DISKRIMINASI TERHAD ETNIS TIONGHOA KECAMATAN TENJO
KABUPATEN BOGOR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama-Agama
Oleh
Enis Khaerunisa
1111032100021
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1349 H./2018 M.
iv
Abstrak
Enis Khaerunisa
Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia
Persepsi etnis Tionghoa erat hubungannya dengan sikap ataupun prilaku
yang berkaitan dengan diri mereka dan kelompok lain. Persepsi etnis Tionghoa
terhadap etnis non-Tionghoa maksudnya adalah anggapan atau sikap etnis
Tionghoa menilai diri mereka terutama pada posisi atau kedudukannya sebagai
kelompok minoritas dan cara pandang mayoritas etnis non-Tionghoa.Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui persepsi etnis Tionghoa sebagai kelompok
minoritas terhadap etnis non-Tionghoa dalam diskriminasi budaya dan agama.
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan adalah
kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis dan sosiologis, pendekatan
Historis digunakan untuk mengkaji sejarah dan kehidupan etnis Tionghoa pada
masa orde lama, orde baru sampai masa pasca reformasi. Dan pendekatan
sosioligis untuk merumuskan secara jelas kebijakan pemerintah dan mencari jalan
keluar dari diskriminasi etnis Tionghoa.
etnis Tionghoa peranakan di Indonesia mengatakan bahwa ada pembedaan
budaya antara penduduk asli Indonesia dan keturunan Tionghoa. Berdasarkan
hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa persepsi etnis Tionghoa terhadap
etnis non-Tionghoa dipengaruhi oleh adanya stereotip atau anggapan negatif dan
pembedaan atau diskriminasi perlakuan terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi
ini membuat etnis Tionghoa kesulitan untuk membaur dengan masyarakat etnis
non-Tionghoa sehingga menumbuhkan sikap membatasi diri (mengisolasi diri)
etnis Tionghoa yang hanya bergaul di lingkungan kelompoknya saja. Kondisi
politik di Indonesia saat ini mulai membuka peluang bagi etnis Tionghoa untuk
berpartisipasi aktif dalam berpolitik yang bertujuan untuk mengakomodir
kepentingan kelompoknya sebagai kelompok minoritas.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menuntut ilmu sampai saat
inidan penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Diskriminasi
Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia”. Salawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta segenap keluarga,
sahabatnya dan seluruh umat-Nya.
Satu kebahagiaan tersendiri jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Skripsi ini merupakan syarat tahap akhir untuk menyelesaikan
studi masa perkuliahah, bagi penulis penyusunan skripsi ini merupakan suatu
tugas yang tidaklah ringan. Secara sadar banyaklah hambatan yang penulis jumpai
dalam proses penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan kemampuan
penulis sendiri. Dalam penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna, tapi penulis
berusaha untuk menjadi yang terbaik berkat jasa bimbinhan serta do’a dari
berbagai pihak, dan akhirnya skripsi ini terselesaikan.
Oleh karena itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua
pihak terhadap jerih payahnya dan jasa-jasa yang tek bisa terbayarkan oleh
apapun, terutama kepada:
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M. Si sebagai pembimbing dalam
penulisan skripsi ini, yang telah banyak meluangkan waktu dan
tenaganya serta gambaran dalam memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan nuansa
vi
keilmuan yang baru, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
2. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dra. Halimah Mahmudy, MA.
Selaku ketua dan sekretaris jurusan Studi Agama-Agama, yang telah
membantu dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama-Agama, Dra.
Hermawati, MA, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Ridwan
Lubis, MA, Drs. M. Nuh Hasan, MA, Dr. Amin Nurdin, MA, Dr.
Hamid Nasuhi, M. Ag dan Dr. Abdul Muthalib yang senantiasa
memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.
5. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
Litang Bio Tangerang terkhusus kepada bapak Bratayana, Bapak Rudi,
Engkong Tjin Enk dan Staf lintang lainnya yang telah memberikan
penulis banyak inspirasi dan referansi.
6. Penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada Bapak Juliono, Bapak
Sugiandi dan Bapak Dedi Sukatman, yang telah meluangkan waktunya
untuk menjadi narasumber penulis didalam penelitian skripsi ini dan
memberikan pengetahuan baru mengenai etnis Tionghoa.
7. Mamah tersayang Hj. Nuraeni dan Bapak tercinta H. Muhaemin S.Pd
yang selau menjadi sumber inspirasi, yang selalu memberikan kasih
vii
sayangnya, motivasi dan yang paling utama selalu memberikan do’a
yang tiada henti kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan
skrispsi ini dengan baik.
8. Ucapan terimakasih untuk adik-adik tersayang Elsa pujiatunisa dan al-
Faidz Fitri Nugraha yang telah memberi semangat dan selalu
menghibur ketika penulis sedang lelah dalam mengerjakan skripsi ini.
9. Penulis mengucapkan banya terimakasih kepada teman-teman
seperjuangan seperti Mylinda Chairunissa, Annisa Kholida, Faur
Rasyid dan Nurjaman, annisa Fachraddiena, Noviah, yang sudah
membantu dan menemani penulis mencari referensi untuk dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Segenap teman kelas dan seperjuangan angkatan 2011 yang telah
memberi warna dalam kehidupan dan ilmu pengetahuan baru selama di
kampus dari awal perkuliahan sampai akhirperkuliahan, yang tidak
bisa penulis sebutkan satu eprsatu tanpa mengurangi rasa terima kasih
penulis.
11. Kemudian untuk segenap kawan-kawan KKN BERLIAN, yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu kerena mereka juga tidak henti-
hentinya memberikan semangatdan motifasi kepada penulis.
12. Yang terakhir, penulis ucapkan terimakasih kepada seseorang yang ada
diluar sana dan selalu menemani, membantu penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh keluhan, baik dengan
keluhan senang maupun susah.
viii
Semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membacanya, terutama bagi yang berminat dibidang theologi lebih khusu tentang
Diskriminasi terhadap Tenis Tionghoa di Indonesia. Kritik dan saran akan penulis
terima dengan lapang dada.
Jakarta, 30 Juli 2018
Enis Khaerunisa
ix
DAFTAR ISI
Surat pernyataan ...............................................................................................i
Lembar Persetujuan .........................................................................................ii
Lembar Pengesahan ..........................................................................................iii
Abstrak ..........................................................................................................iv
Kata pengantar ..................................................................................................v
Daftar isi ..........................................................................................................ix
BAB I: Pendahuluan ...........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .........................................................14
C. Tujuan dan manfaat Penulisan ..........................................................14
D. Tinjauan Pustaka ...............................................................................15
E. Motode Penelitian .............................................................................18
F. Sistematika Penulisan .......................................................................20
BAB II: Etnis Tionghoa di Indonesia..................................................................22
A. Masa Awal Kedatangan Etnis Tionghoa di Indinesia
pada masa ode lama dan orde baru ...................................................22
B. Kehidupan etnis Tionghoa pada masa setelah Reformasi .................32
BAB III: Diskriminasi Anti Tionghoa di Indonesia di Kecamatan Tenjo ..........41
A. Profil daerah kecamatan Tenjo..........................................................41
B. Diskriminasi terhadap budaya dan Agama .......................................49
x
C. Kebijakan Pemerintah dan Masyarakat Indonesia ............................54
D. Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan
diskriminasi di Indonesia ..................................................................58
BAB IV: Masalah Tionghoa di Kecamatan Tenjo dan Jalan Keluarnya ...............65
A. Merintis Jalan Keluar Pemecahan Maslah WNI
Keturunan Tionghoa .......................................................................65
B. Masalah Tionghoa dalam Rangka Stabilitas Politik .......................70
BAB V: Penutup .................................................................................................74
A. Kesimpulan .......................................................................................74
B. Saran ..................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beragama merupakan hak asasi manusia yang paling hakiki dan dalam
keadaan apapun negara tidak boleh mengurangi hak warganya untuk memeluk
agama yang diyakininya. Agama itu sendiri telah hadir sebelum manusia
mengenal kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama merupakan pemberian
Tuhan Yang Maha Esa diwahyukan melalui para nabi sebagai bimbingan manusia
agar dapat menempuh jalan suci.
Bilamana setiap insan beragama bersinergi bersama pemerintah untuk
menciptakan kerukunan, baik kerukunan intern maupun antar umat beragama dan
agar setiap warga negara mendapat kejelasan hukum dalam menjalankan serta
mengamalkan agamanya secara baik sesungguhnya ini akan menjadi modal dasar
dalam membangun bangsa dan negara yang kuat.
Awal kedatangan orang-orang Cina ke Indonesia dapat ditelusuri kembali
sampai dinasti Ming. antara lain dapat dipelajari dari perselen-porselen Cina hasil
penggalian. Akan tetapi kedatangan orang Cina secara besar-besaran ke Indonesia
baru terjadi pada gelombang-gelombang eksodus.1
Indonesia adalah sebuah bangsa dengan beragam etnis dan budaya. Cita-
cita untuk menciptakan sebuah negara bangsa yang bersatu tampak dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika, pada tahun 1945. Jatuhnya Soeharto pada tahun
1 Leo Suryadinata, Pemikiran Politk etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta,
Pustaka LP3ES Indonesia, 2005) hlm. 407
2
1998 membuat ideologi Orde Baru dan kebijakan asimilasi berakir, sekaligus
membuka ruang baru bagi kebangkitan kembali politik multikulturalisme pun
muncul yang kemudian diperbincangkan dan diperdebatkan para aktivis sosial dan
akademisi.
Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan
asimilasi terhadap etnik Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak
pernah dilakukan pada masa sebelumnya. Selama periode parlementer (1949-
1958) yang berazaskan demokrasi, kebijakan asimilasi sulit bahkan tidak mungkin
diterapkan karena asimilasi melawan prinsip-prinsip umum demokrasi. Kendati
demikian, rezim Demokrasi terpimpin (1959-1965) yang bersifat semi-otoriter
tetap mempertahankan sejumlah ciri pluralistik di satu sisi dan mulai melakukan
praktik integrasi yang mendekati usaha asimilasi disisi lain.2
Hal ini mencerminkan dalam kebijakan pemerintah untuk membatasi
pendaftaran di sekolah-sekolah menengah Tionghoa serta jumlah dan pengelolaan
koran-koran Tionghoa. Anak-anak warga negara Indonesia dilarang masuk
sekolah-sekolah tersebut dan sejumlah besar koran asing ditutup. Hal-hal tersebut
tidak dapat dikategorikan secara hitam-putih bersifat asimilasi mengingat bahwa
tiga pilar budaya Tionghoa yaitu pers berbahasa Tionghoa , sekolah-sekolah
menengah Tionghoa dan organisasi-organisasi etnik Tionghoa masih ada.3
2Dwipayana, G. dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.1989), h. 10 3Dwipayana, G. dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, ucapan dan tindakan saya, h.
10-11
3
Kendati demikian sulit untuk menyangkal bahwa ciri-ciri utama dari
kebijakan selama rezim Orde Baru adalah asimilasi. Ciri terpenting adalah
penghapuskan tiga pilar utama kebudayaan Tionghoa.4
Tidak berlangsung lama setelah mengambil alih kekuasaan, rezim
Soeharto menutup semua koran Tionghoa, kecuali satu. Koran yang menjadi
harian Tionghoa satu-satunya yang dikelola oleh pemerintah dan dikuasai oleh
militer. Koran ini adalah harian berdwibahasa:Tionghoa dan Indonesia menjadi
populer diantara etnik Tionghoa untuk memasang pemberitahuan dan iklan.
Impeor publikasi dalam bentuk apapun yang berbau bahasa Cina seterusnya juga
dilarang. Sejak tahun 1966 tidak satupun sekolah menengah Tionghoa yang
mengizinkan beroperasi dan penggunaan bahsa Tionghoa pun tidak didukung.5
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang terjadi selama ini
merupakan salah satu tantangan dari segenap warga bangsa dalam berproses
menuju kesejahteraan sosial yang adil berdasarkan Pancasila. Terjadinya
diskriminaasi terhadap etnis Tionghoa sebagai bagian dari etnis yang turut
memperkaya pluralitas Indonesia seolah telah menorehkan luka bagi segenap
warga bangsa agar segera menyembuhkannya.6 Hal ini dapat dipahami karena
bagaimanapun juga keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dalam sejarahnya
telah turut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap lahirnya
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia
4Dwipayana, G. dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, ucapan dan tindakan saya, h.
11 5Dwipayana, G. dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, ucapan dan tindakan saya, h.
20 6Slamet Martosidiro Penyelesaian Masalah Cina perantauan, Prisma, Jakarta, No. 3
Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi 1973, h. 30
4
telah berusia lebih dari 500 tahun. Meski demikian, entah kenapa diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa yang dianggap tidak memiliki akar budaya asli Indonesia
terus menerus terjadi hingga saat ini.7
Sejak awal keberadaannya dibumi nusantara ini, etnis Tionghoa telah
mengalami berbagai macam keterlibatan politik yang menjadikan mereka etnis
khusus yang pantas mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah. Hal ini
disebabkan oleh khas mereka yang begiu dalam persaudaraan, budaya dan juga
kecakapan dalam bidang pengembangan ekonomi. Oleh karena kekhasan inilah
pihak penguasa seringkali memanfaatkan mereka demi mempertahankan
kekuasaan.
Konsep pribumi yang menyatakan hak atas tanah dan oleh karena itu
memiliki hak yang lebih besar dibanding dengan para imigran. Semua suku
Indonesia dinyatakan sebagai penduduk asli mengingat bahwa tanah kelahiran
mereka berada dalam wilayah republik Indonesia. Sedangakan etnis Tionghoa
berasal dari Tiongkok dan oleh karenanya mereka dari dulu dianggap orang asing.
Apabila mereka ingin menjadi orang Indonesia, jalan satu-satunya yang dapat
diterima adalah dengan asimilasi ke dalam penduduk asli Indonesia.8
Sebelum tahun 1960-an pemerintah Indonesia tidak pernah berkesempatan
untuk merumuskan suatu kebijakan menyeluruh berkenaan dengan minoritas
Tionghoa. Dibidang-bidang tertentu (seperti misalnya kegiatan ekonomi,
7 Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, “Kumpulan Tulisan” Etnik Cina di
Indonesia (Mely G. Tan), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) hlm. 1 8www.ijil.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/3464/2744 diakses pada tgl 24-
07-2018 jam 13.21
5
kewarganegaraan atau pendidikan) undang-undang dan peraturan dibuat untuk
demikian, peraturan perundangan suatu kebijakan itu bersifat sementara, dan tidak
merupakan bagian dari suatu kebijakan mengenai masalah Tionghoa secara
terkoordinasi. Hal ini bukan disebabkan karena golongan Tionghoa tidak dilihat
sebagai suatu masalah.9
Pada tahun 1957, kebijaksanaan Indonesia mulai berubah, dan
perkembangan-perkembangan selanjutnya cendrung untuk mempertajam garis
pemisah antara kedua masyarakat Tionghoa itu. Sekarang hanya anak-anak kaum
Totoklah yang bersekolah di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, sedangkan
anak-anak kaum peranakan bersekolah hampir semuanya disekolah-sekolah
berbahasa Indonesia yang di sponsori sebagian besar oleh organisasi-organisasi
kaum peranakan.10
Pemenfaatan kekhasan etnis tionghoa bagi kepentingan penguasa di
Indonesia ini telah bermula dari sejak pemerintahan kolonial Belanda dan
memuncak saat Orde Baru berkuasa. Selama itu pula keberadaan etnis Tionghoa
selalu menjadi polemik tersendiri dalam usaha konsolidasi sebagai bangsa
Indonesia. Hingga akhirnya, sejak lahirnya Indonesia, etnis Tionghoa masih tetap
saja dianggap sebagai suatu etnis „pendatang‟ yang harus mengalami proses
naturalisasi melalui asimilasi atau pembaharuan yang dipaksakan. Sejak saat itu,
tepatnya lima tahun sebelum Orde berkuasa serta mulai menerapkan asimilasi
terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, diskusi tentang proses pembaruan etnis
9 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam krisis, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
1994), hlm. 60 10 Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa. hlm. 15
6
Tionghoa di Indonesia telah berjalan dengan seru. Diskusi dan prdebatan itu justru
terjadi dikalangan etnis Tionghoa sendiri.11
Diskriminasi terhadap etnis di Indonesia sudah dimulai semenjak masa
kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1740 dibawah Gubernur Jendral Valckenier
terjadi pembunuhan besar-besaran tesrhadap etnis Tionghoa di Batavia. 10.000
orang etnis tionghoa ditumpas habis. Pembataian yang dilakuakan Belanda secara
besar-besar terhadap Tionghoa. Itu sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi
dari etnis Tionghoa. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya
pada masa kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde
Baru.12
Diskriminasi resmi yang dilakukan terhadap orang Tionghoa warga
apapun juga, biasanya berbentuk perlakuan yang mendahulukan orang indonesia
Pribumi. Didalam bidang ekonomi, misalnya pemerintah nasional melakukan
pengawasan terhadap pemberian kredit, izin impor, izin berusaha memprodusir
dan valuta asing dengan tujuan untuk menguntungkan orang Indonesia asli dan
bukan asal menguntungkan warga negara Indonesia pada umumnya.13
Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana
etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis.
Pengajaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari
pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa 1956. Konsep pemikiran
11 H. Junus Jahya, masalah tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Intergrasi, Jakarta:
Lembaga Pengkajian masalah Pembaruan, 1999 hlm 19 12 Leo Suryadinata http//www.Diskriminasi EtnisTionghoa di Indonesia Pada Masa Orde
Lama dan Orde Baru Tionghoa.htm. diakses pada hari Minggu tanggal 10 Juni 2018 pukul 12:21 13 Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa. hlm. 19
7
dari pemerintah mengenasi nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan
usaha milik orang-orang etnis Tionghoa.14
Pada 14 mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya
menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing ditingkat desa
tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan
pada pedagang kecil. Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang
asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Akibatnya, semakin meresahkan
perlakuan rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia.15
Sebutan orang Tionghoa oleh sebagian besar Rakyat Indonesia dan
perlakuan aparat militer yang menjadi alat negara telah mampu kendiskreditkan
etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang
punya tanah kelahiran (pribumi). Namun kenyataan menjadi paradoks ketika lobi-
lobi penguasa tempo itu tidak bisa menghindar dari sebagian elit etnis Tionghoa.
Rasa dendam terhadap etnis Tionghoa semakin memberi kekuatan baru bagi
perjuangan meminggirkan etnis Tionghoa. Disisi lain, bangkitnya semangat
nasionalisme yang cendrung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain
yang menunjukan betapa suramnya rasialisme itu di wajah Negara Repulik
Indonesia.16
Selama rezim orde baru berkuasa (1966-1998), etnis Tionghoa
memperoleh hak-hak istimewa untuk mengembangkan ekonomi Indonesia, tetapi
14 Leo Suryadinata http//www.Diskriminasi EtnisTionghoa di Indonesia Pada Masa Orde
Lama dan Orde Baru Tionghoa.htm. diakses pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 12:26 15 Leo Suryadinata http//www.Diskriminasi EtnisTionghoa di Indonesia Pada Masa Orde
Lama dan Orde Baru Tionghoa.htm. diakses pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 12:43 16 Leo Suryadinata http// www.Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa
Orde Lama dan Orde Baru Tionghoa.htm. diakses pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 12:21
8
anehnya mereka dipinggirkan dan didiskriminasi dalam semua wilayah sosial:
budaya, bahasa, politik, hak masuk perguruan tinggi, hak atas pelayanan publik
dan hak untuk menjadi pegawai negeri.
Diskriminasi yang disengaja dan berkelanjutan ini membuat etnis
Tionghoa terus menerus merasa sebagai “orang asing” dan berada dalam posisi
rentan untuk dimusuhi secara kelas dan etnis. Pada tahun 1998,17
ketika negeri ini
dilanda krisis ekonomi Asia, muncul tekanan kuat dari publik yang menuntut
Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, pemerintah malah menjadikan etnis
Tionghoa sebagai kambing hitam krisis ekonomi dan menuntut mereka
bertanggung jawab.18
Akibatnya kerusuhan anti Tionghoa dalam skala besar meledak di
beberapa kota di Indonesia pada Mei 1998. Toko-toko milik etnis Tionghoa pun
diobrak abrik, dijarah dan dibakar; banyak orang Tionghoa di serang; dan sekitar
152 perempuan Tionghoa disiksa, diperkosa dan dibunuh banyak etnis Tionghoa
panik dan kabur ke tempat-tempat yang lebih aman baik itu di dalam atau di luar
negeri.19
Gerakan Asaat atau pribumisasi yang dinilai berpengaruh besar pada
gerakan anti Tionghoa, pada bulan November 1959 dikeluarkan PP Nomor 10
tahun 1959 berisi larangan untuk orang asing berusaha dibidang perdagangan
eceran ditingkat kabupaten dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga
negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangan sampai batas 1
17W.D Soekisman, Masalah Cina di Indonesia, Jakarta, Yayasan Ilmu CV. 1975, h. 10 18 Chang-Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca-suharto: budaya, politik dan media,
(Jakarta, Yayasan nabil dan LP3ES, 2012) hlm xxxii 19 Chang-Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca-Suharto: budaya, politik dan media, hlm
xxxii
9
Januari 1960. PP. No 10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan dengan Duta Besar
Tiongkok untuk Indonesia.20
Namum menimbulkan ketegasngan diplomatik
antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Dalam pertemuan antara
Menteri Luar Negeri Subandrio dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia
(Huang Chen) di Jakarta. Pemerintah Peking mendesak peninjauan kembali PP ni.
10 dan permintaan pun ditolak.21
Anti tiongkok dalam hubungan pelaksanaan PP
No. 10 Pelaksanaan dimulai di bidang ekonomi juga merupakan bagian
pelaksanaan pelaksanaan dalam revolusi Indonesia dalam nasionalisasi tersebut,
PP No 10 memerintahkan agar usaha pedagang eceran bangsa asing diluar ibukota
kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya beleh berdomisili ditempat
tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak diberi izin untuk
berusaha dan semua barang yang ada ditempat berjualan harus diserahkan kepada
koperasi.22
Peristiwa yang berlarut-larut ini menunjukan dengan jelas betapa
lemahnya kedudukan orang Tionghoa yang sekarang tinggal di Indonesia.23
Pertama-tama hal itu menunjukan bahwa orang Tionghoa itu memang sedikit
temannya didalam struktur kekuasaan Indonesia yang baru. Dengan mundurnya
partai-partai dan bertambahnya kekuasaan militer maka tinggal sedikitlah
pengendalian terhadap politik anti Tionghoa itu. Sesungguhnya, tampak bahwa
20https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Presiden_Nomor_10_tahun_1959 diakses pada
tgl 24-07-2018 jam 12.35 21Amri Marzani, Hubungan sosial Cina-Pribumi, Jurnal penelitian Sosial, penerbitan
Khusus, Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia 1975. H. 30 22 Berita Peristiwa 60 Tahun Waspada: Penduduk Tionghoa Dipulangkan (1960). PP
No.10 dan Masalah Pemulangan Hoakiao Hal 39 23 Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa. hlm. 22
10
hanya Sukarnolah yang mencegah tindakan militer yang bisa mengubah tragedi
itu menjadi bencana langsung bagi orang-orang Tionghoa.24
Dalam proses menyatakan diri sebagai sebuah negara bangsa baru, bangsa-
bangsa perlu dibayangkan seperti berbagi isi atau warisan budaya yang sama.
Keragaman agama, etnisitas, kelas didalam negeri mungkin perlu dikenali dan
diakui sebagai sesuatu yang khas dari kompleksitas dan kekayaan warisan budaya
bangsa tersebut. Akan tetapi keragaman yang diperkirakan mengganggu atau
mengancam integrasi nasional tidak akan diakui begitu saja.25
Boleh dikatakan, semua orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran
kelahiran Tiongkok atau keturunan imigran menurut garis laki-laki. Namun
sebagai akibat dari perkawinan campuran dan asimilasi dibanyak bagian
Indonesia kita tidak dapat lagi memastikan yang mana tergolong orang Tionghoa,
dan yang mana bukan orang Tionghoa, berdasarkan kreteria ras yang paling
sederhana pun.26
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial di Asia, dimana kemudian
terjadi tragedi Trisakti. Penembakan Mahasiswa Trisakti, yang terjadi pada 12
Mei 1998. Demonstran menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden.
Orban tewas terkena peluru tajam aparat, yang mengenai organ vital seperti
kepala, dada dan leher.27
24 Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa. hlm. 22 25 Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia,( terjemahan Dede
Oetomo), (Jakarta:PT. Gramedia, 1988) h. 105 26MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LkiS
Printing Cemerlang 2012), h. 70 27Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depan, (Jakarta, Matakin, 2010) h. 10
11
Karena adanya amuk massa terhadap orang Tionghoa, akibatnya banyak
warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Hak asasi
manusia mereka telah dilanggar dan aparat tidak bisa menjamin hak mereka
karena kekacauan, banyak orang beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa
bukanlah bangsa Indonesia asli.28
Secara fisik mereka berbeda dari orang
Indonesia yang lain. Mereka dianggap hanya sekedar menumpang hidup di
Indonesia. Efek dari kerusuhan rasial 1997 begitu besar. Kerugian yang didapat
seperti kerusakan beberapa bangunan yang sangat besar hingga mencapai triliunan
rupiah. Juga trauma, dendam dan rasa takut yang mencekam yang didapat
memperburuk suasana saat itu.29
Tidak lama kejadian itu berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan
yang dikenal dengan Laporan TGPF.berdasarkan laporan tersebut ditemukan
bahwa adanya keterkaitan dengan oknum-oknum militer. Sebagian pihak
beranggapan bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Mayjen
Sjafrie Sjamsoeddin terkesan membiarkan atau bahkan aktif terlibat dalam
provokasi kerusuhan ini. Pada tahun 2004, kasus ini dipertanyakan kembali oleh
komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Namun 1 Maret 2004 Komnas HAM
belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung. Dalam hal ini pemerintah
kurang tanggap dalam pristiwa tersebut.30
28 http// www.Keadilan HAM Bagi Kaum Tionghoa KOMPASIANA.com.htm diakses
pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 10:01 29 http// www.Keadilan HAM Bagi Kaum Tionghoa KOMPASIANA.com.htm diakses
pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 10:07 30 http// www.Keadilan HAM Bagi Kaum Tionghoa KOMPASIANA.com.htm diakses
pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 10:49
12
Sehubugan dengan HAM sama sekali belum terlaksana. Apalagi bagi
orang-orang Tionghoa, hak yang seharusnya mereka terima dilanggar. Hidup
mereka terancam, terhina dan diperlakukan dengan tidak sepantasnya. Sebagai
generasi muda, seharusnya kita berfikir cerdik dan berani demi mengungkap dan
membela kebenaran. Kebenaran itu tidak akan muncul kalau bukan kita sendiri
yang membukanya.31
Dengan menelusuri jejak dimasa kasus kerusuhan Mei 1998 itu terjadi
secara detail, kita bisa mencari segala sumber terpercaya dan terbukti
kebenarannya. Karena penyidikan kita sangat membutuhkan data yang akurat
sehingga kita mudah mengambil beberapa hipotesis sementara yang mengacu
pada kebenaran sebuah kasus.32
Selain itu wakil ketua Komnas Perempuan,
melalui media online menuliskan, ingatan sejarah adalah modal pembangunan
karakter bangsa, mendidik untuk menghormati hak asasi manusia dan
keberagamaan serta dalam memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran
HAM, termasuk di dalamnya tragedi Mei 1998. Dalam hal ini sejarah dipakai
sebagai tolak ukur perkembangan sebuah HAM, khususnya bagi kaum
perempuan, sehingga HAM perempuan harusnya dihormati dan disamaratakan
dengan kaum laki-laki tanpa tidak merubah kodrat sebagai perempuan.33
Setiap manusia memiliki HAM yang berasal dari Tuhan. Sebaiknya,
pemerintah harus menindaklanjuti kasus ini sungguh-sungguh supaya tercipta
penegakan hukum dan perasaan keadilan untuk menuntaskan masalah
31Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, Titik Temu Jurnal
Dialog Peradaban Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember 2008, h. 119 32
33
Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h. 117
13
pelanggaran HAM. Selain itu, kita perlu menanamkan rasa menghargai dan
menghormati hak sesama manusia.34
Berdasarkan uraian diatas, saya tertarik untuk menggali lebih lebih dalam
lagi mengenai Hak Asasi Manusia Persepektif Etnis Tionghoa, untuk itu saya
mengambil penelitian ini dengan judul ”Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa
di Indonesia”. Judul ini menarik untuk dikaji karena dapat menambah wawasan
dan pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia Persepektif Etnis Tionghoa, serta
nantinya bermanfaat bagi mahasiswa sebagai rujukan penelitian selanjutnya.
34 Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h. 119
14
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Banyak hal yang dapat diangkat sebagai bahan penelitian prihal
Diskriminasi dalam konsep Etnis Tionghoa ini. Maka agar dalam pembahasan
skripsi ini tida terlalu melebar, panulis membatasinya pada masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Etnis Tionghoa tentang Diskriminasi
kemanusiaan?
2. Bagaimana peran pemerintah untuk mengatasi diskriminasi terhadap
etnis minoritas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setelah ditentukan batasan dan rumusan masalah, maka penelitian ini
memiliki tujuan diantaranya:
1. Untuk mengetahui pandangan etnis Tionghoa tentang diskriminasi
kemanusiaan.
2. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam mengatasi diskriminasi
terhadap etnis minoritas.
Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas akhir
sebagai salah satu syarat mendapatkan gerai S.Ag di fakultas Ushuluddin
jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah jakarta.
15
2. Secara teoritis, menambah khazanah keilmuan bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca umumnya, tentang peranan agama dalam memberikan
jawaban atas setiap permasalahan hidup manusia terutama dalam
mengatasi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
3. Memberikan kontribusi terhadap Fakultas Ushuluddin terkhusus pada
jurusan Studi Agama-Agama, diharapkan juga dalam penelitian ini dapat
dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini berfungsi untuk mengetahui apakah topik penelitian
yang akan diteliti, sudah diteliti atau belum karena hal ini dijadikan referensi
dalam melakukan penelitian tentang skripsi penulis.
Buku yang ditulis oleh Chang-Yau Hoon yang berjudul Identitas Tionghoa
Pasca Soeharto-Budaya, Politik, dan Media. Buku tersebut berisi Identitas bagi
kebanyakan orang yang dipahami sebagai hal yang umum, namun bersifat pribadi
karena terkait dengan identifikasi diri. Chang-Yau Hoon menunjukan bahwa
identitas etnis dalam hal ini identitas Tionghoa ternyata tidak sederhana, karena
itu semua hasil proses pembelahan politisyang mempunyai sejarah panjang.
Satu-satunya cara yang dibahas di buku ini adalah mendekonstruksi
identitas Tionghoa sebagai alat politis tersebut agar sekat-sekat yang membatasi
hubungan Tionghoa dan pribumi dapat dilampaui. Dekonstruksi yang ditawarkan
adalah melalui hibriditas yang diyakini Chang-Yau Hoon akan dapat mengatasi
16
kelemahan konsep asimilasi dan multikulturasi yang karena sifat esensialisnya
cendrung menguatkan sekat-sekat rasial antara Tionghoa dan Pribumi.
Buku yang ditulis oleh Mely G, Tan. Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia Suatu Masalah Pembinaan kesatuan Bangsa buku ini membahas
tentang kehadiran dan keberartian orang-orang Tionghoa di tengah-tengah
masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan. Kehadiran ini sudah
berlangsung sekian keturunan sedangkan keberartiannya dapat diukur dari
perlakuan masyarakat sekitarnya.
Melihat masalah Tionghoa sebagai bagian dari kenyataan kebhinekaan
masyarakat Indoneisa ini mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang
lebih mendalam mengenai sejarah dan peranan gologan minoritas ini dalam
masyarakat luas. Walaupun jumlah orang etnis Tionghoa di Indonesia relatif
sedikit, namun berhubung dengan peranan mereka dalam kehidupan ekonomi,
suatu peranan kunci dalam masyarakat mana pun. Maka mereka merupakan suatu
minoritas yang berarti. Keadaan inilah yang merupakan sumber permasalahan apa
yang dinamakan masalah Cina.
Buku yang berjudul “penyelesaian Masalah Diskriminasi terhadap Etnis
Cina” yang ditulis oleh Tundjung Herning Sitabuana mengatakan. Bahwa pada
masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Secara lisan Menteri Agama
mengatakan bahwa agama Khonghucu dilayani kembali oleh pemerintah. Ini
menyaratkan bahwa pemerintah ingin merangkul orang Tionghoa,
khususnyapenganut Khonghucu dalam upaya memperbaiki citra buruk di mata
17
internasional tentang kebebasan beragama, HAM dan tentunya berhubungan
dengan perekonomian.
Buku yang berjudul “Orang cina Khek dari Singkawang” buku ini di tulis
oleh Hari Poerwanto, buku ini menyatakan bahwa perlakuan diskriminatif yang
kerap dialami orang cina di Indonesia bersikap rasis aau cemburu terhadap
kemajuan ekonomi orang Cina.
Pada masa pemerintahan Soeharto, orang Cina di Indonesia diperlakukan
seperti bangsa Paria. Berbagai kegiatan mereka dibatasi, sekolah ekslusif orang
Cina dibubarkan, media masa dalam bahasa Cina dilarang , bahkan kegiatan
kebudayaan dalam upacara keagamaan orang Cina pun di persulit, kadang
dilarang secara halus.
Pada zaman pemerinahan Presiden Soekarno ada sekelompok orang Cina
yang mendukung komunis, yakni partai politik Baperki. Akan tetapi banyak juga
yang menenang komunisme dan berjuang keras dalam merebut kemerdekaan dari
belanda. Sejak berdirinya pemerinahan Soeharo banyak orang Cina yang menjadi
korban dari pemerinah militer yang menganggap orang Cina pendukung
komunisme dan harus di berantas. Yang mengakibatkan orang Cina dilarang
meakukan riual keagamaan dan kegiatan kebudayaan.
Setelah pemerinahan Soeharto tumbang berbagai hak Cina untuk
mengekspresikan dirinya dikembalikan. Mereka diperkenankan meryakan
berbagai kegiatan kebudayaan dan keagamaan. Sumbangan peradaban Cina
kepada bangsa Indonesia, perjuangan orang Cina dalam menegakan kedaulatan
bangsa bebas berekspresi.
18
Buku yang ditulis oleh Leo Suryadinata yang berjudul Negara dan Etnis
Tionghoa Kasus Indonesia, didalam buku ini penulis menjelaskan bahwa pada
masa lampau, orang Tionghoa hanya ditonjolkan sebagai makhluk ekonomi,
sehingga orang lupa bahwa minoritas ini juga memiliki kesustraannya, kesustraan
mereka terbagi atas dua jenis, sastra peranakan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam setiap kegiatan penelitian atau
penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk menemukan data yang valid dan analisa
yang logis rasional. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah kajian
kepustakaan (Library research). Melalui studi kepustakaan inilah
penulis mengumpulkan data dan informasi terkait bahan-bahan yang
diteliti, baik dari pustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan MATAKIN, Perpustakaan Nasional dan sumber lainnya.
Peneliti akan mengkaji literatur-literatur seperti buku, jurnal ilmiah
ensiklopedia, majalah dan sumber kepustakaan lainnya yang
berhubungan dengan penelitian.
Sedangkan untuk melengkapi data yang telah ada, menulis
melakukan wawancara dengan serentetan pertanyaan yang sudah
terstruktur (sistematis), kemudian diperdalam untuk mengorek
19
keterangan lebih lanjut. Penulis melakukan wawancara dengan
MATAKIN (majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia).
2. Pendekatan
Adapun pendekatan yang akan digunakan penulis yaitu historis dan
sosiologis, yang dimaksud pendekatan historis yaitu untuk mengkaji
sejarah awal mula terjadinya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
adapun pendekatan sosiologis digunakan untuk merumuskan secara
jelas bagaimana dampak dari diskriminasi yang di alami oleh etnis
Tionghoa.
3. Pengumpulan Data
Adapun dalam pembahasan Skripsi ini, penulis menggunakan
metode deskriptif analisis. Deskriptif yang dimaksud adalah metode
penulisan yang yang berusaha menggambarkan atau menguraikan hal-
hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini menurut apa adanya secara
detail tanpa mengurangi ataupun menambahkan.
4. Sumber Data
Sumber data dari penulisan skripsi ini terdiri dari dua macam, yaitu
data Primer35
dan Sekunder36
dalam pemikiran ini menjadi data primer
adalah Negara dan Etnis Tionghoa kasus Indonesia oleh Leo
Suryadinata.
35Primer adalah sumber informasi yang secara langsung berkaitan dengan tema dalam
penelitian. 36 Sekunder adalah sumber informasi yang secara tidak langsung dengan tema atau pokok
pembahasan dalam penelitian, dengan kata lain data sekunder dapat disebut sebagai penunjang
atau pendukung.
20
Sementara itu data yang termasuk Sekunder adalah buku, jurnal,
skripsi, tesis, majalah, koran, wawancara dan sebagainya yang
dipandang relevan dan dapat mendukung penelitian penulis.
5. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada Buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta.
F. Sistematika penulisan
Penulis menyusun Skripsi ini sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan. Pada bab ini memaparkan latar belakang masalah dan
beberapa argumentasi penelitian tentang pentingnya penelitian ini dilakukan.
Bagian ini mencakup latar belakang masalah, tujuan, dan kegunaan penelitian
metodelogi penelitian, teknik penulisan dan sistematika pembahasan.
Bab II. Etnis Tionghoa di Indonesia. Pada bab ini penulis membahas
tentang awal kedatanag etnis Tionghoa di Indonesia pada orde lama dan orde
baru, kehidupan etnis Tionghoa setelah masa Reformasi.
Bab III. Diskriminasi Anti Tionghoa di Indonesia. Bab ini berisi tentang
Diskriminasi terhadap budaya dan Agama, Diskriminasi atas Golongan Etnis
Tionghoa, Kebijakan yang Diskriminatif bagi orang Tionghoa, Pembaharuan
Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
21
Bab IV. Masalah Tionghoa di Indonesia dan Jalan Keluarnya, bab ini
berisi tentang Merintis Jalan Pemecahan Masalah WNI Keturunan Tionghoa,
Masalah Tionghoa dalam Rangka Stabilitas Politik.
Bab V. Penutup. Sebagi bab terakhir dalam penelitian ini, maka bab ini
berisi tentang kesimpulan dari penelitian ini. Adapun isi bab ini merupakan
jawaban dari rumusan masalah yang telah disajikan pada awal hingga akhir
penelitian.
22
BAB II
Etnis Tionghoa dan Indonesia
A. Awal Kedatangan Etnis Tionghoa di Indonesia ada masa orde lama
dan orde baru
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan seperti Fa Hien
pada abad ke-4 dan I-Ching pada abad ke-7. Fa-Hien melaporkan suatu
kerajaan di Jawa (To lo mo) dan I Ching ingin datang ke India untuk
mempekajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar
bahasa sansekerta dahulu.
Bangsa indonesia dalam kesejarahannya berkaitan erat dengan
keberadaan kelompok Tionghoa, baik pada masa kerajaan, penjajahan,
orde lama, orde baru, maupun pada masa pasca orde baru.
Keberadaan kelompok Tionghoa dalam ranah kesejarahan
Indonesia, dikenal sejak masa kerajaan Sriwijaya runtuh akibat serbuan
singasari. Kerajaan Sriwijaya mengirim utusan beberapa kali ke Tiongkok
sejak tahun 960 sampai dengan tahun 988. Utusan yang terakhir menetap
dikanton selama dua tahun karena Kerajaan Sriwijaya diserang oleh
tentara dari Cho-p‟o. Pada tahun 992 utusan terakhir ini berlayar kembali
namun hanya sampai di negeri Campa, dan meminta pemerintahan
Tiongkok agar membuat pernyataan bahwa Kerajaan Sriwijaya berada
dalam perlindungan Tiongkok.
23
Kehidupan kelompok Tionghoa di Nusantara pada dasarnya telah
membaur dengan masyarakat pribumi. Kelompok pendatang Tionghoa
yang umumnya pedagang, banyak yang menikah dengan perempuan
pribumi.
Pada dasarnya kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara jauh
sebelum zaman Hindia-Belanda, akan tetapi keberadaannya kurang jelas.
Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno
seperti Tembikar dari Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah
Batanghari, dan Kalimantan Barat maupun yang disimpan dibaerbagai
keraton. Demikian juga dengan temuan berbagai kapak batu yang dipoles
dari zaman Neolithikum yang mempunyai persamaan dengan kapak batu
giok atau zamrud yang ditemukan di Tiongkok dan berasal dari zaman
yang sama.37
Agama Khonghucu mengalami perkembangan dari masa ke masa,
diawali oleh para penrantau Tionghoa yang merantau ke negeri samudra
selatan, dari negeri leluhurnya yang sedang dilanda kekacauan,
membangun rumah Ibadah yang dinamakan Klenteng untuk merumusakan
ketenangan batin akan leluhur dan tanah air yang di tinggalkan.38
Pada masa kolonial di Indonesia terdapat tiga orientasi sosio-
politik yang besar diantaranya pertama. Tionghoa lokal, yaitu yang
berorientasi pada Tiongkok (kelompok Sin-Po), yang percaya bahwa
37Benny G setiopno, Tionghoa dalam pusaran Politik (Jakarta:Trans Media Pustaka.
2008), h. 19. 38Ws, Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu,
Sekarang dan Masa Depannya (Jakarta:Matakin, 2010, h. 2.
24
orang Tionghoa lokal adalah anggota bangsa Cina. Kedua, mereka yang
berorientasi pada Hindia-Belanda (Chung Hua Hui), yang memahami
posisi mereka sebagai kawula Belanda sambil melanjutkan kehidupan
sebagai Tionghoa peranakan. Dan yang ketiga, mereka yang menyebut
sebagai anggota bangsa Indonesia yang akan datang (partai Tionghoa
Indonesia). Sebagaian dari para pemimpin Tionghoa di masa kolonial
Indonesia, khususnya para imigran baru, berorientasi ke Tiongkok, tetapi
kelompok yang kedua dan ketiga kebanyakan terdiri dari orang Tionghoa
peranakan.39
Masyarakat Tionghoa di Jawa sebelum akhir abad ke 19 pada
dasarnya adalah masyarakat peranakan.40
Para anggota masyarakat ini
telah kehilangan kemampuannya berbahasa Tionghoa dan menggunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasinya. Orang-orang Tionghoa
peranakan ini, sebelum abad ke 20 umumnya buta huruf dan hanya
berminat mencari uang. Beberapa orang mampu menggaji guru pribadi
untuk mengajar anak-anak laki-lakinya aksara Tionghoa dan kadang
diberikan pelajaran tentang kitab klasik Khonghucu. Akan tetapi
pendidikan anak perempuan tidak diperhatikan. Anak perempuan
didasarkan ibunya menurut kebiasaan dan pola orang-orang pribumi.
39Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia 2002),
h. 19. 40Tionghoa Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan
umumnya sudah membaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah
laku seperti pribumi. Lihat Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta:Pustaka LP3ES
Indonesia 2002)h. 17.
25
Waktu anak perempuan menikah dan menjadi ibu sendiri, anak-anaknya
dibesarkan dengan cara yang sama.41
Namun demikian, keadaan itu telah berubah pada tahun 1800-an,
Belanda mengeluarkan peraturan yang berisi larangan kelompok
keturunan Tionghoa masuk agama Islam dan larangan bagi kelompok
pribumi menikah dengan kelompok Tionghoa. Belanda tampaknya takut
melihat Tionghoa dan muslim bersatu. Peraturan ini memiliki dampak
pada kehidupan masyarakat Nusantara dalam memandang keturunan
Tionghoa. Keturunan Tionghoa menjadi kelompok yang terpinggirkan,
dikucilkan dan dibenci oleh kelompok masyarakat yang lain karena
hubungan dengan mereka berarti malapetaka yang datang dari
pemerintahan Kolonial Belanda. Belum lagi Belanda dengan para
sarjananya dan juga para para sarjana pribumi yang menjadi kaki tangan
Belanda, juga ikut serta menyampaikan sastra dan ajaran yang semakin
memojokan kelompok keturunan Tionghoa.42
Menjelang abad ke-19 dengan munculnya para pemimpin
Tionghoa peranakan berpendidikan Barat di Hindia, bersama dengan
timbulnya kebijakan-kebijakan anti Tionghoa dari pemerintah kolonial
Belanda.43
Orang Tionghoa Hindia dibatasi geraknya dan sumber
penghasilannya yang penting yang penting yaitu sistem Pacht percukaian
41 Kwee Tek Hoay (terj. Lea E, Williams), The Prigins of the Modern Chinese Movement
in Indonesia (Ithaca:Cornel Modern in Indonesia Project 1969), h. 9-10. 42MN, Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta:PT LKIS
Printing Cemerlang 2012), h. 62. 43 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159
26
dihapuskan.44
Akan tetapi orang Tionghoa Peranakan berpendidikan Barat
yang membenci kebijakan-kebijakan Belanda sama kritisnya akan adat
yang berlaku dimasyarakat, teristimewa kebiasaan pernikahan dan
pemakaman. Karenanya mereka memprakarsai suatu pergerakan
pembaharuan untuk memperbaiki kondisi budaya dan nasionalnya.45
Tahun 1900 Gubernur Hindia Belanda menyetujui berdirinya
THHK (Tiong Hwee Koan) di Jakarta46
dengan tujuan utama untuk
memperbaharui adat kebiasaan orang Tionghoa di Jawa, yang masih
merupakan penganjur ajaran khonghucu.47
Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah umum
bersifat nasional. Perubahan ini menyebabkan orang-orang yang
berorientasi pada agama Khonghucu meninggalkan THHK, kemudian
membentuk Khong-jiou-hui (Khong Kauw Hwe) yang mandiri.48
Walaupun posisi etnis Tionghoa dalam kesejarahan Indonesia pada
masa penjajahan Belanda tidak begitu terlihat dalam teks sejarah, namun
sebenarnya mereka ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan adalah
John Lie alias Jahya Daniel Dharma seorang keturunan Tionghoa yang
menjadi perwira angkatan laut RI. Dengan kapal kecil cepat bernama The
44Suatu sistem yang menggunakan orang-orang Tionghoa sebagai apa yang dinamakan
Pachter, yaitu pemegang izin resmi untuk mengoperasikan beraneka ragam monopoli sebagai
penghasilan pajak negara. Untuk uraian yang lebih lengkap mengenai sistem Pacht pajak dan
orang Tionghoa di Jawa, lihat, Lea E, Williams, “The Ethical Program and the Chinese of
Indonesia”, Journal of Southeast Asian History, Thn. II No.2 (1961), h. 35-42. 45Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159 46M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesa
(Jakarta:Pelita Kebijakan 2005) h. 89. 47Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 161 48Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 3.
27
Outlow, ia rutin melakukan operasi melawan blokade Belanda dengan
membawa hasil bumi Indonesia ke Singapura untuk barter dengan senjata.
Senjata yang diperoleh kemudian diserahkan ke pejabat RI yang ada di
Sematra sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.49
Adanya organisasi Khonghucu pada masa penjajahan menunjukan
eksistensi agama Khonghucu jauh sebelum Indonesia merdeka. Tidak
dapat dipungkiri dengan eksistensi tersebut banyak etnis Tionghoa yang
ikut berjuang untuk memerdekakan Indonesia dari jerat penjajah yang
terjadi dibumi pertiwi. Meskipun ajaran dan tradisi yang mereka amalkan
berasal dari nenek moyangnya tetapi mereka juga menganggap Indonesia
adalah tanah air dan negaranya karena mereka lahir di Indonesia.
Pada tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan
Presiden No. 1/Pn.ps/1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau
penodaan Agama,50
yang didalamnya menjelaskan bahwa agama-agama
yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarah ada enam, yaitu
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Menurut Eka
Dharmaputra, seperti yang dikutip Lasiyo dalam disertasinya dan dikutip
kembali oleh Chandra Setiawan, menyebutkan bahwa pemilihan keenam
agama diatas berdasarkan pada definisi agama seperti yang diusulkan
menteri Agama pada masa itu adalah minimal memiliki: Kitab Suci Nabi,
kepercayaan akan satu Tuhan, dan tata Ibadah bagi pengikutnya.51
49Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 67-68 50Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia,(Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 65. 51Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104
28
1. Masa Orde Lama
Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa
dimana etnis Tionghoa seungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat
rasialis, pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan
bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada
1956. Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi
peusahaan telah sangat meminggirkan usaha milik orang-orang etnis
Tionghoa.52
Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No10/1959 yang
isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing
ditingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 Desember 1959. Peraturan
ini ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian
terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha tingkat desa. Sebagai
akibat dari PP No. 10/1959, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari
100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan secara tipikal
mereka mengalami banyak kesengsaraan. Di satu pihak karena intrik-intrik
politik negara Indonesia dan Tiongkok dan dilain oihak meningkatnya
teror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia.53
Rasa dendam orang Cina semakin memberi kekuatan baru bagi
perjuangan meminggirkan etnis Cina. Disisi lain, bangkitnya semangat
nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primodial adalah
52https://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-
lama-dan-orde-baru/ diakses pada tgl 23 Mei 2018 Pukul 10:00 53https://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-
lama-dan-orde-baru/ diakses pada tgl 23 Mei 2018 Pukul 10:15
29
faktor lain yang menunjukan betapa suramnya rasialisme itu diwajah
Negara Republik Indonesia.
2. Masa Orde Baru
Pada dasarnya Orde Baru, pemerintahan Indonesia sedikit berpihak
pada Etnis Tionghoa. Terutama dalam bidang ekonomi dan budaya, karena
pemerintahan Orde Baru menginginkan adanya legitimasi terhadap
keberhasilan dalam bidang pembangunan ekonomi. Pemerintahan Orde
Baru lebih memilih merangkul dalam bidang ekonomi, namun tetap
mencurigai dan mengawasi mereka dalam bidang politik.54
Namun demikian, umat Khonghucu mulai mengalami tugas yang
berat. Pada periode 1965-1967 terjadi tragedi nasional peristiwa G. 30S
PKI, yang terjadi pada tahun 1965 yang mengakhiri masa Orde Lama
menjadi Masa Orde Baru. Disini pengurus GAPAKSI berkewajiban
meningkatkan pembinaan kebaktian diseluruh Indonesia.55
proses asimilasi dari pemerintah untuk etnis Tionghoa adalah
mereka harus mengganti nama, melarang segala bentuk penerbitan dengan
bahasa aksara Cina, membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam
keluarga, tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya
tradisional Tionghoa dimuka umum, melarang sekolah-sekolah Tionghoa
54Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia h. 69-70. 55Indarto,Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6
30
dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum
negeri atau swasta.56
Benang merah Yang menjadi latar belakang terjadinya diskriminasi
rasial di Indonesia sendiri adalah kepentingan politik ekonomi pemerintah
di masing-masing masa. Di Orde Baru ini kata Diskriminasi rasial nyaris
tidak terdengar dan memang tidak disebutkan bahkan dilarang untuk
diperbincangkan. Isu ini diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama,
Ras, Antargolongan).57
Maksudnya adalah segala sesuatu yang berbau
rasisme dikatakan SARA, yang berarti tidak boleh diributkan dan semua
dibiarkan begitu saja tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah. Ini
merupakan suatu kesengajaan yang dibuat oleh pemerintah sekaligus
bentuk rasisme yang paking kejam.
Pada masa Orde Baru tercatat ada 8 buah produk perundang-
undangan yang sangat diskriminatif secara brasial terhadap etnis
Tionghoa, yaitu:
1. Instruksi Edaran Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967
tentang Kebijaksanaan pokok Penyelesaian Masalah Cina
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-
36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina
3. Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat Istiadat Cina
56H. Junus Jahya, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi dan Integrasi, Jakarta
Lembaga Pengkajian Masalah Pembaruan, 1999 h. 10 57Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta,
Pustaka LP3ES Indonesia, 2005) h. 500
31
4. Innstruksi Presiden No. 15/1967 tentang Pembentukan Staf
Khusus Urusan Cina.
5. Instruksi Mendagri No. 455-2-360 tentang Penetapan Klenteng
6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tentang Badan
Koordinasi Masalah Cina.
7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang
Pelarangan Inpor Penjualan dan pengedaran Terbitan dalam
Bahasa dan Aksara Cina.
8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang
Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/ Iklan beraksara
dan Bahasa Cina.58
Dari sini bisa dilihat bahwa fenomena diskriminasi rasial terhadap
etnis Tionghoa di Indonesia nampaknya sudah begitu sistematis, tidak
hanya masyarakat dikalangan Grassroot(akar rumput) yang begitu keras
dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi yang tidak setia ada Negara,
namun Pemerintahan dimasa Orde Lama dan Orde Baru pun nampaknya
cukup gencar menjadi pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras
terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Padahal salah satu tujuan negara Indoneisa yang tercantum pada
pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945
58Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia, h. 45
32
adalah, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Para
etnis Tionghoa merupakan warga negara Indonesia.
Walaupun mereka orang keturunan (bukan asli indonesia) tapi
mereka telah berasimilasi dan mereka merasa diri mereka adalah orang
Indonesia. Bukannya seperti perlakuan sentimen yang dilakukan oleh para
Pribumi. Maka sudah selayaknya mereka mendapat perlakuan yang sama,
dilindungi seperti warga negara Indonesia yang lain (pribumi), karena
mereka juga bagian dari Bangsa Indonesia, Warga Negara Indonesia.
B. Kehidupan etnis Tionghoa pada masa setelah Reformasi
Ketik Zaman reformasi nempaknya agama Khonghucu
mempunyai peluang ke arah yang lebih baik. Presiden BJ. Habibie telah
menghapuskan istilah pribumi dan non pribumi (Inpres No. 26/1998),59
beberapa seminar juga diadakan menyangkut keberadaan agama
Khonghucu di Indonesia, salah satunya IAIN Jakarta tahun 1998, ada juga
karya tulis yang menyangkut Agama Khonghucu, diantaranya: “Hak-Hak
Beragama dan Perkawinan Khonghucu:Persefektip Sosial, Legal, dan
Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998. Buku ini ditulis oleh
berbagai tokoh yang memandang Khonghucu dari berbaai sudut.60
Ketika Abdurahman Wahid menjabat sebagai Presiden dengan
wawasan kebangsaannya, dan adanya kesempatan dan kekuatan selaku
Presiden, kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Inpres No 14
59 E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga, dan silsilah Warga Tionghoa
(Semarang:Yayasan Widya Menggala Indonesia, 2012) h. 134 60Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105
33
tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru yang berisi
apapun bentuk ekspresi keagamaan dan adat istiadat Tionghoa dimuka
umum, dan termasuk pelarangan bagi semua tempat usaha kelompok etnis
Tionghoa, seperti toko, pabrik, dan sebagainya untuk tutup pada ahri raya
Imlek, dengan mengeluarkan pengumuman bahwa tahun baru Imlek juga
menjadi hari libur Fakultatif yaitu hari libur untuk penganut agama yang
merayakan hari raya.61
Tidak diakuinya agama Khonghucu sebagai agama resmi
membuat banyak masyarakat yang memeluk agama yang diakui negara,
dan kebanyakan dari masyarakat Tionghoa memeluk agama Buddha,
Tridarma, Katolik dan Protestan. Walau jumlahnya kecil, masyarakat
Tionghoa juga ada yang memeluk agama Islam. Pada masa Orde Baru
masyarakat Tionghoa sebagai etnis minoritas memang merasa terbatasi
ruang geraknya dalam melestarikan kebudayaan mereka.
Hingga masa reformasi masyarakat Tionghoa mempunyai
harapan besar pada pemerintah baru tersebut dalam hal pengakuan etnis
minoritas yang ada di Indonesia. Pemerintah yang dipimpin oleh B.J
Habibie ini membuat Indonesia menjadi lebih demokrasi dengan meninjau
kembali peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif rasial dengan
mengakui kembali agama Khonghucu namun hal ini tidak dapat berjalan
dengan mudah karena pengakuan agama Khonghucu tidak berarti banyak
karena agama tersebut belum mendapat pengakuan di MPR, dikarenakan
61Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 81-82
34
wakil agama Khonghucu tidak hadir pada pemilu 1999 hal tersebut
mendapat protes besar dari pemeluk agama Khonghucu namun hal tersebut
tidak membuahkan hasil. Pengakuan agama Khonghucu dapat perhatian
penuh dari pemerintah setelah Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi
Presiden62
Setelah adanya pengakuan resmi dari pemerintah mengenai
agama Khohucu masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu
kembali kepada agama mereka dan melepaskan kepercayaan yang selama
ini terpaksa mereka anut. Agama Khonghucu pernah dilembagakan untuk
keperluan politik ketika masa setelah kemerdekaan sehingga
Khonghucuisme menjadi agama dan terorganisasi sama seperti Islam
Katolik namun setelah Prde Baru Khonghucu kembali tidak diakui karena
Khonghucuisme dianggap bertentangan dengan kebijakan asimilasi yang
diamalkan oleh Orde Baru. Khonghucu kembali diakui oleh pemerintah
Indonesia ketika Abdurahman Wahid resmi menjadi presiden RI.63
Pengumuman Abdurahman Wahid atas hari libur fakultatif pada
tahun baru Imlek ditindak lanjuti oleh Megawati dengan mengeluarkan
keputusan Presiden No. 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai
hari libur nasional berlaku sejak tahun 2003.64
Sebagaimana dua presiden
sebelumnya, presiden Susilo Bambang Yudoyono, juga mengeluarkan
kebijakan yang membela etnis Tionghoa, beberapa UU. 12 tahun 2006
tentang kewarganegaraan Indonesia, yang salah satu poin pentingnya
62Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia h. 72 63Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 160 64Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135
35
adalah etnis Tionghoa yang lahir di negeri ini termasuk orang Indonesia
asli. Bukan hanya itu saja, sejumlah kebijakanpun dikeluarkan oleh
presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pasal-pasal yang telah
diambiluntuk diimplikasikan demi mengembangkan hak-hak sipil terhadap
umat Khonghucu dan etnis Tionghoa.65
Setelah adanya pengakuan dari pemerintah mengenai agama
Khonghucu masyarakat Tionghoa yang baragama Khonghucu kembali
kepada agama mereka dan meleskan kepercayaan yang selama ini terpaksa
mereka anut. Agama Khonghucu pernah dilembagakan untuk keperluan
politik ketika masa setelah kemerdekaan sehingga Konghucuisme mejadi
agama yang terorganisasi sama seperti Islam atau Katolik namun setelah
Orde Baru Khonghucu kembali tidak diakui karena Konghucuisme
dianggap bertentangan dengan kebijakan asimilasi yang diamalkan oleh
Orde Baru.66
Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan
dan pendidikan. Setelah 32 tahun berdiam mereka kembali melakukan
kegiatan sosial, aktif dalam bidang pendidikan, bahasa Mandarin mulai
diajarkan diberbagai sekolah sebagai bahasa alternatif disamping bahasa
Ingggris. Mereka mulai berani memasuki bidang-bidang diluar bisnis
semata, mereka mulai membuka diri dan memperdulikan lingkungan
disekitarnya, merayakan ritual agama dan seterusny. Filsafat kalangan
65Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 82 66Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 136
36
Tionghoa sekarang adalah berakar dibumi tempat berpijak, artinya (lahir
dan menetap di Indonesia selamanya.67
Situasi di Indonesia telah berubah secara derastis, Pemerintah
Republik telah kembali ke ibu kotanya di Yogyakarta dan konferensi
internal diantara masyarakat Indonesia telah berjalan dengan sukses tanpa
benyak kesulitan.kesepakatan genjatan senjata antara Belanda dan
Republik secara resmi diumumkan malam hari sebelum berakhirnya
konferensi. Persyaratan untuk mengadakan konferensi Meja Bundar.68
Telah dipenuhi di Den Haag, anggota-anggota Komite Indonesia yang
mewakili Negara Federal dan Republik segera berangkat ke Belanda.
Dalam dua bulan tersebut perhatian mengenai masalah Indonesia akan
berpindah ke Den Haag.69
Tujuan Konferensi Meja Bundar adalah membicarakan berbagai
persoalan setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Permintaan mengadakan konferensi seperti ini mengindikasikan kerumitan
masalah Indonesia. Selain dua pihak yang saling bertentangan dari
Indonesia, terdapat perwakilan internasional komite Indonesia.
Daftar perwakilan masyarakat Tionghoa perantauan belum secara
resmi diumumkan, perwakilan ini terdiri dari individu-individu yang
terpilih oleh Republik dan masing-masing negara bagian. Ketika mereka
67https://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-etnis-tionghoa-di-
indonesia-dari-masa-ke-masa/ diakses pada tanggal 24 Juli 2018 pukul 14.50 68Konferensi Meja Bundar diadakan menjelang akhir tahun 1949 dan menyebabkan
terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) kesepakatan dibatalkan oleh Indonesia di tahun
1953. 69Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 136
37
terpilih tidak membahas opini Tionghoa Perantauan. Para perwakilan ini
dipilih karena balas budi. Mereka mengikuti para perwakilan lain ke
Barat.70
Orang Tionghoa kelahiran Cina dan kelahiran setempat umumnya
memiliki sikap yang sama yaitu, bersimpati dengan pembangunan bengsa
dan kemerdekaan nasional Indonesia, orang Tionghoa berjuang untuk
memperoleh hak-hak kelompok minoritas.71
Etnis Tionghoa berkeinginan untuk memenuhi kewajibannya
sebagai penduduk setempat, akan tetapi pada waktu yang sama mereka
berupaya keras untuk memperoleh perlakuan yang memadai di bidang
ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Mereka menentang diskriminasi
yang tidak manusiawi, posisi dan keberadaan Tionghoa perantauan tidak
harus dibasmi. Mereka berharap bahwa wakil Tionghoa perantauan yang
dipilih oleh negara Federal dan Republik akan menyatu mengkukuhkan
Tionghoa perantauan dan memperjuangkan status Tionghoa Perantauan.72
Di masa sesudah 30 September 1965 gagal, kudeta Komunis di
Indonesia, pemerintah Soeharto menghadapi tantangan yang sangat besar
dalam menekan kekacauan yang diakibatkan oleh serangan terbuka yang
dilakukan terhadap komunisme, Tiongkok, dan orang Tionghoa. Dalam
70Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 136 71Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 137 72Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 137
38
dua tahun sesudah kudeta tersebut, terjadi sentimen anti Tionghoa yang
tersebar luas di Indonesia.73
Di Aceh pada tahun 1966 dan di Kalimantan Barat pada akhir
1967, puluhan ribu orang Tionghoa diusir dari rumahnya dan kehilangan
penghidupan mereka. Di Jawa Timur, peraturan yang dilakukan oleh
komandan militer propinsi yang membatasi kegiatan perekonomian orang
Tionghoa asing yang mengakibatkan benturan antara orang Tionghoa
Indonesia dan Tionghoa. Pemindahan paksa orang Tionghoa dari Aceh dan
Kalimantan Barat disebabkan oleh tidak adanya kepemimpinan yang
mempersatukan dipusat, para komandan militer ditingkat propinsi merasa
bebas untuk menerapkan tindakan anti Tionghoa tanpa merujuk ke
pemerintah pusat.74
Pemerintah lebih menyatu dibawah perintah Soeharto dan para
pemimpin di daerah lebih bersedia patuh pada pejabat yang lebih tinggi.
Penyebaran kekejaman anti Tionghoa dari Jawa Timur ke Jakarta pada
bulan April 1967 memuncak hingga masalah Tionghoa mengharuskan
dibuat perumusan oleh pemerintah tentang kebijakan dasar untuk
memecahkan masalah Cina. Hal ini menandai langkah resmi pertama
dalam agenda pemerintah untuk memecahkan masalah Cina melalui proses
asimilasi.75
Salah satu peraturan asimilasi yang paling menyeluruh dari
rejim Soeharto adalah kebijakan Dasar untuk memecahkan masalah Cina
73Aimee Dawis, Ph.D,Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 104 74Aimee Dawis, Ph.D,Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, h. 104 75Aimee Dawis, Ph.D,Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, h. 105
39
yang menetapkan asas dasar bagi warga asing untuk tinggal dan bekerja di
Indonesia.76
Di masa reformasi, eksistensi Tionghoa kemudian dipulihkan
kembali 3 pilar utama yang telah diruntuhkan pada masa Orde Baru yaitu
Organisasi Kemasyarakatan Tionghoa, media masa berbahsa Cina, sekolah
berpengantar bahasa Cina. Masyarakat Tionghoa kemudian membentuk
partai berbasis etnis dan tercatat sebagai partai yang aktif masa tersebut
yaitu partai reformasi Tionghoa Indonesia. Partai pembaruan Indonesia
dan Partai Bhineka Tunggal Ika sebagai Tokoh Tionghoa yang sejak awal
tidak setuju dengan berdirinya partai etnis memilih bergabung dengan
partai bentukan masyarakat Indonesia non Tionghoa atau mendirikan
organisasi masa yanglebih berfungsi sebagai presure group. Ini dapat
dimaknai bahwa etnis Tionghoa adalah masyarakat tidak homogen, tetapi
multi etnik dan budaya multi budaya yang memiliki orientasi politik
sebagai cerminan orientasi budaya yang berbeda-beda dan beragam.77
Tujuan dan kegiatannya memiliki kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya yaitu beranggotakan warga Tionghoa. Beberapa
organisasi yang menonjol adalah Paguyuban Sosial MargaTionghoa
Indonesia (PSMTI) dan Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia.
Beberapa tokoh PSMTI kemudian memisakan diri dan membentuk
perkumpulan INTI, disusul dengan beberapa organisasi lainnya seperti
LSM yang digerakan oleh para pemuda Tionghoa yaitu Gandi, Solidaritas
76Aimee Dawis, Ph.D,Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, h. 105 77Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 139
40
Nusa-Bangsa, SIMPATIK, dll.78
dengan munculnya organisasi-organisasi
sosial budaya Tionghoa yang dulunya sudah pudar sekarang sudah pulih
kembali.
Pada era Reformasi perjuangan etnis Tionghoa dalam
memulihkan identitas tepatnya tanggal 28 September 1998 Organisasi
kemasyarakatan Tionghoa yaitu Peguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia mengambil momentum Era Reformasi yang Demokratis. PSMTI
mendata ada 14 (empat belas) peraturan serta perundang-undangan yang
bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa setelah mengajukan
permohonan kepada lembaga instansi yang berwenang agar peraturan serta
perundang-undangan yang diskriminatif tersebut dicabut, hasilnya
sebagaian besar peraturan perundang-undanganan tersebut sudah dicabut.79
78Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 1340 79Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 143
41
BAB III
Diskriminasi Anti Tionghoa di Indonesia
A. Profil Kecamatan Tenjo
Kecamatan Tenjo Adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten
Bogor yang berada diwilayah bagian, memang kecamatan Tenjo ditelinga
warga Bogor khususnya Kabupaten Bogor masih terdengar asing hal
tersebut mungkin saja anggapan serta gambaran kecamatan Tenjo itu ialah
Tenjolaya yang notabene telah diketahui banyak orang yang lokasinya
juga bagian Barat Kabupaten Bogor. Tentunya Kecamatan Tenjo dengan
karakteristik yang dimiliki akan menjadi daerah berkembang yang modern
hal tersebut dikarenakan faktor strategis kecamatan Tenjo yang dilintasi
jalur Kereta Api Merak-Jakarta serta berbatasan langsung dengan
kabupaten Lebak dan kabupaten Tangerang Provinsi Banten.
Kecamatan Tenjo terbentuk dari pemekaran kecamatan Parung
Panjang dan Kecamatan Jasinga, mempunyai 9 (Sembilan) Desa melipiti
Desa Tenjo, Desa Singabraja, Desa Batok, Desa Babakan, Desa Bojong,
Desa Ciomas, Desa Tapos, Desa Singabraja, dan Desa Ciomas.
Asal usul Kecamatan Tenjo sangatlah beragam ada beberapa
cerita-cerita dari masyarakat tentang asal usul sebutan Tenjo sehingga
sekarang disebut kecamatan Tenjo, kata Tenjo berasal dari bahasa sunda
yang berarti Lihat, konon dahulu disalah satu Dusun terdapat sebuah
42
pohon tinggi menjulang dan tidak ada pohon yang tumbuh sama seperti
pohon tersebut, pohon itu itu pun dapat terlihat dari empat arah mata angin
dari kejauhan sehingga orang-orang yang terlihat dari empat dari kejauhan
sehingga oran-orang yang melihatnya pada waktu itu sering mengatakan
TENJO (LIHAT) jika menunjuk ke arah pohon tersebut sehingga warga
yang berpergian kearah pohon tersebut sering menyenut Tenjo atau
Dusun/Desa Tenjo.
Adapun data Statistik Kecamatan Tenjo adalah:
Luas : 8.580,72 hektar
Batas Administratif :
Sebelah Utara : Kabupaten Tanggerang
Sebelah Barat : Kabupaten Lebak
Sebelah Selatan : Kecamatan Jasinga
Sebelah Timur : Kecamatan Parung Panjang
Terdiri dari 9 Desa, yaitu :
1.
Desa Ciomas 6. Desa Singabraja
2. Desa Tapos 7. Desa Tenjo
3. Desa Batok 8. Desa Cilaku
4. Desa Babakan 9. Desa Singabangsa
5. Desa Bojong
43
PENDUDUK
TAHUN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
RASIO JENIS
KELAMIN
2012 34.785 32.438 67.223 107
2013 35.028 32.908 67.936 106
2014 36.026 33.858 69.884 106
Sumber dari Kecamatan Tenjo
PENDIDIKAN
o JUMLAH SEKOLAH
TAHUN
TK SD MI SMP MTs SMA SMK MA
N S N S N S N S N S N S N S N S
2012 0 2 34 0 0 10 4 7 0 5 1 2 0 2 0 1
2013 0 2 34 0 0 10 5 7 0 5 1 3 0 2 0 1
2014 0 2 34 1 0 10 5 7 0 5 1 3 0 2 0 1
JUMLAH SISWA
TAHUN
TK SD MI SMP MTs SMA SMK MA
N S N S N S N S N S N S N S N S
44
2012 0 35 8.175 0 0 2.103 1.589 1.333 0 1.399 136 231 0 463 0 41
2013 0 22 7.943 0 0 2.031 1.840 1.301 0 1.676 297 419 0 654 0 58
2014 0 48 7.730 67 0 2.024 1.840 1.301 0 1.719 297 419 0 709 0 85
o JUMLAH GURU
TAHUN TK SD MI SMP MTs SMA SMK MA
2012 8 326 111 267 113 56 61 18
2013 7 340 109 242 103 77 18 49
2014 4 345 104 230 67 77 62 16
Sumber dari kecamatan Tenjo
KESEHATAN
o SARANA KESEHATAN
TAHUN
SARANA KESEHATAN DASAR
POSYANDU PUSTU PUSKESMAS RUMAH SAKIT
2012 82 2 2 -
2013 83 2 2 -
2014 83 2 2 -
o KONDISI KESEHATAN
45
TAHUN
KONDISI KESEHATAN MASYARAKAT
BALITA GIZI
BURUK
CAKUPAN
PERSALINAN
OLEH TENAGA
MEDIS
PENDERITA
TB PARU
PENDERITA
DBD
2012 30 72,4 % - -
2013 27 64,9% - -
2014 52 62,83% - -
Sumber dari Kecamatan Tenjo
AGAMA
o SARANA IBADAH
TAHU
N
SARANA IBADAH
MESJI
D
MUSHOL
A
PONPE
S
GEREJA
KATHOLI
K
GEREJA
PROTESTA
N
PUR
A
WIHAR
A
2012 - - - - - - -
2013 302 102 - - - - -
2014 69 - - - - - -
Seumber dari Kecamatan Tenjo
46
INFRASTRUKTUR
o PANJANG JALAN BERDASARKAN KONDISI
TAHUN
KONDISI JALAN
BAIK
(Km)
SEDANG
RUSAK
(Km)
RUSAK
(Km)
RUSAK
BERAT
(Km)
JUMLAH
(Km)
2012 40,380 3,060 1,000 2,100 46,540
2013 28,34 16,84 - 1,36 46,54
2014 34,380 0,800 3,000 8,360 46,540
o RASIO JARINGAN IRIGASI
TAHUN
PANJANG JARINGAN
IRIGASI
TOTAL
PANJANG
JARINGAN
IRIGASI
LUAS
LAHAN
BUDIDAYA
(Ha)
RASIO
PRIMER SEKUNDER TERSIER
2012 5.500 - 175 5.675 729 7,78
2013 5.500 - 175 5.675 - -
2014 5,500 0 0 5,500 - -
Sumber dari Kecamatan Tenjo
PERTANIAN
47
N
O
KOMODITA
S
TAHUN
2013 2014
LUAS
PANE
N (Ha)
PRODUKT
I-VITAS
(Ku/Ha)
PRODUKS
I (Ton)
LUAS
PANE
N (Ha)
PRODUKT
I-VITAS
(Ku/Ha)
PRODUKS
I (Ton)
1 Padi sawah 709 34,24 2.428 2.654 61,83 16.410
2 Padi Gogo 2.538 62,38 15.835 498 33,38 1.662
3 Ubi Kayu 33 201,41 665 23 202,59 466
4 Ubi Jalar 15 145,28 217 11 146,50 161
5 Talas - - - - - -
6 Jagung - - - - - -
7 Kedelai - - - - - -
8 Kacang Hijau 1 10,49 1 - - -
9
Kacang
Tanah
21 12,87 27 18 12,99 23
Sumber dari Kecamatan Tenjo
EKONOMI
o PASAR
48
NO JENIS PASAR
TAHUN
2013 2014
1 Pasar Desa milik Desa - -
2 Pasar Desa milik Swasta - -
3 Pasar Tradisional - -
4 Mini Market - -
5 Toko - -
6 Pasar Modern - -
o KOPERASI
TAHUN AKTIF TIDAK AKTIF JUMLAH
2012 10 6 16
2013 10 6 16
2014 11 5 16
Sumber dari Kecamatan Tenjo
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
No INDIKATOR 2013 2013
1 IPM 71,41 70,27
49
2 Komponen IPM:
- Angka Harapan Hidup (AHH) (tahun) 70,19 71,60
- Angka Melek Huruf (AMH) (%) 95,46 95,46
- Rata-rata Lama Sekolah (RLS) (tahun) 6,61 5,61
3
Kemampuan Daya Beli Masyarakat
(Konsumsi Riil per Kapita)
(Rp/kap/bln)
622.200 606,82
Sumber dari Kecamatan Tenjo
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
NO PDRB dan LPE
Tahun 2013
(Juta Rp)
Tahun 2014
(Juta Rp)
1 PDRB :
Atas Dasar Harga Konstan 91.303 96.321
Atas Dasar Harga Berlaku 300.632 336.900
2
Laju Pertumbuhan EKonomi
(LPE) %
- 5,50
Sumber dari Kecamatan Tenjo
B. Diskriminasi terhadapat budaya dan Agama
50
Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap
perorangan. Atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikal, atau atribu-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaa, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial, istilah
tersebut biasanya melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang
dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah.
Kelompok minoritas adalah kelompok-kelompok yang diakui
berdasarkan perbedaan ras, agama, atau suku bnagsa, yang mengalami
kerugian akibat prasangka atau diskriminasi istilah ini pada umumnya
dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis. Diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia berupa
suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender seperti kaum
perempuan.
Diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan identitas
agama/kepercayaan. Pemerintah berusaha memperbaiki keadaan tersebut
dengan mengeluarkan UU No. 1/1974. Undang-undang tersebut
menghapuskan beberapa aturan tentang perkawinan, misalnya reglemen
tentang perkawinan campuran dan reglemen perkawinan Kristen, namun
hukum ini menimbulkan permasalahan baru dengan pembatasan
pencatatan perkawinan hanya pada lima agama resmi Negara.80
Beberapa kasus pernikahan Konghucu yang bahkan sudah mendapat
penegasan dai Mahkama Agung, selalu mendapat penolakan dari kantor
80Wahyu Efendi, Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan penghapusan diskriminasi di
Indonesia, h. 228
51
Catatan Sipil dengan anggapan bahwa pengesahan Ma tersebut bagi
pasangan perkawinan Konghucu dalam pengesahan MA dan tidak berlaku
untuk [asangan Konghucu lainnya.81
Salah satu rekomendasi yang harus dilakukan untuk penghapusan
diskriminasi warga negara dan penciptaan kesetaraan WNI adalah dengan
memperbarui peraturan perundang-undangan bidang catatan sipil.
Walaupun tidak serta merta dapat penghapusan peraturan hukum catatan
sipil membuka jalan bagi pembaharuan UU Perkawinan, UU
Kewarganegaraan, KUH Perdata, UU Imigrasi, dan lain-lain.
Dalam Undang-Undang Dasar 45 bab X tentang “warga Negara”
pasal 27 ayat 1 yang menganggap semua WNI memiliki persamaan
kedudukan didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung
hukum dan pemerintah itu tidak ada pengecualian, dan dalam ayat 2
mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, namun diselewengkan oleh
paar pemimpin-pemimpin dikemudian hari, yang sudah mulai berlaku
pada jaman Orde Lama sampai pada jaman Orde Baru.82
Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998 yang dikeluarkan pada
tanggal 16 September 1998 dan ditujukan kepada para menteri, para
pemimpin Lembaga Pemerintah non Departemen, para pemimpin
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Negara dan para Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I dan Bupati/walikota Kota Madya, Kepala Daerah
81Wahyu Efendi, Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan penghapusan diskriminasi di
Indonesia, h. 228 82Wawancara pribadi denga, n bapak Juliono
52
Tingkat II. yang isinya adalah, pertama mengenai penghentian penggunaan
istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan
penyelenggaraan pemerintah; kedua memberikan perlakuan dan layanan
yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan dan
layanan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan
berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras, maupunasal usul, tiga
meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-
undangan, bijaksanaan, program, dan kegiatan selama ini telah ditetapkan
dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha,
keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesepakatan
kerja dan gak-hak pekerja lainnya. Alasan rasional bagi mereka yang
mendukung politik pembaruan asimilasi adalah bahwa jika orang
Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam maka
tidak akan ada masalah Tionghoa lagi .83
Memang dalam kenyataan akibat politik asimilasi tersebut orang
keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan
buktinya tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap
Cina. Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka,
bahkan diperkuat dengan hukum, sebagai contoh saya adalah keturunan
Tionghoa yang sampai pada masa reformasi adalah penganut politik
pembaruan yang diasimilasi, tapi sejak mengalami kejadian yang bersifat
83
Wawancara pribadi dengan tokoh Agama Khonghucu bapak. sugiandi
53
shock therapy, saya telah beralih ke politik pembaruan yang bersifat
integrasi yang sinergis.84
Di Indonesia, orang Tionghoa umumnya dikenali oleh kaum pribumi
maupun sesama Tionghoa dari ciri-ciri lahiriah yang berbeda seperti warna
kulit lebih terang, bermata sipit, berambut lurus, bertulang pipi menonjol
dibandingkan dengan kaumPribumi.85
Abdurahman Wahid banyak mengeluarkan pernyataan nahwa
berbagai tradisi dan budaya dari kelompok keturunan Tionghoa dan
budaya dari kelompok keturunan Tionghoa adalah bagian dari kekayaan
budaya Indonesia, sejak itu tradisi dan budaya dari kelompok Tionghoa
menjadi semakin semarak hingga kepelosok desa, hingga sudah menjadi
milik bersama rakyat Indonesia, seperti budaya Liong ataupun budaya
barongsai, hari raya Tionghoa menjadi hari libur nasional.86
Kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan
masing-masing adalah bagian prinsip dari kehidupan setiap manusia dalam
kehidupan sehari-hari, dengan kebijakan yang telah dikeluarkan GusDur,
kelompok keturunan Tionghoa dapat kembali bebas menjalankan
ibadahnya sesuai dengan keyakinannya.87
Hubungan kuasa antara Pribumi dan Tionghoa itu kompleks dan
berubah, kuasa kaum Pribumi untuk mempresentasikan orang Tionghoa
sering muncul manakala istilah Pribumi meripakan esensialisasi dari
84Wawancara pribadi dengan tokoh Khonghucu bapak Dedi Sukatman. 85Chang-Yau Hoon,Identitas Tionghoa-Budaya, Politik dan Media, h. 174 86 87MN. Ibad, Ahmad Fikri Af, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 138
54
sebagai kolektivitas ras yang homogen, mencakup keragaman seperti
kelas, etnisitas, bahasa dan budaya serta menganggap statusnya sebagai
kelompok mayoritas dalam penduduk Indonesia minoritas Tionghoa.88
C. Kebijakan Pemerintah dan Masyarakat Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Tionghoa terbagi dalam
dua kelompok, yaitu peranakan dan totok. Peranakan umumnya hanya
berbahasa Indonesia, sedangkan yang totok masih berbahasa Tionghoa.
Akan tetapi setelah Orde Batu, karena lenyapnya tiga pilar kebudayaan
Tionghoa:sekolah Tioghoa, media massa Tionghoa dan organisasi
Tionghoa, umumnya anak-anak totok juga menjadi peranakan.
Namun kondisi politik setelah kemerdekaan tidak mnguntungkan
bagi orang Tionghoa, kuatnya desakan pemerintah Orde Baru untuk
membaur orang Tionghoa ke dalam kelompok pribumi, dan ditambah lagi
dengan dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.
477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang
menyebutkan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam,
Katoli, Hindu, dan Buddha, maka mulai saat itu agama Khonghucu
menjadi kurang Jelas statusnya di Indonesia, serta banyak penganut pindah
ke agama lain seperti Kristen, Katolik, dan Buddha.89
Atas dasar itulah
88 Chang-Yau Hoon,Identitas Tionghoa-Budaya, Politik dan Media, h. 177 89Kepindahan Penganut Agama Khonghucu ke Kristen atau Buddha tidak Jelas banyak
penganutnya yang apabila ditanya menyatakan dirinya agama Khonghucu, tetapi dikartu tanda
Penduduk beragama Buddha dan Kristen. Dalam praktek kehidupan sehari-hari mereka (warga
Negara Indonesia keturunan Cina) masih menjalankan tradisi leluhurnya seperti merayakan hari
raya Imlek.
55
perlu kiranya diketahui latar belakang bangkitnya agama Khonghucu serta
perkembangan dari tahun 1900 sampai dengan sekarang. Sehubungan
dengan itu, besar dugaan bahwa bangkitnya agama Khonghucu di
Indonesia dipelopori oleh organisasi Tionghoa Hwe Koan yang di singkat
THHK.90
Peraturan Pemerintah No. 10/1959 tentang larangan bagi orang
Tionghoa (WNA) untuk berdagang eceran di tingkat kabupaten kebawah
saat itu masih banyak orang Tionghoayang Dwi Kewarganegaraan,
walaupun lahir dan besar di Indonesia,91
diperkirakan ada 25.000 toko
berada dalam ketegori pedagangan eceran peraturan ini dijalankan dengan
kekerasan oleh militer dan lebih dari 130.000 orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia, dan sistem perekonomian pun menjadi kacau-
balau.92
Sebagai ilustrasi dalam UUD 1945 “kepentingan negara” menjaga
eksistensi seperti pasal-pasal tentang bentuk negara, yakni negara kesatuan
yang berbentuk Republik (Pasal 1), bendera nasional (Pasal 35), bahasa
resmi dan lagu kebangsaan (pasal 36) atau pasal-pasal yang berkenaan
dengan penyelenggaraan negara seperti kedudukan presiden dan lembaga-
lembaga negara lain yang jelas-jelas merupakan bagian dari retorika
politik itegrasi. Ada pasal yang berkenaan dengan hak-hak individu warga
seperti hak berserikat atau mengutarakan pendapat (pasal 28) dan hak-hak
90Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 87 91Ivan Wibowo, Kebijakan yang Diskriminatif bagi Orang Tionghoa, (Jakarta,PT.
Gramedia Utama. 2002) h. 246 92Ivan Wibowi, Kebijakan yang Diskriminatif bagi Orang Tionghoa, h. 246
56
lain yang diklaim kepada negara seperti hak untuk mendapatkan
pendidikan (pasal 31) dak hak untuk mendapat penghidupan yang layak
(pasal 27) atau hak fakir miskin dan anak terlantar untuk dipelihara oleh
negara (pasal 34)93
Dalam tataran yang sama pengakuan konstitusional terhadap
eksistensi agama-agama sebagaimana dalam pasal 29 juga memiliki makna
yang bersayap. Disebutkan bahwa negara Republik Indonesia
“berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, dan karena itu, “negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan”.94
Diskriminasi dan restriksi dalam agama semakin kelihatan dengan
munculnya penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 (juncto UU No. 5 Tahun
1969 tentang Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama
yang ditandatangani oleh Soekarno.95
Kebijakan politik “identitas agama
sebagai bagian dari “identitas keindonesiaan” terus menguat seiring
dengan menguatnya konsolidasi politik otoritarian Orde Baru. Hal ini tidak
ubahnya seperti cek kosong yang memberikan porsi yang sangat besar bagi
rezim untuk meregulasikan agama sampai ke akar-akarnya.96
Sejak tahun 1967 sampai 1995, sebagaimana yang terekam dalam
buku peraturan perundang-undangan kehidupan beragama (1999)
Departemen Agama RI terdapat paling tidak 110 (seratus sepuluh) aturan
93Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia, h. 65. 94Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h.119 95Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h.121 96Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h. 122
57
negara tentang agama dalam bentuk undang-undang, surat keputusan, atau
surat keputusan bersama, Instruksi, Surat Edaran, Radiogram,/telegram,
Pedoman Dasar yang ditandatangani oleh Presiden, Jaksa Agung, Mentri
Agama, dan Menteri Dalam Negeri.97
Harus dicatat bahwa dari 110 aturan
yang telah dikeluarkan itu ada 51 (Lima Puluh Satu) aturan yang berisi
tentang pelarangan negara terhadap sekte, ajaran, kegiatan agama, buku-
buku, kalender dan lain sebagainya. Yang oleh negara dianggap yang
menyebarkan paham palsu, menyimpang dari mainstream atau menodai
satu tradisi agama tertentu sesuai dengan kreteria sederhana yang ada
dalam penjelasan Keputusan Presiden No 1 Tahun 1965. Dari 51 larangan
yang dikeluarkan pemerintah, 32 aturan (63%) berhubungan dengan umat
Islam, 7 aturan (14%) kepada umat Kristiani (Protestan/Katolik), 11 aturan
(21%) berhubungan dengan Aliran Kepercayaan; dan 1 aturan (2%)
dengan kelompok lain.98
31 aturan (61%) tentang larangan atas
berkembangnyansuatu sekte atau doktrin tertentu yang dianggap
menyimpang, 15 (29%) berisi larangan tentang buku, majalah, simbol,
kalender, komik atau gambar, dan 5 aturan (10%) tentang lainnya seperti
pernikahan beda agama.99
Secara umum, amandemen UUD 1945 memang membawa banyak
perubahan dalam konstruksi dasar hukum dimana hak-hak individu
97Departemen Agama RI, Peraturan Perundang-undangan Kehidupan Beragama,
(Jakarta:Departemen Agama RI, 1999), H. 32 98Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h.123 99Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h.123
58
merupakan hak-hak asasi mendapat perlindungan secara konstitusional.100
Hampir semua prinsip yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat
ditemukan seperti hak hidup (pasal 28A), hak untuk mendapat informasi
(pasal 28F), hak untuk tidak disiksa dan mencari suaka (pasal 28H), hak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta untuk
diperlakukan sama dihadapan hukum (pasal 28D) atau hak bebas dari
diskriminasi atas dasar apapun (pasal 28I).101
Secara kasat mata hak-hak minoritas tentu bertabrakan dengan
regulasi yang bernuansa syariat tadi karena dengan sendirinya hak-hak
minoritas itu berbeda diluar jangkauan hukum dan dengan sendirinya itu
adalah bentuk diskriminasi, bukan hanya regulasi yang hegemonik yang
mengancam hak-hak mereka, tetapi secara prinsipal memang setiap
regulasi berkaitan dengan agama memiliki “potensi” mengancam
kebebasan beragama dan pluralisme agama.102
D. Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan diskriminasi di
Indonesia
Dalam konteks Indonesia, diskriminasi menjadi kebijakan yang
populis dan tersistematis sejak zaman kolonialisme Hindia-Belanda.
Pemerintahan kolonialis menerapkan kebijakan penggolongan penduduk
Indonesia atas 4 (empat) golongan ras/etnis ataupun agama sebagaimana
tertuang dalam Indische staatsregeling (IS), yaitu eropa (Staatsblas (S)
1849), Tionghoa (S.1917), Indonesia asli Kristen (S.1933) dan Indonesia
100
Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h.125 101Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h. 125 102
Ismatu Ropi, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, h.126
59
asli non Kristen (S.1920) yang masing-masing dibedakan perlakuan status
perdatanya.103
Ironisnya setelah kurang lebih satu abad berlalu, kebijakan model
kolonialisme tersebut justru masih diterapkan oleh pemerintahan bangsa
Indonesia sendiri bahkan dengan dimensi yang lebih beragam dan
terinstitusionalisasi, memang, pasca kemerdekaan pemerintah Indonesia
pernah mencoba untuk memperbaharui pola kebijakan penggolongan
penduduk warisan pemerintah kolonial dengan instruksi presidium kabinet
Nomor 31/IN/12/1966, dan dan ditindaklanjuti dengan surat edaran
bersama mendagri dan menteri kehakiman No:pemudes pelaksaan
keputusan presidium kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 dan Instruksi
Presidium Kabinet No 13/U/IN/12/1966.104
Dalam perkembangannya, kebijakan warisan kolonialisme yang
masih diterapkan mengakibatkan implementasi diskriminasi yang semakin
melembaga. Hal tersebut kemudian diikuti dengan eskalasi sentimen dan
rekayasa politik yang ujung-ujungnya menimbulkan kesemerawutan dan
inkonsistensi hukum nasional, permasalahan diskriminasi warga negara
menjadi semakin komplek.105
Munculnya beberapa produk perundang-undangan pada masa Orde
Lama maupun Orde Baru seperti UU no 62/1958 tentang kewarganegaraan
yang mengatur pembuktian kewarganegaraan RI melalui sebuah dokumen
formal (terutama bagi WNI etnis tionghoa), UU No 5/pnps/1965 tentang
103Carles A. Copple, Tionghoa Indoneisa dalam Krisis, h. 131 104Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 137 105Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 138
60
penodaan Agama, yang menempatkan kepercayaan terhadap Tuhan yang
Maha Esa dalam status “pengawasan”.106
Penetapa UU No. 1/1974, yang berimplikasi pada pembatasan dan
pengakuan perkawinan hanya bagi pemeluk lima agama “resmi” negara,
hal tersebut makin memperkeruh status kewarganegaraan dan hak-hak sipil
warga negara Indonesia, terutama untuk mengakses pelayanan publik
dalam bidang catatan sipil, dan lain-lain.107
Warga etnis Tionghoa lebih sering diperlakukan sebagai etnis
Tionghoa daripada statusnya sebagai WNI, seorang WNI yang beragama
Islam lebih sering diperlakukan keislamannya daripada status ke-WNI-
annya, sehingga status perdatanya berbeda dengan WNI. Namun seorang
warga negara Indonesia etnis Tionghoa apapun agamanya dia akan tetap
diperlakukan sebagai etnis Tionghoa.108
Dengan kebijakan seperti itu akan timbul banyak persoalan yang
mengarah pada diskriminasi, seperti surat Bukti Kewarganegaraan
Indonesia (SBKRI) untuk WNI etnis Tionghoa atau pembatasan pelayanan
pencatatan sipil untuk WNI yang beragama/kepercayaan diluar lima agama
“resmi” negara. Benyaknya permasalahan diskriminasi itu berakar pada
106Amiee Dawis, Ph.D, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas,h. 86 107Chang-Yau-Hoon,Identitas Tionghoa Pasca-Shuharto-Budaya, Politik dan Media,
(Jakarta,Yayasan Nabil LP3ES, 2012), h. 220 108Chang-Yau-Hoon,Identitas Tionghoa Pasca-Shuharto-Budaya, Politik dan Media, h.
121
61
kebijakan segregatif dari peraturan catatan sipil warisan kolonialisme, dan
diperparah oleh beberapa peraturan yang muncul belakangan ini.109
Peraturan-peraturan diskriminatif yang ada termasuk mengenai
catatan sipil, pada hakikatnya bersifat administratif,. Namun, karena sifat
keperdataan yang terkandung dalam pencatatan sipil, praktek pembatasan
dan diskriminatif tersebut mengakibatkan praktek pembatasan dan
diskriminatif hak-hak sipil terhadap WNI.110
Misalnya, seorang WNI Tionghoa diperlakukan diskriminatif, status
perdatanya disamakan dengan seorang WNA RRC, yang hingga saat ini
status kewarganegaraan mereka selalu “dipertanyakan” dalam bentuk
kepemilikan SBKRI sekalipun WNI Tionghoa tersebut sudah menjadi
generasi WNI. “keraguan” status warga negara tersebut mengakibatkan
ketidaksamaan hak-hak sipil dan politik mereka sebagai warga negara
seperti mendapat pembatasan menjadi pegawai pemerintah, mengalami
perlakuan yang berbeda dalam pelayanan publik dan lain-lain.111
Permasalahan serupa dialami oleh WNI yang menganut
agama/kepercayaannya selain lima agama resmi negara. Mereka yang
masuk kedalam kategori ini tidak mendapatkan hak-hak mereka untuk
mendapatkan pelayanan publik pencatatan sipil peristiwa penting dalam
kehidupannya seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kamatian,
109Pri dan Non Pri Mencari Format Baru Pembaruan/editor Moch. Sa‟dun M, (Jakarta,
PT. Cidesindo, 1999) h. 24 110W.D, Soekisman, Masalah Cina di Indonesia, (Jakarta Yayasan Ilmu CV. 1975), h. 57 111Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, h. 163
62
pengangkatan, pengesahan dan adopsi anak, perubahan nama, perubahan
jenis kelamin, serta perubahan kewarganegaraan.
Pada akhirnya diskriminasi yang diterima oleh warga negara yang
tidak memeluk salah satu agama yang diakui negara itu yang terlahir dari
keluarga itu sering dianggap “anak haram” diskriminatif anatara lain
dalam hal kesempatan untuk menjadi pegawai dilembaga pemerintahan,
pendidikan , dan lain-lain. Begitupun halnya mereka yang menikah
berbeda agama/kepercayaan yang seragam, melahirkan sikap kantor
catatan sipil dan kantor urusan agama untuk menolak pernikahan berbeda
agama.
Dalam kontribusi terkini, ternyata pengelolaan sistem dan
manajemen catatan sipil yang berbasis aturan staatsblad tersebut,
mengakibatkan permasalahan diskriminasi terhadap kelompok warga
negara yang lebih luas, terlepas dari apapun etniis dan agamanya. Sudah
banyak diketahui betapa banyaknya WNI yang tidak tercatat dalam
pendaftaran pemilih pemilihan umum 2004. Persepektif catatan sipil yang
selalu ditempatkan dalam kerangka pendaftaran penduduk, akhirnya
membiaskan status perdata penduduk warga negara dan penduduk secara
pasti yang mempunyai hak untuk menjadi pemilih dalam pemilihan umum
2004.
Dalam perkembangannya kebijakan warisan kolonialisme yang
masih diterapkan mengakibatkan implikasi diskriminasi yang semakin
melembaga. Hal tersebut kemudian diikuti dengan askalasi sentimen dan
63
rekayasa politik yang ujung-ujungnya menimbulkan kesemrautan dan
inkonsistensi hukum nasional, permasalahan diskriminasi warga negara
menjadi semakin kompleks.
Dengan kebijakan itu, akan timbul banyak persoalan yang mengarah
pada diskriminasi seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia
(SBKRI) untuk etnis Tionghoa atau pemberantasan pelayanan pencatatan
sipil untuk WNI yang beragama diluar lima agama resmi negara.
Banyaknya permasalahan diskriminasi itu berakar pada kebijakan
segregatif dari peraturan catatan sipil warisan kolonial dan diperparah oleh
beberapa peraturan yang muncul belakangan.
Peraturan diskriminatif yang ada termasuk mengenai catatan sipil
pada hakikatnya bersifat administratif. Namun karena sifat
keperdataanyang terkandung dalam pencatatan sipil, praktek segregatif dan
diskriminasi hak-hak sipil terhadap sebagian WNI.112
Permasalahan diskriminasi etnis WNI Tionghoa di Indonesia adalah
permasalahan kewarganegaraan yang sangat mendasar bagi WNI etnis
Tionghoa, SBKRI bertubi-tubi dipersyaratkan dalam setiap pelayanan
publik seperti dalam permohonan paspor dikantor imigrasi, temasuk
sekolah, pengajuan kredit, pengurusan akte tanah, dan pengurusan KTP.
Kendati sudah dianggap bagian dari Negara Republik Indonesia dengan
penegasan tempat lahir dalam UU Kewarganegaraan yang pertama No. 3
Tahun 1946, keadaan malah menjadi semakin kompleks dengan adanya
112Wahyu Efendi, Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan penghapusan diskriminasi di
Indonesia, (Depok, Komunitas Bambu, 2008) h. 223
64
perjanjian konferensi meja bundar, perjanjian tersebut mengembalikan
status kewarganegaraan dalam pembagian warga negara berdasarkan
penggolongan etnis.113
Dokumen SBKRI untuk WNI Tionghoa, yang dilembagakan dengan
peraturan Kehakiman No. JB.3/4/12, 14 Maret 1978 sebenarnya secara
yuridis sudah dianulir oleh keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 yang
menytakan untuk kepentingan tertentu yang memerlukan kewarganegaraan
RI cukup mempergunakan Keputusan Presiden mengenai pemberian
kewarganegaraan beserta berita acara pengambilan sumpah, KTP atau
Akta Kelahiran, selanjutnya Keppres tersebut ditegaskan kembali
implementasinya dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999.114
Namun kenyataannya resolusi hukum yang sudah ada tentang tidak
berlakunya SBKRI dagi WNI Tionghoa tersebut, tidak diimplementasikan
oleh berbagai oejabat instansi pusat maupun daerah.
113Wahyu Efendi, Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan penghapusan diskriminasi di
Indonesia, h. 226 114Wahyu Efendi, Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan penghapusan diskriminasi di
Indonesia, h. 227
65
BAB IV
MASALAH TIONGHOA DAN JALAN KELUARNYA
A. Merintis Jalan Keluar Pemecahan Masalah WNI Keturunan Tionghoa
Perkembangan hubungan antar golongan mayoritas dan minoritas
yang kini disebut WNI pribumi dan WNI non pribumi,yang tercermin
dalam berbagai keresahan, ketimpangan dan ketidakpastia, bahkan
kadangkala meletus dalam peristiwa-peristiwa rasialisme yang
kebanyakan timbul hanya karena soal sepele.
Inti ketidak serasian hubungan antar golongan yang dalam
ketimpangan diberbagai bidang kehidupan bersama dianggap menjadi
masalah karena melahirkan berbagai kegelisahan, kesulitas, resiko dan
bahayabaik bagi golongan yang bersangkutan maupun bagi masyarakat,
pemerintah, bangsa dan negara, bahkan merupakan ancaman laten
terhadap cita-cita, kepentingan dan kebutuhan nasional; kesatuan dan
persatuan bangsa, ketahan nasional dan kelancaran pembangunan.115
Masalah struktural mengenai sebuah golongan kecil zaman
kolonial dibatasi ruang hidup dan kerjanya pada bidang perdagangan,
etnis Tionghoa mempunyai ciri khas yaitu keuletan, kerja keras,
berhemat, gesit, kreatif disamping kecendrungan aportunisme dan
kemajuannya, faktor-faktor tersebut menghasilkan sukses ekonomi,
115Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 341
66
namun dari itu kesuksesan itu harus dibayar dengan pandangan negatif,
kurang disukai dan irihati dari masyarakat mayoritas dan penguasa.116
Jika ditempatkan dalam lingkup nasional masalah WNI non
pribumi pada hakikatnya merupakan salah satu corak dan bagian dari
masalah pembinaan bangsa. Pemecahan masalah-masalah pembinaan
bangsa terletak pada usaha yang konsekuen, konsisten, dan kontinyu
untuk memperkuat faktor-faktor kebersamaan sebagai sesama bangsa
mempertebal rasa keindonesiaan, semangat dan rasa keasalannya seperti
kejawaannya, kebatakannya, ketionghoaannya, ketimorannya dan
sebagainya. Jalan yang paling efektif sekalipun makan waktu lama
adalah pendidikan baik dirumah tangga maupun disekolah.117
Alangkah baiknya bila pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah
mengenai pembinaan bangsa dapat dirumuskan dan dituangkan dalam
GBHN yang akan datang, antara lain menegaskan: bahwa kesatuan dan
persatuan Indonesia perlu ditingkatkan bahwa semua rakyat mempunyai
dan harus diberi tugas melaksanakan kewajiban, tanggung jawab dan
hak-hak yang sama; bahwa golongan WNI non pribumi adalah bagian
integral dari bangsa dan keluarga besar Indonesia bahwa smua pihak
perlu melaksanakan dan membantu proses pembinaan bangsa termasuk
penyelesaian masalah WNI tersebut;bahwa potensi-potensi positif yang
terdapat pada golongan WNI nonpribumi termasuk totalitas potensi
nasional harus diikutsertakan dan dimanfaatkan secara wajar dan adil
116Amiee Dawis, Ph.Orang Indonesia Tionghoa mencari Identitas¸h. 204 117Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h.344
67
dalam pembangunan nasional, semua rintangan dan hambatan semua
pihak untuk mencapai integritas nasional perlu dihilangkan. Kemudian
dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan dan dituangkan dalam program-
program pembinaan bangsa seperti penerangan, pendidikan, konsultasi
dan komunikasi, penyelesaian status hukum WNI program-program kerja
sama dan pembauran dalam semua bidang kehidupan dan
penghidupan.118
Untuk melaksanakan kebijakan pembinaan bangsa perlu dibentuk
sarana forum komunikasi dan konsultasi yang bersifat tripartite; sarana
operasional berbentuk aparatur pemerintah yang interdepartemental
termasuk unsur ABRI dan sarana-sarana swadaya masyarakat untuk
mengembangkan kerja sama dalam semua bidang sudah tentu dengan
syarat adanya interaksi antara ketiga sarana tersebut.119
Meskipun masalah WNI nonpribumi pelik, rumit dan rawan,
bukanlah bebarti masalah itu tidak terpecahkan dalam rangka nasional
yang penting adanya kemauan politik dan kesadaran serta itikad baik
pada semua pihak.
Ada beberapa hal Untuk memecahkan masalah etnis Tionghoa di
negeri ini yaitu:120
Pertama kebangkitan Tiongkok yang artinya keberhasilan
Republik Tiongkok menaklukan daratan Tiongkok sehingga Tiongkok
118Alfian Hamzah (editor), Kapok jadi NonPri Warga Tionghoa Mencari Keadilan,
(Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 50 119Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h.346 120Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 309
68
akan bersatu kembali dibawah Republik Tiongkok. Jika ini terjadi,
negara-negara lain akan mrncabut kebijakan anti Tionghoa dan
membangun hubungan persahabatan dengan pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengadopsi sebuah kebijakan yang aktif untuk
melindungi kepentingan kalangan Tionghoa, sehingga masalah Tionghao
dapat dipecahkan dengan baik, ini adalah dasar dan cara yang paling
efektif untuk memecahkan masalah Tionghoa.
Kedua, harus berusaha mendekati masyarakat setempat sehingga
mereka akan bersimpati dan memahami etnis Tionghoa. Dengan
demikian negara akan mengubah kebijakan anti Tionghoa dan memakai
angkatan kerja dan modal Tionghoa, masyarakat setempat dan Tionghoa
akan bekeja sama dalam membangun negara untuk memecahkan agresi
Komunis untuk mempertahankan kemerdekaan.
Ketiga, adaptasi masyarakat Tionghoa pada saat ini masyarakat
Tionghoa berada dalam situasi sulit harus tetap tenang dan toleran,
mereka tidak boleh membuat penduduk lokal membenci. Keduanya harus
memperkuat ikatan dengan penduduk setempat dan berpartisipasi dalam
pembangunan sehingga keduanya akan saling menyayangi, hidup dalam
harmoni dan akan menimbulkan kerjasama yang tulus.
Yang disebut diatas adalah cara untuk memecahkan masalah
Tionghoa, negara harus bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan
pertama, kedua, sedangkan tujuan ketiga tergantung pada kebijakan dan
berbagai upaya kalangan Tonghoa perantauan di berbagai tempat.
69
Adapun tindakan pemerintah untuk memecahkan masalah etnis
Tionghoa adalah:121
Pertama, selama revolusi fisik pemerintah dengan tegas mengecam
segala tindakan kekerasan yang telah terjadi dan riil memberi bantuan
kepada para korban kekerasan dan operasi-operasi militer.
Kedua, atas dasar pandangan yang realistis dan praktis pemerintah
RI mencoba memikat kesetiaan sebanyak mungkin dan menjadikan
mereka sebagai bagian masyarakat Indonesia yang berfaedah.
Ketiga, undang-undang kewarganegaraan 1946 dimaksudkan untuk
menarik etnis Tionghoa. Namun politik ini tidak selalu diwujudkan
dalam praktik, terutama oleh pejabat-pejabat rendahan RI, kaum
Tionghoa peranakan sering disamakan kaum totok (asing). Ini
membahayakan politik menarik hati.
Keempat, sejak 27 Desember 1949 (KMB) berbagai upaya
dilakukan untuk menjernihkan status kewarganegaraan golongan
pranakan, untuk menjadikan mereka WNI secara pasif (UU 1946-KMB
1949 s/d 1951) akhirnya diubah menjadi politik pemilihan
kewarganegaraan secara aktif (1962)
Kelima, kedudukan kewarganegaraan sudah jelas dan asimilasi
menjadi politik resmi pemerintah RI.
Untuk mencapai itu semua diperlukan dialog unutk menciptakan
dan disuburkan kesempatan-kesempatan disegala bidang, disekolah-
121Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h.326
70
sekolah, di bidang usaha, bisnis, dalam kehidupan sehari-hari, agar orang
nonpribumi dan pribumi bertemu dan berdialog.
Dibidang pendidikan harus dilaksanakan secara konsisten terus
menerus usaha pembauran, usaha mencari sistem pendidikan yang
melancarkan proses integrasi dan asimilasi. Ini semua demi generasi
yang akan datang dan merupakan suatu “long term program” untuk
national building Indonesia.
Dalam bidang ekonomi harus dimulai untuk mencari dan
melaksanakan suatu sistem dan usaha yang konsisten untuk
menghilangkan kesan, kenyataan, seolah olah ekonomi kuat dan
golongan ekonomi lemah jatuh bersamaan dengan golongan nonpribumi
dan golongan pribumi.
B. Masalah Tionghoa dalam Rangka Stabilitas Politik
Keadaan etnis Tionghoa selalu diwarnai berbagai macam peristiwa
yang menarik untuk diamati di ranah politik Indonesia dan tiap orde
pemerintahan Indonesia. Hal ini tentu saha berdampak pada sikap dan
prilaku elit politk etnis Tionghoa dari masa ke masa, baik masa kolonial,
orde lama, orde baru, hingga berakhir orde reformasi.
Etnis Tionghoa menempuh cara politik yang berbeda-beda dalam
mencapai tujuannya, ketika Indonesia memasiki msa reformasi, corak
aktivisme politik menjadi fenomena baru. Dua cara yang dipakai oleh
71
etnis Tionghoa adalah gerakan tuntutan untuk mendapatkan hak-hak
konstitusional dan keterlibatan dalam pemilu.122
Dalam perkembangan politik mutahir definisi identitas Tionghoa
yang mengacu pada totok da peranakan tentu tidak lagi relevan,
pencarian identitas diluar pemilihan tersebut menjadi penting untuk
ditelusuri. Berkaitan dengan orientasi dan strategi politik, perkembangan
mutakhir memungkinkan terjadinya reorientasi politik.123
Secara politis, partisipasi Tionghoa bertujuan untuk mendorong
perubahan aturan-aturan yang dianggap diskriminatif, sementara secara
ekonomi keterlibatan politik etnis Tionghoa sebagai alat kontrol berbagai
kebijakan dari dekat. Partisipasi ini berpotensi mebuka kembali politik
persahabatan yang berkembang di masa Orde Baru.
Masalah Penting dalam stabilitasi politik pada masalah Tionghoa
merupakan salah satu warisan kolonialisme dari zaman lampau, tuduhan
tuduhan dari zaman lampau. Tuduhan-tuduhan yang terberat adalah
bahwa golongan bersifat eksklusif tidak menginginkan asimilasi dengan
pribumi dan yang secara sadar atau tidak sadar mengadakan identifikasi
dengan negara leluhurnya.124
122http://bangka.tribunnews.com/2011/10/10/wajah-baru-politik-tionghoa, diakses pada
tanggal 20 Mei 2018 pukul 13.45. 123http://bangka.tribunnews.com/2011/10/10/wajah-baru-politik-tionghoa, diakses pada
tangal 20 Mei 2018 pukul 13.55 124Leo Suryadinata,Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 311
72
Menurut pandangan Ong Hok Ham125
salam satu sejarawan
terkemuka di indonesia, dimana ia menyebutkan, “masyarakat Tionghoa
bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir
seperti kepulauan Indinesia”. Pandangan umum terhadap etnis Tionghoa
di Indonesia yang notabene adalah keturunan Tionghoa memiliki
pandangan yang beragam dimasyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari sisi stereotip yang melekat dalam etnis Tionghoa yang identik
dengan penguasaan sumber ekonomi, individualis, yang kuat dan
rendahnya perhatian terhadap politik ataupun alienasi terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan politik praktis.
Dewasa ini setelah era reformasi berjalan hingga 13 tahun lebih,
idealnya etnis Tionghoa sudah optimal dalam hal eksistensi di bidang
politik, hal ini dapat dilihat dari ebrbagai macam etnis Tionghoa yang
terlibat dalm struktur kepengurusan partai politik, menduduki jabatan
eksekutif maupun legislatif baik dari tingkat nasional dan daerah. Hal ini
tentu menjadi golongan menengah etnis Tionghoa yang di sebut sebagai
elit etnis Tionghoa di bidang politik.126
Pasca reformasi dan lengsernya presiden Soeharto, masyarakat
Indonesia telah memulai babak baru dalam sistem pamerintahan dan
politik dengan menciptakan perubahan menjadi lebih demokratis. Hal ini
125Suhardinata, Dr, Ir, Justian, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan
Politik Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 9 126Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca-Suharto Budaya, Politik dan Media, h.
259
73
dapat dilihat dari adanya daerah diberikan kemampuan untuk pemilukada
hingga hingga pemilihan DPRD secara langsung.127
Sepanjang legislatif dan pimilihan Presiden mencatat beberapa
perkembangan selama pemilu legislatif sejumlah media mencatat ada 150
calon legislatif Tionghoa meskipun pada akhirnya hanya sebagian kecil
yang berhasil mendapatkan kursi.128
Di tahun 2009 orang Tionghoa diberi hak langsung untuk memilih
calon DPR dari tingkat pusat hingga daerah secara langsung. Hal ini
tentu memberikan kemudahan dan tantangan bagi etnis Tionghoa untuk
dapat memberi daya imajinasi dengan kekuatan modal politik dan modal
sosial yang dimiliki untuk mendapat kekuasaan dan menjadi elit politik
di tingkat legislatif maupun eksekutif.129
Ditengah perkembangan demokrasi politik Indonesia saya berharap
banyak partisipasi politik etnis Tionghoa dapat memberikan warna baru
dalam proses pencerahan dan pendidikan politik, etnis Tionghoa
memiliki kemampuan finansial dan intelektual yang relatif baik dengan
harapan dapat memberi karakter kuat dalam vivi baru reformasi politik.
Namun alih-alih berharap partisipasi mereka dapat berkontribusi positif
sepanjang pilitisi yang mengaku pribumi juga masih kerap
mempertontonkan pragmatisme dan oportunisme. Reformasi politik tidak
boleh dipahami sebagai pekerjaan primordial dan sentimental.
127Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, h. 315 128Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca-Suharto Budaya, Politik dan Media, h.
260 129
74
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan peneliti adalah
sebagai berikut:
Sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Indonesia tidak ada catatan yang
pasti, kapan tepatnya orang-orang Tionghoa untuk pertama kali datang ke
Nusantara, namun seiring berkembangnya waktu, gelombang kedatangan besar-
besaran orang Tionghoa ke Indonesia diperkirakan terjadi pada abad XVI
khusunya di Pulau Jawa. Saling berinteraksi antar Tionghoa dan pribumi
merupakan hal yang sangat bagus, proses interaksi serta asimilasi etnis Tionghoa
dan masyarakat pribumi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain faktor
pendukung adanya asimilasi, toleransi, sikap menghormati serta terjadinya kawin
campur.
unsur-unsur budaya antara masyrakat pribumi dan orang Tionghoa
diantaranya dalam bahasa, sistem teknologi, serta mata pencahariannya.
Sementara itu, proses Islamisasi dikalangan etnis Tionghoa dipengaruhi karena
proses interaksi antar etnis Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan pribumi
setempat yang beragama Islam. Ini merupakan salah satu strategi untuk berbaur
dengan masayarakat setempat. Meskipun ada juga etnis Tionghoa beragama Islam
datang dari negeri Cina adalah bertujuan untuk menyampaikan agama Islam atau
berdakwah ada juga yang berdagang.
75
Pada masa presiden Soekarno tahun 1959-1960 etnis Tionghoa sungguh
terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis, pengejaran terhadap orang-
orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta
pengembangan politik anti Tionghoa pada tahun 1956.
Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No10/1959 yang isinya
menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing ditingkat desa
tidak diberi izin lagi setelah 31 Desember 1959. Peraturan ini ditujukan pada
pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang
melakukan usaha tingkat desa. Sebagai akibat dari PP No. 10/1959, selama tahun
1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia
dan secara tipikal mereka mengalami banyak kesengsaraan. Di satu pihak karena
intrik-intrik politik negara Indonesia dan Tiongkok dan dilain oihak meningkatnya
teror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia.
Pada dasarnya Orde Baru, pemerintahan Indonesia sedikit berpihak pada
Etnis Tionghoa. Terutama dalam bidang ekonomi dan budaya, karena
pemerintahan Orde Baru menginginkan adanya legitimasi terhadap keberhasilan
dalam bidang pembangunan ekonomi. Pemerintahan Orde Baru lebih memilih
merangkul dalam bidang ekonomi, namun tetap mencurigai dan mengawasi
mereka dalam bidang politik
Pada tanggal 7 Juni 1967, Suharto mengeluarkan Surat edaran “Kebijakan
Pokok Penyelesaian Masalah Cina” yang isinya menyatakan bahwa etnis
Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan
76
perlindungan atas kehidupan, kepemikikan, dan usaha. Surat edaran ini ditidak
lanjuti dengan keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan
bahwa Pemerinta tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa
WNI.130
Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilh untuk
mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa dan melakukan berbagai usaha
untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Memasuki era reformasi 1998, merupakan kabar gembira bagi etnis
Tionghoa sekaligus bisa menghirup kebebasan. Bagi orang-orang Cina peranakan
yang tinggal menetap turun temuun di Indonesia yang memperjuangkan agar tidak
lagi disebut dengan Tionghoa, melainkan dengan sebutan orang Tionghoa.
Disamping itu ada alasan hak asasi manusia dan sikap non diskriminasi, sejak
masa pemerintahan B.J. Habibie melalui intruksi Presiden No.26 Tahun 1998
tentang penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, seluruh
aparatur pemerintahan telah diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah
tersebut.
Ketika Abdurahman Wahid menjabat sebagai Presiden dengan wawasan
kebangsaannya, dan adanya kesempatan dan kekuatan selaku Presiden, kemudian
mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Inpres No 14 tahun 1967 yang
dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru yang berisi apapun bentuk ekspresi
keagamaan dan adat istiadat Tionghoa dimuka umum, dan termasuk pelarangan
bagi semua tempat usaha kelompok etnis Tionghoa, seperti toko, pabrik, dan
sebagainya untuk tutup pada ahri raya Imlek, dengan mengeluarkan pengumuman
77
bahwa tahun baru Imlek juga menjadi hari libur Fakultatif yaitu hari libur untuk
penganut agama yang merayakan hari raya.
Di masa reformasi, eksistensi Tionghoa kemudian dipulihkan kembali 3
pilar utama yang telah diruntuhkan pada masa Orde Baru yaitu Organisasi
Kemasyarakatan Tionghoa, media masa berbahsa Cina, sekolah berpengantar
bahasa Cina. Masyarakat Tionghoa kemudian membentuk partai berbasis etnis
dan tercatat sebagai partai yang aktif masa tersebut yaitu partai reformasi
Tionghoa Indonesia. Partai pembaruan Indonesia dan Partai Bhineka Tunggal Ika
sebagai Tokoh Tionghoa yang sejak awal tidak setuju dengan berdirinya partai
etnis memilih bergabung dengan partai bentukan masyarakat Indonesia non
Tionghoa atau mendirikan organisasi masa yanglebih berfungsi sebagai presure
group. Ini dapat dimaknai bahwa etnis Tionghoa adalah masyarakat tidak
homogen, tetapi multi etnik dan budaya multi budaya yang memiliki orientasi
politik sebagai cerminan orientasi budaya yang berbeda-beda dan beragam.
Memang dalam kenyataan akibat politik asimilasi tersebut orang
keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan buktinya
tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap Cina. Penyebabnya
adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan
hukum, sebagai contoh saya adalah keturunan Tionghoa yang sampai pada masa
reformasi adalah penganut politik pembaruan yang diasimilasi, tapi sejak
mengalami kejadian yang bersifat shock therapy, saya telah beralih ke politik
pembaruan yang bersifat integrasi yang sinergis.
78
Namun kondisi politik setelah kemerdekaan tidak mnguntungkan bagi
orang Tionghoa, kuatnya desakan pemerintah Orde Baru untuk membaur orang
Tionghoa ke dalam kelompok pribumi, dan ditambah lagi dengan dikeluarkan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18
November 1978 yang menyebutkan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah
adalah Islam, Katoli, Hindu, dan Buddha, maka mulai saat itu agama Khonghucu
menjadi kurang Jelas statusnya di Indonesia, serta banyak penganut pindah ke
agama lain seperti Kristen, Katolik, dan Buddha. Atas dasar itulah perlu kiranya
diketahui latar belakang bangkitnya agama Khonghucu serta perkembangan dari
tahun 1900 sampai dengan sekarang. Sehubungan dengan itu, besar dugaan bahwa
bangkitnya agama Khonghucu di Indonesia dipelopori oleh organisasi Tionghoa
Hwe Koan yang di singkat THHK
Peraturan Pemerintah No. 10/1959 tentang larangan bagi orang Tionghoa
(WNA) untuk berdagang eceran di tingkat kabupaten kebawah saat itu masih
banyak orang Tionghoayang Dwi Kewarganegaraan, walaupun lahir dan besar di
Indonesia, diperkirakan ada 25.000 toko berada dalam ketegori pedagangan
eceran peraturan ini dijalankan dengan kekerasan oleh militer dan lebih dari
130.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia, dan sistem perekonomian pun
menjadi kacau-balau.
Diskriminasi dan restriksi dalam agama semakin kelihatan dengan
munculnya penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 (juncto UU No. 5 Tahun 1969
tentang Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama yang
79
ditandatangani oleh Soekarno.131
Kebijakan politik “identitas agama sebagai
bagian dari “identitas keindonesiaan” terus menguat seiring dengan menguatnya
konsolidasi politik otoritarian Orde Baru. Hal ini tidak ubahnya seperti cek
kosong yang memberikan porsi yang sangat besar bagi rezim untuk meregulasikan
agama sampai ke akar-akarnya.
Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada
keragaman etnis saja.Dalam berpolitik etnis Tionghoa di Yogyakarta mulai
tumbuh, munculnya etnis Tionghoa yang terjun langsung ke dunia politik
membuktikan bahwa sudah tidak lagi canggung dalam bergerak di dunia politik.
Sebagai orang Tionghoa Indonesia menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk
membongkar stereotip etnis Tionghoa sebagai apolitis sebagai binatang ekonomi
adalah melalui aktivisme politik, pemerintah membuka peluang bagi etnis
Tionghoa untuk menjadi lebih sepenuhnya terintegrasi ke dalam semua segi
kehidupan politik Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang penulis kerjakan, maka selajutnya dan
lembaga dari penulis baik untuk etnis Tionghoa. Penelitian selanjutnya dan
lembaga MATAKIN maupun fakultas Ushuluddin lebih khusu program
sudi agama-agama.
1. Etnis Tionghoa
a. Etnis Tionghoa sangat menekankan terhadap pendangan
diskriminasi kemanusiaan, semoga tidak ada lagi yang namanya
80
diskriminasi di negeri ini dan masyarakat pribumi dan non
pribumi harus bersikap toleransi di lingkungan masyarakat
b. Meskipun dibeberapa kejadian yang di alami oleh etnis Tionghoa
dipemerintahan masih sikap intoleran terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia, tetapi hal tersebut semoga tidak menyurutkan sikap
cinta terhadap negara Indonesia.
2. Peneliti selanjutnya
a. Masih banyak diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa yang belum
diteliti. Penulis hanya meneliti dari segi pandangannetnis Tionghoa
terhadap diskriminasi kemanusiaannya dan peran dari pemerintah
mengatasi diskriminasi terhadap kaum minoritasnya saja, jadi bisa
menjadi bahan penelitian selanjutnya, agar dapat menjadi wawasan
keilmuan terutama prodi studi agama-agama.
b. Referensi mengenai diskriminasi terhadap etnis Tionghoa bisa
didapatkan melalui lembaga MATAKIN atau Litang Bio
Tangerang.
3. Fakultas Ushuluddin
Lebih diperbanyak lagi referensi mengenai etnis Tionghoa, karena
untuk referensi etnis Tionghoa terbilang masih sedikit.
81
Daftar Pustaka
Asto, Swia, Hadian, Nurmawati, Ema, Buku saku Pembinaan dan
Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta, Kementrian Republik
Indonesia, 2013.
Coppel, A, Charles. Tionghoa Indonesia Dalam krisis, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 1994.
Drs. U. Maman Kh., M.Si. dkk, “metodelogi penelitian agama teori dan
praktik”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Dwipayana, G. dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan
Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.1989
Hoon, Chnang-Yau. Identitas Tionghoa Pasca Suharto- budaya, politik,
dan media, Jakarta, Yayasan Nabil LP3ES, 2012. Hoay, Tek, Kwee, (Terj. Lea E.
Williams), The Priging Of The Modern Chinese Movement In Indonesia, Ithaca,
Cornel Modern In Indonesia Project, 1969.
Ibad, MN, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia,
Yogyakarta:LKiS Printing Cemerlang 2012.
Indarto, Ws, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia
Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Jakarta, Matakin, 2010.
Jahya, Junus, H. Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Intergrasi,
Jakarta: Lembaga Pengkajian masalah Pembaruan, 1999.
82
Justian, Suhardinata, Dr. Ir, WNI keturunan Tionghoa dalam Stabilitas
Ekonomi dan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Martosidiro, Marto, Penyelesaian Masalah Cina perantauan, Prisma,
Jakarta, No. 3 Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi 1973.
Marzani, Amri, Hubungan Sosial Cina-Pribumi jurnal penelitian Sosial,
penerbitan Khusus, Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, 1975.
Ph.D, Amiee, Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Poerwanto, Hari, Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunias
Bambu, 2005.
Ropi, Ismatu, Hak-hak Minoritas, Negara, dan Regulasi Agama, Titik
Temu Jurnal Dialog Peradaban Volume 1, AF, Fikri, Ahmad, Ibad, MN, Bapak
Tionghoa Indonesia, Yogyakarta, PT. LKIS Printing Cemerlang 2012.
Setiawan, E, Tahun Baru Imlek, Marga dan Istilah Warga Tionghoa,
Semarang, Yayasan Widya Menggala Indonesia, 2012.
Setiopno, Benny,Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Trans Media
Pustaka, 2008.
Situbuana, Penyelesaian Masalah Diskriminasi Terhadap Etnis Cina,
Jakarta, Konpress, 2014.
Soekisman, W.D, Masalah Cina di Indonesia, Jakarta, Yayasan Ilmu CV. 1975
83
Suryadinata,Leo Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia, terjemahan
Dede Oetomo, Jakarta:PT. Gramedia, 1988.
Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta:Pustaka LP3ES
Indonesia 2002.
Suryadinata, Leo, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002,
Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Tanggok, Ikhsan, M, Mengenal Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta,
Pelita Kebijakan, 2005.
Tundjung, Herning, Sitabuana, Penyelesaian Masalah Diskriminasi
terhadap Etnis Cina, Jakarta: onpress, 2014.
Yahya, Junus, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi dan Integrasi,
Jakarta,, Lembaga Pengkajian Masalah Pembaruan, 1999.
Link Internet
http//Kakarisah Wordpress.com, Perkembangan Etnis Tionghoa di
Indonesia dari Masa ke Masa, Diakses pada tanggal 24 Juli 2018 Pukul 14.50.
http/www.Tionghoa. Info/Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada
Masa Orde Lama dan Orde Baru, di Kases pada tanggal 23 Juli 2018 pukul 10.00.
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Presiden_Nomor_10_tahun_1959.
Diakses pada tanggal 24 Juli 2018 pukul 14.02
84
http//www.KeadilanHAMBagi Kaum Tionghoa KOMPASIANA.com.htm
diakses pada tanggal 10 Juni 2018 pukul 10:49.
Leo Suryadinata http// www.Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia
Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Tionghoa.htm. diakses pada tanggal 10
Juni 18 pukul 12:21.
LeoSuryadinatahttp/www.ijil.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/3464/
2744 diakses pada tgl 24 Juli 2018 jam 13.21
https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLpdiakses
pada tanggal 24 Juli 2018 Pukul 14:00
Top Related