Download - Sinus Maksilaris

Transcript

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSinus maksilaris biasanya dianggap sebagai daerah tak bertuan oleh para dokter gigi, dan lubang masuk ke daerah antrum seringkali keliru ditafsirkan sebagai akibat penanganan yang kurang hati-hati. Namun pada pembedahan dentoalveolar yang melibatkan maksila, peristiwa ini kadang tidak bisa dihindarkan.Daerah sinus merupakan pertemuan keadaan patologis pada gigi dan paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologiis dalam sinus dapat mencapai prosesus alveolaris maksila. Untuk mengenali dan membedakan tanda-tanda klinis yang timbul, dibutuhkan pemahaman tentang perkembangan dan anatomi dari sinus maksilaris. Pemahaman mengenai erupsi gigi, persarafan, dan juga suplai vaskular di daerah sekitar sinus sangatlah diperlukan.Anatomi klinis dari antrum dan patologi khusus akan ditinjau ulang di sini. Selain itu juga akan ditekankan perlunya menghindari keterlibatan sinus, respons klinis terhadap komplikasi terjadinya sinus, perawatan dan juga penutupan fistula oro-antral.Fungsi sinus maksilaris antara lain :1. Memberikan resonansi suara2. Mengurangi berat tengkorak3. Membentuk wajah4. Sebagai ruang untuk penghangat udara inspirasi

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Umum Mengenai Sinus Maksilaris2.1.1Definisi dan BentukSinus maksilaris atau antrum highmore, yaitu suatu rongga yang terdapat di dalam tulang maksila, serta hubungannya dengan akar gigi-gigi posterior hanya dibatasi oleh tulang yang tipis.Sinus maksilaris merupakan sinus yang terbesar dibandingkan dengan sinus paranalisis lainnya.Sinus ini terbentuk dari lapisan embrionic kavitas nasal ke tulang sekitarnya yang membentuk maksila. Sinus ini pada dasarnya merupakan rongga yang terdapat pada masing-masing dari 2 tulang maksila, yang dilapisi oleh epitelium respiratori (epitil bersilia dengan sel goblet) Pada waktu lahir sinus maksilaris hanya merupakan rongga yang kecil, dan perkembangan sinus dimulai pada bulan ketiga dalam kandungan. Dengan adanya perkembangan prosesus alveolaris kearah bawah, sinus akan bertambah besar dan mencapai ukuran maksimal setelah seluruh gigi permanen erupsi, yakni sekitar usia 18 tahun.

Gambar 1. Batas-Batas Sinus Maksilaris

Sinus pada umumnya berbetuk pyramid dengan batas-batas :a. Atap : dasar orbitab. Dinding medial antrum : dinding nasal lateralc. Dasar : prosesus alveolaris maxilla yang mendukung gigi premolardan molard. Dinding posterior : fosa infratemporal dan fossa pterigopalatinee. Dinding anterior :permukaan fasial maxilla

Sinus maksilaris biasanya simetris sebelah kanan dan kiri, sedangkan ukuran dan bentuk bervariasi untuk setiap individu.Ketebalan dinding sinus ini juga tidak tetap, terutama pada atap dan dasar sinus.Pada atap berkisar antara 2-5 mm, dasar sinus antara 5-10mm, dan pada daerah yang tak bergigi berkisar antara 5-10mm. Volume sinus pada rata-rata orang berkisar antara 10-15 ml. (Kruger, 1969).

Gambar 2. Ketebalan Dinding Sinus Maksilaris

2.1.2Persarafan dan Suplai Daraha. Drainase : ostium ( hiatus semilunaris ) ke meatus nasi mediusb. Persarafan : nervus alveolaris superior ( saraf trigeminal cabang maxilla )c. Suplai darah : Bagian atas : arteri etmoidal anterior Dinding medial : arteri sphenopalatine Dinding anterolateral : arteri infraorbital, alveolaris superor anterior Dinding posterolateral : arteri alveolar posterosuperiord. Drainase limfatik Submandibular node Retrofaringeal node2.1.3Fungsi Sinus MaksilarisFungsi dari sinus maksilaris ini, antara lain:1. Memberikan resonansi suara2. Mengurangi berat tengkorak3. Membentuk wajah4. Membantu menghangatkan dan melembabkan udara pernapasan5. Mengandung organ olfaktoria yang membantu penciumanHubungan sinus maksilaris dengan rongga hidung yaitu melalui osteum. Osteum ini merupakan satu-satunya lubang drainase sinus dan bermuara ke rongga hidung melalui meatus nasi media.Hubungan antara dasar sinus dengan akar gigi rahang atas bervariasi pada setiap individu. Pada beberapa individu tulang antara apeks gigi dengan rongga sinus agak tebal, tetapi pada yang lainnya tulangnya tipis dan kadang-kadang akar masuk ke dalam sinus dengan sedikit atau tanpa disertai tulang yang meliputinya. Umumnya gigi yang paling dekat hubungannya dengan sinus adalah molar pertama, premolar dan molar kedua rahang atas. Pada gambaran rontgenologis banyangan sinus ini kadang-kadang membentang hingga ke premolar pertama, kaninus dan bahkan sampai ke insisif lateral.Menurut Zuckerkandl dan dilengkapi oleh Batson, bahwa perluasan sinus maksilaris berdasarkan arahnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1. Perluasan ke arah alveolar; mendekati dan bahkan meliputi apeks gigi.2. Perluasan ke arah palatinal; ke arah anterior hingga gigi insisif lateral dan bahkan hingga ke median line palatum.3. Perluasan ke arah prosesus zigomatikus.4. Perluasan ke arah infraorbital.5. Perluasan ke arah tuberositas maksila.Perluasan rongga sinus tersebut menimbulkan masalah komplikasi, dengan sebab akibat yang timbal balik antara sinusitis dengan perforasi sinus maksilaris.Daerah sinus merupakan pertemuan permukaan patologis pada gigi dan paranasal. Patologis dalam rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis dalam sinus dapat mencapai prosesus alveolaris maksila. Kedekatan anatomis dan keterlibatan patologis dapat menyebabkan kompleks gejala yang membingungkan, sehingga penderita seringkali mengelirukan simtom yang satu dengan yang lainnya. Untuk mengenali dan membedakan dan membedakan tanda-tanda klinis yang timbul , dinutuhkan pemahaman tentang perkembangan dan anatomi dari sinus maksilaris. Pengetahuan mengenai hubungan antara pembentukan geligi maupun erupsi geligi dan antrum merupakan persyaratan.(Buku ajar praktis bedah mulut).

2.1.4Sinus Maxillaris dan Dokter Bedah MulutAda 3 hal dimana dokter bedah mulut dapat terlibat dengan sinus maksilaris :1. Menghasilkan Oroantral Communication ( OAC )2. Menggeser fragment gigi kedalam sinus3. Mendiagnosis patologi sinus maksilarisMengingat hubungan anatomi antara sinus dengan rongga mulut, maka tidak jarang dalam praktik sehari-hari ditemukan terjadinya perforasi sinus ini, yang mengakibatkan terjadinya hubungan antara rongga mulut dengan sinus, dengan akibat lanjut antara lain terjadinya sinusitis maksilaris.Perforasi sinus maksilaris dapat disebabkan oleh faktor-faktor lokal di sekitar gigi dan sinus yang merupakan predisposisi, dan juga akibat kesalahan yang dilakukan operator dalam menangani kasus, terutama pada gigi posterior rahang atas.

2.2Etiologi Perforasi Sinus MaksilarisTerdapat beberapa faktor penyebab terjadinya perforasi sinus maksilaris yang dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok besar, yakni berupa faktor predisposisi dan trauma tindakan bedah mulut dan gigi.

2.2.1Faktor predisposisiFaktor predisposisi adalah merupakan faktor-faktor lokal, yakni keadaan sinus dan gigi beserta jaringan sekitar yang memudahkan terjadinya perforasi sinus maksilaris, antara lain meliputi: ( Kruger, 1969; Archer, 1975; Killey & Key, 1975)1. Lokasi gigi; gigi yang paling dekat hubungannya dengan sinus adalah molar pertama dan premolar kedua rahang atas. Kemungkinan perforasi akibat pencabutan pada gigi-gigi ini, lebih besar dibandingkan gigi lainnya.2. Perluasan sinus; perluasan dapat mencapai akar gigi sehingga antara sinus dengan apeks hanya dibatasi oleh selapis tipis tulang dan bahkan hanya oleh mukosa sinus saja.3. Kelainan pada akar gigi; antara lain ankilosis, hipersementosis4. Destruksi terhadap dasar sinus akibat peradangan; peradangan periapikal, misalnya adanya granuloma, abses periapikal dan osteomielitis yang meluas sampai ke rongga sinus. 5. Fraktur maksila; fraktur yang melibatkan sinus maksilaris.6. Implantasi gigi tiruan; kegagalan penanaman geligi tiruan ini pada rahang atas akan mengakibatkan nekrosis tulang alveolar sehingga dapat terjadi perforasi.7. Kista; kista yang menyebabkan destruksi dinding sinus sehingga epitel kista melekat dengan mukosa sinus.8. Neoplasma; destruksi dinding sinus dan jaringan sekitarnya, bahkan dengan akibat lanjut terjadinya hubungan oro-antral.9. Penyakit lainnya; seperti guma dari sifilis yang terjadi pada palatum, serta granuloma maligna, dan limfosarkoma.

2.2.2Akibat Tindakan Pembedahan Mulut dan Gigi1. Teknik pencabutan yang kurang baik; luksasi yang kasar dan menggunakan tenaga berlebihan.2. Trauma penggunaan kuret; pada kasus dimana dasar sinus hanya dibatasi epitel mukosa sinus.3. Trauma penggunaan elevator; akibat kurang hati-hati saat pengambilan sisa akar gigi sehingga elevator menembus dinding sinus atau akar terdorong ke sinus.4. Pengambilan gigi impaksi; trauma instrument atau gigi maupun fragmennya yang terdorong ke dalam sinus.

2.3 Penutupan Perforasi Sinus Maksilaris Akibat Pencabutan GigiTerdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral fistula. Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam setiap kasus tertentu, dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang diperlukan.Daerah kerusakan dan adanya suatu oroantral fistula dapat dilakukan penutupan dengan pembuatan flap. Beberapa prosedur yang disarankan untuk menutup oroantral fistula yang terjadi diantaranya adalah kombinasi jaringan mukoseriostem bukal dan palatal, teknik flap bukal dan teknik flap palatal.

2.4 Perawatan terhadap perforasi sinus maksilarisTindakan perawatan terhadap perforasi sinus maksilaris berdasarkan saatterjadinya perforasi dapat dikelompokkan ke dalam dua fase perawatan yakniperawatan segera setelah terjadinya perforasi dan perawatan terhadap perforasiyang telah lama terjadi 2.4.1 Perawatan segera setelah terjadi perforasi2.4.1.1 Perforasi yang kecilSoket diisi dengan iodoform tampon, akan tetapi tidak sampai puncaknya, kurang lebih dua pertiga dari margin gingiva. Penutupan diharapkan pada gumpalan darah, sebagaimana pada penyembuhan luka pencabutan gigi.Tampon diganti setiap hari dan perawatan dapat berlangsung hingga 3-4 hari. Peroral diberikan antibiotika guna mencegah infeksi. Untuk memfiksasi tampon pada soket dapat dilakukan ikatan berbentuk angka 8 mengelilingi servikal gigi tetangganya (Jika gigi sebelah mesial dan distal masih ada).2.4.1.2 Perforasi yang agak besar Dilakukan penutupan dengan jalan bedah insisi pada bagian bukal dan palatinal atau hanya pada bagian palatinal dari soket. Dibuat insisi yang berjalan sejajar dengan lengkung alveolar dan tegak lurus sumbu panjang gigi. Letak insisi sekitar 1 cm dari margin gingival dan panjangnya sedikit melebihi lebar mesio-distal soket. Kemudian prosesus alveolaris dihaluskan serta mukoperioteum diantara tepi soket dan garis insisi dilepaskan dari tulang lalu diangkat dan ditarik kearah soket. Di atas luka diberi tampon dan diinstruksikan pada pasien untuk menggigit tampon tersebut.2.4.1.3 Penggunaan lempeng tantalum berbentuk U Lempeng ini berguna untuk menutup perforasi sinus maksilaris yang terjadi setelah pencabutan gigi,adalah sebagai berikut : Segera setelah gigi dicabut, mukoperiosteum pada bagian bukal dan palatinal dilepaskan dari tulang dengan jarak yang cukup untuk memasukkan lempeng tantalum. Lempeng tantalum ini diletakkan di atas soket dan mukoperiosteum bukal dan palatinal dijahit pada posisi normal. Jahitan dari mukoperiosteum tidak menutupi seluruh lempeng tantalum.Lempeng ini diambil setelah 14-30 hari, yakni setelah terbentuk jaringan granulasi di dalam soket. Pengambilan lempeng tantalum ini dilakukan dengan cara, lempeng tersebut dipotong dalam arah mesio-distal menjadi dua bagian. Selanjutnya kepada pasien diinstruksikan agar jangan berkumur-kumur terlalu keras, apabila bersin hati-hati dan hendaknya mulut dibuka saat bersin, serta jangan meniup ataupun menghisap terlalu kuat dan hal yang sama juga berlaku bagi para perokok

2.5 Perawatan Perforasi Sinus Maksilaris pada Perforasi yang Sudah LamaPerawatan pada fase ini dilakukan jika pasien datang lama setelah terjadinya perforasl dan telah terjadi fistula oro-antral ataupun jika telah terjadi infeksi, dimana infeksinya harus ditanggulangi lebih dahulu sebelum dilakukan penutupan perforasi. Perawatan untuk mengontrol sinusitis, misalnya terapi antibiotic, dekongestan, tetes hidung atau semprot hidung. Untuk penutupan dari komunikasi oroantral ini bisa dilakukan dengan metode-metode dibawah ini.2.5.1 Metoda bukal flap menurut Berger (Kruger. 1969; Gans. 1972: Archer. 1975: Killey & Key. 1975):

Metoda Ini merupakan metode yang paling ideal dan memberikan hasil berupa bentuk flap yang baik dan cukup untuk menutupi perforasi, serta jika sesuai dengan bagian palatal yang telah disiapkan akan menghasilkan kontak yang baik antara kedua jaringan tersebut. Penyembuhan yang cepat dan tidak disertai dengan daerah yang terbuka dari mukosa adalah merupakan keunggulan utama dari metoda ini. Kelemahan utama dari metoda ini adalah tidak selalu dapat digunakan misalnya pada mukosa dimana bermuaranya duktus Stensen. serta pada daerah dimana iaringan bukalnya tidak cukup, akan menghambat proses penyembunan. Prinsip dari metoda ini adalah siapkan basis dan flap yang cukup kemudian pastikan bahwa sinus bebas dari infeksi (Gans, 1972).Metoda ini dilakukan dengan cara membuat flap pada mukosa bukal hingga ke pipi. Pada sebuah kosus dimana terjadi perforasi dengan kehilangan tulang yang cukup besar. Mula -mula epitel di tepi sekitar soket dibuang, serta ketebalan mukosa ( margin gingival )dibagian palatal dikurangi hingga tiga perempatnya dengan jarak kurang lebih 6 mm dari tepi soket. Kemudian dibuat insisi mulai dari tepi bagian mesial dan distal soket menuju kearah mukobukal fold dan diteruskan ke mukosa pipi. Flap bersama periosteum dilepaskan dari tulang dan diangkat. Untuk lebih memudahkan dapat dibuat refraction structure pada kedua tepi mesial dan distal flap tersebut, sebagai pemegang flap. Selanjutnya permukaan dalam dari flap ini, yakni pada periosteum dibuat insisi horizontal yang dimaksudkan agar dapat ditarik memanjang, tanpa disertai ketegangan sehingga cukup untuk menutupi soket. Kemudian flap dikembalikan dan dijahit. Jahitan dibuka setelah lima hari sampai seminggu.

2.5.2 Metode palatal flap menurut Dunnning

Sesuai dengan namanya, metode ini dilakukan dengan cara membuat insisi pada palatal, dimana arteri palatine terbawa bersama flap sehingga dapat memberikan vaskularisasi yang baik bagi flap tersebut. Suatu kasus perforasi sinus maksilaris dengan keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penutupan. Sehingga untuk itu dilakukan metode palatal flap yakni flap yang dibentuk menyerupai tangkai dan dipuntir kearah soket. Mula-mula insisi dilakukan pada bagian palatal dari soket, sejajar lengkung rahang dan dengan panjang secukupnya sehingga sesuai untuk menutupi soket. Sebelum itu sebagian kecil jaringan pada bagian distopalatal dari soket dieksisi berbentuk V, guna menyediakan tempat bagi flap yang akan dipuntir, serta untuk mencegah terjadinya lipatan. Kemudian secara hati-hati flap diangkat bersama periosteumnya dan dipuntir kearah soket hingga menutupi perforasi tersebut, selanjutnya dijahit. Daerah tulang yang terbuka bekas pengambilan ditutup dengan surgical semen atau pack.

2.5.3 Metode penutupan perforasi yang terjadi palatum ( Arher, 1975 ):Perforasi pada palatum dapat terjadi antara lain akibat trauma instrument, eksisi tumor dan sebagainya, sehingga perlu dilakukan penutupan, dalam hal ini dilakukan dengan metoda sliding flap atau flap geser.Mula-mula disebut outline flap tersebut pada palatum dan dalam hal ini arteri palatine anterior dilibatkan. Perlunya flap geser yang besar dilakukan, oleh karena suatu insisi elips yang sederhana akan memberikan tegangan jaringan yang berlebihan dan mengganggu vaskularisasi. Pada celah perforasi tampak adanya penyatuan epitel rongga mulut dengan epitel rongga hidung. Setelah dilakukan insisi berdasarkan outline, maka flap diangkat dan sebagian kecil jaringan flap bagian median dibuang guna menyediakan tempat saat menggeser flap tersebut. Jaringan pada garis tengah palatum dibuang secukupnya guna menyediakan tempat bagi falp serta untuk menghilangkan jaringan yang miskin aliran darah. Epitel dan jaringan pada celah perforasi dieksisi. Celah jaringan pada flap diatas daerah perforasi dijahit. Kemudian flap digeser dan dijahit pada garis tengah palatum. Selanjutnya jaringan tulang yang terbuka ditutup dengan ZOE pack dan kasa steril, dan untuk menjamin aposisi yang baik dari flap serta untuk mencegah hematoma submukus, maka tempatkanlah plat geligi tiruan atau obturator.2.5.4 Buccal fat pad pedicled graftTeknik ini dikembangkan menggunakan bantalan lemak bagian bukal sebagai metode untuk menutup komunikasi oro-antral. Bantalan lemak bukal terletak di bagian posterior rahang dan dibatasi oleh fosa pterygopalatine, otot bukal, dan otot masseter. Disuplai oleh pembuluh darah dari cabang-cabang kecil dari arteri maksila, arteri temporal superfisial, dan arteri wajah. Secara umum, bantalan lemak bukal dapat dengan mudah dicapai melalui irisan horizontal sepanjang periosteum dekat molar ketiga rahang atas. Sebanyak 60 x 50mm2 dapat diperoleh. Untuk bedah rekonstruksi, bantalan lemak bukal cocok untuk menutup sinus dekat langit-langit keras dan lunak dan fistula naso-oral. Metode ini aman, sederhana, mudah, dan efektif, jika diterapkan pada kasus-kasus yang sesuai.

2.5.5 Teknik1) eksisi epitel yang mengelilingi batas OAC 2) insisi bukal secara horizontal pada regio molar ketiga maksila3) lemak bukal dengan lembut diambil dari bantalan pipi dan dipindahkan ke daerah yang rusak baik dengan rotasi langsung.4) Bantalan lemak yang telah dipindahkan akan membentuk epitel kembali dalam 2-3 minggu

2.6 Komplikasi Perforasi Sinus MaksilarisPerforasi dari sinus maksilaris dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksilaris, yaitu merupakan suatu inflamasi yang terjadi pada membran mukosa rongga sinus. Rongga sinus secara normal merupakan suatu rongga yang steril dimana terdapat sekresi kelenjar mukosa yang bersifat bakterisida atau bakteriostatik. Sedangkan rongga mulut merupakan suatu rongga yang terdapat berbagai jenis mikroorganisme, sehingga dengan adanta perforasi ke sinus maksilaris akan menyebabkan terjadinya migrasi mikroorganisme ke rongga sinus sehingga menyebabkan infeksi. Sebaliknya, sinus maksilaris juga dapat menyebabkan terjadinya perforasi dengan terbentuknya fistula oro-antral. Oleh sebab itu, kita harus dapat membedakan apakah perforasi yang menyebabkan terjadinya sinusitis atau sebaliknya, sehingga untuk itu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk menentukan bahwa sinusitis tersebut disebabkan oleh faktor dentogen atau perforasi. Kita dapat menentukannya melalui :

1) Dari anamnesa dapat diketahui bahwa sinusitis terjadi setelah melakukan pencabutan gigi, dan biasanya pada pemeriksaan intra oral ditemukan soket atau luka pasca pencabutan yang belum sembuh.2) Pada pemeriksaan foto rontgen, tampak kontinuitas dasar sinus terputus.3) Biasanya infeksi dentogen tidak melibatkan sinus ethmoidales, bersifat unilateral dan dalam keadaan akut lebih sakit serta toksisitasnya lebih hebat. 4) Cairan yang keluar dari sisi hidung biasanya bersifat purulenta, kotor dan lebih berbau. Pada perforasi sinus maksilaris, jika perawatan yang dilakukan tidak sesegera mungkin maka dapat mengakibatkan beberapa komplikasi. Dengan terbuka oroantral fistula, kemungkinan terjadinya infeksi yang berasal dari rongga mulut. Hal ini penting untuk diketahui apakah sinus telah terinfeksi atau belum. Hasilnya ditentukan oleh lamanya fistula terbuka dan lebarnya kanal fistula tersebut. Namun beberapa penelitian melaporkan bahwa fistula dengan diameter kurang dari 2mm dapat mengalami penyembuhan spontan. Dan fistula dengan diameter lebih dari 3mm mengalami penghambatan penyembuhan dikarenakan memiliki kemungkinan untuk terjadinya infeksi. Penelitian juga mengungkapkan bahwa kurang mungkin terjadinya penyembuhan spontan ketika oroantral fistula telah terbuka selama 3 sampai 4 minggu dengan diameter lebih dari 5. Selain itu , komplikasi lain yang didapat setelah melakukan perawatan yaitu dengan prosedur flap bukal dapat menyebabkan penurunan yang signifikan pada vestibulum dan terjadi odema pada pipi. Jika dengan menggunakan flap palatinal, komplikasi yang terjadi yaitu penggundulan permukaan palatal, rasa nyeri, dan palatal tampak kasar dan lebih dalam akibat epitalisasi sekunder selama 2 sampai 3 bulan. Dan yang paling buruk , flap palatinal dapat menjadi nekrosis.

BAB IIIKESIMPULANKarena kedekatannya dengan prosesus alveolaris dan gigi rahang atas, maka sinus maksilaris merupakan daerah yang mudah cedera selama operasi dentoalveolar. Kedekatan ini menyebabkan tumpang tindihnya keadaan patologis pada regio tersebut. Persarafan yang sama dari lapisan sinus dan gigi posterior rahang atas menyebabkan kekaburan dalam menerjemahkan rasa sakit yang timbul, seperti rasa sakit yang ditimbulkan oleh sinus atau oleh gigi.Apabila terjadinya sinus maksilaris tidak dapat dihindarkan lagi, maka penanganannya yaitu dengan pemberian antibiotik spektrum luas, dekongestan antihistamin sistemik dan tetes hidung. Pembedahan yang sering dilakukan untuk sinus maksilaris yaitu prosedur Caldwell-Luc. Jalan masuk dibuat melalui fossa canina.Fistula oro-antral dapat berkisar dari lubang yang baru terbentuk (lebih dari 48 jam) sampai saluran yang sudah lama dan terepitalisasi. Untuk keberhasilan penutupan sinus, infeksi yang ada harus diatasi terlebih dahulu dan dipastikan drainase dapat berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Archer W.H., 1975, Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed., W.B. SaundersKruger G.O., 1984, Oral and Maxillofacial Surgery, 6th ed Mosby Co.,St. LouisToronto