STATUS PERNIKAHAN CAMPURAN BERDASARKAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
OLEH:
MUH. NUR UDPA
B 111 07 173
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………… i
Daftar isi ………………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang …………………………………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………….3
1.3. Tujuan Penulisan …………………………………………………………… 3
BAB II PEMABAHASAN
2.1. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………… 4
2.2. Pemaparan mengenai status perkawinan campuran dalam perspektif hukum islam
…………………………………………………………………………………. 7
BAB III SIMPULAN
3.1. Simpulan …………………………………………………………………… 15
3.2 Saran ………………………………………………………………………….. 15
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu
pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Interaksi manusia dalam
masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat
kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria
dengan seorang wanita dalam ikatan pernikahan.
Pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh
dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara,
dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu
dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau
aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang
mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara
yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan
kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang
melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian
mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.1
1 www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 3 April 2010. Pukul 21.20 WITA
3
Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : “Ikatan lahir batin antara pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut ada satu hal yang harus
mendapatkan perhatian dan menjadi satu fenomena yang masih diperdebatkan yaitu tentang
perkawinan beda kewarganegaraan. Undang-Undang Perkawinan secara eksplisit tidak mengatur
tentang perkawinan bedakewarganegaraan, sedangkan pada kenyataannya sering terjadi
sebagaimana yang terjadi pada beberapa artis di Indonesia. Berdasarkan pasal 2 Undang Undang
Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan itu.
Berdasarkan sudut pandang Islam pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan antara yang satu
dan warga negara yang lain bukanlah suatu problem bagi Islam selama kelainan
kewarganegaraan atau bangsa itu tidak disertai kelainan agama yang dianut keduanya. Artinya,
kedua calon calon itu beragama Islam, apapun suku dan kebangsaannya, tidaklah menjadi
penghalang perkawinan.
4
Namun, permasalahan muncul ketika terjadi perkawinan campuran2 yang mencuat ditengah-
tengah masyarakat Indonesia khususnya Agama Islam. Keberadaan perkawinan campuran
menimbulkan polemik, bagaimana status pernikahan ini dimata hukum Indonesia, melalui
perspektif hukum Islam dengan dasar sahnya pernikahan didasarkan oleh agama dan
kepercayaan masing-masing .
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka permasalahan yang diangkat dalam
penulisan ini adalah bagaimana status perkawinan campuran berdasarkan perspektif hukum
Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah untuk mengetahui status perkawinan campuran berdasarkan
perspektif hukum Islam.
BAB II
2 Perkawinan campuran yang dimaksudkan yaitu perkawinan antaragama, atara orang yang berlainan agama dan salah satunya beragama Islam, baik musyrik maupun ahli kitab atau kitabiyah (penganut agama selain Islam yang mempunyai kitab suci)
5
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan pustaka
2.1.1. Pengertian
Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sini disyaratkan perkawinan antara seorang
pria dan wanita dan belum/tidak diatur tentang perkawinan dengan status baru yang terjadi
dengan adanya fenomena operasi ganti kelamin. Sementara Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menentukan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
2.1.2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari pernyataan Al Quran sebagai sumber
ajaran yang pertama. Al-Quran dalam Surat Ar-Ruum : 21 menegaskan bahwa Di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki dan jenis
mereka sendiri agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah
menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara
mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau
berfikir. Tujuan perkawinan di atas terefleksi dalam ketentuan Pasal 3 KHI, yaitu bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
6
mawaddah dan rahmah. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai Pasal 2
ayat (1) UUP.
2.1.3. Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.
Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN. Pencatatan
perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa
peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata bersifat administratif. Namun
apabila ada perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN, maka perkawinan tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum artinya hukum tidak memberikan perlindungan apabila terjadi
sesuatu terhadap perkawinan tersebut.
2.1.4. Alat Bukti Perkawinan
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN. Jika akta nikah
tidak ada, berdasarkan Pasal 7 ayat (4) KHI dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama
oleh suami atau isteri, anak-anak, wali dan pihak yang berkepentingan (misalnya jaksa dalam
rangka penuntutan perkara pidana pelangganan perkawinan ex Pasal 279 KUHP, yakni jika
pernikahan yang dijadikan dasar penuntutan itu tidak mempunyai akta nikah/belum tercatat pada
PPN KUA Kecamatan, maka jaksa dapat mengajukan itsbat nikah ke pengadilan agama untuk
membuktikan terjadinya pelanggaran tindak pidana).
7
Itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UUP.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut UUP.
2.1.5. Alat Bukti Putusnya Perkawinan dan Rujuk
Putusnya perkawinan selain cerai mati dibuktikan dengan Surat Cerai berupa putusan PA
(perceraian, ikrar talak, khuluk, taklik talak)
talak : perceraian atas kehendak suami, disebut juga dengan cerai talak. Menurut hukum
Islam, suami yang mempunyai kekuasaan memegang tali perkawinan dan karena itu
maka suami yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak.
Suami yang ingin mengucapkan ikrar talak, ia tidak mengajukan gugatan perceraian,
tetapi mengajukan permohonan ijin untuk mengucapkan ikrar talak. Pengadilan akan
menilai apakah permohonan itu sah, layak dan memenuhi alasan -alasan menurut hukum
Islam.
cerai gugat: isteri tidak punya hak menceraikan suami, karena itu ia harus mengajukan
gugatan untuk bercerai. Selanjutnya hakim yang akan memutuskan perkawinannya
dengan kewenangan yang dimilikinya.
khuluk perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan
tebusan (iwadl) kepada dan atas persetujuan suaminya.
8
taklik talak : perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam akta nikah berupa janji yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Catatan: alasan-alasan yang dipergunakan untuk mengajukan cerai gugat oleh isteri sama
dengan alasan cerai talak oleh suami.3
2.2. Pemaparan status perkawinan campuran dalam perspektif hukum Islam
Perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu
(bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti berkumpulnya sesuatu yang tidak sama atau
seragam antara lain dalam bidang agama atau keagamaan. Jadi, perkawinan campuran adalah
perkawinan antara seseorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.
Perkawinan antar agama disini dapat terjadi dalam beberapa jenis yaitu:
(1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab
ataupun musyrik, dan
(2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab
ataupun musyrik.
Musyrik pada prinsipnya adalah mereka yang tidak memeluk agama samawi, penyembah
berhala, penyembah api, atau agama-agama politeisme. Adapun ahli kitab atau kitabiyyah adalah
mereka yang menganut agama samawi lain, selain Islam. Meraka juga memiliki kitab suci,
seperti Nasrani dan Yahudi. Pada dasarnya para ahli kitab ini tidak berbeda jauh dengan Islam.
3 http://elisa.ugm.ac.id/chapter_view.php?HKU.304_Hartini&684. Diakses pada tanggal 4 April 2010. Pukul 12.20 WITA
9
Mereka percaya kepada Allah dan menyembahnya, seperti halnya Islama, ada larangan berbuat
jahat dan perintah berbuat kebaikan. Perbedaan mendasar terletak pada keengganan mereka akan
kerasuluan Muhammad SAW, serta pandangan yang salah terhadap eksistensi para nabi yang
diutus kepada mereka.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya.
Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita
Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-
laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik. Adapun tentang
perkawinan antarorang berlainan agama ini pada dsarnya terbagi atas dua yaitu:4
Orang musyrik
Seluruh ulama sepakat akan keharamannya, artinya tidak halal perkawinan wanita muslimah
dengan laki-laki musyrik dan sebaliknya seorang muslim menikah dengan wanita musrik.
Diperjalas lagi bahwa jika terjadi perkwinan antara seorang wanita muslim dengan seorang laki-
laki non Muslim baik ahlul al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-
Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Adapun
dalilnya adalah surat Al-Baqarah ayat 221:
�ين� ر�ك م�ش� ال �نك�ح�وا ت � و�ال �م ك �ت ب عج�� أ �و و�ل �ة� ر�ك م�ش م�ن ر� ي خ� �ة� م�ؤم�ن م�ة�
� و�أل �ؤم�ن# ي #ى ح�ت �ات� ر�ك م�ش ال �نك�ح�وا ت � و�ال
#ة� ن ج� ال �ل�ى إ �دع�و� ي ,ه� و�الل #ار� الن �ل�ى إ �دع�ون� ي �ك� ئ ـ� ول� أ �م �ك ب عج�
� أ �و و�ل ر�ك� م�ش م�ن ر� ي خ� م�ؤم�ن� د� �ع�ب و�ل �وا �ؤم�ن ي #ى ح�ت
ون� #ر� �ذ�ك �ت ي #ه�م �ع�ل ل #اس� �لن ل �ه� �ات آي �ن� �ي �ب و�ي �ه� �ذن �إ ب ة� م�غف�ر� و�ال
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
4 Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Garut. Hal 130
10
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dari ayat tersebut, terlihat jelas bagi kita bahwa tidak ada pilihan bagi orang musyrik dalam
kaitannya dengan perkawinan. Laki-laki muslim haram mengawinimusyrikah, apalagi wanita
muslimah menikah dengan orang musyrik. Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan
hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non
muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada
agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Ahli kitab
Dalam hal ini ada dua persoalan, pertama adalah laki-laki muslim dibolehkan mengawini wanita
ahli kitab. , berdasarkan firman Allah SWT, Al-Maidah 5:
م� ل�ه� ل� ح ك�م� و�ط�ع�ام� ل�ك�م� ل� ح ال�كت�اب� � أ�وت�وا ال�ذين� و�ط�ع�ام� الط�ي�ب�ات� ل�ك�م� ل� أ�ح ال�ي�و�م�
إذ�ا ب�لك�م� ق� من ال�كت�اب� � أ�وت�وا ال�ذين� من� ن�ات� ص� ال�م�ح� و� ن�ات م ؤ� ال�م� من� ن�ات� ص� ال�م�ح� و�
ان باإليم� ر� ي�ك�ف� و�م�ن د�ان0 أ�خ� ذي ت�خ م� و�ال� ين� افح م�س� غ�ي�ر� نين� ص م�ح� ه�ن� ور� أ�ج� آت�ي�ت�م�وه�ن�
رين� اس ال�خ� من� ة ر� اآلخ في و�ه�و� ل�ه� ع�م� بط� ح� د� ق� ف�
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
11
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita
kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu
sebagai berikut :
1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak
beragama selain agama samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan
zina)
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Kedua adalah perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab apalagi musyrik tidak
dihalalkan. Dalam ayat di atas tidak disebutkan tentang perkawinan muslimah dengan ahli kitab.
Namun, dari dalil itu kita dapat mengambil hukum, yang merupakan hukum kebalikannya, yaitu
keharamannya. Sayid sabiq dalam fiqhus sunnah menjelaskan, para ulama sepakat bahwa
perempuan muslimah tidak halal menikah dengan laki-laki yang bukan muslim baik itu ahli kitab
apalagi musyrik. Alasannya adalah firman Allah SWT, Al-Mumtahanah 10:
الل�ه� ن� انه بإيم� أ�ع�ل�م� الل�ه� ن�وه�ن� ت�ح ام� ف� ات0 ر� اج م�ه� ن�ات� م ؤ� ال�م� اء�ك�م� ج� إذ�ا ن�وا ء�ام� ال�ذين� ا ي�ه�� ي�اأ
و�ال� م� ل�ه� ل� ح ه�ن� ال� ار ال�ك�ف� إل�ى ع�وه�ن� ج ت�ر� ال� ف� ن�ات0 م ؤ� م� ت�م�وه�ن� ع�لم� إن� ف� ن� انه بإيم� أ�ع�ل�م�
ن� ء�ات�ي�ت�م�وه� إذ�ا وه�ن� ت�ن�كح� أ�ن� ع�ل�ي�ك�م� ن�اح� ج� و�ال� وا ق� �ن�ف� أ ا م� ء�ات�وه�م� و� ن� ل�ه� ل�ون� ي�ح ه�م�
ك�م� ح� ذ�لك�م� وا ق� �ن�ف� أ ا م� أ�ل�وا ل�ي�س� و� ت�م� ق� �ن�ف� أ ا م� أ�ل�وا و�اس� ر اف ال�ك�و� م بعص� ك�وا ت�م�س و�ال� ه�ن� ور� أ�ج�
Mيمك ح� Mيمع�ل الل�ه� و� ب�ي�ن�ك�م� ك�م� ي�ح� الل�ه
12
Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan
berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan
pertimbangan kemadaratan. Artinya seandainya diperbolehkan, perkawinan tersebut akan
mendatangkan kemadaratan bagi wanita yang bersangkutan. Hal ini karena setelah perkawinan
wanita tersebut terikat kepada suaminya, di bawah kekuasaannya. Dia harus taat kepada
suaminya, walaupun mungkin pada awalnya terbatas pada hal-hal yang bukan peribadatan,
namun lama-lama ia akan terbawa pada agama suaminya dan hilanglah kebebasannya. Apabila
kemudian lahir anak-anak dari perkawinan tersebut, mereka dikhawatirkan akan terseret agama
bapaknya sebab bapak sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewenangan lebih daripada
ibunya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku
Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama
ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan.
Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan
kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.
13
Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan
penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan hasil yang
mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-
anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan
asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang
menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan pria non muslim akan
menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak
ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan antar agama.
Sedangkan, dalam sudut pandang mazhab empat, perkawinan campuran tetap memandang bahwa
wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh
tersebut mengenai hukum perkawinan campuran:
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan
Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang
terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang
dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang
pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan
Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya
boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan
dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan
14
membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan
wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul
kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita
non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun
harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan
bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al
Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan
yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul
kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-
wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa
lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab
ini adalah :
1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.
15
2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada
dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut
agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak
sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani
sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena
tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan
bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani.
Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung
pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab
adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang
menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
16
BAB III
SIMPULAN
3.1. Simpulan
Perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu
(bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti berkumpulnya sesuatu yang tidak sama atau
seragam antara lain dalam bidang agama atau keagamaan. Jadi, perkawinan campuran adalah
perkawinan antara seseorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.
Perkawinan antar agama disini dapat terjadi dalam beberapa jenis yaitu:
(1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab
ataupun musyrik, dan
(2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab
ataupun musyrik.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya.
Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita
Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik, ataukah antara seorang laki-
laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.
3.2. Saran
Dalam kehidupan perkawinan, laki-laki ataupun wanita tidak lagi hidup secara terpisah. Mereka
telah menyatu dalam ikatan akad, serta perasaan saling mencintai, seia sekata, seiring setujuan.
17
Namun, dalam proses ikatan ini sebaiknya didasari akan cinatnya pada Allah SWT, sehingga
perkawinan campuran yang lebih membawa mudarabah lebih diminimalisir.
18
DAFTAR PUSTAKA
Hakim. Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Setia Bandung: Garut.
Prodjohamidjojo. 2001. Hukum Perkawinan Indonesia. Indonesia Legal Center Publishing:
Jakarta
Soemiyati. 1982M. Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan. Liberty:
Yogyakarta
www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 3 April 2010. Pukul 21.20 WITA
http://elisa.ugm.ac.id/chapter_view.php?HKU.304_Hartini&684. Diakses pada tanggal 4 April
2010. Pukul 12.20 WITA
19
Top Related