KAJIAN SISTEM MANAJEMEN TERPADU (ISO 9001:2000 DAN ISO
22000:2005) DI PERUSAHAAN GULA RAFINASI MELALUI MAGANG
DI PERUSAHAAN JASA KONSULTASI, PREMYSIS CONSULTING,
JAKARTA
HANS PUTRA KELANA
F24104051
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KAJIAN SISTEM MANAJEMEN TERPADU (ISO 9001:2000 DAN ISO
22000:2005) DI PERUSAHAAN GULA RAFINASI MELALUI MAGANG
DI PERUSAHAAN JASA KONSULTASI, PREMYSIS CONSULTING,
JAKARTA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
HANS PUTRA KELANA
F24104051
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
HANS PUTRA KELANA. F24104051. Kajian Sistem Manajemen Terpadu (ISO
9001:2000 dan ISO 22000:2005) di Perusahaan Gula Rafinasi Melalui Magang di
Perusahaan Jasa Konsultasi, Premysis Consulting, Jakarta. Di bawah bimbingan
Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Tjahja Muhandri, MT.
ABSTRAK
Isu keamanan pangan kerap menjadi sesuatu yang disepelekan perusahaan
pangan tetapi akan berdampak besar ke bisnis perusahaan tersebut jika sampai
terjadi. Jaminan keamanan pangan merupakan persyaratan dasar untuk seluruh
aktivitas yang meliputi rantai pangan, seperti produksi, distribusi, sampai
konsumsi. Selain itu, setiap orang adalah pelanggan yang sangat mencari dan
menghargai mutu dari sebuah produk. The International Organization for
Standardization (ISO) menjawab kebutuhan perusahaan tersebut dengan
mengeluarkan produk berupa sistem manajemen mutu (ISO 9001:2000) dan
sistem manajemen keamanan pangan (ISO 22000:2005).
Kegiatan magang ini memiliki enam tujuan yang sistematis. Tujuan tersebut
yaitu: (1) mempelajari Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), standar
sistem manajemen ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005, (2) melakukan
identifikasi kesesuaian dan menganalisis ketidaksesuaian sistem manajemen
terpadu milik perusahaan gula rafinasi dengan standar mutu dan keamanan pangan
internasional ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005, (3) melakukan pemeriksaan
ketidaksesuaian implementasi sistem manajemen terpadu yang ada di perusahaan
gula rafinasi dengan acuan standar mutu (ISO 9001:2000) dan keamanan pangan
(ISO 22000:2005), (4) menyusun solusi alternatif bagi ketidaksesuaian
implementasi sistem manajemen terpadu milik perusahaan gula rafinasi, (5)
melakukan verifikasi keberhasilan solusi alternatif yang diberikan, dan (6)
memberikan solusi alternatif tahap kedua atas ketidaksesuaian yang ditunjukkan
hasil verifikasi. Melalui tujuan-tujuan tersebut diharapkan tulisan ini dapat
digunakan sebagai salah satu sumber informasi dan pembelajaran praktis bagi
akademisi maupun praktisi industri pangan dalam mengenal sistem manajemen
terpadu berbasis ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.
Pelaksanaan magang dilakukan di tiga tempat. Tempat pertama di Perusahaan
Jasa Konsultasi, Premysis Consulting, Jakarta. Tempat kedua di kantor pusat PT
Gula Rafinasi A, Jakarta. Tempat ketiga di pabrik PT Gula Rafinasi A, Cilegon.
Secara garis besar, pelaksanaan magang dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu
kajian sistem HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005, tinjauan umum
perusahaan tempat magang, dan kajian penerapan sistem manajemen terpadu (ISO
9001:2000 dan ISO 22000:2005) di perusahaan gula rafinasi.
Hasil analisis HACCP, ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 menunjukkan
keterkaitan antara ketiga sistem ini. HACCP merupakan sistem analisa bahaya
yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan titik-titik kritis di dalam proses
pangan. ISO mengintegrasikan HACCP ke dalam ISO 22000:2005 dan
menjadikannya sebagai salah satu elemen kunci penerapan ISO 22000:2005. ISO
9001:2000 dan ISO 22000:2005 memiliki keterkaitan berupa perbedaan dan
persamaan sistem ini bagi sebuah organisasi. Kelima bagian utama pada ISO
9001:2000 dan ISO 22000:2005 yang dapat diintegrasikan adalah saasaran dan
kebijakan, wakil manajemen, pengendalian dokumen dan catatan, audit, dan
tinjauan manajemen.
Kajian tahap pertama sistem manajemen terpadu di PT Gula Rafinasi A
dengan menggunakan tabel ketidaksesuaian menunjukkan PT Gula Rafinasi A
masih belum memenuhi persyaratan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 secara
penuh. Hasil identifikasi menunjukkan terdapat 4 ketidaksesuaian sistem
manajemen mutu berdasarkan ISO 9001:2000. Selain itu, hasil identifikasi
menunjukkan 5 ketidaksesuaian sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan
ISO 22000:2005.
Ketidaksesuaian yang ada berusaha diselesaikan dengan penyusunan solusi
alternatif bersama antara tim konsultan Premysis dengan tim mutu dan keamanan
pangan PT Gula Rafinasi A. Solusi alternatif yang telah disusun dicoba
diimplementasikan dan diamati tiga bulan berikutnya. Setelah tiga bulan,
dilakukan verfikasi sistem manajemen terpadu PT Gula Rafinasi A. Solusi
alternatif yang disusun mampu menyelesaikan 4 ketidaksesuaian sistem
manajemen mutu dan 3 ketidaksesuaian manajemen keamanan pangan. Selain itu,
hasil verifikasi menunjukkan terdapat 2 ketidaksesuaian manajemen keamanan
pangan yang baru teridentifikasi di pabrik PT Gula Rafinasi A. Selanjutnya, solusi
alternatif tahap kedua disusun untuk menyelesaikan 2 ketidaksesuaian lama dan 2
ketidaksesuaian baru untuk sistem manajemen keamanan pangan. Secara
keseluruhan, PT Gula Rafinasi A telah menerapkan sistem manajemen terpadu
berbasis ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu keamanan pangan kerap menjadi sesuatu yang disepelekan
perusahaan pangan tetapi akan berdampak besar ke bisnis perusahaan tersebut
jika sampai terjadi. Jaminan keamanan pangan merupakan persyaratan dasar
untuk seluruh aktivitas yang meliputi rantai pangan, seperti produksi,
distribusi, sampai konsumsi. Hal ini menjadi perhatian karena setiap orang
memiliki hak yang sama untuk mengkonsumsi pangan yang aman bagi
kesehatannya. Selain itu, setiap orang adalah pelanggan yang sangat mencari
dan menghargai mutu dari sebuah produk.
Perusahaan yang baik akan berusaha menjaga dan meningkatkan mutu
produk sesuai yang diharapkan konsumennya. Kepuasan pelanggan adalah
ukuran yang penting bagi perusahaan dalam menjaga bisnisnya dan
melakukan siklus perbaikan berkelanjutan. Perbaikan secara berkelanjutan,
peningkatan kinerja dan mutu, dan pelaksanaan bisnis dengan jaminan
keamanan pangan merupakan kebutuhan bagi setiap perusahaan pangan saat
ini.
The International Organization for Standardization (ISO) menjawab
kebutuhan perusahaan tersebut dengan mengeluarkan produk berupa sistem
manajemen mutu (ISO 9001:2000) dan sistem manajemen keamanan pangan
(ISO 22000:2005). ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 adalah perangkat
sistem manajemen yang memberikan jaminan proses terkendali, dinamis, dan
terstandarisasi internasional yang efektif dalam meningkatkan kinerja dan
keuntungan perusahaan.
ISO mengadopsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) ke
dalam ISO 22000:2005. Hal ini dikarenakan HACCP telah diakui sebagai
perangkat yang efektif untuk mengendalikan keamanan pangan. Pengetahuan
tentang HACCP, khususnya terkait 12 langkah penerapan meliputi 7 prinsip
telah diperkenalkan secara luas pada praktisi industri pangan di berbagai
belahan dunia. Penerapan HACCP bisa diterapkan di dalam rantai produksi
pangan, mulai dari produsen utama bahan baku pangan (pertanian),
penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran, sampai dengan pengguna
akhir.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pelaksana magang berusaha
membantu menyediakan informasi pembelajaran memadukan penerapan ISO
9001:2000 dan ISO 22000:2005 dalam industri pangan bagi pihak lain yang
membutuhkan seperti praktisi industri maupun akademisi. Penerapan sistem
manajemen yang terstandarisasi dan efektif merupakan kebutuhan bagi semua
pihak yang terlibat dalam perusahaan pangan. Melalui laporan kegiatan
magang ini diharapkan dapat menumbuhkan cara berpikir baru bagi setiap
orang yang ingin tahu mengenai penerapan standar internasional di dalam
perusahaan pangan.
B. Tujuan
Tujuan dilakukan kegiatan magang di PT Premysis Consulting, Jakarta
adalah (1) mempelajari HACCP, standar sistem manajemen ISO 9001:2000
dan ISO 22000:2005, (2) melakukan identifikasi dan analisis ketidaksesuaian
sistem manajemen terpadu milik perusahaan gula rafinasi dengan standar
mutu dan keamanan pangan internasional ISO 9001:2000 dan ISO
22000:2005, (3) melakukan pemeriksaan ketidaksesuaian implementasi sistem
manajemen terpadu yang ada di perusahaan gula rafinasi dengan acuan
standar mutu (ISO 9001:2000) dan keamanan pangan (ISO 22000:2005), (4)
menyusun solusi alternatif bagi ketidaksesuaian implementasi sistem
manajemen terpadu milik perusahaan gula rafinasi, (5) melakukan verifikasi
keberhasilan solusi alternatif yang diberikan, dan (6) memberikan solusi
alternatif tahap kedua atas ketidaksesuaian yang ditunjukkan hasil verifikasi.
C. Manfaat
Manfaat hasil laporan magang ini adalah sebagai salah satu sumber
informasi dan pembelajaran praktis bagi akademisi maupun praktisi industri
pangan dalam mengenal sistem manajemen mutu dan keamanan pangan
berstandar internasional, ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Manajemen Mutu
Juran di dalam Muhandri dan Kadarisman (2008) mendefinisikan mutu
sebagai fitness for use (kecocokan atau kelayakan untuk digunakan). Hal ini
dapat diartikan penggunaan akan barang atau jasa sesuai dalam pemenuhan
kebutuhan konsumennya. Penjelasan fitness for use oleh Juran dapat dikaji
menjadi dua bagian, yaitu quality of design (mutu rancangan) dan quality of
conformance (mutu kesesuaian). Quality of design disebut sebagai mutu
absolut artinya mutu yang direncanakan. Bila biaya untuk menaikkan mutu
ini ditingkatkan maka dapat meningkatkan nilai jual lebih tinggi. Quality of
conformance merupakan tingkat kesesuaian produk atau jasa terhadap
rancangan yang sudah dibuat. Tingkat kesesuaian yang tinggi akan
menurunkan biaya produksi per unit produk.
Ada dua unsur mendasar tentang mutu, yaitu pengalaman pelanggan
dalam mengenal mutu dan kreatifitas produsen mengenai mutu (Kolarik,
1999). Saat pelanggan melakukan pilihan, secara tidak sadar dirinya
membentuk pengertian mutu. Kepuasan pelanggan menggunakan sebuah
produk baik barang maupun jasa akan selalu diukur oleh dirinya sendiri yang
nantinya akan menjadi sebuah ingatan dan pengalaman dalam menentukan
pilihan produk selanjutnya. Bagi pihak produsen, pengalaman-pengalaman
konsumen tersebut merupakan kumpulan atribut berharga yang sebisa
mungkin dipenuhi agar produk yang dijual sesuai mutu yang ada di
pengalaman konsumen.
Produk pangan merupakan komoditas yang tidak terlepas dari konsep
mutu. Berbagai atribut mutu yang melekat pada produk pangan seperti rasa,
aroma, warna, tekstur, harga, dan sebagainya, merupakan faktor penentu bagi
konsumen dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu, perusahaan pangan
harus mampu secara nyata meningkatkan mutu produknya untuk memberikan
kepuasan dan kepercayaan konsumen.
Seiring perjalanan waktu, tidak jarang perusahaan-perusahaan lalai dalam
mengendalikan mutu produknya. Pengendalian mutu menurut Juran (1995),
merupakan proses yang digunakan untuk membantu pencapaian produk dan
proses sesuai dengan tujuan. Kegiatan pengendalian mutu mencakup: 1)
menilai kinerja operasi yang aktual, 2) membandingkan dengan tujuan
(standar) dan 3) mengambil tindakan jika terdapat perbedaan. Melalui
pengendalian mutu, sebuah perusahaan selain mampu mengendalikan biaya
dalam kegiatan operasional juga mampu bertahan dalam persaingan usaha
dari kompetitornya.
Kendala yang umum terjadi di dalam perusahaan yang belum atau tidak
memiliki sistem di dalamnya adalah ketergantungan pada pihak tertentu yang
menguasai konsep dan pengendalian mutu. Pengendalian disertai peningkatan
mutu yang dilakukan berkesinambungan memerlukan sebuah sistem yang
mampu mengaturnya. Sistem ini akan membantu perusahaan mampu
mengendalikan mutunya walaupun pihak yang selama ini ahli dalam
melakukan pengendalian mutu, tidak lagi berada di perusahaan tersebut.
B. Standar Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000
ISO 9001:2000 adalah sebuah standar internasional yang dibuat oleh The
International Organization for Standardization (ISO) untuk memberikan
panduan, arahan, dan acuan sistem manajemen mutu di dalam organisasi.
Pengadopsian sistem manajemen mutu hendaknya merupakan keputusan
strategis dari suatu organisasi. Perancangan dan penerapan dari sistem
manajemen mutu organisasi dipengaruhi oleh kebutuhan yang bervariasi,
tujuan tertentu, produk yang disediakan, proses yang digunakan, serta ukuran
dan struktur dari organisasi (ISO, 2000).
Menurut ISO (2008), ISO 9001:2000 memiliki delapan prinsip dalam
memberikan standar sistem manajemen mutu, yaitu:
1) fokus ke pelanggan,
2) kepemimpinan,
3) pelibatan semua pihak,
4) pendekatan proses,
5) pendekatan sistem ke manajemen,
6) perbaikan berkelanjutan,
7) pendekatan faktual untuk pengambilan keputusan, dan
8) hubungan saling menguntungkan dengan pemasok.
Kedelapan prinsip tersebut menyediakan kerangka bekerja yang ilmiah dan
sistematis bagi manajer senior untuk menjalankan organisasinya menuju
peningkatan kinerja. Prinsip-prinsip tersebut berguna dalam meningkatkan
mutu suatu organisasi dan melibatkan seluruh pihak yang terkait di dalamnya.
Penerapan ISO 9001:2000 tidak terlepas dari pentingnya penerapan
standar. Standar memberikan kontribusi positif yang besar hampir di setiap
aspek kehidupan. Menurut ISO (2008), standar memastikan karakteristik
yang diinginkan untuk produk dan jasa seperti mutu, keramahan lingkungan,
keamanan, keterandalan, efisiensi dan pertukaran, serta biaya ekonomis. Jika
standar tidak muncul dalam suatu hal, baik itu produk maupun proses, hal ini
dapat segera diketahui.
Standar sistem manajemen mutu yang terdapat dalam ISO 9001:2000
memiliki tatanan yang ilmiah dalam pengaturan proses yang terdapat dalam
organisasi. Standar internasional ini mengutamakan pendekatan proses dalam
memberikan arahan untuk menyusun sistem manajemen mutu yang efektif.
Hal ini penting, karena syarat sebuah organisasi berjalan efektif, maka
organisasi tersebut harus mampu mengidentifikasi dan mengelola sejumlah
kegiatan yang saling berhubungan. Kegiatan yang menggunakan sumberdaya
dan dikelola untuk memungkinkan perubahan masukan menjadi keluaran
dapat dianggap sebagai proses.
Keuntungan yang didapat dengan menjalankan ISO 9001:2000 bagi
sebuah organisasi adalah terpenuhinya kebutuhan sesuai dengan harapan
organisasi dan regulasi yang berlaku. Selain itu, organisasi yang menjalankan
standar internasional ini dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap
kinerja dan mutu organisasi. Peningkatan kinerja dan mutu organisasi dapat
menurunkan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas.
ISO 9001:2000 bisa diterapkan di setiap organisasi apapun. Standar
sistem ini memiliki ruang lingkup yang luas karena menekankan kepada
sistem manajemen mutu. Makna mutu berlaku universal di seluruh bidang
usaha apapun. Standar ini tidak menyiratkan harus terjadi keseragaman sistem
manajemen mutu maupun dokumentasinya. Sebagai acuan tambahan, standar
ini menggunakan beberapa aturan seperti peraturan pemerintah ataupun
persyaratan pelanggan.
Penerapan ISO 9001:2000 memerlukan persiapan yang matang untuk
suatu organisasi dalam mewujudkan kerangka kerja sistem manajemen mutu.
Saat yang tepat bagi sebuah organisasi dalam menerapkan standar
internasional ini adalah ketika organisasi telah siap memajukan dan
mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan, perubahan di dalam dunia
usaha selalu dinamis dan menuntut setiap organisasi untuk selalu bergerak
maju. Perubahan tersebut mengharuskan organisasi memiliki suatu kerangka
berpikir yang mantap untuk senantiasa mengutamakan mutu.
C. Sistem Manajemen Keamanan Pangan
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang: Pangan,
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan
bersifat sensitif terhadap kesehatan manusia karena pangan dikonsumsi
setidaknya tiga kali dalam sehari. Selama pengolahan mulai dari hulu sampai
hilir terdapat berbagai ancaman bagi pangan yang bisa menyebabkan
gangguan kesehatan bagi konsumen.
Sementara itu, Codex Alimentarius Commission (2003) menyatakan
keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan
bahaya bagi konsumen ketika disiapkan dan/atau dimakan berdasarkan tujuan
penggunanya. Bahaya yang mungkin timbul selama proses persiapan,
pengolahan, sampai penyajian pangan disebabkan adanya kontaminasi, reaksi
yang timbul selama pengolahan, dan kesalahan penanganan pangan.
Hariyadi (2008) memiliki pandangan lain dengan mengelompokkan
keamanan pangan menjadi dua bagian, yaitu keamanan bagi tubuh (safety for
body) dan keamanan bagi keyakinan (safety for mind). Tinjauan keamanan
pangan bagi tubuh (safety for body) setidaknya meliputi tiga aspek utama,
yaitu mikrobiologi, fisik, dan kimia. Keamanan bagi tubuh bila dijabarkan lagi
berdasarkan sumber-sumbernya dapat dikelompokkan menjadi tujuh yaitu
kimia (residu pestisida, obat hewan ternak, antibiotik, dan lain-lain),
kontaminan lingkungan, biologi (bakteri, virus, parasit, protozoa, dan lain-
lain), mikotoksin (toksin dari kapang), alergen, non-konvensional (prion), dan
bioterorisme. Keamanan pangan untuk keyakinan (safety for mind) biasanya
berlaku bagi pemeluk agama tertentu. Contoh keamanan pangan ini berupa
jaminan Kosher bagi umat Yahudi atau Halal bagi umat Islam.
Mengacu kepada konsep Codex Alimentarius Commission (CAC),
terdapat kemungkinan bahaya keamanan dalam perdagangan pangan yang
dikategorikan menjadi 3 hal yaitu bahaya biologi, kimia, dan fisik.
1. Bahaya biologi
Bahaya biologi artinya pangan terjamin keamanannya dari
kontaminan biologi yang bersumber dari bakteri, virus, parasit, dan
protozoa, yang patogenik bagi kesehatan manusia dan menyebabkan
gangguan penyakit karena makanan (foodborne disease). Penyakit-
penyakit keracunan pangan di Indonesia yang terpublikasi biasanya
disebabkan patogen dan atau senyawa kimia. Mengingat di negara-negara
maju dengan tingkat sanitasi tinggi dilaporkan bahwa patogen adalah
penyebab utama kasus-kasus penyakit asal pangan, maka cukup aman
untuk mengasumsikan bahwa kemungkinan besar kasus-kasus penyakit
asal pangan di Indonesia juga didominasi oleh patogen asal pangan
(foodborne pathogen) Dewanti-Hariyadi (2008).
Secara umum penyakit-penyakit karena patogen asal pangan dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi
adalah penyakit asal pangan yang terjadi karena masuknya patogen hidup
seperti virus, bakteri, protozoa, cacing melalui bahan pangan. Jika patogen
berhasil mencapai usus, pada saat yang bersamaan mereka akan
mengganggu kesehatan inang (manusia) yang ditumpanginya dengan
berbagai cara. Intoksikasi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya
toksin melalui bahan pangan ke dalam tubuh. Toksin dalam bahan pangan
dapat berupa toksin secara alami terdapat dalam bahan pangan tersebut,
toksin yang dihasilkan bakteri atau kapang, toksin lingkungan, atau toksin
dari penggunaan pestisida (Dewanti-Hariyadi, 2008).
2. Bahaya kimia
Kontaminan kimia yang terpapar dalam pangan cukup banyak
jenisnya. Pembagian jenis menurut Andrews et. al. (2001) mengacu
kepada perkembangan ditemukannya kontaminan kimia. Pertama,
kontaminan kimia yang dapat menyebabkan penyakit dalam jangka waktu
yang panjang seperti senyawa karsinogenik. Kedua, kontaminan kimia
yang dapat menyebabkan penyakit degenerasi permanen secara perlahan
seperti yang disebabkan timbal dan merkuri. Ketiga, kontaminan kimia
yang muncul dalam pengolahan pangan dan bersifat karsinogen seperti 3-
monokloropropanadiol (3-MCPD), dan asam lemak trans (Muhandri dan
Kadarisman, 2006). Keempat, kontaminan kimia yang terpapar pada
produk pertanian, seperti residu pestisida dan herbisida. Kelima,
kontaminan kimia yang baru diketahui memiliki efek negatif bagi manusia
seperti residu perawatan hewan ternak (veterinary residues) dan organisme
genetik termodifikasi/genetically modified organism (GMO) (Andrews et.
al., 2001).
3. Bahaya fisik
Keamanan dari bahaya fisik di sini berarti pangan terjamin
keamanannya dari benda-benda asing (kontaminan fisik) yang dapat
menyebabkan luka jika konsumen mengonsumsinya. Kontaminan fisik
dapat menyebabkan resiko keamanan dan penurunan kualitas pangan.
Kontaminan fisik biasanya jarang ditemukan dalam kasus keamanan
pangan dan hanya mempengaruhi sejumlah kecil konsumen, berbeda
dengan kontaminan biologi atau kimia yang mampu mempengaruhi
seluruh populasi.
Kontaminan fisik ada yang langsung mempengaruhi keamanan tubuh
konsumen dan ada yang dapat mempengaruhi pandangan konsumen
terhadap mutu. Kontaminan yang dapat menyebabkan luka biasanya
pecahan gelas, potongan kayu tajam, serpihan besi, batu dan logam-logam
non besi. Bila ada pecahan gelas di makanan bayi, potongan paku di dalam
sekaleng minuman ringan, atau serpihan kacang dalam makanan bebas
kacang, dapat dikategorikan bahaya keamanan pangan. Contoh terakhir
lebih terkait dengan isu alergen. Kontaminan fisik jenis lain yang
menurunkan mutu produk dalam pandangan konsumen biasanya kotoran
atau potongan tubuh hewan kecil seperti serangga dan serpihan kayu. Jika
konsumen menemukan potongan tubuh serangga pada salad atau
menemukan serpihan kayu pada kue pai akan menyebabkan ketidakpuasan
konsumen. (Andrews et. al., 2001).
Maraknya kasus keracunan pangan di dunia mengindikasikan minimnya
kesadaran dan pengetahuan tentang keamanan pangan bagi sebagian besar
pelaksana usaha pangan. Hal ini perlu menjadi pembelajaran bagi setiap
organisasi yang membuat, menangani, atau memasok pangan untuk lebih
memperhatikan keamanan pangan. Dampak keracunan pangan tidak hanya
berimbas kepada konsumen tetapi juga kepada nama baik dan kelangsungan
bisnis produsen. Sebagai contoh kasus keamanan pangan, Amerika Serikat
dan Indonesia memiliki kasus dalam jumlah yang besar. Sebagai pembanding
Amerika Serikat dipilih karena sistem pendataannya yang baik dan akurat.
Berdasarkan data Centre for Disease Control and Prevention (CDC),
Amerika Serikat pada tahun 2006 memiliki kasus penyakit diakibatkan
pangan (foodborne illness) dan kejadian luar biasa (outbreaks) dalam jumlah
yang besar. Kejadian luar biasa setidaknya memiliki dua arti, yaitu: 1) suatu
kejadian dimana terdapat dua atau lebih orang mengalami sebuah penyakit
yang sama setelah menelan makanan yang sama, atau 2) analisis epidemiologi
dari suatu kejadian yang mengindikasikan pangan sebagai sumber dari
penyebab penyakit (Hui, et. al., 2001). Sebagian besar kasus penyakit
disebabkan oleh virus, yang tercatat sebanyak 11.122 kasus terkonfirmasi dan
2841 kasus dugaan. Ilustrasi data jumlah kasus penyakit diakibatkan pangan
di Amerika Serikat pada tahun 2006, dapat dilihat pada Gambar 1. Kasus
kejadian luar biasa (KLB) pada tahun ini, tercatat virus sebagai penyebab
terbesar, yaitu sebanyak 337 KLB terkonfirmasi dan 165 KLB dugaan.
Ilustrasi data jumlah kejadian luar biasa di Amerika Serikat pada tahun 2006,
02,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
Bakteri Kimia Parasit Virus
5,336
221 129
11,122
1,440
39 18
2,841
Ka
sus
Penyebab
Konfirmasi
Dugaan
0
50
100
150
200
250
300
350
Bakteri Kimia Parasit Virus
223
53
9
337
75
11 3
165
Ka
sus
Penyebab
Konfirmasi
Dugaan
dapat dilihat pada Gambar 2. Total keseluruhan kasus penyakit diakibatkan
pangan dan KLB di Amerika Serikat ditampilkan pada Gambar 3. Data
keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 1. Jumlah kasus penyakit diakibatkan pangan di Amerika Serikat
tahun 2006 (dimodifikasi dari CDC, 2006)
Gambar 2. Jumlah Kejadian Luar Biasa di Amerika Serikat tahun 2006
(dimodifikasi dari CDC, 2006)
05000
10000
15000
20000
Total
Konfirmasi Sumber Penyakit
Total Dugaan
Sumber Penyakit
Sumber Penyakit
yang tidak diketahui
623 275 349
16,904
4,592 4,163
Ka
sus
Jumlah Kejadian
Luar Biasa (KLB)
Jumlah Kasus
0
50
100
150
200
2001 2002 2003 2004 2005 2006
2643 34
164184
159
KL
B
Tahun
Gambar 3. Jumlah Kejadian Luar Biasa dan kasus penyakit diakibatkan
pangan di Amerika Serikat tahun 2006 (dimodifikasi dari CDC,
2006)
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia (BPOM RI), Indonesia memiliki kasus keamanan pangan dalam
jumlah besar (Hariyadi, 2008). Kejadian luar biasa yang terjadi di Indonesia
tercatat mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 4. Hal yang
serupa juga terlihat pada jumlah korban sakit seperti terlihat pada Gambar 5,
sedangkan jumlah korban yang meninggal akibat pangan seperti terlihat pada
Gambar 6. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 4. Jumlah Kejadian Luar Biasa di Indonesia dari tahun 2001 sampai
dengan tahun 2006 (dimodifikasi dari BPOM tahun 2008)
02000
4000
6000
8000
10000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
1183
3635
1843
7366
8949 8747
Korb
an
sak
it
Tahun
0
10
20
30
40
50
60
2001 2002 2003 2004 2005 2006
1610 12
51 49
38
Korb
an
men
inggal
Tahun
Gambar 5. Jumlah korban sakit akibat pangan di Indonesia dari tahun 2001
sampai dengan tahun 2006 (dimodifikasi dari BPOM tahun 2008)
Gambar 6. Jumlah korban meninggal akibat pangan di Indonesia dari tahun
2001 sampai dengan tahun 2006 (dimodifikasi dari BPOM tahun
2008)
Era keterbukaan dan globalisasi memberikan kemajuan pesat informasi
di berbagai bidang termasuk keamanan pangan. Setiap pelanggan akan
semakin peduli terhadap keamanan pangan yang mereka konsumsi. Hal ini
berdampak langsung bagi setiap organisasi yang menghasilkan, menangani,
atau memasok pangan, wajib mengetahui bahwa semakin meningkatnya
persyaratan keamanan pangan yang diajukan pelanggan.
D. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
1. Pengertian HACCP
HACCP atau Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah
suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada kesadaran atau
penghayatan bahwa bahaya (hazard) dapat timbul pada berbagai titik atau
tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk
mengontrol bahaya-bahaya tersebut (Winarno dan Surono, 2002). Bahaya-
bahaya yang dimaksud bisa berupa bahaya yang bersifat fisik, kimia, atau
biologi yang bisa terdapat pada bahan baku maupun proses. Bahaya-
bahaya tersebut dapat mengakibatkan masalah kesehatan bagi manusia
yang terdapat pada produk pangan jika tidak dikendalikan oleh produsen.
Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan
sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk
menjamin keamanan pangan. HACCP menilai bahaya dan menetapkan
sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada
mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem
HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan
peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi (BSN,
1998).
Beberapa negara dunia menetapkan aturan untuk keamanan dan
kelayakan dari produk pangan untuk menerapkan HACCP dalam setiap
usaha dan organisasi yang menghasilkan pangan. Bidang yang tercakup
meliputi keseluruhan, baik itu organisasi profit maupun tidak, baik umum
maupun pribadi, aktivitas-aktivitas seperti persiapan, proses, manufaktur,
pengemasan, penyimpanan, transportasi, distribusi, penanganan,
penawaran langsung untuk dijual ataupun untuk mensuplai kebutuhan
pangan. Di Eropa, melalui acuan aturan EU Directive 93/94/EEC on Food
Hygiene, semua pihak yang beroperasi di bidang pangan di dalam Uni
Eropa harus menerapkan HACCP (National Board of Experts-HACCP,
2002). Mereka harus memastikan bahwa prosedur keamanan yang cukup
memenuhi untuk diidentifikasi, didokumentasikan, dipelihara, dan ditinjau
berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengembangkan sistem
HACCP.
Indonesia sering mengalami permasalahan di bidang keamanan
pangan saat melakukan ekspor produk pangannya ke uni eropa. Pada tahun
2004 tercatat 71 Unit Pengolahan Ikan (UPI) mendapatkan notifikasi
Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF). Kemudian jumlah
notifikasi menurun pada tahun 2005 menjadi 65 UPI. Tahun 2006,
Indonesia mendapatkan notifikasi 46 UPI pada tahun 2006, sedangkan
pada tahun 2007 (Maret) tercatat 12 UPI memperoleh notifikasi RASFF
(Retnowati, 2007).
Penerapan sistem keamanan pangan yang melibatkan HACCP terbukti
meningkatkan kualitas keamanan produk perikanan Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dari penurunan notifikasi yang diterima Indonesia pada tahun
2007 menjadi 12 notifikasi terhadap UPI. Oleh karena itu, penerapan
konsep sistem HACCP dalam melakukan upaya yang berhubungan dengan
keamanan pangan merupakan salah satu piranti yang cukup efektif.
2. Sejarah HACCP
Sejarah perkembangan HACCP oleh beberapa ahli dianggap sebagai
evolusi, karena perkembangannya melalui proses yang panjang sejak
dimulai pada tahun 1959. Awalnya, Pillsbury Company bekerja sama
dengan National Aeronautics and Space Agency (NASA), Natick
Research and Development Laboratories dan US Air Force Space
Laboratory Project pada tahun 1959, mengadakan penelitian penerapan
HACCP dengan tujuan mengembangkan makanan yang aman bagi
astronot (Thaheer, 2005). Kemudian, pada tahun 1971, dimulai pemaparan
pertama kepada masyarakat mengenai sistem HACCP di American
National Conference for Food Protection, Amerika Serikat. Lalu, pada
tahun 1973, FDA mengeluarkan aturan untuk menerapkan prinsip HACCP
pada makanan kaleng berasam rendah (low acid canned food).
Selanjutnya, sistem HACCP selalu dipelajari dan dikembangkan terus
menerus oleh negara-negara di dunia dan mengalami perkembangan yang
pesat sejak tahun 1990-an.
HACCP mulai dikenal di Indonesia melalui panduan HACCP yang
berasal dari Codex Alimentarius Commission. Pada tahun 1993, Codex
Guidelines for the Application of the HACCP diadopsi oleh FAO/WHO
Codex Alimentarius Commission (CAC) termasuk the Codex Code on
General Principles of Food Hygiene direvisi untuk mencakup sistem
HACCP. Selanjutnya diadakan revisi Codex Guidelines for the
Application of the HACCP pada tahun 1997 menjadi Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its
Application. Sejak tahun 1998, Indonesia mengadopsi Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its
Application menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4852-1998)
Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis
and Critical Control Point) Serta Pedoman Penerapannya.
3. Keunggulan HACCP
HACCP merupakan sistem yang efektif biaya dalam proses bisnis
pangan. Sistem ini menargetkan ke sumber area kritis proses. Selain itu,
HACCP juga mengurangi risiko pembuatan dan penjualan produk yang
tidak aman. Oleh karena itu, di dunia internasional hingga saat ini,
HACCP adalah metode paling efektif dalam memaksimalkan keamanan
pangan (Mortimore dan Wallace, 1998)
Pengguna HACCP hampir sepenuhnya yakin akan menemukan
manfaat tambahan di area mutu produk. Peningkatan kesadaran akan
bahaya (hazard) secara umum dan partisipasi aktif dari orang-orang yang
terlibat di area operasi merupakan keutamaan dari sistem ini. Banyak
mekanisme pengendalian keamanan berfungsi sekaligus dalam
pengendalian mutu produk (Mortimore dan Wallace, 1998).
Penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga
yang berwenang dan memajukan perdagangan internasional melalui
peningkatan kepercayaan keamanan pangan (BSN, 1998). Karena
keunggulan dan tatanan kerja yang sistematis dan logis, HACCP diakui
banyak negara di seluruh dunia sebagai sebuah sistem keamanan pangan
yang dapat diterapkan di mana pun. Pengujian akan keefektifan sistem
keamanan pangan yang terdapat dalam organisasi yang memproduksi
pangan lebih mudah dilakukan karena salah satu prinsip HACCP, yaitu
dokumentasi. Penjaminan dari lembaga sertifikasi akan pengoperasian
HACCP dalam organisasi berupa sertifikat HACCP memudahkan
penerimaan produk organisasi tersebut dalam perdagangan internasional.
4. Cara menerapkan HACCP
Penerapan HACCP tidak terlepas dari keduabelas langkah
penerapannya yang terdiri dari lima langkah awal dan tujuh prinsip
penerapannya. Lima langkah awal penerapan HACCP yaitu: 1)
pembentukan tim HACCP, 2) deskripsi produk, 3) identifikasi rencana
penggunaan, 4) penyusunan diagram alir, dan 5) verifikasi diagram alir di
lapangan. Tujuh prinsip penerapan HACCP yaitu: 1) analisa bahaya, 2)
penentuan titik kendali kritis (TTK/CCPs), 3) penetapan batas kritis, 4)
penetapan sistem untuk memantau pengendalian titik kendali kritis
(monitoring), 5) penetapan tindakan perbaikan (corrective action), 6)
penetapan prosedur verifikasi, dan 7) penetapan dokumentasi mengenai
semua prosedur dan catatan. Semua prinsip HACCP ini terdapat hampir di
seluruh standar keamanan pangan di negara-negara dunia, seperti
International Food Standards, ISO 22000:2005, Recommended
International Code of Practise General Principles of Food Hygiene
CAC/RCP I -1969, Rev.4 (2003) dan SNI 01-4852-1998.
A. Lima langkah awal penerapan HACCP
1. Pembentukan tim HACCP
Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan
keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan
rencana HACCP yang efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat
dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu.
Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari
pihak luar. Adapun lingkup dari program HACCP harus
diidentifikasi. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-
segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan
penjenjangan secara umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan
(yaitu meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu).
2. Deskripsi produk
Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk
informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk aw,
pH, dll.), perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis (seperti perlakuan
pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, dll.),
pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metoda
pendistribusiannya.
3. Identifikasi rencana penggunaan
Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-
kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk atau
konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok populasi
yang rentan, seperti yang menerima pangan dari institusi, mungkin
perlu dipertimbangkan.
4. Penyusunan diagram alir
Diagram alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam diagram
alir harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila
HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus
dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.
5. Verifikasi diagram alir di lapangan
Tim HACCP, sebagai penyusun diagram alir harus
memverifikasi operasional produksi dengan semua tahapan dan jam
operasi serta bilamana perlu mengadakan perubahan diagram alir.
B. Tujuh prinsip HACCP
1. Analisa bahaya
Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang mungkin
terdapat pada tiap tahapan dari produksi utama, pengolahan,
manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada titik konsumen saat
konsumsi. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk
mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang terdapat
secara alami, karena sifatnya mutlak harus ditiadakan atau dikurangi
hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan
tersebut dinyatakan aman.
Dalam mengadakan analisis bahaya, apabila mungkin
seyogyanya dicakup hal-hal sebagai berikut:
- kemungkinan timbulnya bahaya dan pengaruh yang merugikan
terbadap kesehatan;
- evaluasi secara kualitatif dan/atau kuantitatif dari keberadaan
bahaya;
- perkembangbiakan dan daya tahan hidup mikroorganisme-
mikroorganisme tertentu;
- produksi terus menerus toksin-toksin pangan, unsur-unsur
fisika dan kimia; dan
- kondisi-kondisi yang memacu keadaan di atas.
2. Penentuan titik kendali kritis (TTK)/critical control points (CCP)
Pengendalian bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari
satu CCP pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP
pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan pohon
keputusan seperti pada Gambar 7 yang menyatakan pendekatan
pemikiran yang logis (masuk akal).
Penerapan dari pohon keputusan harus fleksibel, tergantung
apakah operasi tersebut produksi, penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon keputusan ini mungkin
tidak dapat diterapkan pada setiap CCP dan mempertimbangkan
situasi yang ada. Pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan serta
dianjurkan untuk mengadakan pelatihan dalam penggunaan pohon
keputusan.
3. Penentuan batas kritis
Batas-batas kritis (critical limits) harus ditetapkan secara
spesifik dan divalidasi apabila mungkin untuk setiap CCP. Dalam
beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan pada suatu
tahap khusus. Kriteria yang sering digunakan mencakup
pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban,
Apakah ada
tindakan
pengendalian?
Apakah langkah ini
khusus dibuat untuk
mengendalikan bahaya?
Dapatkah kontaminasi
dengan bahaya teridentifikasi
terjadi melebihi tingkatan
yang dapat diterima?
Apakah tahapan berikutnya
menghilangkan bahaya yang
teridentifikasi atau mengurangi
tingkatan kemungkinan terjadinya
hingga ke tingkatan yang dapat
diterima?
Ya
Tidak Apakah pengendalian
pada tahap ini perlu
untuk pengamanan?
Modifikasi
Tahapan Proses
Ya
Tidak
Bukan CCP
Tidak
Ya
Ya
CCP
Tidak
Tidak
Ya
Q1
Q2
Q3
Q4
Gambar 7. Pohon keputusan CCP untuk proses
pH, aw, keberadaan klorin, dan parameter-parameter sensori seperti
penampakan visual dan tekstur.
4. Penetapan sistem untuk memantau pengendalian titik kendali kritis
Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan
terjadwal dari CCP yang dibandingkan terhadap batas kritisnya.
Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali
pada CCP. Pemantauan seyogianya dilaksanakan sebelum terjadi
penyimpangan dan memberi informasi yang tepat waktu untuk
memastikan pengendalian proses dapat mencegah penyimpangan
dari batas kritis. Penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat
hasil pemantauan sebab mungkin saja hasil tersebut menunjukkan
kecenderungan ke arah kehilangan kendali pada suatu CCP. Data
yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi
tugas, berpengetahuan dan berwewenang untuk melaksanakan
tindakan perbaikan yang diperlukan. Apabila pemantauan tidak
berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus
cukup untuk menjamin agar TKK terkendali.
5. Penetapan tindakan perbaikan
Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk
setiap TKK dalam sistem HACCP agar dapat menangani
penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan harus memastikan
bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus
mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh.
Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus
didokumentasikan dalam catatan HACCP.
6. Penetapan prosedur verifikasi
Penetapan prosedur verifikasi. Metode audit dan verifikasi,
prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak
dan analisa, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem
HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup
untuk memverifikasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.
Contoh kegiatan verifikasi mencakup :
- Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya
- Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi produk
- Memverifikasi apakah TKK dalam kendali
Apabila memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan
untuk memverifikasi keefektifan semua elemen-elemen rencana
HACCP.
7. Penetapan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan.
Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat penting
dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur dalam menjalankan
kegiatan yang berkaitan dengan keamanan pangan harus
didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup
memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.
Contoh dokumentasi :
- Analisa Bahaya
- Penentuan TKK
- Penentuan Batas Kritis
Contoh pencatatan :
- Kegiatan pemantuan Titik Kendali Kritis/TKK (CCP)
- Penyimpangan dan Tindakan perbaikan yang terkait
- Perubahan pada sistem HACCP
Selain 5 langkah awal dan 7 prinsip HACCP, keberhasilan penerapan
sistem ini juga memerlukan beberapa kondisi. Kondisi penting di tingkat
manajemen yaitu komitmen dan keterlibatan penuh dari manajemen dan
tenaga kerja. Selanjutnya, HACCP juga mensyaratkan pendekatan dan
berbagai disiplin. Pendekatan berbagai disiplin ini harus mencakup
keahlian dalam agronomi, kesehatan veteriner, produksi, mikrobiologi,
obat-obatan, kesehatan masyarakat, teknologi pangan, kesehatan
lingkungan, kimia, perekayasa sesuai dengan pengkajian yang teliti (BSN,
1998).
5. Area penerapan HACCP
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk
primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani
dengan bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia (BSN,
1998). Keseluruhan rantai pangan yang dimaksud bisa meliputi produsen
hasil pertanian, pakan ternak, produsen pangan primer, pabrik pangan,
produsen makanan sekunder, grosir, pengecer, jasaboga, katering, hingga
pangan tersebut sampai ke tangan konsumen. Pengawasan dan
pengendalian keamanan pangan melalui HACCP di setiap titik rantai
pangan dapat menurunkan risiko terjadinya gangguan kesehatan pada
konsumen akibat pangan.
E. Standar Sistem Manajemen Keamanan Pangan ISO 22000:2005
Organisasi yang menghasilkan, menangani, atau memasok pangan,
dituntut untuk mampu menampilkan dan menyediakan bukti yang cukup atas
kemampuan mereka dalam menangani keamanan pangan. Mereka harus bisa
mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya keamanan pangan dan berbagai
kondisi yang berdampak bagi keamanan pangan. Kemudian, pembuktian
usaha tersebut lebih dapat dipertanggungjawabkan melalui sertifikasi sistem
manajemen keamanan pangan.
ISO 9001:2000 yang diterapkan pada industri pangan tidak selalu dapat
berfungsi menjaga keamanan pangan. Menurut Frgemand dan Jespersen,
(2004), sebagai sebuah standar sistem manajemen mutu, ISO 9001:2000 tidak
mengulas secara spesifik mengenai keamanan pangan Hasilnya, banyak
negara, seperti Denmark, Belanda, Irlandia, dan Australia mengembangkan
standar nasional sukarela untuk sistem keamanan pangan.
Standar nasional sukarela yang dimiliki beberapa negara tersebut akan
menemui masalah jika menghadapi perdagangan internasional. Keberagaman
persyaratan dan kondisi dari masing-masing negara tidak akan menemukan
titik temu jika menggunakan standar nasional sukarela dari sebuah negara
tertentu. Perlunya sebuah standar internasional yang membahas sistem
keamanan pangan yang bisa digunakan di keseluruhan organisasi apa pun di
wilayah mana pun menjadi sebuah kebutuhan yang terelakkan. Oleh karena
itu, dibentuklah suatu standar internasional sistem manajemen keamanan
pangan oleh The International Organization for Standardization (ISO), yang
dikenal dengan nama ISO 22000:2005.
1. Sejarah ISO 22000:2005
Tanggal 1 September 2005 adalah publikasi resmi standar
internasional ISO 22000:2005 (ISO, 2005). Standar ini diluncurkan dengan
tujuan menjamin keamanan pangan di keseluruhan rantai pangan bagi
seluruh organisasi yang bergerak di bidang pangan di seluruh dunia.
Standar ini telah mengalami perubahan berulangkali dalam penyusunannya
hingga sampai pematangan konsep sistem keamanan pangan. Standar ini
selanjutnya banyak diadopsi oleh berbagai organisasi yang bergerak di
bidang pangan hingga saat ini.
2. Manfaat ISO 22000:2005
Banyak manfaat yang diperoleh organisasi dari penerapan ISO 22000
seperti yang diungkapkan Frgemand dan Jespersen (2004) dari ISO
dalam artikel mereka saat rancangan ISO 22000 hampir selesai. Manfaat
pertama, terjalinnya komunikasi yang terarah dan terorganisasi antar mitra
bisnis. Manfaat kedua adalah pengoptimasian sumberdaya baik internal
maupun sepanjang rantai pangan. Manfaat ketiga, sistem
pendokumentasian yang lebih baik. Manfaat keempat, perencanaan proses
lebih baik dan mampu mengurangi verifikasi pasca proses. Manfaat
kelima, pengendalian yang dinamis dan efisien terhadap bahaya keamanan
pangan. Manfaat keenam, semua ukuran pengendalian diterapkan ke
analisis bahaya. Manfaat ketujuh, manajemen yang sistematis dari
program-program prayarat (Prerequisite programmes). Manfaat
kedelapan, memiliki dasar yang sah untuk pengambilan keputusan
Manfaat kesembilan pengendalian terfokus kepada apa yang diperlukan
sehingga mampu menyimpan sumberdaya dengan mengurangi biaya lebih
dari sistem audit.
Menurut Frgemand dan Jespersen (2004), ISO 22000 akan
menyediakan sistem keamanan pangan yang tepat digunakan dalam
organisasi yang bergerak di bidang rantai pangan apapun. Sistem
keamanan pangan yang paling efektif dirancang, dioperasikan dan
diperbarui dalam kerangka kerja sistem manajemen yang terstruktur ke
dalam keseluruhan aktivitas manajemen organisasi. Kondisi ini
memaksimalkan keuntungan untuk organisasi dan pihak yang
berkepentingan. ISO 22000:2005 juga mempertimbangkan persyaratan
yang dibutuhkan ISO 9001:2000 untuk meningkatkan kesesuaian kedua
standar tersebut serta memungkinkan jika mau dilakukan pengintegrasian.
3. Cara menerapkan ISO 22000:2005
Penerapan ISO 22000:2005 secara sederhana mengacu kepada empat
elemen kunci yang dimilikinya. Elemen pertama adalah HACCP, sebuah
sistem analisa bahaya dan pengendalian titik-titik kritis bahaya pada proses
pengolahan pangan. Elemen kedua adalah Pre Requisite Programme
(PRP), kondisi dasar dan aktivitas yang diperlukan untuk memelihara
lingkungan yang higienis sepanjang rantai makanan. Elemen ketiga adalah
komunikasi interaktif, sebuah sistem komunikasi yang melibatkan pihak
internal dan eksternal untuk mengkomunikasikan informasi atau
perubahan apa pun yang berkaitan dengan jaminan keamanan sepanjang
rantai makanan. Elemen keempat adalah sistem manajemen yang
menyediakan sumberdaya yang diperlukan untuk sistem keamanan
pangan, menjamin sistem keamanan pangan dilaksanakan seluruh pihak di
organisasi, dan mengendalikan sistem keamanan pangan tersebut.
a. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan
kepada kesadaran bahwa bahaya (hazard) dapat timbul pada berbagai
titik atau tahap produksi tertentu Bahaya-bahaya yang dimaksud bisa
berupa bahaya yang bersifat fisik, kimia, atau biologi yang bisa terdapat
pada bahan baku maupun proses. Bahaya-bahaya tersebut dapat
mengakibatkan masalah kesehatan bagi manusia yang terdapat pada
produk pangan jika tidak dikendalikan oleh produsen. Penjaminan
keamanan pangan melalui HACCP didasarkan pada ilmu pengetahuan
dan sistematika pengidentifikasian bahaya dan tindakan pengenda-
liannya untuk menjamin keamanan pangan.
b. Pre Requisite Programme (PRP)
Pre requisite programme atau program persyaratan dasar
keamanan pangan adalah kondisi dasar dan aktifitas yang diperlukan
untuk memelihara lingkungan yang higienis sepanjang rantai makanan.
Kondisi dasar dan aktivitas yang ditentukan disesuaikan dengan proses
produksi, penanganan dan ketetapan produk akhir yang aman untuk
konsumsi manusia. PRP yang diperlukan tergantung pada bagian mana
dari rantai makanan organisasi tersebut beroperasi dan jenis organsasi.
Contoh istilah yang setara digunakan dalam organisasi yang bergerak di
bidang pangan adalah: Good Agricultural Practices (GAP), Good
Manufacturing Practices (GMP), Good Hygienic Practices (GHP),
Good Production Practices (GPP), Good Distribution Practices (GDP)
dan Good Trading Practices (GTP).
Organisasi harus mempertimbangkan hal-hal berikut pada saat
menetapkan program ini:
1) konstruksi dan tata letak bangunan dan utilitas yang berkaitan;
2) tata letak tempat, meliputi ruang kerja dan fasilitas pekerja;
3) pasokan udara, air, energi, dan utilitas lainnya;
4) layanan pendukung, meliputi pembuangan limbah dan kotoran;
5) kesesuaian dengan peralatan dan kemudahan akses untuk proses
pembersihan, perawatan, dan perawatan untuk mencegah kerusakan;
6) pengaturan pembelian bahan (contohnya bahan baku, bahan
penyusun, bahan kimia, dan pengemas), pasokan (contohnya air,
udara, uap air, dan es), pembuangan (contohnya limbah dan
kotoran) dan penanganan produk (contohnya penyimpanan dan
transportasi);
7) ukuran untuk tindakan pencegahan kontaminasi silang;
8) pembersihan dan sanitasi;
9) pengendalian hama;
10) kebersihan pekerja;
11) aspek-aspek lain yang sesuai kondisi perusahaan.
c. Komunikasi interaktif
Komunikasi sepanjang rantai makanan penting untuk memastikan
bahwa semua bahaya keamanan pangan yang relevan teridentifikasi dan
dikendalikan secara memadai pada setiap tahapan dalam rantai
makanan. Komunikasi yang dilakukan berlaku bagi pihak internal dan
pihak eksternal. Ini menyiratkan bahwa komunikasi antara organisasi
baik dari hulu hingga hilir dalam rantai makanan harus terjalin baik.
1) Komunikasi eksternal
Komunikasi dengan para pelanggan dan pemasok tentang
bahaya yang teridentifikasi dan tindakan pengendalian akan
membantu dalam menjelaskan persyaratan-persyaratan pelanggan
dan pemasok. Sebagai contoh, kelayakan dan kebutuhan untuk
persyaratan-persyaratan tersebut dan dampak peran mereka terhadap
produk akhir.
Pengenalan peran organisasi dan posisi dalam rantai makanan
merupakan sebuah hal yang penting. Hal ini untuk memastikan
komunikasi interaktif yang efektif sepanjang rantai makanan dalam
rangka mengirimkan produk yang aman kepada konsumen akhir.
Demi mendapatkan informasi yang cukup tentang isu mengenai
keamanan pangan tersedia di seluruh rantai makanan, organisasi
harus menetapkan, menerapkan dan memelihara bentuk komunikasi
yang efektif dengan:
a) para pemasok dan kontraktor,
b) para pelanggan atau konsumen, khususnya yang berkaitan
dengan informasi produk (termasuk instruksi mengenai sasaran
penggunaan, persyaratan penyimpanan yang spesifik dan,
bilamana sesuai, umur simpan), permintaan keterangan, kontrak
atau penanganan order termasuk perubahan-perubahannya dan
umpan balik pelanggan yang juga mencakup keluhan pelanggan,
c) pihak yang berwenang dalam perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku, serta
d) organisasi lainnya yang berdampak pada, atau yang akan
terpengaruh oleh keefektifan atau perbaharuan dari sistem
manajemen keamanan pangan.
Komunikasi tersebut harus menyediakan informasi mengenai
aspek keamanan pangan dari produk organisasi tersebut yang
mungkin relevan terhadap organisasi lainnya dalam rantai makanan.
Penerapan ini terutama untuk bahaya keamanan pangan yang
diketahui bahwa perlu dikendalikan oleh organisasi lainnya dalam
rantai makanan. Catatan komunikasi eksternal harus dipelihara untuk
menjaga sistem.
2) Komunikasi internal
Organisasi harus menetapkan, mengimplementasikan dan
memelihara bentuk komunikasi yang efektif dengan personal internal
tentang isu yang memiliki dampak terhadap kemanan pangan. Dalam
rangka memelihara efektivitas sistem manajemen keamanan pangan,
organisasi harus memastikan bahwa tim keamanan pangan
diinformasikan tepat pada waktunya untuk setiap adanya perubahan
setidaknya meliputi:
a) produk ataupun produk baru;
b) bahan baku, bahan dan jasa;
c) sistem produksi dan peralatan;
d) fasilitas produksi, lokasi peralatan, lingkungan sekitar;
e) program pembersihan dan sanitasi;
f) sistem pengemasan, penyimpanan dan distribusi;
g) tingkatan kualifikasi personal dan/atau pembagian tanggung
jawab dan wewenang
h) persyaratan perundang-undangan dan peraturan;
i) pengetahuan mengenai bahaya keamanan pangan dan tindakan
pengendalian;
j) persyaratan pelanggan, sector atau lainnya yang organisasi
pantau;
k) permintaan keterangan yang relevan dari pihak eksternal yang
berkepentingan
l) komplain yang mengindikasikan bahaya keamanan pangan
m) kondisi lainnya yang berdampak pada keamanan pangan.
Tim keamanan pangan harus memastikan bahwa informasi ini
dimasukkan dalam pembaharuan sistem manajemen keamanan
pangan. Manajemen puncak harus memastikan bahwa informasi
yang relevan dengan keamanan pangan dimasukkan sebagai
masukan tinjauan manajemen. Setelah didapatkan keputusan tindak
lanjut atas informasi keamanan pangan dari tinjauan manajemen, tim
keamanan pangan mensosialisasikannya kepada personil yang terkait
agar melaksanakan ketetapan yang baru.
d. Sistem manajemen
Sistem keamanan pangan yang paling efektif dibuat, dilaksanakan
dan diperbaharui dalam kerangka suatu sistem manajemen yang
terstruktur dan satu kesatuan dalam keseluruhan aktivitas manajemen
organisasi. Hal ini memberikan manfaat maksimum untuk organisasi
dan pihak yang berkepentingan. Selain itu, standar Internasional ISO
22000:2005 telah disejajarkan dengan ISO 9001 dalam rangka
meningkatkan kesesuaian dua standar.
Organisasi harus menetapkan, mendokumentasikan, mengimple-
mentasikan dan memelihara suatu sistem manajemen keamanan pangan
dan memperbaharuinya bilamana diperlukan sehubungan dengan
standar ISO 22000:2005. Ruang lingkup sistem manajemen keamanan
pangan harus ditetapkan oleh organisasi agar menyesuaikan dengan
standar. Ruang lingkup tersebut harus menentukan produk atau kategori
produk, proses dan lokasi produksi yang ditujukan oleh sistem
manajemen keamanan makanan.
Dalam rangka membangun sistem manajemen keamanan pangan,
organisasi harus melakukan minimal empat hal. Pertama, organisasi
harus memastikan bahwa bahaya keamanan pangan yang mungkin
terjadi dalam hubungannya dengan produk dalam lingkup sistem
diidentifikasi, dievaluasi, dan dikendalikan dengan cara yang
sedemikian rupa agar produk dari organisasi tersebut tidak, secara
langsung atau tidak langsung, merugikan konsumen. Kedua, organisasi
harus mengkomunikasikan informasi yang sesuai sepanjang rantai
makanan mengenai isu keamanan yang berhubungan dengan
produknya. Ketiga, organisasi harus mengkomunikasikan informasi
mengenai pengembangan, implementasi dan pembaharuan sistem
manajemen keamanan pangan sepanjang organisasi tersebut, kepada
tingkat yang diperlukan untuk memastikan keamanan pangan yang
diperlukan oleh ISO 22000:2005. Keempat, organisasi harus
mengevaluasi secara periodik, dan memperbaharui sistem manajemen
keamanan pangan guna memastikan bahwa sistem tersebut
mencerminkan aktivitas organisasi dan menyertakan informasi terbaru
mengenai bahaya keamanan pangan yang terkendali.
Bukti berjalannya sistem manajemen keamanan pangan terdapat
dalam dokumen dan catatan organisasi. Dokumen dan catatan ini harus
dikendalikan, dipelihara, dan diperbaharui jika diperlukan untuk
menjaga kelangsungan sistem. Suatu prosedur yang terdokumentasi
harus dibuat dalam rangka pengendalian dokumen yang diperlukan
untuk:
1) Menyetujui dokumen akan kecukupannya sebelum diedarkan
2) Meninjau, memperbaharui seperlunya dan menyetujui ulang
dokumen.
3) Memastikan perubahan dan status revisi terakhir dari dokumen
dapat teridentifikasi.
4) Memastikan versi relevan dari dokumen yang berlaku tersedia di
tempat pemakaiannya.
5) Memastikan dokumen tetap dapat dibaca dan mudah diidentifikasi
6) Memastikan dokumen yang relevan dari luar teridentifikasi dan
pendistribusiannya dikendalikan; dan
7) Mencegah penggunaan yang tidak diinginkan terhadap dokumen
yang kadaluwarsa, dan guna memastikan bahwa dokumen tersebut
teridentifikasi secara memadai sebagaimana jika disimpan untuk
tujuan tertentu.
5. Area penerapan ISO 22000:2005
Seperti HACCP, ISO 22000:2005 dapat diterapkan pada seluruh rantai
pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir. Organisasi dalam
rantai makanan terbentang dari produsen pakan dan produsen utama
melalui pabrikan makanan, jasa pengangkutan dan penyimpanan serta para
kontraktor hingga pengeceran dan toko-toko pelayanan makanan
(bersama-sama dengan organisasi terkait di dalamnya seperti produsen
peralatan, material kemas, bahan pembersih, bahan aditif dan bahan baku).
ISO 22000 mengharuskan bahwa semua bahaya yang mungkin terjadi
dalam rantai makanan, termasuk bahaya yang berhubungan dengan proses
dan fasilitas yang digunakan, diidentifikasi dan ditinjau. Jadi hal ini
menyediakan cara untuk menentukan dan mendokumenkan alasan bahaya
teridentifikasi yang tertentu perlu dikendalikan oleh organisasi tertentu dan
mengapa yang lainnya tidak perlu. Ilustrasi skema rantai pangan di mana
ISO 22000:2005 dapat diterapkan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema rantai pangan di mana ISO 22000:2005 dapat diterapkan
(ISO, 2005)
F. Industri dan Teknologi Pengolahan Gula
Gula adalah sebutan untuk bahan pemanis yang diekstraksi dari tumbuh-
tumbuhan yang menghasilkan gula alami (Anonimc, 2008). Gula yang umum
dikenal di dunia berasal dari tumbuhan bit dan tebu. Tumbuhan lainnya yang
dapat digunakan juga untuk menghasilkan gula adalah kelapa dan aren.
Kegunaan dari gula sebagai bahan pangan cukup bervariasi. Gula dapat
berfungsi sebagai pemberi rasa manis pada pangan maupun minuman. Gula
merupakan bahan baku utama dalam produk konfeksioneri. Selain itu, gula
bisa berguna sebagai humektan atau pengikat air untuk pangan tertentu yang
memiliki aw rendah. Selain menentukan tekstur, sifat pengikat air ini juga
menjadikan gula sebagai salah satu pengawet alami. Melalui pengikatan air
bebas oleh gula hingga kadar aw tertentu, sebagian mikroba tidak mampu
untuk tumbuh maupun hidup di dalam pangan. Gula juga bisa berfungsi
sebagai agen pembentuk warna coklat melalui proses karamelisasinya.
Gula memiliki berbagai jenis bentuk dan karakter fisik yang bergantung
pada pengolahannya. Melalui ekstraksi cairan tumbuhan, biasanya dihasilkan
gula kristal mentah dan molase. Gula kristal mentah ini yang nantinya dapat
diolah menjadi berbagai jenis produk turunan lainnya. Secara umum, diagram
pengolahan berbagai jenis gula dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pengolahan berbagai jenis gula secara umum (dimodifikasi dari
Anonimb, 2008)
Gula kristal
mentah Molase
Cairan gula
Ekstraksi
Kristalisasi lambat
Gula Batu
Pemurnian
sederhana
Kristalisasi
Gula
granulasi
Rafinasi
Gula rafinasi/
caster
Pencampuran
Gula
coklat Gula
bubuk
Gula icing
(icing
sugar)
Penghancuran mekanis
Penghancuran
mekanis +
sirup jagung
Tumbuhan
1. Gula rafinasi
Gula rafinasi adalah gula sukrosa yang diproduksi melalui tahapan
proses pengolahan gula kristal mentah yang meliputi: afinasi pelarutan
kembali (remelting) - klarifikasi dekolorisasi kristalisasi fugalisasi
pengeringan pengemasan (BSN, 2006). Setelah melalui tahapan ini gula
akan mengalami perubahan ukuran, warna, derajat polarisasi, dan kadar
gula pereduksi. Tahapan proses pembuatan gula rafinasi secara umum
dapat dilihat pada Gambar 10.
Proses pembuatan gula rafinasi dimulai dari penanganan gula kristal
mentah. Gula kristal mentah masih dilapisi dengan molase yang
mengandung ketidakmurnian (impurities) dan bahan berwarna. Rerata
kemurnian dari film tersebut sekitar 70% (Baikow, 1982). Film ini dapat
dihilangkan melalui proses afinasi. Afinasi adalah proses pencucian gula
kristal mentah yang telah dicampur dengan air atau sirup gula dalam
mixer. Selanjutnya, gula dicuci menggunakan mesin sentrifugal untuk
menghilangkan lapisan tetes yang ada di permukaan kristal.
Gula afinasi atau gula yang telah dicuci harus memasuki tahapan
pelarutan kembali (re-melting) sebelum memasuki tahapan selanjutnya.
Pelarutan kembali biasanya menggunakan air gula (sweet water),
kondensat, atau air netral yang bebas dari garam anorganik terlarut dan
bakteri. Pelarutan gula yang paling menguntungkan dan ekonomis sebaik
nya 66 Brix karena dapat menghilangkan proses evaporasi lebih lanjut
(Baikow, 1982).
Sirup gula dari proses re-melting masih memiliki warna yang keruh dan
memerlukan proses penjernihan atau klarifikasi. Proses klarifikasi bisa
dilakukan dengan fosfatasi, karbonatasi atau proses lainnya. Umumnya,
industri rafinasi gula menggunakan fosfatasi dan karbonatasi karena kedua
proses tersebut baik dalam menghilangkan warna dengan harga rendah dan
peralatan sederhana.
Gambar 10. Pembuatan gula rafinasi secara umum (dimodifikasi dari
BSN, 2006)
Gula kristal mentah
Afinasi
Gula afinasi
Re-melting
Sirup gula I
Klarifikasi
Sirup gula II
Filtrasi
Sirup gula III
Dekolorisasi
Sirup gula IV
Penguapan,
pH =9
Sirup gula V
Pendinginan
Massecuites
Larutan Induk Fugalisasi
Kristal sukrosa
Gula Rafinasi Pengemasan
Pengeringan
Gula Rafinasi dalam kemasan
Sirup gula yang sudah melalui penjernihan di proses klarifikasi,
dijernihkan melalui proses filtrasi untuk menghilangkan semua bahan yang
tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, proses filtrasi biasanya dilakukan dalam
beberapa tingkat tergantung metode pemurnian (refining). Mesin filter
bertekanan digunakan dalam proses filtrasi untuk menghilangkan partikel
atau endapan yang ada di sirup gula. Hasil yang diperoleh berupa sirup
yang jernih, sedikit berwarna, tipis, dengan kandungan kering sekitar 12-
15% (Belitz and Grosch, 1987).
Setelah melalui filtrasi, sirup gula sudah memiliki tingkat kejernihan
tinggi karena terbebas dari bahan warna dan endapan lainnya. Langkah
selanjutnya adalah dekolorisasi atau penghilangan warna sirup gula.
Dekolorisasi bisa menggunakan resin penukar ion, karbon aktif atau bahan
penyerap warna lainnya. Penghilangan warna sirup ini menghilangkan
pigmen-pigmen warna melalui adsorpsi.
Sirup gula yang sudah kehilangan warna diuapkan dalam tahapan
berkali-kali. Selama proses penguapan, kondisi alkali (pH 9) dijaga untuk
mencegah inversi sukrosa. Melalui proses penguapan dan pendinginan
sirup gula, dihasilkan campuran kristal sukrosa dengan larutan induk
(mother liquor).
Campuran kristal sukrosa dengan larutan induk selanjutnya diproses
melalui fugalisasi untuk memisahkan keduanya. Pemisahan dilakukan
dengan menggunakan mesin sentrifugal. Larutan induk (fase cair) yang
memiliki berat jenis lebih rendah akan berada di lapisan atas, sedangkan
kristal sukrosa (fase padat) yang memiliki berat jenis lebih tinggi akan
berada di lapisan bawah. Fase cair dari mesin sentrifugal dilarutkan dan
dikembalikan ke panci pemanasan (reboiling/re-melting).
Proses selanjutnya adalah pengeringan. Fase padat dikeringkan,
disaring, digranulasikan, dan ditekan menjadi bentuk yang diinginkan.
Proses pengeringan fase padat tersebut setidaknya melalui dua tahap, yaitu
penghilangan uap air tidak terikat, dan penghilangan uap air terikat yang
berlebih (Baikow, 1982).
Tahap terakhir pembuatan gula rafinasi adalah pengemasan. Pada tahap
ini gula rafinasi dalam bentuk curah (bulk sugar) disalurkan melalui pipa-
pipa kemudian ditampung dalam silo-silo gula rafinasi. Selanjutnya gula
rafinasi ini akan disalurkan ke konsumen dalam dua bentuk pilihan, yaitu
curah atau karung.
Gula rafinasi yang diproduksi di Indonesia ditujukan untuk konsumsi
industri makanan dan minuman. Guna melindungi kepentingan konsumen
dan memudahkan produsen, Badan Standardisasi Nasional (BSN)
mengeluarkan SNI 01-3140.2-2006, yang mengatur penetapan syarat
mutu, pengambilan contoh dan cara uji gula kristal rafinasi.
2. Gula kristal mentah
Gula kristal mentah yang dikenal sebagai sukrosa dengan rumus kimia
C12H22O11 (dapat dilihat pada Gambar 11) diperoleh dari hasil olahan
kristalisasi cairan tanaman bit (Beta vulgaris ssp. vulgaris) atau tebu
(Saccharum officinarum) dan masih memiliki lapisan molase. Gula kristal
mentah yang dibahas di dalam tulisan ini adalah gula kristal hasil olahan
cairan tebu. Menurut Bender di dalam Anonim (2008), gula kristal mentah
adalah gula kristal berwarna coklat yang belum dimurnikan, memiliki
kadar kemurnian 96-98%, dan perlu dimurnikan lebih lanjut (refining).
Gula kristal mentah tidak dapat dikonsumsi langsung oleh manusia
sebelum diproses lebih lanjut.
Gambar 11. Rumus kimia sukrosa (C12H22O11)
Menurut James di dalam Jackson (1999) proses pembuatan gula kristal
mentah yang berasal dari tebu meliputi tahapan sebagai berikut:
1. Tebu dihancurkan dan cairannya diperas keluar
2. Cairan tebu dipanaskan dan diberikan kapur untuk menghilangkan
kotoran (impurities)
3. Cairan tebu dievaporasi sampai gula mengkristal
4. Campuran kristal dan cairan induk (mother liquor) yang juga disebut
massecuite atau masse, disentrifugasi untuk menghasilkan gula tebu
mentah dan cairan induk
5. Cairan induk dari tahapan 4 dipanaskan lagi untuk menghasilkan gula
mentah lainnya
6. Cairan induk dari tahapan dipanaskan lagi untuk ketiga kalinya
7. Setelah pemanasan pada tahapan 6, akan dihasilkan sisa cairan induk
yang secara ekonomi sudah mengalami penurunan mutu hingga
tingkatan paling rendah (bottom downgrade). Sisa ini disebut juga
factory molasses
8. Gula mentah hasil ekstraksi tebu mengandung 97% sukrosa dan 3%
molase.
Gula kristal mentah biasanya masih terkontaminasi dengan spora kapang,
bakteri, serat tebu, dan butiran tanah. Gambar gula kristal mentah dapat
dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Gula kristal mentah (Anonima, 2008)
3. Molase
Molase merupakan produk samping dari pembuatan gula, memiliki
warna coklat berbentuk lapisan hasil dari olahan massecuitemagma
yang terbentuk dari proses kristalisasi cairan guladengan tingkatan mutu
terendah. Bagian utama molase tersusun dari berbagai karamel dan
mineral. Molase digunakan sebagai bahan campuran bersama gula kristal
mentah dalam pembuatan gula coklat (brown sugar). Gambar molase
dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Molase (Anonimb, 2008)
4. Gula coklat
Gula coklat adalah produk turunan gula granulasi yang dicampur
dengan sedikit molase untuk menghasilkan gula dengan warna coklat dan
flavor yang khas. Pembuatan gula coklat menurut Anonimc (2008)
dibedakan menjadi gula coklat terang dan gula coklat gelap. Gula coklat
terang dapat dibuat dengan perbandingan 2/3 gula coklat gelap ditambah
1/3 gula granulasi. Gula coklat gelap dapat dibuat dengan perbandingan
satu cangkir gula granulasi ditambah dua sendok makan molase atau satu
cangkir gula coklat terang ditambah satu sendok makan molase. Gambar
gula coklat dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Gula coklat (Anonimb, 2008)
5. Gula batu
Gula batu memiliki bentuk besar tidak beraturan dengan derajat
kemurnian rendah. Gula batu tidak semanis gula granulasi biasa. Gula
batu memiliki kristal bening berukuran besar berwarna putih atau kuning
kecoklatan. Kristal bening dan putih dibuat dari larutan gula jenuh yang
mengalami kristalisasi secara lambat. Gula batu putih memiliki rekahan-
rekahan kecil yang memantulkan cahaya. Kristal berwarna kuning
kecoklatan mengandung berbagai karamel. Gula ini kurang manis karena
kandungan air dalam kristal cukup tinggi (Anonima, 2008). Gambar gula
batu bisa dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Gula batu (Anonimb, 2008)
6. Gula granulasi
Gula granulasi (gula pasir) adalah kristal-kristal gula berbentuk
butiran kecil yang umumnya dijumpai dan digunakan di rumah (Anonima,
2008). Gula granulasi merupakan hasil olahan pemurnian gula kristal
mentah secara sederhana. Pembuatan gula granulasi serupa dengan gula
kristal mentah, hanya saja untuk gula granulasi melalui proses
penambahan sulfur dioksida yang berfungsi memucatkan warna sirup gula
sebelum proses penguapan atau evaporasi (Bloch, 2007). Gula granulasi
dijual dalam bentuk gula butiran/pasir seperti terlihat pada Gambar 16 atau
dicetak dalam bentuk gula kubus seperti terlihat pada Gambar 17.
Gambar 16. Gula granulasi (gula pasir) (Anonimb, 2008)
Gambar 17. Gula kubus (Anonimb, 2008)
7. Gula bubuk/gula icing (Icing sugar)
Gula bubuk biasanya diproduksi di industri melalui penghancuran
mekanis gula granulasi dengan cara digiling menjadi 4 kali, 6 kali, atau 10
kali lebih kecil dengan satuan ukuran mesh (Baikow, 1982). Biasanya,
gula ini dicampur dengan sedikit pati atau bahan anti kempal seperti pati
jagung atau tri-kalsium fosfat sebanyak 3% dari berat gula untuk
mencegah penggumpalan. Gula bubuk juga dikenal sebagai gula
confectionary. Gula ini biasa digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan kue-kue manis dan juga bisa menjadi bahan pelapis kue. Gula
bubuk/gula icing dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Gula bubuk/gula icing (icing sugar) (Anonimb, 2008)
8. Gula caster
Gula castor atau caster adalah nama dari gula pasir yang sangat halus.
Gula ini dinamai demikian karena ukuran butirannya sangat kecil sehingga
dapat ditaburkan dari wadah berlubang-lubang kecil. Biasanya gula caster
diperoleh dari pembuatan gula rafinasi yang dimodifikasi sehingga ukuran
partikel gula ini mampu melewati saringan (shieve) berukuran 0.4 mm atau
lebih kecil.
Karena kehalusannya, gula ini lebih cepat larut dibandingkan gula
putih pada umumnya.Oleh karena itu gula ini secara khusus bermanfaat
dalam pembuatan meringues' dan cairan dingin. Gula ini tidak sehalus
gula bubuk yang dihaluskan secara mekanis. Gula caster dapat dilihat pada
Gambar 19. Perbandingan bentuk antara gula icing, gula granulasi, dan
gula caster dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 19. Gula caster (Anonimb, 2008)
Gambar 20. Gula icing gula granulasi gula caster (Arfi, 2008)
G. Mutu dan Keamanan Produk Gula Rafinasi
Menurut BSN (2006), produk gula rafinasi di Indonesia wajib
menggunakan acuan SNI 01-3140.2-2006 untuk kriteria mutu dan keamanan.
Faktor mutu yang diperhatikan adalah derajat polarisasi, kandungan gula
pereduksi, susut pengeringan, warna larutan, kadar abu, dan sedimen yang
terbentuk. Faktor keamanan bagi gula rafinasi yang perlu diperhatikan adalah
cemaran senyawa kimia seperti belerang dioksida (SO2), logam-logam berat
seperti timbal (Pb), tembaga (Cu), arsen (As), dan mikroba dengan kriteria
angka lempeng total (ALT), kapang, dan khamir. Kriteria mutu dan keamanan
gula rafinasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Karakteristik gula rafinasi yang memiliki sedikit kandungan air
menjadikannya sulit sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Gula
rafinasi atau Berry sugar menurut Belitz dan Grosch (1987) memiliki
karakteristik kandungan sukrosa sebanyak 98.8%, dengan kadar air sebesar
0.7%, kadar abu sebesar 0.2%, dan 0.29% bahan organik lainnya. Kadar air
sebesar 0.7% merupakan kondisi yang sulit bagi mikroba untuk melakukan
pertumbuhan.
Kondisi pengepakan dan penyimpanan yang kurang higienis biasanya
dapat menyebabkan produk gula pasir (granulasi) terkontaminasi mikroba.
Jenis mikroba yang biasanya mengkontaminasi biasanya tergolong dalam
jenis Bacillus dan Clostridium (Apriyantono, et. al., 1989). Menurut
Vanderzart dan Splittstoetsser (1992) setidaknya terdapat 3 jenis mikrospora
bakteri termofilik yang bisa mengontaminasi produk gula. Jenis pertama
adalah spora bakteri termofilik penyebab kebusukan flat sour (asam tanpa
gas), contohnya Bacillus stearothermophillus, Bacillus coagulans, dan
Bacillus thermoacidurans. Jenis kedua adalah spora bakteri anaerobik yang
tidak memproduksi H2S, contohnya Clostridium thermosaccharolyticum.
Jenis ketiga adalah spora bakteri anaerobik penyebab kebusukan sulfida
(memproduksi H2S), contohnya Clostridium nigrificans dan Bacillus
betanigrificans.
Tabel 1. Syarat mutu gula kristal rafinasi (BSN, 2006)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
I II 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Polarisasi
Gula Pereduksi
Susut pengeringan
Warna larutan
Abu
Sedimen
Belerang dioksida (SO2)
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
Arsen (As)
Angka Lempeng Total (ALT)
Kapang
Khamir
Z
%
% ,b/b
IU
%, b/b
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
koloni/10 g
koloni/10 g
koloni/10 g
min. 99.80
maks. 0.04
maks. 0.05
maks. 45
maks. 0.03
maks. 7.0
maks. 2.0
maks. 2.0
maks. 2.0
maks. 1.0
maks. 200
maks. 10
maks. 10
min. 99.70
maks. 0.04
maks. 0.05
maks. 80
maks. 0.05
maks. 10.0
maks. 5.0
maks. 2.0
maks. 2.0
maks. 1.0
maks. 250
maks. 10
maks. 10
CATATAN Z = Zuiker = Sukrosa; IU = ICUMSA UNIT
Salah satu kasus kejadian luar biasa (KLB) terkait gula adalah kasus
KLB kontaminasi batang tebu di Brazil. Menurut Massarani (2005), insiden
ini terjadi karena cairan tebu terkontaminasi oleh parasit Trypanosoma cruzi
sehingga menimbulkan penyakit Chagas. Penyakit Chagas adalah penyakit
yang berpotensi menimbulkan dampak fatal bagi kesehatan manusia yang
disebabkan parasit. Umumnya penyakit ini ditularkan ke manusia melalui
gigitan serangga. Dampak yang ditimbulkan penyakit ini ke pasien adalah
demam, migrain, dan nyeri otot. Namun, penyakit ini bisa berkembang lebih
jauh menimbulkan penyakit kuning, nyeri perut, pendarahan organ dalam,
cairan di paru-paru, dan gagal jantung. Tercatat lima orang dari kasus ini
dinyatakan meninggal.
III. METODE PELAKSANAAN
A. Tempat dan Waktu
Pelaksanaan magang dilakukan di tiga tempat. Tempat pertama di
Perusahaan Jasa Konsultasi, Premysis Consulting, Jakarta. Tempat kedua di
kantor pusat PT Gula Rafinasi A. Tempat ketiga di pabrik PT Gula Rafinasi
A. Nama perusahaan gula disamarkan atas dasar kesepakatan pelaksana
magang dengan perusahaan penyedia magang. Kegiatan dilakukan selama 7
bulan dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2008.
B. Tahapan dan Cara Pelaksanaan
Secara garis besar, pelaksanaan magang dilakukan dengan tiga tahapan,
yaitu kajian sistem HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005, tinjauan
umum perusahaan tempat magang, dan kajian penerapan sistem manajemen
terpadu (ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005) di perusahaan gula rafinasi.
Kajian sistem HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005 dilakukan untuk
mengetahui keterkaitan antar sistem manajemen tersebut. Tahapan berikutnya,
yaitu tinjauan umum perusahaan dilakukan untuk mengetahui gambaran
umum mengenai dua perusahaan tempat dilakukan magang. Tahapan terakhir
adalah kajian penerapan sistem manajemen terpadu di perusahaan gula
rafinasi. Tahap ini merupakan praktik pengamatan langsung kesesuaian sistem
manajemen yang ada di perusahaan tersebut dengan standar internasonal
sistem mutu (ISO 9001:2000) dan keamanan pangan (ISO 22000:2005).
1. Kajian HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005
Tahapan melakukan kajian terhadap ketiga sistem tersebut, yaitu:
a. Mempelajari HACPP
Hal yang dipelajari terkait dengan HACCP meliputi pengertian,
sejarah, keunggulan, cara menerapkan, dan area penerapan HACCP.
b. Mempelajari ISO 9001:2000
Hal yang dipelajari terkait ISO 9001:2000 meliputi sistem
manajemen mutu dan garis besar tentang ISO 9001:2000.
c. Mempelajari ISO 22000:2005
Hal yang dipelajari terkait ISO 22000:2005 meliputi sistem
manajemen keamanan pangan, sejarah, manfaat, cara menerapkan,
dan area penerapan ISO 22000:2005.
d. Melakukan analisis keterkaitan HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO
22000:2005
Setelah mempelajari HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO
22000:2005, dilakukan analisis keterkaitan antara ketiganya.
Keterkaitan bisa berupa kesamaan, perbedaan, dan cara
pengintegrasian antara ketiga sistem tersebut.
Kajian HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005 dilakukan
dengan cara studi pustaka, diskusi, rapat kecil, dan mengikuti pelatihan
ISO 9001:2000, HACCP, dan ISO 22000:2005
a. Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan pelaksana magang dengan membaca
pustaka-pustaka terkait HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO
22000:2005 berupa pustaka fisik maupun elektronik.
b. Diskusi
Diskusi langsung dilakukan pelaksana magang dengan tiga orang
konsultan senior Premysis untuk mengetahui makna setiap informasi
yang didapat dari tinjauan pustaka. Diskusi juga membahas makna
dari setiap klausa yang tercantum di dalam ISO 9001:2000 terkait
mutu dan ISO 22000:2005. Pembahasan setiap klausa ISO 9001:2000
dan ISO 22000:2005 disertai contoh-contoh praktik manajemen mutu
dan keamanan pangan pada beberapa industri pangan. Setiap hasil
diskusi dicatat oleh pelaksana magang dalam bentuk data elektronik.
c. Rapat
Rapat dilakukan antara pelaksana magang dan tiga orang konsultan
senior Premysis untuk mengukur kedalaman pengetahuan dan
pemahaman pelaksana magang mengenai mutu, keamanan pangan,
HACCP, standar internasional mutu (ISO 9001:2000) dan standar
internasional keamanan pangan (ISO 22000:2005). Rapat kecil
dilakukan di ruang pertemuan Premysis menggunakan alat bantu
laptop dan LCD. Pelaksana magang melakukan presentasi hasil
sementara yang sudah diperolehnya untuk dievaluasi oleh tiga orang
konsultan senior Premysis. Rapat kecil dilakukan sekali setiap bulan.
d. Mengikuti pelatihan ISO 9001:2000, HACCP, dan ISO 22000:2005
Pelaksana magang ikut serta sebagai asisten konsultan senior
dalam pelatihan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 untuk industri
pangan yang diadakan Premysis Consulting. Pelaksana magang
membantu persiapan pelatihan dan mengikuti pelatihan ISO
9001:2000 dan ISO 22000:2005. Pengetahuan yang didapatkan
pelaksana magang dari hasil pelatihan sama seperti peserta yang
merupakan praktisi industri pangan.
2. Tinjauan umum perusahaan
Tahapan melakukan tinjauan umum perusahaan tempat magang,
yaitu:
a. Mempelajari Premysis Consulting
Tinjauan untuk Premysis Consulting dilakukan dalam lingkup
profil, lokasi, struktur organisasi, waktu kerja, metode kerja, dan
produk perusahaan.
b. Mempelajari PT Gula Rafinasi A
Tinjauan untuk Premysis Consulting dilakukan dalam lingkup
profil, struktur organisasi, dan produk perusahaan.
Tinjauan umum perusahaan dilakukan dengan cara kunjungan
langsung, studi dokumen dan wawancara.
1. Kunjungan langsung ke perusahaan
Kunjungan langsung ke perusahaan dilakukan untuk mengetahui
informasi-informasi umum tentang Premysis Consulting dan PT Gula
Rafinasi A.
2. Studi dokumen
Studi dokumen dilakukan setelah dilakukan kunjungan langsung ke
perusahaan dengan meminjam dokumen-dokumen kepada pihak yang
bertanggung jawab di perusahaan. Dokumen yang terkait berupa
booklet dan pedoman perusahaan.
3. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada pihak yang bertanggung jawab di
perusahaan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan pelaksana
magang.
3. Kajian penerapan sistem manajemen terpadu di PT Gula Rafinasi A
Kajian penerapan Sistem Manajemen Terpadu di PT Gula Rafinasi A
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Mempelajari Sistem Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan di PT
Gula Rafinasi A
Saat kunjungan langsung tahap pertama, pelaksana magang
mempelajari sistem manajemen terpadu yang terimplementasi di PT
Gula Rafinasi A. Sistem manajemen yang masuk lingkup di sini
adalah sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang berlaku
di kedua bagian perusahaan (kantor pusat dan pabrik).
b. Identifikasi ketidaksesuaian
Langkah selanjutnya dilakukan identifikasi ketidaksesuaian sistem
manajemen terpadu yang terimplementasi di PT Gula Rafinasi A
dengan acuan persyaratan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.
c. Analisis ketidaksesuaian
Setelah dilakukan pengidentifikasian, langkah berikutnya adalah
pembahasan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian yang ada dalam sistem
manajemen PT Gula Rafinasi A antara tim konsultan dengan tim
mutu dan keamanan pangan PT Gula Rafinasi A. Pembahasan
bertujuan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian yang ada dengan
ruang lingkup penyebab ketidaksesuaian, kondisi perusahaan yang
menyebabkan ketidaksesuaian, dan sarana serta prasarana yang dapat
dimanfaatkan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian.
d. Penyusunan solusi alternatif tahap pertama
Setelah dilakukan pembahasan ketidaksesuaian, penyusunan solusi
alternatif dilakukan untuk menangani ketidaksesuaian yang ada
dalam penerapan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 di PT Gula
Rafinasi A. Solusi alternatif dirancang berdasarkan pertimbangan
ketidaksesuaian, sumber ketidaksesuaian, sarana yang dimiliki
perusahaan, dan metode yang bisa diterapkan. Pemberian solusi
alternatif mengacu pada sumber literatur yang sahih dan praktik
industri yang benar. Solusi alternatif dicatat dan disimpan dalam
Top Related