Sindroma Guillain-Barre (SGB)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain
polyneuritis akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril, poli
radikulopati dan acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan motorik
progresif dan arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik
otonom dan batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti
demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus.
Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Landry
pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia sebut sebagai
febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl
memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali mengemukakan penilaian melalui
cairan serebrospinal (CSF), disosiasi albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap
hitung sel CSF normal ). Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu,
akan mengarah kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan
poliomyelitis dan neuropati lainnya.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per
100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang ada
di Amerika Serikat
1
Internasional : angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000 orang per
tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di
China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki
predileksi pada musim panas.
Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa muda.
Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh penurunan
mekanisme imunosupresor.
Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1
Berkaitan dengan faktor resiko genetik yaitu FcRIIa-H131 dan alel homozigot
(vs R131)
I. Definisi
Sindroma Guillain Barre, adalah polineuropati yang menyeluruh , dapat
berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi secara spontan atau sesudah suatu
infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini
dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang.
II. Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini
terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang
adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune responde maupun
immune mediated process.
2
Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti infeksi
saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau 3 minggu
sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang selubung myelin
yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan paralysis, kelemahan otot dan
kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, kehamilan,
atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya sindrom.
III. Patofisiologi
Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu. Infiltrat
terdiri dari atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrate terutama terdiri dari sel limfosit
berukuran kecil, sedang, dan tampak pula mikrofag serta sel polimorfonuklear pada
permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Seranut saraf mengalami
degenerasi segmental dan aksonal.
Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversible dan menyeluruh
dapat terjadi. Kerusakan itu merupakam perwujudan reaksi imunopatologik walaupun
segenap radiks terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis
paling berat mengalami kerusakan keadaan patologik itu dikenal sebagai
poliradikulopatia atau polyneuritis post infeksiosa. Atau lebih dikenal sebagai Sindroma
Gullain Barre.
IV. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresifitasnya
akan berhenti setelah berjalan selama 4 minggu, lebih kurang 50% akan terjadi
3
kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4
minggu.
Pasien dengan SGB dijumpai adanya kelemahan disertai dengan diestesia,
perasaan kebas, geli pada ekstremitas, kelemahan ini terutama pada otot-otot proksimal,
kaki lebih sering terkena dibandingkan lengan. Parestesia terjadi menjalar secara
proksimal tetapi jarang meluas melewati pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
Refleks tendon melemah, bahkan bisa menghilang dalam beberapa hari perjalanan
penyakit.
Kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang yang
asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan dapat pula
terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadii secara cepat, dalam waktu kurang
dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis.
Gejala motorik biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik Biasanya
terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki, tetapi
kadang-kadang gangguan tampak segmental, otot-otot proksimal dan distal terganggu dan
reflek tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung biasanya ditemukan.
Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50% kasus dan
sering bilateral. Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena,khususnya yang mengurus
lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra ocular. Terlibatnya nervi kraniles
dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.
Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung, hipotensi
postural, hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi gejala dan tanda
klinik sindrom ini.
4
Proses penyembuhan biasanya dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya
progesifitas klinik. Namun demikian, proses penyembuhan bisa tertunda selama 4 bulan.
Secara klinis banyak penderita yang bisa sembuh secara fungsional.
V. Diagnosa
1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdiri dari kelemahan
motorik (terutama bagian proksimal) yang meluas ke atas, arefleksia, gangguan
sensorik bagian distal yang ringan, dan kelemahan otot wajah bilatelar
(merupakan petunjuk penting).
2. Punksi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan protein dalam cairan
serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Pada
saat awal, protein dalam cairan serebrospinal dapat normal tetapi meningkat
dalam beberapa hari. Dijumpai peningkatan protein > 0,55 g/dL, tanpa pleositosis
( jumlah sel-sel abnormal dari CSF).
3. Pengobatan beratnya kelemahan motorik pada SGB tidak dapat dipastikan pada
awal penyakit. Oleh karena itu, dokter harus mengenal penderita polyneuritis
inflamatorik akut dan melakukan pemantauan fungsi pernafasan dengan teliti,
termasuk analisa gas darah serta kapasitas vital paru hungga kelemahan motorik
mencapai titik terendah (menetap). Hal ini merupakan hal yang penting.
4. Elektrodiagnostik (EMG) memberikan tanda-tanda demielinisasi yabg terlihat
dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantaran saraf, blok
hantar saraf (conduction blok) atau disperse temporal, dan gelombang F (F-wave)
yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 –
5
10 hari dan terdiri dari F-wave yang melambat karena terkenanya radiks , didikuti
kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang
menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction blok) dan lalu
mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari penurunan kecepatan hantar
saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
VI. Diagnosa Banding
Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati
Sindrom, Kauda Equina
Sindrom Konus Medullaris
HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati
HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal
HIV-1 dengan mononeuropati multiple
HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular
HIV-1 dengan poliradikulopati progresif
HIV-1 dengan mielopati
Penyakit Lynne
Myastenia Gravis
Neuropati toksik
Keracunan organophospat
6
VII. Pemeriksaan
1. Diagnosa didasarkan atas adanya gejala kelemahan ascenden dengan arefleksi.
Pemeriksaan punksi lumbal, elektrodiagnosis, atau kadang MRI hanya sebagai
pendukung diagnosis
2. Khas pada pemeriksaan punksi lumbal atas dugaan demielinisasi ( yakni
peningkatan protein) tanpa disertai adanya tanda infeksi aktif (kurangnya
pleositosis LCS), merupakan temuan Guillain Barre.
Nilai NCS bisa saja normal dalam 2 minggu ke atas sejak adanya gejala,
dan kadang proteinnya bisa jadi tidak bertambah tinggi dalam 1 minggu.
Sebagian besar pasien memiliki leukosit di bawah 10 per cc, tapi kadang
ditemukan sedikit meningkat (10-50 per cc).
3. Kriteria terjadinya kegagalan nafas pada SGB :
Kapasitas vital < 1L ; diperlukan observasi di ICU
33% memerlukan intubasi
Indikasi intubasi:
- Kapasitas vital < 12-15 ml/Kg, khususnya dengan derajat cepat
- Inspirasi paksa negative ; 25 cmH2O
- Hipoxemia ; PaO2 80mmHg
- Kesulitan sekresi
- Waktu onset ; 7 hari
Waktu bernafas ; 50% < 3 minggu
Kadang-kadang berhubungan dengan aspirasi
7
VIII. Terapi
Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif dan
terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama, jika pasien
sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan mengalami
kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. Oleh
karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit untuk diobservasi tertutup
untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan system
autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang
berubah-ubah, disritmia, psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis
untuk trombosis vena dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak
selama beberapa minggu.
Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi. Pasien
tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi. Penilaian
ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang cepat sangat
diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya adalah :
Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari
Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
Tidak sanggup berdiri
Peninggian kadar enzim hati
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk memijat
dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi dapat
meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah digunakan
8
sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien dengan paralysis
memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang fase
penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi.
Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan
klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan.
Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-
otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau
immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatu plasma
exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara bermakna
menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB, namun beberapa
penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg.
The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg
(400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan dengan
plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan
mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian IVIg
dibandingkan plasma exchange.
IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan
lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun
sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan
yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah
dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan menggabungkan
9
penggunaan IVIg dan plasma exchange, sehingga hanya salah satu terapi saja yang
digunakan.
Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti
sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma beku
digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus seperti hepatitis
dan HIV.
IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma juga
dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi. Pasien-
pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah, tetapi
gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat mnegalami
meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi sebelumnya terhadap
penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan.
Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian, apabila
keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka kortikosteroid
dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi dengan
kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.
Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah
terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan
seperti ini.
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang
pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.
Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.
10
IX. Prognosis
Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit tidak
memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi
kelumpuhan total.
Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi
dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset, bagimanapun
pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia.
Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap termasuk bilateral
footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan disestesia. Angka kematian
<5% pada pengobatan yang professional. Penyebab kematian biasanya berupa sindrom
distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan henti jantung.
Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat
memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat,
memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara langsung
berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada pengobatan
spesifik.
X. Kesimpulan
Pada pasien yang diduga SGB, pemeriksaan terkait harus segera dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Pemantauan pasien secara kontinu diperlukan untuk memberikan
terapi lebih intensif apabila diduga telah mengalami paralysis otot-otot respirasi.Latihan
dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.
11
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. PDSSI, Editor : Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2005
2. Mack, KJ, Sindrom Guillain-Barre, http://www.emedicine.com, 2004
3. Howard, L. Werner, Lowrence P. Levitt, Buku Saku Neurologi, Edisi ke V,
EGC, Jakarta, 2001
4. Asnawi C. Margono, Neuropati, Kapita Selekta, Edisi TI, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1996
5. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Dian Rakyat,
Jakarta, 2000
6. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,
http://www.americanfamilyphysician.com, May 2004
12
Top Related