SKRIPSI
PENGARUH PEMBERIAN TEPID WATER SPONGE DAN ANTIPIRETIK
DIBANDINGKAN DENGAN ANTIPIRETIK SAJA PADA BALITA YANG
MENGALAMI HYPERTERMIA DENGAN POST OPERASI ASD DI RUANG ICU
ANAK RUMAH SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA
JAKARTA
Disusun Oleh
Hamyani
2011727155
PROGRAM B RS JANTUNG HARAPAN KITA
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA 2013
ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN TEPID WATER SPONGE DAN ANTIPIRETIK
DIBANDINGKAN DENGAN ANTIPIRETIK SAJA PADA BALITA YANG
MENGALAMI HYPERTERMIA POST OPERASI ASD DI RUANG ICU ANAK
RUMAH SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA
JAKARTA 2013
Oleh : HAMYANI
Hypertermia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh melebihi titik tetap (set point) lebih dari 37ºC. Hypertermia bisa diatasi secara farmakologis maupun non farmakologis. Terapi non farmakologis ada berbagai macam cara, salah satunya menggunakan terapi tepid water sponge. Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian tepid water sponge dan antipiretik dibandingkan dengan antipiretik saja pada balita yang mengalami hypertermia dengan post operasi ASD di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta. Desain penelitian ini menggunakan Quasi eksperimen pre –post test equivalen control group, jumlah sampel 20 responden dengan metoda total sampling.. Hasil penelitan menunjukan ada pengaruh tepid water sponge dan antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh pada anak umur 12-60 bulan dengan hypertermia. Hasil analisis uji t di dapat p value sebesar 0,000 < 0,05 dengan penurunan rata-rata sebesar 1,5ºC. Rekomendasi penelitian ini adalah pemberian tepid water sponge disertai antipiretik dapat dijadikan intervensi untuk mengatasi hypertermia. Penelitian keperawatan selanjunya perlu melibatkan sampel yang lebih besar sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.
Kata kunci : Hypertermia, Tepid water sponge, Antipiretik
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmah serta
hidayahnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
pemberian tepid water sponge dan antipiretik saja pada balita yang mengalami
hypertermia dengan post operasi ASD di ruang ICU Anak RS Jantung Harapan Kita”.
Penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Muhamad Hadi SKM, M.Kes, selaku Ketua Program Studi PSIK FKK
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
2. Bapak Dr. Hananto Adriantoro, SpJp (K), selaku Direktur Utama Rumah Sakit
Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
3. Ibu Nyimas Heny P, M.Kep.,Sp.Kep.An , selaku pembimbing I dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Muhamad Hadi SKM. M.Kep, selaku pembimbing II dalam pembuatan skripsi
ini.
6. Keluarga tercinta yang telah memberi dukungan, semangat dan doanya selama
pendidikan di PSIK FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta.
7. Rekan-rekan kerja di ruang ICU Anak di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Jakarta, yang telah membantu dalam motivasi dan kerjasamanya selama
penyusunan skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan sripsi ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dengan keterbatasan dan waktu yang ada, besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat
memberi sumbangan yang bermanfaat khususnya bagi pengembangan profesi
keperawatan.
Jakarta, Maret 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………….i
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………………….ii
LEMBAR PENGESAHAN ...……………………………………………………… iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………………iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..... .vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………..7
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………………8
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………………………..9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Suhu ……………………………………………………………...10
2.1.2. Hypertermia ……………………………………………………...14
2.1.3. Tepid water sponge …………………………………………… . 21
2.1.4. Balita ……………………………………………………………..25
2.1.5. Atrial Septal Defect ……………………………………………...26
BAB III KERANGKA KERJA PENELITIAN
3.1. Kerangka konsep ……………………………………………………… 35
3.2. Hipotesa penelitian ……………………………………………………..36
3.3. Defenisi Operasional dan Skala Pengukuran …………………………..36
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian ………………………………………………………39
4.2. Prosedur penelitian ………………………………………………….....39
4.3. Tempat penelitian ……………………………………………………...41
4.4. waktu penelitian ………………………………………………………..41
4.5. Populasi dan Sampling …………………………………………………41
4.6. Etika penelitian …………………………………………………………43
4.7. Alat pengumpul data ……………………………………………………44
4.8. Metode pengumpulan data ……………………………………………...44
4.9. Pengolahan data …………………………………………………………46
4.10. Analisa data …………………………………………………………....46
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisa Univariat …………………………………………………………48
B. Analisa Bivariat …………………………………………………………..50
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Gambaran dan Karakteristik Balita Yang Mengalami Hypertermia ……53
6.2 Gambaran suhu balita ……………………………………………………54
6.3Pengaruh Pemberian Tepid Water Sponge dengan Antipretik …………..56
6.4 Pengaruh Pemberian Antipiretik ………………………………………...57
6.5 Keterbatasan Penelitian ………………………………………………….57
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ………………………………………………………………58
7.2 Saran ……………………………………………………………………..59
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………60
LAMPIRAN 1 Daftar Demografi
LAMPIRAN 2 Lembar Observasi
LAMPIRAN 3 Riwayat Hidup Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atrial Septal Defect adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang
memisahkan atrium kanan dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan yang
memerlukan pembedahan jantung terbuka adalah defek sekat atrium. Defek sekat
atrium adalah hubungan langsung antara serambi jantung kanan dan kiri melalui
sekatnya karena kegagalan pembentukan sekat. Defek ini dapat berupa defek sinus
venosus di dekat muara vena kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya
menutup spontan setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan
pembentukan septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan
penutupan septum primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan
endokard.
ASD(Atrial Septal Defect) merupakan kelainan jantung bawaan tersering setelah
VSD (ventrikular septal defect). Dalam keadaan normal, pada peredaran darah janin
terdapat suatu lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah tidak perlu
melewati paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini biasanya menutup. Jika lubang
ini tetap terbuka, darah terus mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan (shunt). Maka
darah bersih dan darah kotor bercampur. Sebagian besar penderita ASD tidak
2
menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar
yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama kehidupan pada
sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5,
dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia). Seluruh penderita
dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan pada defek tersebut, karena ASD
tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak ditutup akan menimbulkan
berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan
sangat tergantung pada besar kecilnya aliran darah dan ada tidaknya gagal jantung
kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta
penyulit lain.
Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun menggunakan patch
sudah dilakukan lebih dari 40 tahun. Di Indonesia, khususnya di Rumah Sakit
jantung Harapan Kita tahun 2011, pasien yang dilakukan penutupan ASD sekitar 42
pasien. Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak
terlambat) akan memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal (angka
kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Pada penderita yang menjalani
operasi di usia kurang dari 11 tahun menunjukkan ketahanan hidup pasca operasi
mencapai 98%. Semakin tua usia saat dioperasi maka ketahanan hidup akan semakin
menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan tekanan
pada pembuluh darah paru.
3
Suhu tubuh berespon terhadap perubahan lingkungan dan meningkat saat latihan
fisik aktif, menangis, dan kemarahan emosional. Infeksi dapat menyebabkan suhu
yang lebih tinggi dan lebih cepat meningkat pada bayi dan anak kecil dibandingkan
anak-anak yang lebih besar (Wong, 2009).
Suhu tubuh diatur dengan mekanisme seperti thermostat di hipotalamus. Mekanisme
ini menerima masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi
perubahan suhu, reseptor-reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke
thermostat, yang akan meningkatkan suhu atau menurunkan produksi panas untuk
mempertahankan suhu set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi, substansi
pirogenik menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses yang
dimediasi oleh prostaglandin. Akibatnya, hipotalamus meningkatkan produksi panas
pada suhu inti (internal) mencapai set point yang baru (Connel, 1997). Demam
berperan dalam meningkatkan perkembangan imunitas spesifik dan non spesifik dan
dalam membantu pemulihan dan pertahanan terhadap infeksi. Demam mengacu pada
peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen
yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin
bakteri, peradangan, dan ransangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen
secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan
menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah melampaui batas kritis
tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik
tersebut sejauh ini belum diketahui. (Sherwood, 2001).
4
Akibat dari meningkatnya suhu tubuh, badan terasa tidak nyaman, kepala terasa
nyeri, menggigil, makan tidak selera, tidur tidak nyenyak, gelisah karena semua
posisi tubuh rasanya salah. Pertolongan pertama pada penderita dapat dilakukan
dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya (air masak, air dalam kemasan,
dsb), mengompreskan pada penderita, serta memberikan obat penurun panas. Bila
ada riwayat kejang, berikan obat anti kejang. Demam perlu diwaspadai karena dapat
menimbulkan dehidrasi dan kejang demam. Perhatikan apakan ada tanda-tanda
dehidrasi seperti ubun-ubun cekung (pada bayi), kencingnya sedikit dan apabila
punggung tangannya dicubit, kulitnya lambat kembali. Anak harus banyak minum,
terutama cairan yang mengandung elektrolit.
Penanganan terhadap demam dapat dilakukan dengan tindakan farmakologis yaitu
memberikan obat antipiretik seperti ibuprofen, paracetamol dengan dosis sesuai
dengan usia anak. Demam juga dapat diatasi dengan tindakan non farmakologis yang
dilakukan sebagai tindakan hambatan dalam menuurunkan panas seperti
memberikan baju hangat pada anak, menyuruh anak banyak minum air putih,
istirahat, kompres hangat serta tepid water sponge (Budi, 2006). Kompres hangat
adalah tindakan dengan menggunakan kain atau handuk yang telah dicelupkan pada
air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu sehingga dapat memberikan
rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh (Nursing media, 2009). Pemberian
kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus anterior
yang berfungsi mengontrol pengeluaran panas dalam tubuh. Ketika saraf motorik
mulai dirangsang maka sistem effektor akan mengeluarkan sinyal untuk memulai
5
pengeluaran panas yaitu dengan cara berkeringat dan vasodilatasi. Hal ini diharapkan
terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan dengan suhu tubuh normal
(Nursing media, 2009). Tindakan lain yang digunakan untuk menurunkan panas
adalah Tepid water sponge dapat dilakukan dengan meletakkan anak pada bak mandi
yang berisi air hangat atau dengan mengusap dan melap seluruh bagian tubuh anak
denga air hangat (Sharber, 1997).
Tepid water sponge bertujuan untuk mendorong darah ke permukaan tubuh sehingga
darah dapat mengalir dengan lancar. Tindakan tepid water sponge juga dengan
memberikan sinyal ke hipotalamus anterior yang nanti akan merangsang sistem
effektor sehingga diharapkan terjadi penurunan suhu tubuh pada anak (Filipimedia,
2010). Penelitian yang dilakukan oleh Sharber (1997) pada anak menunjukkan
bahwa tepid water sponge ditambah dengan acetaminophen dapat menurunkan suhu
tubuh anak lebih cepat dibandingkan dengan acetaminophen itu sendiri.
Tepid water sponge sering direkomendasikan untuk mempercepat penurunan suhu
tubuh (Corrad, 2002; Carton, et al., 2001, dalam Setiawati, 2009). Tujuan dari
penggunaan tepid water sponge ini untuk menurunkan suhu tubuh secara terkontrol
(Johnson, Temple & Carr, 2005). Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada bayi
dibaawah usia 1 tahun dan tanpa pengawasan medis karena tindakan ini dapat
menyebabkan anak menjadi syok (Hastings, 2005). Pemberian tepid water sponge
pada daerah tubuh akan mengakibatkan anak berkeringat. Tepid water sponge
bertujuan untuk mendorong darah ke permukaan tubuh sehingga darah dapat
6
mengalir dengan lancar. Ketika suhu tubuh meningkat dan dilakukan tepid water
sponge, hipotalamus anterior memberi sinyal pada kelenjar keringat untuk
melepaskan keringat. Tindakan ini diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh
sehingga mencapai keadaan normal kembali (Filipinomedia, 2010).
Tindakan menurunkan suhu mencakup intervensi farmakologik dengan
menggunakan antipiretik untuk menurunkan set point. Obat antipiretik antara lain
asetaminofen, aspirin dan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).
Asetaminofen merupakan obat pilihan; aspirin tidak direkomendasikan pada anak-
anak karena terdapat hubungan antara penggunaan aspirin pada anak-anak dengan
virus influenza atau cacar air dan sindroma Reye. Salah satu NSAID yang tidak
diresepkan, ibuprofen (Children’s Motrin atau Children’s Edvil), penggunaannya
disetujui untuk menurunkan demam pada anak-anak berusia minimal 6 bulan untuk
suhu kurang dari 39,1º C. Suhu biasanya diukur kembali 30 menit setelah antipiretik
diberikan untuk mengkaji efeknya, namun tidak perlu diukur terlalu sering; tingkat
ketidaknyamanan anak merupakan indikasi terbaik untuk melanjutkan pengobatan.
Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian
tepid water sponge dan antipiretik dibandingkan dengan antipiretik saja pada balita
yang mengalami hypertermia dengan post operasi ASD di ruang ICU Anak Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
7
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan tepid water sponge adalah penelitian
yang dilakukan oleh Setiawati (2009) tentang “Pengaruh tepid water sponge
terhadap penurunan sughu tubuh dan kenyamanan pada anak usia prasekolah dan
sekolah yang mengalami demam di ruang perawatan anak Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian antipiretik disertai tepid water sponge
terhadappenurunan suhu tubuh dan kenyamanan anak di ruang perawatan anak
Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Akan tetapi, ada kecenderungan bahwa
pemberian antipiretik yang disertai tepid water sponge mengalami penurunan suhu
tubuh yang lebih besar dan peningkatan rasa nyaman yang lebuh tinggi
dibandingkan dengan pemberian antipiretik saja.
Penelitian terkait lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Thomas
Vijaykumar, Naik, Moses dan Antonisamy (2009) “Comparative effectiveness of
tepid sponging and antipiretik drug versus only antipyretic drug in the management
of fever among children : a randomized controlled trial”. Penelitian ini dilakukan
untuk membandingkan efektifitas sponge hangat dan antipiretik (parasetamol)
dengan antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh anak-anak dengan demam. Desain
penelitian yang digunakan adalah randomized controlled trial dengan responden 150
anak-anak usia 6 bulan sampai 12 tahun, dengan suhu demam di aksila ≥ 38,3ºC.
Kesimpulan dalam penelitian ini penurunan suhu tubuh pada kelompok tepid
sponging dan antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada kelompok antipiretik,
namun, pada akhir 2 jam kedua kelompok telah mencapai tingkat suhu yang sama.
8
Anak-anak dengan tepid sponging dan antipiretik memiliki ketidaknyamanan secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok antipiretik saja, tapi ketidaknyamanan itu
sebagian besar ringan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka peneliti
merumuskan masalah : “Manakah yang lebih berpengaruh antara pemberian Tepid
Water Sponge dan antipiretik dibandingkan antipiretik saja pada Balita yang
mengalami hyperthermia pada pasien post operasi ASD di ruang ICU Anak Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan umum dalam
Penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Pemberian Tepid Water
Sponge dan antipiretik dibandingkan dengan antipiretik saja pada balita yang
mengalami hypertermia dengan post operasi ASD di ruang ICU Anak RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
9
1.3.2 Tujuan khusus
a. Teridentifikasinya gambaran dan karakteristik balita yang mengalami
hypertermia di ruang ICU Anak Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Jakarta.
b. Teridentifikasinya rata-rata suhu tubuh balita post operasi ASD di ruang
ICU Anak Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jakarta.
c.. Ada pengaruh pemberian tepid water sponge dengan antipiretik pada
Balita yang mengalami hypertermia dengan postoperasi ASD di
ruang ICU Anak Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Jakarta.
d. Ada pengaruh pemberian antipiretik pada Balita yang mengalami
hypertermia dengan post operasi ASD di ruang ICU Anak Rumah
Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Peneliti diharapkan dapat menambah wawasan, pengatahuan, dan
pengalaman, sebagai pengalaman dalam mengkaji secara ilmiah dan menjadi
pengalaman berharga bagi peneliti dan menambah pengetahuan peneliti
tentang Pengaruh Pemberian Tepid Water Sponge dan antipiretik
10
dibandingkan dengan antipiretik saja pada Balita yang mengalami
hypertermia dengan post operasi ASD .
1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit
mengatasi hypertermia dengan tehnik tepid water sponge.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dasar
2.1.1 Suhu
a. Pengertian
Suhu yang dimaksud adalah “panas” atau “dingin” suatu substansi. Suhu
tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang diproduksi oleh proses
tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar (Perry & Potter,
2005).
b. Pengaturan suhu tubuh
Tingkah laku adalah fungsi seluruh sistem saraf, bukan bagian tertentu
apapun. Fungsi sistem saraf ini terutama dilakukan oleh struktur
subkortikal yang terletak di daerah basal otak. Seluruh kelompok struktur
ini disebut sistim limbik (Guyton, 1996). Bagian-bagian sistem limbik,
terutama hipotalamus dan struktur-strukturnya yang saling berhubungan.
Bagian-bagian tersebut mengatur banyak fungsi internal yaitu salah satunya
adalah pengaturan suhu tubuh (Guyton, 1996).
12
Gambar 1.
Hipotalamus pada manusia
Limbik mengatur banyak fungsi utama tubuh terutama fungsi vegetatif,
yang merupakan fungsi involunter yang penting bagi kehidupan. Beberapa
fungsi ini meliputi (1) regulasi kecepatan denyut jantung dan tekanan arteri,
(2) regulasi suhu tubuh, (3) regulasi osmolaritas cairan tubuh, (4) regulasi
masukan makanan, (5) regulasi sekresi hormone pituitaria (Guyton,1996).
Hipotalamus yang terletak antara hemisfer serebral, mengontrol suhu tubuh
sebagaimana kerja thermostat dalam rumah. Suhu yang nyaman adalah
pada set point dimana sistem panas beroperasi. Hipotalamus merasakan
perubahan ringan pada suhu tubuh. Hipotalamus anterior mengontrol
produksi panas (Potter & Perry,2005). Bila sel saraf di hipotalamus anterior
menjadi panas melebihi set point, impuls dikirim untuk menurunkan suhu
tubuh. Mekanisme pengeluaran panas termasuk berkeringat, vasodilatasi
(pelebaran) pembuluh darah, dan hambatan produksi panas. Darah di
distribusi kembali ke pembuluh darah permukaan untuk meningkatkan
pengeluaran panas. Jika hipotalamus posterior merasakan suhu tubuh lebih
13
rendah dari set point, mekanisme konversi panas bekerja. Vasokonstriksi
pembuluh darah mengurangi aliran darah ke kulit dan ekstremitas (Potter &
Perry, 2005).
Kompensasi produksi panas distimulasi melalui otot volunteer dan getaran
menggigil pada otot. Bila vasokonstriksi tidak efektif dalam pencegahan
tambahan pengeluaran panas, tubuh mulai menggigil (Potter & Perry,
2005). Panas diproduksi di dalam tubuh melalui metabolisme yang
merupakan reaksi kimia pada seluruh tubuh sel tubuh. Termoregulasi
membutuhkan fungsi normal dari proses produksi panas. Produksi panas
terjadi selama masa istirahat, gerakan otot polos, getaran otot dan
termogenesis tanpa menggigil. Proses produksi panas dalam tubuh adalah
sebagai berikut :
1) Metabolisme basal menghasilkan panas yang diproduksi oleh tubuh
saat istirahat. Jumlah rata-rata laju metabolik basal (BMR)
bergantung pada luas permukaan tubuh.
2) Getaran volunteer seperti aktivitas otot selama latihan,
membutuhkan tambahan energi. Laju metabolik dapat meningkat di
atas 2000 kali normal. Produksi panas dapat meningkat 50 kali
normal.
3) Menggigil merupakan respon tubuh terhadap suhu yang berbeda
dalam tubuh. Gerakan otot skelet selama menggigil membutuhkan
energi yang signifikan. Menggigil dapat meningkatkan produksi
14
panas 4-5 kali lebih besar dari normal. Panas yang diproduksi
untuk mempertahankan suhu tubuh.
Pengeluaran produksi panas terjadi secara stimulant. Struktur kulit dan
paparan terhadap lingkungan secara konstan, pengeluaran panas secara
normal melalui radiasi, konduksi, konveksi, evaporasi dan diaphoresis.
Pengeluaran panas adalah sebagai berikut :
a. Radiasi adalah perpindahan panas dari permukaan suatu obyek ke
permukaan obyek lain tanpa keduanya bersentuhan (Thibodeau &
Patton, 1993 dalam Potter & Perri, 2005). Aliran darah dari organ
internal inti membawa panas ke kulit dan ke pembuluh darah
permukaan. Jumlah panas yang dibawa tergantung dari tingkat
vasodilatasi dan vasokonstriksi yang diatur oleh hipotalamus. Panas
menyebar dari kulit setiap obyek yang lebih dingin sekelilingnya.
b. Konduksi adalah perpindahan panas dari suatu obyek ke obyek lain
dengan kontak langsung. Ketika kulit hangat menyentuh obyek yang
lebih dingin, panas hilang. Ketika suhu kedua obyek sama,
Kehilangan panas konduktif terhenti. Konduksi normalnya
menyebabkan sedikit kehilangan panas.
c. Konveksi Konveksi adalah perpindahan panas karena pergerakan
udara. Arus udara membawa udara hangat. Pada saat kecepatan arus
udara meningkat, kehilangan panas konvektif meningkat. Kipas angin
listrik meningkatkan kehilangan paanas dengan cara konveksi.
15
d. Evaporasi adalah perpindahan energi panas ketika cairan berubah
menjadi gas, selama evaporasi, kira-kira 0,6 kalori panas hilang untuk
setiap air yang menguap ( Guyton, 1991 dalam Potter and Perry,
2005). Tubuh secara kontinyu kehilangan panas secara evaporasi.
Dengan mengatur prespirasi atau berkeringat, tubuh meningkatkan
kehilangan panas evaporasi tambahan. Ketika suhu tubuh meningkat,
hipotalamus anterior memberi sinyal kelenjar keringat untuk
melepaskan keringat. Evaporasi berlebihan dapat menyebabkan kulit
gatal dan bersisik, serta hidung dan faring kering.
e. Diaporesis adalah prespirasi visual dahi dan toraks atas. Kelenjar
keringat berada di bawah dermis kulit. Bila suhu tubuh meningkat,
kelenjar keringat mengeluarkan keringat, yang menguap dari kulit
untuk meningkatkan kehilangan panas. Suhu tubuh rendah
menghambat sekresi kelnjar keringat. Diaforesis kurang efisien bila
gerakan udara minimal atau bila kelemahan udara tinggi.
Skema 1
Regulasi suhu tubuh
Produksi panas :
1. Metabolisme basal
2. Aktifitas otot
3. Menggigil
Pengeluaran panas :
1. Radiasi
2.Konduksi
3. Konveksi
4. Evaporasi
5. Diaphoresis
16
2.1.2 Hypertermia
Hypertemia adalah situasi ketika tubuh melebihi set point, yang biasanya
terjadi akibat kondisi tubuh atau kondisi eksternal yang menciptakan lebih
banyak panas dari yang dapat dihilangkan tubuh ( Wong,dkk, 2008)
Hypertermia dalam kaitannya dengan eliminasi infeksi salah satunya melalui
aktivasi sinyal apoptosis sel T yang tidak diinginkan atau teraktivasi berlebihan
misalnya reaksi alergi atau autoimun (Meinander A, Thomas S. So¨derstro¨m,
Kaunisto A. et.al. 2007).
Penyebab hipertermia adalah :
a) Hypertermia karena peningkatan produksi panas
Hipertermia maligna
Hipertermia maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan anesthesia.
Hipertermia ini merupakan miopati akibat mutasi gen yang
diturunkan secara autosomal dominan. Pada episode akut terjadi
peningkatan kalsium intraselular dalam otot rangka sehingga
terjadi kekakuan otot dan hipertermia. Pusat pengatur suhu di
hipotalamus normal sehingga pemberian antipiretik tidak
bemanfaat. Gambaran klinis meliputi kekakuan otot terutama otot
masseter sehingga menyebabkan rhabdomyolisis, peningkatan
CO2 tidal, takikardia, dan peningkatan suhu tubuh yang cepat (0.50
– 1.00 C tiap 5 - 10 menit, suhu dapat mencapai 440C). Tatalaksana
17
utama adalah menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan agresif
dengan total body cooling (air es/dingin lewat NGT, rectal, dan
IV), segera menghentikan pemakaian obat anestesi, pemberian
oksigen 100%, memperbaiki asidosis, furosemid (1 mg/kgBB),
manitol 20% (1 g/kgBB),insulin, dextrose, hidrokortison,
Dantrolone (antidote spesifik 2.5 mg/kgBB IV dan kemudian tiap
5-10 menit) dan mengatasi aritmia.
Neuroleptic malignant syndrome
suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari
penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.
Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari
komplikasi kardio pulmo dan ginjal2 .
Drug-induced hyperthermia
Keadaan dimana pemberian obat dimaksudkan untuk membantu
pasien menyebabkan demam. Obat dapat mengganggu
pembuangan panas perifer, meningkatkan laju metabolisme,
membangkitkan respon imun selular atau humoral, atau kerusakan
jaringan.
Exercise-induced hyperthermia
Hipertermia jenis ini dapat terjadi pada anak besar/remaja yang
melakukan aktivitas fisik intensif dan lama pada suhu cuaca yang
18
panas. Pencegahan dilakukan dengan pembatasan lama latihan
fisik terutama bila dilakukan pada suhu 300C atau lebih dengan
kelembaban lebih dari 90%, pemberian minuman lebih sering (150
ml air dingin tiap 30 menit), dan pemakaian pakaian yang
berwarna terang, satu lapis, dan berbahan menyerap keringat.
Endocrine hyperthermia
Kelainan endokrin sering dihubungkan dengan EH
(hipertiroidisme, diabetes mellitus, phaeochromocytoma,
insufisiensi adrenal dan Ethiocolanolone (merangsang
pembentukan pirogen leukosit)
b) Hipertermia karena penurunan pelepasan panas:
Hipertermia neonatal
Peningkatan suhu tubuh secara cepat pada hari 2 dan 3 kehidupan
yang disebabkan karena dehidrasi, Demam karena infeksi tanda
lain dari infeksi seperti leukositosis/leucopenia, CRP tinggi,
respons kurang baik dengan pemberian cairan, dan riwayat
persalinan prematur/resiko infeksi .
Dehidrasi
Dehidrasi pada masa ini sering disebabkan oleh kehilangan cairan
atau paparan oleh suhu kamar yang tinggi.
Heat stroke
Tanda umum heat stroke adalah suhu tubuh > 40.50C atau sedikit
lebih rendah, kulit teraba kering dan panas, kelainan susunan saraf
19
pusat, takikardia, aritmia, kadang terjadi perdarahan miokard, dan
pada saluran cerna terjadi mual, muntah, dan kram. Komplikasi
yang bisa terjadi antara lain DIC, lisis eritrosit, trombositopenia,
hiperkalemia, gagal ginjal, dan perubahan gambaran EKG. Anak
dengan serangan heat stroke harus mendapatkan perawatan intensif
di ICU, suhu tubuh segera diturunkan (melepas baju dan sponging
dengan air es sampai dengan suhu tubuh 38,50 C kemudian anak
segera dipindahkan ke atas tempat tidur lalu dibungkus dengan
selimut), membuka akses sirkulasi, dan memperbaiki gangguan
metabolic yang ada
Trauma lahir
Hipertermia yang berhubungan dengan trauma lahir timbul pada
24%dari bayi yang lahir dengan trauma. Suhu akan menurun
pada1-3 hari tapi bisa juga menetap dan menimbulkan komplikasi
berupa kejang.
Tatalaksana dasar hipertermia pada neonatus termasuk
menurunkan suhu bayi secara cepat dengan melepas semua baju
bayi dan memindahkan bayi ke tempat dengan suhu ruangan. Jika
suhu tubuh bayi lebih dari 390C dilakukan tepid sponged 350C
sampai dengan suhu tubuh mencapai 370C.
Renjatan hemorargik dan ensefalopati
Gambaran klinis mirip dengan heat stroke tetapi tidak ada riwayat
penyelimutan berlebihan, kekurangan cairan, dan suhu udara luar
20
yang tinggi. HSE diduga berhubungan dengan cacat genetic dalam
produksi atau pelepasan serum inhibitor alpha-1-trypsin. Kejadian
HSE pada anak adalah antara umur 17 hari sampai dengan 15
tahun (sebagian besar usia < 1 tahun dengan median usia 5 bulan).
Pada umumnya HSE didahului oleh penyakit virus atau bakterial
dengan febris yang tidak tinggi dan sudah sembuh (misalnya
infeksi saluran nafas akut atau gastroenteritis dengan febris
ringan). Pada 2 – 5 hari kemudian timbul syok berat, ensefalopati
sampai dengan kejang/koma, hipertermia (suhu > 410C),
perdarahan yang mengarah pada DIC, diare, dan dapat juga terjadi
anemia berat yang membutuhkan transfusi.
Pada pemeriksaan fisik dapat timbul hepatomegali dan asidosis
dengan pernafasan dangkal diikuti gagal ginjal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis, hipernatremia, peningkatan
CPK, enzim hati dan tripsin, hipoglikemia, hipokalsemia,
trombositopenia, penurunan faktor II, V, hiperfibrinogenemia, dan
alpha-1-antitripsin.Pada HSE tidak ada tatalaksana khusus, tetapi
pengobatan suportif seperti penanganan heat stroke dan
hipertermia maligna dapat diterapkan. Mortalitas kasus ini tinggi
sekitar 80% dengan gejala sisa neurologis yang berat pada kasus
yang selamat. Hasil CT scan dan otopsi menunjukkan perdarahan
fokal pada berbagai organ dan edema serebri.
21
Sudden infant death syndrome (SIDS)
Definisi SIDS adalah kematian bayi (usia 1-12 bulan) yang
mendadak, tidak diduga, dan tidak dapat dijelaskan. Kejadian yang
mendahului sering berupa infeksi saluran nafas akut dengan febris
ringan yang tidak fatal. Hipertermia diduga kuat berhubungan
dengan SIDS.
Penatalaksanaan hypertermia
a. Tindakan farmakologis
Tindakan menurunkan suhu mencakup intervensi farmakologik.
Intervensi paling efektif adalah penggunaan antipiretik untuk
menurunkan set point (Wong, 2009). Obat yang umum digunakan
untuk menurunkan suhu dengan berbagai penyebab (infeksi, inflamasi
dan neoplasma) adalah obat antipiretik. Antipiretik ini bekerja dengan
mempengaruhi termoregulator pada sistem saraf pusat dan dengan
menghambat kerja prostaglandin secara perifer (Deglin&Vallerand,
2004). Obat antipiretik antara lain asetaminofen, aspirin, kolin,
magnesium salisilat, ibuprofen dan obat –obat anti inflamasi non
steroid (NSAID).
22
Asetaminofen merupakan obat pilihan, aspirin dan salisilat lain tidak
boleh diberikan pada anak-anak dan remaja. Ibuprofen,
penggunaannya disetujui untuk menurunkan demam pada anak-anak
yang berusia minimal 6 bulan. Hindari pemakaian aspirin atau
ibuprofen pada pasien-pasien dengan gangguan perdarahan
(Deglin&Vallerand, 2004). Beberapa ibuprofen yang tidak disetujui
penggunaannya untuk anak-anak adalah nuprin, medipren dan motrin
IB. Penggunaannya dapat dilakukan bila didiskusikan terlebih dahulu
dengan pemberi layanan utama (Katzung, 2002). Pemberian antipiretik
yang berlebihan perlu diperhatikan, karena dapat menyebabkan
keracunan (Totapally, 2005, dan Setiawati, 2009).
b. Tindakan non farmakologis
Tindakan non farmakologis adalah tindakan tambahan yang diberikan
setelah pemberian antipiretik terhadap penurunan panas. Tindakan non
farmakologis tersebut seperti menyuruh anak untuk banyak minum air
putih, istirahat, kompres hangat serta tepid water sponge (Budi, 2006).
Kania (2007) mengatakan bahwa penatalaksanaan anak dengan
demam adalah dengan menempatkan anak dalam ruangan bersuhu
normal dan mengusahakan agar pakaian anak tidak tebal.
23
2.1.3 Tepid Water Sponge
Tepid water sponge adalah sebuah teknik kompres hangat yang
menggabungkan teknik kompres blok pada pembuluh darah superficial
dengan teknik seka (Corrard, 2001, hlm.253).Tepid water sponge sering
direkomendasikan untuk mempercepat penurunan suhu tubuh (Conrad,
2002; Carton, et al., 2001, dalam Setiwati, 2009). Tujuan dari
penggunaan tepid water sponge ini untuk menurunkan suhu secara
terkontrol (Johnson, Temple&Car, 2005). Prosedur ini tidak boleh
dilakukan pada bayi dibawah usia 1 tahun dan tanpa pengawasan
medis, karena tindakan ini dapat meyebabkan anak menjadi syok
(Hastings, 2005). Pemberian tepid water sponge pada daerah tubuh
akan mengakibatkan anak berkeringat.
Tepid water sponge bertujuan untuk mendorong darah ke permukaan
tubuh sehingga darah dapat mengalir dengan lancar. Ketika suhu tubuh
meningkat dilakukan tepid water sponge, hipotalamus anterior memberi
sinyal pada kelenjar keringat untuk melepaskan keringat. Tindakan ini
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali (Filipinomedia, 2010).
24
Skema 2
Mekanisme tepid water sponge dalam menurunkan suhu tubuh
Sumber Potter&Perry,2005
Beberapa penelitian terkait yang berhubungan dengan tepid water
sponge adalah penelitian lain yang dilakukan oleh Setiawati (2009)
tentang “Pengaruh tepid water sponge terhadap penurunan suhu tubuh
dan kenyamanan pada anak usia prasekolah dan sekolah yang
mengalami demam di ruang perawatan anak Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh pemberian antipiretik disertai tepid sponge
terhadap penurunan suhu tubuh dan kenyamanan anak di ruang
perawatan anak RS Muhammadiyah Bandung.
Tepid water sponge
Anak demam
Hipotalamus anterior
Sinyal menurunkan set point
Vasodilatasi, berkeringat
Penurunan suhu tubuh pada anak
25
Desain yang digunakan adalah quasi experimental pre-post test non
eqivalen control group dengan jumlah sampel 50 responden.
Pengukuran dilakukan dengan melihat penurunan suhu tubuh dan
tingkat kenyamanan sebelum intervensi dan 60 menit setelah intervensi.
Kesimpulan didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna dalam
penurunan suhu tubuh antara kelompok intervensi dengan kelompok
control (p=0,21); serta tidak ada perbedaan yang bermakna dalam
tingkat rasa nyaman antara kelompok intervensi dengan kelompok
control (p=0,21) setelah 60 menit intervensi. Akan tetapi ada
kecenderungan bahwa pemberian antipiretik yang disertai tepid water
sponge mengalami penurunan suhu yang lebih besar dan peningkatan
rasa nyaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemberian
antipiretik saja. Implikasi keperawatan yang dapat direkomendasikan
adalah pemberian antipiretik disertai tepid sponge dapat dijadikan
intervensi untuk menurunkan demam dan meningkatkan rasa nyaman
pada anak terutama pada anak usia sekolah.
Tahap-tahap pelaksanaan tepid water sponge (Rosdahl & Kowalski,
2008, dalam Setiawati, 2009)
a) Tahap persiapan
1) Jelaskan prosedur dan demonstrasikan cara tepid water
sponge.
26
2) Persiapan alat meliputi ember atau baskom untuk tempat air
hangat (37ºC - 40ºC), lap mandi (wash lap), handuk mandi,
perlak, thermometer digital.
b) Pelaksanaan
1) Beri kesempatan klien untuk buang air sebelum
dilakukan tepid water sponge
2) Ukur suhu tubuh klien dan catat. Catat jenis dan waktu
pemberian antipiretik pada klien
3) Buka seluruh pakaian klien dan alas klien dengan perlak.
4) Tutup tubuh klien dengan handuk mandi . Kemudian
basahkan wash lap atau lap mandi, usapkan mulai dari
kepala, dan dengan tekanan lembut yang lama, lap
keseluruh tubuh, lakukan sampai ke arah ekstermitas
bawah secara bertahap. Lap tubuh klien selama 15 menit.
Pertahankan suhu air (37ºC - 40ºC).
5) Apabila wash lap mulai mengering maka rendam
kembali dengan air hangat lalu ulangi tindakan seperti
diatas.
6) Hentikan prosedur jika klien kedinginan atau
menggigil atau segera setelah suhu tubuh klien
mendekati normal. Selimuti klien dengan selimut mandi
27
dan keringkan. Pakaikan klien baju yang tipis dan mudah
menyerap keringat.
7) Catat suhu tubuh klien sebelum dan sesudah tindakan.
2.1.4 Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau lebih
dikenal dengan pengertian usia anak dibawah lima tahun (Muaris,H,
2006). Menurut Sutomo.B. dan Anggraeni. DY. 2010, balita adalah
istilah umum bagi anak batita usia (1-3) tahun dan anak usia
prasekolah (3-5)tahun.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa ini menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa yang akan
datang. Masa tumbuh kembang di usia balita merupakan masa yang
berlangsung cepat dan tidak akan berulang, karena itu masa balita
sering disebut dengan golden age atau masa keemasan.
Pertumbuhan dan perkembangan memiliki pola khas yang dapat terjadi
mulai dari kepala hingga seluruh tubuh atau juga mulai dari kemampuan
yang sederhana hingga mencapai kemampuan yang lebih kompleks
sampai mencapai kesempurnaan dari tahap pertumbuhan dan
28
perkembangan (Narendra, 2002). Pada usia balita sebagian besar system
tubuh telah matur dan dapat menyesuaikan diri dengan stresss. Volume
saluran pernafasan dan pertumbuhan struktur yang bersangkutan terus
bertambah. Frekwensi pernafasan dan denyut jantung melambat,
tekanan darah meningkat.
2.1.5 Atrial Septal Defect (Defek Septum Atrium)
a. Definisi
ASD (Atrial Septal Defect adalah kelainan jantung congenital dimana
terdapat lubang (defect) pada sekat (septum) inter-atrium. yang terjadi
oleh karena kegagalan fusi septum inter-atrium semasa janin. Diantara
kelainan jantung yang memerlukan pembedahan jantung terbuka
adalah atrial Septal Defect. Defect ini dapat berupa defect sinus
venosus di dekat muara vena cava superior, foramen ovale terbuka
pada umumnya menutup spontan setelah kelahiran, defect septum
sekuntum yaitu kegagalan pembentukkan septum sekundum dan defect
primum adalah kegagalan penutupan septum primum yang letaknya
dekat sekat antara bilik atau pada bantalan endokard. Macam-macam
defect sekat ini harus ditutup dengan tindakkan bedah sebelum terjadi
pembalikan aliran darah melalui pintasan ini dari kanan ke kiri (right
29
to left shunt) sebagai tanda timbulnya sindroma Eisenmemger. Bila
sudah terjadi R to L shunt, maka pembedahan dikontraindikasikan.
b. Angka Kejadian
Diantara berbagai kelainan bawaan yang ada, penyakit jantung bawaan
(PJB) merupakan kalainan yang paling sering ditemukan. Di Amerika
Serikat , insiden penyakit jantung bawaan sekitar 8 – 10 dari 1000
kelahiran hidup, dengan 1/3 diantaranya dalam kondisi kritis pada
tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan
pertama kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia dengan
populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%
diperkirakan 30.000 penderita dengan PJB. Defect pada septum atrium
merupakan lebih kurang 10 % dari seluruh penyakit jantung bawaan.
Kelainan ini lebih sering ditemukan pada anak perempuan dibanding
pada anak laki- laki (rasio Perempuan : laki = 2:1). Angka kejadian
ASD yang disertai kelainan lain sekitar 30 – 50 % dari seluruh
kalainan jantung bawaan.
c. Klasifikasi
Berdasarkan variasi kelainan anatominya, Atrial Septal Defect dapat
diklasifikasikan menjadi tiga type ASD yaitu:
30
1) Ostium Primum (ASD I), letak lubang dibagian bawah septum,
mungkin dapat dihubungkan dengan kelaianan katup mitral. Angka
kejadian kelainan ASD type ini sekitar 15% dari total ASD, dan
bila ASD I disertai ECD (endocardial cushion defect) memiliki
prevalensi sekitar 30% angka kejadian ASD.
2) Ostium Sekundum (ASD II), letak lubang ditengah septum. Angka
kejadian ASD ini paling besar sekitar (50 – 70)% total ASD.
3) Sinus Venosus Defect, lubang berada diantara vena cava
superior dan atrium kanan. Type defect ini sekitar sekitar 10% dari
seluruh kelainan ASD.
Type ASD
ASD primum ASD sekudum ASD venosus
31
c) Patofisiologi
Terjadi aliran “shunting” darah dari atrium kiri menuju atrium kanan
melalui defek /lubang pada sekat atrium (left to right shunt) oleh karena
compliance ventrikel kanan yang lebih besar (bertekanan rendah)
dibanding ventrikel kiri. Besarnya“shunting” bergantung terhadap
seberapa besar perbandingan compliance (relatif) ventrikel kanan
terhadap ventrikel kiri, dan juga tergantung pada besar kecilnya defek.
Akibatnya adalah terjadi kelebihan volume darah (volume
overload)pada jantung kanan yang pada akhirnya menyebabkan
pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta dilatasi arteri pulmonalis.
Juga terjadi peningkatan tekanan pada vaskularisasi paru atau yang
dikenal dengan “ hipertensi pulmonal” akibat kelebihan volume
darah pada paru (lung overflow). Dilatasi ventrikel kanan
mengakibatkan waktu depolarisasi ventrikel kanan memanjang yang
32
akan memberikan gambaran blok RBBB pada pemeriksaan
elektrokardiolografi (EKG).
Murmur yang terjadi bukan karena “shunting” di atrium, tetapi karena
terjadinya turbulensi darah saat melewati katup arteri pulmonalis
(stenosis relative katup pulmonalis). Oleh sebab itu murmur yang
terjadi adalah murmur sistolik di area auskultasi pulmonal.Gagal
jantung kongestif (CHF) dan hipertensi pulmonal seringkali baru
terjadi pada usia decade III dan IV oleh karena faktor compliance dari
jantung kanan dan arteri pulmonalis yang besar. Jika compliance
ventrikel kanan terus menurun akibat beban yang terus meningkat shunt
dari kiri ke kanan akan berbalik menjadi dari kanan ke kiri akibat dari
penyakit vaskuler paru yang semakin bertambah berat. Keadaan ini
disebut dengan aisenmenger.
d) Etiologi
Kelainan jantung ASD merupakan penyakit congenital yang
penyebabnya tidak diketahui secara pasti , Tetapi ada beberapa factor
yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian
ASD.
33
Faktor-faktor tersebut diantaranya:
1) Faktor Prenatal.
Ibu menderita infeksi rubella
Ibu Alkoholis
Umur ibu pada saat kehamilan > 40 tahun
Ibu dengan IDDM
Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu saat
kehamilan
2) Faktor Genetik
Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ayah dan ibu menderita PJB
Kelainan kromosom mis down syndrome
Lahir dengan kelaianan bawaan lain.
e) Tanda dan Gejala
Banyak anak-anak atau remaja dengan ASD tidak menunjukkan gejala
apa-apa (asimptomatik). Pada pemeriksaan fisik menisfestasi klinis
pada Atrial Septal Defect (ASD) :
1) Habitus kurus
2) Dispnea
3) Kecenderungan infeksi saluran nafas berulang
4) Kardiomegali
34
5) Palpitasi
Pada auskultasi terdengar adanya mumur systolic
f) Pemeriksaaan Penunjang
1) Foto rontgen. Pada defect kecil gambaran foto rontgen masih
dalam batas normal, Bila defect besar Ukuran jantung membesar
sebanding dengan besarnya shunt. Mungkin terdapat pembesaran
jantung kanan yang tampak sebagai penonjolan pada bagian kanan
atas jantung. Vaskulerisasi corakan paru bertambah. Batang arteri
pulmonalis dapat juga membesar .
2) Elektrokardiografi. Pada EKG akan tampak devisiasi sumbu
frontal jantung mengarah ke kanan. Kompleks QRS akan terlihat
sedikit memanjang dan terdapat karakteristik pola rSr’ atau rsR’
pada VI. Pada V6 terlihat gambaran S yang lebih panjang dari
normal. Kompleks QRS menggambarkan adanya blockade RBBB.
Pada ASD type I sumbu frontal jantung selalu mengarah ke kiri.
3) Ekokardiografi. Dengan Ekokardiogram M-Mode, pada ASD
skundum sering tampak dilatasi ventrikel kanan dan septum inter-
vertrikuler yang bergerak paradox atau mendatar. Pada pandangan
subcostal 4-chamber akan memperlihatkan defect pada septum
atrium dan ditemukan tanda-tanda adanya left to right shunt.
35
4) Kateterisasi jantung. Kateterisasi dilakukan untuk melihat tekanan
padamasing-masing ruang jantung. Bila terdapat hipertensi
pulmonal pada kateterisasi jantung terdapat peningkatan saturasi
O2 di atrium kanan dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel
kanan dan kiri.
g) Penatalaksanaan
Secara umum adanya ASD besar merupakan indikasi untuk dilakukan
penutupan defect secara intervensi bedah atau kateterisasi, pengobatan
(medikamentosa) tidak akan menyebabkan menutupnya lubang ASD
sedang –besar dan bersifat asimptomatik saja.
1) Bedah
Seluruh penderita dengan ASD harus dilakukan tindakkan
penutupan pada defect tersebut, karena ASD tidak dapat menutup
secara spontan dan bila tidak dilakukan penutupan akan terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan dimasa dewasa.
Tindakkan operasi penutupan ASD sangat tergantung pada besar
kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung
36
kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi
pulmonal) serta penyulit lain.
Operasi penutupan ASD harus segera dilakukan bila terdapat:
Jantung yang sangat besar
Dyspnea d’effort yang berat
Gagal jantung kanan
Kenaikan tekananarteri pulmonalis
Masalah yang sering terjadi pasca bedah:
Sinoatrial node dysfungsi
Postpericardiotomy syndrome
Left ventrikuler dysfungsi
Hipertensi pulmonal
Residual ASD
2) Tindakkan Non Bedah.
Pembatasan aktivitas atau olahraga tidak diperlukan
Bayi dengan tanda-tanda CHF sebaiknya dilakukan therapy
medikamentosa lebih dahulu oleh karena keberhasilan
tinggi dan kemungkinan menutup spontan.
37
Dapat dilakukan tindakkan penutupan melalui
intervensi kateterisasi (ASO – Amplatzer Septal
Ocluder)
38
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Penelitian yang berjudul “ Pengaruh pemberian tepid water sponge dan antipiretik
dibandingkan dengan antipiretik saja pada balita yang mengalami hypertermia
dengan post operasi ASD di ruang ICU Anak Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita” menggunakan kerangka konsep sebagai berikut :
Pre Intervensi Post Intervensi
Hypertermia Suhu tubuh
Antipiretik
hypertermia Suhu tubuh
Tepid water sponge &
antipiretik
39
Gambar 3.1 Kerangka konsep Hubungan Pemberian tepid water sponge dan
antipiretik dibandingkan dengan antipiretik pada balita yang mengalami hypertermia
dengan post operasi ASD di ICU Anak RSJHK Jakarta 2012.
3.2. Hipotesis penelitian
Ada perbedaan pemberian Tepid water sponge dan antipiretik disbanding antipiretik
saja terhadap penurunan suhu tubuh pada balita yang mengalami hypertermia post
operasi ASD di ruang ICU anak rumah sakit Jantung dan pembuluh darah Harapan
Kita Jakarta.
3.3. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran
Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional berdasarkan
karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu fenomena. Definisi
operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam
penelitian, sedangkan cara dimana variable dapat diukur dan ditentukan
karakteristiknya
40
Tabel 3.2 Data Demografi
No Variabel Defenisi
operasional
Alat Cara
pengukuran
Hasil
pengukuran
Skala
pengukuran
1.
2.
Umur
balita
Jenis
kelamin
Umur
responden
yang
dihitung
sejak 12
bulan
sampai
dengan
waktu
penelitian
yang
dinyatakan
dalam
bulan
Sifat/keada
an yang
membeda
kan dua
individu
yang
Kuesioner
Kuesioner
Mengisi
lembar
kuesioner
pada data
demografi
Mengisi
lembar
kuesioner
pada data
demografi
12-36 bln
37-60 bln
1=laki-laki
2=perempu
an
Ordinal
Nominal
41
berbeda
jenis
Tabel 3,3 Data Pre-test dan Post-test
No Variabel Definisi
operasional
Alat Cara
pengukuran
Hasil
pengukuran
Skala
pengukuran
1.
Hyperter
mia
Suatu
keadaan
dimana
suhu tubuh
melebihi
titik tetap
atau set
point lebih
dari 38,5ºC
Alat
pengukur
suhu
tubuh
Observasi
Kelompok
intervensi :
Mean
(38,7˚C)
Median
(38,7˚C)
Standar
deviasi
(0,26˚C)
Ratio
42
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain/Rancangan Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Eksperiment.
Dalam penelitian ini kelompok intervensi (pasien hypertermia yang diberikan tepid
water sponge dan antipiretik) dan kelompok kontrol (pasien hypertermia yang hanya
diberikan antipiretik saja) sama-sama dilakukan pre-test dan di post-test setelah
pemberian perlakuan.
4.2 Prosedur Penelitian
4.2.1 Persiapan alat
4.2.2 Persiapan Pasien
a. Identifikasi pasien
b. Perkenalkan diri dan tujuan pelaksanaan
c. Minta persetujuan pasien
d. Jelaskan prosedur pelaksanaan
e. Siapkan lingkungan
4.2.3 Pelaksanaan
43
Prosedur pelaksanaan tepid water sponge diambil dari tahap-tahap tepid water
sponge yang direkomendasikan oleh Rosdahl dan Kowalski, (2008).
a. Tahap persiapan
1) Jelaskan prosedur dan demonstrasikan cara tepid water sponge.
2) Persiapan alat meliputi ember atau baskom untuk tempat air hangat (37ºC
- 40ºC), lap mandi (wash lap), handuk mandi, perlak, thermometer
digital.
b. Pelaksanaan
1) Beri kesempatan klien untuk buang air sebelum dilakukan tepid water
sponge
2) Ukur suhu tubuh klien dan catat. Catat jenis dan waktu pemberian
antipiretik pada klien
3) Buka seluruh pakaian klien dan alas klien dengan perlak.
4) Tutup tubuh klien dengan handuk mandi . Kemudian basahkan wash lap
atau lap mandi, usapkan mulai dari kepala, dan dengan tekanan lembut
yang lama, lap keseluruh tubuh, lakukan sampai ke arah ekstermitas
bawah secara bertahap. Lap tubuh klien selama 15 menit. Pertahankan
suhu air (37ºC - 40ºC).
5) Apabila wash lap mulai mengering maka rendam kembali dengan air
hangat lalu ulangi tindakan seperti diatas.
6) Hentikan prosedur jika klien kedinginan atau menggigil atau segera
setelah suhu tubuh klien mendekati normal. Selimuti klien dengan
44
selimut mandi dan keringkan. Pakaikan klien baju yang tipis dan mudah
menyerap keringat.
7) Catat suhu tubuh klien sebelum dan sesudah tindakan.
4.3 Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah ruang ICU Anak Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Jakarta dengan alasan karena belum pernah dilakukan penelitian
tentang penelitian ini sebelumnya.
4.4 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2012 sampai Januari 2013.
4.5 Populasi dan Sampling
4.5.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak balita post operasi ASD yang
mengalami hypertermia ( suhu > 38.5ºC) yang dirawat di ruang ICU Anak
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
45
4.5.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi, yaitu sejumlah obyek atau subyek yang
dapat atau dianggap mewakili populasi (Hidayat, 2008). Sampel adalah obyek
yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010).
Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
sampling yaitu tehnik penentuan sampel bila semua jumlah populasi
digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan jika jumlah sampel relatif kecil
(Setiadi, 2007).
Sampel penelitian ini adalah anak balita post operasi ASD yang emngalami
hypertermia yang dirawat di ruang ICU rumah sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Jakarta sebanyak 20 orang.
4.5.3 Kriteria sampel
Sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah yang memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukan atau
layak untuk diteliti. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
1) Anak balita usia 1 – 5 tahun
2) Post operasi ASD hari pertama yang mengalami hypertermia (suhu
diatas 38,5ºC)
3) Belum dilakukan tindakan tepid sponge
46
4) Belum mengkonsumsi obat antipiretik atau telah mengkonsumsi obat 4
jam sebelum diberi perlakuan.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak dapat dimasukkan
atau tidak layak untuk diteliti. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Usia lebih dari 5 tahun
2) Jenis operasi bukan post operasi ASD
3) Berada dalam waktu paruh obat
4) Responden baru selesai makan
5) Responden menggunakan pakaian atau selimut
6) Pasien mengalami infeksi lain ( seperti pneumonia, dan lain-lain)
4.6 Etika Penelitian
Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti mendapatkan ijin dari institusi pendidikan
“Universitas Muhammadiyah Jakarta”, kemudian peneliti memberikan surat ijin
tersebut kepada direktur RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dan
kepada kepala ruangan ICU Anak RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jakarta.
Setelah mendapat ijin penelitian, kemudian peneliti melakukan penelitian dengan
menekankan masalah etika penelitian yang meliputi :
47
1. Surat Persetujuan (Informed Consent)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden
(orang tua) dengan memberikan lembar persetujuan, dimana lembar persetujuan
tersebut ditandatangani orang tua sebelum penelitian dilakukan. Sebelum
informed consent ditandatangani, peneliti menjelaskan kepada orang tua
responden tentang maksud dan tujuan dilakukannya penelitian, juga ditekankan
bahwa calon responden akan dijamin kerahasiaan identitasnya dengan hanya
menulis inisial nama dalam kuesioner yang harus diisi orang tua responden.
Dijelaskan juga bahwa keikutsertaan calon responden adalah bersifat suka rela,
2. Tanpa nama (Anoymity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam
penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama pada
lembar alat ukur, dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau
hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan (confidentiality) merupakan masalah etika dengan memberikan
jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua data yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti,
hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
48
4. Hak untuk menarik diri
Responden berhak mengundurkan diri selama proses penelitian. Hal ini tidak
berpengaruh terhadap pelayanan perawatan yang diberikan selama perawatan.
4.7 Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan
lembar observasi yaitu suatu daftar pengecekan berisikan nama dan daftar obeservasi
suhu tubuh sebelum intervensi dan suhu tubuh sesudah intervensi yang dilakukan
dengan menggunakan angka.
4.8 Metode Pengumpulan Data
4.8.1 Tahap persiapan
a. Mengurus perijinan untuk pelaksanaan penelitian kepada rumah sakit.
b. Bakerjasama dengan kepala ruangan untuk menentukan responden yang
akan diteliti.
c. Memperbanyak lembar observasi.
4.8.2 Tahap pelaksanaan
a. Peneliti memberikan penjelasan tentang penelitian dan tujuan penelitian
kepada orang tua responden selanjutnya apabila orang tua responden
49
bersedia mengikuti penelitian maka orang tua responden menandatangani
surat persetujuan (informed consent).
b. Mengisi lembar observasi dilakukan oleh peneliti juga dibantu oleh
perawat yang menangani responden.
c. Pengolahan dan analisis data penelitian.
d. Membuat laporan penelitian dalam karya ilmiah.
4.8.3 Tahap akhir
a. Penulisan laporan penelitian.
b. Konsultasi pada pembimbing dalam penulisan, pembuatan dan pengolahan
penelitian dalam karya ilmiah.
c. Mengumpulkan berkas sebelum melakukan seminar.
d. Seminar hasil penelitian.
e. Revisi hasil penelitian
f. Penyempurnaan hasil penelitian dengan menjilid menjadi karya tulis ilmiah
yang sempurna.
4.9 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui proses dengan tahapan (Notoatmojo, 2005)
sebagai berikut :
4.9.1 Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isi formulir atau
lembar observasi, apakah sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten.
50
4.9.2 Coding yaitu instrument yang telah di edit di konversi kedalam angka atau
kode tertentu.
4.9.3 Processing yaitu proses mengelola data agar dapat dianalisa. Pemprosesan
data dilakukan dengan mengentry data dari lembar observasi perubahan
suhu kedalam perangkat komputer.
4.9.4 Cleaning yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry untuk
mengetahui ada tidaknya kesalahan.
4.10 Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan dua cara :
1. Analisa Univariat
Analisis dilakukan terhadap variable dari hasil penelitian. Pada unumnya
analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variable
(Notoatmojo, 2005). Pada penelitian ini peneliti menganalisa perubahan suhu
tubuh pada balita post operasi ASD yang mengalami hypertermia sebelum dan
sesudah pemberian perlakuan.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variable yang
diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmojo, 2005). Analisa pada
penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemberian tepid water
sponge dan antipiretik dibandingkan dengan antipiretik saja pada balita post
51
operasi ASD yang mengalami hypertermia. Uji statistik yang dilakukan
adalah uji T test yaitu uji beda dua mean independen.
52
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di ruang ICU anak RS Jantung Harapan Kita pada bulan
Desember – Januari 2013. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Analisa univariat yang
terdiri dari karakteristik responden berdasarkan data demografi usia dan jenis kelamin.
data yang didapat dari hasil penelitian analisa Bivariat yang menyatakan pengaruh antara
variabel dependen. Jumlah responden pada penelitian ini terdiri dari 10 responden
kelompok intervensi dan 10 responden kelompok kontrol. Dari pengumpulan data dan
pengolahan data observasi yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut:
A. Analisa Univariat
Dalam analisa univariat ini menjelaskan secara deskriptif mengenai variabel-variabel
penelitian yang terdiri dari karakteristik responden usia dan jenis kelamin sesuai
dengan hasil pengumpulan data sesuai dengan variabel penelitian. Data-data ini akan
disajikan dalam bentuk tabel.
5.1 Data Demografi
53
Tabel 5.1
Distribusi responden menurut data demografi pada pasien yang mengalami hypertermia post operasi ASD di Ruang ICU Anak
RS Jantung Harapan Kita Bulan Desember 2012 – Januari 2013
No Variabel Kelompok Intervensi
N= 10 Kelompok Kontrol
N= 10 frekuensi (%) frekuensi (%)
1. Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan
8 2
80 20
8 2
80 20
2. Usia a. 12-36 bln b. 37-60 bln
9 1
90 10
8 2
80 20
Tabel 5.1 menunjukan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada
kelompok intervensi adalah laki-laki yaitu 8 orang (80%). Demikian juga pada
kelompok kontrol adalah laki-laki yaitu 8 orang (80%), jadi dapat disimpulkan
bahwa jenis kelamin responden umumnya laki-laki pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol.
Distribusi responden berdasarkan usia pada tabel 5.1 umumnya adalah anak balita
12-36 bulan yaitu 9 orang (90%) pada kelompok intervensi. Demikian juga pada
kelompok kontrol umumnya responden berusia 12-36 bulan yaitu 8 orang (80%).
Jadi dapat disimpulkan usia responden baik pada kelompok intervensi maupun
kelompok kontrol umumnya berusia 12-36 bulan.
54
5.2 Suhu tubuh Sebelum dan Sesudah Diberikan Tepid Water Sponge dan
Antipiretik dan Antipiretik Saja Pada balita yang mengalami hypertermia
post operasi ASD di RSJHK
Tabel 5.2
Distribusi rata-rata suhu tubuh sebelum dan sesudah diberikan tepid water sponge dan antipiretik dan antipiretik saja pada balita yang mengalami
hypertermia post operasi ASD di ICU Anak RSJHK Bulan Desember 2012 dan Januari 2013
Suhu Tubuh Mean Median Standar Deviasi
Kelompok Intervensi Pre Post
38,7 37,2
38,7 37,2
0,2616 0,2224
Kelompok Kontrol Pre Post
38,8 37,9
38,7 38
0,2749 0,2593
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh responden sebelum tepid water
sponge dan antipiretik adalah 38,7ºC dengan standar deviasi 0,26ºC. Sedangkan rata-
rata suhu tubuh responden setelah diberikan tepid water sponge dan antipiretik adalah
37,2ºC, dengan standar deviasi sebesar 0,22ºC. Rata-rata suhu tubuh responden
sebelum diberikan antipiretik adalah 38.8ºC, dengan standar deviasi sebesar 0,27º C.
Sedangkan rata-rata suhu tubuh setelah diberikan antipiretik adadah 37,9ºC dengan
standar deviasi 0,25ºC.
55
B. Analisa Bivariat
Pada analisa ini peneliti ingin menguji pengaruh pemberian tepid water sponge
dan antipiretik dibandingkan dengan antipiretik saja pada balita yang mengalami
hypertermia post operasi ASD di ruang ICU anak RS Jantung Harapan Kita
dengan menggunakan Uji T dependen atau sering di sebut dengan uji T
Paired/pasangan.
Tabel 5.3
Pengaruh tepid water sponge dan antipiretik dibandingkan antipiretik saja pada balita yang mengalami hypertermia post operasi ASD di ICU Anak RSJHK
Bulan Desember 2012- Januari 2013
Variabel Mean SD SE p value N Kelompok Intervensi
Pre Post
38,7 37,2
0,26 0,22
0,082 0,070
0,000
10
Kelompok Kontrol Pre Post
38,8 37,9
0,27 0,25
0,086 0,082
0,000
10
Tabel 5.3 dapat disimpulkan rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan tepid water
sponge dan antipiretik sebesar 38,7ºC, dengan standar deviasi 0,26ºC. Rata-rata suhu
tubuh sesudah diberikan tepid water sponge dan antipiretik 37,2ºC, dengan standar
deviasi 0,22ºC. Terlihat nilai mean perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan
tepid water sponge dan antipiretik adalah 1,53ºC dengan standar deviasi 0,26ºC. Hasil
uji statistik di dapatkan P value 0,000 ( α < 0,005). Hal ini berarti dapat disimpulkan
“ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberi tepid water sponge
56
dan antipiretik pada balita yang mengalami hypertermia post operasi ASD Clossure
di ruang ICU anak RS Jantung Harapan Kita.
Tabel 5.3 dapat disimpulkan rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan antipiretik
adalah 38,8ºC, dengan standar deviasi 0,27ºC. Rata-rata suhu tubuh sesudah diberikan
antipiretik 37,9ºC, dengan standar deviasi 0,25ºC. Terlihat nilai mean perbedaan
antara sebelum dan sesudah diberikan antipiretik adalah 0,83ºC dengan standar
deviasi 0,24ºC. Hasil uji statistik di dapatkan P value 0,000 (α <0,05). Hal ini berarti
dapat disimpulkan “ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberi
antipiretik pada balita yang mengalami hypertermia post operasi ASD Clossure di
ruang ICU anak RS Jantung Harapan Kita .
Dari tabel 5.3 dapat dibuktikan bahwa tepid water sponge dan antipiretik lebih efektif
dalam membantu menurunkan suhu tubuh pada balita yang mengalami hypertermia
dengan penurunan suhu tubuh sebesar 1,5ºC dibandingkan hanya diberi antipiretik
saja dengan penurunan suhu tubuh 0,85ºC.
57
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Eksperiment. Dalam penelitian ini kelompok
intervensi ( pasien hypertermia yang diberikan tepid water sponge dan antipiretik) dan
kelompok kontrol ( pasien hypertermia yang hanya diberikan antipiretik saja) sama-sama
dilakukan pre test dan di post test setelah pemberian perlakuan. Responden dalam
penelitian ini sebanyak 20 balita yaitu 17 balita laki-laki dan 3 balita perempuan yang
masuk rawat di ruang ICU Anak RSJHK dalam periode Desember 2012 sampai dengan
Januari 2013.
6.1. Gambaran dan Karakteristik Balita Yang Mengalami Hypertermia di ICU
Anak RSJHK Jakarta
Hasil penelitian dari tanggal 1 Desember 2012 – 31 Januari 2013 terlihat lebih
banyak balita yang berjenis kelamin laki-laki yang dirawat inap. Secara umum
hypertermia lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1 ( Potter & Perry, 2005, hlmn 1836). Laki-laki merupakan salah
satu kelompok beresiko mengalami angka kesakitan, karena anak laki-laki lebih
aktif dan banyak beraktifitas dari pada anak perempuan, misalnya bermain. Mainan
merupakan sumber yang berpotensi merusak tubuh secara serius pada anak 1 – 10
tahun. Paparan eksogen dan produksi panas endogen merupakan dua mekanisme
58
yang dapat menyebabkan hypertermia pada temperature internal yang tinggi dengan
tingkat yang membahayakan. Produksi panas yang berlebihan dapat menyebabkan
hypertermia dengan mudah, dibandingkan dengan kontrol temperature tubuh secara
fisiologis dan perilaku ( Gertmaker dlm Wong, 2008, hlmn 9-10 ).
Pada tabel 5.1 diketahui dominasi penelitian ini adalah balita yang berusia 12-36
bulan sebayak 8 balita (80%). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
WONG, (2008, hlmn.862-863) menyatakan bahwa hypertermia terjadi pada 3% -
4% anak-anak, biasanya usia 3 bulan sampai 5 tahun. Usia sangat mempengaruhi
metabolisme tubuh akibat mekanisme hormonal sehingga memberi efek tidak
langsung terhadap suhu tubuh. Pada neonatus dan bayi, terdapat mekanisme
pembentukan panas melalui pemecahan (metabolisme) lemak coklat sehingga
terjadi proses termogenesis tanpa menggigil (non-shivering thermogenesis). Secara
umum, proses ini mampu meningkatkan metabolism hingga lebih dari 100 %
(Soedarmo, Garma, Hadinegoro, et al. 2008, hlmn.30).
6.2 Gambaran suhu balita post operasi ASD di Ruang ICU Anak RSJHK Jakarta
Dari data yang diperoleh gambaran suhu tubuh pasien post operasi ASD rata-rata
ditemukan peningkatan suhu tubuh 38,8ºC. Sesudah diberi perlakuan penurunan
suhu tubuh ditemukan pada suhu kontrol yaitu 37,9ºC dan pada suhu eksperimen
37,2ºC. Peningkatan suhu tubuh pada pasien hypertermia dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya oleh infeksi bakteri, virus, tumor, trauma, sindrom
59
malignan, maupun intoksikasi (Cimpella, Goldman & Kline, 2000, dalam Ball &
Bindler, 2003, hlmn.397).
Suhu tubuh diatur dengan meknisme seperti thermostat di hipotalamus. Mekanisme
ini menerima masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi
perubahan suhu, reseptor-reseptor ini akan menghantarkan informasi tersebut ke
thermostat, yang akan meningkatkan atau menurunkan produksi panas untuk
mempertahankan suhu set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi substansi
pirogenik menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses dimediasi
oleh prostaglandin akibatnya hipotalamus meningkatkan produksi panas sampai
suhu inti (internal) mencapai set point yang baru (Wong, 2008, hlmn.862).
Tepid water sponge merupakan salah satu cara metode fisik untuk menurunkan
demam yang bersifat non farmakoterapi. Tehnik ini dilakukan dengan melakukan
kompres air hangat di seluruh badan anak. Suhu air untuk mengompres antara 30-
35ºC (Setiawati,2009,hlmn.11). Selain itu, tepid water sponge juga bertujuan untuk
menurunkan suhu di permukaan tubuh. Turunnya suhu terjadi lewat panas tubuh
yang digunakan untuk menguapkan air pada kain kompres. Karena air hangat
membantu darah tepi di kulit melebar, sehingga pori-pori menjadi terbuka yang
selanjutnya memudahkan pengeluaran panas dari dalam tubuh.
60
6.3 Pengaruh Pemberian Tepid Water Sponge dengan Antipretik Pada Balita Yang
Mengalami Hypertermia Post Operasi ASD di Ruang ICU Anak RSJHK
Jakarta
Hasil uji statistik di dapatkan P value 0,000 berarti pada alpha ( α) < 0,05 dapat
disimpulkan “ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberi tepid
water sponge dan antipiretik pada balita yang mengalami hypertermia post operasi
ASD di ruang ICU anak RS Jantung Harapan Kita pada bulan Desember 2012 –
Januari 2013”.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawati,(2009)
menyatakan terdapat perbedaan suhu sebelum dan setelah intervensi pemberian
tepid sponge pada pengukuran pertama 10 menit setelah selesai tepid sponge dan
pengukuran kedua (30 menit setelah pengukuran pertama) dengan p value 0,000.
Terdapat perbedaan suhu setelah 10 menit selesai dilakukan tepid sponge dan 30
menit setelah pengukuran pertama, dengan p value 0,000.
Pemberian tepid water sponge dan antipiretik dalam penelitian ini terbukti dapat
menurunkan suhu tubuh pasien. Hasil penelitian mendapatkan bahwa suhu tubuh
pada pasien anak setelah pemberian tepid water sponge dan antipiretik rata-rata
dapat mengalami penurunan sebesar 1,6ºCelcius.
61
6.4 Pengaruh Pemberian Antipiretik Pada Balita Yang Mengalami Hypertermia
dengan Post Operasi ASD di Ruang ICU Anak RSJHK Jakarta
Hasil uji statistik di dapatkan P value 0,000. Hal ini berarti dapat disimpulkan pada
tingkat signifikan 5 % terbukti ada pengaruh pemberian antipiretik terhadap
penurunan suhu tubuh pada pasien hypertermia. Tindakan menurunkan suhu mencakup
intervensi farmakologik. Intervensi paling efektif adalah penggunaan antipiretik untuk
menurunkan set point (Wong, 2009). Obat yang umum digunakan untuk menurunkan suhu
dengan berbagai penyebab (infeksi, inflamasi dan neoplasma) adalah obat antipiretik.
Antipiretik ini bekerja dengan mempengaruhi termoregulator pada sistem saraf pusat dan
dengan menghambat kerja prostaglandin secara perifer (Deglin&Vallerand, 2004).
Pemberian antipiretik dalam penelitian ini terbukti dapat menurunkan suhu tubuh
pasien. Hasil penelitian mendapatkan bahwa suhu tubuh pada pasien anak setelah
pemberian antipiretik rata-rata dapat mengalami penurunan sebesar 0,85º Celcius.
6.5 Keterbatasan Penelitian
a. Beberapa keterbatasan penelitian yang terdapat dalam penelitian ini antara lain
jumlah sampel yang digunakan mungkin tidak cukup untuk mendeteksi pengaruh
yang bermakna secara statistik.
b. Penelitian ini adalah merupakan pengalaman pertama bagi peneliti sehingga masih
banyak kekurangan terutama keterbatasan pengalaman dan pengetahuan peneliti.
62
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
a. Gambaran karakteristik responden baik pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol lebih banyak berjenis kelamin laki-laki, sedangkan usia responden
umumnya berusia 12-36 bulan baik pada kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol.
b. Nilai rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan tepid water sponge dan antipiretik
sebesar 38,7º C dengan standar deviasi sebesar 0,26ºC, nilai rata-rata setelah 30
menit diberikan tepid water sponge dan antipiretik sebesar 37,2ºC dengan standar
deviasi 0,25ºC, sehingga dapat diketahui ada penurunan rata-rata suhu tubuh
1,53ºC, menunjukan nilai p=0,000 (α <0,05). Hal ini berarti dapat disimpulkan
pada tingkat signifikan 5 % terbukti ada pengaruh pemberian tepid water sponge
dan antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien hypertermia.
c. Nilai rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan antipiretik sebesar 38,8º C dengan
standar deviasi sebesar 0,27ºC, nilai rata-rata setelah 30 menit diberikan
antipiretik sebesar 37,9ºC dengan standar deviasi 0,25ºC, sehingga dapat
diketahui ada penurunan rata-rata suhu tubuh 0,85ºC. Dapat disimpulkan pada
63
tingkat signifikan 5 % terbukti ada pengaruh pemberian antipiretik terhadap
penurunan suhu tubuh pada pasien hypertermia dengan p value 0,000.
d. Hasil penelitian ini didapatkan penurunan suhu tubuh dengan tepid water sponge
ditambah antipiretik lebih efektif dibandingkan kelompok antipiretik saja.
7.2 Saran
a. Bagi Pelayanan Keperawatan
i. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai intervensi mandiri keperawatan
dalam menangani pasien hypertermia di Rumah Sakit .
ii. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi ilmu keperawatan dalam
menentukan intervensi mandiri keperawatan dalam menangani balita yang
mengalami hypertermia.
b. Bagi Riset Keperawatan
Untuk penelitian keperawatan selanjutnya sebaiknya melibatkan sampel yang
lebih besar sehingga akan diperoleh hasil yang lebih baik.
64
DAFTAR PUSTAKA
Corrad, F. (2001). Ways to reduce fever: new luke warm water baths still indicated? Arch pediatric. 9(3).311-315. Guyton. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi II, Jakarta:EGC.
Irene Ratridewi. (2009). Hipertermia. www. Google.co.id/diunduh tanggal 20 Agustus 2012. Linda Maharani. (2011). Perbandingan efektifitas pemberian kompres hangat dan tepid water sponge terhadap penurunan suhu tubuh balita yang mengalami demam. http://id.scribd.com/diunduh tanggal15 Agustus 2012. M. Bartolomeus, Sri Haryati, Syamsul Arif. (2012). Pengaruh kompres tepid spong hangat terhadap penurunan suhu tubuh pada anak umur 1-10 tahun dengan hipertermia. http//ejurnal.ung.ac.id/diunduh tanggal 20 Agustus 2012. Nyastiyah,(2005). Perawatan anak sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Notoadmojo, Soekijo. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. (Edisi revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta Notoadmojo, Soekijo. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. (Edisi revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metode penelitian ilmu keperawatan. Surabaya: Salemba Medika. Nelson. (2000))., Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Jakarta:EGC
Potter, Patricia A dan Perry, Anne Grifin. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep proses dan praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2001). Fundamental of nursing: concepts, process, and practice, St Louis: Mosby Company. Setiawati, Tia. (2009). Pengaruh tepid sponge. Jakarta: Fakultas Ilmu kedokteran Universitas Indonesia. Soedarmo, Somarmo S Purwo, Garna, Herry, Hadinegoro, Sri Rejeki S, Satari, Hindra Irawan. (2008). Buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
65
.Sri Purwanti, Winarsih Nur Ambarwati. (2008). Pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh pasien anak hipertermia di ruang rawat inap RSUD Dr.Moewardi Surakarta. http://publikasiilmiah.ums.ac.id/diunduh tanggal 6 September 2012. Samik Wahab,A.(2009). Kardiologi Anak: Penyakit jantung congenital yang tidak sianotik. Cetakan Pertama. Jakarta: EGC Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan dan penulisan ilmiah. Cetakan I. Yogyakarta : D.Medika. Sitiatava Rizema Putra. (2012). Panduan riset keperawatan dan penulisan ilmiah. Cetakan I. Yogyakarta: D. Medika. Thomas Vijaykumar, Naik, Moses dan Antonisamy (2009). Comparative effectiveness of tepid sponging and antipiretik drug versus only antipyretic drug in the management of fever among children : a randomized controlled trial. Christian Medical College, Vellore, India. Wong, Donna L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik. Edisi 6. Jakarta: EGC.
LAMPIRAN 1
DAFTAR DEMOGRAFI
PENGARUH PEMBERIAN TEPID WATER SPONGE DAN ANTIPIRETIK
DIBANDINGKAN DENGAN ANTIPIRETIK SAJA PADA BALITA YANG
MENGALAMI HYPERTERMIA DENGAN POST OPERASI ASD DI RUANG ICU
ANAK RUMAH SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
HARAPAN KITA
Diisi oleh petugas : Petugas/Peneliti :
No. Responden : Nama :
Tanggal Pengisian : Tanda tangan :
Data Demografi
1. Nama : (Inisial)
2. Umur : Tahun
3. jenis kelamin :
Laki-laki Perempuan
LAMPIRAN 2
LEMBAR OBSERVASI
PENGARUH PEMBERIAN TEPID WATER SPONGE DAN ANTIPIRETIK
DIBANDINGKAN DENGAN ANTIPIRETIK SAJA PADA BALITA YANG
MENGALAMI HYPERTERMIA DENGAN POST OPERASI ASD DI RUANG ICU
ANAK RUMAH SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
HARAPAN KITA
Nama pasien :
Umur :
Jenis kelamin :
Lembar Observasi Suhu
Jenis tindakan
Pre
Post
30 menit
Tepid water sponge + antipiretik
Antipiretik
LAMPIRAN 3
Riwayat Hidup Penulis
Nama : Hamyani
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 28 Februari 1967
Agama : Islam
Alamat : Jln. Asparagus no. 6 RT 03/10 Sukabumi
Utara Jakarta Barat
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri Grogol Utara 01 Jakarta Tamat tahun 1982
2. SMP Negeri 11 Jakarta Tamat tahun 1985
3. SMA Negeri 70 Bulungan Jakarta Tamat tahun 1989
4. Akademi Keperawatan DepKes RI Jakarta Tamat tahun 1991
5. Universitas Ilmu Keperawatan FKK/UMJ 2013
Top Related