SIKAP ‘IFFAH DALAM MEMILIH MAKANAN
MENURUT PERSPEKTIF HADIS
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Cut Sonia Dinata
NIM. 11210429
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1439 H / 2017 M
SIKAP ‘IFFAH DALAM MEMILIH MAKANAN
MENURUT PERSPEKTIF HADIS
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Cut Sonia Dinata
NIM. 11210429
Pembimbing:
Dr. H. Ahmad Fudhaili, M.Ag
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1439 H / 2017 M
xi
ABSTRAKSI
Banyak aspek kehidupan yang kini mengalami perubahan dan pergeseran
nilai-nilai asasi dari apa yang seharusnya, salah satunya dalam budaya
makan. Bagi masyarakat modern, aktifitas makan bukan lagi sekedar untuk
memenuhi kebutuhan utama biologis tapi beralih untuk mengikuti
perkembangan tren. Tanpa disadari kecenderungan tersebut juga
menghinggapi kehidupan umat Islam.
Di sisi lain ada kemajuan di bidang teknologi yang menjadi salah satu
faktor penting yang mendukung lahirnya berbagai inovasi sajian kuliner yang
dalam prosesnya ternyata berhasil mengubah sesuatu yang haram menjadi
produk dan bahan makanan olahan yang tersamarkan unsur kandungannya.
Budaya makan yang menjadi global life style tampaknya tidak disikapi
dengan cukup bijak oleh umat Islam di masa sekarang. Demi mengikuti tren
yang berkembang, kita menjumpai banyak umat Islam yang kurang
memperhatikan nilai-nilai syariat yang telah ditetapkan saat mereka memilih
makanan yang akan dikonsumsi. Hal ini mengindikasikan mulai terkikisnya
sikap menjaga kesucian diri (‘iffah) yang seharusnya dimiliki oleh setiap
orang yang beriman.
Keresahan terhadap fenomena di atas melatarbelakangi penulis untuk
membahas lebih lanjut permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul
Sikap ‘Iffah dalam Memilih Makanan menurut Perspektif Hadis. Dalam
skripsi ini penulis mencoba memaparkan konsep halal, haram, dan thayyib
berdasarkan dalil Al-Qur’an dan sunnah serta pendapat para ulama salaf dan
kontemporer sekaligus menyingkap keterkaitan sikap ‘iffah atau menjaga
kesucian diri dengan proses memilih makanan halal sebagaimana yang
terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah saw.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
pustaka yang bersifat kualitatif. Pendekatan penelitian dilakukan melalui
hadis-hadis Rasulullah saw. yang dianalisa dengan metode syarh (penjelasan)
dan takhrij (seleksi). Adapun sumber primer yang digunakan adalah beberapa
kitab hadis yang termasuk dalam kutub at-tis’ah dan kitab Fatẖ al-Bârî Syarẖ
Shaẖîẖ al-Bukhârî. Selain itu, penulis juga merujuk pada buku-buku keislaman
yang mengkaji bidang akhlak dan fiqh serta kamus Bahasa Arab untuk
mendukung pembahasan dalam skripsi ini.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
th ط a ا
zh ظ b ب
ʹ ع t ت
gh غ ts ث
f ف j ج
q ق ẖ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
′ ء sy ش
y ي sh ص
dh ض
B. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fatẖah : a ا : â ي... : ai
Kasrah : i ي : î و... : au
Dhammah : u و : û
ix
C. Kata Sandang
1. Kata sandang yang diikuti alif lam ( ال ) qamariyah, contoh:
al-Madînah : المدينة al-Baqarah : البقرة
2. Kata sandang yang diikuti alif lam ( ال ) syamsiyah, contoh:
as-Sayyidah : السيدة ar-rajul : الرجل
ad-Dârimî : الدارمي asy-syams : الشمس
3. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah (tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan dengan
lambang ( _ ), sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.
Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydîd yang berada di tengah
kata, di akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:
فهاء Âmannâ billâhi : أمنابلله Âmana as-sufahâʹu : آمنالس
الذين كع Inna al-ladzîna : إن wa ar-rukka´i : والر
4. Ta Marbûthah ( ة )
Ta Marbûthah ( ة ) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na‘at), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:
الإسلمية al-af’idah : الأفئدة al-jâmi‘ah al-islâmiyyah : الجامعة
x
Sedangkan ta marbûthah ( ة ) yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (ism), maka dialihaksarakan menjadi huruf
“t”. Contoh:
Âmilatun Nâshibah‘ : عاملةناصبة
D. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf capital, akan tetapi
apabilah telah dialihaksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal kalimat,
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Ketentuan
yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya. Adapun
untuk nama diri yang diawali dengan kata sandang, maka huruf yang
ditulis capital adalah awal nama diri, bukan kata sandangnya. Contoh:
‘Alî Hasan al-‘Âridh, al-‘Asqalanî, al-Farmawî dan seterusnya. Khusus
untuk penulisan kata Al-Qur’an dan nama-nama surahnyamenggunakan
huruf kapital. Contoh; Al-Qur’an, Al-Baqarah, Al-Fatihah dan seterusnya.
iv
KATA PENGANTAR
Alẖamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan seluruh rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Sikap ‘Iffah
dalam Memilih Makanan menurut Perspektif Hadis.
Salawat dan salam penulis sanjungkan kepada seorang pembawa
agama yang sempurna dan diridhai Allah swt., karena berkat kerja keras dan
perjuangan panjang beliau Islam dapat berdiri tegak di atas bumi Allah dan
menjadi landasan hidup bagi seluruh umat manusia. Beliau adalah Nabi
Muhammad saw.
Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat yang diajukan oleh
pihak universitas kepada seluruh mahasiswa dalam rangka menyelesaikan
pendidikan di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dalam skripsi iui,
penulis mengangkat permasalahan seputar sikap menjaga kesucian diri dalam
memilih makanan sebagaimana yang terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah
saw.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada beberapa pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah
mendukung, memotivasi dan membantu penulis dalam penyusunan karya
ilmiah ini.
1. Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah
T. Yanggo, MA
2. Dekan Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Ibu
Dra. Hj. Maria Ulfah, MA
3. Dosen pembimbing skripsi Bapak Dr. H. Ahmad Fudhaili, M.Ag
4. Para dosen penguji Ibu Dr. Hj. Romlah Widayati, MA dan Bapak Ali
Mursyid, M.Ag
v
5. Para instruktur tahfizh dari Lembaga Tahfizh dan Tilawah Al-Qur’an
(LTTQ) Ibu Hj. Muthmainnah, MA dan Hj. Istiqamah, MA
6. Para staff Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT)
Ibu Suci Rahayu Ningsih dan Ibu Ruqoyah Tamami
7. Para dosen Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
8. Bapak KH. Ahmad Lutfi Fathullah, Pusat Kajian Hadis (PKH),
Perputakaan Iman Jama’, dan Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah
9. Special thanks untuk orangtua tercinta Papa Drs. H. T. Saifuddin TA, Msi
dan Mama Hj. Sri Intan Dahlia SE. Untuk the one and only Kakak Cut
Finansia Dinata, thank you for staying with me through the ups and
downs. Untuk Abang Teuku Heru Dinata, Mpo’, Aminuddin Eunos, Mba’
Heni Rusmini dan Aa’ Rahmat. Untuk semua keponakan Teuku
Muhammad Hafidz, Muhammad Zidane Hidayat, Maryam Syathira dan
Muhammad Bilal Kautsar
10. Teman-teman Ushuluddin angkatan 2011, Siti Juhro, Ana Umi Farohah,
Wahdah Farhati, Aniq Kholidah Ritonga, Mudrikatul Azizah, Popon
Rukoyah, Siar Ni’mah, Ristiana, Maria Ulfa Baniry, Misyka Nuri
Fathimah dan Laila Muthmainnah. Last but not least, untuk Hafi
Munirwan, Nurul Fadhilah Hasrun, Meira Rizki, Ziaulhaq, Safia Azhar
dan Pocut Shaliha Finzia.
Jakarta, 22 Agustus 2017
Cut Sonia Dinata
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menjamin rezeki bagi kehidupan setiap makhluk-Nya dan
menentukan apa saja yang boleh dikonsumsi (halal) dan yang dilarang
(haram).
Pada dasarnya, segala sesuatu yang berada di bumi adalah halal
dan yang haram sangat sedikit jumlah maupun jenisnya. Maka seharusnya
bukanlah hal yang sulit bagi seorang muslim untuk memilih manakah di
antara sekian banyak makanan halal tersebut yang ingin ia konsumsi.
Tapi peradaban manusia kini telah memasuki era globalisasi yang
berimbas pada pergeseran nilai-nilai asasi dalam banyak aspek kehidupan,
salah satunya budaya makan dan minum. Bagi manusia modern, aktifitas
makan dan minum bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis
namun beralih untuk mengikuti tren. Tanpa disadari kecenderungan
tersebut juga menghinggapi kehidupan umat Islam.
Budaya makan yang dipengaruhi global life style membuka
peluang baru bagi produsen untuk menciptakan berbagai inovasi dalam
sajian makanan. Inovasi pun kian bermunculan manakala ada kecanggihan
teknologi yang memudahkan proses produksi bahkan hingga mampu
mengubah suatu zat yang haram menjadi produk dan bahan makanan
olahan yang tersamarkan unsur kandungannya.
Selain itu, proses transportasi lintas negara yang kini seolah tanpa
batas (boundless) berimbas pada merambahnya produk dan bahan
makanan dengan komposisi yang tidak jelas asal-usulnya di kalangan
masyarakat muslim secara besar-besaran. Dari bentuk dan sajian yang
tidak sederhana, produk-produk tersebut tidak dikenali bahan bakunya
2
oleh kaum muslimin karena berasal dari luar negeri dan pada kemasannya
tidak mencantumkan kandungan komposisi pembuatan, atau dapat pula
berupa produk dalam negeri yang komposisinya diterangkan dengan
bahasa kimia yang tidak dimengerti oleh konsumen muslim yang awam.
Kemajuan dalam bidang teknologi telah menyebabkan masuknya bahan-
bahan syubhat, haram bahkan najis ke dalam makanan, minuman dan obat-
obatan yang beredar dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Hal ini
tentu saja memungkinkan seorang muslim secara tidak sengaja
memasukkan bahan-bahan najis atau haram ke dalam tubuhnya, yang
berakibat negatif pada ibadah yang ia lakukan dan kesempurnaan
akhlaknya.
Seperti yang kita ketahui kewenangan atas pengawasan produk
yang masuk dan beredar di Indonesia sepenuhnya milik pemerintah.
Meskipun terdapat lembaga khusus untuk mengawasi dan menjamin
kehalalan produk dan bahan makanan seperti LPPOM MUI, namun
lembaga ini sangat terbatas dalam menjalankan fungsinya. LPPOM MUI
hanya mempunyai kapasitas memberi pengawasan terhadap produk
dengan sertifikasi halal yang sebelumnya diajukan atas inisiatif dari pihak
produsen. Adapun LPPOM MUI tidak mempunyai kapasitas mewajibkan
setiap produsen makanan untuk melalui proses sertifikasi halal.
Sementara itu, masyarakat di berbagai belahan dunia pada
umumnya, dan Indonesia khususnya, belum terlalu menaruh perhatian
penuh terhadap makanan halal secara detail dan menyeluruh. Tercatat
sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia tidak menjamin
bahwa semua masyarakat muslim Indonesia memiliki tingkat pemahaman
dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya hukum halal haram dalam
kehidupan mereka. Mayoritas dari mereka hanya menilai kehalalan
makanan berdasarkan zat atau esensinya tanpa melihat kepada rangkaian
3
proses yang meliputi makanan tersebut mulai dari cara pembuatan hingga
penyajiannya.
Melihat realita tersebut, penulis meyakini bahwa masyarakat
muslim tidak bisa hanya menyandarkan tanggung jawab untuk menjaga
apa yang masuk ke dalam tubuh mereka sendiri kepada pihak lain, dalam
hal ini pemerintah dan LPPOM MUI. Mereka harus bisa menjaga diri agar
tidak terjerumus kepada hal-hal yang Allah haramkan karena ini
merupakan kewajiban bagi setiap muslim agar menjadi hamba-Nya yang
bertakwa. Sikap menjaga diri disebut juga dengan ‘iffah dan hal inilah
yang akan dibahas lebih lanjut oleh penulis. Penggunaan terminologi ‘iffah
pada judul skripsi didasari oleh keinginan penulis untuk menggambarkan
bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap dalam memilih makanan,
bukan hanya menghindari yang haram dan syubhat, tapi lebih kepada
pengendalian diri untuk tidak terpengaruh oleh gaya hidup atau tren yang
berkembang di era globalisasi.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah suatu cara bagaimana kita melihat, menduga,
mengira dan menguraikan, serta menjelaskan apa yang menjadi masalah.
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan
masalah sebagai berikut.
1. Adanya kemajuan teknologi yang memanfaatkan anggota tubuh babi
dan anjing sebagai bahan komposisi dalam pembuatan makanan atau
menjadikannya produk siap pakai yang dijual luas di masyarakat. 2. Banyaknya bahan makanan haram dari negara-negara asing yang
masuk ke Indonesia karena aktifitas perdagangan dunia yang tidak lagi
mengenal lintas jarak.
4
3. Adanya pemahaman yang berkembang di kalangan umat Islam bahwa
semua makanan hukumnya halal selama tidak mengandung bahan-
bahan yang diharamkan seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan
hadis.
4. Adanya pada umat Islam di zaman modern yang memilih makanan
karena mengikuti tren dan kurang mempertimbangkan status kehalalan
sebuah produk makanan sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak
menerapkan sikap ‘iffah atau menjaga kesucian diri.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah adalah memberikan gambaran yang jelas pada faktor-
faktor tertentu dalam masalah yang diteliti. Sedangkan perumusan masalah
adalah mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang memadai dan
mengarah pada upaya untuk memahami atau menjelaskan faktor-faktor
yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Berdasarkan dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di
atas, penulis membatasi penelitian ini pada poin 3 yaitu mengenai
pemahaman umat Islam terhadap konsep halal, haram, dan thayyib dalam
memilih makanan yang akan dikonsumsi.
Kemudian penulis juga membatasi penelitian pada poin 4 yaitu
mengenai sikap menjaga kesucian diri (‘iffah) yang harus dimiliki seorang
muslim dalam memilih makanan halal guna menjaga bahan-bahan yang
akan masuk ke dalam tubuhnya dan berdampak pada ibadah yang
dilakukan serta pengembangan pribadi orang tersebut.
Sehingga permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah
rumusan sebagai berikut:
5
1. Bagaimana pemahaman umat Islam mengenai konsep halal, haram, dan
thayyib berdasarkan dalil Al-Qur’an dan sunnah serta pendapat para
ulama salaf dan kontemporer?
2. Bagaimana hubungan sikap ‘iffah atau menjaga kesucian diri dengan
proses memilih makanan halal sebagaimana yang terdapat dalam hadis-
hadis Rasulullah saw.?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan pernyataan-pernyataan
tentang apa yang hendak dicapai dalam penelitian. Dari definisi tersebut,
maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Peningkatan pemahaman dan cara pandang yang luas bagi umat Islam
mengenai kompleksitas masalah halal haram dalam menghadapi
tantangan kehidupan di zaman modern.
b. Pembuktian bahwa sikap menjaga kesucian diri (‘iffah) sangat
dibutuhkan oleh seorang muslim dalam memilih makanan sebagaimana
yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat yaitu:
a. Memperluas objek pembahasan tentang halal-haram menurut hukum
Islam sehingga dapat menjadi pedoman hidup bagi masyarakat muslim
khususnya dalam menentukan menu makanan yang akan dikonsumsi.
b. Meningkatkan kesadaran dan kepekaan masyarakat Islam tentang
banyaknya produk makanan yang kemungkinan mengandung
komposisi haram baik dalam jumlah besar atau kecil sehingga menuntut
mereka lebih selektif dalam mengonsumsi makanan.
6
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah kegiatan yang meliputi mencari, membaca dan
menelaah laporan-laporan penelitian dan bahan pustaka yang memuat
teori-teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Pada bagian ini, kami akan membahas teori-teori dan laporan
penelitian yang berkaitan dengan halal-haram dalam pangan.
Skripsi yang ditulis oleh Suaibah pada tahun 2005 dengan judul
Konsep Halal dan Thayyib dalam Surah Al-Maidah ayat 88 (Kajian Tafsir
al-Manâr), jurusan Tafsir Hadis, fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Al-
Qur’an Jakarta. Skripsi ini hanya membahas tentang tinjauan umum
makanan dalam Al-Qur’an serta konsep halal dan thayyib dalam surah Al-
Mâidah ayat 88 dalam kajian tafsir al-Manâr.
Skripsi yang ditulis oleh Nunung Maisyaroh pada tahun 2007
dengan judul Pengaruh Makanan terhadap Kesehatan (Telaah Tafsir
Quraish Shihab dan Hamka pada Surah ‘Abasa ayat 24-31), jurusan Tafsir
Hadis, fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta. Skripsi ini
membahas tentang dampak makanan bagi kesehatan seseorang yang
terdapat dalam surat ‘Abasa ayat 24-31 yang ditinjau dari corak penafsiran
Quraish Shihab dan Hamka.
Dua skripsi di atas memiliki perbedaan yang besar dengan skripsi
yang akan penulis kaji. Skripsi-skripsi sebelumnya menitikberatkan
pembahasan pada konsep makanan halal dan pengaruhnya menurut
perspektif tafsir Al-Qur’an. Sementara pada skripsi ini, penulis akan
mengupas berbagai kompleksitas masalah halal dan haram dalam makanan
serta hubungannya dengan sikap ‘iffah atau menjaga kesucian diri.
Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Tahmid Nur, M.Ag dengan
judul Konsep Makanan dalam Hukum Islam, IAIN Palopo. Jurnal ini
membahas konsep makanan pada surat Al-Baqarah ayat 168, ragam
7
makanan halal dan haram menurut Al-Qur’an serta tujuan dan fungsi
makanan.
Jurnal yang ditulis oleh Sohrah dengan judul Etika Makan dan
Minum dalam Pandangan Syariah, fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar. Jurnal ini membahas etika makan dan minum menurut
syariat Islam dan dampak penerapan etika tersebut terhadap kesehatan
seseorang.
Dalam tafsir al-Wasîth karya Wahbah az-Zuhaili, mantan dekan
fakultas Syari’ah dan ketua jurusan Fiqh/Syari’ah Universitas Damaskus
dan Universitas Uni Emirat Arab, yang diterjemahkan oleh Muhtadi dkk
dan diterbitkan oleh Gema Insani pada Februari 2013, dijelaskan bahwa
orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya hendaknya melatih
diri dan keluarga untuk menunaikan amal saleh. Mereka hendaknya
melindungi keluarga dan diri mereka dari api neraka dengan cara
menasihati dan mendorong mereka untuk melakukan ketaatan sehingga
mereka tidak terjerumus dalam api neraka yang mengerikan. Ini menjadi
dalil bahwa orangtua harus mengetahui apa yang ia perintahkan dan ia
larang.
Penafsiran di atas selaras dengan penjelasan yang terdapat dalam
Tafsir Al-Qur’an Tematik tentang Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan
Berpolitik yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
pada Agustus 2009, bahwa surat At-Tahrim ayat 6 mengandung perintah
untuk menghindarkan penghuni rumah dari hal-hal yang tidak islami,
karena hal itu akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat.
Menurut kami seorang muslim yang sesungguhnya pasti akan
menghidupkan suasana Islam di dalam keluarga maupun lingkungan
sekitar, salah satunya dengan membiasakan diri untuk mengkonsumsi
makanan yang jelas kehalalannya. Hal ini sangat penting karena
8
mengkonsumsi makanan yang halal akan memberi pengaruh besar pada
pribadi dan jiwa seseorang. Dari pembahasan di atas juga dapat dipahami
bahwa semua yang kita lakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan,
termasuk makanan dan minuman yang kita konsumsi.
Ali Mustafa Ya’qub mengatakan dalam bukunya yang berjudul
Kriteria Halal-Haram yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus pada Mei
2009, bahwa di antara hal yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin saat
ini adalah terorisme pangan (food terrorism), yaitu sebuah upaya nyata
yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk merusak dan menyakiti
kaum muslimin. Upaya tersebut berupa produksi bahan-bahan pangan
yang dibuat dengan bahan baku yang membahayakan tubuh dan akal
pikiran. Bahan-bahan pangan ini kemudian diekspor ke negara-negara
Islam untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin. Sehingga ketika bahan-
bahan tersebut dikonsumsi secara terus-menerus, maka lambat laun
bahayanya akan menyerang kondisi tubuh dan akal mereka.
Penulis sependapat dengan penjelasan di atas. Sebagaimana yang
kita ketahui bahwa ada tiga aspek yang dijadikan sarana oleh musuh Islam
untuk menghancurkan kaum muslim, yaitu melalui food (makanan),
fashion (gaya berbusana) dan fun (hiburan). Sudah seharusnya setiap
muslim untuk benar-benar menjaga dan memperhatikan apa yang akan
dikonsumsi.
Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi berpendapat dalam bukunya
yang berjudul Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam,
yang diterjemahkan oleh Sofyan Suparman dan diterbitkan oleh Trigenda
Karya pada 1997, bahwa asal hukum segala perkara itu diperbolehkan
karena sesungguhnya Allah menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya
semua yang ada di bumi. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt. di
dalam surat Al-Baqarah ayat 29.
9
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi dan
di langit itu asal hukumnya dibolehkan atau mubah. Dengan demikian,
makanan dan sembelihan pun termasuk perkara yang dibolehkan Allah
bagi kita. Maka dalam kedua hal itu asal hukumnya adalah halal, kecuali
jika ada suatu dalil yang mengharamkannya, lalu dalil itu diamalkan
khusus dalam perkara yang dituju oleh dalil tersebut.
Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa setiap muslim
hendaknya jangan mengambil makanan dan minuman yang dihidangkan
tanpa mengetahui asal-usulnya karena dikhawatirkan mengandung barang-
barang haram yang berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang.
Kami sependapat dengan uraian di atas yang mengatakan bahwa
hukum asal segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit adalah
dibolehkan atau mubah. Namun sesuatu yang mubah akan berubah
menjadi haram bila ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Menurut buku M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan
yang Patut Anda Ketahui yang diterbitkan oleh Lentera Hati pada Maret
2011, dikatakan bahwa ketika seseorang mengonsumsi makanan yang
tidak diketahui asal-usulnya maka ia cukup mengucapkan basmalah atas
makanan tersebut kemudian ia memakannya.
Kami berpendapat bahwa dahulu para sahabat masih menjadikan
Rasulullah saw. sebagai sumber kedua dalam penetapan hukum segala
Islam, termasuk dalam menentukan kehalalan suatu makanan. Sedangkan
di zaman modern seperti saat ini kita tidak dapat menilai kehalalan suatu
makanan secara lahiriyah saja. Sebab tidak jarang produsen makanan
secara diam-diam mencampurkan bahan haram ke dalam komposisi
produk makanan. Untuk itu kita diharuskan untuk sangat berhati-hati
dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Salah satu cara yang
10
dapat dilakukan adalah dengan senantiasa memperhatikan label halal resmi
pada setiap produk makanan yang akan dikonsumsi.
F. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan
Metodologi penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Adapun
metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji
masalah adalah sebagai berikut.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
pustaka yang bersifat kualitatif. Pendekatan penelitian dilakukan melalui
hadis-hadis Rasulullah saw. yang dianalisa dengan metode syarh
(penjelasan) dan takhrij (seleksi). Adapun sumber primer yang digunakan
adalah beberapa kitab hadis yang termasuk dalam kutub at-tis’ah dan kitab
Fatẖ al-Bârî Syarẖ Shaẖîẖ al-Bukhârî. Penulis juga merujuk pada buku-
buku keislaman yang mengkaji bidang akhlak dan fiqh serta kamus Bahasa
Arab untuk mendukung pembahasan dalam skripsi ini.
Teknik penulisan laporan dalam penelitian ini merujuk pada
Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an
(IIQ) Jakarta yang disusun oleh Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA,
et al., dkk yang diterbitkan oleh IIQ Press pada tahun 2011.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan adalah penjelasan tentang bagian-bagian yang akan
ditulis di dalam penelitian secara sistematis.
Hasil akhir dari penulisan ini akan dituangkan dalam laporan
tertulis dengan sistematika, sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan. Bagian ini memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
11
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan teknik
penulisan, serta sistematika penulisan.
Bab II. Pada bab ini akan membahas sikap ‘iffah dalam kehidupan, mulai
dari definisi ‘iffah, dalil-dalil tentang ‘iffah dalam Al-Qur’an dan sunnah,
hal-hal yang dapat menumbuhkan ‘iffah, dan urgensi sikap ‘iffah.
Bab III. Pada bab ini akan membahas kriteria makanan berdasarkan hadis,
mulai dari uraian tentang definisi makanan, kriteria makanan halal serta
konsep thayyib.
Bab IV. Bagian ini berisi analisa terhadap hadis-hadis yang menunjukkan
pentingnya sikap ‘iffah dalam memilih makanan.
Bab V. Penutup. Bagian ini berisi kesimpulan dan saran.
149
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Iffah adalah sikap yang dapat menjaga seseorang dari melakukan
perbuatan-perbuatan dosa, baik yang dilakukan oleh tangan, lisan maupun
anggota tubuh lainnya. Dengan sikap ‘iffah, seseorang akan berusaha
meninggalkan hal-hal yang sebenarnya dibolehkan, namun karena untuk
melindungi diri dari hal-hal yang tidak patut, maka dia rela
meninggalkannya.
Dalil sikap ‘iffah dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pada QS. An-
Nur [24]: 33, QS. An-Nisa’ [4]: 6 dan QS. Al-Baqarah [2]: 273. Selain itu
sikap ‘iffah juga terdapat dalam hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari, Imam Ahmad dan Imam an-Nasa‘i.
Beberapa pendapat para ulama dan ahli tafsir tentang ‘iffah antara
lain:
1. Luqmân al-Hakîm berkata, “Hakikat wara’ adalah pengendalian diri
(iffah).”
2. Abdullâh bin ‘Umar ditanya tentang kehormatan, beliau menjawab,
“Kesabaran adalah kehormatan”, beliau juga berkata, “Kami
masyarakat Quraisy menghitung kesabaran dan kedermawanan
sebagai kehormatan, sementara pengendalian diri (‘iffah) dan
membenahi harta sebagai keperwiraan.”
Urgensi sikap ‘iffah antara lain: amal shalih yang menjadi sebab
terkabulnya doa, cabang dari ketaatan dan keimanan, menjaga anggota
tubuh dari segala sesuatu yang Allah haramkan, menjaga harta di dunia
dan kenikmatan surga di akhirat, bagian dari sikap keberanian untuk
memperoleh hal terpuji dan kehormatan, bukti kesempurnaan diri
150
seseorang dan kemuliaannya, memiliki jiwa yang damai dan hidup yang
tenang, menjauhkan masyarakat dari kerusakan dan hal tercela,
menyebarkan ajaran sikap ‘iffah akan menciptakan masyarakat yang
bertakwa, serta bukti kesempurnaan akal dan kesucian diri.
Makanan adalah segala bahan yang kita makan atau masuk ke
dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh,
memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh.
Kriteria makanan halal dalam Islam ditinjau dari dua aspek, yaitu
halal lighairi dzâtihî dan halal lidzâtihî.
Halal lighairi dzâtihî adalah penilaian terhadap status halal yang
didasarkan pada sebab-sebab di luar substansi barangnya, seperti apakah
makanan tersebut diperoleh dengan cara yang benar sesuai syariat atau
tidak.
Halal lidzâtihî adalah kehalalan yang dinilai dari substansi
barangnya atau zat asal suatu makanan.
Thayyib (baik) adalah sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau
jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan.
Makna thayyib secara syar‘i di dalam Al-Qur’an merujuk pada tiga
pengertian, yaitu:
1. Zat yang dinilai baik tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran,
sebagaimana pendapat Imam Ibn Katsir.
2. Sesuatu yang dipandang lezat, sebagaimana pendapat Imam Syafi‘i dan
ulama lainnya.
3. Halal itu sendiri, yaitu sesuatu yang suci, tidak najis dan tidak
diharamkan, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam ath-Thabari.
Para ulama tidak sepakat dalam satu pendapat tentang sesuatu yang
dipandang thayyib pada makanan karena hal tersebut tidak secara eksplisit
tercantum di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
151
Menurut para ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Hanafi
berkisar pada dua makna:
1. Tabiat yang sehat, sebagaimana pendapat Imam al-Jashshash dan Imam
al-Hashkafi
2. Selera bangsa Arab, lebih spesifik lagi bangsa Hijaz, sebagaimana
pendapat Imam Ibn ‘Abidin.
Menurut mazhab Maliki kriteria istithâbah (penilaian baik) dan
istikhbâts (penilaian buruk) adalah nash-nash syariah atau hati manusia.
Para ulama mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa kriteria istithâbah
dan istikhbâts adalah selera bangsa Arab. Artinya, apa yang dipandang baik
oleh bangsa Arab, maka hal itu adalah baik dan konsekuensi hukumnya
halal. Sebaliknya, apa yang dipandang buruk oleh bangsa Arab, maka hal
itu adalah buruk dan konsekuensi hukumnya haram.
Kriteria istithâbah (penilaian baik) dan istikhbâts (penilaian buruk)
menurut pengikut mazhab Hanbali mengikuti selera bangsa Arab.
Meskipun para ulama mazhab Syafi‘i dan Hanbali sama-sama
menetapkan selera bangsa Arab sebagai kriteria istithâbah dan istikhbâts,
namun terdapat perbedaan dalam menentukan kategori bangsa Arab
manakah yang berhak melakukan penilaian tersebut.
Al-Imam ar-Rafi’i dari kalangan mazhab Syafi‘i berkata bahwa
rujukan dalam istithâbah adalah penilaian dari bangsa Arab yang hidup di
masa Nabi saw. hingga sekarang.
Sementara itu, Imam Ibn Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali
berpendapat bahwa kriteria istithâbah dan istikhbâts adalah penduduk
Hijaz.
Selain para imam empat mazhab, ada pula ulama kontemporer
yang berpendapat tentang konsep thayyib, yaitu Yusuf al-Qardhawi dan
Wahbah az-Zuhaili. Namun para ulama kontemporer tersebut ternyata
152
masih berpegang teguh pada apa yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
ulama terdahulu (empat mazhab) dan tidak membuat ketentuan baru dalam
masalah istithâbah dan istikhbâts.
Dalam memilih makanan, seorang muslim harus memiliki sikap
‘iffah. Pentingmya sikap ‘iffah dapat kita lihat dalam sejumlah hadis
Rasulullah saw.
Pada pembahasan hadis tentang jelasnya sesuatu yang halal dan
haram, kita melihat gambaran posisi halal dan haram dalam Islam dan
perkara samar yang terdapat di antara keduanya. Penjelasan mengenai
batasan halal dan haram yang ditemukan berulang kali dalam tiga hadis
shahih yang berbeda menunjukkan urgensi untuk menjadikan batasan-
batasan tersebut sebagai acuan utama dalam menjalankan kehidupan yang
berlandaskan pada perintah Allah swt. dalam Al-Qur’an dan ajaran
Rasulullah saw. melalui sunnahnya.
Dari ketiga hadis yang disebutkan dalam pembahasan ini juga
terdapat nasihat yang tersirat untuk menjaga diri dengan sikap ‘iffah, yaitu
menjauhi perkara yang samar agar tidak terjerumus pada perkara yang
haram.
Selanjutnya pada pembahasan hadis tentang akan datangnya zaman
ketika seseorang tidak lagi mempedulikan halal haram, Rasulullah saw.
mengabarkan satu masa di saat manusia tidak lagi berhati-hati dalam
mencari harta. Hal tersebut menjadikan seseorang kehilangan kehormatan
dirinya.
Pembahasan tema hadis yang ketiga berkaitan dengan tertolaknya
ibadah akibat mengkonsumsi barang haram. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa makan dan minum merupakan aktifitas penting yang tidak boleh
dianggap sepele karena itu semua akan berpengaruh pada diri seseorang
dan ibadah yang dilakukannya. Sebagaimana yang dikatakan dalam hadis
153
bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang pada dirinya
melekat barang haram, maka sudah sepatutnya seorang muslim benar-
benar menjaga diri dari hal-hal yang tidak disukai Allah dan di sinilah
sikap ‘iffah dibutuhkan.
Kemudian pada pembahasan hadis tentang darah dan daging yang
tidak masuk surga karena tumbuh dari makanan haram, dapat kita lihat
bahwa seorang muslim punya kewajiban besar untuk menjaga dirinya dari
apa yang Allah haramkan dan hal itu dapat diwujudkan melalui sikap
‘iffah.
Pembahasan hadis berikutnya mengenai akan datangnya zaman
ketika sebaik-baik harta bagi seorang muslim adalah kambing. Beberapa
hadis pada pembahasan ini menggambarkan sikap ‘iffah yang tinggi dalam
diri seorang muslim. Sikap tersebut dapat dilihat dari usaha keras yang
ditempuh dengan mengembalakan kambing di puncak gunung semata-
mata mencari rezeki halal agar selamat iman juga agamanya. Menjaga
agama juga berarti menjaga kesucian diri dan inilah yang merupakan
esensi dari sikap ‘iffah itu sendiri.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai keengganan Rasulullah
saw. memakan kurma jatuh yang beliau temukan. Beberapa hadis pada
pembahasan ini menggambarkan kesempurnaan sikap ‘iffah yang dimiliki
oleh Rasulullah saw. Bila timbul keraguan pada suatu makanan, maka
Rasulullah saw. akan segera meninggalkannya karena khawatir itu adalah
apa yang Allah haramkan bagi beliau. Padahal Rasulullah saw. hidup di
masa ketika makanan halal dan haram masih dapat dengan mudah
dibedakan−tidak seperti di zaman sekarang ketika makanan bisa saja
mengandung unsur haram tapi tersamarkan dengan berbagai
kemungkinannya−, namun beliau sudah menerapkan sikap kehati-hatian
demi menjaga diri dan agamanya.
154
Pembahasan terakhir adalah membaca basmalah saat hendak
memakan makanan yang tidak diketahui asal-usulnya. Dari beberapa
penjelasan para ulama mengenai hadis ini, penulis menarik kesimpulan
bahwa jawaban Rasulullah saw. untuk membaca basmalah bila mendapat
makanan yang tidak diketahui asal usulnya adalah bentuk keringanan yang
beliau berikan karena pada saat itu umat Islam masih sedikit jumlahnya
dan dalam proses mengenal syariat, sementara pensyariatan harus
dilakukan secara bertahap agar tidak membebani.
Namun kini syariat Islam telah sempurna diturunkan sehingga
konteks hadis ini tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan dalam kondisi
normal. Ketika seseorang memilih makanan dan bukan dalam kondisi
darurat, hendaknya ia mengedepankan sikap ‘iffah dengan mencari tahu
asal usul makanan tersebut untuk memastikan kehalalannya. Jangan
sampai seseorang bersikap seolah tidak mementingkan perkara ini atau
meringankannya karena keliru dalam memahami hadis di atas secara
menyeluruh.
B. Saran
Dengan adanya pembahasan ini, penulis berharap kepada seluruh kaum
muslimin agar dapat lebih meningkatkan kehati-hatian mereka dalam
memilih makanan. Sikap ‘iffah akan lahir dengan sendirinya di saat
seorang muslim menambah pengetahuannya terkait perkara halal haram
dan menjadikan hal ini sebagai prioritas dalam kehidupan mereka. Tujuan
utama diciptakannya manusia di dunia ini adalah untuk beribadah
menyembah Allah semata. Namun apa artinya seseorang beribadah
seumur hidup bila akhirnya semua tertolak akibat makanan haram yang
mengalir di dalam darahnya?
155
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqî, Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn ‘Umar ibn Katsîr ibn al-Qurasyî al-
Basharî, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm, t.tp: Dâr Thayyibah, 1999.
Al-‘Asqalânî, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar Abu al-Fadhl. Fatẖ al-Bârî Syarẖ
Shaẖîẖ al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fatẖ al-Bârî Syarẖ Shaẖîẖ al-Bukhârî,
terj. Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Fatẖ al-Bârî: Syarẖ Shaẖîẖ al-Bukhârî, terj.
Ghazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Al-Ashfahânî, Abû al-Qâsim al-Husain bin Muẖammad ar-Râghib al-
Ashfahânî, adz-Dzarî’ah ilâ Makârim asy-Syarî’ah, Kairo: Dâr as-
Salâm, 2007.
Al-Ashfahânî, Abû al-Qâsim al-Husain bin Muẖammad ar-Râghib, al-
Mufradât fî Gharîb Al-Qur’ân, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1412 H.
Al-Ashfahânî, Aẖmad ibn al-Husain ibn Aẖmad Abû Syujâ’ Syihâbuddîn
Abû ath-Thayyib, Matn Abî Syujâ’ al-Musamma al-Ghâyah wa at-
Taqrîb, t.tp: ‘Alam al-Kutub, t.t.
Alaydrus, Habib Syarief Muhammad, Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih
Ketenteraman Hati dengan Hidup Penuh Berkah, Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2010.
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Maram, terj.
Thahirin Saputra dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al-Buhga, Musthafa dan Muhyiddin Misto, Pokok-Pokok Ajaran Islam, terj.
Abdullah, Jakarta: Robbani Press, 2002.
Al-Ghazali, al-Imam Abu Hamid, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, terj. Bahrun
Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.
156
Al-Ghazali, Imam, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Surabaya: Putra
Pelajar, 2003.
Al-Ghazali, Imam, Mutiara Ihya’ Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis
Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam, terj. Iwan Kurniawan. Bandung:
Mizan Pustaka, 2008.
Al-Ghazali, Imam, Rahasia Halal Haram: Hakikat Batin Perintah dan
Larangan Allah, terj. Iwan Kurniawan. Bandung: Mizania, 2007.
Al-Hanafi, Abû Muẖammad Maẖmûd bin Aẖmad, ‘Umdah al-Qârî Syarẖ
Shaẖîẖ al-Bukhârî. Beirut: Dâr Iẖyâ’ at-Turâts al-‘Arabî.
Al-Hanafî, Aẖmad ibn ‘Alî Abû Bakr ar-Râzî al-Jashshâsh, Aẖkâm Al-
Qur’an, Beirut: Dâr Iẖya’ at-Turâts al-‘Arabî, 1405 H.
Al-Hanafî, Ibn ‘Âbidîn Muẖammad Amîn ibn ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz
‘Âbidîn ad-Dimasyqî, Radd al-Muhtâr ‘ala ad-Durr al-Mukhtâr,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.
Al-Hasyimi, Abdul Mun’im, Akhlak Rasul menurut Bukhari dan Muslim, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Alie, Imam Masykur dan Rahmat, Makanan Halal: Ketentuan tentang
Pangan Halal dalam Islam dan Ketentuan Perundang-Undangan
Lainnya, Jakarta: Departemen Agama, 1998.
Al-Ifrîqî, Muẖammad bin Mukarram bin ‘Alî Abu al-Fadhl Jamâluddîn bin
Manzhûr al-Anshârî ar-Ruwaifi’î, Lisân al-‘Arâb, Beirut: Dâr Shâdir,
1433 H.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Panduan Hukum Islam, terj. Asep Saefullah FM
dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al-Jauziyyah, Muẖammad bin Abû Bakr bin Ayyûb bin Sa‘ad Syamsuddîn
Ibnu Qayyim, Raudhah al-Muẖibbîn wa Nazhah al-Musytâqîn,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
157
Al-Ju’fî, Muẖammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhârî. Shaẖîẖ al-
Bukhârî, t.tp: Dâr Thauq an-Najâh, 1422 H.
Al-Jurjânî, ‘Alî bin Muẖammad bin ‘Alî az-Zayn asy-Syarîf, Kitâb at-
Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
Al-Khiraqî, Abû al-Qâsim ‘Umar bin al-Husain, Mukhtashar al-Khiraqî, t.tp:
Dâr ash-Shaẖâbah li at-Turâts, 1993.
Al-Kufawî, Ayyûb bin Mûsâ al-Husainî al-Quraimî, al-Kulliyyât, Beirut:
Muassasah ar-Risâlah, t.t.
Al-Madanî, Mâlik bin Anas bin Mâlik bin ‘Âmir al-Ashbaẖî, Muwaththa’ al-
Imâm Mâlik, t.tp: Muassasah ar-Risâlah, 1412 H.
Al-Makkî, Asy-Syâfi’î Abû ‘Abdillâh Muẖammad ibn Idrîs ibn al-‘Abbâs ibn
‘Utsmân ibn Syâfi’ ibn ‘Abd al-Muththalib ibn ‘Abd Manâf al-
Muththalibî al-Qurasyî, al-Umm, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1990.
Al-Maqdisî, Muwaffaq ad-Dîn Abû Muẖammad ‘Abdullâh ibn Aẖmad ibn
Muẖammad ibn Qudâmah ibn Miqdâm ibn Nashr ibn ‘Abdillâh, al-
Mughnî li Ibn Qudâmah, Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1968.
Al-Mâwardî, Abû al-Hasan ‘Alî bin Muẖammad, Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn,
t.tp: Dâr Maktabah al-Hayâh, 1986.
Al-Qardhawi, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2005.
Al-Qazwînî, Ibnu Mâjah Abû ‘Abdillâh Muẖammad bin Yazîd, Sunan Ibn
Mâjah, t.tp: Dâr Iẖyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Al-Qurasyî, Abû Bakr ‘Abdillâh bin Muẖammad bin ‘Ubaid bin Sufyân bin
Qais al-Baghdâdî al-Umawî (Ibn Abi ad-Dunyâ), al-Wara’, Kuwait:
ad-Dâr as-Salafiyyah, 1988.
Al-Qurthubî, Abû ‘Abdillâh Muẖammad bin Aẖmad bin Abî Bakr bin Farẖ
al-Anshârî al-Khazrajî Syamsuddîn, al-Jâmi’ li Aẖkâm Al-Qur’ân,
Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1964.
158
Al-Qurthubî, Abû al-Walîd Muẖammad ibn Aẖmad ibn Muẖammad ibn
Aẖmad ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid,
Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004.
Al-Sya’rawi, Syaikh Mutawalli, Hikmah di Balik yang Halal dan Haram,
Solo: Pustaka Mantiq, 1994.
Alu Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz, Ringkasan Nailul Authar, terj.
Amir Hamzah dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al-Yamanî, Muẖammad bin ‘Alî bin Muẖammad bin ‘Abdullâh asy-
Syaukânî, Nail al-Authâr, Mesir: Dâr al-Hadîts, 1993.
Al-Yamanî, Muẖammad ibn ‘Alî ibn Muẖammad ibn ‘Abdullâh asy-
Syaukânî, Fatẖ al-Qadîr, Beirut: Dâr al-Kalam ath-Thayyib, 1414 H.
An-Naisâbûrî, Abû ‘Abdillâh al-Hâkim Muẖammad bin ‘Abdullâh bin
Muẖammad, al-Mustadrak ‘alâ ash-Shaẖîẖayn li al-Hâkim, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.
An-Naisâbûrî, Muslim ibn al-Hajjâj Abû al-Hasan al-Qusyairî. Shaẖîẖ
Muslim. Beirut: Dâr al-Fikr, 1983.
An-Nasâ’î, Abû ‘Abdurraẖman Aẖmad bin Syu’aib bin ‘Alî al-Khurrâsânî,
as-Sunan ash-Shughra an-Nasâ’î, Aleppo: Maktab al-Mathbû‘ât al-
Islâmiyyah, 1986.
An-Nawawî, Abû Zakariyyâ Muẖyi ad-Dîn Yaẖyâ ibn Syaraf, al-Majmû’
Syarẖ al-Muhadzdzab, t.tp: Dâr al-Fikr, t.t.
An-Nawawi, Imam Abu Zakaria Yahya Syaraf, Raudhatuth Thalibin, terj. A.
Shalahuddin dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Ar-Râzî, Aẖmad bin Fâris bin Zakariyyâ’ al-Qazwînî, Maqâyîs al-Lughah,
t.tp: Dâr al-Fikr, 1979.
As-Sijistânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats bin Isẖâq bin Basyîr bin
Syaddâd bin ‘Amr al-Azadî, Sunan Abî Dâwud, Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyah, t.t.
159
Asy-Syaibânî, Abû ‘Abdillâh Aẖmad bin Muẖammad bin Hanbal bin Hilâl
bin Asad, Musnad al-Imâm Aẖmad bin Hanbal, t.tp: Muassasah ar-
Risâlah, 2001.
Ath-Thabarî, Muẖammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghâlib al-Amalî,
Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’an, t.tp: Muassasah al-Risalah, 2000.
At-Tirmidzî, Muẖammad bin ‘Îsâ bin Saurah bin Mûsâ bin adh-Dhaẖẖak, al-
Jâmi’ al-Kubrâ‒Sunan at-Tirmidzî, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islamî,
1998.
Az-Zuhailî, Wahbah, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syari’ah & Manhaj, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2013.
Bin Hamîd, Shâliẖ bin ‘Abdullâh, Nadhrah an-Na’îm fî Makârim Akhlâq ar-
Rasûl al-Karîm, Jeddah: Dâr al-Wasîlah, t.t.
Bin Mufliẖ, Syamsuddîn, al-Âdâb asy-Syar‘iyyah wa al-Minaẖ al-Mar‘iyyah,
t.tp: ‘Âlam al-Kutub, t.t.
Departemen Agama RI, Pentingnya Makanan Halal dan Bergizi bagi
Keluarga, Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari’ah, 2007.
Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam, Tazkiyatun Nafs, Jakarta: Darus Sunnah, t.t.
Ibrahim, Mahyuddin, Seratus Delapan Puluh Sifat Terpuji dan Tercela,
Jakarta: Restu Agung, 1996
Indra, Hasbi, dkk, Halal Haram dalam Makanan, Jakarta: Penamadani, 2004.
Man, Saadan dan Zainal Abidin Yahya, Halalkah Makanan Kita? Bagaimana
Mencarinya di Pasaran, Malaysia: PTS Islamika Sdn. Bhd., 2014.
Muchtar, Asmaji, Fatwa-Fatwa Imam Syafi‘i, Jakarta: Amzah, 2014.
Mujieb, M. Abdul dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, Jakarta:
Hikmah, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
160
Musthafa, Ibrahim, dkk., Al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Dâr ad-Da’wah, t.t.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014.
Syaibah, Abû Bakar bin Abî, al-Kitâb al-Mushannaf fî al-Aẖâdîts wa al-
Âtsâr, Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1409 H.
Yaqub, Ali Mustafa, Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan
Kosmetika menurut Al-Qur’an dan Hadis, terj. Mahfud Hidayat,
Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2009.
Zaid, Syaikh Fauzi Muhammad Abu, Hidangan Islami: Ulasan
Komprehensif, Jakarta: Gema Insani, 1997.
Top Related