Download - Snake Bite Lapsus

Transcript
Page 1: Snake Bite Lapsus

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia, tapi

kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat

menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada

beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang

sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Luka akibat gigitan ular dapat berasal

dari gigitan ular tidak berbisa maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular

menggigit pada saat ia aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila merasa

terancam atau diganggu. Racun bisa ular sering berakibat fatal dan berpotensi

sebagai kegawatdaruratan yang harus mendapat penanganan serius. Data tentang

kejadian gigitan ular berbisa di Indonesia belum diketahui, tetapi pernah

dilaporkan dari pulau Komodo di Nusa Tenggara terdapat angka kematian 20

orang per tahun yang disebabkan gigitan ular berbisa. Amerika utara adalah

rumah bagi 25 jenis ular beracun, diseluruh dunia, hanya sekitar 15% dari 3000

spesies ular dianggap berbahaya bagi manusia. Ada 2 jenis ular berbisa, yang

pertama Jenis viperidae adalah jenis terbesar ular berbisa, dan ditemukan di

Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika. Sedangkan Jenis kedua adalah Elapidae yang

juga merupakan jenis terbesar ular berbisa.

Untuk menentukan jumlah angka kejadian dari gigitan ular, terutama pada

negara-negara berkembang sangat sulit. Selain itu, disebabkan oleh karena

kurangnya administrasi yang baik, hal ini juga disebabkan oleh karena

kebanyakan korban gigitan ular tidak dibawa ke tenaga medis, namun hanya

menggunakan obat-obatan tradisional. Berdasarkan survey yang telah dilakukan

terhadap 10% dari wilayah Bangladesh pada tahun 1988 sampai 1989 didapatkan

764 gigitan ular dengan 168 kematian dalam satu tahun. Gigitan cobra sebanyak

34% dengan 40% diantaranya fatal. Di India didapatkan 200.000 gigitan

pertahunnya dengan 15.000 sampai 20.000 kematian pertahunnya. Myanmar

dilaporkan pada tahun 1991 didapatkan 14.000 pasien gigitan ular dengan 1.000

kematian. Pada tahun 1997 didapatkan 8.000 gigitan ular dengan 500 kematian.

Page 2: Snake Bite Lapsus

Pasien gigitan ular berbisa dapat menimbulkan manifestasi neurotoksik,

vaskulotoksik, miotoksik, dan hematotoksik, dengan gejala dan tanda yang

ringan sampai berat, seperti luka bekas gigitan, nyeri bekas gigitan,

pembengkakan pada sekitar gigitan, perdarahan, gangguan koagulasi, paralisis

otot pernafasan, kejang, dan akhirnya syok bahkan menyebabkan kematian.

Penanganan pasien dengan gigitan ular berbisa dilakukan secara komprehensif

dari aspek hematologi dan neurologi. Kadang-kadang gejala klinis tidak langsung

timbul dan luput dari pengamatan.

2

Page 3: Snake Bite Lapsus

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik ular

berbisa ataupun tidak berbisa dan sering mengakibatkan luka tusukan yang

ditimbulkan oleh hewan taring dan kadang-kadang menyebabkan envenomation.

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies

ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa

memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat

saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara

subkutan atau intramuskular (PPDP, 2007).

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut

merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.

Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah

parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa

ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal. Tetapi merupakan campuran

kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik (SIKERNAS,

2005).

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan

berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat

menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian (SIKERNAS,

2005).

2.2 Epidemiologi

WHO memperkirakan terdapat 40.000-50.000 kematian akibat gigitan

ular setiap tahun, sekitar 25.000-30.000 berasal dari Asia. 30% kasus gigitan ular

di Asia terjadi di India dan Pakistan (WHO, 2010). Berdasarkan laporan

penelitian nasional 50% pasien berusia 18-28 tahun, dengan rata-rata 29,5% per

tahun. Gigitan ular yang berada di ekstremitas bagian atas terutama di tangan

95%. Nasional studi melaporkan kejadian musiman 90% dari bulan april hingga

3

Page 4: Snake Bite Lapsus

oktober . Pada populasi anak, gigitan ular paling sering terjadi pada anak usia

sekolah dan remaja di sekeliling rumah pada sore hari di bulan musim panas.

Faktor asal inang bergantung pekerjaan korban dan gaya hidup atau kawasan

tempat tinggalnya di daerah terbelakang yang berpengaruh jelek. Kesakitan

dan kematian gigitan ular bergantung pada macam spesies, keadaan dapat

mematikan (fatal) dan dosis kematian dari jumlah racun yang masuk tubuh

(Prihatini, 2007).

2.3 Jenis-Jenis Ular Berbisa

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Di seluruh

dunia terkenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya

sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat

diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu:

a. Famili Elapidae. Memiliki taring pendek dan tegak permanen, misalnya ular

weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai.

b. Famili Crotalidae / Viperidae. Mampu mendeteksi mangsa yang berdarah

panas. misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo.

Gambar 2.1 organ pendeteksi panas pada Crotalidae diantara lubang hidung dan mata

(SIKERNAS, 2005)

c. Famili Hydrophidae, misalnya ular laut.

d. Famili Colubridae. Kebanyakan ulaar berbisa masuk dalam famili ini,

misalnya ular pohon dan ular tikus.

(SIKERNAS, 2005).

4

Page 5: Snake Bite Lapsus

A B

C D

Gambar 2.2 Ular A. Famili Elapidae, B. Famili Viperidae, C. Famili Hydrophidae, misalnya ular laut, D. Ular tidak berbisa (Python) (WHO, 2010)

Gambar 2.3 Ular Berdasarkan Bentuk Gigi (WHO, 2010)

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya pada mangsa,

yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular:

a. Hematotoksik.

Mempengaruhi jantung dan pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun

terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak

(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma

lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan

larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,

5

Page 6: Snake Bite Lapsus

mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut,

hidung, tenggorokan, dan lain-lain. Seperti Trimeresurus albolais (ular hijau),

Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular

Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun

prokoagulan memicu kaskade pembekuan) (SIKERNAS, 2005).

b. Neurotoksik

Mempengaruhi sistem saraf dan otak. Bisa ular yang merusak dan

melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang

menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda

kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis).

Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat

dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan

jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.

Misalnya: Bungarusfasciatus (ular welang), Naya sputatrix (ular sendok), ular

kobra, dan ular laut (SIKERNAS, 2005).

c. Sitotoksik

Hanya bekerja pada lokasi gigitan.

(SIKERNAS, 2005)

2.4 Identifikasi Ular Berbisa

Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau tidak

dapat dipakai ciri-ciri sebagai berikut:

6

Page 7: Snake Bite Lapsus

Pembeda Ular Berbisa Ular Tak Berbisa

Bentuk kepala Segitiga Segi empat panjang

Gigi taring 2 gigi taring besar Gigi kecil

Bekas gigitan 2 luka utama krn gigi taring

Luka halus lengkung bekas gigitan

Besar ular Sedang Sangat bervariasi

Warna ular bervariasi Tidak terlalu bervariasi

Pupil ular elips bulat

Ekor ular Bentuk sisik tunggal Bersisik ganda

Agresifitas Mematuk 1 atau 2 kali Mematuk berulang dan membelit sampai tidak berdaya

Tabel 2.1 Perbedaan ular berbisa dengan ular tak berbisa (SIKERNAS, 2005)

Gambar 2.4 Bekas gigitan ular (A) ular tidak berbisa tanpa bekas taring (B) ular berbisa dengan bekas taring (SIKERNAS. 2005)

2.5 Patofisiologi gigitan ular

Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata.

Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang

atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik)

yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak

gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang

7

Page 8: Snake Bite Lapsus

hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular

untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan (Septiana, 2011).

Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah

untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa

terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan

destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A,

hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,

fosfomonoesterase, RNA-ase, dan DNA-ase. Racun kebanyakan berupa air

protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan

hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin

terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim

diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun dimana merusak jaringan

subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2

memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada

membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot;dan (3) enzim

trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin (Septiana, 2011).

8

Page 9: Snake Bite Lapsus

Bagan 1. Patofisiologi gigitan ular berbisa (Septiana, 2011).

2.6 Gejala klinis

Kebanyakan gigitan ular, apakah oleh ular berbisa atau tidak, akan

memiliki beberapa jenis efek lokal. Ada nyeri kecil dan kemerahan di lebih dari

90% kasus, meskipun hal ini bervariasi.

Tanda penderita pasca gigitan ular:

Terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai

tanda luka.

bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan

daerah sekitar gigitan nyeri

korban berasa mual dan ingin muntah

sukar bernapas (di kasus yang ekstrem pernapasan mungkin

berhenti).

9

Page 10: Snake Bite Lapsus

penglihatan terganggu

pengeluaran keringat dan air ludah (saliva) meningkat

terdapat mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan

rasa berdenyut-denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai

dan lengan

(Prihatini, 2007).

Manifestasi lokal:Setelah gigitan ular berlangsung 6–30 menit, daerah luka terasa nyeri yang

menyebar dan teraba lunak, dan berkembang memerah. Kemudian tampak

membusung (oedema), bengkak dan membentuk gelembung (bullae) dan secara

cepat memenuhi tubuh. Lidah terasa pedas dan kaku, mulut dan batok kepala serta

sekitar luka gigitan tidak berasa (paresthesias). Di sekitar luka gigitan

pembuluhan (vaskularisasi) terhenti dan terjadi kematian jaringan (nekrosis)

sebagai permulaan kelemayuh (gangren). Akibat gigitan ular bisa terjadi infeksi

oleh Pseudomonas aeruginosa, Bacteriodes fragilis,Clostridium dan Proteus yang

berbentuk kelompokan (kolonisasi) di tempat bekas gigitan ular (Prihatini, 2007).

Gambar 2.5 Manifestasi lokal gigitan ular (Septianan. 2011)

Manifestasi sistemik :

10

Page 11: Snake Bite Lapsus

Umum

mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness,

prostration Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,

otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),

hemoptoe, hematuri, koagulasi intravascular diseminata (KID).

Neurototoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis

oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma.

Kardiotoksik : hipotensi, henti jantung, koma.

Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor,

paresthesia, paralysis pulselesness) .

Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)

Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria,

hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut

Ginjal (Viperidae, sea snakes)

LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria,

oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea,

pleuritic chest pain)

Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper)

Fase akut: syok, hypoglycaemia

Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of

secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Prihatini, 2007).

11

Page 12: Snake Bite Lapsus

Gambar 2.6 Gejala klinis gigitan ular berbisa (Prihatini, 2007)

12

Page 13: Snake Bite Lapsus

2.7 Derajat Gigitan Ular

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik

0 0 + +/- <3cm/12> 0

I +/- + + 3-12 cm /12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/12 jam +

Neurotoksik

Mual, pusing,

syok

III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++

Syok, petekia,

ekimosis,

gangguan faal

ginjal ringan

IV +++ + +++ >ekstrimitas ++

Gangguan faal

ginjal, Koma,

perdarahan

Tabel 1. Derajat gigitan ular (Depkes, 2001)

2.8 Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular

Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah

Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

Mengatasi efek lokal dan sistemik

(Sudoyo, 2006)

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang

(Cross Incision) bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm. Usaha

menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa

centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat,

dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari

13

Page 14: Snake Bite Lapsus

tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya

aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang

tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es (Akbar, 2006).

Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular

intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan.

Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular

yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji

sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok

anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan

pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Bila terjadi kelumpuhan

pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk

ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila

terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah

sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal.

Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian

dilanjutkan dengan cangkok kulit.Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan

pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi (de Jong, 2004)

Tindakan Pelaksanaan

1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu

diperhatikan adalah

Menenangkan penderita

Penderita diistirahatkan daerah luka lebih rendah dari pada jantung.

Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa,

ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini

kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.

Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan

aliran vena atau ateri. Observasi pulsasi arteri dan dibuka tiap 30

menit.

14

Page 15: Snake Bite Lapsus

2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif

sebagai berikut:

Penatalaksanaan jalan napas

Penatalaksanaan fungsi pernapasan

Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid

Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas

diatas luka, imobilisasi (dengan bidai), debridement

Insisi dan irigasi luka

Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),

polivalen 1 ml berisi:

10-50 LD50 bisa Ankystrodon

25-50 LD50 bisa Bungarus

25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau

Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Kemudian diulang setiap 6 jam.

Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah), anti

serum diberikan setiap 24 jam sampai maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal

pada luka tidak dianjurkan. Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan

langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat pelan. SABU disimpan dalam

lemari es suhu 2-8 derajat celcius, jangan dalam frezer. Masa kadaluarsa 2 tahun.

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat

pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way

(Depkes, 2001):

15

Page 16: Snake Bite Lapsus

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,

jika derajat meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU intravena

Derajat III: 5-15 vial SABU intravena

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU atau sampai 20 vial

perinfus sebanyak 7-10 kali (sebelum pemberian test terhadap

hipersensitivitas).

Gambar 2.7 Sediaan SABU

Pedoman terapi SABU menurut Luck

Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom

Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu

pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi

pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.

16

Page 17: Snake Bite Lapsus

Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan

menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah

untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk

mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk

penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi

minimal 2 minggu setelah gigitan

Terapi suportif lainnya pada keadaan :

Gangguan koagulopati berat: beri plasmafresh-frizen (dan antivenin)

Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,

vitamin K, tranfusi trombosit

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan

Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali

dengan sulfas atropin

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari

penggunaan obat – obatan narkotik depresan

Terapi profilaksis

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai

adalahP.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

Beri toksoid tetanus

Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

(Sudoyo, 2006)

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular

17

Page 18: Snake Bite Lapsus

Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan

untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih

dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai

kaki

Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular

Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan

bersemak – semak

Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti

Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang

tergigit akibat kejadian semacam itu.

(Sudoyo, 2006)

Reaksi antivenom

Sebagian pasien mengalami reaksi awal atau terlambat setelah diberikan

antivenom. Reaksi awal anafilaksis biasanya dalam waktu 10 – 180 menit

antivenom mulai diberikan, pasien mulai gatal dan timbul urtikaria batuk kering,

demam, mual, muntah, kolik abdomen, diare dan takikardia. Pada sebagian pasien

dapat timbul anafilaksis berat yang dapat mengancam kehidupan seperti gejala :

hipotensi bronkospasme dan edema angio. Pyrogenic akibat dari endotoksin.

Reaksi biasanya berlaku dalam 1-2 jam setelah perawatan. Gejala meliputi

mengigil(kekakuan) demam, vasodilatasi dan penurunan dalam tekanan darah.

Kejang demam dapat berlaku pada anak- anak. Reaksi- reaksi ini disebabkan oleh

kontaminasi pirogen (Rahim, 2006).

Reaksi lambat berkembang 1-12 hari setelah perawatan Gambaran klinis

berupa demam, mual, muntah, diare, gatal-gatal, urtikaria berulang, atralgia,

mialgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular, multikompleks,

18

Page 19: Snake Bite Lapsus

mononeuritis, dan proteinuria. Pengobatan anafilaksis awal dan reaksi pyrogenic

reaksi antivenom Epinefrin (adrenalin) diberikan intramuskuler (ke dalam otot

deltoideus atau lateralis atas paha) dalam dosis awal 0,5 mg untuk orang dewasa,

0,01 mg / kg berat badan untuk anak-anak. Parah, anafilaksis yang mengancam

kehidupan dapat berkembang sangat cepat dan begitu epinefrin (adrenalin) harus

diberikan pada tanda pertama dari reaksi, bahkan ketika hanya beberapa tempat

urtikaria muncul atau pada awal gatal, takikardia atau gelisah. Dosis dapat diulang

setiap 5-10 menit jika kondisi pasien memburuk(Rahim, 2006).

Pada tanda awal reaksi:

antivenom administrasi harus dihentikan sementara

Epinefrin (adrenalin) (0,1% larutan, 1 dalam 1.000, 1 mg / ml) adalah

efektif

Tambahan pengobatan

H1 antihistamin anti seperti chlorpheniraminemaleat (dewasa 10 mg,

anak-anak 0,2 mg / kg dengan injeksi intravena selama beberapa menit)

harus diberikan diikuti dengan hidrokortison intravena (dewasa 100 mg,

anak 2 mg / kg berat badan). Ada bukti yang meningkat bahwa anti

antihistamin H2 seperti cimetidine atau

Ranitidin memiliki peran dalam pengobatan anafilaksis parah. Kedua obat

yang diberikan,diencerkan dalam 20 ml garam isotonik, dengan injeksi

intravena lambat (lebih dari 2 menit).

o Dosis: simetidin - orang dewasa 200 mg, anak-anak 4 mg / kg;

o ranitidin - orang dewasa 50 mg, anak-anak 1 mg / kg.

o (Rahim, 2006).

2.9 Pemeriksaan Penunjang

19

Page 20: Snake Bite Lapsus

Pada kasus gigitan ular untuk menegakkan diagnosis diperlukan

pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

1. Pemeriksaan darah : Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,

waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT,

D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.

2. Pemeriksaan urin : hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

3. EKG

4. Foto dada

2.10 Diagnosis Banding untuk gigitan ular antara lain

a. Trauma vaskuler ekstremitas

b. Syok septic

c. Luka infeksi

20

Page 21: Snake Bite Lapsus

BAB 3. LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Mulyadi

Usia : 38 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Gayam RT 5/5 Rambipuji

Pekerjaan : Sopir

Agama : Islam

Suku Bangsa : Madura

No. Rekam Medis : 43 32 27

Tanggal MRS : 13 April 2013

Tanggal KRS : 16 April 2013

Tanggal Pemeriksaan: 13 April 2012

3.2 ANAMNESIS

a. Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah dan tidak bisa kencing setelah digigit ular

b. Riwayat Penyakit Sekarang

21

Page 22: Snake Bite Lapsus

Pasien digigit ular pada kaki kirinya saat memeriksa mobil di garasi di

rumahnya pukul 02.30 WIB (12-4-2013). Menurut pasien, ular berukuran

sekitar sebesar jempol tangan pasien (diameter sekitar 3 cm), warna biru,

dan menggigit sebanyak 3 kali kemudian ular berlari dan tidak tertangkap.

Pasien tidak melihat bentuk kepala, gigi taring, dan bentuk mata ular.

Setelah digigit ular pasien merasa nyeri pada perut bawah karena tidak

bisa kencing. Selain itu pasien juga mengeluh kaki kirinya nyeri

kesemutan, serta bengkak disekitar luka gigitan sampai telapak kaki.

Pusing (-), mual (-), muntah (-), pingsan (-), demam (-), dan kejang (-).

Kemudian pasien dibawa ke pengobatan alternatif. Di sana pasien diobati

dengan daun-daunan yang ditempel ke luka bekas gigitan ular kemudian

dibebat dengan saputangan. Keesokan harinya karena keluhan masih juga

dirasakan akhirnya pasien berobat ke RSD dr. Soebandi.

JK:02.30 WIB (12-4-2013) JD: 08.30 WIB (13-4-2013)

c. Riwayat Penyakit Dahulu : (-)

3.3 ANAMNESIS SISTEM

Sistem serebrospinal : Composmentis, vertigo (-), trauma kapitis

(-), kejang (-)

Sistem kardiovaskular : Palpitasi (-)

Sistem pernafasan : Sesak (-), batuk (-), dahak (-), darah (-)

Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nyeri perut (+), BAB

normal

Sistem Urogenital : Anuria (+)

Sistem integumentum : Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di regio

cruris sinistra 1/3 distal

Sistem musculoskeletal : Bengkak dan nyeri dari 1/3 medial cruris

sinistra sampai dengan seluruh region

pedis sinistra.

Kesan :

22

Page 23: Snake Bite Lapsus

Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di 1/3 cruris sinistra, nyeri dan

oedem dari 1/3 cruris sinistra hingga pedis sinistra, nyeri perut

dan Anuria (+)

3.4 PEMERIKSAAN FISIK

[S] Nyeri perut bagian bawah, tidak bisa BAK

[O] KU : lemah Kesadaran : Composmentis

VS : TD : 100/70mmHg RR : 24 x/menit

Nadi : 80 x/menit Suhu : 37,1 oC

Kepala/Leher: anemis/icteris/cyanosis/dispneu -/-/-/-

Thoraks: Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : redup pada ICS IV PSL dextra dan ICS V MCL

sinistra

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal

Pulmo Inspeksi : simetris, tidak ada ketertinggalan gerak

Palpasi : fremitus raba N/N

Perkusi : sonor +/+

Auskultasi : suara nafas Vesikuler +/+, Rhonki -/-,

Wheezing -/-

Abdomen : Abdomen :

Inspeksi : flat

Auskultasi : bising usus (+) N

Perkusi : timpani

Palpasi : soepel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Superior : Akral hangat +/+. Edema -/-

Inferior : Akral hangat +/+. Edema -/+

23

Page 24: Snake Bite Lapsus

(Status Lokalis):

Regio Cruris sinistra 1/3 distal : 2 luka gigitan bekas taring, nyeri (+),

oedema (+)

Regio Pedis sinistra: oedema (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

3.5 RESUME

24

Page 25: Snake Bite Lapsus

Pasien laki-laki 38 tahun, terdapat 2 luka gigitan ular di regio cruris sinistra

1/3 distal, nyeri (+), oedem (+), dan anuria (+). Ular berukuran sekitar sebesar

jempol tangan pasien (diameter sekitar 3 cm), warna biru, dan menggigit 3

kali.

Sistem gastrointestinal : Nyeri Perut (+)

Sistem Urogenital : Anuri (+)

Sistem integumentum : Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di regio

cruris sinistra 1/3 distal

Sistem musculoskeletal : Bengkak dan nyeri dari 1/3 medial cruris

sinistra sampai dengan seluruh region pedis sinistra.

(Status Lokalis):

Regio Cruris sinistra 1/3 distal : 2 luka gigitan bekas taring, nyeri (+),

oedema (+)

Regio Pedis sinistra: oedema (+)

3.6 DIAGNOSIS KERJA

Snake Bite grade II Regio Cruris Sinistra 1/3 Distal

3.7 PLANNING (PENATALAKSANAAN)

3.7.1 Planning diagnostik :

- Evaluasi laboratorium

3.7.2 Planning Terapi

- Infus PZ 2000cc/24 jam

- Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

- SABU 3 vial (IV)

- Injeksi Antrain 3 x 1 amp (IV)

- injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)

- inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)

-Diet Bebas

25

Page 26: Snake Bite Lapsus

- 3.7.3 Planning Monitoring

Evaluasi TTV (sistem kardiovaskuler)

Evaluasi tanda perdarahan dan penyebaran venom secara sistemik

Evaluasi komplikasi (neurotoksik, dan lain-lain)

3.7.4 Planning Edukasi

Menjelaskan pada pasien mengenai penyakitnya

Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya menghindari faktor-faktor

pencetus

Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya berobat dan kontrol

3.8 FOLLOW-UP

Kondisi Pasien 14 April 2013 (H1)

Keluhan Nyeri pada kaki kiri

Keadaan Umum Cukup

Kesadaran Composmentis

Tekanan Darah 120/80 mmHg

Nadi 72 x/menit

Respiratory Rate 18 x/menit

Suhu Tubuh 36,5 0C

Kepala & LeherPembesaran KGB (-)

a/i/c/d = -/-/-/-

Cor I IC tak terlihat

P IC tak teraba

26

Page 27: Snake Bite Lapsus

PRedup di ICS IV PSL dextra

sampai di ICS V MCL sinistra

A

S1S2 tunggal, reguler,

ekstrasistole (-), gallop (-),

murmur (-)

Pulmo ISimetris, ketinggalan gerak (-),

retraksi (-)

P Fremitus Raba N/N

P Sonor +/+

A Vesikular +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen I Cembung

A BU (+) normal

P Tympani

P Soepel, nyeri tekan (-)

Urogenital BAK + via DC 900 cc/24 jam

Ekstremitas Akral hangat +/+ +/+

Oedem -/- -/+

Status lokalis Regio Cruris 1/3 distal sinistra

et Regio pedis sinistra

edem(+), nyeri (+)

27

Page 28: Snake Bite Lapsus

Diagnosis Snake Bite grade II Regio Cruris

Sinistra 1/3 Distal

Terapi

Infus PZ 1500 cc/24 jam

Inj. Antrain 3x1 ampul

Inj. Cefriaxone 2 x 1gr

Inj. Ranitidin 3x1 ampul

Diet Bebas

Kondisi Pasien 15 April 2013 (H2)

Keluhan -

Keadaan Umum Cukup

Kesadaran Composmentis

Tekanan Darah 130/80 mmHg

Nadi 68 x/menit

Respiratory Rate 18 x/menit

Suhu Tubuh 36,8 0C

Kepala & LeherPembesaran KGB (-)

a/i/c/d = +/-/-/-

Cor I IC tak terlihat

P IC tak teraba

P Redup di ICS IV PSL dextra

28

Page 29: Snake Bite Lapsus

sampai di ICS V MCL sinistra

A

S1S2 tunggal, reguler,

ekstrasistole (-), gallop (-),

murmur (-)

Pulmo ISimetris, ketinggalan gerak (-),

retraksi (-)

P Fremitus Raba N/N

P Sonor +/+

A Vesikular +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen I Cembung

A BU (+) normal

P Tympani

P Soepel, nyeri tekan (-)

UrogenitalBAK + via DC 1150cc/24 jam

Ekstremitas Akral hangat +/+ +/+

Oedem -/- -/+

Status lokalis Regio Cruris 1/3 distal sinistra

et Regio pedis sinistra

edem(+), nyeri (-)

29

Page 30: Snake Bite Lapsus

Diagnosis Snake Bite grade II Regio Cruris

Sinistra 1/3 Distal

Terapi

Infus PZ 1500 cc/24 jam

Inj. Antrain 3x1 ampul

Inj. Cefriaxone 2 x 1gr

Inj. Ranitidin 3x1 ampul

Diet Bebas

Kondisi Pasien 16 April 2013 (H3)

Keluhan -

Keadaan Umum Cukup

Kesadaran Composmentis

Tekanan Darah 120/80 mmHg

Nadi 72 x/menit

Respiratory Rate 20 x/menit

Suhu Tubuh 37 0C

Kepala & LeherPembesaran KGB (-)

a/i/c/d = -/-/-/-

Cor I IC tak terlihat

P IC tak teraba

PRedup di ICS IV PSL dextra

sampai di ICS V MCL sinistra

30

Page 31: Snake Bite Lapsus

A

S1S2 tunggal, reguler,

ekstrasistole (-), gallop (-),

murmur (-)

Pulmo ISimetris, ketinggalan gerak (-),

retraksi (-)

P Fremitus Raba N/N

P Sonor +/+

A Vesikular +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen I Cembung

A BU (+) normal

P Tympani

P Soepel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas Akral hangat +/+ +/+

Oedem -/- -/+

Status lokalis Regio Cruris 1/3 distal sinistra

et Regio pedis sinistra

edem(+), nyeri (-)

Diagnosis Snake Bite grade II Regio Cruris

Sinistra 1/3 Distal

Terapi Infus PZ 1500 cc/24 jam

31

Page 32: Snake Bite Lapsus

Inj. Antrain 3x1 ampul

Inj. Cefriaxone 2 x 1gr

Inj. Ranitidin 3x1 ampul

Diet Bebas

3.9 PROGNOSISDubia ad bonam

Snake bite grade

32

Page 33: Snake Bite Lapsus

II regio cruris sinistra 1/3 distal

33