunyai balai sidang senayan di
Jakarta. Dalam hal ini Biro konvensi berusaha keras untuk menarik organisasi
atau badan-badan baik nasional atau internasional untuk mengadakan
persidangan mereka ditempat itu.
Kemudian ada wiasata sosial; dimana jenis wisata ini termasuk wisata
remaja. Wisata remaja merupakan pengorganisasian suatu perjalanan murah
serta mudah untuk memberi kesempatan kepada golongan masyarakat ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
yang lemah untuk mengadakan perjalanan. Organisasi ini membantu mereka
dengan mengadakan perjalanan untuk menambah pengalaman serta
pengetahuan sekaligus juga untuk memperbaiki kesehatan jasmaniah dan
mental mereka.
Selain itu ada wisata pertanian, seperti halnya wisata industri, wisata
ini merupakan pengorganisasian perjalanan yang dilakukan keproyek-proyek
pertanian, perkebunan, ladang pembibitan dan sebagainya dimana wistawan
rombongan dapat mengadakan kunjungan dan peninjauan untuk tujuan studi
maupun untuk melihat-lihat keliling sambil menikmati segarnya tanaman yang
beraneka ragam dan suburnya pembibitan berbagai jenis sayur mayur. Yang
berikutnya wisata maritim, jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan kegiatan
olahraga air, lebih-lebih didanau pantai, teluk dan laut lepas seperti
memancing, berlayar, menyelam, berselancar dan lain-lain.
Wisata cagar alam merupakan jenis wisata yang banyak
diselenggarakan oleh agen-agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan
jalan-jalan ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah
pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi. Wisata cagar alam
banyak dilakukan oleh pecinta alam, dan berkaitan dengan memotret alam serta
flora dan fauna yang ada di alam. Kemudian wisata buru; wisata ini banyak
dilakukan di negeri-negeri yang memiliki daerah atau hutan tempat berburu
yang dibenarkan oleh pemerintah dan digalakan oleh agen biro perjalanan.
Wisata ini di atur dalam bentuk safari buru ke hutan yang telah ditetapkan.
Kemudian wisata pilgrim; wisata ini banyak dikaitkan dengan agama,
sejarah, adat istiadat, dan kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat.
Wisata pilgrim banyak dilakukan oleh perorangan atau rombongan ketempat-
tempat suci, kemakam- makam orang besar, atau gunung yang dianggap
keramat. Wisata pilgrim banyak dihubungkan dengan niat atau hasrat sang
wisatawan untuk memperoleh restu, berkah ataupun kekayaan yang berlimpah.
Kemudian wisata bulan madu; merupakan suatu penyelenggaraan perjalanan
bagi pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu dengan fasilitas-
fasilitas khusus dan tersendiri demi kenikmatan perjalanan dan kunjungannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Misalnya, kamar pengantin di hotel, tempat tidur dan dekorasi yang istimewa.
Yang terakhir adalah wisata petualangan; dikenal dengan adventure tourism,
seperti masuk hutan belantara yang belum pernah di jelajahi, di sungai yang
arusnya deras, dan lain-lain.
Sesungguhnya daftar jenis wisata lain dapat ditambahkan tergantung
dengan kondisi dan situasi perkembangan dunia pariwisata. Pendit (2002;43)
menyatakan bahwa “pada hakekatnya semua tergantung pada selera atau daya
kreativitas para profesional yan berkecimpung dalam bisnis industri pariwisata
ini”. Makin kreatif gagasan yang dimiliki oleh mereka yang mendedikasikan
hidup mereka bagi perkembangan dunia kepariwisataan di dunia ini, termasuk
gagasan untuk menciptakan bentuk dan jenis wisata baru (2002).
d. Pengertian Wisatawan
Tak hanya batasan mengenai pariwisata saja, karena pariwisata ada
karena adanya wisatawan sehingga kajian terhadap wisatawan juga penting
untuk memperdalam kajian mengenai kepariwisataan. Orang yang melakukan
perjalanan wisata disebut wisatawan atau tourism. Batasan mengenai
wisatawan sangat bervariasi, mulai dari yang umum sampai dengan yang
sangat teknis spesifik. Seperti pandangan Ogilive menyatakan bahwa
“Wisatawan adalah semua orang yang memiliki syarat, yakni yang pertama
mereka meninggalkan rumah kediamannya untuk jangka waktu kurang dari
satu tahun, dan kedua bahwa mereka mengeluarkan uang ditempat yang
mereka kunjungi tanpa dengan maksud mencari nafkah” (Pendit, 2002:35).
United Nation Conference on Travel and Tourism di Roma (1963)
memberikan batasan umum mengenai wisatawan dengan istilah Visitor yakni “
setiap orang yang mengunjungi negara yang bukan merupakan tempat
tinggalnya, untuk berbagai tujuan tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau
penghidupan dari negara yang dikunjungi” (Pitana 2005:43).
Sedangkan Norwal mengatakan bahwa “Seorang wisatawan adalah
seseorang yang memasuki wilayah negara asing dengan maksud tujuan apapun
asalkan bukan untuk tinggal permanen atau untuk usaha-usaha yang teratur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
melintasi perbatasan, dan mengeluarkan uang di negara yang dikunjungi, uang
mana telah diperoleh bukan dinegara tersebut melainkan dari negara asalnya”
(Pendit, 2002:35).
Sedangkan rekomendasi PATA (Pasific Area Travel Association)
yang didasarkan atas batasan League of Nation tahun 1936 yang telah diberi
amandeman oleh Komisi Tehnik IUOTO (Internasional Union of Official
Travel Organization ) menyatakan bahwa:
Istilah wisatawan pada prinsipnya haruslah diartikan sebagai orang-orang
yang sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu minimal 24
jam dan maximal 3 bulan didalam suatu negara yang bukan merupakan
negara dimana biasanya mereka tinggal”. Mereka ini meliputi:
1.) Orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk bersenang-
senang, untuk keperluan pribadi, kesehatan dan sebagainya.
2.) Orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk maksud
menghadiri pertemuan, konfrensi, musyawarah, atau dalam hubungan
sebagai utusan berbagai badan atau organisasi (Ilmu pengetahuan,
administrasi, diplomatik, olahraga, keagamaan, dan lain sebagainya)
3.) Orang –orang yang sedang mengadakan perjalanan dengan maksud
bisnis. Pejabat pemerintah dan orang-orang militer beserta
keluarganya yang diposkan disuatu negara lain hendaknya jangan
dimasukan dalam kategori ini; tetapi apabila mereka mengadakan
perjalanan ke negeri lain maka hal ini dapat digolongkan sebagai
wisatawan. (Pendit ; 2002 : 36)
Jadi, dari uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa wisatawan
memang benar-benar orang yang melakukan perjalanan wisata ke luar dari
tempat asalnya untuk menikmati keragaman wisata di tempat lain, dan
wisatawan disebut kan juga sebagai konsumen murni yang menghabiskan uang
di tempat wisata.
Demikian konsep atau batasan mengenai pariwista dan wistawan
diatas begitu luas sehingga pariwisata menyangkut segala aspek kehidupan.
Hal ini juga untuk memungkinkan suatu negara mendapatkan gambaran yang
nyata atas volume pendapatan nasional yang dihasilkan dari kepariwisataan.
Apapun atau mana pun konsep dan definisi yang dipergunakan oleh suatu
negara dalam melakukan tindakan atau kebijakan industri kepariwisataannya,
yang jelas adalah suatu pegangan yang dapat dipergunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
3. Tinjauan Tentang Strategi Pengembangan Pariwisata
a. Pengertian Strategi
Dalam perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang.
Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan konsep mengenai strategi. Menurut
Hadari Nawawi “ Strategik dalam manajemen sebuah organisasi dapat diartikan
sebagai kiat, cara, dan taktik utama yang dirancang secara sistematik dalam
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, yang terarah pada tujuan strategik
organisasi ” (2000:147).
Sedangkan Menurut J. Salusu “ Strategi ialah suatu seni menggunakan
kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui
hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling
menguntungkan ” (2003:101). Senada dengan pendapat di atas J.L Thompson
1995 menyatakan bahwa “ strategi merupakan sebagian cara untuk mencapai
sebuah hasil akhir: hasil mencakup tujuan dan sasaran organisasi” (Sandra oliver ,
2007:2). Ada strategi yang luas untuk keseluruhan organisasi dan strategi
kompetitif untuk masing-masing aktivitas. Selanjutnya Bennett 1996
menggambarkan stategi sebagai arah yang dipilih organisasi untuk di ikuti dalam
mencapai misinya (Sandra Oliver ,2007:2).
Jadi, strategi dapat dikatakan sebagai kiat, cara, dan taktik utama yang
dirancang secara sistematis dalam melaksanakan misi, tujuan dan objek dasar dari
sebuah organisasi dalam mencapai sasaran yang berhubungan dengan lingkungan
untuk mencapai hasil yang diharapkan organisasi tersebut.
Maka dari itu, mengimplementasikan sebuah strategi bukan hanya di
lihat dari dalam organisasi itu, akan tetapi interaksi serta hubungan dengan
lingkungan eksternal sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dari strategi
tersebut. Strategi juga merupakan goal directed action yakni aktivitas yang
menunjukkan „apa‟ yang diinginkan organisasi dan „bagaimana‟
mengimplementasikannya serta mempertimbangkan semua kekuatan internal
(sumber daya dan kapabilitas), serta memperhatikan peluang dan tantangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Dalam mewujudkan hal di atas, maka strategi yang di terapkan sebuah organisasi
harus selalu dapat di inovasi agar dapat tujuan dari organisasi tersebut
terimplementasi dengan baik. Maka dari itu, strategi merupakan program yang
mengacu pada peran aktif dari sebuah organisasi, baik tindakan yang disengaja
atau tidak didalam lingkungannya baik internal atau eksternal.
Konsep-konsep tersebut merupakan proses yang saling berhubungan dan
berkelanjutan dalam inovasi dan penetapan, berupa inovasi secara perlahan-lahan
ataupun radikal yang muncul dalam sebuah organisasi ketika sebuah strategi baru
digunakan oleh semua pimpinan. Dari beberapa konsep yang ada, inti dari strategi
adalah suatu cara/usaha yang direncanakan secara sistematis dan disesuaikan
dengan lingkungan organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
b. Pengembangan Pariwisata
Berdasarkan uraian diatas, diharapkan peneliti dapat mediskribsikan
strategi yang dimiliki oleh keraton Surakarta Hadiningrat untuk mengembangkan
sekaten kedepannya. Kepariwisataan berbasis budaya di Solo adalah salah satu
ikon penting yang menjadi motor dari beberapa pariwisata di kota tersebut.
Kegiatan pariwisata merupakan gejala lintas sektoral, yang meliputi sektor ekonomi,
politik budaya. Karena hakekatnya pariwisata sebagai kegiatan yang diakibatkan
oleh perjalanan manusia dengan berbagai maksud, kecuali untuk menetap dan
mencari nafkah. Sebagai suatu kegiatan utuh, pariwisata meliputi kegiatan-
kegiatan yang terjadi sebelum perjalanan dilakukan dan selama perjalanan itu
berlangsung, atau kegiatan-kegiatan yang mempunyai keterkaitan dari hulu
sampai ke hilir beserta penggunaan sarana dan prasarana yang diperlukan. Seiring
dengan kemajuan bidang pariwisata maka, sebuah produk keperiwisataan di
manapun wilayahnya pasti membutuhkan sebuah pengembangan agar objek
wisata yang ada di kota tersebut tidak kalah bersaing dengan objek yang lainnya.
Pengembangan merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan
sesuatu menjadi lebih baik, maju, sempurna dan berguna. Pengembangan
merupakan suatu proses/aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap perlu untuk
ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
berkembang agar menjadi lebih menarik dan berkembang. Menurut Gamal
suwantoro menjelaskan bahwa “strategi pengembangan pariwisata bertujuan
untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang dan
bertahap” (1997:55). Dalam melakukan sebuah pengembangan pariwisata daerah,
peran serta pemerintah kota sangat mutlak dibutuhkan. Dengan tujuan,
pengembangan pariwisata tersebut mengarah pada pembangunan daerah. Dalam
mengembangkan sektor pariwisata Gamal Suwantoro mengklasifikasikan
mengenai pola kebijaksanaan pengembangan pariwisata yang meliputi:
1. Kebijakan Umum
2. Arah Pola Kebijaksanaan Pengembangan jalur wisatawan
3. Pola Kebijakan Pengembangan Objek Wisata
4. Kebijakan Pengembangan Sarana dan Prasarana
5. Pola Kebijakan Pengembangan Pemasaran
6. Kebijakan Pengmbangan Kelembagaan
7. Kebijakan Pengembangan industri meliputi (1997:57)
Berdasarkan tinjauan di atas, pengembangan pariwisata di sebuah daerah
ataupun dalam lingkup negara membutuhkan beberapa kebijakan serta pola
pengembangan yang sesuai dengan daya kembang pariwistaa daerah tersebut.
Sehingga, implementasi pengembangan kepariwisataan suatu daerah akan tepat
sesuai rencana. Pengembangan pariwisata merupakan suatu aplikasi dari
pemasaran pariwisata. Terutama dalam mengembangkan produk baru,
sesungguhnya suatu daerah tujuan wisata mempunyai banyak hal yang dapat di
tawarkan sebagai daya tarik wisatawan kepada pasar yang berbeda-beda dengan
selera wisatawan. Yang terpenting dalam pengembangan suatu daerah tujuan
wisata, agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial dalam
macam-macam pasar.
Kebijakan – kebijakan di atas merupakan dasar dalam pengembangan
pariwisata. Kebijakan umum; merupakan pola kebijakan yang bersifat umum
dalam pengembangan pariwisata yang meliputi, kebijakan untuk menjaga
keseimbangan antara peran serta pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kebijakan
pengembangan wisata; Kebijakan pengembangan objek wisata, atraksi wisata,
taman rekreasi dan hiburan umum; kebijakan pengembangan sarana dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
prasarana; kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara arus wisatawan,
kemampuan menampung, melayani, dan menyelenggarakan, kepariwisataan.
Setelah kebijakan secara umum, pemerintah juga peran serta dalam mengarahkan
pola pengembangan jalur wisata; yang artinya bahwa mengarahkan pola arus
wisatawan baik mancanegara maupun nusantara yang sekaligus dapat
meningkatkan jumlah yang di dasarkan pada perkembangan objek wisata. Seiring
dengan mengarahkan laju wisatawan, pemerintah juga harus senantiasa
mengarahkan pengembangan objek wisatanya, dalam artian prioritas
pengembangan objek menjadi sangat penting dalam menarik wisatawan serta
pengembangan pusat-pusat penyebaran kegiatan wisatawan dalam meningkatkan
kegiatan penunjang pengembangan objek wisata. Kebijakan dalam pengembangan
pariwisata juga harus memperhatikan pengembangan sarana dan prasarana seperti
akomodasi, restoran, usaha rekreasi dan hiburan umum, gedung pertemuan,
perkemahan, Pondok wisata, mandala wisata, pusat informasi wisata,
pramuwisata, hal ini bertujuan untuk menciptakan rasa nyaman wisatawan agar
lebih lama dalam menghabiskan waktu dalam berwisatanya.
Promosi atau pemasaran merupakan bagian penting dalam
mengembangakan pariwisata, semakin baik dalam pemasaran, suatu objek wisata
juga akan lebih dikenal dan diketahui oleh masyarakat luas. Dalam hal pemasaran
ini pemerintah memberi kebijakan seperti peningkatan jumlah dan lama tinggal
wisatawan, meningkatkan kerjasama yang terpadu antara berbagai sektor,
mempercepat perkembangan pasar wisata. Dalam hal ini bertujuan agar
pengembangan pariwisata berjalan cepat dan efektif. Ditambah dengan kebijakan
kelembagaan yang menaungi setiap objek wisata agar lebih terkoordinasi. Dari
kebijakan di atas, juga dapat di kembangkannya sektor industri. Kebijakan
pengembangan industri meliputi: penyerahan tenaga kerja, peningkatan mutu dan
kemampuan tenaga kerja Indonesia, pengembangan srtuktur industri dengan
prioritas pada usaha untuk menghasilkan barang eksport non-migas, wahana
pengembangan teknologi dan memacu pertumbuhan/ perkembangan daerah.
Berdasarkan uraian di atas peneliti mengarahkan penelitianya pada
kebijakan yang ada di kota Surakarta menyangkut adanya pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
pariwisata yang sedang dilakukan oleh pemerintah kota Surakarta. Wisata budaya
seperti sekaten merupakan salah satu motor dalam meraup pendapatan daerah
yang cukup tinggi, sehingga pengembangan objek wisata sangat di butuhkan
dalam meningkatkan objek wisata ini.
Selanjutnya proses pengembangan objek wisata yang ada, tidak hanya
sekedar kebijakan semata, namun pengembangan pariwisata merupakan proses
yang konprehensif menyangkut segala bentuk sektor, seperti pemasaran sampai
dengan kampanye sadar wisata. Seperti yang dikemukakan Gamal Suwantoro
mengenai “Sapta kebijaksanaan Pengembangan Pariwisata” yang meliputi:
1. Promosi
2. Aksesbilitas
3. Kawasan Pariwisata
4. Wisata bahari
5. Produk wisata
6. Sumber Daya Manusia
7. Kampanye Nasional Sadar Wisata (1997:56)
Ketujuh kebijaksanaan di atas merupakan pedoman dasar yang menjadi
dasar dalam mengembangkan sapta pesona di wilayah wisata tertentu. Hal
tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut, yang pertama promosi, promosi pada
hakekatnya merupakan pelaksanaan upaya pemasaran. Promosi pariwisata harus
dilaksanakan secara selaras dan terpadu, baik didalam negeri maupun di luar
negeri. Kedua, aksesbilitas merupakan salah satu aspek penting yang mendukung
pengembangan pariwisata yang menyangkut pengembangan lintas sektoral.
Ketiga, kawasan pariwisata merupakan pengembangn kawasan wisata yang
ditujukan untuk meningkatkan peran serta daerah dalam pengembangan
pariwisata serta memperbesar dampak pembangunan dan mempermudah
pengendalian terhadap dampak lingkungan. Keempat; wisata bahari merupakan
salah satu jenis produk wisata yang sangat potensial untuk dikembangkan karena
memiliki keunggulan komparatif yang sangat tinggi terhadap produk wisata
lainya. Kelima; produk wisata dalam pengembangan pariwisata merupakan upaya
untuk menampilkan sesuatu produk yang baru dan mempunyai daya saing yang
tinggi sehingga mampu meningkatkan pendapatan yang sifatnya lintas sektoral.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Keenam; sumber daya manusia merupakan salah satu modal dasar pengambangan
pariwisata. Sumber daya manusia harus memiliki keahlian dan keterampilan yang
diperlukan untuk memberikan jasa pelayanan pariwisata. Yang ketujuh; kampaye
nasional sadar wisata pada hakikatnya adalah untuk memasyarakatkan sapta
pesona yang turut menegakan disiplin nasional dan jati diri bangsa indonesia
melalui kegiatan kepariwisataan.
Dengan uraian di atas, peneliti melihat dengan sapta pesona ini dapat
menjadi acuan dalam pengembangan wisata sekaten di wilayah Keraton
Surakarta. Menurut Oka Yoeti tempat wisata harus memiliki 3 syarat di dalam
pengembangan wisata di daerah tersebut yakni:
1.) Daerah itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai “something to
see”. Artinya daerah tersebut harus ada objek wisata dan atraksi
wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki dengan daerah lain.
Dengan kata lain, daerah tersebut harus memiliki daya tarik khusus,
disamping itu daerah tersebut harus mempunyai pula atraksi wisata
yag dapat di jadikan sebagai “entertaiments” bila orang datang ke
sana.
2.) Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah
“something to do” . Artinya, di tempat tersebut setiap banyak yang di
saksikan, harus pula di sediakan fasilitas rekreasi atau amusements
yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat
itu.
3.) Di daerah tersebut harus tersedia apa yang di sebut dengan istilah
“something to buy”. Artinya tempay tersebut harus tersedia fasilitas
untuk wisatawan berbelanja, terutama barang-barang souvenir dan
kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk di bawa pulang ke tempat
asal masing-masing wisatawan. Fasilitas untuk berbelanja ini tidak
hanya menyediakan barang-barang yang dapat di beli, tetapi harus
tersedia pula sarana-sarana pembantu lainya untuk lebih
memperlancar seperti money changer, bank, kantor pos. (1997:178)
Ketiga syarat di atas kiranya sejalan dengan pola tujuan pemasaran
pariwisata, yaitu dengan promosi yang dilakukan, sebenarnya hendak mencapai
sasaran agar lebih banyak wisatawan datang pada suatu daerah, lebih lama tinggal
dan lebih banyak mengeluarkan uangnya du tempat yang mereka kunjungi.
Seperti halnya wisata sekaten di Surakarta, dalam mengembangkan wisata
tersebut minimal harus memiliki ketiga syarat tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Selain uraian mengenai kebijakan pengembangan pariwisata diatas,
pengembangan pariwisata juga harus memiliki perencanaan yang matang dan
efisien. Hali ini membutuhkan strategi yang matang, karena pada hakekatnya
srtategi adalah suatu cara / usaha yang direncanakan secara sistematis dan sesuai
dengan tujuan. Di Indonesia pada umunya, jenis pariwista yang paling menonjol
adalah pariwisata budaya. Karena keanekaragaman suku bangsa, adat-istiadat,
serta kebiasaannya, maka Indonesia banyak dikunjungi oleh wisatawan asing,
sedangkan keindahan alamnya merupakan daya tarik yang ke dua. Karena itu daya
tarik wisatawan terhadap hasil seni budaya perlu ditingkatkan sejalan dengan
peningkatan fasilitas lainya.
Khususnya daerah Surakarta. Daerah tersebut terkenal karena aspek dari
seni budaya yang tersimpan didalam kota tersebut. Daya tarik seni budaya inilah
yang menjadi ujung tombak keparwisataan di kota Surakarta ini. Dengan adanya
keraton yang masih berdiri, sangat menyuguhkan aroma masa lampau ditengah
arus globalisasi disegala bidang.
Pengembangan pariwisata tidak lepas dari perkembangan politik,
ekonomi, sosial dan pembangunan disektor lainnya. Maka didalam pengembangan
pariwisata dibutuhkan perencanaan terlebih dahulu. Dari pemikiran di atas dapat
disimpulkan bahwa pengembangan adalah suatu proses yang terjadi secara terus
menerus, untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap ancaman yang
ada untuk dapat berkembang dalam mencapai tujuan individu dalam organisasi
dan tujuan organisasi secara keseluruhan.
Oka A.Yoeti mengungkapkan beberapa prinsip perencanaan pariwisata:
1) Perencanaan pengembangan kepariwisataan haruslah merupakan satu
kesatuan dengan pembangunan regional atau nasional dari
pembangunan perekonomian negara. Karena itu perencanaan
pembangunan kepariwisataan hendaknya termasuk dalam kerangka
kerja dari pembangunan.
2) Seperti halnya perencanaan sektor perekonomian lainnya,
perencanaan pengembangan kepariwisataan menghendaki pendekatan
terpadu dengan sektor-sektor lainnya yang banyak berkaitan dengan
bidang kepariwisataan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
3) Perencanaan pengembangan kepariwisataan pada suatu daerah
haruslah dibawa koordinasi perencanaan fisik daerah tersebut secara
keseluruhan.
4) Perencanaan suatu daerah untuk tujuan pariwisata harus pula
berdasarkan suatu studi yang khusus dibuat untuk itu dengan
memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan alam dan budaya
di daerah sekitar.
5) Perencanaan fisik suatu daerah untuk tujuan pariwisata harus
didasarkan atas penelitian yang sesuai dengan lingkungan alam
sekitar dengan memperhatikan faktor geografis yang lebih luas dan
tidak meninjau dari segi administrasi saja.
6) Rencana dan penelitian yang berhubungan dengan pengembangan
kepariwisataan pada suatu daerah harus memperhatikan faktor
ekologi daerah yang bersangkutan.
7) Perencanaan pengembangan kepariwisataan tidak hanya
memperhatikan masalah dari segi ekonomi saja, tetapi tidak kalah
pentingnya memperhatikan masalah sosial yang mungkin
ditimbulkan.
8) Pada masa-masa yang akan datang jam kerja para buruh dan
karyawan akan semakin singkat dan waktu senggangnya akan
semakin panjang, karena itu dalam perencanaan pariwisata khususnya
di daerah yang dekat dengan industri perlu diperhatikan pengadaan
fasilitas rekreasi dan hiburan disekitar daerah yang disebut sebagai
pre-urban.
9) Pariwisata walau bagaimana bentuknya, tujuan pembangunan tidak
lain untuk meningkatkan kesejahteraan orang banyak tanpa
membedakan ras, agama, dan bahasa, karena itu pengembangan
pariwisata perlu pula memperhatikan kemungkinan peningkatan
kerjasama bangsa-bangsa lain yang saling menguntungkan. (1997:13-
14)
Untuk pengembangan ini dilakukan pendekatan-pendekatan dengan
organisasi pariwisata yang ada (pemerintah dan swasta) dan pihak-pihak terkait
yang diharapkan dapat mendukung kelangsungan pembangunan pariwisata
didaerah itu khususnya Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Seni Kota Surakarta.
Dalam hal ini kiranya dibutuhkan perumusan yang cermat dan diambil kata
sepakat, apa yang menjadi kewajiban pihak pemerintah dan mana yang
merupakan tanggung jawab pihak swasta, sehingga dalam pengembangan
selanjutnya tidak terjadi penanggungan yang tumpang tindih yang bisa
menimbulkan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Pengembangan
pariwisata ini tidak lepas dari peran organisasi kepariwisataan pemerintah, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Dinas Pariwisata yang mempunyai tugas dan wewenang serta kewajiban untuk
mengembangkan dan memanfaatkan aset negara yang berupa obyek wisata.
Setelah merumuskan berapa perencanaan dalam pengembangan
pariwisata, pelaku pariwisata menciptakan langkah-langkah yang bisa di tempuh
dalam proses pengembangan pariwisata. Menurut Gamal Suwantoro menjelaskan
mengenai langkah pokok dalam pengembangan pariwisata yakni:
a. Dalam jangka pendek dititik beratkan pada optimasi terutama untuk
1) Memprtajam dan memantapkan citra kepariwisataan
2) Meningkatkan mutu tenaga kerja
3) Meningkatkan kemampuan pengelolaan
4) Memanfaatkan produk yang ada
5) Memperbesar saham dari pasar pariwisata yang telah ada
b. Dalam jangka menengah dititik beratkan pada konsolidasi terutama
dalam
1) Memantapkan citra kepariwisataan indonesia
2) Mengkonsolidasikan kemampuan pengelolaan
3) Mengembangkan dan diversifikasi produk
4) Mengembangkan jumlah dan mutu tenaga kerja
c. Dalam jangka panjang dititik beratkan pada pengembangan dan
penyebaran pada:
1) Pengembangan kemampuan pengelolaan
2) Pengembangan dan penyebaran produk dan pelayanan
3) Pengembangan pasar parwisata baru
4) Pengembangan mutu dan jumlah tenaga kerja. (1997:55)
Langkah-langkah di atas dapat digunakan pelaku pariwisata dalam
mengembangakan daerah wisatanya, dalam jangkan pendek dapat di lakuka untuk
pencitraan destinasi/ objek wisata agar dapat di kenal oleh orang banyak, serta
memperbesar saham yang ada agar dapat mengelola baik objek wisata ataupun
sumber daya manusia yang ada, dalam mengoptimalkan pengembangan tersebut.
Dalam jangka menengah, dapat dioptimalkan pengembangan produk pariwisata
agar lebih menarik wisatawan baik mancanegara atau nusantara, serta menambanh
sumber daya yang sekarang ada. Selain jangka menengah dan pendek, dalam
pengelolaan wisata juga di butuhkan langkah yang bersifat jangka panjang dalam
mengembangkan pasar wisata yang baru serta mutu dari objek wisata tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pengembangan
pariwisata disebuah daerah sangat diperlukan, hal ini berkaitan dengan segi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
ekonomisnya, dimana ketika banyak wisatawan yang datan ke daerah tersebut
maka secara otomatis akan menambah pendapatan daerah tersebut. Oleh karena
itu, dengan adanya pengambangan pariwisata tersebut maka dapat juga membuka
pintu pembangunan daerah tersebut.
4. Konsep Kota Budaya
Pengertian kota menurut Daldjoeni menyatakan bahwa “kota sebagai
tempat bermungkim penduduknya, baginya yang penting bukan tempat
tinggalnya, jalan raya, rumah ibadah, kantor, taman, dan lain-lain melainkan
penghuni yang menciptakan segalanya” (1997 : 39). Sedangkan menurut Bintarto
bahwa “kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai
dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan di warnai dengan strata sosial
ekonomi yang heterogen” (1991 : 8). Kota juga disebut juga sebagai benteng
budaya yang di timbulkan oleh unsur-unsur alami dan non-alami dan gelaja-gelala
pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan dan sifatnya yang
heterogen. Kemudian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kota merupakan
tempat bermukim, belajar, hidup serta berbudaya. Sesuai hal ini maka selayaknya
kelestarian kota harus didukung.
Dalam memahami konsep penbentukan identitas kota budaya perlu
diketahui mengenai konsep citra kota yang di bentuk sebuah kota dalam
menentukan karakteristik kota tersebut. Diuraian awal, peneliti telah menjelaskan
mengenai konsep kota secara sederhana. Berangkat dari konsep itu, peneliti
menguraikan citra kota itu sendiri.
Mengutip dari Susan Sontag dalam Transpiosa Riomandha bahwa “citra
sebagai sebuah ilusi atau bayangan, copy bukan asli, representation bukan
reality”(2000: 35). Citra disini akan mempunyai jarak dengan realita yang
sebenarnya. Pada pengertian ini, Sontag lebih melihat bagaimana citra kolektif
tersebut mengkonstruksikan citra dari individu. Citra individu dipaksa untuk
tunduk pada citra kolektif. Ini dapat dilihat pada kasus bagaimana Malioboro
dipilih untuk menjadi identitas dari Yogyakarta. Sedangkan menurut Lowson,
Band Bovy, Mathienson,Wall dalam Pitana mengatakan bahwa “Citra is an
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
expresion of all objective knowladge, impression, prejudices, imagination, and
emotional thoughts an individual or group have of a particular object or
place”(Citra adalah sebuah bentuk pengekpresian dari seluruh pengetahuan,
impresi, imaginasi dan emosi dari sebuah individu atau kelompok tertentu
didalam suatu objek atau tempat) (2005:64).
Dengan demikian citra kota dapat diartikan sebagai kumpulan dari
interaksi sensorik langsung seperti diimplementasikan melalui sistem nilai
pengamat dan diakomodasikan kedalam penyimpanan memori dimana input dari
sumber tak langsung sama pentingnya. Citra secara luas terkait dengan ruang, dan
dapat pula dikaitkan dengan rasa atau persepsi seseorang.
Darisinilah bagaimana sebuah citra kota dibentuk serta dikonstruksi oleh
masyarakat dan melekat pada pikiran manusia mengenai sebuah kota. Penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa citra sangat tergantung pada persepsi atau cara
pandang orang masing-masing. Citra juga berkaitan dengan hal-hal fisik. Citra
kota sendiri dapat diartikan sebagai gambaran mental dari sebuah kota sesuai
dengan rata-rata pandangan masyarakatnya. Citra kota menggambarkan suatu
persamaan dari sejumlah gabungan atau satuan informasi yang dihubungkan
dengan tempatnya. Dapat juga diterjemahkan melalui gambaran mental dari
sebuah kata sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya.
Sebuah citra lingkungan (kota) menurut Lynch dalam bukunya “Image of
the city” dapat dianalisis kedalam komponen yang meliputi:
1.) Identitas, suatu objek harus dapat dibedakan dengan objek-objek lain
sehingga dikenal sebagai sesuatu yang berbeda atau mandiri.
2.) Struktur, citra harus meliputi hubungan spasial atau hubungan pola citra
objek dengan pengamat dan dengan objek-objek lainnya.
3.) Makna, yaitu suatu objek harus mempunyai arti tertentu bagi pengamat
baik secara kegunaan maupun emosi yang ditimbulkan. (1960)
Citra kota setidaknya harus memiliki 3 komponen di atas, jika ketiga
komponen tersebut sudah ada dalam sebuah kota atau lingkungan maka, kota
tersebut telah mampu membuat masyarakat untuk memberikan label kota tersebut,
dengan berbagai ciri khusus yang ada dalam kota itu. Yang pertama yang harus
ada dalam sebuah kota adalah keunikan atau sebuah objek kota yang mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
membedakan dengan kota yang lain, sehingga dengan sesuatu yang berbeda
inilah, ada sebuah nilai lebih untuk menjual nama kota tersebut. Bukan hanya itu
saja, struktur dalam pola hubungan citra kota juga sangat menentukan, bukan
hanya berhenti pada potensi kota itu saja namun harus ada sebuah kekuatan lain
untuk membangun citra tersebut, seperti halnya pemeritah. Sehingga dengan
adanya hubungan antara potensi dan kekuatan yang sifatnya tehnis inilah yang
mampu mendorong masyarakat di luar kota tersebut memberikan makna pada apa
yang dilihatnya, hal inilah yang ada didalam citra kota.
Berdasarkan uraian element diatas diharapkan masyarakat mampu
memberikan interpretasi mengenai sebuah kota. Seperti halnya kota budaya, hal
ini merupakan salah satu pembentukan citra kota yang didasarkan atas potensi
lokal atau kearifan lokal yang terdapat di sebuah kota. Karena dalam
pembentukan identitas kota budaya, peranan pencitraan sangat besar sekali. Apa
yang ditampilkan oleh kota tersebutlah yang akan menjadi “merk” atau identitas
dari kota tersebut.
Citra kota merupakan bagian penting yang melatarbelakangi
pembentukan identitas kota. Citra apa yang ditunjukan sebuah kota maka dari hal
tersebut identitas kota dapat di ketahui. Karena identitas menurut Ubet Abdilah
menyatakan bahwa “identitas merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan
yang berada di luar diri serta akan memasukan nama, jenis kelamin, bahasa,
agama dan kategori lainnya” (2002 : 26). Sehingga dapat dikatakan bahwa
identitas merupak pemberian dari luar diri kita. Stuart Hall 1996 menambahkan
bahwa “identitas merupakan sesuatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam
proses dan selalu dibangun dari dalam” (Ubed Abdilah 2002 : 27). Ubet Abdilah
menambahkan bahwa “ identitas adalah kata kunci yang mengacu pada konotasi
apa saja: sosial, politik, budaya, serta dalam situasi tertentu bisa bermakna lain”
(2002 : 27). Karena identitas bukanlah sesuatu yang final, atau sesuatu yang
senantiasa berubah. Jean Boudrillard menambahkan bahwa identitas merupakan
suatu subjek yang melekat ada pada diri” (Ubed 2002 : 28).
Sedangkan Yekti maunati menjelaskan bahwa “identitas merupakan
sebuah kontruksi” yang artinya bukalah suatu hal yang hadir begitu saja akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
tetapi melalui proses panjang yang melibatkan berbagai aspek kehidupan (2004).
misalnya pemerintah, melalui Kantor Dinas Pariwisata sejak awal tahun 1990-an
secara aktif menyebarluaskan citra “Primitif” sebagai identitas masyarakat Dayak
di Kalimantan Timur dan keterlibatan-keterlibatan pemerintah dalam
mempromosikan pariwisata daerah-daerah lainnya. Dari penjelasan diatas
identitas segala sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan yang berada diluar diri serta
akan memasukan nama, jenis kelamin, bahasa, agama dan kategori dan
merupakan sebuah perjalanan atau proses yang terjadi didalam kehidupan
manusia dan dapat diuraikan, dikenali dan memiliki kualitas serta karakteristik
yang dapat membedakan dengan yang lainnya.
Masyarakat dalam proses kehidupannya tidak terlepas dari proses
pencarian dan pembentukan identitas, baik identitas sosial, identitas kelompok,
identitas daerah/kota maupun identitas budaya. Identitas sosial merupakan suatu
proses, bukan tindakan atau perilaku. Sedangkan teori identitas kelompok lebih
banyak digunakan oleh antropologi yang menggunakan ciri-ciri etnik untuk
menentukan identitas berbagai kelompok. Identitas juga dapat dikatakan sebagai
sebuah proses pemberian label atau nama.
Konsep identitas adalah dan asal konsep yang bersifat relasional yang
berkaitan dengan identifikasi diri -usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai
identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang
Jawa bukan Madura, begitu juga Batak bukan bugis, dan lain-lainnya.
Konsekuensinya, identitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan
batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik.
Oleh karena itulah, identitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim suatu
identitas tertentu bagi diri mereka dan didifinisikan oleh yang lain dengan
identitas tersebut. Yekti Maunati (2004) menyatakan bahwa identitas etnik
bermakna identifikasi dengan suatu kelompok etnik karena afiliasi ini.
Di sinilah identitas dipahami sebagai konsep yang dikonstruksi secara
budaya. Artinya, identitas maupun etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang
menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu struktur
politik yang tunggal dibawah kondisi-kondisi sosial tertentu . Secara lebih rinci,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
identitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi
(ascription). Inilah proses sosial yang menandai sekelompok masyarakat tertentu
dengan sembarang . Artinya, apa pun tandanya asal bisa dipakai untuk
"menunjuk" (labelling) kelompok tertentu. Proses ini tentunya merupakan proses
yang berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Proses askripsi adalah gejala
interaksi yang terjadi ketika orang dari aneka latar belakang bertemu satu sama
lain diberbagai lapangan kehidupan, bukannya ketika mereka benar-benar
"menyendiri". Yang menjadi spesifik dalam proses ini adalah ketika seseorang itu
tak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tapi sebagai contoh, anggota, atau
wakil suatu kelompok orang dengan askripsi tertentu. Proses askripsi lama
kelamaan berfungsi seolah-olah seperti deskripsi terhadap sekelompok orang.
Adapun bagi kelompok yang dideskripsikan tersebut, deskripsi itu merupakan
aturan bertindak.
Hal ini pula yang memberikan jalan bagi sebuah budaya untuk dijadikan
identitas dari sebuah kota. Kota budaya adalah kota yang dengan kreatif
melestarikan warisan budaya, baik yang benda (tangible) maupun yang tak-benda
(intangible), dan dengan bangga menjadikan kekayaan dan pesona warisan
budaya itu sebagai lambang identitas. Yang dimaksud dengan „budaya kota‟
adalah keseluruhan perilaku warga kota dalam interaksi sosial yang
mencerminkan kearifan lokal untuk mewujudkan keharmonisan hidup bersama.
Bali kaya akan nilai-nilai kearifan lokal seperti tat twam asi dan tri kaya
parisudha (berfikir, berkata, berbuat baik) yang bisa diadopsi dan diadaptasi
untuk membangun „budaya kota‟ sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pembentukan identitas kota budaya tercermin dari kinerja penampilan
fisik kota yang pada hakekatnya menyangkut 3 aspek pertimbangan antara lain:
1. aspek normatis kota (kondisi sosial-budaya)
2. aspek fungsional kota (kegiatan khas masyarakat) dan
3. aspek fisik kota (kekhasan penampilan fisik kota) (1960)
Dari uraian tersebut terlihat bahwa aspek fungsional kota merupakan
aspek non fisik yang turut mempengaruhi terbentuknya identitas kota. Sejalan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
dengan pemikiran Lynch (1960) bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi
identitas kota selain objek fisik yang tampak terkait juga dengan:
1.) Makna sosial (social meaning)
2.) Fungsi (function)
3.) Sejarah (history)
4.) Nama (name) dari kota tersebut.
Sedangkan menurut Budihardjo (1991) terdapat 6 tolok ukur yang
sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan
identitas kota, yaitu:
1) Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung
Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan.
2) Nilai arsitektur lokal/tradisional
3) Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)
4) Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)
5) Nilai kekhasan dan keunikan setempat baik dalam kegiatan sosial ekonomi
maupun sosial budaya.
6) Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang
dimiliki.
Jadi, identitas kota budaya merupakan pelabelan yang diberikan kepada
suatu kelompok masyarakat, yang terjadi melalui proses sejarah yang panjang
dengan menggabungkan berbagai kelompok sosial yang berbeda kedalam suatu
struktur sosial tertentu serta dibawah kondisi sosial budaya tertentu juga.
Identitas kota budaya dapat didasarkan pada konsep di atas.
Pembentukan kota budaya harus menyangkup seluruh sistem nilai budaya yang
ada di masyarakat tersebut. Baik dari segi ide, tata kelakuan atau perilakunya serta
menyakup sisi artefak atau hasil budaya yang berupa wujud kebendaan. Kota
budaya harus dapat mengkover segala aktualisasi budaya sebagai cerminan pola
hidup, pemikiran dan berbagai ekspresi emosi akan menggambarkan sejauhmana
tingkat peradaban suatu kelompok masyarakat. Sehingga sebuah kelompok
masyarakat terinternalisasi ke dalam bentuk tatanan kota berbasis budaya.
Berangkat dari konsep identitas di atas, peneliti mengkaji suatu bentuk
kebudayaan yang berada di suatu wilayah sengaja di bentuk untuk dijadikan
sebuah identitas wilayah tersebut oleh pemerintah daerah setempat. Solo
merupakan kota yang memiliki sejarah kebudayaan yang besar dengan adanya
keraton, akan tetapi jika tidak dikembangkan mungkin tidak akan menjadi ikon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
kepariwisataan serta identitas kota. Oleh karena itu, seperti apakah komodifikasi
pemerintah daerah kota solo yang menjadikannya ikon budaya sebagai identitas
dan citra kota budaya.
5. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian Haryanto (2011) yang berjudul Strategi Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan ( DISPARBUD ) Kabupaten Boyolali dalam Mengembangkan
Obyek Wisata Pengging. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi
pengembangan obyek pariwisata Pengging yang di lakukan oleh Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Boyolali.
Sesuai dengan tujuan penelitian maka penelitian ini menggunakan
metode penelitian diskribtif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini di peroleh
dari wawancara dengan narasumber dan arsip/ dokumen yang berkaitan dengan
penelitian. Tehnik penarikan sampel menggunakan purposive sampling dan
snowball sampling. Tehnik pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian
ini adalah dengan wawancara, obeservasi, dan telaah dokumen. Validitas data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode trianggulasi data. Analisis
data pada penelitian ini dengan menggunakan model analisis interaktif.
Berdasarkan hasil temuan data dilapangan bahwa Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Boyolali telah melaksanakan beberapa kegiatan
berdasarkan analisis SWOT tahun anggaran 2006-2010 seperti strategi
pengembangan infrastruktur, pengembangan promosi dan pemasaran, strategi
kerjasama dibidang pariwisata, strategi peningkatan sumber daya manusia dan
strategi pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga dapat diketahui hambatan yang
ditemui dalam implementasi strategi Dinas Pariwista dan Kebudayaan Kabupaten
Boyolali dalam pengembangan pariwisata Pengging, yaitu; terbatasnya anggaran,
keterbatasan infrastuktur, masih rendahnya SDM yang ada, rendahnya investasi
dan dukungan stakeholder.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
B. Kerangka Pikir
Pengembangan sektor pariwisata ditujukan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan serta dapat memberikan manfaat terhadap pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Dengan mengembangkan sektor pariwisata ini juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pemerintah
terutama dari segi pembiayaan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah. Salah
satu kota yang menjadi pengembang pariwisata adalah kota Solo. Ekistensi kota
yang berlatar belakang sejarah budaya yang begitu tinggi ini menjadi potensi yang
bisa di kembangkan.
Berangkat dari sejarah kota Surakarta yang merupakan keraton Mataram
Islam yang memiliki segudang kebudayaan. Salah satunya adalah sekaten atau
yang lebih dikenal sebagai grebeg muludan. Grebeg Sekaten merupakan budaya
dari dalam keraton yang difungsikan untuk memperingati maulud Nabi
Muhammad Saw. Munculnya interakasi antara Keraton dalem dengan masyarakat,
kemudian sekaten dimunculkan sebagai budaya bersama antara keraton serta
masyarakat, dengan adanya grebeg gunungan hasil bumi yang diperebutkan
masyarakat. Hal tersebut menunjukan kirab Muludan bukan hanya milik keraton
tapi milik masyarakat juga. Keberadaan potensi budaya ini menjadi salah satu
pendorong kuat adanya pengembangan wisata budaya di Solo.
Keberadaan pemerintah kota Surakarta menjadikan sebuah kebudayaan
menjadi bentuk seperangkat pengembangan daerah. Berdasarkan Bab III RPJM-
Kota Surakarta 2005-2010 mengenai permasalahan Surakarta sebagai Kota
Budaya, Nomor 10 Tahun 2001 tentang Visi Misi Kota Surakarta, Nomor 2 Tahun
2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Surakarta
Tahun 2005-2025, pemerintah Surakarta dalam pembangunan kota; didasarkan
atas budaya yang ada di kota Surakarta tersebut; menjadi bentuk kepariwisataan
yang menunjang pembangunan daerah, serta untuk mewujudkan identitas Solo
sebagai kota budaya secara total. Karena perwujudan Solo kota budaya tak akan
lepas dari keberadaan keraton sebagai sumber budaya di kota Solo khususnya,
serta keberadaan pemerintah kota sebagai pihak yang berweweng dalam
memberlakukan regulasi atau kebijakan untuk mewujudkan Solo kota budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Secara lebih rinci alur pemikiran peneliti dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 1 : Kerangka Pikir Penelitian
Masyarakat di
Luar
Kraton
Kraton Solo
Hadiningrat Berinteraksi
Muncul Kirab Budaya
Sekaten
Pemerintah
Kota
surakarta
Pengembangan pariwisata Kota
Surakarta
Berdasarkan:
UU no.32 tahun 1999
tentang Otonimi Daerah
UU no.22 tahun 1999
tentang Pemerintah
Daerah
UU No.10 tahun 2009
tentang Pariwisata
RPJM-Kota Surakarta
2005-2010
Nomor 10 Tahun 2001
tentang Visi Misi Kota
Surakarta
Nomor 2 Tahun 2010
tentang Rencana
Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Kota
Surakarta Tahun 2005-
2025
Solo Kota Budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB III
METODE PENELITIAN
Sugiyono menjelaskan bahwa, ”Metode penelitian merupakan cara ilmiah,
yang bersifat empiris dan sistematis untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegiatan tertentu” (2010: 5). Cara ilmiah ini merupakan kegiatan penelitian yang
rasional yaitu dilakukan dengan menggunakan cara akal sehat untuk menemukan
kebenaran berdasarkan penalaran manusia. Bersifat empiris artinya dilakukan
dengan cara melalui pengamatan indera manusia, sehingga orang lain dapat
mengamati dan mengetahui melalui inderanya. Dan sistematis artinya
menggunakan langkah–langkah tata urutan yang bersifat logis. Jadi metode
penelitian adalah suatu cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisasi untuk
menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan data untuk
digunakan sebagai solusi atas masalah yang diajukan.
Untuk mendapatkan kebenaran dari suatu pengetahuan diperlukan adanya
metodologi. Metodologi adalah suatu keseluruhan metode-metode, prosedur,
konsep-konsep kerja, aturan-aturan, dan postulat-postulat, yang digunakan oleh
ilmu pengetahuan, seni, atau disiplin keilmuan. Metodologi menunjuk kepada
proses, prinsip, serta prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan
mencari jawaban atas suatu masalah. Metodologi dalam kenyataannya juga
merupakan pola yang berfungsi untuk mengarahkan proses berpikir agar
penelitian menghasilkan kebenaran yang obyektif dan dapat mengantarkan
peneliti ke arah tujuan yang diinginkan yaitu hasil penelitian dapat
dipertanggungjawabkan.
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian (Setting)
Penelitian ini adalah penelitian mengenai strategi pengembangan
pariwisata Kraton Surakarta dalam upaya mewujudkan identitas Solo sebagai kota
budaya. Tempat penelitian di pilih kota Surakarta merupakan tempat potensial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
sesuai judul yang di ambil peneliti. Peneliti mengambil lokasi tersebut dengan
pertimbangan adanya potensi pariwisata yang sangat besar di kota Solo sebagai
perwujudan adanya keraton Surakarta Hadiningrat yang menjadi ikon budaya di
kawasan tersebut. Selain itu, dengan adanya warisan budaya ini adakah upaya
pelestarian serta adakah komodifikasi ekonomis dari adanya keraton ini. Dengan
demikian, peneliti dapat memperoleh data dan gambaran yang jelas dan sesuai
dengan tujuan dan pokok bahasan yang akan di teliti, yaitu pengembangan
pariwisata festival sekaten di keraton Surakarta.
Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang strategi
pengembangan pariwisata. Eksistensi sekaten sebagai salah satu tujuan wisata
budaya di Solo, telah membuat citra yang kuat bagi Kota Solo dalam mewujudkan
kota budaya. Lokasi ini dipilih karena alasan metodologis yaitu karena Solo dekat
dengan domisili peneliti sehingga penggalian data dapat dilakukan secara
maksimal, mendalam, dan untuk keperluan kroscek data dapat dilakukan secara
berulang-ulang untuk menjamin validitas.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, penyusunan desain
penelitian, pengumpulan data, analisis data, penulisan laporan sampai penulisan
laporan akhir. Adapun rincian waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Tabel 1. Waktu Penelitian
No
Jadwal Kegiatan
Tahun 2011-2012
Januari
2012
Februari
2012
Maret
2011
April
2011
Mei
2012
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pengajuan judul
2. Penyusunan
proposal:
a. Konsultasi
proposal
b. Seminar
proposal
3. Penyusunan
dusunin
penelitian:
a. Pra penelitian
b. Mengurus
perizinan
penelitian
c. Penyusunan
instrumen
penelitian
4. Pengumpulan
data dan analisis
data
a. Pengumpulan
data
b. Menyusun
field note
c. Analisis data
dan penarikan
kesimpulan
5. Penulisan laporan
akhir
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
1. Pendekatan Penelitan
Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Menurut
Sutopo, “Penelitian deskriptif dalam penelitian kualitatif, studi kasusnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret
kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan
studinya” (2002: 111). Dalam penelitian ini studi kasusnya mengarah pada
pendeskripsian atau memberi gambaran yang jelas tentang situasi-situasi sosial
tertentu. Situasi sosial yang dimaksud di sini adalah berbagai situasi yang terjadi
dilapangan kaitannya dengan situasi dimana pengembangan pariwisata di kota
Solo yang menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan kota budaya, salah
satunya dengan festival sekaten.
Sedangkan eksploratif menurut Sutopo, “Penelitian eksploratif sifatnya
merupakan penelitian penjelajahan, artinya peneliti sama sekali belum mengetahui
apa yang terjadi di lapangan studinya” (2002: 110). Dalam penelitian ini
pendekatan eksploratif digunakan artinya mengungkap secara luas dan mendalam
tentang sebab-sebab dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu. Dalam
penelitian ini, peneliti berusaha untuk mengungkap secara luas dan mendalam
tentang strategi yang di lakukan dalam mengembangkan pariwisata sekaten dalam
mewujudkan kota budaya berorientasi kekinian.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal terpancang. Menurut Yin, “Studi kasus adalah inkuiri empiris yang
menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas
antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multi sumber
dimanfaatkan” (2008: 18). Lanjut menurut Yin menjelaskan bahwa, “Studi kasus
merupakan strategi penelitian yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu
penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila peneliti hanya memiliki
sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan
bila mana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di
dalam konteks kehidupan nyata” (2008: 1). Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan strategi penelitian studi kasus dengan pertimbangan bahwa fokus
penelitian tentang strategi pengembangan pariwisata sekaten di Solo berkenaan
dengan “how” sehingga untuk menjawabnya akan sesuai dengan menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
strategi penelitian studi kasus. Dalam penelitian ini studi kasusnya adalah studi
kasus tunggal terpancang yang mana batasan fokus permasalahannya mengarah
pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai strategi pengembangan
pariwisata sekaten di Solo.
Terkait dengan jenis penelitian studi kasus tunggal, Sutopo menjelaskan
bahwa,
Suatu penelitian disebut sebagai studi kasus tunggal bilamana penelitian
tersebut terarah pada satu karakteristik. Artinya penelitian tersebut hanya
dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi studi atau satu subjek). Jumlah
sasaran (lokasi studi) tidak menemukan suatu penelitian berupa studi kasus
tunggal atau ganda meskipun penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi
(beberapa kelompok atau sejumlah pribadi). Kalau sasaran studi tersebut
memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut
tetap merupakan studi kasus tunggal. Terpancang artinya terfokus,
maksudnya adalah dalam penelitian ini memfokuskan pada suatu masalah
yang sudah ditetapkan sebelum peneliti terjun ketempat penelitian (2002:
111-112).
Sutopo mengungkapkan bahwa, “Aspek tunggal bisa dilakukan pada
sasaran satu orang atau lebih, satu desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara
bangsa atau lebih, tergantung adanya kesamaan karakteristiknya atau adanya
keseragaman dalam banyak hal” (2002: 112-113). Aspek tunggal karakteristik
dalam penelitian ini yaitu festival sekaten keraton Surakarta, yang memiliki
keunikan tersendiri sebagai salah satu kerajaan Islam yang masih eksis sampai
saat ini dengan upacara adat tradisi yang masih terjaga keorisinilitasnya.
C. Data dan Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984), “Sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain” (Moleong, 2010: 157). Penelitian ini
menggunakan dua jenis data yaitu sumber data utama dan kedua. Sumber data
utama (primer) dalam dalam penelitian ini ialah kata-kata dan tindakan (aktivitas)
orang-orang yang diamati atau diwawancarai dari informan yang ditentukan.
Sedangkan sumber data kedua (sekunder) dalam penelitian ini ialah berupa
dokumen. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
1. Informan
Informan adalah individu-individu tertentu yang dapat memberikan
keterangan dan data informasi untuk kepentingan penelitian. Sutopo
mengemukakan bahwa, “Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data
manusia (nara sumber) sangat penting peranya sebagai individu yang memiliki
informasinya” (2002: 50). Informan dalam penelitian ini adalah orang yang
benar-benar tahu permasalahan peneliti yakni mengenai pengembangan
pariwisata sekaten di Surakarta. Dasar pemilihan informan adalah sebagai
berikut:
a. Pengelola Festival Sekaten di Keraton Surakarta
Informan yang dimaksud yaitu orang-orang yang memiliki wewenang
dan di anggap tahu mengenai segala hal di keraton dalam mengkoordinasi
semua lembaga yang ada di keraton, seperti Kepala Sasana Wilapa, dan
pengelola sekaten.
b. Pemerintah Kota Surakarta
Informan yang dimaksud adalah staff pada dinas terkait yang dalam hal
ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta. Aparat atau staff
pemerintah yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah orang yang
dianggap tahu dan dapat memberikan informasi pada dinas tersebut terkait
dengan informasi kebijakan, program atau fasilitas bagi pengembangan
pariwisata sekaten.
2. Peristiwa atau Aktivitas
Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari peristiwa, aktivitas,
atau perilaku sebagai sumber data yang berkaitan dengan sasaran
penelitiannya. Sutopo menyatakan bahwa, “Dari pengamatan pada peristiwa
atau aktivitas, peneliti bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara
lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung” (2002: 51). Peneliti
menggunakan peristiwa atau aktivitas informan yang terjadi di lapangan
sebagai sumber data utama dalam penelitian ini dengan pertimbangan melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
peristiwa atau aktivitas ini peneliti dapat memperoleh gambaran yang riil
tentang realitas yang terjadi di lapangan. Untuk selanjutnya dari data tersebut
peneliti dapat memperkuatnya pada tahap wawancara dengan informan yang
telah ditentukan. Dalam penelitian ini tidak semua peristiwa bisa diamati
secara langsung kecuali merupakan aktivitas yang masih berlangsung pada saat
penelitian. Peristiwa atau aktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi
festival sekaten tahun 2012, dari malemannya, keluarnya gamelan sampai hari
puncaknya yakni keluarnya gunungan sekaten.
Dokumen
Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan
suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia merupakan rekaman tertulis
(tetapi juga berupa gambar atau benda peninggalan yang berkaitan
dengan suatu aktivitas atau peristiwa tertentu). Bila ia merupakan
catatan rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana dalam
organisasi, ia cenderung disebut arsip (Sutopo, 2002: 54).
Dokumen yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah data dari
buku, surat kabar, majalah, internet, beragam foto dan catatan lapangan. Foto
yang dimaksud disini adalah foto yang mampu berbicara tentang kebenaran
suatu kejadian kaitanya dengan strategi pengembangan pariwisata sekaten, baik
foto yang dihasilkan peneliti sendiri maupun foto yang dihasilkan orang lain.
Menurut Moleong, “Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga
dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering
dianalisis secara induktif” (2010: 160). Dokumen dalam penelitian ini adalah
acara festival sekaten serta keadaan fisik kota Solo yang menunjukana
perwujudan Solo kota budaya.
D. Teknik Sampling (Cuplikan)
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan purposive dengan
snowball sampling. Menurut Sutopo, “Metode purposive dilakukan dengan
memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah yang hendak
diteliti secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang
mantap sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data,” (2002: 56). Dalam
teknik purposive, peneliti tidak menjadikan semua orang sebagai informan yang
dipandang tahu dan cukup memahami tentang fokus persolan dalam penelitian ini
melainkan peneliti melakukan seleksi supaya informan merupakan informan yang
tepat dalam mendukung pencarian data. Adapun kriteria penyeleksian informan
adalah dengan mendasarkan pada dasar pemilihan informan seperti yang telah
dijelaskan di atas..
Sementara itu teknik snowball sampling akan dilakukan untuk menentukan
informan dengan menghubungi informan kunci yang pertama dan mencari
informan kunci berikutnya. Pencarian ini akan berlangsung terus menerus sampai
data yang diperlukan dalam penelitian ini terpenuhi (Sutopo, 2002). Dalam
penelitian ini peneliti mencari informan kunci yaitu pengelaola sekaten dan staf
Disbudpar solo untuk dijadikan sebagai sumber data utama. Pencarian informan
kunci akan dilakukan secara terus menerus sampai data yang diperlukan dalam
penelitian ini dapat terpenuhi. Namun jika dalam pengumpulan data peneliti tidak
lagi menemukan variasi informasi, maka dalam hal ini peneliti menyatakan
pencarian informan dianggap selesai
Jadi metode dengan teknik purposive dengan snowball sampling
merupakan metode yang dilakukan dengan cara mencari informan kunci dengan
mengacu pada kriteria pemilihan informan yang telah peneliti tentukan di atas dari
informan kunci yang dianggap tahu kemudian dari informan kunci tersebut dicari
lagi informan kunci yang lain sampai peneliti tidak lagi menemukan variasi
informasi sehingga data yang diperoleh dapat diuji kebenarannya.
E. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara
dan observasi langsung. Secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Wawancara Mendalam
Moleong menjelaskan, “Wawancara adalah percakapan yang dilakukan
dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai (interviwee) yang memberikan jawaban atau pertanyaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
itu” (2010: 186). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara yang tidak terstruktur atau lebih dikenal dengan wawancara
mendalam (in dept interviewing). Peneliti dalam hal ini mengajukan pertanyaan
yang bersifat “open-ended” dan mengarah pada kedalaman informasi serta
dilakukan secara tidak terstruktur. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat
menggali pandangan subjek yang diteliti secara mendalam tentang fokus
masalah dalam penelitian ini yaitu tentang strategi pengembangan pariwisata
sekaten di Keraton Surakarta, sehingga dapat disajikan data secara lengkap
mengenai pemikiran, motivasi, serta persepsi dari informan. Wawancara
dilakukan dengan bebas dengan suasana informal dan pertanyaan tidak
terstruktur namun tetap mengarah pada fokus masalah penelitian. Informan
yang dipilih adalah informan yang dianggap tahu tentang topik permasalahan
dalam penelitian ini dengan mengacu pada kriteria pemilihan informan yang
telah peneliti tentukan di atas. Peneliti mencatat informasi yang diberikan oleh
informan dan mendiskusikan yang belum jelas tanpa memberikan pengaruh
terhadap informan mengenai jawaban yang diberikan.
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan pengelola festival
sekaten, serta staff Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta. Wawancara
dipilih karena untuk memperoleh informasi sesuai fokus penelitian yaitu
strategi pengembangan pariwisata sekaten di Surakarta.
b. Observasi Langsung
Sutopo menjelaskan bahwa, “Teknik observasi digunakan untuk
menggali data dari sumber data berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda dan
rekaman gambar” (2002: 64).
Spradley (1980) membagi dua bentuk observasi yaitu observasi tak
berperan dan observasi berperan, penjelasannya sebagai berikut:
Dalam observasi tak berperan, peneliti sama sekali tidak diketahui
keberadaannya oleh subjek yang diamati. Sedangkan observasi berperan
dilakukan dengan mendatangi subjek penelitian dan objek penelitian
mengetahui hal tersebut. Observasi berperan bertujuan untuk
mendapatkan keakraban yang dekat dan mendalam dengan satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
kelompok individu dan mengamati perilaku mereka secara intensif
dengan lingkungan mereka. Observasi berperan dibagi menjadi tiga
yaitu: berperan pasif, berperan aktif dan berperan penuh dalam (Sutopo,
2002: 65).
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik observasi
berperan pasif dimana peneliti hanya berperan sebagai pengamat dan tidak
melibatkan diri dalam kegiatan, namun pengamatan yang dilakukan peneliti
bersifat terbuka sehingga hal ini memungkinkan peneliti untuk secara bebas
mengamati situasi dan peristiwa yang terjadi di lapangan
Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi untuk melihat tempat
maupun benda yang ada dalam obyek penelitian. Selain itu melalui observasi,
peneliti dapat melihat peristiwa, penampilan fisik informan, tingkah laku,
ekspresi dan tindakan yang dilakukan subjek penelitian pada saat penelitian
dilakukan.. Dalam hal ini peneliti hanya bertugas untuk menangkap makna dari
perilaku informan untuk menjawab fokus persoalan tentang strategi
pengembangan pariwisata sekaten di Surakarta.
c. Dokumen
Teknik pengumpulan data berikutnya adalah dengan dokumen.
Moleong mengemukanan bahwa, “Dokumen adalah setiap bahan tertulis
ataupun film, lain dari record yang tidak dipersiapkan karena adanya
permintaan penyidik” (2010 : 216). Pada penelitian ini dokumen dijadikan
salah satu teknik pengumpulan data karena dokumen dapat memberikan
deskripsi mengenai kondisi lokasi penelitian pada saat ini. Dokumen dalam
penelitian ini adalah pengembangan pariwisata di berbagai media massa,
dokumen terkait program atau kebijakan terkait dengan pengembanga
pariwisata sekaten yang ada di foto dan catatan lapangan.
F. Uji Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif, validitas data tidak dapat ditangkap secara
pasti. Untuk itu perlu digunakan teknik pemeriksaan keabsahan data. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan adalah
triangulasi sumber dan trianggulasi metode. Menurut Sutopo, “Triangulasi
merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat
multiperspektif. Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak
hanya dari satu cara pandang” (2002: 78). Terkait dengan triangulasi sumber,
Sutopo menjelaskan:
Cara ini mengarahkan peneliti dalam mengumpulkan data, ia wajib
menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya, data yang
sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari
beberapa sumber data yang berbeda. Dengan demikian apa yang diperoleh
dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenarannya bilamana
dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang
berbeda baik kelompok sumber sejenis maupun sumber yang berbeda
jenisnya. Triangulasi sumber memanfaatkan jenis sumber data yang
berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis. Di sini tekanannya pada
perbedaan sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang
lain (2002: 79).
Terkait dengan trianggulasi metode Moleong menjelaskan bahwa dalam
penggunaan trianggulasi metode yang pertama; peneliti menggunakan pengecekan
keabsahan data hasil penelitian dengan beberapa tehnik pengumpulan data.
Kedua; pengecekan derajat keabsahan data hasil penelitian dari beberapa sumber
data dengan metode yang sama (2010:331)
Cara-cara yang ditempuh dalam melaksanakan triangulasi sumber dan
metode pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Menggali informasi tentang strategi pengembangan pariwisata festival sekaten
dalam perwujudan Solo sebagai kota budaya melalui berbagai informan yang
berbeda yaitu pengelola sekaten dan pemerintah pada dinas terkait.
2. Membandingkan jawaban informan yang satu dengan informan yang lain
mengenai strategi pengembangan pariwisata sekaten dalam perwujudan Solo
sebagai Kota Budaya.
3. Membandingkan data observasi yang bersumber dari aktivitas yang
menggambarkan adanya pengembangan festival sekaten dengan data hasil
wawancara dengan informan yang telah ditentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
4. Menggali informasi dari sumber yang berupa dokumen seperti foto dan catatan
lapangan yang berkaitan dengan data yang dimaksud peneliti.
G. Analisis Data
Salim menjelaskan, “Proses analisis data pada penelitian kualitatif
berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Proses analisis mengalir dari
tahap awal hingga tahap penarikan kesimpulan hasil studi” (2006: 22). Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan model analisis interaktif karena dengan
menggunakan model analisis ini, proses analisis data dapat dilakukan secara
menyeluruh (holistik) sehingga kesimpulan hasil studi dapat teruji validitasnya.
Adapun uraian model analisis interaktif sebagai berikut:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Salim mengemukakan bahwa, “Reduksi data merupakan komponen
pertama dalam analisis data yang merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar dari field note” (2006:
22). Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Bahkan
prosesnya diawali sebelum pelaksanaan pengumpulan data. Reduksi data ini
dapat dikatakan sebagai bagian dari proses analisis data yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuat hal-hal yang tidak penting dan
mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan.
Pada saat reduksi data, peneliti menentukan beberapa informan untuk
mengidentifikasikan strategi pengembangan pariwisata sekaten dalam
mewujudkan Solo sebagai kota budaya. Di dalamnya dibahas tentang strategi
yang dilakukan pengelola sekaten dalam memperoleh peluang kedepannya
sekaten untuk di jadikan festival yang lebih besar lagi, serta pengelolaan yang
dilakukan pemerintah terhadap festival sekaten dalam mewujudkan Solo
sebagai kota budaya.
2. Penyajian Data (Data Display)
Salim menjelaskan bahwa, “Penyajian data yaitu deskripsi kumpulan
informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan” (2006: 23). Penyajian data dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
dengan merangkai data atau informasi yang telah direduksi dalam bentuk
narasi kalimat, gambar atau skema, maupun tabel yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data ini merupakan rangkaian
kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga dibaca akan mudah
dipahami mengenai berbagai hal yang terjadi dalam penelitian yang
memungkinkan peneliti untuk melakukan sesuatu pada analisis atau tindakan
lain berdasarkan pemahaman tersebut. Penyajian data dalam penelitian ini
diperoleh dari observasi langsung dan wawancara mendalam.
Adapun penyajian data adalah untuk mendeskripsikan tentang strategi
yang dilakukan lembaga pengelola sekaten dan kebijakan pemerintah kota
yang dapat terindentifikasi melalui analisis data yang telah penulis dapatkan.
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion Drawing and
Verification)
Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan yang telah dicatat, dilihat,
ditemui serta didengar yang berdasarkan pada konfigurasi yang telah
dirancang. Kesimpulan yang dihasilkan memerlukan verifikasi agar benar-
benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Dari hasil
verifikasi ini dapat diperoleh data yang telah teruji validitasnya. Untuk itu
peneliti melakukan aktivitas pengulangan untuk tujuan pemantapan,
penelusuran data kembali, melihat lagi fieldnote sehingga penelitian menjadi
lebih bisa dipercaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Gambar 2. Komponen Analisis Data Model Interaktif (Interactive Model)
Sumber: Matthew B. Milles & A. Michael Huberman (1992: 20) dalam Agus
Salim (2006: 22)
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian kualitatif tidaklah bersifat pasti seperti halnya dalam
penelitian kuantitatif. Prosedur sangatlah penting bagi peneliti untuk dijadikannya
sebagai kerangka acuan dalam melakukan tahap-tahap penelitian. Dengan
prosedur yang pasti inilah dapat mengarahkan dan memudahkan peneliti untuk
melakukan penelitian. Menurut Sutopo, “Prosedur penelitian adalah rangkaian
tahap demi tahap kegitan dari awal sampai akhir penelitian. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan prosedur atau langkah-langkah dari persiapan,
pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan penelitian” (2002: 187-
190). Lebih jelasnya diuraikan sebagai berkut:
1. Persiapan
a. Menyusun proposal penelitian yang meliputi pengajuan judul dan tulisan
proposal penelitian kepada dosen pembimbing.
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan
dan Verifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Membuat dusunin penelitian yaitu dengan mengumpulkan bahan atau
sumber materi penelitian yang berasal dari lapangan berupa data dan
pengamatan awal serta menyiapkan instrumen penelitian atau alat observasi.
c. Mengurus perizinan penelitian.
2. Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan
pengamatan berperan serta atau observasi partisipan.
b. Membuat fieldnote (catatan lapangan) dan transkrip hasil wawancara.
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data.
a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai dusunin penelitian yang
meliputi reduksi data (pembuatan matriks hasil penelitian lapangan),
penyajian data (pembuatan matriks hasil lapangan dengan matriks teori) dan
penarikan kesimpulan (verifikasi).
b. Mengembangkan hasil interpretasi data dengan analisis lanjut kemudian
disesuaikan dengan hasil temuan di lapangan.
c. Melakukan pengayaan dalam menganalisis data yang sudah ada dengan
dosen pembimbing.
d. Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal
b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan
dosen pembimbing
c. Melakukan perbaikan laporan sesuai hasil diskusi
d. Penyusunan laporan akhir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
1. Gambaran Umum Kota Surakarta
a. Tinjauan Historis Kota Surakarta
Dalam sejarah berdirinya kota Surakarta, terlebih dulu perlu
diungkapkan adanya peristiwa yang disebut ”Geger Pacinan”. Suparno
(1983:13) dalam Budihardjo (1989:21). Peristiwa itulah yang antara lain
menyebabkan kepindahan ibukota Kerajaan Mataram Kartasura beserta
keratonnya ke desa Solo. Pada saat Keraton Kartasura diserbu oleh
pemberontak Cina yang dipimpin oleh Mas Garendi, Sri Paduka Paku Buwono
II melarikan diri ke Ponorogo, diikuti oleh putranya KGPAA Mangkunegoro.
Akibat adanya huru-hara tersebut kerajaan Mataram mengalami kerusakan
berat sehingga raja memerintahkan untuk memindahkan Keraton Kartasura ke
desa Solo pada tanggal 19 Februari 1745.
Dalam perkembangan selanjutnya, daerah kerajaan Surakarta pecah
menjadi dua karena adanya perang saudara yang dilatarbelakangi politik devide
et empera dari VOC. Dalam Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755
kerajaan mataram dibagi menjadi dua yaitu sebelah timur tepat bernama
Surakarta Hadiningrat dan sebelah barat bernama Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam perkembangannya kedua daerah kerajaan tersebut pecah lagi masing-
masing menjadi dua yaitu Surakarta Hadiningrat pecah menjadi Keraton
Kasunanan dan Istana Mangkunegaran. Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat
pecah menjadi Keraton Kasultanan dan Pakualaman.
Kemudian seiring dengan berkembangnya zaman, desa atau tempat
yang dijadikan keraton yang baru tersebut dikenal sebagai kota Sala atau Solo,
ada juga yang mngatakan sebagai Salakarto dan juga ada Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
b. Keadaan Wilayah Kota Surakarta
Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan nama kota " Sala " atau
"Solo” berada pada dataran rendah. Popularitasnya semakin menanjak dengan
banyaknya nama, disebut dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai pusat
Kebudayaan Jawa maupun Kesenian serta berbagai sektor kehidupan lainnya,
baik ditingkat nasional maupun internasional. Kota Surakarta terletak di
Propinsi Jawa Tengah bagian selatan, yang merupakan penghubung antara
Propinsi Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. dengan kondisi lalu
lintas yang sangat padat.
Berada didataran rendah dengan ketinggian ± 92 meter diatas
permukaan air laut, yang berarti lebih rendah atau sama tingginya dengan
permukaan Bengawan Solo, dan dilalui beberapa sungai yaitu Kali Pepe, Kali
Anyar dan Kali Jenes yang semuanya bermuara di Bengawan Solo. Kota
Surakarta terletak diantara : 110 ° - 110 °45' 35" Bujur Timur, 70°36' - 70° 56'
Lintang Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan
Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Karanganyar
dan Sukoharjo. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan
Karanganyar. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.
Wilayah administrasi Kota Surakarta adalah sebagai berikut:
1.) Luas wilayah : ± 4.404.0593 M2 (+ 44,040 km2).
2.) Panjang maksimal : l 0,30 km (Utara – Selatan).
3.) Lebar maksimal : 7,50 km (Barat - Timur).
4.) Terbagi dalam 5 (lima) Kecamatan yang terdiri dari 51 Kalurahan, dengan:
589 RW, 2.616 RT, dan 124.940 KK.
Sebutan Kota Surakarta baru dimulai sejak adanya Undang-undang
No. 18 Tahun 1965 tanggal 1 September 1965 dan Ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1996. sejak kelahirannya, Kota Surakarta sudah mengalami 7
(tujuh) kali perubahan penyebutan nama, yaitu:
1.) Periode Pemerintahan Daerah Surakarta
Dimulai pada tanggal 16 juni 1946 (hari jadi) sampai dengan berlakunya
Undang-undang No.16 Tahun 1947 tanggal 5 juni 1947.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
2.) Periode Pemerintahan Daerah Haminte Kota Surakarta
Dimulai dengan berlakunya Undang-undang No. 16 Tahun 1947 sampai
dengan berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 1948 tanggal 10 juli
1948.
3.) Periode Pemerintahan Kota Besar Surakarta
Dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 1948 tanggal 10
juli 1948 sampai dengan berlakunya Undangundang No.1 Tahun 1957
tanggal 18 januari 1957.
4.) Periode Pemerintahan Daerah Kota Praja Surakarta
Dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1957 tanggal 18
januari 1957 sampai dengan berlakunya Undangundang No.18 Tahun
1965 tanggal 1 September 1965.
5.) Periode Pemerintahan Kotamadya Surakarta
Dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.18 Tahun 1965 tanggal 1
September 1965 sampai dengan berlakunya Undang-undang No.5 Tahun
1974.
6.) Periode Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta
Dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.5 Tahun 1974 sampai
dengan berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 1999.
7.) Periode Pemerintah Kota Surakarta
Dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah sampai dengan sekarang.
c. Kondisi Sosial – Budaya Kota Surakarta
1) Kependudukan
Dalam suatu daerah perkembangan penduduk baik itu Negara
berkembang maupun Negara maju, yang dipengaruhi oleh jumlah kelahiran,
kematian dan migrasi memegang peranan penting dalam kehidupan dan
pelaksanaan pemerintahan. Pertumbuhan penduduk sendiri di satu pihak dapat
menambah jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, namun di lain pihak dapat
menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, budaya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pendidikan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, Penduduk kota
Solo mencapai 499.337 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 95,02; yang
artinya pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 95 peduduk
laki-laki. Sementara, tingkat kepadatan penduduk kota Solo pada tahun 2010
mencapai 13.307 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di
kecamatan Serengan yang mencapai angka 20.151. Dengan tingkat kepadatan
yang tinggi ini, sedikit banyak akan berdampak pada masalah-masalah sosial
seperti perumahan, kesehatan dan juga tingkat kriminalitas.
2) Kependidikan
Menurut Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada tahun ajaran
2010/2011 terdapat 68.153 siswa dan 869 sekolah di Surakarta, dengan
perincian: 308 TK/RA, 292 SD/MI, 97 SMP/MTs, 56 SMA/MA, 46 SMK, 54
PT, dan 16 sekolah lain. Di Solo terdapat dua universitas besar, yaitu
Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS),keduanya memiliki lebih dari 20.000 mahasiswa aktif dan termasuk
katagori 50 universitas terbaik dan menjanjikan di Indonesia. Demikian pula
terdapat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta,Institut Seni Indonesia
(ISI) Surakarta . Selain itu terdapat 52 universitas swasta lainnya seperti
UNISRI, Universitas Tunas Pembangunan, Universitas Setia Budi, STIKES
Muhammadiyah.
3) Penganut agama
Bangunan ibadah bersejarah di Surakarta beragam, yang mencerminkan
keberagaman kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Solo, mulai dari masjid
terbesar dan paling sakral yang terletak di bagian barat kota Surakarta, yaitu
Masjid Agung Surakarta yang dibangun sekitar tahun 1727 atas prakarsa dari
Paku Buwono X, Masjid Mangkunegaran, masjid tertua di Solo, Masjid
Laweyan, Gereja St. Petrus di Jl. Slamet Riyadi, Gereja St. Antonius Purbayan,
hingga Tempat Ibadah Tri Dharma Tien Kok Sie, Vihara Am Po Kian, dan
Sahasra Adhi Pura.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Selain dihuni oleh suku Jawa, ada banyak pula penduduk beretnis
Tionghoa, dan Arab yang tinggal di Surakarta. Walaupun tidak ada data pasti
berapa jumlah masing-masing kepercayaan maupun etnis penduduk dalam
sensus terakhir (2010), namun mereka banyak membaur di tengah-tengah
warga Solo pada umumnya.
Perkampungan Arab menempati tiga wilayah kelurahan, yaitu
Kelurahan Pasar Kliwon, Semanggi dan Kedung Lumbu di Kecamatan Pasar
Kliwon.Penempatan kampung Arab secara berkelompok tersebut sudah diatur
sejak jaman dulu untuk mempermudah pengurusan bagi etnis asing di
Surakarta dan demi terwujudnya ketertiban dan keamanan. Etnis Arab mulai
datang di Pasar Kliwon diperkirakan sejak abad ke-19. Terbentuknya
perkampungan di Pasar Kliwon, selain disebabkan oleh adanya politik
pemukiman di masa kerajaan, juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah
kolonial.
Kondisi kota Surakarta mencerminkan sebagai kota budaya dengan
adanya berbagai lambang dan semboyan yang tertulis di lingkungan sekitarnya.
Perayaan yang berhubungan dengan budaya juga selalu diadakan rutin oleh
pemerintah kota Surakarta. Kegiatan keseharian warga juga masih
mempertahankan adat merupakan adanya sikap saling mendukung antara
pemerintah dan masyarakatnya demi terwujudnya Surakarta sebagai kota
budaya.
2. Keraton Surakarta
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak di Pusat Kota Solo,
yaitu di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Pembangunan Keraton dilakukan oleh
Susuhunan Pakubuwono II dari tahun 1743 hingga 1745. Konstruksi bangunan
keraton menggunakan bahan kayu jati yang diperoleh dari Alas Kethu di dekat
kota Wonogiri. Arsitek keraton ini adalah Pangeran Mangkubumi ( kerabat raja
Solo yang kelak memberontak dan mendirikan kesultanan Yogyakarta dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
gelar Sultan Hamengku Buwana ). Jadi tidak mengherankan jika bangunan
kedua keraton memiliki banyak kesamaan.
Keraton ini didirikan sebagai pengganti Istana atau Keraton Kartasura
yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan
Mataram didirikan di desa Sala (Solo). Setelah resmi istana Kerajaan Mataram
selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana
ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh
Sunan PB II kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun
1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Jaman keemasan Keraton Surakarta dialami pada masa pemerintahan
Sunan Paku Buwono X di tahun 1893-1939. Keraton Surakarta melakukan
restorasi besar-besaran, dengan percampuran gaya arsitektur antara Jawa dan
Eropa dalam nuansa putih dan biru.
Beberapa pengertiaan Keraton menurut KRHT Wirodiningrat (Kantor
Sasono Wilopo), ada tujuh pengertian (saptawedha) yang tercakup dalam
istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan. Kedua, Karaton
berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan
(Staatsrechtelijk) dan (magischreligieus). Ketiga, Karaton berarti penjelmaan
“Wahyu nurbuwat” dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen.
Keempat, Karaton berarti istana, kedaton “Dhatulaya” (rumah). Kelima,
bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik
yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan.
Keenam, Karaton sebagai Cultuur historische instelling (lembaga sejarah
kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton
sebagai Badan (juridische instellingen), artinya Karaton mempunyai barang-
barang hak milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti.
Dalam setahun sekali keraton Surakarta mengadakan perayaan sekaten.
Sekaten diadakan setiap bulan Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Pada tanggal 12 Mulud diselenggarakan Grebeg Maulud.
Kemudian diadakan pesta rakyat selama dua minggu. selama dua minggu ini
pesta rakyat diadakan di Alun-alun utara. Pesta rakyat menyajikan pasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
malam, arena permainan anak dan pertunjukan-pertunjukan seni dan akrobat.
Pada hari terakhir Sekaten, diadakan kembali acara Grebeg di Alun-alun Utara.
Upacara Sekaten diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Kerajaan
Demak.
Keraton Surakarta merupakan kerajaan yang terletak ditengah kota.
Perayaan yang rutin diadakan oleh keraton Surakarta merupakan lambang
bahwa pentingnya mempertahankan kebudayaan. Keraton Surakarta dapat
membantu mewujudkan kota Surakarta sebagai kota budaya, dengan
mempertahankan berbagai kegiatan perayaan sakral yang rutin diadakan serta
pantang ditinggalkan oleh keraton Surakarta, maka akan membentuk
masyarakat yang selalu mendukung untuk mewujudkan kota Surakarta sebagai
kota budaya.
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
a. Dasar Hukum Berdirinya Organisasi
Peraturan Daerah Kota Surakarta nomer 6 tahun 2001 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomer 4
Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomer 6 Tahun 2001.
b. Tugas Dan Fungsi Organisasi
Tugas pokok dan fungsi Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota
Surakarta berdasarkan Keputusan Walikota Surakarta Nomer 25 Tahun 2001
tentang Pedoman Uraian Tugas Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota
Surakarta adalah sebagai berikut:
Tugas Pokok : menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata,
seni, dan budaya.
Fungsi :
1.) Penyusunan rencana program, pengendalian, evaluasi, dan pelaporan;
2.) Pengembangan usaha akomodasi wisata, rekreasi, dan hiburan umum;
3.) Pembinaan pelaku wisata;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
4.) Pengendalian dan pengembangan aset wisata, seni, dan budaya;
5.) Pemasaran wisata;
6.) Pembinaan jabatan fungsional;
g. Penyelenggaraan urusan tata usaha dinas.
c. Visi , Misi Dan Tujuan Organisasi
Didalam Undang – undang Nomer 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Pasal 1 ayat (12) disebutkan bahwa
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir
perencanaan. Adanya rumusan visi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu
sasaran yang mungkin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Visi merupakan
suatu cita – cita atau harapan yang diyakini dapat diwujudkan dala kurun waktu
tertentu.
Sedangkan pada ayat (13) dalam Undang – undang tersebut
dinyatakan bahwa Misi adalah rumusan umum mengenai upaya – upaya yang
akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain Misi adalah
rumusan mengenai apa – apa yang diyakini dapat dilakukan. Misi disusun
berdasarkan visi yang telah dirumuskan karena misi merupakan penjabaran
secara operasional dalam rangka pewujudan visi itu.
Sedangkan tujuan merupakan penjabaran, implementasi atau
operasional dari penyataan misi.
Visi :
Terwujudnya kota Solo sebagai kota tujuan wisata berbasis budaya.
Misi :
1.) Mendorong pelestarian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata
unggulan;
2.) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bidang pariwisata dan
budaya serta memberdayakan masyarakat da dunia usaha yang berdaya
saing global;
3.) Menyediakan database yang lengkap da akurat di bidang pariwisata dan
kebudayaan yang berbasis teknologi informasi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
4.) Meningkatkan kerja sama / kemitraan antar daerah dan antar pelaku wisata
dalam pengolahan obyek dan daya tarik wisata serta promosi pariwisata.
Tujuan :
1.) Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan potensi obyek dan daya
tarik wisata.
2.) Meningkatkan profesionalisme SDM pariwisata dan budaya serta
kemampuan masyarakat dan dunia usaha untuk dapat berpartisipasi aktif
dalam pembangunan pariwisata.
3.) Meningkatkan media promosi, informasi dan jaringan pemasaran
pariwisata.
4.) Meningkatkan jaringan kemitraan strategi yang saling menguntungkan di
bidang pariwisata
d. Susunan Kepegawaian Dan Perlengkapan
1.) Susunan Kepegawaian
Susunan Kepegawaian pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta pada tahun 2008 adalah sebagai berikut:
Menurut status kepegawaian:
PNS : 80 orang
CPNS : 9 orang
THL : 23 orang
Jumlah : 117 orang
Menurut eselon (PNS):
Eselon 2 : 1 orang
Eselon 3 : 4 orang
Eselon 4 : 12 orang
Menurut Pendidikan (PNS dan CPNS):
S2 : 3 orang
S1 : 39 orang
D3 : 3 orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
SLTA : 45 orang
SLTP : 4 orang
SD : 23 orang
Menurut Golongan (PNS):
Golongan IV : 5 orang
Golongan III : 42 orang
Golongan II : 41 orang
Golongan I : 6 orang
2.) Perlengkapan
Perlengkapan atau sarana dan prasarana pada Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Surakarta berdasarkan Data Inventaris pada September tahun
2008 yang telah di rekap ulang oleh penulis terdiri dari tiga jenis inventaris
yaitu Kendaraan Operasional, Peralatan Elektronik, Mebelair dan
Perlengkapan.
B. DESKRIPSI PERMASALAHAN PENELITIAN
Deskripsi dan analisis penelitian dimaksudkan untuk menyajikan data
yang dimiliki peneliti yang sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji pada
peelitian ini yaitu strategi pengembangan wisata budaya sekaten Keraton
Surakarta Hadiningrat, faktor pendorong dan penghambat pengembangan wisata
sekaten, identitas yang di bangun dari wisata sekaten dalam mewujudkan kota
budaya di Surakarta. Adapun nama subjek penelitian dibawah ini merupakan
nama samaran dari informan.
1. Strategi Pengembangan Pariwisata Sekaten
Adanya globalisasi dan otonomi daerah membawa sebuah konsekuensi
logis bahwa tingkat persaingan semakin tajam, baik di tingkat regional, nasional,
dan internasional. Setiap daerah dituntut untuk lebih meningkatkan potensi-
potensi yang dimilikinya dalam rangka peningkatan perekonomian dan daya saing
daerah tersebut. Salah satu potensi yang sekarang ini yang baru dikembangkan
diberbagai daerah adalah pariwisata. Pariwisata merupakan fenomena yang sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
komplek dan sifatnya yang unik, karena pariwisata yang sifatnya multidimensional
dalam berbagai segi, baik fisik, sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pariwisata juga
menawarkan jenis produk dan wisata yang beragam, mulai dari wisata alam,wisata
budaya, wisata sejarah hingga wisata minat khusus.
Pariwisata sebagai bentuk pembangunan yang sangat menguntungkan,
untuk para pelaku wisata itu sendiri, akan tetapi bukan hanya untuk pelakunya
saja pembangunan di sektor pariwisata dapat menjadikan penumbuh
perekonomian masyarakat baik secara mikro ataupun sampai pada taraf makro
atau nasional. Dilihat dari segmen pasarnya, pariwisata sangat dinamis dan
semakin terdiferensiasi dan skala operasinya yang berjenjang. Mulai dari tingkat
komunitas, lokal, nasional, regional dan global. Selain itu pariwisata juga
menuntut fasilitas pendukung yang kompleks. Pariwisata juga memiliki
komponen yang sangat kompleks berhubungan denganh sebuah sistem yang lebih
besar (pembangunan nasional) dan subsistem-subsistem lain yang menjadi
komponennya. Diluar semua itu masih harus di tambah satu hal bahwa pariwista
memiliki kompleksitas yang tinggi dan dampaknya sangat pelik serta tidak mudah
diukur, tergantung pada konteksnya yang sangat beragam dan menuntut instrumen
mitigasi dampak yang sangat luas.
a. Sekaten sebagai Pariwisata
Dalam mengembangkan sebuah bentuk kepariwisataan sangat
membutuhkan berbagai perencanaan yang mantab agar pengembangan ini tepat
sasaran. Salah satu potensi wisata budaya yang ada di Keraton Surakarta
Hadingrat adalah sekaten. Meskipun bukan satu-satunya even budaya namun
sekaten menjadi salah satu even adat tradisi keraton yang cukup populer,
sehingga menjadi salah satu ikon acara adat tradisi di Keraton Surakarta.
Sekaten merupakan upacara adat tradisi yang diselenggarakan oleh keraton
Surakarta khususnya, seperti menurut EA bahwa
“Sekaten adalah kegiatan rutin dari keraton setiap tahun dalam rangka
mulud nabi. Di meriahkan oleh berbagai tontonan di keraton. Setahu saya
itu, kemudian ada yang jualan di malam harinya baik yang jualan mainan
sampai yang jualan makanan”.(W/EA/Museum Keraton surakarta/4/4/12)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Sekaten selalu dan rutin diselenggarakan tiap tahunnya, karena hal itu
adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh penerus budaya leluhur khususnya
keraton Surakarta dan masyarakat jawa pada umumnya. Even yang sekarang
ada dikeraton merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh pihak keraton.
Kegiatan tersebut merupakan kegiatan rutin yang telah menjadi kegiatan baku,
karena semua kegiatan tersebut berupa kegiatan adat budaya tradisi, dan yang
berkewajiban untuk menghidupkan itu adalah lembaga keraton, khususnya
Keraton Surakarta. Salah satunya adalah sekaten. Sekaten dilakukan rutin
setiap tahunnya dalam memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW,
dalam agama Islam. Pelaksanaannya bertepatan pada bulan Mulud pada
penanggalan jawa. Menurut MS bahwa:
“sekaten itu memang merupakan suatu serangkaian upacara adat untuk
merayakan kelahiran nabi Muhammad, khususnya pada pemeluk agama
islam sekaten merupakan hari besar,,,sekaten sebenarnya hanya
serangkaian acara selama 7 hari itu, pada awal munculnya gamelan dan
gamelan itu mulai di bunyikan sampai pada acara puncaknya yakni
keluar gunungan”.(W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Pendapat di atas hampir sama juga dengan pendapat informan kunci
yang merupakan kepala lembaga yang ada di Keraton Surakarta. Menurut WK
sekaten adalah
“Kegiatan tersebut merupakan kegiatan rutin yang telah menjadi kegiatan
baku, karena semua kegiatan tersebut berupa kegiatan adat budaya
tradisi, dan yang berkewajiban untuk menghidupkan itu adalah lembaga
keraton, khususnya Keraton Surakarta. Salah satunya adalah sekaten.
Sekaten dilakukan rutin setiap tahunnya dalam memperingati hari
lahirnya Nabi Muhammad SAW, dalam agama Islam”. (W/WK/Keraton
Surakarta/4/4/12)
Pendapat informan di atas merupakan jawaban dari apa itu sekaten.
Sekaten memang merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Keraton
Surakarta, karena sekaten merupakan acara adat tradisi yang diwariskan dari
leluhur Keraton Surakarta yang wajib dilaksanakan. Seperti yang di jelaskan
oleh informan kunci dalam penelitian ini WK bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
“Sekaten itu dilaksanakan pada bulan Mulud,,,karena penanggalan yang
dipakai adalah penanggalan jawa, mengapa? Karena gini,,, karena
keraton memiliki tanggung jawan untuk menghargai perjuangan nenek
moyang kita, menghargai apa yang telah diciptakan oleh leluhur, yang
telah berhasil menciptakan tahun jawa itu sendiri, siapa yang
menciptakan? Tahun jawa yang menciptkan adalah Kanjeng Sultan
Agung Prabu Hanyakrakusuma Narendra Mataram Islam, jadi tahun
Jawa sama dengan tahun Sultan Agung”. (W/WK/Keraton
Surakarta/4/4/12)
Informan kunci ini menambahkan bahwa:
“Bulan mulud merupakan bulan yang hanya ada dalam penanggalan jawa
tersebut, jadi karena keraton merupakan lembaga adat maka yang di
pakai juga penanggalan adat tersebut, yakni penanggalan Jawa, dan
penanggalan ini bukan hanya dipakai oleh keraton saja, tapi pada
umumnya, seluruh orang Jawa juga menggunakan penangggalan
ini”.(W/WK/Keraton Surakarta/4/4/12)
Sekaten merupakan pagelaran yang diselenggarakan guna
memperingati hari besar keagamaan, khususnya agama Islam yakni hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekaten dilaksanaakan pada bulan Mulud.
Karena sekaten merupakan acara adat tradisi Keraton Surakarta otmatis
penanggalan yang di gunakan adalah tahun Jawa. Hal ini di jelaskan oleh salah
satu informan kunci pada penelitian ini.
Seperti yang dijelaskan informan kunci bahwa sekaten juga ada
perjalanan sejarahnya yang seharusnya diketahui dan dimengerti oleh
masyarakat, bukan hanya pihak keraton saja. WK menjelaskan bahwa:
“Sebenarnya sekaten itu tidak hanya di Surakarta saja, awalnya sekaten
dilaksanakan di Demak, pada awalnya merupakan syiar agama,,, setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit terus ke Demak, di Demak masyarakat
masih menganut Hindu-Budha, waktu itu Kanjeng Sunan Kalijaga
mendapat petunjuk, pengembangan agama Islam bisa lancar harus
disaranai oleh gamelan, Di Demak ada gamelan sekaten yang bernama
Kyai Nagawilaga.
Sunan Klijaga mendapat petunjuk bahwa, 5 hari sebelum tanggal 12
mulud diadakan bunyi-bunyian gamelan, dan gamelan tersebut diletakan
di halaman masjid,,,setiap orang yang mau melihat, ketika masuk gapura
diwajibkan untuk membaca kalimat shahadat,,,otomatis,,,orang tersebut
masuk islam, terus, kemudian lama-kelamaan shyahadaten berubah
menjadi sekaten”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Karena setelah runtuhnya Demak, gamelan tersebut disimpan di Cirebon,
setelah Pajang tidak kocap, sampai ke pleret Mataram,,,yakni pada zaman
Sultan Agung, diadakan lagi, Sultan Agung membuat gamelan sendiri,
dari saat itu, maulud Nabi dijadikan hari besar, yakni hari pasoannanya
bupati-bupti pesisir, gamelan tersebut dinamakan Kyai Guntur Sari,
selama satu minggu, dan diakhiri tanggal 11 mulud kemudian pada
tanggal 12nya merupakan puncak acara, dengan adanya gunungan itu”.
(W/WK/Keraton Surakarata/4/4/12)
Sejarah sekaten yang telah mengalami perjalanan panjang sejak dari
kerajaan Demak pada waktu itu merupakan kerajaan Islam yang pertama di
tanah Jawa. Memang pada waktu itu mayoritas masyarakat Jawa masih
meganut agama Hindu-Budha, sehingga sekaten ini menjadi salah satu senjata
dalam syiar Islam pada waktu itu.
Sekaten saat itu tak lepas dari syiar Islam yang dilakukan para wali.
Ketika itu memang merupakan kecangihan atau kecerdasan dari para wali yang
membuat gamelan dalam menarik masyarakat untuk masuk menjadi Islam.
Syiar Islam pada saat itu memang masih menggunakan kearifan budaya lokal
dan itu masih terlaksanan sampai 200 tahun kemudian.
Sekarang sekaten menjadi salah satu objek wisata yang berada di
keraton, yang mampu menyedot banyak wisatawan yang mengunjungi sekaten
ini. Seperti yang di jelaskan oleh WK bahwa:
“pada dasarnya sekaten itu merupakan sebuah acara adat tradisi secara
turun menurun, jadi pada awalnya bukan sebagai kesengajaan menjadi
pariwisata, karena sebelum ada kepriwisataan sekaten itu sudah ada sejak
dulu, toh sekarang menjadi salah satu objek wisata yang dapat menyedot
banyak pengunjung ke Solo kan mas”(W/WK/Keraton Surakarta/4/4/12)
Dilihat dari segi historisnya memang keraton khususnya Surakarta
memiliki sejarah yang panjang dan sangat berharga. Oleh karena itu dengan
adanya potensi yang sangat besar ini dapat di jadikan salah satu kekuatan untuk
mengembangkan segi pariwisata, guna mendatangkan orang ke Solo, dan tak
hanya itu, dengan adanya pariwisata inilah pasti akan memberikan dampak
yang besar bagi masyarakatnya. Sekaten merupakan potensi yang sangat bagus
untuk menambah pesona wisata di kota Surakarta ini, karena dewasa ini wisata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
budaya menjadi tren dikalangan wisatawan baik mancanegara maupun
wisatawan domestik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sekaten merupakan kegiatan rutin yang
diselenggarakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat yang sifatnya tradisi
budaya guna memperingati hari besar keagamaan yakni memperingati lahirnya
Nabi Muhammad SAW, yang telah dilakukan dari zaman kerajaan Demak
sampai saat ini di Keraton Surakarta, serta sebagai potensi wisata yang
progresif di Solo ini.
b. Pengembangan Sekaten sebagai Pariwisata Religi, Budaya dan
Belanja
Paiwisata menjadi salah satu sarana dalam mngembangkan potensi
yang ada untuk dapat di jual atau dapat menarik orang untuk datang ke suatu
daerah atau tempat. Pariwisata juga mampu memberikan sokongan terhadap
daerah tersebut untuk mengembangkan daerah tersebut. Dengan kata lain
pariwisata sebagai salah satu jalan dalam pembangunan daerah. Akan tetapi
dengan adanya potensi tersebut harus dibarengi dengan upaya untuk
mengembangkan potensi pariwisata itu, agar potensi wisata tersebut dapat
dikemas sedemikian rupa agar dapat dinikmati oleh masyarakat.
Pengembangan sektor pariwisata ditujukan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan serta dapat memberikan manfaat terhadap pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Dengan mengembangkan sektor pariwisata ini juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pemerintah
terutama dari segi pembiayaan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.
Pariwisata dalam artian modern adalah merupakan fenomena dari zaman
sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa,
penilaian yang sadar dan menumbuhkan cinta terhadap keindahan alam dan pada
khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas
masyarakat manusia sebagai hasil daripada perkembangan perniagaan,
perdagangan serta penyempurnaan dari pada alat-alat pengangkutan, sehingga
dalam perjalannannya harus mengalami pengembangan secara mantab dan efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Dalam penelitian ini mengenai pengembangan sekaten sebagai salah
satu atraksi wisata di kota Solo di dapat data sebagai berikut:
“untuk wisata sekaten sendiri itu belum ada yang baku wisatanya seperti
apa,,,yang pasti sejak zaman dahulu sekaten itu hanya ada di masjid
agung saja,,,sekaten tidak lepas dari syiar keagamaan,tentunya islam
pada saat itu,,,dimana syiar keagamaan itu tidak lepas dari kearifan lokal
pada zaman itu,,,”.(W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Selama ini sekaten memang merupakan acara adat tradisi yang selalu atau rutin
diselenggarakan oleh Keraton Surakarta, yang sifatnya wajib dilaksanakan.
Secara turun-temurun acara seperti itu selalu dilakukan, hal ini untuk
menjunjung tinggi budaya leluhur. Seperti yang dijelaskan WK bahwa:
“ sekaten merupakan adat tradisi yang ada sejak dulu,,,dan kemungkinan
kecil untuk di ubah,,,atau sengaja di ubah dalam upacara adatnya ,
sehingga sejak dulu ya adat tradisi yang ada di dalam sekaten”.
(W/WK/Keraton Surakarta/4/4/12)
Selanjutnya DN juga mengungkapkan pendapatnya bahwa:
“sekaten itu kan merupakan suatu bentuk perayaan untuk memperingati
kelahiran Nabi gitukan,,,karena apa,,,keraton kan merupakan keturunan
atau penerus dinasti Mataram Islam otomatis masih menyelenggarakan
hal itu,,,dalam khasanah budaya sekaten kan merupakan suatu peristiwa
tradisi budaya yang sampai sekarang masih berjalan”(W/DN/10/4/12)
Dilihat dari pendapat informan di atas sekaten bukan merupakan acara yang
baru dibentuk dan diselenggarakan. Sekaten sudah ada sebelum negara ini ada,
jadi sekaten merupakan acara adat tradisi yang senantiasa diselenggarakan
untuk menjunjung budaya nenek moyang, bagi masyarakat Jawa pada
umumnya dan Keraton Surakarta pada khususnya.
Sekaten sekarang menjadi salah satu tujuan para wisatawan di kota
Solo khusunya pada bulan Maulud, karena pada bulan ini pasti akan ada
festival sekaten. Sekaten sangat perlu digarap agar bisa menjadi wisata andalan
atau bahkan menjadi ikon kota Solo. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu
informan kunci pada penelitian ini, MS bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
“pada saat itu adalah kerajaan Demak yang membuat gamelan,,,dimana
pada saat itu gamelan masuk masjid untuk syiar agama islam itu,,,lha
itulah canggihnya para wali sebagai pemuka agama pada saat itu,,,karena
mereka menggunakan kearifan kebudayaan setempat untuk menarik
masyarakat agar masuk islam...nah,,,itulah sekaten yang sebenarnya
belum digarap total oleh para pelaku yang memiliki wewenang,,,sekaten
nantinya menjadi ikon kota Solo,sebagai wisata religius,,,karena kalo kita
bicara mengenai wisata sekaten pasti kita akan bicara mengenai wisata
budaya,religius dan sampai ke wisata belanja,,,dan itu harus kita garap
bersama-sama,,,”.(W /MS/ Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Untuk mengembangkan sekaten agar bisa menjadi salah satu objek wisata yang
populer, sangat membutuhkan penggarapan yang mantab serta kontribusi dari
berbagai pihak manapun itu. Baik itu pemerintah, keraton sendiri ataupun
masyarakat dan para pelaku budaya dan pariwisata. MS menambahkan bahwa:
“sampai saat ini masih banyak orang yang mengatakan bahwa sekaten
kok hanya itu-itu saja,,, iya gini,,,kalo bicara sekaten itu hanya 7 hari
saja, dari keluarnya gamelan sampai puncak keluar gunungan
sekaten,,,acara sakral nya ya hanya 7 hari itu saja,,,kalo sebelumnya ada
acara, seperti pasar malemnya itu,,,hal itu keraton menamainya maleman
sekaten,,,kalo disini kan cuma 25 hari beda dengan jogja yang sampai 45
hari,,,ya seharusnya kita semua duduk bersama untuk membicarakan ini
bersama, karena apa? Nantinya kalo sekaten ini digarap saya yakin pasti
akan mendatangkan banyak dampak positif bagi kita semua, baik itu bagi
masyarakat, keraton, atau pun pemerintah,,,lha wong dari tukang parkir
sampai jasa penerbangan,misalnya gitu mas,,,pasti mendapat keuntungan
kok mas dari sekaten ini” (W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Semua pihak harus duduk bersama dalam merencanakan atau
menggagas sekaten ini. Arah dari pengembangan sekaten haruslah terarah, agar
apa yang hendak di capai akan menghasilkan sesuai dengan apa yang di
harapkan. Pengembangan sekaten yang sekarang ini dilakukan memang
belumlah maksimal, namun arah pengembangan sekaten diarahkan pada
ekonomi rakyat. Karena jika bicara mngenai pariwisata, pasti tidak lepas dari
dampak-dampak yang dimunculkan oleh kepariwisataan ini. Baik dampak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
ekonomis, sosial budaya, dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh MS
bahwa:
“kalo kita berbicara mengenai pariwista pasti kita juga akan berbicara
mengenai dampak ekonominya,,,karena pariwista buka hanya sekedar
jalan-jalan, menghabiskan uang saja, tapi bagaimana pariwisata mampu
menggerakan perekonomian masyarakat, khususnya lagi ekonomi
kerakyatan...” (W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Seperti yang dijelaskan oleh Pak DN bahwa:
”sekarang tradisis budaya itu menjadi sebuah daya tarik wisatawan,
kemasannya ya tradisi budaya itu sendiri, dari prosesi jamasan sampai
proses keluar gunungan dan gamelan, itulah yang menarik wisatawan,
secara keseluruhan sekaten ini yang menjadi daya tariknya adalah wisata
budaya, wisata ekonomi karena di alun-alun banyak pedagang, serta
wisata religi di masjid agung”(W/DN/10/4/12)
Pariwisata bisa menjadi penggerak perekonomian masyarakat, baik itu dari
yang terkecil sampai yang terbesar. Selanjutnya MS menegaskan bahwa:
“Konsep sekaten disini memang sangat mengedepankan konsep
merakyat,,,beda dengan jogja yang lebih mengusung konsep yang lebih
maju,,,atau dibuat seperti jakarta fair,,,kalo kita lebih menekankan pada
ajang promosi yang membuat sekaten menjadi seperti jakarta fair atau
yang lainnya,,,hal itu akan membunuh pedagang yang berada di strata
menengah ke bawah...”.(W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Sekaten di Solo merupakan sekaten yang masih mengedepankan
masyarakat kecil, sehingga seperti sekaten tahun ini yang masih saja seperti
yang biasanya. Banyak pedagang-pedagang yang berjualan serta mainan –
mainan yang kalo dilihat masih seperti aslinya, misalnya celengan masih dari
tanah dan lain sebagainya. Tambah KRM Mas Satriyo bahwa:
“di sekaten itu kita harus menguri-uri beberapa produk yang memiliki
filosofis dalam sekaten ini, yang sekarang ini sudah mulai
tergeser,,,contohnya celengan yang seharusnya dari tanah sekarang di
buat dari plastik,,,telur asin sudah di gambar, pecut juga begitu,,,nah
inilah yang membunuh industri kecil,,dan lama-kelaman tidak ada ruang
lagi bagi pernik-pernik yang memiliki filosofis tersebut“.
(W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Selanjutnya MS menambahkan bahwa:
“keraton masih berupaya untu mempertahankan itu,,,meskipun banyak
orang yang mencibir,,,akan tetapi disitulah tersimpan makna yang
besar,,,karena berorientasi kepada wong cilik...karena keraton itu tidak
bisa lepas dari masyarakat kecil, karena kebanyakan yang datang kesini itu
masyarakat kecil”. (W/MS/Pagelaran Keraton surakarta/5/4/12)
Pengembangan sektor sekaten mengarah pada pelestarian budaya asli
guna mempertahankan filosofi yang terkandung dalam pagelaran sekaten
tersebut. Sekaten juga dikembangkan kearah ekonomi rakyat, karena sebagian
besar pelaku wisata di sekaten ini merupakan kalangan menengah kebawah.
Hal itu akan berefek pada apa yang ditawarkan kepada masyarakat. WK
menjelaskan bahwa:
“ sekaten merupakan adat tradisi yang ada sejak dulu,,,dan kemungkinan
kecil untuk diubah,,,atau sengaja diubah dalam upacara adatnya,
sehingga sejak dulu ya adat tradisi yang ada didalam
sekaten”.(W/WK/Keraton Surakarta/4/4/12)
Selanjutnya MS menambahkan mengenai apa yang ditawarkan sekaten kepada
calon wisatawan untuk datang ke sekaten:
“wisata sekaten tentukan kita tahu, sekaten itu hanya kalo bicara sekaten
itu hanya 7 hari saja, dari keluarnya gamelan sampai puncak keluar
gunungan sekaten,,,acara sakral nya ya hanya 7 hari itu saja,,,kalo
sebelumnya ada acara, seperti pasar malemnya itu,,,hal itu keraton
menamainya maleman sekaten...hal-hal inilah yang bisa di tawarkan
kepada masyarakat untuk datang ke sekaten ini,,,maleman sekaten
manjadi daya tariknya,,,”. (W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Wakil ketua ASITA saat ini
bahwa:
“kombinasi dari ke tiga wisata tadi seperti wisata budaya, wisata
ekonomi dan tentunya wisata religius inilah yang dapat ditawarkan
kepada wisatawan khususnya disini ekonomi kerakyatankan, karena baik
yang berjualan maupun yang datang kemari adalah kalangan menengah
kebawah”.(W/DN/10/4/12)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Dari pendapat beberapa informan diatas dapat dilihat bahwa sekaten
memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan sekaten menjadi
destinasi wisata yang unggul di kota solo ini. Dengan kombinasi 3 wisata yang
disatukan dan dikemas menjadi wisata yang dapat menarik wisatawan untuk
datang.
Selanjutnya dari data yang ditemukan dilapangan menunjukan bahwa
adanya strategi pengembangan untuk membangun sekaten kearah yang lebih
kontributif. Karena kalo sudah sampai ke pariwisata, akan membahas
mengenai bagaimana mengemas wisata itu sendiri. Seperti pendapat salah satu
informan DN mengungkapkan bahwa:
“Ya mestinya kalo dari kaca mata pariwisata sekaten ini memang yang di
kembangkan adalah bagaimana kemasan sekaten ini bisa layak jual dan
layak di kunjungi oleh wisatawan baik wisatawan mancanegara ataupun
wisatawan domestik, pertama di ciptakan aksesbilitas dan kemudahan
yakni tidak ada copet ya tow,,,itu kenyamanan tow,,,yang ke dua
kemasannya, karena daya tarik itu berasal dari keotentikan atau
orisinilitas, yang ketiga mensinergikan kemasannya itu sendiri, misalnya
ada pameran dan berbagai sektor yang ada,,,kemudian yang tak kalah
pentingnya dalam pengembangan sekaten ini adalah bagaimana
mempromosikan sekaten menjadi atraksi yang sangat menarik,,,,7 hari itu
kan memang intinya kan,,,namun perayaannya bisa sebulan dua bulan,
sebenarnya banyak sekali peluang-peluang yang bisa di
kembangkan,,,sehingga sekaten itu tidak hanya sebagai kegiatan
budaya,tapi juga bisa menggerakan perekonomian masyarakat di tambah
lagi managemen yang baik bahwa perayaan ke depan keraton dan
mangkunegaran itu merevitalisasi penyelenggaraan,,,esensinya tetap
pelestarian, tetap kerakyatan tapi kemasanya harus lebih baik
lagi”.(W/DN/10/4/12)
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh MS bahwa
“untuk strategi pengembangan dari sekten sendiri ada beberapa cara
dalam mengembangkan ini,,,akan tetapi yang kita pikirkan adalah
bagaimana manarik orang untuk datang,,,kalo 7 hari terakhir memang
orang yang datang itu penuh sekali,,,luar biasa sekali orang yang
datang,,,akan tetapi bagaimana membuat yang 18 hari itu juga
laku,,,bagaimana membuat even yang dapat menyedot masyarakat untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
datang,,,karena begini kalo ada upacara adat semua sektor perekonomian
pasti mendapat rejeki,,,dari tukang parkir sampai perhotelan atau
penerbangan pun akan mendapat rejeki...”. (W/MS/5/4/12)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat bahwa dengan mengemas sekaten
lebih menarik lagi untuk mendatangkan wisatawan merupakan pengembangan
yang tepat, karena dengan hal itu sekaten dapat menjadi objek wisata yang
unggulan di Solo, akan tetapi tanpa mengurangi esensi dari perayaaan itu
sendiri, tidak mengubah orisinilitas dari sekaten itu. Membawa sekaten kearah
wisata budaya, religi dan sampai ke arah wisata belanja atau ekonomi.
Lebih lanjut lagi yang menjadi pertanyaan besar untuk melihat
bagaimana sekaten ini akan dibawa ke arah mana. Hal inilah yang menarik
juga untuk kita lihat. Pengembangan wisata khususnya wisata sekaten ini
sekarang baru direncanakan untuk menjadi salah satu wisata unggulan di
kawasan Solo raya, bahkan sampai pada tinggkat naisonal. Hal itu seperti yang
diungkapkan MS bahwa:
“sebenarnya tujuan dari pengembangan ini itu apa, yang pertama
pastinya, upacara adat itu wajib untuk dilaksanakan, kita melaksanakan
hal itu di dasari atas menjunjung tinggi budaya nenek moyang kita,,,yang
kedua pastinya kalo kita berbicara wisata pasti akan berdampak
ekonomisnya,,,untuk menggerakan ekonomi kerakyatan tadi...kemudian
adanya inovasi-inovasi pada sekaten itu sendiri,,,misalnya saja pameran
didalam,,,setiap tahunnya kita ganti-ganti, dan tahun ini,sekaten yang
kemaren kita tampilkan foto-foto atau tempat-tempat yang ada di
keraton,hal ini di tujukan agar masyarakat yang melihat juga memiliki
rasa ingin tahu yang kemudian akan berdampak pada kunjungan
masyarakat ke keraton juga”. (W/MS/Pagelaran Keraton
Surakarta/5/4/12)
Pendapat MS hampir sama denga pendapat DN bahwa sekaten bisa di
kembangkan menjadi festival Islam terbesar di Indonesia:
“kalo sekaten itu tidak di kembangkan, yang 7 hari itu memang itu
merupakan tradisi, dan tidak bisa di tambah atau dikurangi, ya memang
itu ,,,esensinya samakan prosesi dari dalam keraton sampai ke masjid
agung, kemudian ada gunungan,,,hanya yang sangat bisa di kembangkan
adalah perayaannya,,,yak malemannya itu,,,bagaimana pameran di
pagelaran ini bisa mengeplorasi tentang produk unggulan wisata yang
ada di Indonesia,,,kita bicara Indonesia,,,karena sekaten itu berpotensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
sebagai daya tarik wisata yang sifatnya nasional. Nah,,,Indonesia kan
termasuk negara OKI, negara Islam terbesar di dunia,,,apa ada sekarang
ini festival islam di Indonesia? Nah sekaten ini memang layak
dikembangkan ke kancah nasional”.(W/DN/10/4/12)
Pengembangan sekaten kearah yang lebih besar menjadi wisata yang
bukan hanya milik Solo, tapi bisa menjadi milik Indonesia dan DN yakin akan
hal itu bisa di wujudkan asalkan dengan managemen yang baik dalam segala
sektor. Bedasarkan beberapa pendapat yang mengungkapkan mengenai
pengembangan sekaten ke arah yang lebih maju lagi, sehingga dapat di
simpulkan bahwa pengembangan sekaten agar bisa menjadi salah satu bentuk
pariwisata yang bagus dan potensial dapat dilakukan dengan mengemas
sekaten menjadi suatu yang menarik masyarakat. Pengemasan sekaten menjadi
3 yakni wisata religi, wisata budaya dan pastinya wisata belanja atau ekonomi.
Serta dikemas didalam perayaan maleman sekaten tersebut yang tidak
mengurangi esensi dari upacara adat tradisinya.
2. Faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam pengembangan wisata
sekaten
Arah dalam mengembangkan sebuah atraksi budaya menuju sebuah
atraksi wisata yang menarik , tidak akan lepas dari berbagai faktor-faktor yang
mempengaruhi hal itu, baik itu dalam hal yang bisa mendorong untuk menjadi
pengembang atau bahkan menjadi penghambat dari pengembangan sekaten itu
sendiri.
a. Faktor Pendorong Pengembangan Sekaten di Surakarta
Sekaten merupakan salah satu potensi wisata yang bisa dikembangkan
kearah yang lebih maju dan besar lagi, karena di dalam potensi sekaten ini
banyak terdapat keunggulan-keunggulan, yang jika bisa digali dan
dimanagemen dengan baik, akan menadatangkan banyak hal yang
menguntungkan baik bagi keraton sebagai pemangku adat, pemerintah maupun
bagi masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh MS bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
“kalo faktor kekuatan sebenarnya banyak mas...yang pertama kita sudah
punya keraton itu sendiri”.(W/KMS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Pendapat MS hampir sama dengan pendapat dari DN bahwa:
“saya lihat di Solo ini lebih cenderung ke pada kalangan menengah ke
bawah, saya tidak bisa lagi menemukan gerabah di Jogja, tapi di Solo
masih banyak, itu salah satu yang menjadi kekuatan sekaten di Solo,
kemudian ada jenang itu masih banyak ditemukan di Solo, padahal itu
dari Jogja, kemudian kekuatannya lagi yakni UKM di Solo masih
berperan aktif terlibat dalam sekaten, dan kita harus memanageman itu
lebih baik lagi,,,kemudian dengan adanya festival ini bisa jadi sebagai
alat pemersatu berbagai golongan kan ”.(W/DN/10/4/12)
Kriteria yang unik yang masih dimiliki oleh sekaten di Solo lah yang
menjadi faktor pendorong pengembangan ini. Ditambah lagi dengan konsep
ekonomi kerakyatan yang diterapkan di sekaten Solo, semakin menambah nilai
plus dari sekaten di Solo itu sendiri. Lebih lanjut lagi bahwa bukan hanya yang
sekarang ada di sekaten namun kita bisa melihat bagaimana peluang yang
dapat dijadikan pemacu pengembangan sekaten itu sendiri. Seperti yang di
jelaskan oleh DN bahwa peluang kedepan untuk sekaten ini luar biasa sekali:
“untuk peluang sebenarnya sekaten ini memiliki peluang yang cukup
besar ke depanya, karena di Indonesia belum ada festival Islam,
kemudian kedepannya juga bisa di kembangkan untuk wisata
belanjanya, karena ada pasar malamnya itu, kemudian harus ada
penyamaan persepsi antara keraton yang punya adatnya, pemerintah
dan masyarakat supaya penyelenggaraan ini memang satu;esensi
penyelenggaraan itu mengena, kedua; tingkat partisipasi masyarakat
itu ada dan perlu ditingkatkan lagi, seperti bagaimana kedepannya
masyarakat Solo, atau perkelurahan bisa menampilkan potensi-potensi
unggulannya,,, saya juga bisa melihat sekaten ini bisa menjadi atraksi
wisata budaya yang berkelas internasional yang di punyai
indonesia,,,banyangkan kita kalo bicara sekaten kita bicara wali songo
lho, bicara syiar Islam,,,bagaimana menjadikan sekaten ini jadi
festivalnya islam di Indonesia ini,,,coba banyangkan kerajaan –
kerajaan Islam di Indonesia terlibat dalam festival ini,,,akan di
libatkan musium-musium islam, pondok pesantren, melibatkan
komunitas Islam di Indonesia, jadi kedepan sekaten bisa menjadi syiar
islam dalam dimensi kekinian, dan harus melibatkan steakholder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
nasional,dengan ini semua kan mungkin tow sekaten di dedikasikan
sebagai even internasional,,,seperti halnya festival Cheng ho,,,nah di
sekaten nanti bisa saja ada sinergi antara Jogja, Solo dan Cirebon kan
sama menyelenggarakan sekaten,,,kalo dijual kemasannya bisa jadi
touring even”, (W/DN/10/4/12)
Selanjutnya MS menambahkan bahwa
“peluang kedepan sebenarnya sangat bagus,,,asalkan mas,,,pemerintah
daerah itu juga ikut duduk bersama mengoptimalkan cagar budaya
ini,,,bersama-sama menginvebtaris apa kendala-kendalanya agar sekaten
bisa tetap maju dan mungkin jadi ikonnya Solo...kedepannya kita cuma
akan menata lagi saja mas keberadaan pedagang-pedagang itu, kami juga
mendidik mereka,agar mereka tidak manja kedepannya...”
(W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta5/4/12)
Memang peluang di dunia pariwisata sangat besar sekali untuk
sekaten ini, dengan pengembangan yang tepat serta managemen yang baik hal
ini bisa diwujudkan dengan sinergitas pemerintah dengan segala kontribusinya.
Dari pendapat di atas, faktor pendorong dari pengembangan sekaten meliputi
1.) Adanya potensi keraton yang menjadi pemangku adat atau yang punya
upacara itu sendiri.
2.) Peran serta masyarakat baik dalam partisipasi wisatawan maupun menjadi
penyokong berjalannya sekaten tersebut, dalam artian sebagai pedagang
yang berperan aktif di sekaten.
3.) Barang-barang yang memilki filosofi di sekaten masih banyak ditemukan
di sekaten seperti gerabah dan sebagainya dapat menggerakkan UKM yang
berkonsentrasi di hal itu.
4.) Peluang ke depannya yang bisa menempatkan sekaten menjadi salah satu
destinasi wisata budaya religi dan ekonomi yang bersifat internasional.
5.) Sekaten juga bisa menggerakan perekonomian masyarakat menengah
kebawah.
6.) Secara otomatis pelestarian budaya akan bisa dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
b. Faktor Penghambat Pengembangan Sekaten di Surakarta
Selain faktor yang mendorong, pengembangan sekaten juga terdapat
beberapa faktor yang menghambat pengembangan tersebut. Dalam
pengembangan wisata faktor penghambat bisa menjadi sebuah stagnanisasi
bagi destinasi wisata itu sendiri, dimaksudkan destinasi wisata tersebut tidak
mampu berkembang dengan maksimal. Padahal disisi lain, potensi wisata
tersebut memiliki daya tarik yang bagus untuk dijadikan destinasi wisata.
Faktor penghambat dalam pengembangan sekaten terletak pada
kerjasama dalam pengeloalaan. Seperti yang dikatakan MS bahwa:
“untuk kelemahan tentunya kurang optimalnya pelaksanan
sekaten,,,kepedulian pemerintah serta pelaku wisata yan masih relatif
rendah, dan tidak adanya komunitas budaya yang membrakdon hal
ini..”(W/MS/Pagelaran Keraton Surakarta/5/4/12)
Selanjutnya pendapat dari informan kunci yang hampir sama yang menyatakan
bahwa:
“kelemahan mungkin dari pendanaan yang cukup besar, akan tetapi
dengan tekad untuk melestarikan tradisi kita selalu bisa
menyelenggarakan hal ini, dengan ramai”.
(W/ WK/ Keraton Surakarta/4/4/12)
Pendapat WK mirip dengan pendapat dari DN yang mengungkapkan bahwa
antara pendanaan dan regulasi sangat mempengaruhi pengembangan sekaten
ini. DN mengungkapkan bahwa:
“faktor kelamahan mungkin sebenarnya bisa di kurangi atau bahkan bisa
di hilangkan, seperti pendanaan, untuk sekaten itu kan pendanaan tidak
ada, dana berasal dari pedagang itu, sehingga outputnya ya pasti berbeda
dengan yang punya dana, kemudian kurangnya sinergi pemerintah utuk
mengelola sekaten ini, karena selama ini hanya keraton saja yang
mengelola acara ini, ya kedepannya regulasi nya harus di benahi lagi
dalam mengelolaan sekaten ini”.(W/DN/10/4/12)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor
penghambat dari pengembangan sekaten meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
1.) Masalah pendanaan yang masih kurang maksimal, karena festival sekaten
membutuhkan biaya yang cukup besar.
2.) Pengelolaan yang di kelola oleh keraton sendiri
3.) Manajemen yang kurang maksimal, karena manajemen festival masih
tertutup. Maksudnya selama ini hanya orang dari dalam keraton saja yang
menjadi panitia pengelola sekaten.
4.) Regulasi kebijakan dari pemerintah kota yang kurang mendukung
pengembangan sekaten sebagai pariwisata yang lebih maju lagi.
3. Perwujudan Solo sebgai Kota Budaya
a. Arah Perwujudan Solo sebagai Kota Budaya
Masyarakat dalam proses kehidupannya tidak terlepas dari proses
pencarian dan pembentukan identitas atau citra, baik identitas sosial, identitas
kelompok, identitas daerah/kota maupun identitas budaya. Identitas sosial
merupakan suatu proses, bukan tindakan atau perilaku. Identitas dikatakan
sebagai sebuah proses dan sesuatu yang dibentuk. Kemudian muncul pula
adanya identitas etnis atau budaya yang berada dalam lingkup kebudayaan
lokal. Identitas budaya menjadi isu yang banyak diperbincangkan dewasa ini.
Identitas budaya itu terwujud sebagai akibat dari politik nasional dan sebagai
dampak dari globalisasi. Politik nasional yang melibatkan seperangkat
pemerintahan menjadi faktor terbentuknya identitas budaya, semisal slogan
Bhineka Tunggal Ika sebagai pengikat suatu bangsa yang terdiri dari berbagai
kelompok etnis.
Hal itu pun terjadi disalah satu kota di Indonesia ini, tepatnya di Kota
Solo. Solo atau Surakarta menjadi salah satu kota yang baru berkembang ke
arah kota maju, serta mengembangkan konsep kota yang bernuansakan budaya.
Sering kita dengar dengan sebutan Solo kota budaya. Banyak masyarakat yang
masih mempertanyakan kalimat ini, seperti halnya peneliti sendiri, sehingga
masalah ini sangat menarik untuk dilihat. Solo kota budaya apakah benar-benar
sebuah cerminan semangat kota Solo yang sudah lama di kenal sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
pusatnya kebudayaan Jawa, ataukah hanya sebuah komodifikasi saja untuk di
jadikan branding sebuah kota yang besar kaitannya dengan segi ekonomis.
Seperti yang dikatakan oleh DW. Informan berasal dari kota
Semarang, yang sedang jalan-jalan di kota Solo ini,mengatakan bahwa:
“menurut saya ya,,,kota budaya itu kota yang mengedepankan sisi
budaya yang ada di kota tersebut, dan untuk saat ini memang sedang di
galakan ,khususnya di solo ini, saya lihat di media-media masa,
khususnya koran”.(W/DW/4/4/12)
Selanjutnya Ea yang sedang menikmati benda – benda pusaka di Museum
Keraton Surakarta menuturkan bahwa:
“kota budaya itu kota yang mempertahankan segi-segi budayanya,akan
tetapi juga mengangkat berbagai potensi budaya yang ada di kota
itu”.(W/EA/4/4/12)
Kota budaya dapat dikatakan sebagai eksistensi sebuah kota dengan
mengangkat segi-segi budaya yang ada di kota tersebut, sehingga kota Solo
dapat dilihat sebagai kota budaya. Selanjutnya apa hanya sebatas
mempertahankan serta mengangkat budaya saja, informan kunci berikutnya
menambahkan bahwa:
“sejak dulu Solo tu kan sudah kota budaya, yang menjadi identitas kota,
karena apa, seluruh kegiatan masyarakat solo tak lepas dari budaya”.
(W/KK/2/4/12)
Menurut pendapat KK kota budaya di Solo ini bukan hanya sekedar identitas
saja, namun sudah menjadi aktivitas masyarakat Solo yang tak lepas dari
budaya. Menurut pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kota budaya adalah
kota yang masih mempertahankan segi-segi budayanya baik dalam kehidupan
sehari-hari masyarakatnya, sehingga budaya tersebut mampu mengangkat
identitas kota sebagai kota budaya, khususnya di kota Solo.
Lebih lanjut lagi, sebenarnya kota budaya ini mau dibawa kemana?,
dan bagaimana dampak-dampak yang di timbulkan dari hal ini serta apa saja
yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Hal inilah yang kemudian menarik
untuk dilihat, mau dibawa kearah mana Solo kota budaya ini. MS berpendapat
bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
“sebenarnya yang belum saya pahami itu mengetahui definisi kota
budaya sendiri oleh pemerintah, Solo sebagai budaya itu yang apa?,yang
bagaimana?, kalo bicara Solo sebagai budaya,,,kalo bicara budaya itu kan
besar ya mas,,,utuh,,,kalo menurut saya kalo kita bicara mengenai
budaya,kita ndak bisa lepas dari keraton dan Mangkunegaran,,,ya
kan,,,nggak mungkin Wonogiri bikin kota budaya,,,”.(W/MS/5/4/12)
Pendapat MS mirip dengan pendapat WK yang mengatakan bahwa
untuk mewujudkan kota budaya itu konsekwensinya luas sekali.
Selanjutnya WK mengemukakan pendapatnya mengenai kota budaya
bahwa:
“kalo menurut saya kota budaya itu harusnya bukan hanya memiliki dan
bernamakan,,,akan tetapi ada konsekwensi yang lebih luas dari itu, yaitu
melestarikan, menghidupi dan melindungi aset budayanya, akan tetapi
selama ini belum terwujud secara penuh...kalo mau mewujudkan Solo
sebagai kota budaya,,,ya pangkal budayanya itu di pelihara, bukan hanya
maunya tok...kan gitu”.(W/WK/4/4/12)
Berdasarkan kedua informan ini dapat disimpulkan bahwa arah dari
kota budaya itu belum jelas, apa yang mau diangkat sebagai kota budaya. Hal
ini dikarenakan bukan hanya keinginan saja dalam mewujudkan kota budaya
ini akan tetapi caranya untuk menuju ke arah itu, serta konsekuensi yang
mencakup pelestarian cagar budaya ini harus benar-benar dilaksanakan.
Selanjutnya MS berpendapat mengenai arah dan apa yang seharusnya
dilakukan dalam mewujudkan kota budaya ini.
“ nah inilah mas yang belum dipahami, belum ada definisi yang jelas
mengenai solo kota budaya itu yang seperti apa, mau di bawa
kemana,tempo dulu atou yang bagaimana,menurut saya itu hanya parsial
saja,,,apakah dengan city walk, ornamen batik yang dianggap menunjang
hal itu, tapi apakah dengan batik bisa menuju ke kota budaya, di kota –
kota lainpun juga banyak batik, Pekalongan lebih gila lagi.. “arah dari
kota budaya inilah yang menurut saya belum jelas,mau dibawa kemana
solo ini, seharusnya kan kalo mau membuat kota budaya pastinya harus
ada karakteristik yang menjadi ikonnya Solo yang tidak ada di kota
lainnya...Yang seperti saya katakan tadi mas, adanya keraton dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Mangkunegaranlah sebenarnya jika dikelola dengan seksama pasti akan
terwujud kota budaya itu...”.(W/MS/5/4/12)
Menurut pendapat MS ini, harus ada kerjasama yang sinergik, antara pelaku
budaya serta pemerintah. Karena pelaku budaya khususnya disini, Solo punya
keraton, pemerintah seharusnya hanya menonjolkan salah satu karakteristiknya
saja yang belum ada di kota lainnya. Adanya sumber kebudayaan seperti
keraton, menjadi modal utama bagi perwujudan kota budaya ini. Pendapat WK
hampir mirip dengan pendapat di atas, bahwa:
“isi pokok kota budaya itu adalah sendi-sendi budaya di kota tersebut
harus hidup,,, seperti bangunannya sampai ke perilaku
masyarakatnya,,,kalo tidak ya gak bakal terwujud... maunya kan kota
budaya,,,tapi kalo saya, tidak paham mau di arahkan kemana,,,akan tetapi
jika dalam bentuk promosi saja,,,kalo tidak ada upaya sinergitas nya ya
sulit juga untuk menjadi kota budaya,,,kan tanpa keraton dan pura
Mangkunegaran, Solo itu tidak ada artinya”.(W/WK/4/4/12)
Pendapat WK hampir sama dengat pendapat DN. Informan yang
berasal dari Buluwarti ini mengemukakan pendapatnya bahwa:
“kalo saya melihatnya bukan kulitnya ya,,,Solo kota budaya kan
sebenarnya itu ruh yang melekat di sendi-sendi kehidupan,,,yang simpel
adalah bagaimana budaya solo yang ramah, santun sebagai orang jawa
yang berjiwa jawa,,,bagi saya solo kota budaya itu lebih dari sekedar
bagaimana kita bisa hidup rukun, karena rukun ini esensinya dari budaya,
ini yang aslinya,,,tapi kalo kita harus pakai pakaian jawa, atau kirab, itu
hanya kulitnya saja untuk mempertegas, memperkuat dengan
memunculkan ikon-ikon budaya, dan ini kan juga mengerah pada
pelestarian tadi,,,yang terpenting itu bahwa bagaimana mentalitas kita
untuk lebih menjiwai sebagai orang jawa itu”.(W/DN/10/4/12)
Berdasarkan pendapat kedua informan tersebut dapat dilihat bahwa harus ada
integritas pemberdayaan antara pemangku adat budaya yakni Keraton
Surakarta dan Mankunegaran dengan pemerintah Kota, dalam mewujudkan
kota budaya ini. Serta sekarang ini hanya kulitnya saja yang dimunculkan,
padahal bukan itunya yang seharusnya dimunculkan dalam Solo kota budaya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
tapi seperti pendapat DN tadi, mentalitas manusianya yang harus memunculkan
budaya itu sendiri.
Singkatnya, dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
kota budaya belum sepenuhnya diwujudkan, banyak berbagai aspek yang
belum digarap oleh pihak yang berwewenang dalam mengaktualisasikan nilai-
nilai serta norma-norma yang terkandung dalam kota budaya itu sendiri.
Memang sejak dahulu Solo merupakan kota budaya, yang memiliki nilai-nilai
yang terkandung didalamnya, sehingga dengan konsep kekinian diharapakan
nilai-nilai yang terkandung didalam kota budaya akan memberikan spirit atau
semangat bagi masyarakat agar nilai-nilai budaya tersebut terinternalisasi
kedalam tubuh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut nilai-nilai kota budaya
akan dijunjung tinggi serta diaplikasikan didalam mental serta perilaku sehari-
hari.
b. Sekaten sebagai Sarana Aktualisasi Kota Budaya
Kota Budaya tak lepas dari budaya yang ada di sebuah kota tersebut,
yang tercermin dari aktivitas yang dijalankan masyarakatnya sehari-hari. Salah
satunya adalah sekaten. Sekaten merupakan pagelaran adat tradisi yang di
selenggarakan oleh Keraton Surakarta untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Acara ini merupakan perwujudan dari tata-kelakuan
masyarakat yang masih menjujung tinggi nilai-nilai budaya itu sendiri.
Lebih lanjut perwujudan kota budaya bisa dilakukan dengan hal-hal
yang sifatnya seperti sekaten ini. Seperti pendapat WK mengenai sekaten
sebagai salah satu wujud kota budaya:
“mungkin saja,,,silahkan kalo mau menjadikan solo kota budaya, asalkan
harus konsekwen saja,,, itu yang kaitannya dengan income,,,akan tetapi
upacara adat disini sudah terkenal, untuk mau di apakan ya terserah ndak
pa,,,apalagi untuk menjadikan solo kota budaya,,,ya silahkan saja,,,”.
(W/WK/4/4/12)
WK sangat mendukung sekali jika sekaten dikelola dengan baik serta dijadikan
sebagai perwujudan kota budaya, menurut beliau yang terpenting tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
menggeser makna sekaten itu sendiri yang telah menjadi acara adat tradisi, baik
bagi masyarakat pada umumnya atau bagi keraton Surakarta pada khususnya.
Sedangkan menurut MS upacara adat itu cagar budaya dan modal
kulturalnya:
“iya pastinya mas,,,sekaten kan termasuk cagar budaya, kalo di kelola
dengan baik pasti sekaten merupakan salah satu nya yang menjadi ikon
solo ini”. (W/MS/5/4/12)
MS beranggapan bahwa perwujudan kota budaya harus berangkat dari
sumberdaya budaya yang dimiliki, salah satunya sekaten yang sudah terbukti
menjadi salah satu ikon acara budaya di Solo ini.
Selanjutnya DW yang memandang bahwa salah satu pembentuk kota
budaya adalah lewat upacara-upacara adat tradisi:
“tolok ukurnya ya seperti kegiatan yang merupakan upaya pelestarian
budaya, seperti bangunan-bangunannya, keraton di ekspos ke luar, ada
festival-festival kebudayaan, dan seperti sekaten kan juga merupakan
sebuah pencerminan dari kota budaya di Solo ini, menurut saya
gitu,,,”.(W/DW/24/4/12)
Pendapat diatas hampir sama dengan pendapat DN yang mengungkap
bahwa sekaten itu sangat bisa untuk mewujudkan kota budaya di Solo ini. DN
mengungkapkan bahwa:
“sebetulnya sangat bisa ya,,,kalo di sekaten itu kan banyak yang bisa kita
lihat dan resapi serta di jiwai filosofi-filosofi yang ada, karena acara itu
kan merupakan proses budaya sampai kita sekarang ini, kemudian
perayaannya,,,itu bisa menjadi penyadaran bahwa begitu besar arti dari
prosesi itu, misalnya saja endok kamal, kalo kita kupas maknanya bisa
menjadi tuntunan dalam kehidupan berbudaya, kinang, celengan, pecut,
secara langsung kan itu,,,selain kita datang untuk tahu budaya, kita di
sana bisa belajar mengenai religi,,,trus kemudian dari keraton kita
mengerti sejarah perjalanan manusia berbudaya, nah itu menurut saya
bisa menghantarkan seseorang untuk mengerti budaya, kemudian lebih
bagus lagi jika bisa di pahami dan di jalankan dalam kehidupan sehari-
hari”. (W/DN/10/4/12)
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa adanya
potensi sumber budaya yang menjadi cagar budaya dalam hal ini adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
upacara adat tradisi sekaten yang sangat bisa dijadikan media untuk
mewujudkan Solo kota budaya, karena Solo kota budaya bukan hanya sebatas
pemakaian baju yang menyimbolkan budaya, lebih pada perwujudan mental
dan perilaku masyarakatnya. Salah satunya adalah sekaten, sekaten merupakan
culture value system bagi masyarakat Solo. Sekaten mampu memberikan spririt
yang berupa tuntunan dalam kehidupan yang mengarahkan manusia untuk
selalu berbudaya, berperilaku baik dan sesuai dengan tuntunan ajaran
agamanya.
c. Promosi Solo sebagai Kota Budaya
Promosi merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam
membentuk citra kota. Khususnya kota Solo, peran promosi yang dilakukan
Dinas Kebudayaan dan Pariwista kota Surakarta menjadi sangat penting dalam
mewujudkan Solo Kota Budaya itu sendiri. Dengan adanya promosi baik itu
secara nasional dan internasional akan membawa pengaruh yang luar biasa.
Potensi budaya yang ada saat ini di Solo menjadi sumber kekuatan
dalam mengembangkan Solo kota budaya. Even-even budaya menjadi daya
tarik tersendiri bagi wisatawan untuk datang ke Solo, salah satunya sekaten,
dapat dilihat bahwa sekaten mampu menyedot animo masyarakat untuk datang
ke Solo. Dengan ini dapat dilihat bagaimana sekaten dapat membentuk Solo
sebagai kota budaya.
Berikut adalah pendapat informan kunci KK, yang menjelaskan
menurut pendapatnya
“Untuk promosi, kita punya kalender event tahunan, kalende even ini
berupa deretan agenda atau kegiatan yang ada di kota solo dalam satu
tahun. Selain itu, setiap kita dinas keluar agenda kita bawa agar di
perkenalkan di luar”.(W/KK/2/4/12)
Lebih lanjut, pendapat KK hampir sama dengan pendapat BS yang
menjelaskan bahwa
“Kami punya kalender even,,,kalender even ini ada di web site,,,di koran,
juga di media elektronik,,,ya perannan dari kalender even ini cukup besar
untuk mempromosikan even-even yang akan di selenggarakan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
solo,,,dan itu sebagian besar adalah even yang bernuansa budaya,,,seperti
SBC, Solo Menari, Sekaten dan lain-lain mas...”.(W/ BS/2/4/12)
Menurut pendapat yang diungkapkan informan di atas menunjukan dalam
promosi produk wisata yang dimiliki kota Solo sudah terstruktur dalam
kalender even yang berisikan sederetan jadwal even kota Solo dalam satu
tahun. Salah satu agendanya adalah sekaten, meskipun secara pengelolaan
dipegang oleh pihak keraton namun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta juga memasukan sekaten dalam serangkaian even di kota Solo.
Seperti yang dijelaskan oleh KK bahwa:
“ tugas dari Dinas Pariwisata dalam sekaten itu tidak ada, karena apa,
sekaten yang mengelola itu pihak Keraton sendiri, kalo dinas Cuma tahu
saja, ketika rapat dinas ya ikut dalam rapat, tapi tidak mengelola. Dinas
Cuma membrikan hibah atau bantuan berupa dana untuk keraton, itu
sifatnya universal, tidak untuk salah satu acara saja, tpi untuk semuanya,
silahkan keraton yang memanfaatkan itu. Untuk sumbangsih, kita hanya
melakukan promosi saja, agenda keraton kami masukan dalam kalender
event kota solo. Akan tetapi pelaksanaan ya keraton”.(W/KK/2/4/12)
Selanjutnya pendapat yang hampir sama, BS menjelaskan
pendapatnya mengenai pengelolaan sekaten bahwa:
“Kalo bicara sekaten mas,,, sekaten itu secara pengelolaan di kelola oleh
keraton sendiri,,dari segala hal,,,semuanya,,,pemerintah hanya memberi
dana hibah atau bantuanlah mas kepada pihak keraton,,,tapi sifatnya
universal,,,bukan hanya untuk sekaten saja,,,mungkin untuk
pengembangannya, pemerintah atau khususnya dinas pariwisata hanya
sebatas mempromosikan segala bentuk acara keraton, salah satunya
sekaten,, tapi untuk kegiatannya sepenuhnya pihak
keraton”(W/BS/9/4/12)
Dari kedua informan dapat terlihat bahwa Dinas Pariwisata kota Surakarta
sampai sekarang ini hanya bekerja sebagai promosi saja kaitannya dengan
upacara sekaten, belum ada kerja sama yang sinergik dalam pengelolaan
sekaten.
Tidak jauh berbeda dari keterangan informan di atas, informan lain
menganggap belum ada kerjasama antara keraton dan pemerintah dalam
pengelolaan sekaten. Seperti yang dipaparkan MS bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
“Pemerintah tu kayaknya masih setengah-setengah dalam mengelola
keraton dan mangkunegaran”.(W/MS/5/4/12)
Dapat dilihat dari beberapa informan bahwa sekaten belum dikelola
secara baik, hanya pihak tertentu yang mengelola sekaten. Dengan kurang
maksimalnya pengelolaan sekaten ini maka apa yang ditampilkan di Sekaten
pun kurang sempurna.
Selanjutnya dapat dilihat bagaimana managemen promosi yang di
gunakan pemerintah dalam mewujudkan Solo kota budaya. Kaitannya dengan
sekaten; bagaimana nanti kita dapat melihat apa yang dilakukan pemerintah
dengan menggunakan sekaten untuk mewujudkan Solo kota budaya. Menurut
BS, promosi menuju kota budaya ditujukan pada pemberian spririt kepada
masyarakat:
“iya gini mas,,,promosi merupakan salah satu sektor penting juga untuk
mengangkat produk yang kita ciptakan , dalam mewujudkan solo kota
budaya ada beberapa strategi, salah satuny ini, kalender even yang
memuat even-even yang akan di selenggarakan di Solo dalam satu tahun,
kemudian dengan slogan-slogan, Solo spirit of Java, ada Solo pass Solo
future, ada lagi tahun ini Solo nyaman Solo berkesan,,,hal ini diarahkan
untuk memberikan spirit-spirit kepada kita, masyarakat juga”.
(W/BS/9/4/12)
Selanjutnya pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Bu KK bahwa
“adanya kalender even untuk promosi bahwa solo itu punya kegiatan
budaya. Selain itu, even-even itu sendiri sebenarnaya sebagai wadah
untuk para pelaku budaya untuk tampil di kenal
masyarakat”.(W/KK/2/4/12)
Berdasarkan penuturan kedua informan ini terlihat bahwa melalui
even-even budaya serta slogan – slogan ini diharapkan dapat menumbuhkan
representatif bahwa Solo merupakan kota yang masih mempertahankan
kebudayaannya. Selanjutnya Kepala bidang pemasaran Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Surakarta menuturkan terkait dengan strategi promosi bahwa:
“kemudian untuk mewujudkan ini semua kita memiliki 3 pilar dalam
manajemen promosi yakni 1. Manajemen brand, 2. Manajemen product,
3. Manajemen costumer. Ketiga pilar ini yang akan membragdown
pembentukan kota budaya ini.”(W/BS/9/4/12)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Lebih lanjut lagi beliau menjelaskan mengenai 3 pilar ini bahwa kebijakan ini
mengarah pada:
“untuk arah promosinya kita mengecu pada 3 pilar tadi,,,yang pertama
manajemen brand,,,ini bagaimana membuat Solo ini menjadi terkenal,
membuat Solo dapat di kenal masyarakat luas, salah satunya dengan
even-even yang bernuansakan budaya itu, karena apa, kita membangun
berdasarkan potensi yang ada, dan di Solo ini potensinya apa, budaya kan
yang paling besar. Yang ke dua managemen pruduk, ini kaitannya
dengan produk-produk budayanya, Solo kota budaya, spirit of Java di
sini akan membawa kita ke pasar yang lebih luas, kemudian yang ke tiga
ada manajemen costumer, setelah 2 hal tadi di depan tercapai baru masuk
yang ke tiga ini,,,bagaimana menciptakan kenyaman baik itu wisatawan
untuk datang dan betah untuk tinggal lebih lama di Solo, dengan
memberikan pelayanan yang baik itu dapat menciptakan itu, kemudian
dengan adanya ini, muncul investor-investor yang menanamkan
sahamnya di solo,hal ini akan memberikan dampak yang luar biasa,
khususnya bagi masyarakat,,,menggerakan roda perekonomian Solo,,,
batik hidup, kuliner hidup, suvenir hidup,,,”.(W/BS/9/4/12)
Dari pendapat informan di atas dapat dilihat bahwa adanya 3 pilar
kebijakan pembangunan Solo kota budaya ini di harapkan dapat menjadi salah
satu alat dalam memperkenalkan kembali Solo sebagai kota budaya, yakni
manajemen branding, manjemen produk serta manajemen custemer, sehingga
dengan ketiga hal ini di arahkan dalam memunculkan kembali spirit-spririt kota
Solo sebagai kota budaya.
4. Temuan Hasil dari Lapangan
Bedasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dapat ditarik
beberapa pokok permasalahan mengenai strategi pengembangan sekaten sebagai
upaya pembentukan solo kota budaya, hasilnya sebagai berikut;
a. Sekaten merupakan sistem nilai budaya masyarakat yang berisikan
kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat
yang sifatnya tradisi budaya guna memperingati hari besar keagamaan
yakni memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW, yang telah di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
lakukan dari zaman kerajaan Demak sampai saat ini di Keraton
Surakarta, serta sebagai potensi wisata yang progresif di Solo ini.
b. Pengembangan sekaten kearah yang lebih besar menjadi wisata yang
bukan hanya milik Solo,tapi bisa menjadi milik Indonesia, hal itu bisa di
wujudkan asalkan dengan manageman yang baik dalam segala sektor.
Bedasarkan beberapa pendapat yang mengungkapkan mengenai
pengembangan sekaten ke arah yang lebih maju lagi, sehingga dapat di
simpulkan bahwa pengembangan sekaten agar bisa menjadi salah satu
bentuk pariwisata yang bagus dan potensial dapat dilakukan dengan
mengemas sekaten menjadi suatu yang menarik masyarakat. Pengemasan
sekaten menjadi 3 yakni wisata religi, wisata budaya dan pastinya wisata
belanja atau ekonomi, tanpa mengurangi esensi dari upacara adat
tradisinya.
c. Adanya faktor pendorong dari pengembangan sekaten meliputi
1.) Adanya potensi keraton yang menjadi pemangku adat atau yang
punya upacara itu sendiri.
2.) Peran serta masyarakat baik dalam partisipasi wisatawan maupun
menajdi penyokong berjalannya sekaten tersebut, dalam artian
sebagai pedagang yang berperan aktif di sekaten.
3.) Barang-barang yang memilki folosofi di sekaten masih banyak
ditemukan di sekaten seperti gerabah dan sebagainya dapat
menggerakkan UKM yang berkonsentrasi di hal itu.
4.) Peluang ke depannya yang bisa menempatkan sekaten menajdi salah
satu destinasi wisata budaya religi dan ekonomi yang bersifat
internasional.
5.) Sekaten juga bisa menggerakan perekoomian masyarakat menengah
kebawah.
6.) Secara otomatis pelestarian budaya akan bisa dilakukan.
d. Adanya faktor penghambat dari pengembangan sekaten meliputi:
1). Masalah pendanaan yang masih kurang maksimal, karena festival
sekaten membutuhkan biaya yang cukup besar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
2). Pengelolaan yang dikelola oleh keraton sendiri
3). Manageman yang kurang maksimal, karena manageman festival
masih tertutup. Maksudnya selama ini hanya orang dari dalam
keraton saja yang menjadi panitia pengelola sekaten.
4). Regulasi kebijakan dari pemerintah kota yang kurang mendukung
pengembangan sekaten sebagai pariwisata yang lebih maju lagi.
e. Kota budaya belum sepenuhnya diwujudkan, banyak berbagai aspek yang
belum digarap oleh pihak yang berwewenang dalam mengaktualisasikan
nilai-nilai serta norma-norma yang terkandung dalam kota budaya itu
sendiri. Memang sejak dahulu Solo merupakan kota budaya, yang
memiliki nilai-nilai yang terkandung didalamnya, sehingga dengan
konsep kekinian diharapakan nilai-nilai yang terkandung didalam kota
budaya akan memberikan spirit atau semangat bagi masyarakat agar
nilai-nilai budaya tersebut terinternalisasi kedalam tubuh masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut nilai-nilai kota budaya akan dijunjung tinggi
serta diaplikasikan didalam mental serta perilaku sehari-hari.
f. Potensi sumber budaya yang menjadi atraksi budaya dalam hal ini adalah
upacara adat tradisi sekaten yang sangat bisa di jadikan media untuk
mewujudkan Solo kota budaya, karena solo kota budaya bukan hanya
sebatas pemakaian baju yang menyimbolkan budaya, lebih pada
perwujudan mental dan perilaku masyarakatnya. Salah satunya adalah
sekaten, sekaten merupakan culture value system bagi masyarakat Solo.
Sekaten mampu memberikan spririt yang berupa tuntunan dalam
kehidupan yang mengarahkan manusia untuk selalu berbudaya,
berperilaku baik dan sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya.
g. Adanya 3 pilar kebijakan pembangunan solo kota budaya ini diharapkan
dapat menjadi salah satu alat dalam memperkenalkan Solo sebagai kota
budaya, kebijakan manajemen tersebut adalah manajemen branding,
manjemen produk serta manajemen custemer, sehingga dengan ketiga hal
ini diarahkan dalam memunculkan kebali spirit-spririt kota Solo sebagai
kota budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
C. PEMBAHASAN
Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperoleh makna yang mendasari
temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan teori – teori yang relevan yang
dapat menjadi penemuan teori baru, dari hasil penelitian kemudian dinyatakan
dalam bentuk kesimpulan. Temuan-temuan data yang dihasilkan dari penelitian
ini kemudian di analisis berdasarkan teori-teori atau pendapat yang ada atau
sedang berkembang. Lebih jelasnya berikut ini akan dilakukan pembahasan secara
rinci.
Berdasarkan hasil penelitian Strategi Pengembangan Pariwisata dalam Upaya
Mewujudkan Solo sebagai Kota Budaya, dengan studi kasus Sekaten di Keraton
Surakarta Hadiningrat dan berdasarkan rumusan masalah yang dihubungkan
dengan kajian teori maka didapat hasil analisa sebagai berikut:
1. Strategi pengembangan pariwisata sekaten Keraton Surakarta
Hadiningrat
a. Sekaten merupakan Value System bagi Masyarakat
Setelah melakukan penelitian dilapangan dan terangkum didalam
temuan diatas, maka dapat diketahui bahwa Sekaten merupakan hasil dari
kebudayaan yang telah mengalami proses yang panjang serta penganut yang
tinggi juga. Sekaten dapat memberikan pengaruh yang besar juga terhadap
semua orang yang mempercayainya sebagai suatu berkah dari Sang pencipta
lewat prosesi ini. Sekaten didefinisikan sebagai upacara adat tradisi yang di
selenggarakan oleh keraton, khsusnya keraton Surakarta untuk memperingati
hari kelahir Nabi Muhammad SAW. Seperti yang dikatakan C.Kluckhohn
bahwa kebudayaan merupakan tindakan hidup yang tercipta dalam sejarah
yang explisit, implisit, rasional, irrasional yang terdapat pada setiap waktu
sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia (Koentjaraningrat
2009:145). Semua tindakan hidup yang dilakukan oleh manusia dapat di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
katakan sebagai kebudayaan, karena segala sesuatu yang tercipta oleh manusia
pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri.
Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar juga
merupakan kebudayaan (Koenjtaraningrat, 2009:144). Hasil karya meliputi
banyak aspek, baik itu secara materiil atau non-materiil, baik itu berupa benda
atau bukan benda. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu di biasakan dengan belajar yakni hanya beberapa
tindakan naluri, refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologis, atau
kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan
kemampuan naluri yang terbawa kedalam gen bersama kelahirannya seperti;
makan, minum, atau berjalan juga mempunyai tata kelakuan dalam
melakukanya.
Kebudayaan merupakan perilaku yang dipelajari, seperti yang
dikemukakan oleh Ihromi. (Ihromi, 2006:18) mengatakan bahwa Kebudayaan
merupakan cara berperilaku yang dipelajari; kebudayaan tidak tergantung pada
transmisi biologis atau pewarisan melalui genetis. Semua manusia dilahirkan
dengan tingkah laku yang digerakan oleh insting dan naluri yang walaupun
tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun mempengaruhi kebudayaannya.
Hal ini senada dengan Kontjaraningrat yang mendefinisikan kebudayaan
merupakan hasil dari belajar.
Dengan teori di atas menunjukan bahwa kebudayaan menunjuk
kepada berbagai aspek kehidupan. Hal ini meliputi karya, cipta, karsa, cara-
cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk
tertentu yang diperoleh lewat belajar. Karena setiap manusia dilahirkan
kedalam sebuah kebudayaan yang bersifat kompleks dan kebudayaan itu kuat
sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang akan kita ikuti
selama hidup manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Sesuai dengan data dilapangan bahwa sekaten merupakan hasil
kebudayaan yang besar di keraton Surakarta. Pagelaran sekatenan dilandasi
akan suatu bentuk karya manusia yang menjadi tindakan yang dilakukan
manusia dikehidupannya. Secara teoritik, sekaten merupakan suatu bentuk
tindakan manusia untuk menciptakan nilai-nilai dasar yang akan dianut oleh
manusia itu sendiri. Maka dari itu, sekaten menjadi salah satu sistem budaya
pada diri masyarakat Surakarta yang menjadi pedoman untuk bertindak dan
berbudaya.
Seperti apa yang dikatakan C.Kluckhohn bahwa kebudayaan
merupakan tindakan hidup yang tercipta dalam sejarah yang explisit, implisit,
rasional, irrasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang
potensial bagi tingkah laku manusia (Koentjaraningrat 2009:145). Sekaten
merupakan hasil dari sejarah manusia, khususnya manusia Jawa.
Menurut data dilapangan, seperti yang dituturkan WK, awal mula
muncul adanya upacara sekaten itu bukan serta-merta dari Surakarta, karena
sekaten muncul jauh sebelum Surakarta ada yakni pada zaman kerajaan Demak
Bintara. Ketika itu kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di
pulau Jawa. Sekaten merupakan alat yang digunakan oleh para wali untuk syiar
Islam, karena mayoritas penduduk Jawa masih beragama Hindu-Budha. Kala
itu para wali membuat gamelan yang bernama Kyai Nagawilaga, kemudian
gamelannya diletakan di serambi masjid. Mengapa demikian, karena gamelan
merupakan seni budaya yang ada pada saat itu, gamelan merupakan sebuah
tontonan yang menarik, sehingga dengan dibuatnya gamelan itu, dimaksudkan
agar masyarakat tertarik untuk melihatnya. Sehingga, banyak orang yang
datang ke masjid untuk melihat. Disisnilah terlihat betapa canggihnya
pemikiran para wali saat itu, seperti yang dikemukakan oleh MS, itulah
canggihnya para wali sebagai pemuka agama pada saat itu. Karena mereka
menggunakan kearifan kebudayaan setempat untuk menarik masyarakat agar
masuk Islam. Dengan kebudayaan inilah seluruh kebutuhan manusia bisa
terpenuhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Lebih lanjut lagi, mengapa hal ini di katakan sebagai sekaten, karena
ketika masyarakat akan melihat gamelan, sebelum masuk area masjid,
masyarakat diwajibkan untuk membaca kalimat Shahadat, “As
haduallailahaillah, wa ashaduanna Muhammadarosullullah”. Kemudian
upacara seperti itu di sebut dengan sekaten yang berasal dari kata sahadaten.
Jadi, esesnsi yang terkandung dari sekaten itu sendiri adalah sebagai alat untuk
syiar Islam, untuk mengembangkan agama Islam, dan esensi itu masih di
rasakan sampai saat ini.
Menurut data dilapangan sekaten yang ada di Demak dan di Surakarta
memiliki perbedaan namun secara esensial masih memiliki arti yang sama.
Menurut penuturan KP Winarnokusuma, antara Demak dan Surakarta itu
sekatennya beda, tapi pada makna penggunaannya sama. Sekaten di Surakarta
ada ketika zaman Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Narendra
Mataram Islam yang lebih di kenal dengan sebutan Sultan Agung. Setelah
runtuhnya kerajaan Demak gamelan yang ada disana disimpan di Cirebon.
Kemudian sampai di Pleret Mataram oleh Sultan Agung acara semacam itu
diadakan lagi dan Sultan Agung membuat gamelan sendiri yang bernama Kyai
Guntur Sari. Acara ini sejak zaman Sultan Agung acara ini digunakan untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan dijadikan hari besar
keagamaan khusunya agama Islam, selama satu minggu dan diakhiri tanggal 11
mulud kemudian pada tanggal 12 nya merupakan puncak acara, dengan adanya
gunungan sekaten yang terdiri dari gunungan lanang/ laki-laki yang bentuknya
lancip menjulang keatas, gunungan wedok/ wanita yang bentuknya cempluk /
lebih bulat, serta gunungan anakan. Gunungan tersebut memiliki arti bahwa
dalam kehidupan ini berasal dari laki-laki dan perempuan sehingga
memunculkan anak, dan hal tersebut dilambangkan kedalam simbol gunungan
sekaten tersebut.
Lebih lanjut lagi, upacara adat tradisi ini dilaksanakan sampai pada
zaman Pakubuwana III terjadi “palihan nagari” atau lebih diartikan sebagai
disintegrasi di keraton Surakarta. Pada saat Pukubuwana II menduduki jabatan
sebagai raja, adiknya yakni Kanjeng Mangkubumi juga ingin jadi raja, sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
pada zaman Pakubuwana III, kanjeng Mangkubumi masih menagih ingin
menjadi raja, kemudian diijinkan akan tetapi bukan di Surakarta yakni di
Yogyakarta (1755), kemudian peristiwa itu dikenal dengan perjanjian Giyanti.
Dengan adanya perjanjian itu bukan hanya tahta kerajaan saja yang dibagi 2,
akan tetapi segala sesuatu yang ada di Surakarta juga dibagi dua termasuk
gamelan Kyai Guntursari tambah WK. Singkatnya, kemudian sampai pada
zaman Pakubuwana IV beliau melengkapi gamelan yang ada di Surakarta, agar
utuh tidak hanya Guntursari lagi, tapi lebih dari itu, ngarso dalem punya
maksud agar gamelan ini seimbang, kemudian PB IV membuat satu set
gamelan lagi dengan nama Kyai Gunturmadu. Di Surakarta gamelan sekaten
ada dua perangkat yakni, Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu. Sejak saat itu
oleh Pakubuwana IV makna sekaten di Surakarta berasal dari kata sekati atau
seimbang, dengan dibuatnya gemelan pelengkap sekaten itu tadi, yang artinya
jadi raja itu harus adil, harus timbang, tidak boleh “mban cinde mban siladan”
dan itu menjadi lambang sampai sekarang. Sekaten dilaksanakan selama 7 hari
diakhiri pada tanggal 12 Maulud yang ditandai dengan keluar gunungan
sekaten.
Bedasarkan temuan dilapangan, sekaten dilihat sebagai upacara adat
tradisi yang memiliki nilai historis yang sangat luar biasa, hal ini dikarenakan
bahwa sebuah hasil cipta, rasa dan karsa dari manusia bisa menjadi pedoman
dalam perjalanan kehidupan manusia yang tak pernah putus dan selalu terjalin
dari waktu-kewaktu. Seperti halnya sekaten yang telah dijelaskan secara
historis diatas tadi. Sekaten sampai sekarang masih dijalankan dan dipercayai
bisa mendatangkan berkah bagi siapapun yang mempercayainya. Sekaten
dilihat dari sisi kebudayaan merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri yang
terdiri dari ide, aktiviti, serta artefaknya. Talcott Parsons yang dikutip
Koentjaraningrat (2009:150) menyatakan wujud kebudayaan merupakan suatu
sistem ide dan konsep dari serangkaian tindakan dan aktifitas manusia. Hal ini
seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat(2009 : 150) mengatakan
kebudayaan itu ada 3 wujudnya yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
1.) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan.
2.) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia di masyrakat
3.) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam pikiran manusia dimana
kebudayaan itu hidup. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama
dalam suatu masyarakat memberi jiwa pada suatu masyarakat itu. Gagasan itu
menjadi satu dengan yang lain saling berkaitan menjadi suatu sistem. Hal inilah
yang biasa disebut Koentjaraningrat (2002) sebagai culture value system. Dari
sisi wujud ide sekaten merupakan gagasan dari wali songo ketika itu Kanjeng
Sunan Kalijaga membuat gamelan yang difungsikan sebagai syiar Islam,
dengan cara ini dimaksudkan bisa mengembangkan agama Islam di tanah Jawa
ini. Sampai di Surakarta sekaten dijadikan sebagai perayaan memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari inilah sesuai dengan pandangan
Koentjaraningrat bahwa sekaten yang dilihat dari wujud kebudayaan berupa
ide atau gagasan.
Selanjutnya, Wujud kedua dari kebudayaan adalah sistem sosial atau
social system mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial
ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan,
bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, selalu menurut pola-pola tertentu
yang berdasarkan tata kelakuan. Dilihat dari sisi wujud yang kedua sekaten
memiliki serangkaian kegiatan dalam prosesinya. Dari mengeluarkan gemelan
dari dalam keraton , kemudian ada jamasan, membunyikan gamelan pertama,
serta ceramah keagamaan, sampai pada prosesi keluarnya gunungan sekaten
pada tanggal 12 Maulud. Inilah yang menurut Koentjaraningrat disebut sebagai
wujud kebudayaan yang berupa aktifitas, dimana ada aktiftas yang dilakukan
yang bisa di amati dan di dokumentasikan serta mengikuti pola tertentu, karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
prosesi sekaten bukan proses yang sembarangan, tidak semua orang bisa
melakukan prosesi ini.
Kemudian wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik.
Berupa seluruh benda fisik, aktifitas, perbuatan, dan karya semua manusia
dalam masyarakat. Sifatnya paling nyata dan berupa benda-benda atau hal yang
dapat diraba, dilihat dan difoto. Sekaten memiliki banyak kebudayaan yang
sifatnya kebendaan fisik, seperti gamelan sekaten, ada gunungan, ada celengan,
endok kamal / telur asin, pecut, kinang.
Dari ketiga wujud di atas merupakan serangkaian aktifitas kebudayaan
yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, yang artinya ketiga wujud
tadi adalah satu rangkaian yang menjadi satu kesatuan dalam wujud
kebudayaan sekaten.
Selanjutnya didalam sekaten terkandung makna yang begitu besar
yaitu sebagai pedoman dalam diri manusia untuk melakukan kehidupannya
sehari-hari. Makna – makna ini berada pada seluruh rangkaian prosesi sekaten.
Hal inilah yang disebut (Koentjaraningrat, 2002 : 25) dengan sistem nilai
budaya. Sistem nilai budaya adalah tingkat yang paling abstrak dari adat yang
terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi
bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang
tingkatannya lebih kongret seperti aturan- aturan khusus, hukum dan norma-
norma, semuanya juga berpedoman pada sistem nilai budaya. Seperti halnya
sekaten, merupakan sistem nilai budaya karena sekaten bisa dijadikan pedoman
dalam bertindak di kehidupan sehari-hari manusia. Hal ini terdapat pada
tuntunan – tuntunan yang terkandung di dalam komponen-komponen sekaten
itu sendiri. Seperti halnya dari kata sekaten atau syahadaten; yang memiliki arti
seperti yang dituturkan WK, arti yang pertama : menghilangkan 2 sifat yaitu
sifat binatang dan sifat setan. Arti yang kedua :menanamkan 2 hal yaitu
ngrungkebi budi suci dan ngabdi taqwa dhateng Gusti Ingkang Maha Agung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Arti yang ketiga : percaya akan 2 hal yaitu syahadat taukid (Allah Yang Maha
Kuasa dan percaya Nabi Muhammad SAW adala utusan Allah)
Bukan hanya itu saja, masih banyak makna yang terkandung didalam
sekaten itu sendiri, yang memberiakan tuntunan kepada masyarakat.
Bedasarkan data yang ditemukan dilapangan yakni mengenai makna dari
Sekaten yang berasal dari kata sekati atau seimbang yang mempunyai arti
bahwa menjadi raja atau pimpinan itu harus adil, harus timbang, tidak boleh
mban cinde mban ciladan artinya tidak boleh memihak salah satu pihak, harus
memihak yang benar. Selain itu makna sekaten juga terkandung pada
komponen-komponen yang tersaji pada waktu sekaten yaitu
1). Kinang : berdasarkan penuturan WK; setiap bunyi pertama gamelan
sekaten, masyarakat itu siap dengan kinangnya, kinang terdiri dari suruh,
tembakau, gambir dan injet. Kinang dikunyah, dengan makna bahwa kinang
akan mendatangkan orang awet muda, dan itu lah yang di percaya
masyarakat. Sebenarnya kinang itu mengandung anti-biotik yang berfungsi
untuk menguatkan gigi, serta memberikan warna merah alami pada bibir,
sebab itu orang jaman dahulu giginya utuh-utuh, kemudian efek dari ludah
kinang yang dapat memberi kesan merah pada bibir membuat orang terlihat
awet muda.
2). Telur asin / Ndok kamal yang mempunyai arti bahwa dalam ajaran agama
atau ajaran dai orang tua, di ajarkan bahwa orang hidup itu hendaknya
banyak berbuat amal/kebaikan, amal baik yang bisa dirasakan oleh orang
banyak, lebih mendalam lagi bahwa orang hidup itu harus berguna,
bermanfaat bagi hidup dan kehidupannya. Hal ini diibaratkan seperti telur
asin ini; satu butir telur asin bisa dipakai lauk untuk menghabiskan satu
piring nasi.
3). Pecut yang mempunyai makna yang berkaitan dengan sekaten bahwa suatu
gambaran yang perlu dipahami oleh setiap pemeluk agama, kalau
diperhatikan bentuk pecut dari pangkal menuju puncak, semakin tinggi
semakin mengecil dan bila ditegakan semakin melengkung/merunduk yang
artinya bila manusia semakin dewasa akan semakin taqwa kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Tuhannya, semakin merasa kecil dihadapan Tuhannya. Oleh sebab itu tidak
sepantasnya bila seorang menjadi congkak / sombong dihadapan Tuhannya ,
karena manusia hidup di dunia adalah makluk ciptaan Tuhan, yang memberi
segalanya adalah Tuhan.
4). Gunungan sekaten yang mempunyai makna bahwa gunungan tadi dibuat
dari hasil bumi yang artinya merupakan ucapan syukur raja atas anugrah
yang telah diberikan yang telah menganugrahkan bumi beserta isinya yang
mengeluarkan hasil yang dinikmati raja dan masyaratkatnya. Senantiasa
gunungan ini perlambang ucapan syukur; karena semua gunungan itu bisa
dimakan dan dinikmati, yang kedua merupakan bentuk kepedulian raja
kepada masyarakat, dengan memberikan hiburan gratis yang dirangkai
dengan tatacara tradisi. Gunungan tersebut setelah di bawa dari dalam
keraton kemudian dibacakan doa di masjid Agung, kemudian diberikan
kepada masyarakat bukan dirayahke atau diperebutkan.
Bedasarkan penjelasan di atas, makna yang terkandung didalam
sekaten, merupakan tuntunan bagi manusia untuk lebih memahami
kehidupannya. Sekaten merupakan bentuk sistem nilai budaya yang ada di
masyarakat. Sekaten memberikan pedoman dalam hidup yang digunakan untuk
mengatur hubungan-hubungan yang terjalin antara Tuhan dengan manusia dan
seisi alam ini. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat; (2002 : 28)
mengenai sistem nilai budaya dalam suatu kebudayaan itu mengenai hakekat
dari hidup manusia, hakekat dari karya manusia, hakekat dari kedudukan
manusia dalam ruang waktu, hakekat dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya dalam kehidupan
berkebudayaan sebuah ide merupakan sistem gagasan yang dianut oleh
manusia, yang berupa tatakelakuan, adat-istiadat serta sistem nilai yang
berguna mengarahkan manusia didalam kehidupan bermasyarakat dan
berbudaya, dan semua ini dapat dilihat diupacara adat tradisi sekaten di
Keraton Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
b. Pengembangan Sekaten sebagai Pariwisata Religi, Budaya, Ekonomi
dan Festival Islam Indonesia.
Dari data penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa Sekaten
merupakan salah satu jenis wisata yang ada di Kota Solo. Hal ini sama yang di
katakan oleh Nyoman S Pendit (2002 : 38) yang mengklasifikasikan jenis-jenis
pariwisata menjadi 15 jenis wisata dan salah satunya adalah wisata budaya.
Wisata budaya dimaksudkan agar perjalanan yang dilakukan atas dasar
keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan
mengadakan kunjungan ketempat-tempat lain ke luar negeri, mempelajari
keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya
dan seni mereka. Seringnya perjalanan serupa ini disatukan dengan
kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya,
seperti eksposisi seni atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan akan
memperluas pandangan hidup seseorang. Jenis wisata budaya ini adalah jenis
yang paling populer di tanah air kita, seperti halnya Sekatan keraton Surakarta
hadingrat. Jenis wisata inilah yang paling utama bagi wisatawan luar negeri
yang datang ke negara ini dimana mereka ingin mengetahui kebudayaan kita,
kesenian kita, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan adat istiadat dan
kehidupan seni budaya yang kita miliki.
Adanya keraton Surakarta Hadiningrat; menjadi potensi dalam
mengembangkan sektor pariwisata berbasis budaya di kota Surakarta ini.
Pengembangan pariwisata di sektor budaya ini bukan hanya menambah PAD/
pendapatan asli daerah namun juga memunculkan citra bahwa kota Surakarta
adalah kota Budaya. Salah satunya adalah upacara adat sekaten. Seperti yang di
kemukakan MS, “Sekaten nantinya menjadi ikon kota solo,sebagai wisata
religius,karena kalau kita bicara mengenai wisata sekaten pasti kita akan
bicara mengenai wisata budaya,religius dan sampai ke wisata belanja, itu
harus kita garap bersama-sama”. Sekaten merupakan sumber potensial yang
bisa dikembangkan lebih bagus lagi yang bermanfaat bagi semua pihak yang
ada di Solo, karena kepariwisataan berbasis budaya di Solo adalah salah satu
ikon penting yang menjadi motor penggerak dari beberapa pariwisata di kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
tersebut. Kegiatan pariwisata merupakan gejala lintas sektoral, yang meliputi
sektor ekonomi, politik budaya (Yoeti).
Seperti yang di katakan MS, bicara mengenai pariwisata, kita akan
bicara mengenai dampak ekonominya dan itu karena pariwisata bukan hanya
sekedar berfoya-foya saja, bagaimana sebuah pariwisata berdampak ke sektor
ekonomi, paling tidak bisa menggerakkan ekonomi dari yang terkecil sampai
yang besar, oleh karena itu keraton membuat adanya maleman sekaten. Oleh
karena itu keraton berserta tim penyelenggara sekaten berupaya untuk
membuat sekaten ini bisa dikemas menjadi lebih menarik lagi. Wakil ASITA,
DN mengungkapkan; sekarang tradisis budaya itu menjadi sebuah daya tarik
wisatawan, tradisi budaya itu sendiri harus dikemas secara menarik, dari
prosesi jamasan sampai proses keluar gunungan dan gamelan, itulah yang
menarik wisatawan, secara keseluruhan sekaten ini yang menjadi daya tariknya
adalah wisata budaya, wisata ekonomi karena di alun-alun banyak pedagang,
serta wisata religi di masjid Agung .
Lebih lanjut lagi, Gamal suwantoro (1997:55) menjelaskan bahwa
strategi pengembangan pariwisata bertujuan untuk mengembangkan produk
dan pelayanan yang berkualitas, seimbang dan bertahap. Disini pengembangan
produk sekaten inilah yang harus dikembangkan. Bagian mana yang perlu di
kembangkan; sekaten merupakan upacara adat tradisi yang tidak bisa diubah,
dikurangi atau ditambahi, karena sekaten ini sifatnya ritual, dapat dikatakan
sebagai prosesi yang sudah ada pedomannya. Baik dari keluarnya gamelan
sampai pada keluar gunungan.
Pengembangan ini harus jeli melihat sisi positifnya, seperti yang
diungkapkan MS; sekaten tentu kan kita tahu, sekaten itu hanya kalo bicara
sekaten itu hanya 7 hari saja, dari keluarnya gamelan sampai puncak keluar
gunungan sekaten, acara sakral nya ya hanya 7 hari itu saja, kalou
sebelumnya ada acara, seperti pasar malemnya, hal itu keraton menamainya
maleman sekaten, inilah yang bisa di tawarkan kepada masyarakat untuk
datang ke sekaten ini, maleman sekaten menjadi daya tariknya. Bersamaan
dengan itu DN memperjelas bahwa kombinasi dari ke tiga wisata tadi seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
wisata budaya, wisata ekonomi dan tentunya wisata religius inilah yang dapat
ditawarkan kepada wisatawan. Dari sini bagaimana pengembangan sekaten
sangat bisa dikembangkan, dengan modal keotentikan atau orisinil wisata
budaya itu, dengan berbagai bentuk atraksi budaya inilah yang menarik
wisatawan untuk melihat, orisinil, bukan di buat-buat, secara otomatis dengan
konsep otentik dalam mengemas atraksi budayanya maka pelestarian budaya
akan berjalan. Yang kedua wisata religiusnya, pengembangan disini harus
melihat bagaimana peluang kedepan dengan adanya festival religi sekaten ini,
karena kalau kita bicara mengenai sekaten kita akan bicara mengenai syiar
islam. Peluang kedepannyalah yang menjadi acuan untuk pengembangan lebih
besarnya. DN menangkap peluang kedepan sekaten ini luar biasa, karena
sekaten bisa di jadikan festivalnya Islam di Indonesia, dengan melibatkan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, musium-musium Islam, komunitas Islam,
pondok pesantren, jadi kedepan sekaten bisa menjadi syiar Islam dalam
dimensi kekinian. Dengan konsep seperti ini tidak mustahil sekaten bisa
diwujudkan sebagai even internasional seperti festival Cheng Ho. Pengembangan
sekaten juga bisa dilakukan sinergitas dari ketiga kota di Jawa yang hampir
memilki kesamaan dalam penyelenggaraan festival ini, antara Solo, Jogja dan
Cirebon bisa dijadikan touring even bagi wisatawan.
Pengembangan yang ke tiga dari sisi wisata ekonominya, seperti yang
dikemukakan MS, maleman sekaten manjadi daya tariknya bagi wisatawan
untuk melakukan kegiatan ekonomi. Bicara mengenai pariwisata, tak akan
lepas dari dampak ekonominya. Pengembangan maleman sekaten dipastikan
tidak akan lepas dari ekonomi kerakyatan, hal ini di karenakan yang pertama,
untuk melindungi pedagang menengah ke bawah agar tetap bisa hidup, untuk
melindungi benda-benda yang memiliki makna filosofi yang ada di sekaten
seperti gerabag, celengan, pecut, telur asin, dan lain-lain. Hal ini jangan
dibandingkan dengan penyelenggaraan sekaten di Jogjakarta yang telah punya
regulasi untuk sekaten. Akan tetapi semua benda berfilosofi yang ada di Solo
tidak ditemukan Jogja lagi. Disinilah pihak pengelola sekaten di Solo lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
mengedepankan ekonomi kerakyatan. Ditambah lagi dengan banyaknya UKM
yang terlibat penyelenggaraan sekaten di Solo.
Pengembangan sekaten menuju yang lebih baik lagi menjadi prioritas
utama dari pihak penyelenggara sekaten. Dari data yang didapat di lapangan,
diketahui bahwa pemberian aksesbilitas, kenyamanan, kebersihan, keamanan
menjadi sebuah perencanaan kedepan penyelenggaraan sekaten. Sehingga
dengan suasana yang merakyat, dengan konsep ekonomi menengah kebawah
dipastikan akan banyak orang yang datang, dengan kenyaman dan keamanan
yang terjamin akan menambah nilai lebih dari sekaten di Solo, meskipun
suasanannya ramai, suk-sukan.
Lebih lanjut lagi dengan uraian di atas, Oka Yoeti (1996 : 178) tempat
wisata harus memiliki 3 syarat didalam pengembangan wisata di daerah
tersebut yakni: Somethink to see, Somethink to do, Somethink to buy. Dilihat
dari data di lapangan, dapat dilihat bahwa pengembangan sekaten
mengutamakan apa yang di sebut somethink to see, sekaten dikembangkan
untuk dilihat upacara tradisi yang masih diselenggarakan sampai saat ini
dengan keorisinilitasnya yang tinggi, sehingga wisatawan puas dengan melihat
itu. Kemudian mengarah pada something to do, wistawan diarahkan untuk
melakukan kegiatan disana karena sekaten bukan hanya 1 atau 2 hari saja, tapi
selama 7 hari penuh dari keluarnya gamelan sampai grebeg gunungan sekaten
itu muncul, sehingga wisatawan bisa tinggal lebih lama di Solo. Yang
berikutnya adalah somethink to buy , hal ini menyangkut pengembangan yang
dilakukan disektor maleman sekaten, karena dengan maleman sekaten ini
wistawan bisa membelanjakan uangnya disitu, sehingga sekaten bisa menjadi
tujuan wisata yang lengkap dengan berbagai keunggulan yang ada di sana.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengembangan pariwisata merupakan
pengembangan yang berupa pengemasan produk wisata agar lebih menarik
agar para wisatawan ataupun investor datang tujuan wisata tersebut, baik untuk
menikmati atraksi wisata ataupun menenemkan modal di sana. Seperti halnya
sekaten, pengemasan sekaten di arahkan pada 3 wisata yang potensial yakni
wisata religius, wisata budaya dan wisata belanja/ekonomi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
2. Faktor – faktor yang memepengaruhi pengembangan sekaten sebagai
pariwisata religi, budaya dan ekonomi.
Selanjutnya, sebuah pengembangan wisata tak lepas dari faktor-faktor
yang mempengarui, baik itu faktor yang mendorong maupun faktor yang
mengahmbat. Berdasarkan data yang didapat di lapangan, dapat dilihat faktor
pendorong pengembangan dapat dilihat karena banyaknya peluang kedepan
yang bisa diraih dalam pengembangan sekaten ke arah wisata yang baik dan
maju. Adapun faktor pendorongnya antara lain:
1.) Adanya potensi keraton yang menjadi pemangku adat atau yang punya
upacara itu sendiri.
2.) Peran serta masyarakat baik dalam partisipasi wisatawan maupun menajdi
penyokong berjalannya sekaten tersebut, dalam artian sebagai pedagang
yang berperan aktif di sekaten.
3.) Barang-barang yang memilki folosofi di sekaten masih banyak di temukan
di sekaten seperti gerabah dan sebagainya dapat menggerakkan UKM
yang berkonsentrasi di hal itu.
4.) Peluang ke depannya yang bisa menempatkan sekaten menjadi salah satu
destinasi wisata budaya religi dan ekonomi yang bersifat internasional.
5.) Sekaten juga bisa menggerakan perekoomian masyarakat menengah
kebawah.
6.) Secara otomatis pelestarian budaya akan bisa dilakukan.
Selanjutnya, selain faktor-faktor pendorong, dalam pengembangan
wisata pasti juga ada faktor penghambat. Faktor penghambat dari
pengembangan sekaten di Surakarta antara lain:
1). Masalah pendanaan yang masih kurang maksimal, karena festival sekaten
membutuhkan biaya yang cukup besar.
2). Pengelolaan yang di kelola oleh keraton sendiri
3). Manajeman yang kurang maksimal, karena manajeman festival masih
tertutup. Maksudnya selama ini hanya orang dari dalam keraton saja yang
menjadi panitia pengelola sekaten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
4). Regulasi kebijakan dari pemerintah kota yang kurang mendukung
pengembangan sekaten sebagai pariwisata yang lebih maju lagi.
Selanjutnya dari data dilapangan dapat dilihat, faktor panghambat
yang paling mempengaruhi penyelenggaraan sekaten dan pengembangan
sekaten kedepan adalah faktor pandanaan dan faktor regulasi dari pemerintah.
Seperti yang dikemukakan oleh Ketua penyelenggara sekaten, MS; kurang
optimalnya pelaksanan sekaten dipengaruhi oleh kepedulian pemerintah serta
pelaku wisata yan masih relatif rendah. Selama ini pemerintah daerah belum
ikut serta dalam penyelenggaraan sekaten di Surakarta, pemerintah hanya
mempromosikan lewat kalender even kota Solo yang dikelola oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta. Dengan regulasi yang belum ada,
hal ini mengakibatkan pihak penyelenggara yakni Keraton Surakarta jalan
sendiri untuk menyelenggarakan serta merencankan pengembangan sekaten.
Jadi dapat di simpulkan bahwa pengembangan sekaten ke arah wisata
yang lebih maju dan bisa menjadi multiplaned bagi masyarakat Solo dengan
mengembangkan sekaten ke 3 arah wisata yakni wisata religi, wisata budaya
dan wisata ekonomi/belanja. Serta pengembangan wisata sekaten di arahkan
pada marketeble nasional menjadi festival islam Indonesia dengan tujuan yang
di arakan kepada pelestarian budaya, penggerak ekonomi masyarakat, syiar
Islam dengan konsep kekinian serta untuk mewujudkan Solo yang berbudaya.
Akan tetapi itu semua harus dan tanpa mengurangi atau mengintervensi
upacara adat tradisi yang lebih dari 200 tahun diselenggarakan oleh Keraton
Surakarta. Serta pengambilan peluang kedepan yang menjadi arah
pengembangan sekaten harus bisa diraih, agar kedepannya sekaten bisa
menjadi salah satu daya tarik wisata yang berkelas, bukan hanya di Solo tapi
lebih ke arah nasional bahkan Internasional. Serta peminimalan faktor-faktor
penghambat, yakni dengan sinergitas antara Keraton sebagai pemangku adat,
pemerintah yang punya wewenang serta masyarakat untuk membicarakan
sekaten ini kedepannya. Ditambah lagi dengan adanya regulasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
mendukung pengembangan sekaten, yang diharapkan pendanaan sekaten bisa
dimaksimalkan.
3. Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya sebagai Perwujudan Identitas Kota Solo
Setelah didepan membahas mengenai sekaten dan pengembanganya
kearah wisata yang lebih maju, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
pengembangan sekaten, maka dalam bagian terakhir ini peneliti menganalisi dan
membahas mengenai upaya dalam aktualisasi nilai-nilai budaya sebagai
perwujudan identitas Solo sebagai kota budaya. Berdasarkan data yang didapat di
lapangan, dapat dilihat adanya keterkaitan antara pengembangan pariwisata
budaya dalam mewujudkan Solo sebagai kota budaya. Khususnya sekaten, yang
merupakan wisata budaya yang ada di Solo.
Pembahasan mengenai identitas kota budaya perlu diketahui mengenai
konsep citra kota yang dibentuk sebuah kota dalam menentukan karakteristik kota
tersebut. Susan Sontag menjelaskan citra sebagai sebuah ilusi atau bayangan, copy
bukan asli, representation bukan reality (Transpiosa Riomandha, 2000 : 35). Citra
disini akan mempunyai jarak dengan realita yang sebenarnya. Dengan demikian
citra kota dapat diartikan sebagai kumpulan dari interaksi sensorik langsung
seperti diimplementasikan melalui sistem nilai pengamat dan diakomodasikan
kedalam penyimpanan memori dimana input dari sumber tak langsung sama
pentingnya. Citra secara luas terkait dengan ruang, dan dapat pula dikaitkan
dengan rasa atau persepsi seseorang. Citra juga berkaitan dengan hal-hal fisik.
Dari data di lapangan dapat terlihat bahwa secara fisik Solo mampu memberikan
stimulus terhadap seseorang untuk diarahkan kedapa nuansa budaya, terlihat di
armada bus kota Solo Batik Trans, bus Werkudara, ornamen batik ditiap gapura
kelurahan, bangunan fisik mall paragon, even-even budaya. Menurut Susan
Sontag itulah yang dinamakan citra.
Citra kota sangat erat kaitannya dengan pembentukan identitas kota.
Citra apa yang ditunjukkan sebuah kota maka dari hal tersebut identitas kota dapat
diketahui. Seperti yang dikemukanan oleh Jean Boudrillard, identitas merupakan
suatu subjek yang melekat ada pada diri (Ubet , 2002 : 28). Identitas kota Solo tak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
lepas dari apa yang melekat di dalam kota Solo itu sendiri. Seperti dengan adanya
batik di kota Solo yang dijadikan salah satu ikon di kota Solo, kemudian Solo
dikenal sebagai kota batik. Selanjutnya bagaimana dengan Solo kota budaya?.
Selanjutnya Yekti maunati (2004 : x) menjelaskan bahwa identitas
merupakan sebuah kontruksi yang artinya bukanlah suatu hal yang hadir begitu
saja akan tetapi melalui proses panjang yang melibatkan berbagai aspek
kehidupan. Solo kota budaya merupakan sebuah konstruksi. Dapat kita lihat
pemerintah daerah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
membuat kalender even, membuat even-even yang didominasi dengan sisi
budaya. Seperti Solo Batik Carnival, Solo Menari, Solo Batik Fashion,
Mangkunegaran performing art, Solo International Ethik Music, Solo
International Performing Art. Semua even ini merupakan even budaya, karena
pemerintah tahu benar potensi yang dominan di kota Solo ini adalah budaya.
Karena konsep identitas adalah konsep yang bersifat relasional yang berkaitan
dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial.
Bedasarkan hal tersebut di atas identitas kota Solo dapat dipahami
sebagai konsep yang dikonstruksi secara budaya. Artinya, identitas terbangun
melalui proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang
berbeda ke dalam suatu struktur politik yang tunggal dibawah kondisi-kondisi
sosial tertentu . Secara lebih rinci, identitas merupakan hasil konstruksi (proses)
sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menandai
sekelompok masyarakat tertentu dengan sembarang . Artinya, apa pun tandanya
asal bisa dipakai untuk "menunjuk" (labelling) kelompok tertentu. Proses ini
tentunya merupakan proses yang berlangsung hingga berabad-abad lamanya.
Keberadaan keraton Surakarta yang telah mencapai umur 200 tahunan lebih
menjadi salah satu faktor kuat Solo ini banyak diberi label oleh masyarakat
sebagai kotanya budaya.
Kebudayaan adalah proses panjang. Ketika sebuah kota melabeli diri
menjadi Kota Budaya sebagaimana kota Solo, yang sejatinya kota tersebut yang
direprentasikan lewat kebijakan pemimpinnya telah menemukan jati dirinya.
Pemilihan menjadi kota budaya menjadikan kota Solo menemukan hakekat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
selama ini hilang yaitu identitas kultural yang tidak dimiliki oleh kota lain, yaitu
keunggulan budaya. Keunggulan itulah yang harus dieksplorasi agar masyarakat
merasa dituntun menuju ke arah pencerahan (enlightment), yang akan
menghasilkan pemberdayaan (enpowerment). Muara dari itu semua adalah
masyarakat Kota Solo menemukan kembali (re inventing) jati dirinya. Hasil akhir
dari semua proses tersebut adalah kebudayaan yang utuh,meliputi seluruh tata
nilai, pola fikir dan tingkah laku masyarakat. Kota Solo memilih label sebagai
Kota Budaya, pada hakekatnya label dan ciri tersebut adalah penanda yang
sifatnya non fisik yakni berupa tata kelakuan masyarakat Solo. Penanda non fisik
adalah penanda bersifat kultural. Harapannya adalah masyarakat kota Solo dapat
menjadi ujung tombak perilaku berbudaya (Jawa) yang mengedepankan sikap
lembah manah,ambeg parama arta dan lain-lain.
Esensi yang terkandung didalam semboyan itulah yang menarik. Budaya
atau kebudayan adalah totalitas eksperimentasi pengalaman kehidupan suatu
bangsa. Totalitas tersebut menemukan hasil/resultannya berupa kebudayaan,yang
merupakan intisari dari olah fikir sebuah bangsa. Semboyan Solo Kota Budaya
membawa konsekuensi kepada semua elemen masyarakat kota Solo. Konsekuensi
itu adalah rasa untuk ikut mendukung semboyan itu yang dimanifestasikan berupa
totalitas rakyat Solo yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Jawa. Ini menjadi
tantangan yang paling besar karena tipologi masyarakat Solo yang terdidik dan
memiliki sikap kritis bahkan pembangkangan, apabila semboyan Solo Kota
Budaya tidak menyentuh kehidupan masyarakat banyak dan hanya menjadi
komoditas elit kota.
Berdasarkan data di lapangan identitas Solo sebagai kota budaya
sekarang ini hanya sebatas kulitnya saja, hanya berada pada tataran fisik nya saja,
hal inilah yang kemudian dimanfaatkan pemerintah kota untuk menjual kota di
bidang pariwisata. Pemerintah kota memaksa membuat sebuah keeksotikan
budaya, khususnya budaya di Kota Solo ini untuk kepentingan pemasukan dana /
income. Pariwisata yang merupakan pasar yang menjanjikan menjadi lahan
pemerintah daerah untuk membawa kota menunjukkan citranya. Hal ini pula yang
memberikan jalan bagi sebuah budaya untuk dijadikan identitas dari sebuah kota.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Selanjutnya dari data yang didapat di lapangan, dapat dilihat bahwa kota
budaya yang merupakan identitas kota Solo belum sepenuhnya diintegrasikan
kepada seluruh elemen kota Solo. Dalam mewujudkan solo kota budaya yang
terpenting adalah mengembangkan manusia yang menjiwai budaya khususnya
budaya Jawa itu sendiri, dengan itu semua bisa sekali kota budaya ini untuk
mempromosikan kota Solo sebagai tempat tujuan wisata yang baik, sehingga
pelestarian budaya otomatis berjalan disini. Yang dimaksud kota budaya itu
seharusnya keseluruhan perilaku warga kota yang mengikuti nilai-nilai dalam
interaksi sosial yang mencerminkan kearifan lokal untuk mewujudkan
keharmonisan hidup bersama. Seperti halnya Solo, perwujudan kota budaya
bukan hanya kulitnya saja, dengan adanya festival atau yang lain, tapi lebih ke
arah jiwa kehidupan sehari-hari yang mampu menjadi cerminan kota budaya itu
sendiri.
Menjadikan Kota Solo sebagai Kota Budaya bukan semata-mata karena
persentuhan dengan kehadiran kehidupan keraton yang masih tetap eksis. Posisi
keraton dalam wacana Solo Kota Budaya adalah sebagai spirit dan penanda bagi
masyarakat kota Solo dalam berinteraksi dengan masyarakat daerah lain. Solo
kota budaya juga bukan merupakan proses metamorfosis sebuah kota. Karena
sejatinya inti dari kota Solo adalah kebudayaan itu sendiri. Kebudayaanlah yang
membentuk kota Solo, bukan kota Solo yang membentuk kebudayaan.
Kebudayaan yang meliputi dan bersinggungan dengan semua aspek kehidupan,
misalnya sikap santun dalam tata pergaulan, dan tata kehidupan baik yang sakral
mulai dari ritual menyambut kelahiran hingga ritual melepas sebuah kematian
sampai yang profan berupa budaya abangan yang tidak dijumpai di daerah lain.
Menjadikan Solo Kota Budaya memberikan sudut pandang lain dari kota Solo
yang sudah terlebih dahulu menjadi kota perdagangan dan jasa dari kaca mata
ekonomi.
Hal inilah yang malah menjadi inti dari perwujudan Solo kota budaya,
masyarakatnya bisa menjalankan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan sehari-
harinya. Kalo memakai beskab, pelaksanaan kirab, seperti ketika ada ajang Asean
paragames, itu hanya untuk mempertegas dan menambah pesona dari kota Solo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
saja. Seperti halnya sekaten itu sendiri sebenarnya sekaten merupakan tuntunan
yang bisa mengarahkan masyarakat Solo sebagai kota budaya, didalamnya
terkandung banyak filosofi mengenai kehidupan manusia, khususnya masyarakat
Jawa. Akan tetapi, sekarang ini sekaten hanya diambil kulitnya saja oleh
pemerintah kota , untuk digunakan sebagai ajang promosi kota Solo sebagai kota
budaya. Karena sekaten merupakan salah satu atraksi budaya yang ada di kota
Solo ini.
Lewat semboyan Solo kota budaya sejatinya yang bisa ditunjukkan
kepada dunia luar dari kota ini adalah semua wujud dari kebudayaan, Di kota Solo
sangat banyak atraksi yang bisa ditampilkan. Mulai dari aspek budaya, sejarah
dan wisata kuliner, even-even, kirap, pemakaian pakaian adat, eforia batik, yang
di gunakan sebagai perwujudan Solo kota budaya. Semuanya tinggal digarap
dengan professional agar tidak timbul kesan asal-asalan tanpa perencanaan yang
matang. Sebenarnya pada hakekatnya karnaval kesenian yang dikemas dalam
kebudayaan bernama batik misalnya; hanya untuk menambah pesona yang selama
ini sudah ada berupa wisata budaya.
Lebih lanjut lagi, dengan adanya 3 pilar pembangunan kota Solo yang
mengenai perwujudan kota budaya tersebut mengacu pada 3 kebijakan yang
dikemukakan oleh Kepala Bidang Pemasaran Disbudpar kota Solo yakni;
manajeman branding, manajemen produk, manajemen costumer. Tiga langkah ini
merupakan salah satu kebijakan dari Walikota Solo untuk membangun kota
menjadikan Solo sebagai kota budaya. Manajemen branding mengacu pada
pembentukan citra kota dengan tujuan agar kota Solo dapat dikenal, contohnya
dengan banyaknya even bernuansa budaya yang ada di kota Solo, dengan tujuan
kota Solo dapat dikenal sebagai kota budaya, kota yang masih menggarap budaya
yang ada di daerah tersebut. Sebenarnya semua orang tahu bahwa Solo merupakan
kota budaya, sejak zaman dulu Solo sudah sebagai ikon budaya, salah satunya
dengan adanya keraton dan pura Mangkunegaran. Hal inilah yang di gunakan oleh
Pemkot Solo untuk membentuk sebuah brand atau nama untuk kota Solo.
Berikutnya adalah manajemen product, disini produk yang dimaksudkan adalah
segala sesuatu yang dihasilkan oleh kota tersebut, seperti even-even budaya, kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
yang hijau, kota batik dan lain-lain. Solo sekarang ini dalam mewujudkan kota
budaya memang banyak sekali produk kota yang bernuansakan budaya. Hal inilah
yang sebenarnya dijual kepada masyarakat, turis/wisatawan, investor. Dengan hal
ini kota Solo akan mampu menyediakan multiplier bagi masyarakat, karena roda
perekonomian akan berkembang. Yang ketiga manajemen costumer menyangkut
wisatawan, investor tersebut untuk datang ke Solo.
Pembangunan kota Solo memang menuju kota budaya, namun pada
kenyataannya hanya sebagai pembangunan kota belum mencakup pembangunan
masyarakatnya. Karena kota budaya bukan hanya sebagai pembangunan kota
untuk menjadi kota yang bernuasakan budaya, tapi tingkah perilaku dari
masyarakatnya wajib berbudaya. Sebenarnya live icon nyalah yang seharusnya
diaktualisasikan, dan dijalankan. Dengan pembentukan live icon kota budaya ini
akan dapat mengangkat citra kota budaya secara menyeluruh, turis datang ke Solo
disambut dengan keramahtamahan, turis sedang jajan tidak dinaikan harganya, ini
yang mencerminkan manusia berbudaya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakan bahwa Solo kota budaya
belum sepenuhnya terwujud, karena perwujudan kota budaya di Solo hanya baru
kulit luarnya saja, dengan benyaknya even budaya, ornamen budaya, yang
terpampang dibagian fisik kota. Namun, perwujudan kota budaya bukan hanya
sebatas itu saja, pembentukan live icon atau ikon kota budaya yang hidup harus
menjadi arah perwujudan kota budaya di Solo, karena penanaman nilai-nilai
budaya sangat penting sekali dalam mewujudkan Solo sebgai kota budaya.
Sehingga Solo sebagai kota budaya dapat diartikan sebagai kota yang dengan
kreatif melestarikan warisan budaya, baik yang benda (tangible) maupun yang
tak-benda (intangible), dan dengan bangga menjadikan kekayaan dan pesona
warisan budaya itu sebagai lambang identitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada
Bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Sekaten merupakan sistem nilai budaya masyarakat yang berisikan tuntunan
nilai-nilai kehidupan dan merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan
oleh Keraton Surakarta Hadiningrat yang sifatnya tradisi budaya guna
memperingati hari besar keagamaan yakni memperingati lahirnya Nabi
Muhammad SAW, yang telah diselenggarakan dari zaman kerajaan Demak
sampai saat ini di Keraton Surakarta.
2. Pengembangan sekaten sebagai tujuan wisata di kota Solo dikemas menjadi 3
daya tarik wisata yakni wisata religi, wisata budaya dan wisata ekonomi pada
umumnya serta wisata belanja pada khususnya.
3. Pengembangan sekaten sebagai pariwisata dapat lihat dari 3 aspek yakni
wisata religi, wisata budaya, wisata ekonomi / belanja.
a. Wisata religi yakni mampu membawa sekaten menjadi sarana syiar Islam
dengan konsep kekinian.
b. Pengembangan sekaten sebagai wisata budaya dapat membawa kearah
pelaestarian budaya yakni upacara adat tradisi budaya sekaten.
c. Pengembangan sekaten sebagai wisata ekonomi atau belanja mampu
menggerakan perekonomian rakyat yang berupa kuliner, souvenir dan
sebagainya.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sekaten dibagi menjadi 2
yakni faktor pendorong dan faktor penghambat.
a. Berdasarkan faktor-faktor yang mendorong pengembangan wisata sekaten
yakni
1. Adanya potensi keraton yang menjadi pemangku adat atau yang punya
upacara itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
2. Peran serta masyarakat baik dalam partisipasi wisatawan maupun
menjdi penyokong berjalannya sekaten tersebut, dalam artian sebagai
pedagang yang berperan aktif di sekaten.
3. Barang-barang yang memilki folosofi di sekaten masih banyak
ditemukan di sekaten seperti gerabah dan sebagainya dapat
menggerakkan UKM yang berkonsentrasi dihal itu.
4. Peluang ke depannya yang bisa menempatkan sekaten menajdi salah
satu destinasi wisata budaya religi dan ekonomi yang bersifat
internasional.
5. Sekaten juga bisa menggerakan perekoomian masyarakat menengah
kebawah.
6. Secara otomatis pelestarian budaya akan bisa dilakukan.
b. Faktor – faktor penghambat pengembangan sekaten yakni;
1. Masalah pendanaan yang masih kurang maksimal, karena festival
sekaten membutuhkan biaya yang cukup besar.
2. Pengelolaan yang di kelola oleh keraton sendiri
3. Manajeman yang kurang maksimal, karena manajeman festival masih
tertutup. Maksudnya selama ini hanya orang dari dalam keraton saja
yang menjadi panitia pengelola sekaten.
4. Regulasi kebijakan dari pemerintah kota yang kurang mendukung
pengembangan sekaten sebagai pariwisata yang lebih maju lagi.
5. Solo sebagai kota budaya belum sepenuhnya terwujud, banyak berbagai aspek
yang belum digarap oleh pihak yang berwewenang dalam mengaktualisasikan
nilai-nilai serta norma-norma yang terkandung dalam kota budaya, baik yang
berupa benda (tangible) maupun yang berupa non-benda (ingtangible).
6. Sekaten menjadi potensi sumber nilai budaya dalam mewujudkan Solo sebagai
kota budaya, karena Sekaten pada esensinya merupakan tuntunan yang berisi
spririt- spirit dan nilai-nilai serta norma-norma bagi kehidupan manusia dalam
berbudaya.
7. Kebijakan manajemen untuk merealisasikan Solo sebagai kota budaya ada 3
pilar, yakni; (1) manajemen branding, (2) manajemen produk , (3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
manajemen custumer, sehingga dengan ketiga hal ini diarahkan dalam
memunculkan kembali spirit-spririt kota Solo sebagai kota budaya dan
mampu mampu menjadi komoditas dalam meningkatkan perekonomian
masyarakat kota Solo.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah diuraikan diatas,
maka penelitian ini memiliki beberapa implikasi yang diuraikan sebagai berikut:
1. Implikasi Teoritis
Berdasarkan hasil temuan studi yang dikaitkan dengan beberapa teori yang
dikemukakan Koentjaraningrat mengenai kebudayaan serta sistem nilai budaya
dan pengembangan pariwisata milik Gamal Suwantoro. Selain itu ada konsep citra
dalam pariwisata yang dapat membangun identitas milik Susan Sontag dan
Identitas sebagai konstruksi milik Yekti Maunati. Beberapa teori ini berperan
besar dalam menganalisis data yang telah ditemukan di lapangan.
Teori kebudayaan dan sistem nilai budaya melihat bahwa sekaten
merupakan wujud kebudayaan yang berupa ide, perilaku dan benda serta menjadi
sistem nilai yang ada di masyarakat khususnya kota Solo, yang memberikan
tuntunan nilai-nilai dalam berkehidupan dan berbudaya. Sekaten dalam
perkembangan zaman dikembangkan sebagai pariwisata, sesuai dengan yang di
kemukakan Gamal Suwantoro bahwa pengembangan pariwisata bertujuan untuk
mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang dan bertahap.
Strategi pengembangan parwisata khususnya wisata seakten sebagai wisata religi,
budaya dan ekonomi / belanja merupakan langkah positif yang wajib dilakukan
oleh pihak yang berwewenang.
Selanjutnya dalam pariwisata muncul brand atau citra. Susan Sontag
melihat citra sebagai representation bukan reality. Sedangkan Pitana memandang
citra merupakan persepsi dari masyarakat mengenai apa yang dilihatnya. Solo
yang memunculkan berbagai aspek fisik kemudian dikonstruksi dan melekat pada
siapasaja yang melihatnya. Seperti Solo kota budaya saat ini hanya sebatas
konstruksi sejarah budaya kota Solo yang dipadukan dengan tampilan fisik kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Solo yang bernuansakan budaya, sehingga orang yang melihat merepresentasikan
sebagai kota budaya.
Lebih lanjut, inilah yang dimaksud Yekti Maunati sebagai identitas.
Karena identitas menurutnya merupakan hasil konstruksi, artinya identitas
bukalah suatu hal yang hadir begitu saja akan tetapi melalui proses panjang yang
melibatkan berbagai aspek kehidupan
2. Implikasi Metode
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus tunggal
terpancang karena hanya dilakukan pada satu lokasi yaitu Kota Surakarta. Hal ini
dikarenakan strategi pengembangan pariwisata dalam upaya pembentukan
identitas Solo sebagai kota budaya, khususnya festival sekaten di Keraton
Surakarta berlokasi di Kota Surakarta . Dalam penelitian ini studi kasus mengarah
pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang
apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan dan terpancang
karena dalam penelitian ini memfokuskan pada suatu masalah yang sudah
ditetapkan sebelum peneliti terjun ke tempat penelitian. Oleh karena itu, metode
tersebut tepat untuk digunakan peneliti dalam penelitian.
3. Implikasi Praktis
Pengembangan pariwisata merupakan upaya sebagai pembangunan
daerah, dimana pariwisata merupakan industri listas sektor, bukan hanya sebagai
wisata saja untuk rekreasi tapi, pariwisata juga mampu untuk mengerakan roda
perekonomian rakyat dari yang kalangan bawah sampai kalangan atas. Pariwisata
juga mampu memberikan multiplier effect (efek ganda terhadap bidang ekonomi,
sosial dan budaya), termasuk di antaranya dalam menambah Pemasukan Asli
Daerah (PAD). Peranan pariwisata dalam membangun ekonomi nasional cukup
tinggi, maka dari itu pemerintah hendaknya mengalokasikan dana yang lebih
besar untuk menggenjot promosi pariwisata. Pariwisata juga dapat di jadikan
ajang dalam pelestarian budaya khususnya wisata yang berpotensi budaya seperti
keraton Surakarta. Sehingga kerjasama dari berbagai pihak sangat di butuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
dalam mewujudkan mangeman yang baik untuk pengembangan wisata budaya ke
depannya, serta terwujudnya solo sebagai kota budaya secara total.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan di atas,
maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:
1. Pemerintah
a. Pemerintah kota Surakarta hendaknya segera mengambil langkah
bijaksana dalam mengembangkan potensi cagar budaya yang ada di
kota Surakarta yakni Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran
sebagai potensi wisata budaya.
b. Pemerintah kota Surakarta hendaknya segera mencanangkan regulasi
penuh atas pengembangan festival budaya yang ada di Keraton
Surakarta khusus nya festival sekaten, hal ini terkait pendanaan,
pengelolaan, dan pengembangan festival sekaten yang ke depannya
sangat-sangat bisa di kembangkan kearah yang lebih baik lagi.
c. Pemerintah hendakya mengembangkan dan merangkul usaha
masyarakat di kota Solo yang berkaitan dengan kuliner, souvenir,
yang mampu mendukung pengembangan pariwisata di kota Solo dan
pada khususnya festival sekaten.
d. Pemerintah hendaknya menjadi penggerak kerjasama dalam hal
pengelolaan festival sekaten kedepannya, agar mampu menjadi festival
bertaraf nasional dan bahkan internasional.
e. Pemerintah hendaknya mulai dari sekarang menanamkan nilai-nilai
budaya ke masyarakat lewat pendidikan formal atau non-formal, agar
Solo sebagai kota budaya akan terwujud sepenuhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
2. Keraton Surakarta Hadingrat
a. Kerton Surakarta hendaknya mampu memanageman secara baik dalam
pengelolaan dan pengembangan festival sekate, agar sekaten bisa lebih
maju lagi serta mampu memberikan multiplier effect kepeda
masyarakat luas, menyakup segi ekonomi, sosial budaya. Bukan hanya
melestarikan budaya adat tradisi nenek moyang tapi bisa
memanageman sekaten sebagai penggerak ekonomi rakyat, karena
selama ini hanya keraton saja sebagai pengelola sekaten.
b. Keraton Surakarta sebagai sumber budaya yang ada di kota solo,
hendaknya mampu memberikan pengaruhnya dalam membentuk
perilaku orang solo, dalam mewujudkan kota solo sebagai kota
budaya.
c. Keraton Surakarta hendaknya melakukan open manageman festival
sekaten agar pengelolaannya lebih bagus lagi dan menjadikan festival
sekaten menjadi milik bersama antara keraton, pemerintah dan
masyarakat.
3. Masyarakat
a. Masyarkat hendaknya berperan aktif dalam mengembangkan festival
sekaten .
b. Masyarakat hendaknya kritis dalam membangun Solo sebagai tujuan
wisata, karena pariwisata mampu memberiakan efek ganda yakni
sebagai pelestari budaya dan menggerakan ekonomi masyarakat.
c. Masyarakat Solo hendaknya harus siap menjadi ikon yang hidup Solo
sebagai kota budaya, karena ikon hidup inilah yang mampu membawa
kota Solo benar-benar sebagai kota berbudaya.