BAB I
BENTUK-BENTUK STRUKTUR SOSIAL
STRUKTUR SOSIAL DAN FAKTOR PEMBENTUK KETIDAKSAMAAN
SOSIAL
Pembicaraan mengenai struktur sosial berada pada tingkat makro
sosiologi, yang mencakup gambaran dari kelompok-kelompok, organisasi-
organisasi, dan bahkan masyarakat keseluruhan, dalam jangka waktu yang
panjang. Hal itu berbeda dengan pembicaraan mikro sosiologi yang lebih terfokus
pada gejala sosial, yang melibatkan interaksi dari sedikit orang dalam waktu yang
singkat (Richter, 1987: 59). Jadi, makro sosiologi membahas cakupan yang lebih
luas dan lama, sedangkan cakupan mikro sosiologi lebih sempit dan singkat.
1. Pengertian Struktur Sosial
Menurut Talcott Parsons (Sunarto,2004: 54), berbicara tentang struktur
berarti berbicara tentang kesalingterkaitan antarinstitusi, bukan antarindividu.
Sedangkan menurut Coleman, struktur adalah pola hubungan antar manusia dan
antar kelompok manusia. William Kornblum (1997: 77) mendefinisikan
struktur sosial sebagai pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan
antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Menurut Calhoun (1997: 7), struktur sosial adalah pola hubungan-
hubungan, kedudukan-kedudukan, dan jumlah orang yang memberikan kerangka
bagi organisasi manusia, baik dalam kelompok kecil maupun keseluruhan
masyarakat. Hubungan-hubungan terjadi ketika manusia memasuki pola interaksi
yang relatif stabil dan berkesinambungan dan/atau saling ketergantungan yang
menguntungkan. Kedudukan atau status menunjukkan tempat seseorang di dalam
jaringan hubungan sosial yang diakui dan biasanya mengandung perilaku yang
diharapkan (peran). Jumlah orang yang berbeda-beda, memiliki konsekuensi
terhadap struktur sosial.
Pendapat lain dari Borgatta & Borgatta (1992: 1970) menyatakan,
struktur sosial adalah lingkungan sosial bersama yang tak dapat diubah oleh orang
perorang, yang menyediakan konteks atau lingkungan bagi tindakan manusia.
Ukuran organisasi, pembagian kegiatan dalam organisasi, bahasa yang
dipergunakan bersama, dan pembagian kesejahteraan adalah hal-hal yang
membentuk lingkungan sosial yang bersifat struktural dan membatasi perilaku
orang perorang.
Oleh karena itu, harus dibedakan antara struktur sosial dengan individu
yang mengisi struktur tersebut. Contah, di desa atau kelurahanmu ada Pak
Lurah/Kepala Desa, Sekretaris Desa, RW, RT, dan warga. Struktur itu relatif tetap
walaupun individu yang mengisinya (menjabatnya) mungkin berganti-ganti.
Misal, individu yang menjabat Lurah akan berganti setelah masa jabatan habis.
Struktur sosial terjadi karena bertahannya rutinitas sosial. Rutinitas sosial itu
bertahan dalam jangka waktu lama karena dua hal sebagai berikut.
1.1 Hambatan-hambatan Fisik
Kehidupan sosial manusia dibatasi oleh hambatan-hambatan fisik, seperti
jarak satu tempat dengan tempat lainnya. Oleh karena itu, orang cenderung
memilih tempat tinggal di dekat tempat kerjanya. Orang yang bekerja di sebuah
perusahaan juga bertemu dengan rekan kerjanya setiap hari. Kecenderungan-
kecenderungan itu membuat adanya rutinitas dalam kehidupan sosial.
Namun demikian, hambatan jarak dan rutinitas keseharian ini sudah mulai
berubah pola dengan adanya teknologi sistem informasi yang maju. Misalnya,
kalian bisa ngobrol dengan teman yang ada di luar negeri lewa E-Mail, atau
bahkan saling melihat melalui webcam. Teknologi juga memungkinkan
perusahaan menetapkan jam kerja dua tau tiga kali seminggu, bukan setiap hari.
Karyawan masih dapat melakukan pekerjaannya dari rumah dengan menggunakan
teknologi internet. Meskipun hambatan fisik tetap ada, tapi saat ini sudah ada
kelonggaran dan tidak sesulit dahulu.
1.2 Keterbatasan Kemampuan Belajar Manusia dan Kompleksitas
Kegiatan Sosial
Tata bahasa, tata krama, dan keterampilan kerja adalah kecakapan sosial
yang memerlukan waktu dan usaha khusus untuk dikuasai. Kesulitan dalam
memperoleh kecakapan itu dapat membatasi pilihan orang dalam kegiatan sosial.
Bernstein (1975) mencatat bahwa kebiasaan seorang anak di rumah yang
mencerminkan kondisi kerja orang tuanya, akan membuat anak tersebut hanya
mampu menjalani pekerjaan yang sama dengan orang tuanya. Misanya, dalam
masyarakat tradisional, anak seorang petani cenderung menjadi petani pula. Agak
sulit bagi kebanyakan orang untuk memasuki dunia kerja yang asing baginya.
Tapi dalam masyarakat maju, kecenderungan seperti itu sudah berubah. Misalnya
anak seorang guru, hanya sebagian meneruskan profesi orang tuanya. sebagian
lagi menjadi teknisi komputer, wartawan, bankir, dan profesi lainnya.
2. Faktor-faktor Ketidaksamaan Sosial
Beteille (1977: 4) menyebutkan bahwa ada dua jenis sumber
ketidaksamaan dalam masyarakat, yaitu (a) yang bersifat alami dan (b) yang
bersifat sosial. Sumber ketidaksamaan dalam masayarakat yang bersifat alami
menurut Rousseau adalah usia, kesehatan, kekuatan tubuh, kualitas pikiran, dan
jiwa.
Sumber ketidaksamaan yang bersifat sosial adalah kekuasaan, prestise,
kedudukan, dan kekayaan yang nilainya masing-masing sangat ditentukan oleh
penilaian masayarakat setempat. Setiap masayarakat memiliki standar penilaian
atas kualitas dan kinerja anggotanya sehingga masing-masing masayarakat
mempunyai cara tersendiri dalam mengelompokkan anggotanya ke dalam
kelompok atau lapisan sosial tertentu. Di Amerika, gelar Doktor buka sesuatu
yang menakjubkan karena banyak yang memilikinya. Hal tersebut berbeda dengan
di Indonesia, yang sebagian masyarakatnya masih memandang gelar Doktor
sebagai suatu hal yang luar biasa karena belum banyak orang yang mampu
meraihnya. Tiap masyarakat memang memiliki penilaian berbeda terhadap
sesuatu yang serupa.
Dari sumber-sumber ketidaksamaan sosial itu, kita mengenal adanya dua
konsep pokok dalam pembicaraan tentang struktur sosial yaitu diferensiasi sosial
(pembedaan sosial) dan stratifikasi sosial (Pelapisan sosial). Namun demikian,
Sunarto (2004: 86) tiadak membedakan antara diferensiasi dan srtatifikasi sosial.
Hal-hal yang sering disebut sebagai aspek diferensiasi seperti ras, etnis, usia dan
jenis kelamin ia bahas dalam topik srtatifikasi sosial. Kebanyakan pakar pun
cenderung lebih membahas srtatifikasi sosialdaripada diferensiasi sosial. Namun,
di sini kita masih akan membedakan.
INTISARI
► Di dalam kehidupan setaiap masyarakat, pasti terdapat kelompok-kelompok
yang berbeda-beda secara horizontal atau berjejer dan juga tersusun dari
bawah ke atas sehingga membentuk sebuah struktur sosial.
► Hakikat struktur sosial adalah susunan kehidupan kehidupan masyarakat
yang terdiri atas pola-pola hubungan-hubungan dan kedudukan-kedudukan
yang memberikan kerangka organisasi kehidupan msyarakat.
► Struktur sosial dapat bertahan karena adanya hambatan-hambatan fisik bagi
kegiatan manusia dan keterbatasan kemampuan manusia dalam mempelajari
kegiatan sosial yang kompleks.
► Dalam kehidupan masyarakat selalu terjadi ketidaksamaan sosial, baik yang
bersumber dari hal-hal yang bersifat alamiah maupun hal-hal yang bersifat
sosial-budaya.
► Diferensiasi adalah proses perbedaan. Diferensiasi atau pembedaan sosial
adalah proses terjadinya perbedaan-perbedaan antar warga masyarakat.
Pembedaan sosial akan melahirkan perbedaan sosial.
► Perbedaan sosial dapat terjadi karena hal-hal yang bersifat alamiah, yaitu
perbedaan ras, jenis kelamin, usia, dan perbedaan potensi diri.Perbedaan
sosial dapat terjadi karena hal-hal yang bersifat budaya, yaitu perbedaan
etnis, agama, gender, dan pekerjaan.
► Ras adalah kelompok manusia yang berasal dari satu wilayah geografis
tertentu dan memiliki ciri-ciri fisik sama sehingga berbeda dengan
kelompok manusia lainnya. Ada tiga jenis ras baku, yaitu ras Kaukasid
(putih), ras Mongolid (kuning), dan ras Negrid (hitam).
► Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
sebagai hasil perbedaan kromosom pada janin. Perbedaan fisik antara laki-
laki dan perempuan semakin nyata ketika manusia memasuki usia
puber/usia remaja.
► Etnis adalah kelompok manusia atau bagian dari ras yang merasa diri dan
kebudayaan mereka yang mereka kembangkan berbeda dengan kelompok
lain. Di Indonesia, kata etnis mempunyai arti sama dengan suku bangsa.
► Gender adalah perbedaan yang bersifat nonbiologos (psikologis, sosial, dan
budaya) dari laki-laki dan perempuan sebagaimana dibentuk oleh suatu
masyarakat. Tumbuhnya gender dalam suatu masyarakat merupakan hasil
sosialisasi atau pendidikan.
► Stratifikasi atau pelapisan adalah proses meletakkan benda pada satu
tumpukan berkesinambungan menurut kelompok benda tertentu. Stratifikasi
sosial adalah penjenjangan kelompok-kelompok manusia dalam masyarakat
berdasarkan ukuran-ukuran atau kriteria tertentu.
► Stratifikasi sosial merupakan ciri khas masyarakat yang bertahan dari
generasi ke generasi, serta terdapat setiap kehidupan masyarakat walau
bentuknya bisa tidak seragam. Pelapisan didukung oleh keadaan nyata
(perbedaan nyata) dan kepercayaan-kepercayaan (tentang hal-hal yang harus
berbeda) yang diyakini warga masyarakat.
► Ada enam jenis stratifikasi sosial, yaitu sistem primitif; sistem feodal;
sistem perbudakan; sistem kasta; sistem kelas; dan sistem sosialisme negara.
Tidak ada mayarakat yang memiliki sistem stratifikasi murni. Yang umum
terjadi adalah berlaku sistem campuran dengan salah satu sistem menjadi
gejala yang dominan.
► Kelas sosial adalah kelompok orang yang menduduki lapisan sosial yang
sama. Karl Marx membedakan kelas borjuis dan proletar dalam masyarakat
berdasarkan pemilikan alat produksi. Max Weber membedakan kelas
berdasarkan pemilikan prestise/kehormatan, kekayaan, dan kekuasaan.
► Secara garis besar, masyarakat dapat dilapiskan menjadi tiga kelas, yaitu
kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah.
► Teori fungsional berpendapat bahwa pelapisan sosial bermanfaat untuk
mendorong bekerjanya sistem sosial, sehingga menguntungkan semua
warga masyarakat. Dengan membagikan sumber daya secara tak sama,
masyarakat memotivasi setiap anggotanya untuk bekerja lebih baik, lebih
keras, dan lebih lama sehingga masyarakat lebih produktif.
► Teori konflik berpendapat bahwa pelapisan sosial hanya menguntungkan
kelas atas dan menengah masyarakat.
► Konsolidasi sosial adalah bertumpuknya perbedaan-perbedaan sosial pada
masing-masing warga masyarakat sehingga mempertajam perbedaan sosial.
► Interseksi sosial adalah perpotongan garis kelas sosial karena
ketidaksejajaran kelas sosial seseorang berdasarkan kekuasaan, kekayaan,
dan kehormatan yang dimilikinya.
BAB II
KONFLIK SOSIAL
KONFLIK DALAM MASYARAKAT
1. Definisi Konflik Sosial
Istilah “konflik” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya, istilah “konflik”
(conflict) berasal dari bahasa latin confligo, yang berarti bertabrakan, bertubrukan,
terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang (K. Prent,
dkk., 1967: 174). Sedangkan “konflik sosial” menurut KBBI berarti pertentangan
anatar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh di kehidupan.
Konflik sosial biasanya dipahami sebagai suatu proses sosial disasosiatif
atau saling bertentangan antar pihak. Dalam proses tersebut, masing-masing pihak
berusaha saling menguasai atau berebut pengaruh. Cara yang ditempuh bisa
menggunakan kekerasan atau nonkekerasan.
Dalam pustaka Sosiologi, ada banyak definisi mengenai konflik sosial.
Berikut adalah beberapa diantaranya.
a. Konflik sosial adalah perselihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang
persediannya terbatas. Pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud
untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan,
merugikan atau menghancurkan lawan mereka. (Lewis A. Coser)
b. Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau
kelompok manusia berusah untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lain dengan ancaman dan/atau kekerasan.
(Leopold von Wiese)
c. Konflik sosial adalah konfrontasi kekuasaan/kekuatan sosial. (R.J. Rummel)
d. Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih
menganggap ada perbedaan “posisi” yang tidak selaras, tidak cukup sumber,
dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri atau dalam
beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. (Duane Ruth-
Heffelbower)
2. Pendekatan Konflik
Pendekatan konflik berakar pada pandangan Karl Marx mengenai
masyarakat. Pendekatan ini kemudian diperkaya oleh Max Weber dan Georg
Simmel. Selanjutnya dikembangkan antara lain oleh Ralf Dahdendorf, Lewis
Coser, Jonathan Turner.
Menurut Karl Marx, masyarakat secara fundamental terbagi atas kelas-
kelas. Mereka selalu bertentangan untuk memperjuangkan kepentingan kelas
masing-masing. Karena itu, sejarah umat manusia hanya bisa dipahami dalam
kaitannya dengan konflik di dalam kelompok-kelompok ekonomi dalam
masayarakat. Pada umumnya, kelompok ekonomi yang kuat adalah mereka yang
memiliki kekuasaan.
Jadi, menurut teori ini, konflik selalu terkait dengan kekuasaan. Pada
hakikatnya, konflik adalah konfrontasi kekuasaan. Sedangkan konflik sosial
adalah konfrontasi antara kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Dalam masyarakat selalu ada kelompok warga yang memiliki kekuasaan
dan yang tidak. Dengan kata lain, ada ketidakmerataan pembagian kekuasaan.
Kedua kelompok ini memiliki kepentingan berbeda. Dengan demikian,
kepentingan merupakan kata kunci kedua untuk memahami konflik.
Kelompok pemilik kekuasaan berkepentingan untuk memelihara dan
mengukuhkan pola-pola hubungan kekuasaan yang ada dan menguntungkan
mereka. Sedangkan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan berkepentingan
untuk mengubah pola-pola hubungan kekuasaan itu. Kenyataan ini memunculkan
diferensiasi kepentingan dan kelompok kepentingan. Perbedaan kepentingan, yang
tak jarang juga saling bertentangan, menyebabkan kelompok-kelompok
kepentingan ini senantiasa berada dalam konflik satu sam lain.
Menurut Jonathan Turner (Ritzer, 1992: 267), proses terjadinya konflik
terdiri atas sembilan tahap, sebagai berikut.
a. Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
b. Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langka yang bernilai di
antara unit-unit tersebut.
c. Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional
mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
d. Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi
mereka untuk mengubah sistem alokasi sumber-sumber yang ada.
e. Mereka yang tidak berpunya mulai menjadi emosional.
f. Secara berkala muncul ledakan frustasi, sering tidak terorganisasi.
g. Intensitas mereka dalam keterlibatan konflik semakin meningkat dan
keterlibatan tersebut semakin emosional.
h. Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak
berpunya dalam konflik tersebut.
i. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tinkat kekerasan terjadi di antara
mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya. Tingkat kekerasan
tergantung pada kemampuan kelompok-kelompok yang bertikai dalam
mendefinisikan kepentingan mereka yang sesungguhnya dan sejauh mana
sistem sosial politi yang memiliki mekanisme untuk menangani, mengatur, dan
mengontrol konflik.
Menurut pendekatan ini, konflik akan berakhir (bukan lenyap!) dan
kembali kepada tata masyarakat melalui paksaan dari penguasa.
FAKTOR PENYEBAB, FUNGSI, AKIBAT, DAN CARA MENGATASI
KONFLIK
Menurut Leopoldvon Wiese dan Howard Becker, secara umum ada
empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik, yaitu :
a. Perbedaan individual
Setiap orang berbeda, tidak ada yang sama persis dengan orang lain. Perbedaan
karakter, nilai-nilai, pendirian, dan emosi seseorang merupakan faktor yang
bisa menyumbang terjadinya konflik sosial.
b. Perbedaan kebudayaan
Setiap orang hidup dan tumbuh dalam sebuah lingkungan kebudayaan. Ia
menyerap nilai-nilai yang berkembang dalam kebudayaannya sehingga,
disadari atau tidak, pola pikirnya terbentuk oleh kebudayaan tersebut.
Sementara itu, antara kebuyaan yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Perbedaan itu pada gilirannya dapat menyebabkan terjadinya konflik.
c. Perbedaan kepentingan
Dalam masyarakat sesungguhnya tumbuh berbagai kepentingan individu dan
kelompok yang berbeda-beda. Bahkan, ada kalanya kepentingan yang satu
bertentangan dengan kepentingan yang lain. Kepentingan yang dimiliki oleh
kelompok sosial tertentu bertentangan dengan kepentingan kelompok sosial
yang lain.
d. Perubahan sosial
Perubahan sosial, terutama yang berlangsung secara cepat, bisa menjadi
penyebab terjadinya konflik. Hal itu terjadi karena, perubahan sosial yang
cepat berakibat pada perubahan sistem nilai dalam masyarakat dan juga
struktur sosial masayarakat. Perubahan tersebut akan mengakibatkan
munculnya kelompok masyarakat yang diuntungkan, tetapi juga kelompok
masyarakat yang tidak diuntungkan oleh adanya perubahan itu. Akibat lebih
lanjut, akan muncul konflik di antara kedua kelompok masyarakat tersebut.
Namun, faktor-faktor tersebut bukanlah akar dari konflik, melainkan lebih
merupakan pemicu terjadinya konflik. Menurut perspektif Konsensus, penyebab
utama(akar persoalan) terjadinya konflik sosial adalah adanya disfungsi sosial.
Maksudnya, norma-norma sosial tidak ditaati dan pranata sosialisasi serta
pengendalian sosial tidak berfungsi dengan baik.
Sementara itu, menurut teori konflik, penyebab utama terjadinya konflik
sosial adalah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan
dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi kepentingan. Secara lebih
rinci, faktor-faktor penyebab konflik menurut teori ini adalah sebagai berikut
(diolah dari Turner, 1998).
♦ Ketidakmerataan distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dalam
masyarakat.
♦ Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.
♦ Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan
kepentingan.
♦ Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas
bawah serta lambatnya mobilitas sosial ke atas.
♦ Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi masayarakat
bawah dan/atau elit.
♦ Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.
Namun, faktor-faktor penyeba konflik sosial tidak pernah bersifat
sederhana dan tunggal, melainkan bersifat kompleks dan jalin-menjalin secara
rumit. Faktor-faktor tersebut dapat sekaligus menyangkut dimensi ideologi-
politik, ekonomi, sosial-budaya maupun agama.
Dimensi ideologi politik, berarti terkait dengan gagasan mengenai
masayarakat dan negara yang dianggap paling baik. Dalam kenyataan, sangat
mungkin kelompok-kelompok masayarakat memiliki gagasan yang berbeda
mengenai dimensi ideologi-politik. Tak jarang, hal ini menjadi pemicu dan
pemacu terjadinya konflik di antara mereka. Contoh: konflik antarmassa
pendukung partai politik.
Dimensi ekonomi, menunjuk pada sumber-sumber yang memberikan
keuntungan ekonomis (material). Dalam kenyataan, ada kelompok-kelompok
masyarakat yang merasa/benar-benar mendapat perlakuan yang tidak adil dalam
perolehan sumber-sumber ekonomis yang ada. Hal ini dapat menimbulkan konflik
sosial. Contoh: konflik karena kesenjangan ekonomi dalam masyarakat.
Dimensi sosial-budaya, menunjuk pada nilai-nilai, perilaku maupun
kebiasaan kelompok yang tidak bisa diterima atau malah dianggap melecehkan
budaya yang lain. Tak jarang kesengajaan/ketaksengajaan sikap, tutur kata atau
tindakan yang dianggap melecehkan kelompok budaya lain yang memicu
terjadinya konflik. Contoh: Konflik antar etnis yang terjadi karena satu kelompok
etnis merasa dihina oleh anggota kelompok etnis lain.
Dimensi agama, menunjuk pada pemikiran, sikap, dan perilaku yang
mengungkapkan identitas keagamaan seseorang atau sekelompok orang.
Meskipun agama dianggap sebagai sumber perdamaian, namun dalam kenyataan,
tak jarang konflik sosial disebabkan/dipicu oleh berbagai hal yang terkait dengan
agama. Contoh: konflik antara komunitas Kristen dan Katolik di Irlandia Utara;
konflik antara komunitas Sunni dan Syi’ah di Irak.
Sifat kompleks dan rumit ini mengharuskan kita menggunakan perspektif
teoretis untuk memahami penyebab konflik secara lebih baik. Perspektif teoretis
ini dirumuskan dalam rumusan umum (generalisasi) sehingga berfungsi
memberikan cakrawala kepada kita untuk memahami sebuah kasus konflik sosial
tertentu tanpa dibingungkan oleh kerumitan data sosial yang ada.
INTISARI
► Istilah “konflik” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya, istilah
“konflik” (conflict) berasal dari kata dalam bahasa Latin “confligo” yang
berarti bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang,
berselisih, atau berperang. Sedangkan “konflik sosial” adalah “pertentangan
antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh di kehidupan”.
► Dalam konteks sosiologis, konflik merupakan suatu proses sosial disosiatif
dimana masing-masing pihak, yang terdiri dari dua orang atau sekelompok
orang, berusaha saling menguasai atau berebut pengaruh. Cara-cara yang
ditempuh bisa menggunakan cara-cara nonkekerasan maupun kekerasan.
► Secara garis besar, ada dua sudut pandang untuk memahami kenyataan
konflik dalam masayarakat, yaitu pendekatan konsensus (teori fungsional-
struktural) dan pendekatan konflik (teori konflik).
► Konflik sosial bernuansa kekerasan adalah konflik sosial yang di dalamnya
terdapat serangan, perusakan, penghancuran terhadap diri (fisik dan psikis)
seseorang maupun milik/sesuatu yang secara potensi menjadi milik
seseorang, yang dilakukan secara sengaja, langsung, dan aktual.
► Konflik realistik adalah pertentangan yang bersumber pada rasa frustasi
mengenai hal-hal yang spesifik dalam sebuah hubungan, juga dari dugaan
mengenai keuntungan yang diperoleh pihak lain.
► Konflik nonrealistik adalah pertentangan yang timbul lebih disebabkan oleh
keinginan untuk melepaskan ketegangan terhadap kelompok lain dalam
masyarakat.
► Menurut perspektif konsensus, penyebab utama (akar persoalan) terjadinya
konflik sosial adalah adanya disfungsi sosial. Sementara menurut teori
konflik, penyebab utama terjadinya konflik sosial adalah adanya perbedaan
atau ketimpangan relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat yang
memunculkan diferensiasi kepentingan.
► Ada dua macam konflik, yaitu konflik fungsional dan konflik destruktif.
Konflik fungsional adalah konflik yang berdampak positif bagi
perkembangan masyarakat. Konflik ini terjadi tanpa kekerasan. Sedangkan
konflik destruktif adalah konflik yang merusak kehidupan sosial. Konflik ini
umumnya terjadi dengan disertai kekerasan.
► Fungsi positif konflik adalah (1) meningkatkan soliditas sebuah kelompok
yang kurang kompak; (2) melahirkan kohesi dengan kelompok lainnya
dalam bentuk aliansi dengan kelompok tersebut; (3) menggugah warga
masyarakat yang semula pasif untuk kemudian memainkan peran tertentu
secara lebih aktif; (4) memiliki fungsi komunikasi.
► Akibat negatif konflik antara lain (1) mengakibatkan terhentinya kerjasama
antara para pihak yang terlibat sehingga menunda atau bahkan menghambat
terjadinya perkembangan masyarakat; (2) konflik yang disertai kekerasan
mengakibatkan hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
► Ada empat cara pokok yang umumnya dipakai untuk mengelola/mengatasi
konflik, yaitu paksaan/koersi, arbitrasi, mediasi, dan negoisasi.
► Integrasi sosial berarti kondisi masyarakat yang ditandai oleh adanya
keutuhan antar anggota masyarakat.
► Integrasi bisa merujuk pada tiga tingkat masyarakat, yaitu mikro (keluarga),
meso (kelompok sosial), maupun makro (masyarakat bangsa).
► Integrasi sosial terdiri atas dua bentuk, yaitu integrasi sosial vertikal dan
integrasi sosial horizontal.
► Integrasi sosial betujuan untuk (1) mewujudkan fungsionalisasi dan prestasi
yang lebih tinggi; (2) mewujudkan interdependensi atau saling
ketergantungan antara berbagai kelompok sosial yang ada; dan (3)
mencegah dan mengelola konflik sehingga tidak merusakkan masyarakat.
BAB III
MOBILITAS SOSIAL
STRUKTUR SOSIAL DAN MOBILITAS SOSIAL
1. Struktur Sosial: Ruang Mobilitas Sosial
Sebagaimana sudah dibahas dalam Bab I, salah satu unsur dalam struktur
sosial adalah pelapisan sosial atau stratifikasi sosial. Anggota masyarakat dapat
diidentifikasikan berdasarkan statusnya dalam strata sosial tertentu. Secara
sederhana, bisa dibedakan antara warga masyarakat yang berada dalam strata
sosial bawah, strata sosial bawah, strata sosial menengah, dan strata sosial atas.
Tetapi, sesungguhnya keanggotaan warga masyarakat dalam strata sosial
tersebut tidak bersifat statis. Seseorang yang berada strata sosial tertentu bisa saja
berpindah ke strata sosial yang lain. Seseorang yang berada dalam strata sosial
bawah, bisa bergerak menjadi anggota strata sosial menengah. Bahkan bisa
menjadi waraga strata sosial atas. Demikian pula, mereka yang berada dalam
strata sosial atas bisa bergerak menjadi warga strata sisial menengah, bahkan
menjadi warga strata sosial bawah.
Sebagai contoh, seorang pengrajin mainan anak-anak, karena ketekunan
dan kerja kerasnya, bisa berubah menjadi seorang pengusaha mainan anak-anak
yang sukses. Seorang pemilik warung bakso, karena ketekunan dan kerja
kerasnya, bisa berubah menjadi seorang pemilik belasan restoran terkenal
diberbagai kota. Sebaliknya, seorang pengusaha besar, karena terbelit kredit
macet, bisa bangkrut dan jatuh miskin. Demikian juga, seorang artis ternama yang
kaya raya, karena ketidakmampuannya mengelola hidup, akhirnya karirnya
hancur dan jatuh miskin.
Begitulah seseorang bergerak dari keanggotaan strata sosial yang satu ke
strata sosial yang lain. Gerak tersebut biasa dinamakan mobilitas sosial. Mobilitas
sosial tidak hanya berkenaan dengan gerak sosial secara vertikal, sebagaimana
ditunjukkan dalam keterangan di atas. Gerak sosial itu bisa pula berupa gerak
sosial horizontal, dalam generasi, antargenerasi, struktural, dan pertukaran materi.
Apapun bentuk gerak sosial itu, yang jelas hal itu menunjukkan struktur
sosial menyediakan ‘ruang’ yang memungkinkan seseorang melakukan gerak
sosial vertikal (ke atas atau ke bawah) maupun horizontal (menyamping) (Shils,
1968).
Adanya struktur sosial memungkinkan seorang anak guru, seperti
Soekarno, menjadi seorang Presiden Indonesia. Adanya struktur sosial
memungkinkan seorang artis, Angelina Sondakh, menjadi seorang anggota DPR.
Adanya struktur sosial memungkinkan seorang guru, seperti Jacob Oetama atau
seorang santri, seperti Dahlan Iskan di Jawa Timur, menjadi pengusaha media
ternama di Indonesia.
Dengan demikian, struktur sosial tidak hanya bersifat membatasi gerak
seseorang. Namun di sisi lain, struktur sosial juga membukakan kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan gerak sosial, berpindah dari status sosial yang satu ke
status sosial yang lainnya. Tanpa adanya struktur sosial, tidaklah mungkin
seseorang berpindah dari status sosial yang satu ke status sosial yang lainnya.
Jadi, Struktur sosial menyediakan ruang sosial bagi seseorang untuk
melakukan mobilitas sosial. Tentu, ‘ruang’ yang disediakan oleh struktur sosial
yang satu dengan yang lain berbeda-beda, sehingga memungkinkan seseorang
melakukan mobilitas sosial. Struktur masyarakat agraris misalnya, lebih sedikit
menyediakan ruang bagi seseorang untuk melakukan mobilitas sosial bila
dibandingkan dengan struktur masyarakat industri. Sebab, struktur pekerjaan
(jenis dan rangking pekerjaan) dalam masyarakat agraris jauh sedikit bila
dibandingkan dengan struktut pekerjaan dalam masyarakat industri. Demikian
pula, struktur ekonomi tradisional menyediakan ruang untuk melakukan mobilitas
sosial lebih sedikit daripada struktur ekonomi modern.
Namun, patut dicatat bahwa ruang mobilitas yang disediakan oleh sebuah
struktur sosial tidak otomatis bisa dimanfaatkan oleh seseorang. Hal itu sedikit
banyak tergantung pada kualitas individu yang bersangkutan untuk melakukan
mobilitas sosial. Kualitas di sini menunjuk kepada kecakapan dan mentalitas yang
berorientasi pada mobilitas sosial. Individu yang memiliki kecakapan dan
mentalitas seperti itu akan lebih berkemungkinan memanfaatkan ruang mobilitas
sosial yang tersedia bila dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki
kecakapan dan mentalitas tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa struktur sosial, disamping membatasi gerak
sosial seseorang, juga menyediakan ruang mobilitas sosial. Ruang mobilitas
sosial itu berbeda-beda antara struktur sosial satu dengan yang lainnya. Demikian
pula, kemampuan untuk memanfaatkan ruang mobilitas sosial tersebut berbeda-
beda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
2. Pengertian Mobilitas Sosial
Secara etimologis, kata mobilitas merupakan terjemahan dari kata mobility
yang berkata dasar mobile (bahasa Inggris). Kata mobile berarti aktif, giat, gesit
sehingga mobility adalah gerakan. Secara harfiah, social mobility berarti gerakan
dalam masyarakat. Mobilitas sosial (social mobility) ini berbeda dengan social
movement yang bermakna gerakan sosial.
Untuk mempertajam pemahaman, perhatikan beberapa definisi tentang
mobilitas sosial berikut ini.
Mobilitas sosial menunjuk pada gerakan dari satu kedudukan atau tingkat
sosial ke yang lainnya. Hal itu mungkin berupa naik ke atas dalam tangga
sosial, memanjat ke puncak, atau terjun ke bawah. (Craig Calhoun, dkk.,
1997: 194)
Mobilitas sosial adalah gerakan orang per orang, keluarga-keluarga atau
kelompok-kelompok dari satu kedudukan sosial ke yang lainnya. (Borgatta
& Borgatta, 1992: 429)
Mobilitas sosial telah didefinisikan sebagai gerakan melalui ‘ruang sosial’
dari satu kategori status (asal) ke kategori sosial lainnya (tujuan). Mobilitas
sosial dipandang sebagai perubahan-perubahan dalam posisi sosial atau status
sosial. (David L. Sills, 1968: 1872)
Istilah mobilitas sosial menunjuk pada gerakan dari orang per orang dan
kelompok-kelompok di antara kedudukan –kedudukan sosial ekonomi yang
berbeda. (Anthony Giddens, 1993: 239)
Mobilitas sosial dapat didefinisikan sebagai tindakan berpindah dari satu
kelas sosial ke kelas sosial lainnya. (Horton & Hunt, 1984: 369)
Mobilitas sosial diartikan sebagai suatu gerak dalam struktur sosial, yaitu
pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.
(Soerjono Soekanto, 1982: 243)
Berbagai definisi di atas menunjukkan beberapa hal penting mengenai
mobilitas sosial, yaitu sebagai beikut:
♦ Inti dari mobilitas adalah perpindahan status sosial. Perpindahan itu berkaitan
dengan pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi, perpindahan itu
terjadi dalam ‘ruang sosial’.
♦ Pihak yang bergerak atau berpindah adalah manusia warga masyarakat baik
sebagi orang perorang, kelompok sosial termasuk keluarga di dalamnya.
♦ Bergeraknya atau berpindahnya orang perorang atau kelompok dalam
pelapisan itu bisa bersifat vertikal (ke atas atau ke bawah) namun juga dapat
bersifat horizontal.
♦ Perpindahan itu menyangkut status , kedudukan sosial ekonomi, posisi atau
kelas sosial dari seseorang atau kelompok tertentu di dalam masyarakat.
INTISARI
► Mobilitas sosial adalah pergerakan atau perpindahan individu atau
kelompok ke atas, ke bawah, atau kesamping dalam pelapisan sosial yang
ada. Mobilitas sosial berbeda dengan gerakan sosial (social movement) yang
merupakan kelompok terorganisir yang dibentuk untuk mendorong atau
mencegah perubahan sosial melalui kegiatan-kegiatan yang tidak lazim atau
di luar saluran-saluran yang konvensional.
► Mobilitas sosial dapat berupa mobilitas vertikal, mobilitas horizontal,
mobilitas intern/dalam generasi, mobilitas antar generasi, dan mobilitas
struktural. Selain itu di kenal juga adanya mobilitas pertukaran. Mobilitas
vertikal adalah pergerakan atau perpindahan orang atau kelompok ke atas
atau ke bawah dalam sebuah pelapisan sosial atau dalam skala sosial
ekonomi tertentu.
► Mobilitas lateral/horizontal adalah gerakan seseorang atau kelompok dari
satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain yang masih berada
pada satu rangking sosial, yang dapat disertai dengan perpindahan secara
geografis dari satu tempat tinggal, kota atau wilayah lain. Oleh karena itu
mobilitas lateral/horizontal sering disebut juga mobilitas geografis.
► Mobilitas intragenerasi adalah perpindahan status yang dialami oleh
seseorang dalam masa kehidupannya, atau selama kehidupan dewasanya.
Mobilitas antargenerasi adalah perubahan status yang dicapai seseorang
sesudah terjadi perubahan generasi, dalam bentuk perubahan kedudukan
anak dibandingkan kedudukan orang tuanya.
► Perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat dapat mendorong terjadinya
mobilitas struktural dan mobilitas pertukaran. Mobilitas struktural adalah
mobilitas sosial yang dihasilkan dari perubahan-perubahan distribusi status-
status dalam masyarakat. Mobilitas pertukaran adalah pertukaran kedudukan
antar warga masyarakat, dimana beberapa orang naik muncul untuk mengisi
posisi-posisi atau jabatan status tinggi karena orang lain gagal atau jatuh
dalam sistem kedudukan yang ada.
► Ada dua hal yang mempengaruhi tingkat mobilitas dalam masyarakat, yaitu
faktor struktur masyarakat dan faktor yang ada dalam diri masing-masing
individu anggota masyarakat. Faktor struktur adalah faktor yang
menentukan jumlah dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan
untuk memperolehnya. Terdiri atas (a) struktur pekerjaan; (b) struktur
ekonomi; (c) perbedaan kesuburan; (d) penghambat dan penunjang
mobilitas.
► Faktor-faktor individu adalah hal yang paling banyak berpengaruh dalam
menentukan siapa yang akan mencapai kedudukan tinggi. Faktor-faktor
individu mencakup (a) perbedaan bakat/kemampuan; (b) perilaku yang
berorientasi kepada mobilitas; dan (c) kemujuran.
► Faktor-faktor yang berpengaruh pada mobilitas vertikal ke atas juga dapat
menjadi pengaruh pada mobilitas vertikal ke bawah. Faktor-faktor struktural
dapat meningkatkan jumlah orang yang harus kehilangan status kelas sosial.
Sedang faktor-faktor individual, seperti rendahnya kemampuan, rendahnya
pendidikan, kebiasaan kerja yang buruk, ketidakmampuan menunda
kesenangan, ketidakmampuan untuk membawakan diri, dan lemahnya
konsistensi dalam mencapai tujuan serta tiadanya kemujuran juga
menentukan siapa yang harus mengalami penurunan status.
► Saluran-saluran terpenting dalam mobilitas sosial adalah keluarga,
pendidikan, ekonomi, politik dan keagamaan, angkatan bersenjata, dan
organisasi keahlian. Pada dasarnya, semua lembaga sosial dapat menjadi
saluran mobilitas sosial.
► Mobilitas sosial mempunyai damapak positif dan negatif. Dampak positif
mobilitas sosial adalah terisinya jabatan-jabatan yang ada dengan orang
yang paling ahli di bidangnya, terbukanya kesempatan bagi setiap orang
untuk mencapai tujuan hidupnya, dan mengembangkan pribadinya secara
optimal.
► Mobilitas vertikal ke atas dapat menimbulkan dampak psikologis negatif
seperti ketegangan dalam mempelajari peran baru dari jabatannya; keretakan
hubungan antaranggota kelompok primer karena berpindah ke status yang
lebih tinggi; kekhawatiran akan beban tanggung jawab baru dan
kerenggangan hubungan antar anggota keluarga karena meningkatnya
kesibukan yang ditimbulkan oleh jabatan baru itu. Dampak negatif dari
mobilitas vertikal ke bawah dapat berupa gangguan kesehatan, keretakan
keluarga, perasaan terasing dan keterpencilan sosial.
► Mobilitas sosial vertikal ke atas yang dialami kelompok sosial tertentu dapat
juga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk tumbuhnya konflik sosial.
Mobilitas sosial vertikal ke bawah yang dialami kelompok sosial tertentu
dapat juga menimbulkan dampak negatif, dalam bentuk keterlibatan mereka
dalam tindakan-tindakan yang asosial.
► Dampak negatif mobilitas sosial juga dirasakan masyarakat karena
menciptakan harapan-harapan yang tidak selamanya dapat dipenuhi
sehinggadapat melahirkan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan di kalangan
warga masyarakatnya.
BAB IV
MASYARAKAT MULTIKULTURA
KELOMPOK SOSIAL DALAM ANALISIS SOSIOLOGIS
1. Pengertian Kelompok Sosial
Istilah kelompok sosial dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan
dari kata dalam bahasa inggris, yaitu ‘social’ yang berarti sosial/kemasyarakatan
dan ‘groups’ yang berarti kelompok/golongan. Ada banyak definisi dari para ahli
tentang kelompok sosial. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
♦ Kelompok sosial adalah sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain
secara teratur. (Giddens, 1994: 185)
♦ Kelompok yang didefinisikan sebagai dua atau lebih orang yang saling
berinteraksi dengan cara-cara yang terpola, dan dikenali sebagai sebuah
kelompok oleh mereka sendiri dan oleh orang lain. (Johnson, 1986: 93)
♦ Kelompok sosial adalah sebuah kelompok yang mencakup dua atau lebih
orang yang memelihara pola-pola hubungan yang stabil/tetap selama rentang
waktu tertentu. (Stark, 1987: 8)
♦ Kelompok adalah kesatuan orang yang memiliki kepentingan bersama dan
memiliki beberapa landasan interaksi. (Stewart, 1985: 41)
♦ Kelompok adalah sejumlah orang yang sama-sama memiliki kesadaran
tentang keanggotaan bersama dan interaksi antar mereka. (Horton & Hunt,
1984: 186)
♦ Kelompok adalah sejumlah orang yang berinteraksi sesuai dengan pola yang
telah mapan. (Merton,1965: 285)
Demikianlah kita melihat ada keragaman rumusan tentang kelompok
sosial. Namun demikian, berbagai pendapat di atas mengandung benang merah
kesamaan pengertian tentang kelompok sosial (selanjutnya kadang disebut
kelompok saja) sebagai berikut.
♦ Kelompok adalah kumpulan dari sejumlah orang.
♦ Orang-orang yang menjadi anggota kelompok terlibat interaksi.
♦ Interaksi dalam kelompok dilandasi dengan pola interaksi yang sudah mapan.
♦ Interaksi dalam kelompok ditentukan dalam jangka waktu tertentu yang
relatif lama.
♦ Para anggota kelompok memiliki kesadaran bersama bahwa mereka adalah
satu kelompok.
♦ Para pihak lain juga melihat bahwa para anggota kelompok adalah satu
kelompok.
Dapat disimpulkan bahwa kelompok adalah sejumlah orang yang
memiliki norma-norma, nilai-nilai, dan harapan-harapan yang sama, yang secara
sengaja dan teratur saling berinteraksi dan mempunyai kesadaran diri sebagai
anggota kelompok yang diakui oleh pihak luar kelompok.
Untuk lebih memahami pengertian kelompok sosial, ada baiknya jika kita
pahami penegrtian istilah-istilah yang sering disamakan penegrtiannya dengan
kelompok sosial, kategori sosial (social category) dan kumpulan/agregat
(aggregate) atau kerumunan (crowd).
a. Kategori sosial
Kategori sosial adalah pengelompokkan orang secara statistik, dimana
orang-orang diklsifikasikan bersama atas dasar sifat-sifat yang dimiliki
bersama. Misalnya orang-orang yang memiliki tingkat pendapatan atau
pekerjaan yang sama akan dimasuk dalam satu kategori. Oleh karena itu,
keanggotaan orang dalam satu kategori berarti bahwa orang itu memiliki
kesamaan-kesamaan dengan anggota yang lain. Wanita, pemilik rumah,
muslim adalah kategori.
Kategori bukan kelompok karena orang-orang yang berada dalam satu
kategori itu asing satu sama lain. Orang-orang yang berada dalam satu
kategori tidak harus berhubungan satu sama lain atau berkumpul bersama
dalam satu tempat tertentu, dan mereka pun tidak perlu memiliki karakteristik
penting bersama pula.
b. Kumpulan/agregat atau kerumunan
Agregat adalah kumpulan orang yang berada di tempat yang sam pada
waktu yang bersamaan pula. Namun, diantara mereka tidak memiliki
hubungan-hubungan yang pasti. Atau dalam istilah Erving Goffman, agregat
adalah kumpulan orang yang berada dalam interaksi yang tak terfokus.
Sedangkan Stewart menyebutkan bahwa agregat adalah orang yang berada di
suatu tempat yang sama tetapi tidak ada interaksi di antara mereka. Contoh
agrgat adalah para calon penumpang pesawat terbang yang sama-sama
menunggu kedatangan pesawat, orang-orang yang bersama antri membeli
tiket pertandingan sepakbola, dan lain sebagainya. Pakar lain, Macionis
(1997: 174), lebih suka menyebut fenomena di atas sebagi crowd atau
kerumunan, yaitu kumpulan orang yang bersifat sementara, yang di antara
mereka mungkin saling berinteraksi atau tidak sama sekali.
2. Arti Penting Kelompok dalam Analisa Sosial
Konsep kelompok menjadi satuan pokok dalam analisis sosiologis kerena
sejumlah alasan. Pertama, karena kita mengarahkan bagian terbesar dari hidup
kita kepada kelompok-kelompok, mulai dari kelompok-kelompok yang intim
seperti sepasang kekasih dan keluarga sampai ke kelompok yang kompleks seperti
birokrasi. Kita mengalami keinginan-keninginan yang paling kuat untuk menjadi
bagian dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok. Ketakutan yang paling
besar dan konflik kita yang paling mendalam juga dalam kelompok. Beberapa
macam kelompok merupakan pulau kecil yang bisa merupakan surga, dimana kita
diakui dan diterima. Namun juga bisa menjadi penjara yang tak memungkinkan
bagi kita untuk melarikan diri. Sementara di lain pihak, terdapat pula kelompok-
kelompok yang sangat besar dan kompleks, dimana kita merasa hilang dan tak
bermakna di dalamnya.
Kedua, kelompok-kelompok memenuhi banyak kebutuhan manusia,
termasuk kebutuhan yang disetujui dan diterima, perlindungan, dan keamanan
serta dukungan terhadap nilai-nilai yang kita anut. Kita menggunakan kelompok
acuan/referensi untuk menentukan siapa diri kita serta membangun dan
memelihara kepercayaan diri. Kita tumbuh, belajar, memperoleh penghasilan, dan
menjalankan ajran agama kita di kelompok. Melalui kelompok, masyarakat
mengatur dan mempertahankan dirinya, mendistribusikan keadilan dan
ketidakadilan, menelan kesakitan, dan mendistribusi ganjaran serta menerapkan
hukuman.
Ketiga, kelompok juga merupakan sumber konflik sosial dan sejumlah
masalah bagi orang perorang. Penyiksaan, diskriminasi, penekanan, dan
peperangan sering disebabkan oleh interaksi antar kelompok. Keanggotaan
kelompok tidaklah gratis, karena setiap kelompok mensyaratkan kesetiaan
terhadap budayanya dan keberlangsungan interaksi dengan sesama anggota
kelompok.
Keempat, kelompok juga menstrukturkan hubungan sosial dalam cara yang
berbeda serta mendukung bermacam gagasan kebudayaan. Sifat-sifat sosial
berdampak pada cara mereka mencoba mencapai tujuan-tujuan mereka maupun
keberhasilannya. Kehidupan sosial berpusat pada kelompok, dan dengan
memahami cara kelompok bekerja, kita dapat lebih memahami pengalaman-
pengalaman dan perilaku kita sebagai partisipan kehidupan kelompok. Kita juga
dapat memahami bagaimana sifat-sifat kelompok berdampak pada kesejahteraan
masyarakat itu sendiri.
Setiap masyarakat terbentuk dari banyak kelompok yang merupakan
wadah berlangsungnya interaksi sosial sehari-hari. Kita mencari kelompok untuk
membangun persahabatan, memenuhi sejumlah tujuan, dan memenuhi peran
sosial yang telah kita terima. Kelompok memainkan bagian penting dalam
struktur sosial. Kebanyakan interaksi sosial kita terjadi dalam kelompok, dan
dipengaruhi oleh norma-norma dan sanksi-sanksi yang dibangun oleh kelompok.
harapan-harapan yang terkait dengan peran sosial termasuk yang terkait dengan
kedudukan sebagai kakak, adik, dan siswa, menjadi amat jelas dalam konteks
kelompok.
KEANEKARAGAMAN KELOMPOK SOSIAL DALAM MASYARAKAT
MULTIKULTURA
1. Fenomena Keanekaragaman Kelompok Sosial
Keanekaragaman kelompok sosial, menunjuk pada kenyataan adanya
perbedaan sosial anggota masyarakat secara horizontal. Perbedaan sosial itu
berkenaan dengan aspek suku, agama, ras, golongan, gender, dan aspek-aspek
pembeda lainnya.
Pembicaraan mengenai keanekaragaman kelompok sosial dalam
masyarakat multikultural, umumnya lebih memberi perhatian pada perbedaan ras,
suku, dan agama (Schaefer & Lamm, 1998; Macionis, 1997; Calhoun, 1997).
Pembahasan di bawah ini menitikberatkan pada ketiga hal tersebut. Hal itu
terutama akan berfokus pada konteks Indonesia.
1.1. Keanekaragaman Kelompok Ras
Sebagaimana sudah disinggung dalam Bab I, ras pada dasarnya adalah
pengelompokkan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik yang sama dan tampak nyata.
Ciri-ciri tersebut antara lain meliputi bentuk badan, bentuk kepala, bentuk raut
muka, bentuk hidung, warna kulit, bentuk rambut, dan warna rambut.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang memiliki keragaman ras. Keragaman tersebut meliputi kelompok
ras, sebagai berikut.
♦ Mongoloid, yang meliputi kelompok Melayu Tua/Proto Melayu (misal:
oarang Batak, Toraja, Dayak); kelompok Melayu Muda/Duetero Melayu
(misal: orang Jawa, Madura, Bali, Bugis).
♦ Wedoid, misal: orang Mentawai (sebelah barat Sumatera Barat), orang
Enggano (sebelah barat Sumatera Barat), orang Tomuna di pulau Muna
(sebelah selatan Sulawesi, orang Sakai di Siak (Riau), orang Kubu (Sumatera
Selatan dan Jambi).
♦ Melanesoid (misal: orang Papua dan orang Aru).
♦ Negroid (misal: orang Semang di Semenanjung Malaka, orang Mikopsi di
Pulau Andaman).
♦ Asiatic Mongoloid (orang-orang keturunan Cina).
♦ Kaukasoid (orang-orang keturunan Arab, Pakistan, dan India).
Ras mongoloid merupakan kelompok ras yang paling besar jumlahnya di
Indonesia. Ras tersebut kebanyakan tinggal di pulau Sumatera, Jawa, Madura,
Sulawesi, dan pulau-pulau di sekitarnya.
Dengan makin majunya transportasi dan komunikasi, yang diikuti makin
meningkatnya mobilitas penduduk antar daerah, ras tersebut tersebar di berbagai
daerah. Demikian pula dengan ras-ras yang lainnya. Di berbagai daerah, terutama
di kota-kota, berbagai ras tersebut saling berbaur dan hidup berdampingan.
Bahkan terjadi perkawinan antar warga masyarakat dengan ras yang berbeda.
2. Keanekaragaman Kelompok Suku/Etnis
Kelompok etnis (ethnic group) sering disebut juga suku bangsa. Kelompok
etnis menunjuk kepada kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati
diri mereka akan kesatuan dan kebudayaan mereka, sehingga kesatuan tidak
ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri
(Koentjaraningrat, 2003: 166). Kelompok etnis juga mengacu pada identitas
kultural yang meliputi bahasa, tradisi, dan pola perilaku (Burkey, 1978;
Suryadinata, 2003: 6).
INTISARI
► Kelompok sosial adalah sejumlah orang yang memiliki norma-norma, nilai-
nilai dan harapan bangsa yang sama yang secara senagja dan teratur saling
berinteraksi dan mempunyai kesadaran diri sebagai anggota kelompok yang
diakui oleh pihak luar kelompok.
► Kelompok sosial merupakan unit analisis utama dalam sosiologi, karena ia
(a) merupakan wahana bagi bagian terbesar dari bagian kehidupan manusia,
(b) memenuhi banyak kebutuhan psikologis manusia, (c) merupakan sumber
konflik sosial dan sejumlah masalah bagi orang perorang, dan (d)
menstrukturkan hubungan-hubungan sosial serta mendukung berbagai
macam gagasan kebudayaan.
► Kelompok-kelompok sosial dapat diklasifikasikan berdasar bermacam-
macam kriteria seperti (a) jumlah anggotanya, (b) makna kelompok bagi
anggota, (c) sikap anggota terhadap kelompok, (d) sifat ikatan antar
anggota, (e) peran kelompok bagi seseorang, dan (f) strukturnya.
► Diad adalah kelompok yang terbentuk atas pasangan orang yang
mengadakan hubungan-hubungan sosial. Sedangkan adalah kelompok yang
terbentuk karena adanya tiga orang yang mengadakan hubungan sosial.
► Kelompok primer adalah kelompok sosial kecil yang anggotanya saling
berhubungan secara personal dalam jangka waktu lama. Sedangkan
kelompok sekunder adalah kelompok sosial yang besar dan impersonal,
dimana para anggotanya mengejar satu tujuan atau kegiatan tertentu.
► Kelompok dalam (in-group) adalah kelompok yang hubungan antar
anggotanya diwarnai oleh persahabatan, kerja sama, keteraturan, dan
kedamaian. Sedangkan kelompok-kelompok luar (out-group) adalah
kelompok yang dibenci , dimusuhi, diperangi, dan dirampok oleh anggota
kelompok dalam.
► Gemeinschaft adalah kehidupan bersama yang akrab, bersifat pribadi dan
eksklusif, serta merupakan suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir.
Sedangkan Gesellschaft adalah kehidupan publik yang terjadi karena orang
kebetulan hadir bersama walau masing-masing tetap mandiri.
► Kelompok keanggoataan adalah kelompok dimana seseorang menjadi
anggotanya. Sedangkan kelompok acuan adalah kelompok yang dijadikan
acuan oleh seseorang dalam bersikap, melakukan penilaian, dan berperilaku.
► Kelompok informal adalah kelompok yang tidak memiliki struktur dan
oraganisasi yang pasti. Sedangkan kelompok formal adalah kelompok yang
memiliki aturan-aturan yang tegas dan sengaja dibuat oleh anggota
kelompok untuk mengatur hubungan di antara mereka. Kelompok formal
disebut pula sebagi organisasi atau asosiasi.
► Organisasi yang berkembang dalam masyarakat dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu (a) organisasi utilitarian, (b) organisasi normatif/suka
rela, dan (c) organisasi pemaksa.
► Organisasi pemaksa yang penting dalam kehidupan masyarakat modern
adalah birokrasi, yaitu oraganisasi yang dirancang secara rasional untuk
mengerjakan tugas-tugas yang kompleks secara efisien. Organisasi birokrasi
ditandai oleh a) spesialisasi, b) hirarki jabatan, c) peraturan dan ketentuan,
d) kompetensi teknis, e) impersonal/tidak mempribadi, dan f) mengandalkan
komunikasi resmi dan tertulis.
► Kelompok sosial tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis. Perubahan
yang bersifat negatif, berarti membawa kelompok sosial dalam kondisi
krisis. sedangakn perubahan yang bersifat positif berarti membawa
kelompok sosial dalam kondisi berkembang. Perkembangan sebuah
kelompok sosial, bisa terjadi dengan cepat. Akan tetapi, bisa pula
berlangsung secara lambat. Cepat atau lambatnya perkembangan kelompok
tergantung pada banyak faktor.
► Keragaman sosial dalam masyarakat multikultural, juga berpengaruh
terhadap perkembangan kelompok , khususnya terkait dengan kemungkinan
adanya interaksi dengan seseorang dari kelompok sosial lainnya.
► Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan kelompok sosial
adalah jaringan (network). Jaringan adalah simpul-simpul hubungan sosial
yang menghubungkan orang yang hanya sedikit dikenal dan memiliki
hubungan dengan orang lain.
► Dilihat dari sudut pandang relasi antar kelompok, perubahan/perkembangan
kelompok sosial dalam masyarakat multikultural bisa disebabkan oleh
berbagai pola relasi antar kelompok sosial. Kemungkinan pola relasi antar
kelompok sosial dalam masyarakat multikultural itu meliputi kolonialisme,
pemindahan, genosida, perbudakan, segregasi, resistensi, diskriminasi,
asimilasi, pluralisme, dan multikulturalisme.
► Keanekaragaman sosial menunjuk pada kenyataan adanya perbedaan sosial
anggota masyarakat secara horizontal. Perbedaan sosial itu berkenaan
dengan aspek suku, agama, ras, golongan, gender, dan aspek-aspek
pembeda lainnya.
► Ras pada dasarnya adalah pengelompokkan manusia berdasarkan ciri-ciri
fisik yang sama dan tampak nyata. Ciri-ciri fisik itu antara alin meliputi
bentu badan, bentuk kepala, bentuk raut muka, bentuk hidung, warna kulit,
bentuk rambut, dan warna rambut. Berdasarkan ciri-ciri tersebut,
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki keragaman ras.
► Kelompok etnis (ethnic group) sering disebut juga suku bangsa. Kelompok
etnis menunjuk kepada kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan
jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka, sehingga kesatuan
tidak ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan itu
sendiri. Kelompok etnis juga mengacu pada identitas kultural yang meliputi
bahasa, tradisi, dan pola perilaku. Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang memiliki keragaman etnis.
► Kelompok agama menunjuk pada penggolongan masyarakat berdasarkan
agama yang dianutnya. Berdasarkan kategori agama, masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang memiliki keragaman agama. Masyarakat
Indonesia menganut enam agama besar (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, Kong hu cu) dan berbagai kepercayaan lokal.
► Setiap masayarakat multikultural selalu menghadapi masalah integasi sosial
pada tingkat makro (negara-bangsa). Lebih dari itu, usaha untuk
mewujudkan integrasi sosial umumnya menghadapi banyak kendala. Secara
umum, kendala integrasi sosial dalam masayarakat majemuk dapat dipilah
ke dalam dua jenis, kendala yang bersifat kultural dan struktural.
► Setidaknya ada tiga sikap positif yang diharapkan bisa ditunjukkan oleh
setiap warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sikap kritis,
toleransi, dan empati sosial.
Top Related